Anda di halaman 1dari 5

Definisi Sosial

Paradigma definsi sosial fokus kajiannya tentang tindakan sosial (social conduct)
merupakan tindakan subyektif yang penuh arti, yang harus di tafsirkan dan dipahami
(interpretative understanding). Tindakan individu, asumsinya bahwa tindakan mengandung
makna subyektif dan bersifat membatin. Manusiaadalah aktor yang penuh kreatif dan aktif dalam
realitas sosialnya. Oleh karena demikian maka mendefinisikan perempuan harusnya sesuai
dengan realitas obyektif, tindakan perempuan penuh makna dan arti serta sebagai manusia kreatif
dan cerdas. Tetapi dalam praktik, mendefisikan perempuan hanya sebagai makhluk reproduksi,
bukan sebagai makhluk produktif; perempuan diposisikan sebagai makhluk yang pantas
dirumahkan, sebab bila keluar banyak risiko dan secara normatif tidak "pantas" di luar rumah.
Pada masa modern tuduhan terhadap perempuan semakin tajam, jadi tertuduh yang
menyebabkan rusaknya moral generasi muda, karena perempuan sudah mulai meninggalkan
rumah. Mestinya perempuan kembali berfungsi sebagai "bunda Eva". Lebih parah lagi
perempuan didefinisikan sebagai penggoda, penyebab terjadinya penyimpangan seksual. Definisi
sosial demikian perlu ada perlawanan yang gencar, tidak cukup dengan peringatan hari ibu atau
gerakan sayang ibu, tetapi melawan norma yang memosisikan perempuan sebagai sumber
masalah. Secara sosiologis hal demikian perlu adanya redefinisi sosial tentang makna tindakan
yang sesuai realitas obyektif tentang peran perempuan dengan memberikan simbol-simbol aktif
dan kreatif bagi kaum perempuan.

