Anda di halaman 1dari 16

Mental Mapping Kota Palu

LATAR BELAKANG
Kota merupakan hasil produk manusia dan budaya yang sangat beragam
yang lakukan oleh individu-individu yang bermukim dan beraktvitas didalamnya.
Menurut Mumford dalam Damayanti (2011), kota sangat spesifik terhadap
budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar
belakang yang serupa. Namun penilaian karakteristik sebuah kota relatif dianggap
lebih mudah karena bentuk fisik lebih mudah terlihat dan terasa dibandingkan
dengan aspek sosial budaya.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang
sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat,
akan senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai
perkembangan kuantitas dan kualitas masyarakat. Hal tersebut merupakan
indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta
wilayah di sekitarnya.
Perkembangan dan pertumbuhan kota secara spesifik diperoleh gambaran
mengenai hal-hal yang menyangkut proses perkembangan dan pertumbuhan
kota, faktor-faktor penggerak perkembangan dan pertumbuhan kota, dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipakai didalam usaha pengarahan dan
penyusunan arah dan besarnya perkembangan dan pertumbuhan kota. Untuk
mengetahui perkembangan dan pertumbuhan kota diperlukan adanya peta
mental (mental map) dapat diartikan sebagai pengetahuan seseorang terhadap
lingkungan disekitarnya sehingga dapat diketahui suatu identitas suatu kota.
Berdasarkan sejarah, Kota Palu awalnya adalah sebuah “Kota Baru” yang
letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat
baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula
pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan
Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai
di Boya Pogego sekarang ini.
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung,
yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia

Sri Wulandari |1
Mental Mapping Kota Palu

sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka


membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah
memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan
kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal
dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan
terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa
kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari
Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi
bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka
pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili
terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia
digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi
menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian raja yang yang terakhir, yaitu Raja Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi
pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan
oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct”
(perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian
pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif
berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam
Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Onder Afdeling,
yang meliputi tiga wilayah pemerintahan landschap, yaitu Landschap Palu,
Landschap Dolo dan Landschap Kulawi.
Pada tahun 1942, terjadi pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan
Belanda kepada pihak Jepang. Di masa Perang Dunia II ini, kota Donggala yang kala
itu merupakan ibukota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu
maupun Jepang. Hal ini mengakibatkan pusat pemerintahan dipindahkan ke kota
Palu di tahun 1950. Saat itu, kota Palu berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat wedana dan menjadi wilayah daerah
Sulawesi Tengah yang berpusat di Kabupaten Poso sesuai Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1950. Kota Palu kemudian mulai berkembang setelah dibentuknya

Sri Wulandari |2
Mental Mapping Kota Palu

Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 yang menempatkan Kota Palu
sebagai Ibukota Keresidenan.
Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari
tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama
semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa
penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha
makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka
terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah
Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang
berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.
Berangsur-angsur susunan ketatanegaraan RI diperbaiki oleh pemerintah
pusat disesuaikannya dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui
pemecahan dan penggabungan untuk pengembangan daerah, kemudian
dihapuslah pemerintahan Swapraja dengan keluarnya peraturan yang antara lain
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1959 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Terbentuknya
Dati I Propinsi Sulteng dengan Ibukota Palu.
Dasar hukum pembentukan wilayah Kota Administratif Palu yang dibentuk
tanggal 27 September 1978 atas Dasar Asas Dekontrasi sesuai Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu
sebagai Ibukota Propinsi Dati I Sulawesi Tengah sekaligus ibukota Kabupaten Dati
II Donggala dan juga sebagai ibukota pemerintahan wilayah Kota Administratif
Palu. Palu merupakan kota kesepuluh yang ditetapkan pemerintah menjadi kota
administratif.
Sebagai latar belakang pertumbuhan Kota Palu dalam perkembangannya
tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan rakyat di daerah ini dalam pencetusan
pembentukan Pemerintahan wilayah kota untuk Kota Palu dimulai sejak adanya
Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964. Atas dasar keputusan
tersebut maka diambil langkah-langkah positif oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II Donggala guna mempersiapkan segala

