Apakah mengkonsumsi itu hal baik atau buruk? Pertanyaan etis ini tidak relevan di
zaman komodifikasi segala hal. "Sulit dimengerti mengapa orang mau
membelanjakan uang hampir US $ 50 hanya untuk melihat sekumpulan foto Madonna
tengah bercumbu dengan pria dan wanita yang mengenakan kalung anjing, tali
kekang dan kutang basi?” tulis Michiko Kakutani di New York Times. Mengapa heran?
Zaman kita kini memang masa keunggulan "imagologi" di mana realitas (ekonomi)
megalahkan ideologi (etika) dan realitas dikalahkan oleh image (citra estetika). Inilah
masa di mana komoditi barang digeser oleh komoditi 'budaya'. Teknologi informasi
dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi untuk
nilai guna tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio video, visual) menjadi
jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.
Fenomena diatas barangkali dapat mewakili gambaran mengapa dan kenapa dunia
filsafat disibukkan dengan upaya-upaya untuk menemukan kembali "makna
kehidupan", serta mengumpulkan kembali apa yang disebut Heidegger "puing-puing
ontologis" yang telah terkubur di bawah monumen-monumen modernitas, di tengah
hiruk pikuknya produksi dan konsumsi "komoditi" dan di tengah silih bergantinya
citra-citra tanda-tanda, dan tontonan di dalam media massa. Akan tetapi pencarian
makna-makna tersebut pada kenyataannya hanya menghadapkan para pemikir dan
kritikus pada semacam "nihilisme" ("ketidakadaan putusan" Derrida, "ekstase"
Baudrillard, "acuh saja" Barthes, "hanya permainan" Lyotard atau "skizofrenia"
Deleuze & Guattari).
Tulisan mengenai budaya konsumen ini lebih dimaksudkan sebagai usaha untuk
menyusun sebuah gambaran terpadu mengenai budaya konsumen kontemporer yang
menonjolkan ciri, nilai dan pengaruh budaya konsumen pada masyarakat. Jadi tulisan
ini tidak bertujuan menyelidiki sejarah asal-usul masyarakat konsumen.
Penulispun sadar bahwa ilmu tak lepas dari keberpihakan. Maka penulis
menyandarkan diri pada sudut pandang Marxis sebagai pendekatan utama analisis
masalah budaya konsumen ini.
Penulis akan mengambil teori-teori dari beberapa penulis Marxis, baik dari pelopornya
sendiri dan beberapa penulis Marxis sesudahnya. Jadi tidak mengambil satu
interpretasi penulisan Marxis atas Marxisme itu sendiri.
Terminologi:
Istilah budaya konsumen berbicara tentang dampak konsumsi massa atas kehidupan
sehari-hari. Dampak ini menyangkut perubahan pada:
tatanan simbolis
struktur makna, dan
perilaku sehari-hari.
Karena itu budaya konsumen berpijak pada produksi tanda terus menerus,
melimpahnya makna yang mengancam pemusnahan makna, dan mengingat
keinginannya untuk meloloskan semua makna budaya lewat penyaringannya, maka
semua perjuangan sosial sampai batas tertentu berarti perjuangan memperebutkan
tanda itu. Dengan kata lain perjuangan untuk menentukan dan menghasilkan makna
dalam proses yang bersifat sementara.
Warisan Marx:
Teori Marx memberikan semacam batas yang penting dalam bidang intelektual
sehingga para ahli teori sosial sejak Marx dapat dengan mudah dikelompokkan
menurut apakah mereka mengambil pendekatan Marxis atau non-Marxis. Apakah
seorang ahli teori setuju dengan posisi Marx atau tidak, ada beberapa segi kenyataan
sosial yang dia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun antara lain
adalah:
pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat
kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam
kelas berbeda
pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang
serta bentuk kesadaran, dan
pelbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur
sosial yang kiranya sangatlah penting
Kebanyakan para ahli teori sosial masa kini melihat kelas masyarakat kapitalis yang
jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan Marx, khususnya dalam melihat
pertumbuhan kelas menengah dan kenaikan upah buruh. Lebih dari itu, para ahli teori
masa kini jauh lebih besar kecenderungannya daripada Marx dalam melihat sejumlah
kemungkinan untuk perubahan struktur sosial yang penting dalam sistem kapitalis
tanpa revolusi yang kejam. Namun model analisa dialektis Marx, meskipun tidak harus
digunakan dalam bentuk seperti yang digunakan Marx, sudah merangsang sejumlah
ahli teori masa kini untuk melihat sejumlah kontradiksi internal serta konflik yang
terkandung dalam struktur sosial. Perubahan sosial sosial umumnya dikenal sebagai
hasil dari usaha mendamaikan kontradiksi dan konflik seperti itu
Dalam Teori Kritironya Habermae model analisa Aialektie Marx ini yaitu Iiaicktika
antara tenaga-tenaga produktif dam hubungan-hubungan produksi , merupakan
sebuah interdepensi yang percuma dicoba ditangkap Marx, karena arti 'dialektika' ini
terpaksa tak dapat dijelaskan selama faham materialistik sintesis manusia dan alam
dibatasi pada kerangka kategorial produksi.
0 dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu 0 dari manusia lainnya,
Alienasi ini oleh Habormas ditangkap sebagai sebuah fenomen yang oleh Marx muda
diuraikan sebagai "keterasingan" dan oleh Manx matang sebagai "sifat jimat fetish
character.") komoditi".
:Ciri-ciri Budaya Konsumen:
1) Dudoya masyarakat, konsumen sering diberi ciri materialis don sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari untuk
Membeli barang berarti membeli kesan don pengalaman don kegiatan berbelanja
bukan loo( suatu transaksi ekonomi 'sederhana' melainkan IcHh merupakan interaksi
simbolis dimana individu membeli don mengkonsumsi kesan. Tindak membeli itu
sendiri mungkin puba tergeser kebelakang, karena individu didorong untuk menikmati
konsumsi gaya hidup, untuk menjadi peraga yang sadar akan penampilannya Jan
kesan yang diberikannya waktu
Kesan-kesan ini -t!61.ak dapat dikatakan membentuk Ideolool pokok yang utuh
karena kesan terus menerus diproses ulang don makna barang don pengalaman
terus didefinisikan kembali. Segala- dapat dipertukarkan satu sama lain, dan
tampaknya tidak ado batas sampai ke mana berbagai makna yang selama in! jelas
don berdiri sendiri-sendiri dapat dipertukarkan.
R akhir abad ke-20 juga lebih jelas bahwa kesan-kesan yang berdiri sendiri-sendiri
&ion membentuk mimpi itu sebagian besar disaring melalui media Amerika, don
bahwa keinginan kita untuk mengenyam barang yang berlimpah ryah, mencapai
kepuasan diri, &ion menentukan nasib sendiri tidak mudah dilepaskan dari
mimpi-mimpi Amerika. Dominasi budaya yang progresif ini, yang sering diarahkan ke
imperialisme budaya atau imperialisme media telah dianggap sebagai ciri
Amerikanisasi 6. (Catatan: Istilah Amerikanisasi bukan
Ewen, 5. (1976), "Captains of Consciousness: Advertising anti the Social Rooto of the
Corloumer Culture", New York: McGraw-Hill.