PENDAHULUAN
1
kerajaan. Orientasi pemerintahan suatu kerajaan akan sesuai dengan keinginan raja
yang berkuasa pada masanya.
Pemerintahan pada masa kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia
terutama kerajaan jawa merupakan sesuatu yang memiliki peranan sangat vital
dalam sejarah dan perkembangan politik Indonesia. Dalam pengantar buku yang
berjudul “Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta,
1912-1942” karya George D. Larson , disebutkan bahwa kerajaan (keraton) adalah
sangat vital dalam kehidupan politik dan keagamaan.
Keraton adalah masyarakat/komunitas yang mempunyai kebudayaan
sendiri. Di dalam masyarakat/komunitas itu terjadilah interaksi, baik secara
individual, maupun secara kolektif. Dengan demikian, anggota
masyarakat/komunitas itu berhubungan secara kait-mengkait satu dengan lainnya,
sehingga terjadilah ketergantungan diantara mereka. Selain itu terjadi interaksi
secara individual dan kolektif itu, berlangsung pula interaksi yang dilakukan lewat
organisasi sosial. (Darsiti Soeratman, 2000 : 9).
Organisasi sosial yang berkembang dalam kehidupan keraton pada
akhirnya akan menjelma menjadi perkumpulan-perkumpulan. Dari sinilah akan
terbentuk organisasi-organisasi politik dalam keraton. Organisasi politik sangat
mendukung perkembangan suatu pemerintahan. Banyak oraganisasi politik lokal di
indonesia yang berkembang berkat mendapat dukungan dari keraton. Oragnisasi
politik banyak memberi warna dalam tata hukum dan peradilan pemerintahan
keraton.
Keraton Jawa yang pertama kali menerapkan tata hukum dan peradilan di
bidang pemerintahan adalah mataram yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung
yang terkenal sebagai raja yang alim dan bijaksana, meskipun tata hukum yang
dipergunakan adalah tata hukum dan peradilan islam.
Pengadilan pada zaman Mataram merupakan pengadilan yang didasarkan
pada hukum islam yang mengambil tempat persidangan di Sittinggil atau atau di
serambi masjid dalam menangani perkara kejahatan. Perkara-perkara yang menjadi
urusan pengadilan dinamakan kisas.
Kerajaan Mataram selalu berpindah tempat karena alasan keamanan dari
musuh. Seiring dengan perpindahan tersebut, Kerajaan Mataram selalu mengadakan
perubahan tata hukum maupun peradilan dalam menjalankan pemerintahannya,
bahkan sampai dengan terpecahnya kerajaan tersebut.
Keraton Surakarta pada tahun 1746 mulai dibangun. Pembangunan tersebut
pada masa Paku Buwana II (1726-1749) sebagai pengganti keraton kartasura yang
telah hancur akibat serangan musuh (Darsiti Soeratman, 1989: 1). Dalam buku yang
berjudul ”Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta”, Keraton Kartasura rusak
akibat pemberontakan orang-orang cina di bawah pimpinan Sunan Kuning, juga
oleh pasukan Madura yang dipimpin oleh Cakraningrat IV (1999: 13).
Pemerintah Belanda telah lama terlibat dalam urusan intern Kerajaan
Mataram, tepatnya pada masa pemerintahan Amangkurat II (Darsiti Soeratman,
1990: 17). Namun, Pemerintah Belanda benar-benar menanamkan pengaruhnya
pada masa Paku Buwana II di Keraton Surakarta. Hal ini dapat kita perhatikan pada
isi perjanjian 11 Desember 1749 yang sering disebut het allerbelangrijkste
contract, yaitu Sunan “menyerahkan” Kerajaan Mataram kepada Pemerintah
Belanda, serta menitipkan putera-puteranya, terutama Pangeran Adipati Anom
untuk mendapat perlindungan (Darsiti Soeratman, 1990: 25).
Situasi politik Kasunanan sangat dipengaruhi oleh sikap dari pihak
Kasunanan sendiri terhadap pemerintah Belanda, Mangkunegaran, penduduk dan
wilayah di luar kerajaan. Reorganisasi sistem peradilan di Kasunanan sudah terjadi
sejak masa pemerintahan Paku Buwana II, dimana seluruh daerah Mataram masuk
ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Akibatnya, Mataram bukan
hanya kehilangan wilayahnya tetapi juga harus tunduk pada peraturan-peraturan
pemerintah Belanda termasuk mengenai sistem peradilan.
Keraton Kasunanan Surakarta kehilangan kemerdekaanya, akan tetapi oleh
belanda daerah itu dikembalikan dalam bentuk pinjaman kepada raja-rajanya. Sejak
saat itu, terdapat tradisi, bahwa sesudah penobatan, raja baru harus menandatangani
perjanjian, yang antara lain menyakan bahwa penobatannya sebagai raja bukan
karena mewaris, melainkan karena pemberian Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda semakin menanamkan pengaruhnya di Keraton
Surakarta, bahkan mampu menembus pada peraturan seremoni penobatan raja.
3
Pada tanggal 15 Desember 1749, Pemerintah Belanda melantik Adipati Anom di
Sitihinggil menjadi raja baru dengan gelar Paku Buwana III.
Campur tangan Belanda di bidang politik terlihat juga pada kerajaan-
kerajaan lain di Indonesia, Belanda menentukan masalah penggantian raja yang
dirasakan melampaui batas kekuasaan politiknya. Selain itu bidang sosial dan
kebudayaan juga terpengaruh yaitu terlihat pada cara berpakaian serta adanya
minuman keras. Terlihat bahwa bangsa Belanda sudah mendominasi bidang
kehidupan di Indonesia (Nur Haryanti, 1993 : 13)
Pemerintah Belanda juga terlibat dalam campur tangan terhadap sistem
peradilan dalam praktik pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam
perkembangan selanjutnya, Pemerintah Belanda menunjukkan penetrasi ke dalam
persoalan intern keraton yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem
tata peradilan dan tata hukum Keraton Kasunanan Surakarta. Pemerintah Belanda
berupaya memaksakan rencana organisasi terhadap sistem peradilan dengan
maksud agar Pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta menyetujui perubahan baik
dalam kelembagaan maupun pranata hukumnya.