Sri Wulandari |3
Mental Mapping Kota Palu

sesuatu yang ada kaitannya dengan kemungkinan Kota Palu sebagai Kota
Administratif. Usaha ini diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng
Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk Panitia Peneliti kemungkinan Kota
Palu dijadikan Kota Administratif, maka pemerintah pusat telah berkenan
menyetujui Kota Palu dijadikan Kota Administratif dengan dua kecamatan yaitu
Palu Barat dan Palu Timur.
Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kota
Administratif Palu memulai kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah
berdasarkan fungsi sebagai berikut :
a) Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan
perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b) Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan
sosial ekonomi dan fisik perkotaan.
c) Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati
II Donggala.
Hal ini berarti pemerintah wilayah Kota Administratif Palu
menyelenggarakan fungsi-fungsi yang meliputi bidang pemerintahan, pembinaan
kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan dan pengarahan
pembangunan ekonomi, sosial dan fisik perkotaan.
Selanjutnya berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994, terjadi
perubahan status dari Kota Administratif Palu menjadi Kotamadya Palu yang
sekarang menjadi Kota Palu yang terbagi menjadi 8 kecamatan, yaitu Kecamatan
Palu Timur, Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Selatan, Kecamatan Palu
Utara, Kecamatan Ulujadi, Kecamatan Tatanga, Kecamatan Mantikulore dan
Kecamatan Tawaeli.
Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis
katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya
395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegunungan dan sungai
membelah ditengah kota. Kota Palu terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari

Sri Wulandari |4
Mental Mapping Kota Palu

permukaan laut dengan keadaan topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan


dataran rendah umumnya tersebut disekitar pantai. Sedangkan morfologi Kota
Palu pada awalnya mengikuti pola perkembangan fisik yang bersifat konsentris,
yaitu penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung
lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai
perkembangan konsentris (concentric development). (Northam dalam Yunus
(1994)).

KARAKTERISTIK VALUNER (NARASUMBER)


Tujuan dari penyusunan peta mental di Kota Palu ini untuk mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, dan menguraikan
kembali informasi mengenai loaksi relatif serta tanda-tanda mengenali lingkungan
geografis oleh seseorang terhadap suatu kota.
Narasumber untuk pengumpulan data dan peta mental Kota Palu adalah
penduduk asli Kota Palu dan pendatang yang sudah mentap di Kota Palu yang
berjumlah 5 orang dengan latar belakang umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, dan kegemaran yang berbeda.
 Narasumber 1 merupakan penduduk asli Kota Palu yang berjenis kelamin
perempuan dan berusia 28 tahun ini menyebutkan bahwa ciri khas dari Kota
Palu adalah Patung Kuda, Anjungan Pantai Talise, Monumen Nosarara
Nosabatutu, Bundaran STQ, Taman Nasional, Lapangan Vatulemo, Masjid
Arkam Babu Rahman (Masjid Terapung), Jembatan Palu IV, dan Pusat Rekreasi
Masyrakat. Narasumber yang sekarang berstatus mahasiswa dengan latar
pendidikan sebelumnya yaitu arsitektur dan juga gemar mendengarkan musik
ini, maka yang terpilih menjadi ciri khas suatu kota adalah tempat atau
bangunan yang paling menonjol sehingga mudah untuk dikenali.
 Narasumber 2 merupakan warga pendatang yang berasal dari Kota Makassar
(Sulawesi Selatan) yang berjenis kelamin laki-laki dan berusia 27 tahun ini
menyebutkan bahwa yang menjadi ciri khas dari Kota Palu adalah Monumen
Nosarara Nosabatutu, Patung Kuda, Jembatan Palu IV, Kampung Nelayan,

