Anda di halaman 1dari 15

Mitos, Ideologi, dan Ilmu

Oleh: Kuntowijoyo
Guru Besar Ilmu Sejarah UGM
Republika Senin, 27 Agustus 2001
Bagian Pertama
Knowledge is Power (Michel Foucault) Sejarah
kesadaran keagamaan umat Islam Indonesia ini sudah
pernah saya kemukakan pada 1985. Pada tahun itu
periodisasi sejarah kesadaran keagamaan umat yang
mutakhir ke dalam Periode Ilmu masih merupakan intuisi dan
prediksi sejarawan berdasarkan kesadaran tentang waktu,
proses, perkembangan, dan perubahan. Kata Marc Bloch,
sejarah adalah a science of human evolution. Sekarang, ada
alasan kuat untuk mengemukakannya kembali. Pada 2001 ini
periode mutakhir itu sudah menjadi kenyataan: Periode Ilmu
sudah dicapai. Pencapaian Periode Ilmu itu disebabkan oleh
mobilitas sosial secara individual, perkembangan sejarah
umat Islam Indonesia sendiri, dan karena hubungan
internasional umat melalui penerbitan serta hubungan
institusional.
Artikel ini terpengaruh oleh Hukum Tiga Tingkatan
yang di antaranya dipakai oleh Auguste Comte (1798-1857)
untuk
mendefini
sikan bahwa evolusi pemikiran manusia itu mengalami tiga
ting kat, yaitu teologis, metafisis, dan positif. Karenanya, kita
pun akan membagi tingkat itu menjadi tiga, yaitu mitos,
ideologi, dan ilmu. Kita akan menghubungkan mitos dengan
petani, ideologi dengan kaum terpelajar, dan ilmu dengan
kelompok profesional. Ketika umat Islam mengalami
mobilitas sosial, berubahlah alam pikirannya. Mobilitas sosial
pasti disertai mobilitas kultural, cepat atau lambat.
Periode Mitos
Periode ini berlangsung sebelum dan pada abad ke-19
serta awal abad ke-20. Bahkan, tanda-tanda periode ini
masih akan ditemukan sisa-sisanya selama masih ada petani.
Mitos adalah 'suatu konsep tentang kenyataan yang
mengandaikan bahwa dunia pengalaman kita sehari-hari ini
terus-menerus disusupi oleh kekuatan-kekuatan yang
keramat', demikian kata Berger dan Luck mann. Mitos adalah
juga salah satu bentuk kebudayaan, yang menurut Ernst
Cassirer adalah agama, filsafat, seni, ilmu, mitos, sejarah,

dan bahasa. Dalam sejarah Indonesia mitos jauh lebih tua


umurnya daripada sejarah. Cerita dan tokoh wayang adalah
mitos murni, sedangkan kisah dan tokoh para wali adalah
mitos bercampur sejarah. Hikayat, tambo, dan babad berisi
mitos. Bahkan, buku Sejarah Melayu juga berisi mitos itu,
sekalipun memakai nama 'sejarah'. Tidak seperti sejarah
yang berdasar kebenaran fakta, kisah dalam mitos juga
berdasar fakta tetapi selalu disamarkan.
Di Indonesia ada mitos lama, ada mitos baru, dan ada
mitos kontemporer. Mitos lama itu yang kebanyakan berupa
legitimasi, seperti misalnya 'raja-raja adalah turunan para
nabi dan dewa', 'raja adalah titisan dewa', 'raja mendapat
pulung kerajaan', dan 'raja mempunyai wahyu nurbuwat
yang memberi hak memerintah. Ada lagi mitos yang
mengungkapkan pandangan hidup, seperti misalnya ruwatan
untuk wong sukerta (orang kotor), raksasa makan bulan
waktu gerhana, larangan dan sanksi, dan bermacam
keharusan.
Penjajah menambah mitos tentang 'pribumi yang
malas', 'pribumi dapat hidup dengan sebenggol (dua
setengah sen), dan 'pribumi yang suka memberontak'. Mitos
baru yang biasanya berupa mitos politik, seperti misalnya
'Belanda dikalahkan jago kate bersenja ta tebu wulung',
'Jepang memerintah seumur jagung', 'Noyogenggong
dan Sabdopalon akan kembali setelah 500 tahun
menghilang', 'gemah ripah loh jinawi karto raharjo',
'Indonesia
dijajah
350
tahun',
'Indonesia Raya', '6000 tahun Sang Merah Putih', 'Pancasila
Sakti', 'Sang Saka yang keramat', dan 'pemimpin itu selalu
benar'. Mitos kontemporer kebanyakan bersifat komersial,
seperti 'keperkasaan pria', 'ramuan Madura', 'kelangsingan
tubuh', 'hotel berbintang', 'kebugaran tubuh', 'kualitas
ekspor', 'sepak bola', dan 'tinju dunia'. Kita lihat bahwa
komersialisasi mitos kontemporer itu kebanyakan terjadi
setelah ada budaya massa. Dari macam-macam mitos, akan
jelas bahwa mitos bukan khas milik petani, dan bukan milik
satu kebudayaan saja. Namun ada yang sama di antara
mitos-mitos itu. Mitos-mitos itu menurut George Sorel
sebagaimana dituturkan kembali oleh Ben Halpern adalah di
antar anya bersifat irasional.
Di masa lalu petani selalu tertekan, selalu ada di lapis
terbawah dalam hierarki kekuasaan, baik kekuasaan pribumi
maupun
Belanda.
Maka
petani
secara
irasional
mengharapkan datangnya Ratu Adil alias Imam Mahdi alias

