Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

BANTEN SEBELUM DAN SESUDAH PROVINSI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Budaya Banten II

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Eva Syarifah Wardah, S.Ag., M, Hum.

Disusun Oleh : Kelompok VII / 2B

1. Erfandi 191350042
2. Naufal Fawwaz Dzaki 191350048
3. Arsa Fadilah 191350049
4. Muhammad Farhan Alibasyah 191350061
5. Muhammad Hikmatullah 191350068

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2020
A. Pendahuluan

Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya


pemerintah dan parlemen baru di tingkat pusat, kehidupan politik di Jawa
Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat Dalam bidang
pemerintahan, dibentuk lembaga pemerintahan baru yang sisesuaikan dengan
konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua
macam pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten/ kotamadya.

Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya


Baru dan Pemerintahan daerah Gotong Royong. Pemerintahan Daerah Gaya
Baru dibentuk atas dasar Penpres No.6 tahun 1959 yang berlangsung dari
tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan
Daerah ini tersususn atas badan eksekutif dan legislatif. Badan eksekutif
terdiri dari gubernur yang di bantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). 1

Menurut ketentuannya, gubernur dibantu oleh enam orang anggota BPH,


tetapi sampai akhir Pemerintahan Daerah gaya Baru anggota BHP hanya tiga
orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI), satu orang
wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu orang wakil dari Murba. Dua
orang wakil dari Masyumi dan satu orang wakil dari PNI menolak untuk
diangkat sebagai anggota BPH karena mereka tidak dapat melepaskan
keanggotaan dari partainya masing-masing. Disamping itu, selain sebagai
kepala daerah, gubernur juga bertindak sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua
DPRD Gaya baru) . DPRD gaya Baru beranggotakan 75 orang yang tersusun
dari partai-partai politik dan golongan fungsional. Setelah pembentukan DPR
Gotong royong di tingkat pusat, di Jawa Barat pun terjadi perubahan dalam
pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah Gaya Baru diganti dengan
Pemerintahan daerah Gotong-Royong dibentuk atas dasar Penpres No.5 tahun
1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember
1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Badan
Eksekutif terdiri atas Gubernur dengan dibantu oleh Anggota Badan

1
https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten

1
Pemerintahan harian (BPH). Badan Legislatif adalah DPRD Gotong Royong
dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong
Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi karena partai-partai
politik yang akan memduduki tiga kursi tidak diakui oleh pemerintah,
sehingga jumlahnya hanya 72 orang.2

B. Perubahan Sistem Pemerintahan oleh Inggris di Banten

Inggris sebagai imperium di nusantara pada zamannya salah satunya di


Banten. Banyak melakukan kebijakan – kebijakan yang diatur dengan
sendirinya. Salah satunya yaitu dengan penghapusan atau perubahan Banten
dari status kesultanan hingga menjadi beberapa wilayah yang terdiri dari
beberapa kabupaten yang secara nyata hal itu terjadi pada masa pemerintahan
Letnal Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Hal itu terjadi karena
utusan Inggris datang langsung ke Istana Banten dan menurunkan status sultan
menjadi “bupati sultan” serta menerima tunjangan 10.0000 ringgit. Dengan
adanya status penurunan tersebut, dapat dinyatakan bahwa Banten berada di
bawah kekuasaaan Inggris.3

Pada tahun 19 Maret 1813, Raffles memaksa Sultan Muhammad


Syafiuddin membuat perjanjian yang menyatakan penyerahan pemerintahan
Belanda kepada pemerintah Inggris. Status sultan kemudian berubah menjadi
bupati dengan sebutan bupati sultan. Sebagai imbalan atas perubahan status
itu, sultan mendapatkan tunjagan dari pemerintah Inggris sebesar 10.000
ringgit per tahun. Setelah berhasil merubah status kesultanan menjadi
kabupaten, Raffles melakukan reorganisasi atas wilayah Banten pada tahun
1813. Banten kemudian dibagi menjadi 4 daerah setingkat kabupaten di bawah
pimpinan seorang bupati sowan (bupati pelapor). Perubahan status di tubuh
kesultanan membuat Inggris semakin leluasa mencampuri urusan kesultanan.
Tujuan Inggris melakukan hal itu adalah untuk memanfaatkan keluarga
kesultanan, agar mereka dapat memudahkan menjalankan roda
pemerintahannya. Adapun keempat kabupaten tersebut adalah :
2
https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten
3
Tim Penyusun, Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung), 2006, P. 65