Sri Wulandari |5
Mental Mapping Kota Palu

Masjid Arkam Babu Rahman (Masjid Terapung), Bundaran Hasanuddin,


Kawasan Pertokoan, Sungai Palu dan Anjungan Pantai Talise. Narasumber yang
bekerja di salah satu kantor swasta dengan latar pendidikan yaitu teknik sipil
serta gemar berenang ini, maka yang menjadi ciri khas kota ini adalah tempat-
tempat yang paling sering dikunjugi dan juga tempat rekreasi.
 Narasumber 3 merupakan warga pendatang yang berasal dari Kota Kediri (Jawa
Timur) yang berjenis kelamin laki-laki, berusia 29 tahun dan sudah menetap di
Kota Palu selama 25 tahun ini menyebutkan bahwa ciri khas dari Kota Palu
adalah Rumah Adat Souraja, Anjungan Pantai Talise, Gedung Juang, Taman
Nasional, Lapangan Vatulemo, Kawasan Penggaraman, Kampung Nelayan, dan
Jembatan Palu IV. Narasumber yang bekerja disalah satu kantor pemerintahan
ini dengan latar belakang pendidikan dari teknik arsitektur ini dan gemar jalan-
jalan ini, maka yang menjadi ciri khas dari kota ini adalah tempat-tempat yang
memiliki nilai historis yang bisa dikelola menjadi kawasasn heritage dan yang
menjadi pusat aktivitas masyarakat.
 Narasumber 4 merupakan warga yang berasal dari Kabupaten Parigi Moutong
yang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang berjenis
kelamin laki-laki dan berusia 31 tahun ini menyebutkan bahwa yang menjadi
ciri khas Kota Palu adalah Monumen Nosarara Nosabatutu, Patung Kuda,
Sungai Palu, Bundaran STQ, Lapangan Vatulemo, Jembatan Palu IV, Taman Gor,
dan Pantai Taman Ria. Narasumber yang bekerja di salah satu bank swasta dan
gemar bersepeda ini, maka yang menjadi ciri khas kota ini adalah tempat-
tempat yang biasa dilewati yang juga merupakan rute bersepeda untuk
berkeliling kota.
 Narasumber 5 merupakan penduduk asli Kota Palu yang berjenis kelamin laki-
laki dan berusia 63 tahun ini menyebutkan bahwa ciri khas dari Kota Palu adalah
Gedung Juang, Taman Nasional, Jembatan Palu I, Pasar Tua, Rumah Adat
Souraja dan Kawasan Pertokoan. Narasumber yang juga seorang pensiunan
PNS dan pernah menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia serta gemar

Sri Wulandari |6
Mental Mapping Kota Palu

berolahraga ini lebih menekankan kepada bangunan bersejarah yang dapat


menjadi ciri khas suatu kota.

ANALISIS PETA MENTAL


Citra kota merupakan kesan atau persepsi antara pengamat dengan
lingkungannya yang diberikan oleh orang banyak bukan individual. Kesan atau
persepsi setiap orang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
pengalaman yang dialami dan sudut pandang. Citra kota lebih ditekankan pada
lingkungan fisik atau sebagai kualitas sebuah obyek fisik seperti warna, struktur
yang kuat, sehingga akan menimbulkan bentuk yang berbeda, bagus dan menarik
perhatian.
Dalam mengidentifikasi citra kota berdasarkan hasil pengamatan terhadap
masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan metode menurut Kevin Lynch,
yaitu melalui kegiatan wawancara mendalam (In depth interview) dan pemetaan
citra kota (Mental mapping). Saat wawancara dapat diajukan pertanyaan
mengenai bagaimana suatu kota disimbolkan oleh masyarakat kemudian diminta
untuk mendeskripsikan perjalanan mereka dari rumah sampai dengan ke tempat
aktivitas rutin seperti bekerja dan sekolah termasuk tanda-tanda yang mereka
alami selama perjalanan. Mereka juga diminta untuk membuat suatu daftar dan
deskripsi mengenai bagian-bagian yang paling mudah mereka kenali atau memiliki
ciri khas. Selain wawancara mereka juga diminta untuk membuat suatu sketsa
atau peta kasar dari kota itu. Dari sketsa itu dapat dilihat bahwa mereka tidak akan
mencantumkan tempat-tempat yang membingungkan dan bagian-bagian kota
yang tidak disukai oleh masyarakat.
Setiap orang akan memiliki peta mental yang berbeda-beda. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Gaya hidup seseorang akan berpengaruh terhadap peta mental yang
dimiliknya. Pengaruhnya terhadap tempat-tempat yang pernah diketahui atau
didatanginya.