Herucakra yang akan membebaskan mereka dan menjadikan


mereka hidup dalam tatanan dunia yang lebih baik. Maka, di
bawah ini akan diberikan tiga contoh gerakan sosial berdasar
mitos. Satu tentang Ratu Adil abad ke-19, satu dari
pergantian abad ke-20, satu lagi dari awal abad ke-20.
Pada 1871 ada gerakan Ratu Adil dipimpin oleh
Achmad Ngisa di Banyumas. Ia meramalkan bahwa Pangeran
Erucakra
akan
datang,
lengkap dengan tentaranya berupa hantu, lelembut, dan
binatang
beracun. Erucakara akan memimpin perlawanan terhadap
pemerintahan asing, mengusir orang-orang asing dari negeri
ini, dan memperbo lehkan mereka kembali dengan syarat
masuk Islam dan membatasi diri dalam perdagangan.
Setelah orang asing terusir, akan muncul tiga orang raja;
satu dari Majapahit, satu dari Pejajaran, dan satu lagi dari
Kalisalak (Pekalongan). Pada 1904 ada Peristiwa Kasan
Mukmin di Sidoharjo. Ia mengaku dirinya sebagai Imam
Mahdi.
Ia seorang pengikut tarekat Naqsyabandiyah, tidak
mempunyai langgar sendiri, tetapi mengajarkan ngelmu-nya
secara rahasia. Murid-muridnya percaya bahwa ia sanggup
menghadapi musuhnya sendirian, sebab mempunyai keris
yang dapat berputar-putar di udara. Pengikut-pengikutnya
dengan senang ikut pemberontakan karena dijanjikan surga.
Ia memimpin dzikir dan membagikan air zamzam sebelum
berperang pada 27 Mei 1904, bertepatan dengan hari
Garebeg Mulud. Akibat dari perang itu 40 orang meninggal,
20 luka-luka, dan 83 ditawan. Pada 1920 terdapat gerakan
Imam Mahdi di Gombong yang dipimpin oleh Raden Mashadi
alias Gusti Ahmad. Tetapi, ia dipenjarakan sebelum sempat
melakukan perlawanan.
Periode mitos dapat dikatakan sudah berakhir
menjelang abad ke-20. Namun, mitos-mitos masih ada
sepanjang
abad
ke-20,
bahkan
pada awal abad ke-21 ini sebagai kebudayaan yang
ketinggalan zaman (cultural lag). Kerusuhan berupa
penutupan jalan dengan penebangan pohon-pohon di
tepinya, pengrusakan sarana-sarana pendidikan dan ibadah,
dan pembakaran kantor sebuah partai yang terjadi pada Mei
2001 di Jawa Timur menunjukkan bahwa sekalipun periode
mitos sudah berakhir, tetapi mitos-mitos masih hidup.
Setidaknya ada dua ciri mitos yang muncul, yaitu
irasionalitas dan adanya pemujaan terhadap Ratu Adil. Mitos

