Anda di halaman 1dari 13

UJIAN AKHIR SEMESTER

SEMESTER I-2014/2015
BUDAYA PADA DESAIN INTERIOR

KONSUMERISME

Disusun Oleh:

ISTIVADA
17312036

PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
TAHUN AJARAN 2014/2015

A. Pengertian konsumerisme
Dalam

kamus

bahasa

inggris-indonesia

kontemporer

(Peter

Salim,1996)

arti

konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada


mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagaina. Selain
itu arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa.
Dalam masyarakat komoditas atau komsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar
menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005).
pembelajaran ini dilakuakan melalui media sosisal yang banyak menekankan peningkatan diri,
pengembangan diri, transformasi personal, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisai ketika barang-barang mulai
diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini
menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani
produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Menurut cendikiawan prancis terkemuka ,
Jean Baudrillard secara umum media berperan sebagai agen yang menyebarkan imaji-imaji
kepada khayalak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar
dipengaruhi oleh kekuatan imagi tersebut.
Dalam wacna kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan
didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum kemajuan dan
kebaruan. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model
yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahm, 1997, hal.200)
Sumber : http://riskofdawn.blogspot.com/2011/10/konsumerisme.html. Ryzky Fjar. 12 desember
12.01
Konsumerisme adalah suatu pola pikir serta tindakan dimana orang melakukan tindakan
membeli barang bukan dikarenakan ia membutuhkan barang itu tetapi dikarenakan tindakan
membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepada dirinya sendiri. Menurut Yasraf Amir Piliang,
fenomena yang menonjol dalam masyarakat Indonesia saat ini, yang menyertai kemajuan
ekonomi adalah berkembangnya budaya konsumsi yang ditandai dengan berkembangnya gaya
hidup. Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumsi semakin beragam pada
masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta. Kalau dulu ada istilah yang populer
yakni Cogito Ergosum: Aku berpikir maka aku ada, tetapi sekarang istilah yang populer
adalah: I shop therefore I am: Aku berbelanja maka aku ada.

Konsumsi, menurut Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses
eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya
Peter N. Stearns[2] mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai
konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :
consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we need some preliminary
sense of what we are talking about. Consumerism describes a society in which many people
formulate their goals in life partly through acquiring goods that they clearly do not need for
subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition
shopping and take some of their identity from a posessionof new things that they buy and
exhibit. In this society , a host of institutions both encourage and serve consumerism.. from eager
shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer
employed toput new twists on established models, to advertisers seeking ti create new needs..
Menurut Trevor Norris[3], konsumerisme terkenal bersifat korosif dalam kehidupan
politik. Konsumerisme dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses dehumanisasi dan
depolitisasi manusia karena para warga negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah
menjadi konsumen yang sangat sibuk dan kritikus atau peneliti pasif.
Baudrillard sejak lebih dari dekade lalu telah menyadari fenomena konsumsi tersebut dalam
masyarakat sehingga kemudian menyatakan,
..with the advent of consumer society,we are seemingly faced for the first time in history by an
irreversible organized attempt to swamp society with objects and integrate it into an
indispensable system designed to replace all open interaction between natural forces,needs and
techniques

B. Asal Mula Konsumerisme


Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat konsumen.
Topik ini bahkan menjadifokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an. Terdapat
perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen.
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan munculnya
kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan
proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi
material dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-

alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar
manusia dengan kesadaran, kebudayaan dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh relasi
ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan oleh
kepemilikan pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan sebesarbesarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus dari pekerja. Tujuan kapitalisme
adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi
nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi
adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, diamana objek, kualitas dan tanda berubah
menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba
mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar
baru.Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian
kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi,
yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa menguasai hak
milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup. [4]
Horkheimer dan Adorno[5] mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan
rasionalitas

instrumental

dalam

lingkup

produksi

tampak

nyata

dalam

lingkup

konsumsi.Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya.
Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar (exchange value) karena nilai budaya yang
mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi
produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.
Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbolsimbol

secara

aktif.