Dalam usaha menanamkan pengaruh kekuasaannya, Pemerintah Belanda
menuntut agar pepatih dalem yang mempunyai peran ganda, yaitu mengabdi pada
kerajaan dan bekerja sebagai pegawai Pemerintah Belanda, agar berpihak kepada
Pemerintah Belanda serta membantu dalam menanamkan pengaruh di keraton
maupun seluruh wilayahnya. Pepatih dalem mendapat status kekuasaan dan
kemakmuran oleh raja. Hal ini merupakan faktor yang membuat sulit patih dalem
untuk tidak tunduk pada raja.
Peranan raja dalam konsep keraton adalah melindungi kerajaan dan
rakyatnya dengan menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia dewa-
dewa. Raja harus memiliki kekuasaan dan wibawa yang setara dengan dewa-dewa.
Hubungan raja dengan rakyatnya dikenal sebagai kawula-gusti.
Dalam pemikiran tradisional Jawa terdapat tiga konsep utama yang
mengatur hubungan kawula-gusti tersebut yaitu: (1) suatu hubungan pribadi yang
erat disertai dengan rasa saling mencintai dan menghormati yang dianggap sebagai
standar komunikasi sosial; (2) nasib menentukan kedudukan seseorang dalam
masyarakat, apakah akan lahir sebagai hamba atau sebagai tuan. Akibatnya,
manusia tidak punya pilihan, tetapi harus memikul kewajibannya seperti yang telah
ditentukan oleh nasibnya; (3) raja dan pegawainya, dalam hal politik pemerintah,
harus memperhatikan rakyatnya.
Paku buwana III memerintah selama 39 tahun (17491788). Pada masa
pemerintahan Paku Buwana III, sistem peradilan masih berjalan di bawah
pemerintahan Belanda karena Sunan adalah vassal kompeni. Pada masa
pemerintahannya, wilayah Mataram terpecah menjadi 2 yaitu Kerajaan Surakarta
Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sesuai dengan perjanjian
giyanti pada tahun 1755. Hal tersebut merupakan tamparan berat bagi Sunan karena
harus kehilangan daerah yaitu negara, nagaragung dan mancanegara. Terbaginya
kerajaan menjadi dua memudahkan Pemerintah Belanda untuk menguasai dan
menanamkan pengaruhnya. Kerugian masih diderita Sunan dengan terbaginya
Kasunanan menjadi 2 wilayah yaitu Kasunanan yang dipimpin oleh Sunan dan
Mangkunegaran di bawah Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I.
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Paku Buwana IV (1788-1820).
Pada masa ini, Sunan kembali kehilangan wilayahnya yaitu sebagian daerah
mancanegara dan nagaragung. Hal tersebut mengakibatkan diadakannya
reorganisasi tanah lungguh di nagaragung yang masih ada (Darsiti Soeratman,
1990: 30).
Pada masa Paku Buwana V (1820-1823) dan Paku Buwana VI (1823-
1830) juga belum terjadi sebuah perubahan yang signifikan. Tidak adanya
perubahan peradilan yang signifikan tersebut dikarenakan singkatnya masa
pemerintahan Sunan sehingga belum sempat memikirkan perbaikan dalam
pemerintahan, khususnya perbaikan sistem peradilan. Kondisi pemerintahan pada
saat itu kurang mendukung untuk memperbaiki pemerintahan sebagai akibat dari
pemberontakan yang terjadi di Kasunanan.
Keraton Kasunanan Surakarta pada masa Paku Buwana VI (1823-1830),
semakin banyak melakukan hubungan sosial ke luar setelah Susuhunan yang
berkuasa mulai bersikap menerima pendidikan barat. Pada masa pemerintahan
Paku Buwana VI, Pengadilan mendapat dukungan, terbukti dengan dibentuknya
5
prajurit-prajurit pelaksana hukuman, diantaranya nirbaya, martaulut dan singgasara.
Tiap-tiap prajurit memiliki tugas tersendiri dalam melaksanakan hukuman yang
disesuaikan dengan putusan pengadilan.
Selama lebih dari seratus tahun (1830-1939), Keraton Kasunan Surakarta
diperintah oleh empat orang raja, yaitu Paku Buwana VII sampai dengan Paku
Buwana X. Dalam periode tersebut, raja-raja yang memerintah secara terus
menerus terpaksa harus menyerahkan kekuasaannya. Pertama-tama, mancanegara
barat dan timur, ditambah negaragung Bagelen harus ikut diserahkan. Kemudian
diikuti lagi dengan penyerahan pengadilan dan kepolisian, serta pelepasan hak atas
tanah yang dihubungkan dengan adanya reorganisasi tanah.
Pada masa Paku Buwana VII (1830-1858) baru terjadi sebuah perubahan
yang cukup signifikan dalam pemerintahan. Dalam usaha membawa perbaikan bagi
keamanan, Paku Buwana VII mengeluarkan Angger Gunung yang berisi instruksi-
instruksi kepada para para kepala polisi untuk bertempat tinggal di pinggir jalan
besar seperti di Ampel, Boyolali, Kartasura, Krapyak dan Klaten.
Pada tahun 1847 dicapai suatu akta persetujuan, kemudian dicantumkan
dalam Indische Staatsblad 1847 No.30, yang berisi penghapusan Balemangu.
Sebagai gantinya dibentuk lembaga-lembaga pengadilan yang disebut pradata,
surambi dan kadipaten. Lenyapnya Balemangu berakibat Angger Gunung tidak
mempunyai arti bagi Kasunanan.
Kekuasaan pengadilan atas orang-orang bumi putera berada di tangan
Sunan, tetapi dalam kenyataannya pemerintah Belandalah yang berkuasa. Hal itu
dapat dilihat dalam pelaksanaan proses pengadilan sampai dengan pemberian
hukuman yang hampir seluruhnya harus mendapatkan persetujuan pemerintah
Belanda.