itu dilengkapi dengan pasukan berani mati, olah kanuragan,


dan pimpinan keaga maan.
Kata orang pandai, tidak ada yang tidak berubah di
bawah
kolong langit kecuali perubahan itu sendiri. Maka, perubahanperubahan akan terus terjadi. Petani akan jadi farmer, artinya
petani yang berkebudayaan kolektif akan menjadi petani
yang
berkebudayaan individual, petani jadi petani-pengusaha.
Petani
yang semula hanya anut grubjuk dan tidak berani berbeda
dengan tetangganya sesama petani akan jadi petani yang
mandiri. Tanda- tanda ke arah itu sudah sejak lama tampak.
Banyak petani yang menanami tanahnya dengan hortikultura
berbeda dengan petani lain yang menanam padi secara
monokultur. Desa sosial akan jadi desa ekonomi, artinya
desa-desa yang semula adalah suatu closed corpo rate
community, desa tertutup, yang anggotanya memelihara
satuan sosial desa dengan bermacam upacara, saling kenal,
dan kerja sama, akan menjadi desa terbuka di mana
anggota-anggotanya hanya melihat desa sebagai satuan
administratif.
Dalam desa ekonomi sambatan dan gotong-royong
hilang,
karena
jika
dihitung-hitung
lebih
ekonomis
mempekerjakan tenaga kerja upahan yang profesion al.
Orang hidup di desa, tapi tidak lagi menjadi bagian desa,
orang lebih sebagai bagian dari kelas, pekerjaan, dan
hobinya. Agriculture menjadi agro-business, artinya petani
yang semula menanam untuk konsumsi sendiri menjadi
petani yang menanam untuk pasar. Ia menanam apa yang
laku di pasar, yang menguntungkan, bukan menanam untuk
cadangan makan keluarga. Untuk makan keluar ga, ia dapat
membelinya di pasar. Dalam kondisi semacam itu
sebenarnya mitos-mitos akan hilang, tetapi kesadaran lebih
lamban perubahannya daripada perubahan fisik.
Periode Ideologi
Baru saja dikemukakan bahwa tidak ada yang tidak
berubah dalam sejarah, kecuali perubahan itu sendiri. Tetapi
supaya ada perubahan, sejarah perlu punya kekuatan
sejarah.
Kekuatan
sejarah
itu dalam periode ideologi dan dalam periode ilmu yang
terpent ing ialah adanya mobilitas sosial atau tepatnya
mobilitas sosial ke atas (vertical social mobility), menyusul

itu ialah adanya pribadi kreatif (creative personality) dan


minoritas kreatif (creative minority) sebagai inisiatornya.
Keduanyalah yang akan diikuti oleh massa.
Dalam periode ideologi ini terdapat perpindahan
lokasi gerakan Islam, yaitu dari desa ke kota. Demikian pula
kepemimpi nan sosialnya, dari seorang ulama ke orang biasa.
Pada 1911 berdirilah di Laweyan, sebuah kecamatan di kota
Solo yang menja di pusat perdagangan batik sehingga
mengalami mobilitas sosial ke atas, yaitu Sarekat Islam (SI).
Gerakan itu tidak lagi dipimpin oleh elite desa (ulama, tokoh
kharismatis, kiai) tetapi oleh elite kota (orang biasa,
pedagang), Haji Samanhudi, seorang pribadi kreatif awam.
Adapun minoritas kreatifnya ialah Mas Marco, HM
Bakrie, H Hizyam Zainie, dan sebagainya. Tetapi,
perpindahan lokasi dan kepemimpinan sosial itu tidak sertamerta menjadi perubahan dalam alam pikiran umat. Masih
ada sumpah, tetapi kalau dulu orang bersumpah setia hanya
pada pemimpin, sekarang orang bersumpah setia pada
organisasi dan pimpinan. Sumpah masih diperlukan, sebab
pengikut SI adalah priyayi rendah, pedagang, dan petani
yang bodoh. Perkembangan SI mengagumkan. Hanya dalam
waktu setengah tahun telah terdaftar 20 ribu orang.
Cepatnya perkembangan SI itu disebabkan oleh
empat
hal,
yaitu SI mewakili wong cilik, SI adalah gerakan Ratu Adil, SI
mendapat restu dari Sunan, dan SI adalah organisasi Islam.
SI sungguh mewakili wong cilik, karena sudah ada organisasi
priyayi, yaitu Budi Utomo. SI dipersangkakan sebagai
gerakan Ratu Adil, karena pengikutnya mempunyai harapan
mileranistis. SI mendapat restu dari Sunan, karena
puteranya, Pangeran Hangabehi, di kemu dian hari diangkat
jadi Penasihat SI. Sebagai organisasi Islam, karena SI-lah
organisasi pertama yang memakai nama Islam. Volun tary
association Islam itu merupakan loncatan sejarah, karena
sebelumnya semua gerakan Islam selalu bertumpu pada
orang.
Selasa, 28 Agustus 2001
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan
Rupanya kenyataan bahwa SI cepat berkembang
membuat
berang pejabat kolonial. Pantas kalau pendirinya, Haji
Samanhudi, mendapat cemooh dari pejabat Belanda. Dr
Rinkes
dari
Kantoor
voor
Inlandsche
Zaken