Bahkan

menurut

Baudrillard,

yang

dikonsumsi

bukan

lagi use atau exchangevalue, melainkan symbolic value, maksudnya orang tidak lagi
mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai
simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Konsumsi pada era ini diangap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi
dari mekanisasi dan tehnologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya ekspresi

diri yang penting, bahasa umum yang kita guinakan untuk mengkomunikasikan dan
menginterpretasi tanda-tanda budaya.
Ilmuwan yang lain berargumen bahwa konsumersime merupakan fenomena abad 20 yang
dihubungkan dengan munculnya komunikasi massa, bertumbuhnya kesejahteraan dan semakin
banyaknya perusahaan modern. Konsumerisme menjadi sarana utama pengekspresian diri,
partisipasi dan kepemilikan pada suatu masa dimana institusi komunal tradisional, seperti
keluarga, agama dan negara telah terkikis.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan meningkatnya ketertarikan masyarakat
terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap pengulangan yang sangat cepat dari
hal-hal yang lama atau pencarian terhadaphal yang baru: produk baru, pengalaman baru dan citra
baru.
Apa yang penting dari analisa ini adalah adanya perubahan bertahap pada abad ke 20 dari
sentralitas produksi barang-barang menjadi kepentingan politis dan budaya dari produksi
kebutuhan.
Pandangan Baudrillard memberikan analisis yang original tentang masyarakat konsumen,
dan juga dapat menjelaskan bagaimana struktur komunikasi dan sistem tanda mampu
mempertahankan eksistensi masyarakat konsumen tersebut.
Analisa Baudrillard tentang masyarakat konsumsi disarikan melalui analisa dari disiplin
semiotika, psikoanalisa dan ekonomi politik dalam produksi tanda. Menurut Baudrillard, sistem
komunikasi berperan sangat penting dalam masyarakat konsumen, terutama menyangkut
produksi tanda.
Douglas Kellner menjelaskan, bahwa menurut Baudrillard, Modernisme berkaitan dengan
proses produksi objek, sedangkan posmodernisme concern terhadap simulasi dan produksi tanda.
Modernity thus centered on the production of thingscommodities and products, while
postmodernity is characterized by radical semiurgy, by a proliferation of signs
Sependapat dengan para pemikir posmodernisme perancis lainnya, Baudrilard juga
mengemukakan kritik terhadap teori Marx. Kritisme paling utama dari Baudrillar terhadap teori
Marx mungkin berkenan dengan perubahan dari produksi objek menjadi produksi tanda, dari
alat-alat produksi menjadi lat-alat konsumsi atau the simultaneous production of the commodity
as sign and the sign as commoditty

Dominasi tidak lagi terjadi dalam bentuk kontrol terhadap alat-alat produksi ,namun
dominasi lebih banyak terjadi pada alat-alat konsumsi. Terlebih lagi, dominasi tersebut terjadi
pada tingkatan model signifikansi (dulunya model produksi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, menurut Baudrillard, masyartakat konsumen tidak lagi digerakkan oleh
kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang sangat besar.
Sehingga maslah-masalah yang timbul dalam sistem masyarakat konsumen tersebut tidak lagi
berkaitan dengan produksi melainkan dengan kontradiksi antara level produktifitas yang lebih
tinggi dengan kebutuhan untuk mengaturbaca: mendistribusikanproduk. Oleh karena itu,
kunci vital dalamsistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus permintaan
konsumen sebagai bagian dari sosialisasi yang terencanamelaluikode-kode
In planned cycle of costumer demand, the new strategic forces, the new structural
elementsneeds, knowledge, culture, information, sexualityhave all their explosive force
defused. In opposition to the competitive system, the monopolistic system institutes consumption
as control, as the abolition of the contingency of demand, as planed socialization by code..
Needs lose their autonomy; they are coded. Consumptionno longer has a value of enjoyment; it
is placed under the constraint of theabsolutefinality which is that of production.
Production, on the contrary, is no lonegr assigned any finality other than itself. This total
reduction of the process to a signle one of it terms.. designates more than an evolution of the
capitalist mode: it is a mutation.
Bagi Baudrillard, yang menandai transisi konsumsi tradisional menjadi konsumerisme
adalah pengorganisasian konsumsi ke dalam suatu sistem tanda.
Traditional symbolic goods (tools, furniture, the house itself) were the mediatorsof the
real relationshipor a directly experienced situation, and their subject and form bore the clear
imprint of theconscious or unconscious dynamic of that relationship. They thus were not
arbitrary.
.. from the time immemorial people have bought, possesed, enjoyed and spent, but his does not
mean that they were consuming. It is the organizationof all these things into a signifying
fabric : consumption is the virtual totality of allobjects and messages ready constitued as a more
or less coherent discourse.. ..to become an object of consumption an object must be a sign.
That is to say: it must become external,in a sense, object to the systematic statusof asign implies
the simultaneous transformation of the human relationship of consumption.all desires,