Sri Wulandari |7
Mental Mapping Kota Palu

2. Keakraban dengan lingkungan. Jika seseorang mengenal lingkungan sekitarnya


dengan baik, maka akan semakin luas dan semakin rinci peta mentalnya.
3. Keakraban sosial. Semakin pandai seseorang bergaul, maka akan semakin
banyak tempat baru yang akan dikunjungi. Hal ini berarti seseorang akan
semakin mengenal wilayah-wilayah lain diluar lingkungannya.
Dengan demikian berdasarkan hasil data diatas, dapat ditemukan bahwa
tempat yang paling mudah diingat yang dapat menjadi ciri khas Kota Palu, yaitu
Jembatan Palu IV dipilih oleh 4 narasumber, kemudian Patung Kuda, Anjungan
Pantai Talise, Taman Nasional, Monumen Nosarara Nosabatutu, dan Lapangan
Vatulemo masing-masing dipilih oleh 3 narasumber. Selanjutnya Kampung
Nelayan, Kawasan Pertokoan, Bundaran STQ, Sungai Palu, Rumah Adat Souraja,
Gedung Juang dan Masjid Arkam Babu Rahman (masjid terapung) masing-masing
dipilih oleh 2 narasumber. Kawasan penggaraman, Pusat Rekreasi Masyarakat,
Bundaran Hasanuddin, Taman GOR, Pantai Taman Ria, Pasar Tua dan Jembatan
Palu I masing-masing dipilih oleh 1 narasumber.
Peta mental seseorang dapat diukur melalui citra suatu kota sebagai
pembentuk identitas kota. Namun citra kota belum tentu dikatakan sebagai
identitas kota. Citra kota dapat dibuat secara instan, sedangkan identitas kota
membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya. Identitas kota berkaitan
dengan ritme sejarah yang telah melalui proses yang panjang. Sehingga dalam
sebuah citra kota memerlukan (Lynch, 1960) :
 Identitas pada sebuah obyek atau sesuatu yang berbeda dari yang lain.
 Struktur atau pola yang saling berhubungan antara obyek dan pengamat.
 Makna terhadap obyek bagi pengamatnya.
Adapun elemen yang yang membentuk citra kota menurut Kevin Lynch
adalah sebagai berikut :
1. Paths merupakan suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak
atau berpindah tempat untuk mengamati kota dan elemen –elemen lingkungan
lainnya yang saling berhubungan. Path menunujukkan rute-rute sirkulasi yang
biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni

Sri Wulandari |8
Mental Mapping Kota Palu

jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan
sebagainya. Path mempunyai identitas yang lebih baik jika memiliki identitas
yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun dan lain-lain), serta ada
penampakan yang kuat (misalnya fasade, pohon, dan lain-lain), atau belokan
yang jelas.
Yang menjadi paths di Kota Palu adalah Jalan Prof. Yamin terdapat Lapangan
Vatulemo, Jalan Sultan Hasanuddin 1 terdapat Gedung Juang dan Taman
Nasional, Jalan DR. Moh. Hatta terdapat Taman Gor, Jalan Cumi-cumi terdapat
Pantai Taman Ria dan Masjid Arkam Babu Rahman (masjid terapung), Jalan
Rajamoili terdapat Anjungan Pantai Talise, dan Jalan Cut Mutia terdapat Pusat
Rekreasi Masyarakat dan Kawasan Penggaraman.
2. Edges merupakan batas yang memiliki identitas yang kuat karena tampak
visualnya yang jelas dan fungsi batasnya yang jelas untuk membagi atau
menyatukan dapat berupa suatu desain, sungai, gunung, dan sebagainya.
Yang menjadi edges di Kota Palu adalah Sungai Palu, yang membelah wilayah
kota bagian timur dan barat.
3. Districs merupakan kawasan bagian kota yang mempunyai karakter atau
aktivitas khusus yang mudah dikenali oleh pengamatnya yang memiliki bentuk
dan pola, wujud, ciri dan karakteristik yang berbeda dengan kawasan
sekitarnya, misalnya kawasan perdagangan, kawasan permukiman, daerah
pinggiran kota, daerah pusat kota, dan sebagainya.
Yang menjadi districs di Kota Palu adalah kawasan pertokoan dan kawasan
penggaraman.
4. Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain,
misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota
secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar taman, square, dan
sebagainya.
Yang menjadi nodes di Kota Palu yang merupakan persimpangan lalu lintas
adalah patung kuda yang merupakan perempatan antara Jalan Rajamoili, Jalan

Sri Wulandari |9
Mental Mapping Kota Palu

Undata, Jalan Raden Saleh, dan Jalan Cut Mutia. Kemudian nodes yang kedua
adalah Taman Nasional yang berbentuk lingkaran yang juga merupakan
persimpangan lalu lintas antara Jalan Sultan Hasanuddin I, Jalan Mawar, Jalan
Jend. Gatot Subroto, Jalan Wolter Monginsidi, dan Jalan Sulawesi. Selanjutnya
nodes yang ketiga adalah bundaran Hasanuddin yang juga merupakan
persimpangan lalu lintas antara Jalan Sultan Hasanuddin I, Jalan Togean, Jalan
Sultan Hasanuddin dan Jalan Jend. Sudirman. Nodes persimpangan lalu lintas
berikutnya adalah bundaran STQ antara Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan
Jabal Nur. Nodes yang lainnya adalah Taman Gor, Pasar Tua dan Jembatan Palu
IV.
5. Landmark merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat
penempatan yang menarik perhatian dan mempunyai bentuk yang unik serta
terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya. Beberapa landmark
mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan
landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari
mana saja. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena
membantu orang mengenali suatu daerah dan juga titik yang menjadi ciri suatu
kawasan. Misalnya sungai, gunung, pantai, gedung, patung, tugu, jembatan,
jalan layang, dan sebagainya.
Yang menjadi landmark Kota Palu yang alami adalah berupa bentang alam,
yaitu Sungai Palu, Gunung Gawalise, dan Teluk Palu. Sedangkan landmark yang
buatan, yaitu Jembatan Palu IV, Masjid Arkam Babu Rahman, Anjungan Pantai
Talise, Patung Kuda dan Monumen Nosarara Nosabatutu.