menggambarkannya sebagai penjudi, suka bergaul dengan


para wanita buruk, gonta-ganti isteri, dan seorang
pedagang merangkap sebagai rentenir yang 'awoke one
morning and found himself famous' ('bangun suatu pagi, dan
tiba-tiba sudah menjadi terkenal'). Tidak hanya dari pejabat
Belanda, tetapi juga dari priyayi pribumi SI mendapat
kecaman, kali ini mengenai penggunaan agama. Dr
Radjiman, seorang tokoh Budi Utomo, menyangsikan bahwa
agama dapat jadi perekat sebuah gerakan massa. Ia
meramalkan bahwa SI hanya gerakan sementara dari haji,
santri, dan orang-orang bodoh. Tentu, para pejabat Belanda
dan para priyayi pribumi tidak tahu bahwa SI kemudian
mengalami metamorfose.
Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 1914,
ketika
kepemimpinan dipegang oleh Tjokroaminoto, pribadi kreatif
yang lainnya, seorang elite terpelajar lulusan Osvia
(Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah
Pendidikan Pegawai Bumiputera), sekolah yang sangat
terhormat waktu itu. Pada tahun 1915 --tepatnya 26 Juli
1915, di Jagalan, Surakarta-- ia memberi bobot ideologis
(kata 'ideologi' tidak pernah tercantum dalam organisasi
Islam mana pun) pada gerakan SI. Katanya, ''de Islam is de
godsdienst van de armen en de verdrukten,'' (Islam adalah
agama bagi orang miskin dan orang tertindas). Sejak itu
--kalau kita diminta menunjuk sebuah tanggal-- mulailah
sungguh-sungguh kesa daran keagamaan umat berubah dari
periode mitos ke periode ideologi.
Tetapi, apakah ideologi itu? Jorge Larrain dalam The
Con
cept of Ideology mengatakan bahwa ideologi 'merujuk pada
sistem pendapat, nilai, dan pengetahuan yang berhubungan
dengan kepentingan kelas tertentu yang cara berpikirnya
mungkin berbeda-beda'. Dari definisi ini dapat diketahui
dengan jelas perbedaan antara ideologi dan mitos. Ideologi
jelas pertimbangannya (pendapat, nilai, pengetahuan)
mengapa orang bergerak, sedangkan dalam mitos orang
bergerak hanya ikut Sang Pemimpin, hanya dengan
prasangka.
Perbedaan antara mitos dan ideologi sebagai gerakan
sosial
ialah: dalam mitos orang tidak peduli dengan ada atau
tidaknya fakta tetapi hanya mengikuti pendapat pemimpin,
sedangkan dalam ideologi orang melihat fakta-fakta sosial

dengan subjektivitas tanpa mempedulikan apa yang


sebenarnya terjadi.
Dalam mitos orang hanya menyesuaikan diri dengan
kelompok, sedangkan dalam ideologi orang mempunyai
kepentingan dan menyalurkannya secara kolektif. Dalam
mitos orang mendasarkan diri tidak pada pertimbangan yang
masuk akal tetapi pada emosi, sedangkan dalam ideologi
orang sudah berpikir berdasar perhitungan-perhitungan.
Mitos hanya meliputi wilayah yang kecil, sedangkan ideologi
mencakup wilayah kerja yang luas, wilayah nasional. Dalam
mitos orang bergerak tanpa tahu tujuannya dan hanya asal
mencari tatanan yang lebih baik, sedangkan dalam ideologi
tujuannya ialah membangun kembali masyarakat seperti
yang diidamkan.
Sebelum kemerdekaan, adanya ideologi dalam
kesadaran keagamaan umat Islam diwakili dengan baik oleh
SI seperti di atas. Ideologi mereka yang tentu saja tidak
tercantum dalam anggaran dasar adalah (1) antikolonialisme dan (2) anti-feodalisme, sebab kolonialisma dan
feodalisme-lah yang dianggap bertanggung jawab atas
kemiskinan dan ketertindasan umat.
Ideologi anti-kolonialisme SI tampak setidaknya dua
kali --sekalipun kedua-duanya secara tidak terus terang.
Pertama, meskipun SI-SI lokal dan pada mulanya para
pemimpin, termasuk Tjokroaminoto, tidak setuju, tetapi
CSI dengan segan menerima militie plicht (wajib
militer) pada 1915. Kedua, SI Solo mencoba mempermalukan
otoritas Belanda dengan mendukung nasionalisme Jawa;
pada tahun 1915 SI Solo ikut merayakan secara besarbesaran perkawinan ke-2 Pakubuwono X. Adapun sikap antifeodalisme
itu
tampak
di
antaranya
dalam
upa
cara, bahasa, dan agama.
Dalam
upacara-upacara
SI
akan
mengguna
kan tambur dan bukan gamelan seperti layaknya priyayi.
Dalam bahasa dengan bersemangat SI mendukung gerakan
Jawa Dipo (bahasa Jawa ngoko tanpa tataran) yang bergerak
dari Surabaya mulai 1918.
Dalam agama SI menuntut diadilinya penghina Nabi
dari Solo yang pasti dari tradisi abangan (yang menyebut
Nabi sedang mabuk waktu menerima wahyu) pada 1918
dengan
membentuk
Comite
Tentara
Kanjeng
Nabi
Muhammad di SI-SI lokal. Penghina Nabi dari tradisi abangan
itu tidak bisa diadili karena masih tergolong bangsawan yang
ada di bawah yurisdiksi Sunan.