projects, and demands, all passions and relationships, are now abstracted (or naterialized) as
signs and as objects to be bought and consumed.
Masyarakat sekarang semakin tidak mengidentifikasi diri mereka mengikuti pola-pola
pengelompokan tradisional, namun cenderung mengikuti produk-produk konsumsi, pesan dan
makna yang tersampaikan. Oleh karena itu, konsumsi dilihat sebagai upaya pernyataan diri,
suatu cara untuk bertindak dalam dunia ini, cara pengekspresian identitas seseorang. Konsumsi
didorong oleh hasrat untuk menjadi sama dan sekaligus berbeda, menjadi serupa dengan.. dan
berbeda dari.
Kegiatan konsumerisme ini tidak lagi didasarkan pada apa nilai guna dari barang itu bagi
kita atau exchange value, tetapi telah berubah menjadi symbolic value atau nilai-nilai simbolik
yang tercipta dalam dunia sosial dibalik barang yang dibeli. Hasilnya masyarakat konsumerisme
terkonstruksi melalui propaganda iklan mengenai suatu barang sehingga masyarakat tidak lagi
merdeka dalam pikirannya diri sendiri. Jika pemikiran yang terkonstruksi maka berapa pun
harganya akan dibayar tanpa memperdulikan nilai gunanya.
Oleh karena pemikirannya yang telah diisi oleh konsumerisme, maka hal yang paling
berdampak adalah struggle for shopping atau melakukan segala upaya semisal bekerja keras
untuk satu tujuan yakni kegiatan konsumsi yang hakikatnya hanya untuk kepuasan, bukan untuk
pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya. Dan kemudian masyarakat hanya berkeinginan menjadi
konsumen saja, tidak ada keinginan untuk mandiri dengan mendirikan usaha sendiri atau menjadi
produsen juga. Akhirnya pembangunan suatu negara pun menurun akibat perilaku masyarakat
yang seperti ini.
sumber : http://sweetbucks.blogspot.com/2012/06/konsumerisme-budaya-atau-gejala.html.
Guntur rahmatullah. 11 desember 2014 . pukul 11.28 WIB

C. Faktor terjadinya konsumerisme


Konsumerisme sebagai representasi identitas merupakan suatu cara memaknai barangbarang atau komoditi secara simbolik, yaitu sebuah sikap konsumsi yang merujuk pada cara
orang-orang berusaha menampilkan individualitas mereka dan cita rasa mereka melalui
pemilihan barang-barang tertentu dengan personalisasi barang-barang tertentu. Individu secara
aktif menggunakan barang-barang konsumsipakaian, rumah, furniture, dekorasi interior,

mobil, liburan, makanan dan minuman, juga benda-benda budaya seperti musik, film dan seni
dengan cara-cara yang menunjukkan selera atau cita rasa pribadi.
Konsumerisme di sini mengepresikan keinginan untuk menjadi orang lain, keinginan menempati
strata sosial yang lebih tinggi, dan keinginan menjadi berbeda. Saat keinginan-keinginan
tersebut diwujudkan dengan aksi konsumsi, saat itulah terjadi proses pelabelan identitas.
Proses pelabelan identitas diri oleh Giddens didefinisikan sebagai Suatu proyek yang
diwujudkan yang dipahami oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri dan
cara-cara menceritakan tentang identitas personal dan biografi.
Proses tersebut mereka lakukan untuk mengidentifikasi diri dan membedakan diri mereka
dengan kelompok lainnya. Dengan demikian, praktik-praktik konsumsi kemudian dipahami
sebagai sebuah perjuangan memperoleh posisi sosial. Pierre Bordiaeu dalam hal ini menyatakan,
Individu-individu berjuang meningkatkan posisi sosial mereka dengan cara memanipulasi
representasi budaya situasi mereka dalam lapangan sosial. Mereka mencapai ini sebagian dengan
mengukuhkan rasa superior dalam selera dan gaya hidup dengan sebuah pandangan untuk
melegitimasi identitas diri sebagai representasi terbaik yang berarti menjadi apa yang seharusnya
menjadi.
Pencarian identitas membuat individu berlomba-lomba untuk mencari pahlawanpahlawan yang mereka tiru dan mereka ikuti. Sampai pada tataran itulah akhirnya sebuah
perilaku konsumsi menjadi sebuah proses membentuk gaya hidup (lifestyling). Sovay Gerke
mendefinisikan:
Lifestyling refers to the simbolic dimension of consumtion and can be defined as the display of
a standard of living that fact unable afford.
Sedangkan Chaney mendefinisikan sebagai proses aktualisasi diri, di mana para aktor
secara refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus hidup dalam suatu konteks
interdependensi global. Ia menentukan kesuksesan dan kegagalan individu dan dipandang
sebagai cara penting untuk menunjukkan aspek dari perubahan relasi-relasi individualitas dan
komunitas melalui aturan, peranan, dan hubungan serta kriteria yang tampil sebagai alternatif
untuk bisa menyesuaikan dengan kehidupan.
Gaya hidup (lifestyle) berbeda cara hidup (way of life). Suatu cara hidup dikaitkan dengan
suatu komunitas yang kurang lebih stabil dan ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual,
pola-pola tatanan sosial, dan mungkin juga suau komunitas dialek atau cara berbicara yang khas.