Keraton Surakarta sebagai bentuk kerajaan, memiliki sebuah struktur yang
tersusun atas beberapa lembaga dalam pemerintahan, salah satunya adalah lembaga
peradilan. Pengadilan Keraton Kasunanan Surakarta apabila dilihat secara
kelembagaan, merupakan lembaga yang memberikan kontribusi dalam menegakkan
hukum, menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Keraton Kasunanan
Surakarta. Selain itu sistem peradilan Keraton Kasunanan Surakarta adalah sebuah
lembaga hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak
kejahatan yang dapat mengancam eksistensi raja.
Menurut sejarahnya, sistem peradilan di Kasunanan Surakarta banyak
mengalami perubahan sejak menguatnya penetrasi dari sistem pemerintahan
Belanda yang semakin intensif. Reorganisasi sistem peradilan dilakukan pemeintah
Belanda secara bertahap. Hal ini menyebabkan kebijaksanaan Sunan banyak
dipengaruhi oleh peraturan pemerintah Belanda. Meskipun demikian, legitimasi
Sunan masih tetap terjaga di mata rakyat. Intervensi pemerintah Belanda terhadap
sistem peradilan Kasunanan menjadikan Sunan hanya sebagai sebuah simbol,
sementara pengendali kekuasaan di wilayah Kasunanan dipegang oleh pemerintah
Belanda.
Meskipun sistem peradilan di Kasunanan Surakarta harus menaati
peraturan Pemerintah Belanda, namun bukan berarti seluruh sistem dan tata cara
peradilan mengalami perubahan total. Masyarakat Jawa terbiasa menggunakan cara
musyawarah mufakat untuk menyelesaikan perkara-perkara ringan. Sikap
kekeluargaan yang sedemikian rupa di dalam menyelesaikan perkara yang dihadapi
masyarakat, bukan berarti mereka tidak membutuhkan lembaga peradilan dalam
menyelesaikan suatu masalah. Lembaga peradilan dimanfaatkan apabila suatu
perkara tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah mufakat.
Dalam perkembangannya, pengadilan pradata mendapat pelimpahan
wewenng dan perkara. Pengadilan pradata ini juga dibentuk di luar ibukota
Kasunanan seperti di daerah Klaten, Ampel, Boyolali, Kartasura, Sragen.
Pengadilan pradata di daerah-daerah tersebut diberi otonomi oleh Sunan atas
desakan residen.
Pengadilan pradata merupakan pengadilan tertua di Kasunanan yang
dipimpin oleh seorang jaksa ditambah dengan mantra dan delapan orang nayaka.
Pengadilan ini berpedoman pada nawala pradata dan hukum islam. Pengadilan
pradata sebagai pengadilan tertinggi berhak memutuskan tindak kejahatan kelas
berat misalnya pembunuhan.
Pada masa Paku Buwana IX (1861-1893) berkuasa, pemerintah Belanda
mengalami kesulitan untuk menggeser kekuasaan pribumi dalam bidang kepolisian
7
dan pengadilan. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, Pemerintah Belanda
berusaha agar raja baru pengganti Paku Buwana IX, bersedia untuk tunduk
sepenuhnya pada tindakan Pemerintah Belanda, termasuk dalam pembuatan
peraturan baru (Darsiti Soeratman, 1990: 1).
Pada masa Paku Buwana IX ini tidak ada pembaharuan pada bidang
hukum, yang ada hanyalah perubahan pada bidang birokrasi akibat kebijakan etis.
Untuk menjamin kepentingannya, pemerintah Belanda membuat peraturan yaitu
peraturan yang mengatur tentang kenaikan tahta raja. Sebelum dinobatkan menjadi
raja, putra mahkota harus menandatangani suatu verklairing.
Putra mahkota menandatangani verklairing pada tanggal 25 maret 1893.
Pata tanggal 30 maret 1893 dilangsungkan penobatan raja yang dilanjutkan dengan
penandatanganan akta perjanjian. Dengan begitu dimulailah masa baru, masa
pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939). Peristiwa ini merupakan tradisi baru
dalam pemerintahan Kasunanan, karena kenaikan raja-raja sebelumnya hanya
menandatangani akta perjanjian dalam setiap kenaikan tahtanya.
Beberapa butir dalam verklairing antara lain mencakup masalah :
a. Perbaikan pengadilan, kepolisian dan penyelesaiannya menurut hokum
b. Daerah terselip (enclave)
c. Ganti kerugian dari pemerintah
d. Pemungutan pajak baru
e. Penyewaan tanah kepada orang-orang eropa
f. Kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh
pengusaha asing
g. Seremoni pada pesta dan kesempatan lain
Akta perjanjian pada pokoknya berisi ketentuan bahwa Sunan :
a. Mengakui kedudukannya sebagai vasal yang memperoleh tanah Surakarta
bukan karena kekuatan sendiri, melainkan sesuai perjanjian 1949
b. Berjanji akan setia pada perjanjian yang dibuat oleh raja-raja sebelumnya
c. Akan memerintah secara adil, melindungi pertanian, perdagangan dan
memajukan kesejahteraan rakyat
d. Tidak akan melakukan hubungan politik dengan negara asing
e. Menyatakan, jika ia tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian,
pemerintah berhak menarik kembali tanah pinjaman itu (Darsiti Soeratman,
1990: 55).
Perkembangan pengadilan pradata mendapat perhatian pada masa
pemerintahan Paku Buwana X. Namun, di dalam perkembangannya terdapat
perbedaan penafsiran antara Sunan dan pemerintah tentang reorganisasi hukum
pradata. Sunan menafsirkan hal tersebut sebagai sebuah usaha untuk membuat
pengadilan menjadi lebih berfungsi, tanpa meninggalkan dasar-dasar pengadilan
yang berlaku di Kasunanan. Sebaliknya, pemerintah menghendaki agar Sunan
menyerahkan pengadilan kepada pemearintah Belanda.