Strukturasi Kekerasan
Pendekatan lain untuk mengantisipasi kelemahan paradigma sosiologi fakta sosial dan
definisi sosial adalah teori strukturasi dari Giddens. Ringkasan teorinya (Priyono, 2002): Bahwa
paradigma fakta sosial dan definisi sosial merupakan dualisme yang terdiri obyektivisme dan
subyektivisme. Obyektivisme yang merepresentasikan diterminisme struktural, struktur
mengatur individu, imperatif struktural atau struktur menjadi pedoman. Sementara
subyektivisme merupakan gambaran individu yang voluntarisme, struktur tidak menjadi
pedoman atau tidak mengatur individu, tetapi individu itulah yang menentukan kinerjanya dalam
struktur. Strukturasi dari Giddens menawarkan alternatif bahwa realitas obyektif adalah praktik
sosial yang beruiang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang, yang merupakan titik temu
antara subyektivisme (definisi sosial) dan obyektivisme (fakta sosial). Praktik sosial merupakan
hubungan antara pelaku (tindakan) dan struktur berupa relasi dualitas. Dalam pandangan
strukturasi obyektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan dan
praktek sosial yang dilakukan. Oleh karena itu ada tiga gugus struktur yaitu:
1. Struktur penandaan atau signifikansi yang menyangkut simbolis, pemaknaan, penyebutan,
dan wacana.
2. Struktur penguasaan atau dominasi yang menyangkut skema penguasaan atas orang
(politik) dan barang produktif (ekonomi).
3. Struktur pembenaran atau legitimasi yang menyangkut peraturan normatif.
Kaitan ketiga struktur tersebut menyatakan bahwa reproduksi sosial dilahirkan melalui
dualitas struktur (fakta sosial dan definisi sosial) dalam praktik sosial. Kinerja peran perempuan
dalam dimensi strukturasi adalah gambaran yang ada sekarang, perempuan masih menghadapi
tindak kekerasan.
Strukturasi kekerasan terhadap perempuan prosesnya berjalan dimulai dengan penandaan
atau signifikasi terhadap perempuan sebagai kelas sosial nomor dua setelah laki-laki di berbagai
bidang kehidupan. Penandaan tersebut kemudian dibingkai dengan interpretasi yang tertanam
kuat atau terinternalisasi. Penandaan atau simbol perempuan sebagai kelas dua demikian sudah
ada tertanam dalam nilai-nilai budaya msyarakat, seperti terjadi dalam budaya pendidikan,
budaya makan, budaya rumah tangga cenderung bias gendernya. Hasil simbolisasi demikian
diperkuat dengan dominasi kaum laki-laki dengan memosisikan kaum perempuan sesuai selera
dan kepentingan laki-laki, dapat saja bentuk relasi sosialnya seperti hirarki "kaula-gusti" atau
"abdi-dalem". Perempuan dibuat posisinya teralienasi yang dikuatkan dengan kelembagaan
kelembagaannya (keluarga, perkawinan, agama, ekonomi, budaya, dan politik) untuk
melestarikan kekuasaan laki-laki, dengan memosisikan perempuan menjadi terdominasi,
tersubordinasi atau tereksploitasi. Selanjutnya kondisi demikian dilegitimasi dengan norma-
norma seperti pantangan (pacaduan), pamali, dosa tidak pantas (istri menentang suami) yang
berlindung di balik ajaran agama. Akhirnya konstitusi dari masyarakat dalam interaksi antara
laki dan perempuan ada dalam koridor kekuasaan laki-laki dan sangsi yang memihak laki-laki,
seperti kutukan atau sangsi. Realitas sosial obyektif gambaran seperti ini masih ada masyarakat
tertentu yang eksklusif, meskipun sudah mulai banyak perlawanan dari kaum modernis.
Feminisme Marxisme
Aliran ini mulai bekembang di Jerman dan Rusia. Beberapa tokohnya antara lain Clara
Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Feminisme Marxis berpendapat bahwa
ketertinggalan perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat
dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme
(Yunahar Ilyas, 1996; 48). Menurut mereka tidak mungkin perempuan dapat memperoleh
kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih tetap hidup dalam mayarakat berkelas.
Aliran ini menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat bedasarkan jenis kelamin
dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya
lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para
teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki, kerena faktor biologis dan latar
belakang sejarah.
Dalam perspektif feminisme marxis, sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah
kesatuan produksi. Semua kebu-tuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan oleh
semua anggota keluarga termasuk perempuan (Yunahar Ilyas, 1997: 48). Tetapi setelah
berkembangnya sistem kapitalisme industri, keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi.
Kemudian terjadilah pembagian kerja secara seksual, dimana laki-laki berkerja di sektor publik
yang bersifat produktif dan bernilai ekonomis, sedangkan perempuan bekerja di sektor domestik
yang tidak produktif dan tidak bernilai ekonomis. Karena kepemilikan materi menentukan nilai
eksistensi seseorang, akibatnya perempuan yang berada dalam sektor domestik yang tidak
produktif dinilai lebih rendah dibanding laki-laki di sektor publik yang produktif.
Unsur kunci yang membedakan feminisme Marxis dari teori feminisme lainnya terletak
pada anggapannya bahwa penindasan kelas merupakan penindasan utama. Penindasan kelas
khususnya dikaitkan dengan cara kapitalisme menguasai perempuan dalam kedudukan-
kedudukan yang direndahkan. Di dalam sistem kapitalisme perempuan telah dipergunakan
sebagai tenaga kerja murah dan bodoh sehingga ada perbedaan skala upah berdasarkan jenis
kelamin.
Perempuan ditekan karena adanya struktur ekonomi. Kaum feminis Marxis beranggapan,
bahwa hanya setelah penindasan ekonomi dipecah-pecahkan, penindasan patriarki bisa
dihapuskan. Karena itu agar masyarakat berubah dituntut perubahan sosial yang radikal dalam
struktur ekonomi dan penghancuran ketidaksamaan berdasarkan kelas (Ollenburger dan Helen A.
Moore, 2002:25). Fokusnya di sini ialah pada faktor-faktor struktural mengenai penindasan
sebagai lawan dari kesempatan-kesempatan individu.
Seorang feminis Marxis klasik karya Friedrich Engels, The Origin of Family, Private
Property and The State (1972), menggambarkan hubungan antara kepemilikan pribadi dan
penindasan perempuan di dalam suatu kelas masyarakat. la menggambarkan keterkaitan antara
penindasan patriarkis terhadap perempuan di dalam masyarakat, dan penindasan proletariat oleh
borjuis. Sheila Rowbothan, juga melukiskan jalinan antara patriarki dan kapitalisme di dalam
Women's Conciousness, Man's World (1973) (MacKinnon, 1991:19). Di dalam kapitalisme,
kemampuan untuk memaksakan gagasan mengenai keluarga, masa kanak-kanak, feminitas dan
seksualitas, memperkuat serta mempertahankan kekuasaan laki-laki borjuis.
Karya Benston (1969) juga mencerminkan tradisi feminis Marxis awal, ketika ia
menekankan pentingnya nilai tukar buruh yang dibatasi dengan standar upah di dalam suatu
perekonomian pasar. Nilai tukar diperkirakan dan ditentukan oleh sistem kapitalis sebagai upaya
borjuis mencari laba (MacKinnon, 1991:31). Keuntungan kapitalisme diperoleh dari nilai
produksi yakni kesenjangan upah pekerja dan harga pasar untuk sebuah produk yang diambil
para pemiliknya sebagai laba. Upaya para pemilik untuk mengontrol nilai tambah menempatkan
mereka dalam konflik dengan kaum buruh yang berusaha memaksimalkan upah mereka sendiri.
Dengan adanya konflik tersebut, gagasan mengenai nilai tukar memperoleh signifikansi istimewa
bagi perempuan karena mereka semuanya adalah buruh yang tidak dibayar di dalam keluarga,
mencakup pekerjaan-pekerjaan reproduksi, perawatan anak, dan rumah tangga.
Tokoh lain dari kelompok ini adalah Von Werlhof (1988) dan Mies (1988) telah
memusatkan perhatian pada aplikasi teori Marxis untuk mendefinisikan kelas yang mencakup
perempuan. Maria Mies menjelaskan, panetrasi kapitalisme seringkali memisahkan perempuan
dari alat-alat produksi tradisional dan telah menciptakan perubahan di dalam pembagian kerja
secara seksual. Pertama, peran ekonomi perempuan telah dirusak karena peran pertukaran
diambil alih oleh laki-laki dari kelas yang tidak sama. Kedua, penerapan teknologi baru secara
geografis meruntuhkan peran-peran keluarga mereka. Pergerakan ke arah lingkungan baru bisa
jadi merusak aktivitas-aktivitas produksi tradisional perempuan (Ollenburger, 2002: 26-27). Pada
kedua perubahan tersebut pangkal ketidakadilan berakar pada campur tangan kapitalisme dengan
melalui imperialisme ataupun ekspor teknologi, pengendalian kapitalis untuk mendapatkan laba
dikenal sebagai mekanisme penindasan.

Anda mungkin juga menyukai