Sri Wulandari | 10
Mental Mapping Kota Palu

U Monumen
Nosarara
Nosabatutu

Kampung
Nelayan

Bundaran
Kawasan STQ
Penggaraman

Pusat Rekreasi
Masyarakat
Pantai
Taman
Ria Masjid terapung
Jembatan Anjungan Patung
Palu IV Pantai Kuda
Talise

Rumah Adat Sungai


Souraja Palu

Pasar Tua Kawasan


Taman GOR
Pertokoan
Jembatan Palu I Bundaran
Gedung Juang
Hasanuddin
Taman Lapangan
Nasional Vatulemo

Gambar 1. Peta Mental berdasarkan Persepsi Masyarakat

Sri Wulandari | 11
Mental Mapping Kota Palu

Gambar 2. Peta Mental berdasarkan Elemen Pembentuk Citra Kota

Sri Wulandari | 12
Mental Mapping Kota Palu

Berdasarkan Gambar 1 diatas dapat diketahui terdapat 20 tempat yang


paling mudah diingat, yaitu : Jembatan Palu IV yang merupakan jembatan
lengkung pertama di Indonesia dan yang ketiga di dunia, kemudian patung kuda,
Anjungan Pantai Talise merupakan ruang terbuka publik yang berada di sepanjang
pesisir Pantai Talise, Taman Nasional merupakan salah satu ruang terbuka hijau
yang berada ditengah-tengah Kota Palu, Monumen Nosarara Nosabatutu yang
berarti Bersama Kita Satu merupakan bangunan berwarna putih yang berfungsi
sebagai simbol perdamaian dan merupakan bagian dari Taman Edukasi
Perdamaian Nusantara serta juga terdapat Gong Perdamaian Nusantara yang
hanya terdapat di 5 daerah di Indonesia. Selanjutnya Lapangan Vatulemo
merupakan ruang terbuka publik yang berada di depan Kantor Walikota Palu yang
juga menjadi salah pusat kegiatan masyarakat untuk berolahraga, menikmati
jajanan kaki lima, untuk kegiatan konser, upacara, pameran, hingga digunakan
untuk melaksanakan shalat untuk hari raya. Kemudian kampung nelayan
merupakan pantai tempat rekreasi yang berada di tengah kota. Kawasan
pertokoan yang terletak di Jalan Sultan Hasanddin ini merupakan salah pusat
perdagangan yang sudah ada sejak lama di Kota Palu dengan menggunakan sistem
pertokoan linier (shopping street). Bundaran STQ, Sungai Palu adalah sungai yang
membelah Kota Palu, Rumah Adat Souraja merupakan bangunan tradisional
tempat tinggal para raja. Gedung Juang merupakan bangunan peninggalan
Belanda dan juga merupakan bangunan pemerintahan pertaman di Sulawesi
Tengah. Masjid Arkam Babu Rahman atau yang lebih dikenal dengan sebutan
masjid terapung, karena memang memang letaknya yang menjorok ke arah laut
dan merupakan masjid terapung pertama di Kota Palu. Kemudian kawasan
penggaraman merupakan satu-satunya kawasan pembuatan garam yang tersisa di
Kota Palu, sehingga dijadikan kawasan cagar budaya. Pusat Rekreasi Masyarakat
merupakan ruang terbuka publik yang juga terletak di pesisir Pantai Talise ini
merupakan tempat favorit masyarakat Kota Palu untuk melepaskan kepenatan
karena dapat menikmati pemadangan ke arah Teluk Palu dan pegunungan dan
juga terdapat kafe-kafe kecil di sepanjang pesisir pantai yang menyuguhkan