Sunan mengakui bahwa pengadilan pradata diambil oleh pemerintah
Belanda atas desakan residen meskipun hubungan diantara keduanya mengalami
ketegangan. Pada tanggal 17 oktober 1901 Sunan terpaksa menandatangani
perjanjian penyerahan pengadilan kepada pemerintah Belanda. Kekuasaan
Kasunanan harus mematuhi pemerintah Belanda berdasarkan hasil perjanjian antara
kedua belah pihak. Pada tahun 1901 Kasunanan harus menyerahkan pengadilan
kepada pemerintah Belanda. Pada tahun 1903, Pemerintah Belanda mulai
melaksanakan reorganisasi pengadilan. Dengan begitu, terjadi pengambialihan
sistem peradilan oleh Pemerintah Belanda dari Kasunan.
Perkembangan pengadilan pradata dan eksistensinya di Kasunanan
Surakarta sangat menarik untuk diteliti, dimana bidang-bidang hukum di
Kasunanan Surakarta mengalami perubahan seiring dengan pergantian raja-raja di
Kasunanan sehingga akhir dari tatanan hukum di wilayah Kasunanan mengalami
masa reorganisasi di bawah pemerintahan Belanda.
Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis dalam
mengkaji mengenai sistem peradilan di Kasunanan Surakarta menggunakan judul
“Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan
Sistem Peradilan di Kasunanan)”. Dalam pembahasan ini penulis melakukan
pembatasan masalah pada pengambialihan sistem peradilan di Kasunanan pada
masa Paku Buwana X setelah terjadi penyerahan pengadilan dari Kasunanan
kepada pemerintah Belanda pada tahun 1903.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka didapat
rumusan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana wewenang dan peran sistem peradilan Kasunanan
sebelum terjadi pengambilalihan oleh pemerintah Belanda ?
2) Bagaimana perkembangan sistem peradilan Kasunanan sejak
diberlakukannya hukum pemerintahan Belanda?
3) Bagaimana proses pengambilalihan sistem peradilan Kasunanan oleh
pemerintah Belanda ?
4) Bagaimana peran sistem peradilan Kasunanan setelah
pengambilalihan oleh pemerintah Belanda ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1) Untuk mengetahui wewenang dan peran pradata dalem sebelum
terjadi pengambilalihan oleh pemerintah Belanda
2) Untuk mengetahui perkembangan pradata dalem sejak
diberlakukannya hukum pemerintahan Belanda
3) Untuk mengetahui proses pengambilalihan pradata dalem tahun 1903
oleh pemerintah Belanda
4) Untuk mengetahui peran pradata dalem setelah pengambilalihan oleh
pemerintah Belanda
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a) Menambah kajian tentang pengambilalihan sistem peradilan di
kasunanan.
b) Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna
dalam rangka pengembangan ilmu sejarah
c) Dapat menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa tentang
sistem peradilan di kasunanan sehingga diharapkan nantinya ada
studi lebih lanjut mengenai pengambilalihan sistem peradilan di
keraton lain.
2. Manfaat Praktis
a) Menambah perbendaharaan referensi di
Perpustakaan Program Sejarah FKIP Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b) Dapat memberikan motivasi kepada para
sejarawan untuk selalu mengadakan penelitian
ilmiah.
c) Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa
Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang akan meneliti lebih lanjut
mengenai pengambilalihan sistem peradilan di
kasunanan.
d) Mencoba memberi sumbangan pemikiran bagi
masyarakat mengenai pengambilalihan sistem
peradilan di kasunanan.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Keraton
2. Hukum
a. Pengertian
Untuk mencari definisi tentang hukum bukanlah hal yang mudah. Bahkan
para sarjana hukum sendiri belum dapat merumuskan definisi hukum yang
memuaskan semua pihak. Pengertian hukum menurut E. Utrecht (1966) yang
berpendapat bahwa,
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-larangan) yang mengatur
tata tertib dalam suatu masyarakat, yang seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran mana terhadap
petunjuk hidup dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat
tersebut (h.13).
13
ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara”.
b. J.C.T Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H.
Dalam buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” telah
diberikan definisi hukum seperti berikut: “Hukum itu ialah peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa, yang menetukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukum tertentu”.
c. M.H. Tirtaatmidjaja, S.H.
Dalam buku beliau “Pokok-Pokok Hukum Perniagaan” ditegaskan, bahwa
“Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku,
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti
kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau
harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekannnya, didenda dan
sebagainya”. ( Kansil, 1986 : 38)
b. Unsur-Unsur Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa
hukum meliputi beberapa unsur, yaitu :
a. Peraturan mengenai
tingkah laku manusia
dalam pergaulan
masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan
tersebut adalah tegas.
c. Ciri-Ciri Hukum :
Untuk dapat mengenal hukum, kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum,
yaitu (Kansil, 1986 : 39) :
a. Adanya perintah dan/atau larangan
b. Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.
d. Tujuan Hukum
e. Sumber Hukum
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum itu dapat kita tinjau dari segi material dan segi formal:
1. Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut,
misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
2. Sumber-sumber hukum formal antara lain :
a. Undang-undang
b. Kebiasaan
c. Keputusan-keputusan hakim
d. Traktat
e. Pendapat sarjana hukum
15
3. Sistem Pemerintahan
17
pemerintahan Presidensial, pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan
kekuasaan legislatif diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu
badan atau organ yang didalam menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Pimpinan badan eksekutif ini
diserahkan kepada seorang yang didalam hal pertanggungjawabannya sifatnya sama
dengan badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Dengan demikian kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan
rakyat.
Susunan badan eksekutif terdiri dari seorang Presiden sebagai kepala
pemerintahan dan didampingi atau dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Presiden
didalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para menteri. Para menteri itu
kedudukannya sebagai pembantu Presiden, maka para menteri itu didalam
menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab kepada Presiden. Para menteri
tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
S. Pamudji (1982 : 19) berpendapat bahwa sistem pemerintahan
Presidensial, kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan parlemen. Ciri-Ciri
sistem presidensial adalah : a) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin
kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggung jawab kepadanya.