2
1. Kabupaten Banten Lor (utara) yang dipimpin oleh Bupati Pangeran
Suramenggala.
2. Kabupaten Banten Kulon (barat) yang dipimpin oleh Bupati Tubagus
Hayudin.
3. Kabupaten Banten Tengah yang dipimpin oleh Bupati Tubagus
Ramlan.
4. Kabupaten Banten Kidul (Selatan) yang dipimpin oleh Bupati
Tumenggung Suradilaga.4

Meskipun Raffles telah melakukan reorganisasi bekas Kesultanan Banten,


namun tidak mampu memadamkan berbagai perlawanan rakyat sebagai
dampak penghapusan Kesultanan Banten.5 Walaupun Raffles berhasil
merubah tatanan pemerintahan di bidang administrasi wilayah dan berhasil
menurunkan status sultan menjadi bupati sultan, tetapi kekuasaan Inggris
tersebut tidak bertahan lama. Selama Indonesia dipimpin Gubernur Jenderal
Raffles, Banten di bawah kekuasaan Sultan Muhammad Rafiuddin, yaitu pada
tahun 1832 diasingkan ke Surabaya karena dituduh berkomplot dengan bajak
laut. Dengan diasingkannya Sultan Muhammad Rafiuddin ini menyebabkan
hilangnya eksistensi Kesultanan Banten. Masa Pemerintahan Raffles sebagai
gubernur di pulau jawa tidak bertahan lama, ia pun harus mengembalikan
kekuasannya kepada pemerintah Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816 yang
didasarkan atas Konvensi London pada tahun 18146 sebagai akhir dari Perang
Napoleon di Eropa.7

C. Perubahan Sistem Pemerintahan oleh Belanda di Banten

Setelah peralihan dari Inggris kepada Belanda, Pemerintah Belanda


dipegang oleh 3 orang komisaris, yaitu: Mr. C. Th. Elout, Baron Van der
Cappellen, dan A.A. Busykes. Selanjutnya tahun 1819, jabatan komisaris

4
Tim Penyusun, Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung), 2006, P. 65
5
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, (Lebak: Pemerintah Daerah Kabupaten
Lebak), 2006, P. 149 – 151
6
Tim Penyusun, Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung), 2006, P. 66
7
Djoko Marihandono dan Harto Juwono, Banten Sumber Potensi Heroisme Di Nusantara,
(Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten), 2014, P. 32

3
Belanda dihapuskan dan diganti dengan jabatan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang dipercayakan kepada Van der Cappellen.

Van der Cappellen kemudian mengeluarkan kebijakan yaitu administrasi


wilayah yang sudah ditetapkan Raffles harus dirombak lagi. Van der
Cappellen mempertahankan sistem pemerintahan sentralistik yang dilakukan
secara otokratis.8 Kalau Raffles menetapkan empat kabupaten untuk Banten,
ternyata oleh Van der Cappellen dikerucuti menjadi 2 kabupaten yaitu Banten
Utara dan Banten Selatan. Namun tidak lama kemudian menjadi tiga
kabupaten, yaitu :

1. Kabupaten Banten Utara dengan ibukota Serang


2. Kabupaten Banten Barat dengan ibukota Caringin
3. Kabupaten Banten Selatan dengan ibukota Lebak.

Pada tahun 1854, di wilayah Banten terjadi lagi perubahan wilayah, yaitu
Banten yang tadinya dibagi menjadi tiga kabupaten, kemudian dibagi menjadi
lagi menjadi empat kabupaten :

1. Kabupaten Banten Utara dengan ibukota Serang


2. Kabupaten Banten Barat dengan ibukota Caringin
3. Kabupaten Banten Tengah dengan ibukota Pandeglang
4. Kabupaten Banten Selatan dengan ibukota Lebak9