Marxisme mulai berpengaruh dalam perpolitikan


Indonesia
sekitar Perang Dunia I. Penyebar Marxisme dengan tepat
memilih SI Semarang untuk disusupi, sebab Semarang
menyediakan SDM untuk tumbuhnya gagasan kesadaran
kelas.
Semarang
adalah
kota
pelabuhan
dan stasiun kereta api. Sudah ada organisasi buruh kereta
api.
Kaum buruh itu sudah mengalami proletarianisasi. SI
Semarang yang ada di bawah Semaun pada 1916
berkembang dengan pesat. SI Semarang yang telah
terpengaruh oleh Marxisme itu menjadi penentang CSI dalam
taktik melawan kolonialisme; CSI kompromistis dan SI
Semarang radikal.
Pada tahun 1920 Semaun menjadi Ketua PKI
(Perserikatan Komunis di India) tanpa melepas keanggotaan
SI. Pada 1923 ada 'SI-Merah' dan ada 'SI-Putih' yang
menunjukkan bahwa SI telah pecah menjadi SI kiri dan SI
kanan.
Akan tetapi, dalam kongres tahun 1923 itu juga SI
menerapkan disiplin partai untuk menghabisi pengaruh 'SIMerah'. 'SI-Merah' kemudian menjadi Sarekat Rakyat dan
akhirnya melebur ke dalam PKI (Partai Komunis Indonesia)
dalam tahun 1924. Dengan meleburnya Sarekat Rakyat ke
dalam PKI, maka lengkaplah sudah perangkat organisasi
kesadaran kelas. PKI berhadapan dengan SI, Marxisme
dengan Pan-Islamisme. Pertentangan antara kesadaran kelas
dan kesadaran keagamaan itu terus dibawa ke sesudah
kemerdekaan.
Wakil dari periode ideologi setelah kemerdekaan yang
paling
vokal ialah Masjumi. Sebagai pewaris dari SI, Masjumi selalu
mencetak kembali buku Tjokroaminoto, Socialisme Islam
(1924) berkali-kali. Rekonstruksi sejarah mengenai ideologi
ini
sematamata berdasar apa yang dikerjakan, tidak bedasarkan apa
yang
tercantum dalam asas.
Ideologi Masjumi ialah (1) anti-komunis, (2) negara
demokrasi (yang sering dipersangkakan sebagai negara
Islam), dan (3) anti-diktatorisme. Sebagai kekuatan antikomunis lewat Hisbullah-Sabilillah Masjumi aktif dalam
penumpasan pemberontakan komunis pada 1948. Sejak itu
sampai membubarkan diri pada 1960 Masjumi jadi musuh PKI

dengan isu 'Negara Islam' yang dibeli oleh orang luar dan
umat Islam sendiri. Sebagai demokrat ia ikut dalam
demokrasi parlementer, kabinet, pemilu, dan Konstituante.
Sebagai anti-diktatorisme Masjumi yang melihat tanda-tanda
itu dalam Demokrasi Terpimpin dan pada 1957 mencoba
menolaknya, tetapi justru peran politiknya yang berakhir.
Pada 1960 Masjumi menyatakan diri bubar.
Praktis tidak ada partai politik Islam di masa Orde
Baru,
bahkan sebelum deideologisasi partai dan ormas secara
resmi berlaku pada 1985. Sesudah Reformasi pada 1998
memang ada partai-partai lama dan baru dengan ideologi
Islam, seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB
(Partai Bulan Bintang), dan PK (Partai Keadilan). Tetapi, belum
jelas benar apa arti ideologi itu bagi mereka, masih bersifat
formal.
Periode Ilmu
Mobilitas sosial vertikal yang mendatangkan kekayaan
berkat
perdagangan, bagi umat Islam selain melahirkan ideologi,
juga mempersiapkan Islam memasuki periode ilmu.
Keduanya
mempunyai
perbedaan
dan
persamaan.
Perbedaannya ialah lahirnya ideologi pada awal abad ke-20
sangat
cepat
evolusinya,
periode
ilmu
evolusinya
memerlukan waktu yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 75
tahunan. Persamaannya ialah periode ideologi didahului
dengan mitos, periode ilmu juga ada pendahulunya. Periode
ilmu yang merupakan proses ambil-alih ilmu-ilmu modern,
didahului
dengan
proses
ambil-alih
substansi
dan
metodenya, sebelum pada akhirnya ia diberi substansi
keislaman. Apakah beda antara ideologi dan ilmu?
Keterangan di bawah ini akan membuat keduanya jelas.
Mengenai
fakta
ideologi
meli
hatnya secara subjektif, sedangkan ilmu melihatnya secara
objektif.
Barangkali sebuah contoh konkret akan memperjelas
perbedaan ini. Pada tahun-tahun 1960-an PKI melihat fakta
secara subjektif dengan tidak memasukkan Baperki (Badan
Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi
Cina perantauan) sebagai borjuasi, hanya karena PKI
berkepentingan dengan dana mereka.
Padahal, jelas-jelas Baperki adalah borjuasi tulen.
Mengenai analisis, ideologi akan melihatnya berdasar norma