Presiden sekaligus juga berkedudukan sebagai kepala negara ; b) Presiden tidak
diplih oleh badan legislatif tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih, oleh karenanya
Presiden bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem parlementer ; c)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan dalam hubungan ini
Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif ; d) Sebagai imbangannya,
Presiden tidak dapat atau tidak mempunyai wewenang membubarkan badan
legislatif.
2) Sistem Pemerintahan Parlementer
Mashuri Maschab (1983 : 20) berpendapat, bahwa dalam sistem
pemerintahan Parlementer, Dewan Menteri tidak bertanggung jawab kepada Kepala
Negara (Presiden) tetapi kepada Parlemen. Pemimpin Kabinet ini disebut Perdana
Menteri, yang merupakan pimpinan pemerintahan. Dalam sistem ini kedudukan
Kabinet atau para menteri tergantung kepada parleman. Kabinet atau salah seorang
menteri dapat bubar atau berhenti dari jabatannya karena mosi tidak percaya
parlemen atau atas desakan parlemen.
Menurut Abu Daud Busroh (1989 : 14) sistem pemerintahan Parlementer
yaitu kabinet bertanggung jawab kepada parlemen atau badan perwakilan rakyat,
artinya kalau pertanggungjawaban kabinet itu tidak dapat diterima baik oleh badan
perwakilan rakyat, pertanggungjawaban tadi adalah pertanggungjawaban politis,
maka badan perwakilan rakyat dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak
percaya) terhadap kebijakasanaan kabinet dan sebagai akibat dari
pertanggungjawaban politis tadi kabinet harus mengundurkan diri.
Menurut C. S. T. Kansil (1993 : 104) dalam sistem pemerintahan
Parlementer apabila suatu Kabinet jatuh maka haruslah dibentuk Kabinet baru.
Pembentukan Kabinet baru dilakukan sebagai berikut:
a)Sesudah Pemilihan Umum, terrutama jika ternyata
perubahan didalam pertimbangan kekuatan partai
politik yang tidak dapat lagi membenarkan susunan
kabinet lama.
b)Apabila kabinet yang ada tidak lagi mendapatkan
dukungan yang layak dari parlemen, baik mengenai
rencana yang dimajukannya ataupun mengenai
kebijaksanaannya. Dan apabila muncul konflik antara
Parlemen dan Kabinet, maka biasanya kabinet
mengajukan permintaan dibebaskan dari tugasnya,
dengan cara Perdana Menterinya mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Dalam sistem pemerintahan Parlementer, kekuasaan eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari parlemen. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah sebagai
berikut : (a) Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh kekuatan
atau yang menguasai parlemen ; (b) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya
anggota parlemen, mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya
bukan anggota kabinet ; (c) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada
parlemen. Apabila kabinet anggotanya mendapat mosi tidak percaya dari parlemen,
19
maka kabinet harus mengundurkan diri ; (d) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya
kabinet, maka kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat membubarkan
parlemen (S. Pamudji, 1982 : 19).
Di Indonesia ketika baru merdeka tahun 1945, tata kepemerintahan telah
banyak diwarnai oleh pergantian sistem pemerintahan. Kabinet pertama setelah
proklamasi kemerdekaan adalah Kabinet Presidensial yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno. Pemerintahan Presidensial yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 hanya
berlaku beberapa bulan saja karena para menterinya belum menunjukkan partai
politik yang dianutnya, sehingga kabinet ini belum nampak mencerminkan
kekuatan-kekuatan politik yang ada (Miftah Thoha, 2004 : 116). Berdasarkan usul
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada tanggal 11 November 1945
yang disetujui oleh Presiden dan diumumkan pada tanggal 14 November 1945,
bahwa sistem pemerintahan Presidensial diganti dengan sistem pemerintahan
Parlementer. Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri
sebagai pimpinan kabinet dengan para Menteri sebagai anggota kabinet. Kemudian
beralih lagi menjadi sistem pemerintahan Presidensial pada tanggal 29 Januari 1948
(Dharma Setyawan Salam, 2004 : 37).
4. Konsep Birokrasi
Menurut Max Weber yang dikutip Widjojo (1994 : 25) birokrasi adalah
salah satu sistem otoritas yang diterapkan secara rasional oleh berbagai peraturan
yang dimaksudkan untuk mengorganisasikan secara teratur suatu pekrjaan yang
21
harus dilakukan banyak orang. Model birokrasi yang dikemukakan Max Weber
yang dikutip dari Ahmad Setiawan (1998) mengandung karakteristik sebagai
berikut : (a) para petugas staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas
operasional (b) ada hirarki jabatan yang jelas (c ) fungsi-fungsi jabatan ditentukan
secara tegas (d) para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak (e) dipilih
berdasarkan kualifikasi professional didasarkan suatu ijazah yang diperoleh melalui
suatu ujian (f) memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang
menurut kedudukan dalam hirarkhi (g) pos jabatan adalah lapangan kerjanya (h)
terdapat suatu struktur karir dan promosi berdasarkan senioritas maupun keahlian
(i) jabatan mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun sumber-sumber yang
tersedia di pos tersebut dan (j) tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang
seragam.
Di dalam birokrasi tradisonal pendapat Max Weber yang dikutip P.J.
Suwarno (1994), terbagi sebagi berikut: (a) kekuasaan tradisional didasarkan atas
kepercayaan terhadap legitimasi otoritas yang sudah ada. Orang yang berkuasa
disebut bendoro. Bendoro menikmati otoritas itu karena status ahli waris.
Perintahnya diakui secara sah selama sesuai dengan adat tradisonal, tetapi juga
memiliki hak prerogatif untuk mengambil keputusan sendiri secara bebas, sehingga
ciri-ciri pemerintahannya sesuai dengan adat tradisional dan kehendak sendiri.
Orang yang dikuasainya menjadi hamba yang mematuhi perintah-
perintahnya. Aparatur yang tepat untuk sistem ini adalah regim patrimonial, yang
terdiri dari para abdi penguasa (abdi dalem). Di dalam masyarakat feodal
aparaturnya adalah sekutu-sekutu yang setia (b) keuasaan kharismatis adalah
keuasaan oleh seorang pemimpin yang disebut nabi, pahlawan karena kekuatan
magis, wahyu, heroisme dan kekuatan-kekuatan adi kodrati yang lain. Kelompok
orang atau masyrakat yang dikuasai disebut pengikut atau murid yang lebih percaya
akan kekuatan-kekuatan yang luar biasa itu daripada peraturan yang dibuatnya atau
tradisi yang dianutnya. Apparatur yang digunakan untuk memerintah terdiri dari
orang-oraang yang dipilih atas dasar kepercayaan atau kebaktian terhadap kharisma
tersebut. Perintah yang dijalankan oleh apparatur itu didasarkan akan wahyu,
teladan, tingkah laku dan keputusan dari penguasa. Penguasa kharismatis biasanya
muncul pada saat darurat (c) kekuasaan legal ada kalau suatu sistem peraturan-
peraturan diterapkan secara yuridis dan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip
yang sah bagi semua kelompok kelembagaan. Penguasa adalah orang-orang atasan
yang ditunjuk atau dipilih berdasarkan prosedur legal dan para penguasa harus
mempertahankan tertib hukum. Orang-orang yang dikuasainya adalah orang-orang
yang secara yuridis mempunyai hak yang sama dengan penguasa dan kelompok
orang atau masyarakat sebenarnya lebih mematuhi undang-undang daripada
penguasa yang menegakkan undang-undang itu. Apparatus yang tepat untuk
kekuasan ini adalah birokrasi pemerintah yang melaksanakan kekuasaan legal.
Menurut Anderson (1980) bahwa struktur administrasi kerajaan Mataram
khusunya Kasunanan, walaupun resminya bersifat hierarkis, sesunguhnya terdiri
atas kelompok-kelompok kawula gusti yang berlapis-lapis. Baik di daerah-daerah
maupun pusat, setiap pejabat mengumpulkan sekelompok orang yang bergantung
disekelilingnya, mengikuti model raja sendiri. Para abdi dalem sebagai pembantu
administrasi dan pembantu politik dan tidak mempunyai status otonom yang benar-
benar, kecuali dengan otonomi yang berhubungan dengan otonomi gusti.
5. Hakekat Kekuasaan
a. Pengertian
Pengertian kekuasaan secara umum adalah ‘’kemampuan pelaku untuk
mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan’’ (Harold D. Laswell, 1984:9). Sejalan dengan itu, dinyatakan Robert A.
Dahl (1978 : 29) bahwa ‘’kekuasaan merujuk pada adanya kemampuan untuk
mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu pihak kepada pihak
lain’’.
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk
23
mempengaruhi pikiran atau tingkah laku orang atau kelompok orang lain, sehingga
orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu
enggan melakukannya. Bagian penting dari pengertian kekuasaan adalah syarat
adanya keterpaksaan, yakni keterpaksaan pihak yang dipengaruhi untuk mengikuti
pemikiran ataupun tingkah laku pihak yang mempengaruhi (Mochtar Mas’oed dan
Nasikun, 1987 : 22). Dinyatakan oleh Ramlan Surbakti (1992 : 58) bahwa
kekuasaan merupakan suatu kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh
yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam pengertian
yang lebih sempit, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan
sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan, sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya dan
masyarakat pada umumnya.
‘’Kekuasaan merupakan penggunaan sejumlah besar sumber daya (aset,
kemampuan) untuk mendapat kepatuhan dan tingkah laku menyesuaikan dari orang
lain’’ (Charles F. Andrain, 1992 : 130). Kekuasaan pada dasarnya dianggap sebagai
suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah
orang lain. Pemegang kekuasaan bisa jadi seseorang individu atau sekelompok
orang, demikian juga obyek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu.
Menurut Miriam Budiarjo (1983 : 35) kekuasaan adalah ‘’kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang ltu menjadi sesuai
dengan keinginn dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan’’.
Menurut Walter S. Jones (1993 : 3), kekuasaan dapat didefinisikan sebagai
berikut :
(1) Kekuasaan adalah alat aktor-aktor internasional untuk berhubungan satu dengan
lainnya. Itu berarti kepemilikan, atau lebih tepat koleksi kepemilikan untuk
menciptakan suatu kepemimpinan; (2) Kekuasaan bukanlah atribut politik alamiah
melainkan produk sumber daya material (berwujud) dan tingkah laku (yang tidak
berwujud) yang masing-masing menduduki posisi khusus dalam keseluruhan
kekuasaan seluruh aktor; (3) Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk
menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil
yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing; dan (4) Penggunaan kekuasaan
secara rasional merupakan upaya untuk membentuk hasil dari peristiwa
internasional untuk dapat mempertahankan atau menyempurnakan kepuasan aktor
dalam lingkungan politik internasional.
25
2) Dari kekayaan
Atas dasar kekayaan yang dimilikinya, seseorang atau sekelompok
orang dapat sedikit banyak memaksakan keinginannya kepada pihak-pihak lain agar
bersedia mengikuti kehendaknya. Kekayaan yang digunakan untuk memperoleh
kekuasaan biasanya dikaitkan dengan pemilikan sumber-sumber ekonomi. Semakin
besar kepemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi, apalagi kalau sumber-sumber
ekonomi itu merupakan sumber yang langka dan merupakan kebutuhan primer,
maka akan semakin besar pula kekuatan pemilik sumber-sumber ekonomi untuk
memaksakan keinginannya kepada pihak-pihak lain. Dalam realitas kehidupan,
kekuasaan yang bersumberkan pada kekayaan akan lebih terasa besar pengaruhnya
apabila berlangsung di masyarakat yang relatif kurang sejahtera, dan sekaligus juga
merupakan masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang tidak merata.
