Anda di halaman 1dari 4

Nama : Helminia Salsabila

NIM :200731638083
Off : Pendidikan Sejarah C

TUGAS
SEJARAH DAN KEARIFAN LOKAL

Tugas : Mencari satu contoh penulisan sejarah lokal dari masa kolonial bahas tulisan tersebut
dan jelaskan perbedaannya dalam penulisan sejarah lokal modern

Contoh Penulisan Sejarah Lokal Kolonial


Penulisan sejarah lokal kolonial contohnya adalah ‘History of Java Karya Thomas Stamford
Raffles. Melalui buku ini Raffles secara gamblang mengupas jawa dalam seluruh aspek
kehidupan. Mulai dari keadaan geografis, informasi mengenai penduduk asli jawa, keadaan
pertanian, sistem perdagangan, kepercayaan dan upacara keagamaan, bahasa serta berbagai
hal seputar sejarah jawa dari awal tradisi sampai kemunculan islam dibawa Wali Songo yang
kemudian berlanjut sampai sejarah kedatangan inggris di pulau jawa. Rafles juga
menyinggung secara spesifik mengenai kepadatan penduduk. Menurutnya pada 1915 gejala
kelebihan penduduk (Over population) bakal terjadi di Jawa. Raffles mencatat pada tahun itu
populasi penduduk dipulau jawa sebanyak 4.615.270 jiwa. Orang jawa bagi Raffles lain
daripada yang lain. Raffles menggambarkan orang jawa sebagai orang pribumi yang tenang,
sedikit berpetualang, cenderung tidak melakukan usaha ke luar daerahnya, dan tidak mudah
terpancing untuk melakukan kekerasan atau pertumpahan darah. Raffles memiliki asumsi
sendiri untuk menggambarkan orang jawa sebagai orang yang tidak akan menimbulkan
kesulitan besar bagi penguasa kolonial yang baru, yakni inggris. Raffles juga menceritakan
bahwa pada 1814. Ia melaporkan tentang penemuan candi besar yang tertutup oleh semak
belukar di sekitar Magelang, Jawa Tengah, Ia kemudian mengutus perwiranya H.C.Cornelius
untuk mengunjungi candi besar tersebut,yang ternyata adalah borobudur.

