Anda di halaman 1dari 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344443209

GAYA HIDUP MINIMALIS (Sebuah Tandingan Terhadap Gaya Hidup


Konsumerisme)

Article · October 2020

CITATIONS READS

0 1,370

1 author:

Ridwan Arma Subagyo


Universitas Negeri Surabaya
6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Sociology View project

Sociology of Development View project

All content following this page was uploaded by Ridwan Arma Subagyo on 01 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


GAYA HIDUP MINIMALIS
(Sebuah Tandingan Terhadap Gaya Hidup Konsumerisme)

Zaman modern seperti saat ini ditandai dengan masyarakat konsumer yaitu masyarakat
yang gemar mengkonsumsi berbagai macam hal dalam hidupnya (Umanailo, Mansyur,
Sukainap, 2018). Masyarakat tentu tidak akan pernah terlepas dengan konsumsi untuk
mempertahankan eksistensinya. Konsumsi sendiri diartikan sebagai kegiatan menggunakan
produk barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun di zaman modern konsumsi
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup namun juga terdapat kebutuhan-kebutuhan lain
yang tidak kalah penting dengan kebutuhan hidup. Konsumsi telah mengalami pergeseran
makna sehingga memunculkan sebuah budaya tersendiri dan menciptakan masyarakat
konsumer.

Jean Baudrillard mencirikan masyarakat konsumer sebagai masyarakat yang di


dalamnya terjadi pergeseran logika dalam konsumsi, yaitu dari logika kebutuhan menjadi
logika hasrat. Atau dengan kata lain masyarakat tidak lagi mengkonsumsi nilai guna produk
melainkan nilai tandanya (Piliang dalam Suyanto dan Sutinah, 2015). Bagi masyarakat
konsumer mengkonsumsi nilai tanda dianggap lebih penting daripada nilai produk. Konsumsi
nilai tanda dapat membentuk kepuasan dan citra diri tersendiri bagi seseorang. Selain itu, status
sosial juga ditentukan oleh tanda yang dikonsumsi seseorang bukan apa yang diproduksi. Latar
belakang semacam ini mengakibatkan masyarakat selalu ingin memiliki dan mengkonsumsi
berbagai macam produk sebagai pemenuhan terhadap tanda-tanda. Alhasil konsumsi telah
menjadi budaya tersendiri dalam masyarakat konsumer sekaligus memunculkan gaya hidup
konsumerisme.

Gaya hidup merupakan sebuah hal yang tidak terbantahkan di zaman modern. Istilah
gaya hidup mengandung pengertian sebagai cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan,
pandangan, dan pola-pola respons terhadap hidup, serta perlengkapan untuk hidup (Donny
dalam Suyanto dan Sutinah, 2015). Gaya hidup bukan merupakan sesuatu yang natural
melainkan konstruksi budaya dalam mengartikan tindakan dan dunianya. Selera dan cita rasa
dikontruksi melalui iklan sehingga telah membutakan masyarakat untuk mengkonsumsi
berbagai macam hal. Iklan memainkan berbagai macam citra dan tanda untuk tampil memukau
di hadapan masyarakat. Permainan iklan mengakibatkan masyarakat mengkonsumsi sesuatu
bukan untuk memenuhi kebutuhannya melainkan hanya mengkonsumsi makna-makna
simbolik saja. Terpaan iklan yang massif dan sporadis ini pada akhirnya telah menggeser
budaya masyarakat sederhana menjadi budaya konsumer (Solihin, 2015).

Di era globalisasi, budaya konsumer telah menyebar ke berbagai wilayah di dunia


sehingga menyebabkan terjadinya gaya hidup konsumerisme. Gaya hidup ini memandang
bahwa untuk tetap eksis harus mengkonsumsi berbagai macam barang dalam segala aspek.
Padahal yang selama ini masyarakat konsumsi hanyalah symbol semata yang
merepresentasikan sebagi citra, kesenangan, fantasi, imajinasi, serta harga diri di masyarakat.
Gaya hidup semacam ini memang cenderung menyenangkan karena dapat memiliki segala
sesuatu yang diinginkan, bukan sekedar apa yang dibutuhkan (Soedrajad, 2018). Namun
disadari atau tidak dengan mengkonsumsi berbagai macam barang telah membuat sebuah
permasalah sendiri dalam hidup konsumen. Hasrat yang tinggi serta bujuk rayuan manis iklan
telah mengantarkan konsumen untuk memenuhi hidupnya dengan barang, meskipun itu semua
hanya sebagai pemuas hasrat incidental saja. Terabaikannya logika kebutuhan menjadi logika
hasrat memiliki arti bahwa selama ini masyarakat hanya mengumpulkan barang-barang tidak
berguna. Akibatnya hidup mereka dipenuhi oleh barang yang sebenarnya sampah dari ilusi
yang mereka konsumsi selama ini.