Sri Wulandari | 13
Mental Mapping Kota Palu

jajanan tradisional. Bundaran Hasanuddin yang terletak bersebelahan dengan


kawasan pertokoan, kemudian Pantai Taman Ria juga merupakan tempat rekreasi
di tengah kota ke arah barat dari pusat kota. Pasar tua merupakan pasar
tradisional yang masih bertahan hingga sekarang dan yang terakhir adalah
Jembatan I merupakan jembatan pertama yang mengubungkan dua wilayah Kota
Palu yang dipisahkan oleh Sungai Palu.
Dapat disimpulkan bahwa pola perkembangan fisik Kota Palu cenderung
berbentuk konsentrik yaitu penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada
bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak
(Northam dalam Yunus (1994)) dengan fungsi kawasan permukiman, kegiatan
pemerintahan, kawasan perdagangan dan kawasan pendidikan berada di pusat
kota. Sedangkan tempat pusat kegiatan masyarakat yang menjadi landmark
hampir semuanya berpola linier (memanjang) mengikuti kondisi geografis yang
berada di sepanjang pesisir pantai Teluk Palu yaitu Pantai Taman Ria, Masjid
Arkam Babu Rahman (masjid terapung), Jembatan Palu IV, Anjungan Pantai Talise,
Pusat Rekreasi Masyarakat, Kawasan Penggaman dan Kampung Nelayan.

Sri Wulandari | 14
Mental Mapping Kota Palu

KESIMPULAN
Peta mental merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi citra suatu
kota yaitu dengan mendeskripsikan bagian atau tempat yang paling mudah
dikenali atau memiliki ciri khas tersendiri. Berdasarkan peta mental dari
narasumber didapatkan 20 tempat yang paling menonjol dan memiliki ciri khas
yang ada di Kota Palu. Sedangkan berdasarkan elemen pembentuk citra kota, peta
mental yang didapatkan adalah tempat-tempat yang berhubungan dengan peta
mental sebelumnya. Dengan demikian peta mental berdasarkan persepsi
masyarakat saling berkaitan terhadap elemen pembentuk citra kota.
Setiap orang dapat dengan mudah membuat peta mentalnya sendiri.
Namun kedetailan peta mental tersebut sangat bergantung pada pada setiap
orang dan seberapa sering orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Faktor lainnya seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan
kegemaran juga cenderung memiliki pengaruh kuat dalam mempersepsikan suatu
kota.

Sri Wulandari | 15
Mental Mapping Kota Palu

DAFTAR PUSTAKA
Lynch, Kevin. 1960. The Image Of City. The M.I.T. Press. Cambridge.
Mulyati, Ahda dan Junaeny, Fitria. 2009. Pusat Pertokoan Dengan Konsep
Pedestrian Mall di Kota Palu. Jurnal Ruang Vol. 1 (1), 21-26.
Rifai. 2011. Analisis Perkembangan Fisik Kota Palu dengan Citra Landsat. Jurnal
Ruang Vol. 3 (1), 45-54.
Yunus, Hadi S. 1994. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Maada. Yogyakarta.
Zand, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Kanisius. Yogyakarta.

Internert Source
________. 2010. Sejarah Kota Palu I Sulawesi Tengah. [Online]. Tersedia di :
http://indo-one.blogspot.com/2010/07/sejarah-kota-palu-sulwesi-tengah.html.
[01 Desember 2014].
________. 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.66 Tahun 2011. [Online].
Tersedia di : http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id
/72/name/sulawesi-tengah/detail/7271/kota-palu. [01 Desember 2014].
Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah. 2011. Sejarah Singkat Sulawesi Tengah.
[Online]. Tersedia di : http://sulteng.go.id./pub3/index.php?option=com
content&view=article&id=46&Itemid=53. [01 Desember 2014].
Damayanti, Rully. 2011. Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Persepsi Kota Surabaya.
[Online]. Tersedia di : http://rullydamayanti.wordpress.com/. [01 Desember 2014]
Palu, Soal. 2014. Taman Edukasi Perdamaian Nusantara, Hanya Sekedar Simbol?.
[Online]. Tersedia di : http://www.infopalu.com/2014/05/taman-edukasi-
perdamaian-nusantara-hanya-sekedar-simbol/. [01 Desember 2014].
Rumudiati, Ninik. 2009. Peta Mental Wilayah. [Online]. Tersedia di :
http://ninikr.blogspot.com/2009/05/peta-mental-wilayah.html. [01 Desember
2014].

Anda mungkin juga menyukai