organisasi, sedangkan ilmu melihatnya sesuai dengan fakta


di lapangan. Lagi-lagi kita contohkan bagaimana PKI melihat
situasi. Di desa-desa di mana tuan tanah tidak ada, PKI
terpaksa mengangkat lurah desa yang mempunyai tanah dan
bengkok lebih lima hektar sebagai tuan tanah, karena
demikianlah norma partainya.
Mengenai
metode,
struktural
artinya
ideologi
menggunakan perangkat politik, sedangkan kultural artinya
ilmu menggunakan kekuatan kebudayaan. Rekonstruksi total,
artinya ideologi menghendaki supaya masyarakat berubah
secara keseluruhan dan serempak. Rekonstruksi parsial,
artinya ilmu hanya menghendaki perubahan yang terperinci
dan satu per satu.
Sejarah munculnya periode ilmu itu demikian. KH
Ahmad Dahlan adalah pribadi kreatif yang memulai gerakan
Islam, Muhammadiyah, pada 1912 di kampung Kauman,
Yogyakarta. Muhammadiyah mengadopsi ilmu-ilmu modern
sepenuhnya dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti
asuhan, kepanduan, dan perkumpulan sepak bola.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah menyebabkan dan
mendorong adanya mobilitas sosial. Mula-mula mobilitas itu
hanya melahirkan elite terpelajar yang terdiri dari guru,
pegawai negeri, dan pegawai perusahaan, seperti pada
umumnya sekolah-sekolah Belanda.
Namun, pada sekitar 1980-an mobilitas itu --sekalipun
tidak selalu terkait dengan Muhammadiyah-- telah
melahirkan elite baru, yaitu kaum profesional yang terdiri
dari eksekutif, akademisi, pegawai tinggi, intelektual, dan
sebagainya. Peristiwa yang merupakan hasil evolusi sosial
yang panjang itu secara resmi ditandai dengan munculnya
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) pada 1990,
organisasi Islam non-politik dan ormas non-sektarian. 
Rabu, 29 Agustus 2001
Bagian Ketiga (Habis)
Para ahli mengenai Indonesia, yang berpendidikan
Barat
maupun berpendidikan Indonesia sendiri, gagal memahami
perbedaan yang fundamental tentang kaum terpelajar dan
kaum profesional dan menyebut kedua-duanya dengan nama
yang sama, kelas menengah. SI, Muhammadiyah, Masyumi,
dan
ICMI
dipersangkakan
lahir
dari
kelas
yang sama. Kegagalan ini jelas sumbernya, yaitu literatur
sosiologi yang berasal dari pengalaman masyarakat Barat.

10

Dalam masyarakat Barat tidak ada gelombang


mobilitas
so
sial. Amerika, misalnya, memang sejak mula adalah negeri
kelas menengah. Orang-orang yang bersemboyan ''free
labor, free soil'' menjelang Civil War adalah kelas menengah
yang terdiri dari kaum industrialis. Mereka akan diuntungkan
jika ada tenaga kerja bebas, bukan perbudakan seperti
terjadi
di
Selatan.
Di
Perancis
sudah tersedia kaum bourgeoisie sejak Zaman Pertengahan.
Mereka yang menjadi pendukung Absolutisme dan Revolusi
1789 adalah kelas menengah. Dalam masyarakat Indonesia
ceritanya
lain.
Pemer
intah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi
kualifi kasi tertentu pada orangtua calon siswa untuk
memperoleh pendidi kan. Akibatnya, Gelombang Pertama
mobilitas sosial hanya menghasilkan kaum terpelajar.
Gelombang
Kedua
dari
mobilitas
sosiallah
yang melahirkan kaum profesional, dan itu terjadi setelah
kemer dekaan.
Lahirnya periode ilmu itu sudah menjadi wacana pada
1960-an, namun baru pada 1990-an hal itu menjadi
kenyataan. Selain ICMI, kaum profesional itu juga
menghasilkan Periode Ilmu. Dalam periode ini apa yang oleh
Muhammadiyah
dulu
substansi
dan
metodenya
diambil dari khazanah dunia modern, sekarang substansi itu
sepenuhnya diganti dengan Islam. Ada gejala yang sama dari
periode ini, yaitu perlunya Islam menjadi agama yang
objektif (untuk siapa saja, tanpa memandang predikatnya;
memandang sesuatu sebagai sebenarnya, tanpa dipengaruhi
keyakinan pribadi). Adapun hasil periode ini dapat dilihat
setidaknya dalam tiga bidang, yaitu ilmu ekonomi Islam dan
aplikasinya,
politik
praktis,
dan
pemikiran agama. Dan, yang sudah di ambang pintu ialah
lahirnya psikologi Islam.
Sebagai teori, Ilmu Ekonomi Islam sudah lahir duluan,
tetapi penerapannya mulai dengan adanya periode ilmu.
Pada saat inilah umat menerapkan ekonomi Islam (ekonomi
syariah) sebagai sebuah sistem yang netral dan objektif. Ada
perbankan, ada sekolah, ada kursus, dan ada agribisnis.
Dalam politik praktis juga demikian.
Objektivitas itu berupa adanya pengakuan akan
pluralisme dalam agama, kebudayaan, bahasa, dan warna
kulit. Politik dalam Periode Ilmu mempertemukan agamaagama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif.