Cara hidup berdasarkan pada bentuk-bentuk sosio-struktural seperti pekerjaan, gender, lokalitas,
etnisitas, dan umur, dan tidak akan hilang karena bentuk-bentuk identifikasi baru. Sedangkan
gaya hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu
kehidupan sehari-hari dengan nilai simbolik. Sebuah cara bermain dengan identitas yang
memungkinkan perubahan suatu individu atau komunitas.
Chaney secara khusus menyebut gaya hidup adalah Hobi-hobi para elit yang sangat
unggul dan mungkin juga para elit ketinggalan dalam inovasi terhadap benda-benada jasa dan
simbolik. Begitu pula dengan kesempatan-kesempatan bagi para pemimpin, penampil, dan caracara mobilitas sosial lainnya. Tapi meskipun Chaney menyebut gaya hidup adalah milik para
elit (high class, pen.), namun ia juga tidak bisa memungkiri bahwa terdapat proses-proses
pertukaran, strategi, dan inovasi yang dilakukan golongan bawah (lower class, pen.) untuk
menjangkaunya sehingga permainan gaya hidup tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang
memiliki previlege secara ekonomi saja.
Bourdieu dan Savage menyatakan bahwa persoalan gaya hidup terutama sekali dikaitkan
dengan mereka yang relatif berhasil dalam menjangkau modal simbolik berdasarkan kualifikasi
pendidikan dan mereka kemudian membentuk suatu kelas jasa baru. Meski begitu, kesempatankesempatan bagi inovasi kreatif dalam pembentukan kembali kehidupan tidak ditentukan sematamata oleh sumber daya ekonomi. Kelompok-kelompok sosial dengan standar hidup yang rendah,
seperti para manula atau pengangguran, ataupun pekerja berpendapatan kecil, mereka ternyata
tidak bisa disisihkan dari perburuan tren dan mode gaya hidup yang sedang berlangsung.
Status ekonomi memang menetapkan batas tertentu bagi partisipasi individual dalam
tindakan konsumsi atau dalam kebebasan membuat pilihan, namun seperti yang dikatakan Lury
bahwa sekalipun kemiskinan menghalangi kemungkinan untuk berpartisipasi dalam konsumsi,
namun hal itu tidak bisa mencegahdalam arti sesungguhnya mungkin menghasutpartisipasi
dalam budaya konsumen. Konsumsi gaya hidup bukan monopoli kaum berduit saja, sebab kaum
miskin sekalipun ikut berlomba-lomba mencicipi kenikmatan bergaya, yaitu sebuah euforia
merayakan mode dan tren. Inilah yang dikatakan Lury sebagai proses reproduksi sosial. Kelaskelas dalam kompetisi dengan upaya masing-masing memaksakan habitus atau sistem klasifikasi
mereka terhadap kelas lain sebagai perjuangan untuk menjadi dominan. Mereka inilah yang
disebut Sovay Gerke:

Those who were not able to pursue a middle-class lifestyle felt the sosial pressure to give their
life a middle-class touch.
Perjuangan kelas bawah tersebut dimungkinkan terjadi karena bergaya bagi manusia
modern tidak hanya untuk menyembunyikan pribadi (concealment), melainkan juga merupakan
aksi untuk pelampiasan (unburdening). Adapun bentuk-bentuk lifestyling tersebut menurut Lury
dapat

terjadi

dalam

tiga

macam

bentuk:

1)

penyamaran (masquerade);

2)

peniruan (imitation); dan penggabungan(incorporsation). Atas dasar itulah urusan gaya hidup
bukan hanya milik golongan the have saja, sebab orang miskin sekalipun masih bisa mencomot
dan memakai model gaya hidup tertentu meskipun dengan meniru-niru atau berpura-pura.
Seperti halnya orang berduit juga bisa berlagak miskin karena pilihan gaya.
Walters berpendapat bahwa suatu gaya hidup didefinisikan melalui tiga pengaruh yang
saling

