Anda di halaman 1dari 4

Watak, Sifat dan Karakter Orang Banten

Posted by Ahmad Bachtiar Faqihuddin | Jul 27, 2017 | Budaya Seni | 0 |

Mengupas karakteristik orang Banten, tampaknya kita mesti menjawab pertanyaan ini: “Dari
mana istilah Banten berasal?”. Menurut Ajip Rosidi, asal-usul istilah Banten dikaitkan dengan
dua kata, yaitu Wahanten nama kota lama yang terletak agak ke pedalaman
dan Bantahan  berarti su

Radar Banten (29/7/2017)

ka membantah, dan memberontak. Kiranya etimologi Banten tersebut tidak terlepas dari
pengalaman historis daerah ini yang selalu melawan atau memberontak terhadap kaum penjajah
(Belanda).

Watak orang Banten yang suka memberontak ini secara faktual bisa kita temukan pada kejadian-
kejadian seperti Pemberontakan Petani Banten 1888 (Geger Cilegon), pemberontakan kesultanan
Banten terhadap regulasi kerja Paksa (rodi) pada masa Daendels yang berdampak dihapuskannya
Kesultanan Banten pada tahun 1808, dan perlawanan Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang pada
tahun 1750, dan lain-lain.

Di Banten, pemimpin agama memainkan peran kunci dalam melakukan


perlawanan/pemberontakan. Pemimpin agama tidak hanya memimpin ritus keagamaan, lebih
dari itu mereka muncul sebagai pemimpin gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan
pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap sebagai gerakan keagamaan. Kaum elit agama
mempunyai kebebasan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang
digunakan sebagai instrumen pemberontakan sekaligus kekuatan bagi masyarakat Banten, bukan
menjadi broker politik seperti saat ini.

Pluralisme dan Toleransi

Meski dikenal suka memberontak, orang Banten juga dikenal toleran. Asas kerukunan, toleransi
dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat, berbagai etnis dan agama. Buktinya terdapat
kelenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung Jati dan sampai saat ini masih
terawat dengan baik dan menjadi situs cagar budaya nasional.

Di masa lalu, Banten merupakan  kesultanan Islam bercorak maritim yang mengalami suatu
perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga
kehidupan masyarakat Banten berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Latar
belakang itu membuat masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka,
mereka dapat berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang
tersebut menetap dan mendirikan perkampungan di Banten. Seperti perkampungan Pekojan
(perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan orang Cina), Kampung Melayu, Kampung
Jawa dan sebagainya.

Religius dan Fanatik

       Masyarakat Banten pada masa awal abad 20 dikesankan oleh orang luar sebagai penganut
pemahaman keagamaan yang ketat terhadap Syari’at, bahkan bisa dikatakan fanatik. Snouck
Hurgronje misalnya, mengatakan bahwa dibandingkan dengan orang-orang Jawa lainnya,
penduduk Banten lebih taat dalam melaksanakan kewajiban agama.

Martin Van Bruinessen menguatkan pendapat Snouck Hurgronje bahwa Banten merupakan
daerah dengan penduduk fanatik terhadap agamanya; terbukti masayaraka bergitu antusias ketika
melaksanakan kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan dan berzakat salah satunya. Kuatnya
masyarakat Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang membentuk
kebudayaan masyarakat Banten sangat sedikit terpengaruh oleh unsur peradaban Hindu.

Kesultanan Banten merupakan kerajaan yang berlandaskan syariat Islam, secara tidak langsung
penyebaran Islam begitu cepat. Hal ini disebabkan oleh sokongan politik penguasa saat itu.
Selain kuatnya kultur kesultanan Islam mempengaruhi masyarakat Banten, tradisi menjalin
hubungan dengan pusat ajaran Islam (Haramain) yang telah giat dilakukan sejak masa-masa
awal kesultanan Banten, kesadaran keagamaan yang kuat terhadap ajaran Islam ini juga tidak
terlepas dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para mubaligh dalam melakukan
islamisasi sehingga melahirkan orang-orang Banten yang disebut oleh pemerintah kolonial
sebagai fanatik, atau menurut lafal Bantennya “Panatik’.
 

Egaliter

Menurut Nina H. Lubis orang Banten juga dikenal sebagai individu yang egaliter. Hal itu bisa
kita amati dalam bahasa orang Banten. Bahasa Sunda di Banten ternyata tidak mengalami
feodalisasi dalam bentuk tingkatan-tingkatan bahasa karena Banten tidak pernah dipengaruhi
oleh Mataram secara langsung. Sementara itu, masyarakat Banten bagian utara menggunakan
menggunakan bahasa Jawa yang telah mengalami adaptasi dengan lingkungan alam dan
budayanya. Bahasa Melayu banyak digunakan di pelabuhan karena kedudukannya
sebagai lingua franca.

Mulanya, bahasa Sunda  digunakan oleh masyarakat Tatar Sunda bersifat egaliter. Artinya,
dalam bahasa ini tidak dikenal adanya undak-usuk basa (tingkatan-tingkatan bahasa). Hal ini
dapat dibaca dalam beberapa naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 Masehi,
yaitu Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580). Ketika
Mataram berkuasa di daerah Priangan, bahasa yang dipergunakan dalam administrasi
pemerintahan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa Nusantara yang
memiliki tingkatan-tingkatan, bahasa halus, sedang, dan kasar. Dalam perkembangannya, bahasa
Jawa menjadi bahasa yang wajib dikuasai, bahkan penguasaan atas bahasa ini menjadi salah satu
ukuran kebangsawanan seorang elite politik.

Kasar dan Citra Balik peradaban.

Menurut Fahmi Irfani, dalam karyanya “Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan
Budaya” Menjelaskan bahwa  sebagian masyarakat Banten dikenal keras dalam gaya bicara,
bahasa dan tindakannya. Hal itu menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah
telah melekat dalam kehidupan masyarakat Banten. Untuk memahami kondisi tersebut dapat
dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terstruktur pada masa awal
berdirinya Kesultanan Banten. Bahkan islamisasi di Banten yang dilakukan oleh Pangeran
Sabakingking (Maulana Hasanuddin) menggunakan cara-cara adu kesaktian. Dengan metode
seperti inilah Maulana Hasanuddin bisa mengalahkan Pucuk Umun pada tahun 1525 Masehi.
Maka tak heran jika orang lain yang mendengar nama Banten akan langsung berseloroh “Kyai,
Jawara, debus, dan ilmu magic”

Bahkan Scott yang sempat tinggal di Banten selama tahun 1603 sampai 1605 menggambarkan
watak dan sifat orang Banten sebagai citra terbalik dari peradaban (Guillot, 2008). Pertama,
kemaksiatan karena sistem poligami hewani. Menurut Scott, saat itu di Banten, setiap orang
Jawa yang bukan budak dapat memiliki tiga isteri. Setiap isterinya itu diharuskan untuk
mengambil sepuluh budak perempuan, bahkan sampai 40 orang. Budak-budak perempuan
mereka ini diperlakukan juga seperti isteri mereka sendiri.

Kedua, kemalasan. Scott mencatat, hampir tak ada satu persen pun orang Banten yang saat itu
mau bekerja.
Ketiga, nafsu mendapat keuntungan. Orang Banten, disebutkan Scott, siap memenggal kepala
salah seorang kerabat dekatnya untuk dijual kepada para pemburu kepala. Raja hanya menikmati
pembunuhan yang terjadi di kerajaannya, karena perbuatan ini memperkaya dirinya. Karena,
semakin sering mereka saling bunuh, raja akan semakin banyak mengantungi denda dan menarik
keuntungan.

Keempat, pencurian. Godaan untuk mendapat keuntungan yang ditambah dengan kemalasan dan
sifat tak bermoral ini, tak pelak lagi berakhir dengan pencurian. Namun, dalam tulisannya itu,
Scott disebut hanya dua kali mendapatkan pengalaman menjadi korban percobaan pencurian.
Scott lebih banyak menuliskan soal korupsi di Banten yang dilakukan terbatas oleh orang-orang
yang berkuasa. Kelima, kebengisan. Scott menyebut, orang-orang Banten sebagai orang yang
haus darah.

Keenam, sifat pengecut. Menurut Scott, orang-orang Banten jarang menanggapi tantangan
berkelahi satu lawan satu dengan orang sebangsa ataupun dengan warga asing. Mereka semua
berusaha membalas dendan terhadap musuh mereka dengan cara pengecut. Ketujuh,
ketidakadilan sosial. Penduduk Banten saat itu terbagi atas dua golongan: kaum bangsawan dan
kaum budak. Golongan pertama mengangkangi seluruh kekayaan dan kekuasaan dengan
mengabaikan golongan kedua yang berada dalam keadaan serba kekurangan dan ketergantungan
yang memalukan. Bahkan, kaum bangsawan ini disebut berani menghukum mati kaum budak
sekecil apapun kesalahan mereka.

Anda mungkin juga menyukai