Gaya hidup konsumerisme sebenarnya telah melenceng dari esensi ‘konsumsi’ itu
sendiri. Gaya hidup ini hanya menjebak masyarakat dalam sebuah kebutuhan semu dalam
hidupnya. Herbert Marcuse berpendapat bahwa konsumerisme mendorong kebutuhan palsu
dan kebutuhan ini bekerja sebagai sebuah kontrol sosial (Parmadie, 2015). Kebutuhan palsu ini
yang kemudian menjerat masyarakat untuk terus mengkonsumsi sebanyak mungkin. Namun
kebutuhan ini tidak pernah mengeyangkan masyarakat. Gaya hidup konsumerisme kemudian
memunculkan potensi baru yang berbahaya bagi seseorang. Kebiasaan mengkonsumsi
berbagai macam hal pada akhirnya memunculkan pemborosan dan pada dampak terburuknya
adalah tidak dapat memenuhi kebutuhan karena sudah tidak ada lagi dana atau tabungan
(Soedrajad, 2018).

Jeratan gaya hidup konsumerisme yang telah membuat persoalan-persoalan di


masyarakat pada tahapan tertentu memunculkan sebuah jalan keluar alternatif baru. Saat ini
mulai muncul sebuah gaya hidup minimalis sebagai tandingan terhadap gaya hidup
konsumerisme. Konsumerisme yang selama ini membuat masyarakat mengkonsumsi ide
sebanyak mungkin (Jacky, 2015) mulai mendapat perlawanan dari gaya hidup minimalis. Gaya
hidup minimalis ingin mengembalikan esensi dari konsumsi yaitu menggunakan sesuatu
berdsarkan nilai gunanya bukan nilai tanda yang telah dikontruksi oleh logika hasrat.
Munculnya gaya hidup ini sekaligus sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat bahwa
selama ini industri budaya melalui permainan media iklan dengan berbagai macam tanda telah
menjebak masyarakat dalam kebutuhan semu. Gaya hidup minimalis membantu seseorang
untuk memiliki kebiasaan yang lebih sederhana karena hanya cenderung hanya mengkonsumsi
sesuatu yang benar-benar dibutuhkan. Dengan mengikuti gaya hidup minimalis seseorang akan
dapat menghindari penumpukan symbol-simbol sebagai representasi barang yang sebenarnya
tidak berguna. Alhasil gaya hidup ini mengajarkan untuk melakukan penghematan dan keluar
dari kesadaran palsu yang selama ini menjebak masyarakat. Akhirnya gaya hidup ini
merupakan sebuah solusi dalam menghadapi berbagai gempuran dari budaya konsumer
sehingga mampu menciptakan The Real Consumtion Society bukan Pseudo Consumtion
Society.

Referensi

Jacky, M. 2015. Sosiologi Konsep Teori dan Metode. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Parmadie, B. “Cultural Studies : Sudut Pandang Ruang Budaya Pop” dalam Jurnal Studi
Kultural Vol. 2 No. 1 Tahun 2015.
Soedrajad, Mochammad Rijaal. 2018. Masyarakat Konsumsi di Era Global - Studi Kasus
Pengaruh Media dan Kecemburuan Sosial Terhadap Barang “Branded”. Depok :
Departemen Filsafat Universitas Indoenesia.
Solihin, Olih. “Terpaan Iklan Mendorong Gaya Hidup Konsumtif Masyarakat Urban” dalam
Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. Vol. 5 no. 2. Desember 2015.
Suyanto, Bagong & Sutinah. 2015. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan
Edisi Ketiga. Jakarta : Prenada Media Grup.
Umanailo & Mansyur & Sukainap. “Konsumsi Menuju Kontruksi Masyarakat
Konsumtif” dalam Simulacra. Vol. 1 No. 2. November 2018.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai