NIM : 17407144013 Prodi/Kelas : Ilmu Sejarah/B Review Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Karya Sartono Kartodirdjo Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 merupakan suatu karya historiografi dari Sartono Kartodirdjo yang membahas tentang pergolakan sosial di Banten pada tahun 1888. Alasan Sartono menulis buku ini karena merupakan studi awal mengenai gerakan sosial di Indonesia, studi ini merupakan anti-tesis yang ditulis Sartono sebagai kritik terhadap historiografi kolonial yang Belanda-sentris, studi ini membangkitkan penulisan sejarah lokal yang kompleks dan memiliki makna, serta memperkenalkan pendekatan multidimensional dalam mengungkapkan sejarah. Dalam buku ini Sartono menjelaskan bahwa pemberontakan petani Banten 1888 adalah gejolak yang muncul akibat gerakan milenari karena pemberontakan itu kental dengan adanya ramalan akan datangnya Mahdi dalam Islam. Sebagai contohnya, sebelum keberangkatan Haji Abdul Karim ke Makkah ia mengumumkan kepada rakyat bahwa ia akan kembali ke Banten pada saat kedatangan Mahdi sedang dinantikan. Disebutkan pula akan segera datang hari kiamat dengan pertanda seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah penyakit ternak, dan sebagainya. Bencana dan malapetaka tersebut ditafsirkan dalam ramalan-ramalan sehingga menimbulkan emosi jiwa bagi rakyat sehingga muncul kecemasan besar di kalangan rakyat. Dan memang beberapa bencana tersebut terjadi di Banten, salah satunya yang terkenal yaitu bencana letusan Gunung Krakatau. Ketidaksukaan rakyat terhadap peraturan pemerintah, seperti penarikan pajak dan penetrasi administrasi kolonial hingga ke desa-desa menciptakan upaya untuk menentangnya habis-habisan. Saat rakyat dilanda frustasi dan penetrasi kolonial yang menekan tersebut, kepercayaan terhadap Mahdi merupakan alat yang cocok untuk membangkitkan mereka agar melawan dominasi kolonial. Dalam keadaan ini para kiyai terus berusaha menanamkan kecurigaan yang mendalam terhadap kolonial. Sosok Mahdi yang ada dalam imajinasi para “pemberontak” dapat dimaknai sebagai seorang revolusioner, sehingga tidak salah jika gerakan tersebut ingin melakukan upaya-upaya revolusi. Gerakan pemberontakan ini selain berdasar atas kebangkitan agama juga didasari oleh gerakan protes politik. Gerakan ini muncul atas reaksi keprihatinan terhadap kemerosotan iman di kalangan rakyat, tetapi kepentingan politik ada pula di dalamnya. Secara sistematis, Sartono menjelaskan pematangan dan jalannya pemberontakan secara kronologis. Ada tiga tahapan yang dapat disimpulkan, yaitu proses pematangan pada 1884, propaganda yang meluas ditandai dengan kepulangan Haji Marjuki pada 1887, dan persiapan final sekaligus menjalankan pemberontakan pada 1888. Saat persiapan final, pertemuan-pertemuan para pemimpin pemberontakan yang bersifat rahasia dan terselubung dijelaskan secara jelas oleh Sartono, tetapi saat Sartono sendiri menanyakan bagaimana hal tersebut tidak diketahui oleh pemerintah kolonial, ia hanya menjelaskan bahwa hal itu disebabkan karena para pejabat pribumi menganggap aktivitas di masjid-masjid adalah hal yang biasa di Banten, sehingga dari pemerintah kolonial pun tidak ada perhatian. Sartono menjelaskan jalannya pemberontakan secara runtut, dimulai dari peristiwa pertama yaitu penyerbuan rumah dinas seorang juru tulis di kantor asisten residen, sampai terjadinya serangan umum. Gerakan pemberontakan di Banten itu, kendati Sartono memberikan judul sebagai Pemberontakan Petani, juga dapat disebut sebagai pemberontakan para kiyai termasuk pula para haji dan guru agama. Dalam bab 6 Sartono secara khusus menyatakan “akan memusatkan uraian kita tentang pemberontakan itu terutama pada kegiatan pemimpin- pemimpin itu”, yang dimaksud pemimpin-pemimpin itu adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wahid. Para kiyai itu sering mengadakan pertemuan berkedok pesta, seperti pesta perkawinan yang diadakan oleh Bupati Pandeglang pada 28 Juni sampai 1 Juli 1888. Keterlibatan para kiyai itu juga dipertegas oleh Sartono sendiri dalam kesimpulannya, gerakan di Banten itu memperoleh warnanya dari suatu versi eskatologi Islam dan Mahdisme yang dicampur dengan unsur-unsur nativistik kebudayaan Banten. Sartono menggunakan “petani” pada pendekatan judul karena tulisan ini bertujuan mendorong pergeseran minat historiografi ke arah Indonesia-sentris. Artinya “petani” menjadi gambaran “rakyat” dan sebagai bentuk perlawanan atau anti-tesis dalam aktivitas akademis, terhadap historiografi kolonial yang cenderung mengabaikan peran mereka. Meskipun pemberontakan tersebut tidak berlangsung lama dan para pemimpin gerakan ditangkap dan divonis hukuman mati, namun gerakan ini adalah gambaran dari benturan antara penduduk pribumi dan pemerintah kolonial yang dijelaskan Sartono melalui pendekatan multidimensional. Pendekatan tersebut meliputi aspek-aspek seperti kelas-kelas sosial, faktor kultural yang tertanam dalam masyarakat Banten, agama, serta kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu. Sumber : “Ulasan Buku: Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo oleh Savran Billahi”, http://www.academia.edu/31726865/Ulasan_Buku_Pemberontakan_Petani_Banten_1888_S artono_Kartodirdjo.docx, diakses 16 Desember 2018.