Berdasarkan Undang – undang pemerintahan baru, yaitu Regeerings-


Reglement (RR) 1854 itu merupakan undang-undang yang menjalankan sistem
pemerintahan sentralistis dikombinasikan dengan dekosentrasi. Sistem ini
dimaksudkan agar efisiensi, efketifitas, dan keseragaman dalam pemerintahan.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat tetap memikul beban berat
karena daerah-daerah (karesidenan dan kabupaten/ afdeling) tidak memiliki
hak otonom. Atas dasar hal tersebut, dipersiapkan pemberian hak otonomi dan
pemerintahan sendiri dalam rancangan undang-undang desentralisasi tahun
1902. Pada tanggal 23 Juli 1963 keluarlah undang-undang desentralisasi. Pada
8
Bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak pada diri seseorang; kediktatoran
9
Tim Penyusun, Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Bandung), 2006, P. 68

4
pokoknya, undang-undang desentralisasi bertujuan untuk membuka
kemungkinan adanya gemeenschappen, yaitu daerah yang mempunyai
pemerintahan dan hak mengurus rumah tangganya sendiri.10

D. Banten Pasca Kemerdekaan

Pada tahun 19 Agustus 1945, pemerintah berhasil membentuk 12


kementrian dan PPKI berhasil membentuk 8 provinsi yang dikepalai oleh
seorang gubernur dan masing – masing provinsi terdiri dari keresidenan –
keresidenan yang dikepalai oleh residen. Salah satu provinsi yang dibentuk
adalah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yaitu R. Sutarjo
Kartohadikusumo yang berkedudukan di Jakarta. Pengangkatan gubernur
Jawa Barat dilakukan oleh presiden Republik Indonesia melalui surat
keputusan tertanggal 19 Agustus 1945. Kemudian memnuhi amanat pasal 18
Undang – undang Dasar 1945 berikut Pasal I dan II aturan peralihan UUD RI.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945, dibentuk kerasidenan – kerasidenan
yang masing – masing dikepalai oleh seorang rasiden. Selanjutnya, tiap
kerasidenan dibagi lagi atas beberapa kabupaten dan kotapraja yang masing –
masing dipimpin oleh bupati dan walikota. Sebagai realisasi UUD 1945 dan
PP No. 2 tahun 1945 itu di Jawa Barat kemudian dibentuk 5 kerasidenan itu
adalah salah satunya kerasidenan Banten.11

Di Banten, meskipun sudah dibentuk kerasidenan dan sudah ditunjuk


residen dan wakil residennya, yaitu R. Tirtasoejatna (eks Fuku Syucokan /
wakil residen) dan R. Dzulkarnaen Soeria Kartalegawa (eks Gico Syu
Sangikai / Ketua Dewan Perwakilan Kerasidenan), tetapi nampaknya mereka
tidak bisa menjalankan tugasnya karena tidak dikehendaki oleh sebagian
masyarakat Banten. Dalam keadaan seperti ini, para pemuda API pada akhir
Agustus 1945 mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan para
tokoh masyarakat Banten.

10
Juliadi dkk., Ragam Budaya Pusaka Banten, (Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang), 2005, P. 161
11
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, (Lebak: Pemerintah Daerah Kabupaten
Lebak), 2006, P. 152

5
Dalam pertemuan di rumah wakil rasiden itu terdapat perwakilan dari
golongan ulama, pemuda, jawara, wanita, dan perwakilan dari Kabupaten
Pandeglang serta Lebak. Golongan ulama diwakili oleh K.H. Tb. Achmad
Chatib, K.H. Sjam’un, dan Kiyai Rafiudin. Golongan permuda diwakili oleh
Ali Mangkoe, Bachtiar Rivai, Nafsirin Hardi, dan Tachril. Golongan jawara
diwakili oleh Soeleman Goenoengsari, Kamid, Mardan, dan Sjarif. Golongan
wanita antara lain Sri Sahoeli, Maemoenah, Roemsiah. Dalam pertemuan
tersebut mereka membahas masalah pembagian tugas dan kesempatan itu pula
para kaum pemuda mendesak agar K.H. Tb. Achmad Chatib menjadi residen
yang menangani bidang administratif dan pemerintahan sipil di Karesidenan
Banten, sedangkan urusan militer diurusi langsung oleh K.H. Sjam’un.
Pemerintah pusat akhirnya menerima usulan tersebut dan tidak mempunyai
pilihan selain mengabulkan tokoh masyarakat Banten itu sehingga pada
tanggal 2 September 1945 melalui radiogram, K.H. Tb. Achmad Chatib resmi
diangkat menjadi kepala Kerasidenan Banten. 12