11

Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya


Islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam.
Penerapan
ekonomi
syariah
dimulai
dengan
menggarap institusinya yang paling modern, yaitu
perbankan. Perbankan Islam (bank syariah) dimulai pada
1992 oleh sejumlah minoritas kreatif di sekitar MUI (Majelis
Ulama Indonesia) dengan berdirinya BMI (Bank Muamalat
Indonesia). Sudah itu ada 18 bank Islam berdiri, dan
yang terakhir ialah Bank BNI Syariah pada 2001. BMI-lah
yang paling banyak mempunyai cabang dan produk. BMI juga
mendirikan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dan BMT
(Baitul Mal wa-Tamwil). Sekalipun Indonesia mengalami krisis
ekonomi berkepanjangan dan banyak bank-bank umum
gulung
tikar,
sebab
mengalami
negative spread, kredit macet, dan tidak dapat memenuhi
rasio kecukupan modal CAR (Capital Adequacy Ratio), namun
bank-bank syariah tetap hidup. Pada bank-bank syariah tidak
ada
negative
spread (selisih negatif antara pengeluaran untuk bunga
deposito dan penerimaan dari bunga kredit dan lain-lain),
karena sistemnya adalah bagi hasil.
Adapun bagi hasil yang kebanyakan berlaku pada
perbankan adalah al-musyarakah dan al-mudharabah. Almusyarakah
adalah
perjanjian antara dua pihak untuk usaha tertentu. Masingmasing pihak dalam al-musyarakah memberi kontribusi dana
atau amal dengan kesepakatan bahwa risiko ditanggung
bersama. Al-mudharabah adalah akad kerja sama, dengan
pihak pertama menyediakan dana seratus persen, sedangkan
pihak kedua --dalam hal ini ialah bank-- menjadi pengelola.
Selebihnya, sekolah-sekolah tinggi ekonomi syariah
juga
bermunculan, baik yang berdiri sendiri maupun yang
diikutkan program lain. Di Yogyakarta ada SEM (Syari'ah
Economic and Management) Institute yang menawarkan
Keuangan dan Perbankan Syariah, Akuntansi Syariah, dan
Manajemen Syariah. Belum ada riset mengenai hal ini,
sehingga
keberadaan
sekolah-sekolah
lain
belum
diketahui, termasuk kursus-kursus.
Selain itu, ada eksperimen perusahaan agribisnis di
Sukabumi, Jawa Barat, yang menjalankan usaha berdasar
syariah Islam (al-mudharabah). Sedemikian jauh usaha itu
sangat menguntungkan, baik bagi investor, manajemen,
petani,
maupun
buruh.
Manajemen
berha

12

sil menanggulangi masuknya pemodal besar dengan cara


bermacam-macam.
Dalam politik praktis Periode Ilmu menghasilkan PAN
(Partai
Amanat Nasional) yang berdiri pada 1998. Pribadi kreatif dan
ketua pertamanya adalah M Amien Rais, mantan ketua PP
Muhammadiyah. Minoritas kreatifnya banyak, sehingga tak
adil menyebutnya satu per satu. Ada dua hal yang patut
dicatat bagi perkembangan kesadaran keagamaan umat
Islam, yaitu moralitas agama dan kemajemukan (Anggaran
Dasar,
Pasal
6,
''Identitas'',
[''moralitas
agama,
kemanusiaan, kemajemukan'']). Keduanya adalah ajaran
agama yang dibuat sebagai gejala objektif. Moralitas agama
berasal dari akhlqul karimah (moral yang baik) dan
kemajemukan berasal dari ajaran tentang ta'aruf (saling
memahami) serta rahmatan lil alamin (rahmat untuk dunia
[semua orang]). Moralitas agama berarti bahwa agama Islam
akan menyimpan wataknya yang subjektif untuk diri-sendiri
dan kelompoknya, dan hanya memperlihatkan wataknya
yang objektif itu kepada umum, sedangkan kemajemukan
berarti bahwa Islam mengakui adanya pluralisme, dan yang
sekaligus juga menjadi praktik politik.
Tetapi, PAN menghadapi kendala. Seorang saksi mata
mengatakan bahwa Kongres I PAN, 10-13 Februari 2000 di
Yogyakarta sangat mengejutkan banyak orang Islam.
Pluralisme adalah gejala baru bagi mereka. Biasanya orang
Islam hanya berkumpul bersama orang Islam, sekarang
mereka
harus
berkumpul
dengan
orang
Tionghoa,
Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Kongres itu dibuka tanpa
Gema Wahyu Ilahi. Kemudian langsung Lagu Kebangsaan dan
Hymne PAN. Lalu lagu-lagu mars, dinyanyikan oleh 'gadisgadis SunSilk' tanpa kerudung. Ibu-ibu berkerudung rerasan,
tampak terheran-heran, ''Lho, ini katanya partai Islam, lha
kok begini!'' Mohon diketahui, itu juga partai Islam, partai
Islam yang objektif, partai Islam yang dewasa.
Dalam pemikiran agama untuk pribadi yang sesuai
sebagai
pemikir dan yang paling terprogram --tidak ad hoc-- dalam
Periode Ilmu saya mencalonkan M Amin Abdullah dari IAIN
Sunan Kalijaga.
Kata orang dia mampu menyihir pendengarpendengarnya dan memberi inspirasi intelektual. Pada hemat
saya programnya ada tiga, yaitu menjadikan agama sebagai