berkaitan,

mengacu

sebagai

tiga

C: condition (kondisi), choice (pilihan),

dan cognition (kognisi). Ketiganya menyajikan seperangkat faktor dengan masing-masing bagian
pokok berperan sebagai suatu jaringan pengaruh yang berinteraksi untuk menentukan apakah
salah satu bentuk dari penyimpangan menjadi pusat perhatian kehidupan seseorang.
Faktor-faktor yang mempengaruhilifestylization tersebut dirumuskan Lury ke dalam
empat macam, yaitu:
1) Perubahan dalam proses komodifikasi yang dikaitkan dengan produksi untuk pasar;
2) Perbahan dalam hubungan antara berbagai siklus produksi dan konsumsi yang terdapat dalam
masyarakat kontemporer;
3) Peningkatan dalam kekuatan relatif konsumen vis--vis produsen dalam beberapa siklus;
4) Peningkatan dampak sistem seni-budaya dan pentingnya penggunaan barang-barang budaya,
bukan hanya dalam sistem itu sendiri, tetapi sebagai sebuah model konsumsi untuk barangbarang lain.
Gaya hidup menjadi bagian yang sangat penting karena ia merupakan lingua
franca manusia modern, sebuah alat komunikasi lintas yang penting untuk dapat bergaul,
bekerja, berkencan, bersaing, dan berhasil menjadi seseorang. Menjadi seseorang artinya
mempunyai identitas yang dapat dipahami lingkungan barunya. Identitas itu disusun dari pilihan
tata rambut, pakaian, tas, cara bicara, alat transportasi, acara waktu luang, wilayah huni, dan
seterusnya. Semuanya lebih banyak berfungsi komunikatif ketimbang ekonomis. Seperti apa
yang dikatakan Sovay Gerke berikut: Lifestylisation was a means to culturalise sosial

distinctions, to cultivate perception of difference in relation to other strategic groups and at the
same time, to strengthen group identity and group spirit.[20]

Sumber :
http://nafauziyah.wordpress.com/2011/11/11/konsumerisme-dan-proses-pembentukan-gayahidup-lifestylisasi1/
Kajian Budaya & Gaya Hidup by Ana Fauziyah
12 desember 2014 . pkl 11.37

1. Teori Produksi Karl Max Teori ini mengetengahkan pertentangan antara kaum buruh dan kaum
pengusaha. Di dalamnya didapati konsep mengenai ideologi, fetisisme komoditas dan reifikasi.
Hal ini mengarahkan pada pencarian sosok yang paling bertanggungjawab dalam pembuatan
pencitraan dan fenomena konsumerisme sekaligus komoditas yang ditunjukkan dan pola
pengasingan masyarakat yang terjadi.
2. Teori Pasca Strukturalisme Telaah strukturalisme menunjukkan perilaku konsumsi dijalankan
oleh pemaknaan yang terjadi. Dari perspektif struktural, yang dikonsumsi adalah tanda (pesan,
citra) dan bukan sekedar komoditas. Dari situ dapat didefinisikan hubungan semuanya dengan
seluruh komoditas dan tanda. Dengan strukturalisme bahkan dapat juga dijangkau logika bawah
sadar berupa kode dan tanda.

sumber
http://fajar_riski_s-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-60919-UmumKONSUMERISME%20DI%20KALANGAN%20REMAJA.html
fajar_riski
12 desmber 2014 pkl 12.14

D. Contoh desain konsumerisme

Images of luxury home living room interior design ideas.


Sizes: 600 x 603 , 346.3 KB

Source Website: http://zeospot.com/luxury-victorian-france-style-apartment-design/luxury-homeliving-room-interior-design-ideas/

Ultra Luxury Living Room Interior Design by Altamoda

Sumber : Ultra Luxury Living Room Interior Design by Altamoda - Interior Design and Furniture
Trends.html

15 Four poster canopy bed for romantic bedroom

royal bedrooms with luxury curtains 2015 ,


royal bedrooms 2015 interior design,
luxury bedroom furniture ideas 2015
luxury bedroom furniture ideas 2015

Italian charms bedroom in classic style

Sumber :
interldecor.blogspot.com/Royal bedroom 2015 luxury interior design furniture.html

Melihat contoh desain konsumerisme untuk desain interior lebih mengarah pada desain
luxury yang sebagian besar memperlihatkan gaya klasik. Kembali melihat sejarah konsumerisme,
pertama kali konsumerisme terjadi dikalangan bangsawan yang memperlihatkan status sosial
yang dimiliki. Gaya klasik seperti ini hanya dimiliki oleh para bangsawan di eranya dan sampai
sekarang masih menjadi simbol status sosial namun dengan padu padan yang sesuai serta
penggunaan material yang lebih berkualitas sehingga kesan mewah itu tersampaikan dengan baik.
Tidak terlihat norak namun terkesan megah dan mewah.

Anda mungkin juga menyukai