3) Dari kepercayaan
Seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan karena
yang bersangkutan memang dipercaya untuk memilikinya atas dasar kepercayaan
yang dianut masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya
muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang
dimiliki pemegang kekuasaan.
Menurut Miriam Budiardjo (1982 : 36) kekuasaan bisa diperoleh dari
kekerasan fisik (misalnya, seorang Polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui
kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat); pada kedudukan
(misalnya, seorang komandan terhadap bawahannya, seorang atasan dapat memecat
pegawainya); pada kekayaan (misalnya seorang pengusaha kaya dapat
mempengaruhi seorang politikus melalui kekayaannya); atau pada kepercayaan
(misalnya, seorang pendeta terhadap umatnya).
27
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa meskipun dalam
mempertahankan kekuasaan ada berbagai macam cara, tetapi ada beberapa
persamaannya yaitu pihak satu ingin selalu memerintah pihak lain, ingin lebih
tinggi dari pihak lain dan menginginkan ketaatan pihak lain.
B. Kerangka Berpikir
0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d46430100
000000000100ca140000000001000000180300000000000018030000010000006c0
0000000000000000000001a000000370000000000000000000000313700004f2500
Keterangan:
29
Keraton kasunanan sudah menerapkan system peradilan sejak pemerintahan
paku buwana II, meskipun masih sederhana. Keratin berfungsi sebagai tempat
untuk mendapatkan keadilan bagi rakyat kasunanan. Namun, dalam
perkembangannya, pemerintah belanda berhasil masuk ke kasunanan dan
mencampuri urusan pemerintahan kasunanan, termasuk dalam bidang peradilan.
Pemerintah belanda mampu bertahan dan menjaga eksistensinya dalam
mencampuri pemerintahan kasunanan. Pemerintah kasunanan tidak dapat berbuat
banyak karena pemerintah belanda terlalu kuat untuk disingkirkan. Sejak
pemerintahan paku buwana II-VI tidak ada perubahan dalam pemerintahan. Tidak
adanya perubahan peradilan yang signifikan tersebut dikarenakan singkatnya masa
pemerintahan Sunan sehingga belum sempat memikirkan perbaikan dalam
pemerintahan, khususnya perbaikan sistem peradilan. Kondisi pemerintahan pada
saat itu kurang mendukung untuk memperbaiki pemerintahan sebagai akibat dari
pemberontakan yang terjadi di Kasunanan.
Pada masa Paku Buwana VII ( 1830-1858) baru terjadi sebuah
perubahan yang cukup signifikan dalam pemerintahan. Hal tersebut terlihat
pada perubahan sistem pengadilan tradisional seiring dengan reorganisasi yang
dilakukan pemerintah Belanda. Perubahan tersebut mengakibatkan munculnya
beberapa pengadilan di wilayah Kasunanan termasuk adanya pengadilan
pradata. Paku buwana VIII hanya meneruskan pemerintah sebelumnya tanpa
melakukan perubahan yang berarti. Pada masa Paku Buwana IX ini tidak ada
pembaharuan pada bidang hukum, yang ada hanyalah perubahan pada bidang
birokrasi akibat kebijakan etis. Pada masa pemerintahan paku buwana X, terjadi
sebuah pengakuan bahwa pengadilan diambil oleh pemerintah Belanda atas
desakan residen meskipun hubungan diantara keduanya mengalami ketegangan.
Pada tahun 1903, pakubuwana X terpaksa menandatangani perjanjian
penyerahan pengadilan kepada pemerintah Belanda. Bidang-bidang hukum di
Kasunanan Surakarta mengalami perubahan pada masa reorganisasi di bawah
pemerintahan Belanda. Hal tersebut sangat merugikan kasunanan karena
belanda dapat membuat peraturan-peraturan baru untuk kepentingannya,
ditambah lagi, kasunanan harus tunduk terhadap peraturan belanda di wilayah
yang secara teritorial menjadi wilayah kekuasaanya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
31
Sebelas Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
f. Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta.
g. Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta.
h. Perpustakaan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
i. Radya Pustaka Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang digunakan adalah mulai dari disetujuinya judul
skripsi pada bulan Januari 2011 dan direncanakan sampai bulan Januari 2012.
B. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Penelitian ini merupakan penelitian
yang berusaha merekonstruksikan Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi
Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan). Mengingat peristiwa
yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang
digunakan adalah metode sejarah.
Hadari Nawawi (1998: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian
sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu
atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan
yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Gilbert
J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa
metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan
mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44)
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis
atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Menurut Helius
Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode sejarah adalah proses
menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa
lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada
sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat dipercaya.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk
memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara
kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari
sumber sejarah tersebut untuk dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik
dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995:
94) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa
latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrachman (1999: 30) data
sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan
pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber
sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Helius Syamsuddin ( 1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu:
Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita
tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past
actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials)
sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah
33
ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di
masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan
(lisan).
35
3) Penggalian terhadap bahan-bahan pustaka lainnya seperti buku, majalah,
artikel, yang dilakukan di perpustakaan yang dianggap penting dan
relevan dengan masalah yang diteliti.
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik
analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
(1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga
analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis
berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin
(1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang
menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang
digunakan dalam penulisan sejarah.
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64),
analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo
(1992: 2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka
pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang
akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh
diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka
teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan
penelitian.
Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan
kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk
mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat
diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi
penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan
bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian
eHjaeku/r
Pisertiisktiwa rah
naIjtre reta i
Kr tFikakta Se Historiografi
Seja
i arhp s
menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta
tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang
menyeluruh dan masuk akal.
F. Prosedur Penelitian
Keterangan :
1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh.
Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak
masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan
sumber lain yang relevan dengan penelitian.
Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis
berupa buku-buku yang relevan dan surat kabar. Dalam penelitian ini digunakan
sumber data tertulis, baik primer maupun sekunder. Sumber tertulis primer berupa
dokumen, babad, serat dan arsip yang meliputi: kitab-kitab hukum dalam perkara-
perkara pengadilan pradata seperti, Serat angger nawala pradata, angger gunung,
angger sadasa, undang-undang pranata perjanjian nagari surakarta, Rijksblaad
Soerakarta tahun 1903, stasblaad van Nederlandsch indie tahun 1847, Babad Sala.