Contoh Penulisan Sejarah lokal Modern


Pemberontakan Petani Banten 1888 adalah karya historiografi Sartono Kartodirjo yang
membahas pergolakan sosial, atau seperti yang disebut Sartono “kerusuhan”, di Banten 1888.
Ada beberapa arti penting penulisan sejarah yang dilakukan oleh Sartono Kartodirjo ini.
Pertama, karya ini merupakan studi awal mengenai gerakan sosial di Indonesia, sehingga
sampai sekarang karya-karya sejenis dengan ruang lingkup spasial dan temporal berbeda
bermunculan. Kedua, studi ini juga merupakan anti-tesis, yang ditulis Sartono sebagai kritik,
terhadap historiografi kolonial yang Belanda-sentris; menekankan pada lembaga-lembaga
pemerintah dan menganggap rakyat dan kaum tani memainkan peran pasif. Ketiga, studi ini
membangkitkan penulisan sejarah lokal, yang ternyata kompleks dan memiliki makna.
Keempat, pendekatan multi-dimensional yang digunakan Sartono juga tidak kalah penting. Ia
menyebutkan, tinjauan mengenai beberapa studi sebelumnya mengabaikan aspek-aspek
lain.Sartono pun menyatakan sejumlah studi mengenai gerakan sosial—pada saat itu—masih
terpencar-pencar. Keempat hal ini merupakan sumbangan bermakna bagi perkembangan
penulisan sejarah Indonesia, baik dari pemilihan topik sampai pendekatan yang digunakan.
Selain dari makna historiografi karya ini, lebih lanjut meninjau isinya. penjelasan
Sartono yang menyatakan bahwa pemberontakan petani Banten 1888 adalah gejolak yang
ditimbulkan gerakan milenari, karena dapat dibuktikan bahwa pemberontakan itu kental
dengan ramalan akan tibanya Mahdi dalam Islam. Disebutkan pula pertanda-pertanda lainnya
mengenai akan segera tibanya hari kiamat, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan
darah, wabah penyakit ternak, dan sebagainya. Bencana dan malapetaka itu ditafsirkan
berdasarkan ramalan-ramalan tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta
kecemasan yang besar di kalangan rakyat. Sejumlah bencana yang disebutkan sekitar masa
itu memang terjadi di Banten, misalnya yang populer adalah bencana letusan Gunung
Krakatau.
Selain itu, ketidaksukaan rakyat terhadap peraturan pemerintah, seperti penarikan pajak,
dan penetrasi administrasi kolonial hingga ke desa-desa menciptakan upaya untuk
menentangnya habis-habisan. Di dalam periode kesulitan sosial itu, saat rakyat dilanda
frustasi dan penetrasi kolonial yang menekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat
cocok untuk membangkitkan mereka agar melawan dominasi kolonial. Di samping itu,
gerakan pemberontakan ini bukan hanya gerakan kebangkitan agama, melainkan juga bentuk
gerakan protes politik. Sehingga pernyataan Residen Priangan “seluruh persoalan itu bersifat
politik dan bukan keagamaan” tidak dapat dikesampingkan. Meskipun saya tidak yakin
seluruhnya, karena gerakan itu muncul atas reaksi keprihatinan terhadap kemerosotan iman di
kalangan rakyat, tetapi kepentingan yang bersifat politik ada pula di dalamnya.
Secara sistematis, Sartono, setelah di awal buku menjelaskan mengenai konsep-konsep
awal dengan baik, menjelaskan pematangan dan jalannya pemberontakan dengan kronologis.
Dari pematangan sekiranya ada tiga tahapan yang dapat disimpulkan, yaitu proses
pematangan pada 1884, propaganda yang meluas dengan ditandai kepulangan Haji Marjuki
pada 1887, dan persiapan final sekaligus menjalankan pemberontakan pada 1888. Saat
persiapan final, pertemuan-pertemuan para pemimpin pemberontakan yang bersifat rahasia
dan terselubung dijelaskan jelas oleh Sartono. Tetapi, saat Sartono sendiri menanyakan
bagaimana hal tersebut tidak diketahui oleh pemerintah kolonial, ia hanya menjelaskan
bahwa hal itu disebabkan para pejabat pribumi menganggap aktivitas di masjid-masjid adalah
hal yang biasa di Banten, sehingga dari pemerintah kolonial pun tidak ada perhatian.
Gerakan pemberontakan di Banten itu, kendati Sartono memberikan judul sebagai
Pemberontakan Petani, juga dapat disebut sebagai pemberontakan para kyai, termasuk pula
para haji dan guru agama. Hal itu dapat ditinjau pada bab enam, Sartono secara khusus
menyatakan “akan memusatkan uraian kita tentang pemberontakan itu terutama pada
kegiatan pemimpin-pemimpin itu”, yang dimaksud pemimpin-pemimpin itu, seperti
disebutkan di awal bab itu ialah; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid.
Perang Sabil adalah analogi yang cukup menggambarkan bahwa peran para kiai cukup
signifikan. Porsi pembahasan yang tidak sedikit terhadap aktivitas para kiai itu menunjukkan
bahwa pemberontakan di Banten itu dapat disebut sebagai pemberontakan kiai, meskipun
secara profesi, seperti yang ditampilkan di lampiran, sejumlah kiai itu juga petani.
Keterlibatan para kiai itu juga dipertegas oleh Sartono sendiri dalam kesimpulannya,
gerakan di Banten itu memperoleh warnanya dari suatu versi eskatologi Islam dan dari
Mahdisme, yang dicampur dengan unsur-unsur nativistik kebudayaan Banten.
Tokoh messiah, Ratu Adil, yang merupakan pusat gerakan-gerakan mesianik Jawa pada abad
ke-19 sama sekali tidak dikenal di Banten. Namun, wajar bila Sartono menggunakan “petani”
sebagai pendekatan pada judul, karena tulisannya ini bertujuan mendorong pergeseran minat
historiografi ke arah Indonesia-sentris. Artinya, “petani” menjadi gambaran “rakyat” dan
sebagai bentuk perlawanan, atau anti-tesis dalam aktivitas akademis, terhadap historiografi
kolonial yang cenderung mengabaikan peran mereka.
Meskipun pemberontakan itu tidak berlangsung lama, dan tidak berhasil dengan
ditangkapnya para pemberontak dan vonis hukuman mati, gerakan itu adalah gambaran dari
benturan antara penduduk pribumi dan pemerintah kolonial, yang ditelaah oleh Sartono
menggunakan berbagai pendekatan, seperti kelas-kelas sosial, faktor kultural yang tertanam
dalam masyarakat Banten, agama, serta kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu.

Analisis perbedaan penulisan sejarah lokal kolonial dengan penulisan sejarah lokal
modern.
Didalam penulisan sejarah lokal kolonial fokus utamanya adalah kehidupan warga belanda
(Eropa) karena ditulis oleh orang-orang belanda atau eropa. Tujuan dalam penulisannya pun
yaitu untuk memperkuat kedudukan merek di Indonesia. ciri penulisannya adalah
Neerlandosentrisme dan Eropasentrisme, bersifat mitologis, bersifat subjektif, menabaikan
sumber lokal, berisi tentang sejarah orang-orang besar, dan bersifat deskriminatif. Sedangkan
Penulisan sejarah lokal modern atau nasional muncul akibat tuntutan untuk mendapatkan
fakta-fakta sejarah adapun ciri-ciri penulisan sejarah lokal pada masa modern yaitu bersifat
metodologis dimana sejarawan diwajibkan untuk menggunakan kaidah-kaida ilmiah, bersifat
kritis historis yakni menggunaan pendektan multidimensional, bersifat indonesia sentris,
sesuai cara pandang bangsa indonesia, mengandung character and nation building
(Pembangunan karakter bangsa) serta disusun oleh orang-orang indonesia sendiri.

Anda mungkin juga menyukai