13

gejala objektif, budaya agama yang mengikuti zaman, dan


ilmu agama yang objektif dan kritis.
Pertama, ia ingin supaya Islam yang hanya subjektif,
Islam yang spiritual, menjadi Islam yang objektif dengan
menunjukkan moralitas keislaman ke luar. Hal itu seharusnya
tidak mengherankan bagi pengikut Muhammadiyah, sebab
sudah
dikemukakan
sejak
lama, yaitu dalam Suwara Muhammadiyah (No 2, Th 1915),
bahwa
akhlaq
mahmudah
(akhlak
terpuji)
harus
menggantikan mistisisme, yang biasa menjadi praktik waktu
itu. Kedua, ia ingin mereformulasi gerakan tajdid
(pembaharuan
Islam).
Seperti
diketahui
gerakan pembaharuan dalam Muhammadiyah sudah
berumur
90
tahun,
sehingga
perlu
terus-menerus
direformulasikan, supaya ketertinggalan dalam interpretasi
agama dan sosial-budaya tidak terjadi
Ketiga, ia ingin supaya ilmu-ilmu Islam semakin
objektif dan kritis. Hal itu dia kerjakan dengan
memperkenalkan hermeneutika (ilmu penafsiran, penafsir
terlibat dalam tafsirannya, penulis tecermin dalam
tulisannya) untuk menggantikan semiotika (ilmu tentang
tanda,
analisis
menggunakan
bahasa).
Hasilnya
mengagumkan: kritik atas tafsir, kritik atas kumpulan Hadits,
dan kritik atas kitab kuning. Kebetulan selain ada pribadi
yang sesuai, ada sejumlah orang yang mendirikan PSW
(Pusat Studi Wanita) pada 1995 di IAIN Sunan Kalijaga yang
mengurusi soal-soal jender dalam Islam. Lembaga itulah
yang dapat menjadi tempat persemaian bagi program M
Amin Abdullah yang ketiga.
Ada pertanyaan, setelah Periode Ilmu lalu periode
apa?
Jawabannya
begini.
Pertama,
ilmu
itu
ada
spesialisasinya. Karena itu nanti yang ada ialah perluasan
bidang. Dalam hal Islam, sudah barang tentu hanya ilmu
yang memungkinkan diberi substansi Islam.
Kedua, ilmu itu tidak pernah berhenti. Dalam buku
The Structure of Scientific Revolution Thomas S Kuhn
mengatakan bahwa setelah sebuah ilmu itu mapan ia
menjadi
normal
science
dan
setelah
beberapa lama, lalu ada scientific revolution lalu timbullah
paradigma baru. Paradigma baru suatu waktu jadi normal
science, dan seterusnya tanpa henti.
Simpulan
Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam
Indonesia tidak merupakan evolusi yang lurus, artinya yang

14

kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu, tetapi


tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih
di tangan pribadi dan minoritas yang kreatif, sebagaimana
dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengahtengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran
keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh
kekuasaan politik. Keempat, politik sama sekali tidak
berperan.
Perkembangan
kesadaran
keagamaan
terus
melaju dengan syarat ada mobilitas sosial, tidak dengan
syarat ada kekuasaan. Baik dalam masa penjajahan Belanda,
ketika umat dipinggirkan Orde Baru, ketika umat berada di
atas angin waktu Habibie, maupun ketika politik selalu
gonjang-ganjing seperti sekarang, sama saja keadaannya.
Kelima,
dalam
Al-Mujadalah
ayat
11 disebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang
berilmu. Sebaliknya, tidak satu pun ayat menyebutkan
bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang
berkuasa.
Oleh karena itu umat Islam akan jaya berkat pengetahuan,
bukan berkat kekuasaan. Itulah sebabnya artikel ini
bersemboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel
Foucault.

15

Anda mungkin juga menyukai