37
Sumber data sekunder yang digunakan seperti buku yang berjudul Kehidupan
Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 karya Darsiti Soeratman, Yogyakarta di
Bawah Sultan Mangkubumi karya M.C. Ricklefs, Konsep Kekuasaan Jawa
karangan G. Moedjanto, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 179-1874 karya S.
Margana, sejarah indonesia modern 1200-2008 karya M.C. Ricklefs, Mengenal Sri
Susuhunan Pakoe Boewono X Karaton Surakarta karya K.P.H. S. Puspaningrat,
Merajut Nusantara: Paku Buwana X dalam Gerakan Islam Dan Kebangsaan karya
Hermanu Joebagio.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan mengunjungi
beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta,
Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta, Perpustakaan Keraton Kasunanan
Surakarta, Perpustakaan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Radya Pustaka
Surakarta .
2. Kritik
Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu
sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber
dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Dudung
Abdurrahman (1999: 58), kritik ekstern yaitu menguji suatu keabsahan tentang
keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang
kesahihan sumber (kredibilitas).
Kritik ekstern adalah kritik terhadap autentisitas sumber, apakah sumber
yang dikehendaki asli atau tidak, utuh atau turunan (salinan). Kritik ekstern
dilakukan terhadap sumber yang diperoleh berdasarkan bentuk fisik atau luarnya
berupa bahan (kertas atau tinta) yang digunakan dan segi penampilan yang lain.
Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat kapan sumber itu
dibuat, di mana sumber itu dibuat, siapa pengarangnya dan bagaimana latar
belakang pendidikan pengarang. Sebagai contoh kritik ekstern terhadap buku
“Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” karya Darsiti Soeratman, buku
tersebut di buat tahun 1989 dari sebuah suntingan disertasi yang telah
dipertahankan di depan senat Universitas Gadjah Mada yang kemudian dipadukan
dengan bahan-bahan lain sebelum penyusunan buku diselesaikan oleh Darsiti
Soeratman yang merupakan seorang lulusan dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang satu
dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya dan
dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar dapat
mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah yang
dikaji. Kritik intern sumber data tertulis dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengidentifikasi gaya, tata bahasa, dan ide yang digunakan penulis, sumber data,
dan permasalahannya kemudian dibandingkan dengan sumber data lainnya. Kritik
ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah
dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya
dengan membaca buku karangan Hermanu Joebagio yang berjudul Merajut
Nusantara: Paku Buwana X dalam Gerakan Islam Dan Kebangsaan, K.P.H. S.
Puspaningrat yang berjudul Mengenal Sri Susuhunan Pakoe Boewono X Karaton
Surakarta, G. Moedjanto yang berjudul Konsep Kekuasaan Jawa, S. Margana yang
berjudul Kraton Surakarta dan Yogyakarta 179-1874, membaca buku karangan
R.M. Said yang berjudul ” Babad Sala”.
3. Interpretasi
Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha
menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada,
kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain,
sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Menurut Berkhofer yang
dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64) bertujuan untuk melakukan sintesis
39
atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama
dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh,
sehingga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk analisa.
Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan menyeleksi dan menafsirkan tulisan
buku dengan penentuan periodisasi, merangkaikan data secara berkesinambungan,
misalnya dengan merangkaikan periode sejarah dan menghubungkan sumber data
sejarah yang ada pada tulisan Darsiti Soeratman dengan tulisan Hermanu Joebagio
maupun tulisan R.M. Said, sehingga menjadi kesatuan yang harmonis dan masuk
akal melalui interpretasi. Dalam kegiatan interpretasi ini penelitian yang dilakukan
berusaha bersikap obyektif yang disebabkan keanekaragaman data yang diperoleh.
Fakta-fakta yang didapat kemudian ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan
arti yang sebenarnya, sehingga dapat dipahami makna sesuai dengan pemikiran
yang relevan, logis dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dari kegiatan
kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah.
4. Historiografi
Historigrafi merupakan langkah terakhir dari metode sejarah untuk
menyampaikan fakta sejarah dalam bentuk penulisan sejarah berdasarkan bukti
berupa sumber-sumber data sejarah yang dikumpulkan, dikritik, dan diinterpretasi.
Historiografi dalam penelitian diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa
skripsi yang berjudul “Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi Tentang
Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)”.
DAFTAR PUSTAKA
41
Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1999. Sejarah kerajaan tradisonal
Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
G. Moedjanto . 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-
Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
43
Surakarta: K.S
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Soerjono Soekanto.1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sumadi Suryabrata. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Suratno. 1999. Skripsi: Sistem Birokrasi Dan Feodalisme Di Kerajaan Mataram
Islam. Surakarta: FKIP UNS.
Sri Winarti. 2004. Sekilas Sejarah Keraton Surakarta. Surakarta : Cendrawasih.
Sukarno. 1984. Ilmu dan Perjuangan. Jakarta : Inti Idayu Press
Suseno, Frans Magnis. 1998. Etika Jawa. Jakarta : Gramedia.
Sutopo, H B. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar Teoritis dan
Praktis. Surakarta : Pusat Penelitian UNS
Tri Yuniyanto. 2010. Daulat Raja Menuju Daulat Rakyat. Demokratisasi
Pemerintahan DI Yogyakarta. Solo : Cakrabooks.
Wahyu Purwiyastuti. 1997. Reorganisasi Peradilan Di Keraton Kasunanan
Surakarta 1903. Dalam Lembaran Sejarah Vol I. Yogyakarta : fakultas sastra,
UGM
Weber, Max. 1985. Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologis. Jakarta : Rajawali
Pers
Zainuddin Fananie. 2000. Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I Dalam
Babad Tutur: Sebuah Restrukturisasi Budaya Jawa. Surakarta:
Muhammadiyah University Press