Dalam versi lain dikatakan bahwa kekalahan Jepang pada tahun 1945
kepada sekutu menjadi faktor melemahnya kekuatan Jepang di Indonesia yang
menyebabkan Vacuum Of Power sehingga Indonesia dapat memproklamirkan
kemerdekaannya. Berita tentang kekalahan Jepang dan disusul dengan
proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru dapat disebarluaskan kepada
penduduk kota Serang pada tahun 20 Agustus 1945 oleh Pandu Kartawiguna,
Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Ajiz. Mereka adalah pemuda yang berasal dari
Jakarta yang diutus oleh Chaerul Saleh untuk menyiarkan berita proklamasi
kemerdekaan ke daerah Banten. Chaerul Saleh pun mengamanatkan agar para
tokoh pemuda di Serang segera merebut kekuasaan dari penguasa militer di
Jepang. Maka pada tanggal 22 Agustus 1945 beberapa pemuda, di antaranya
pemudi Sri Sahuli (pegawai kantor sosial pemerintahan Jepang) berani
memprakarsai penurunan bendera Jepang yang ada di Hotel Vos, Serang

12
Nina Herlina Lubis dkk, Sejarah Kabupaten Lebak, (Lebak: Pemerintah Daerah Kabupaten
Lebak), 2006, P. 153 – 154

6
(sekarang kantor Kodim Serang). Peristiwa ini disusul dengan penurunan
bendera di kantor – kantor pemerintahan Jepang lainnya keesokan harinya.13

Melihat kejadian itu, banyak orang Jepang Sakura14 mulai meninggalkan


Serang menuju Jakarta. Syucokan (Residen) Banten Yuki Yoshii
menyerahkan jabatannya kepada Fuku – Syucokan (wakil residen) Raden
Tirtasujatna. Di samping orang – orang Jepang Sakura yang melarikan diri,
beberapa pamongpraja yang berasal dari daerah Priyangan pun banyak yang
pergi meninggalkan Banten. Kepergian mereka bukan karena mereka setia
kepada Jepang. Akan tetapi, ia merasa takut akan menjadi sasaran meluapnya
kemarahan rakyat. Termasuk juga Raden Tirtasujatna yang baru saja diangkat
menggantikan Yuki Yoshii melarikan diri ke Bogor. 15

Walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, namun


Belanda kembali datang ke Indonesia. Namun, saat itu mereka mendapat
perlawanan gigih yang paling tidak dari barisan militer atau barisan terdidik
kemiliteran Jepang. Salah satu perlawanan itu ialah memperkuat pemerintahan
darurat di tahun 1949. Pada saat itulah para kiyai dan ulama ikut andil dalam
bagian pemerintahan untuk mengisi kekosongan jabatan pemerintahan dan
militer. Di Banten tercatat K.H. Tb. Achmad Khatib diangkat menjadi kepala
rasiden di Banten dan K.H. Sjam’un sebagai panglima divisi seribu
merangkap sebagai Bupati Serang, K.H. Tb. Abdul Halim sebagai Bupati
Pandeglang, dan K.H. Muh. Hasan sebagai Bupati Lebak.16

E. Mungkinkah Banten Menjadi Sebuah Provinsi?

Sebagian masyarakat Banten menganggap bahwa ditingkatkannya status


Banten menjadi provinsi merupakan suatu keharusan yang mendesak.
Anggapan tersebut didukung oleh beberapa pelaku sejarah, baik yang pernah
tinggal maupun yang hanya memantau perkembangan ‘Sejuta Kramat’. Ir. H.

13
Juliadi dkk., Ragam Budaya Pusaka Banten, (Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang), 2005, P. 168
14
Istilah ini dipakai untuk menyebutkan orang Jepang sipil, karena mereka sering menggunakan
lencana berupa bunga sakura pada kemejanya
15
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara
Serang), 2011, P. 247
16
Mansyur Muhyidin, Banten Menuju Masa Depan, (Cilegon: CV. Semoga Jaya), 1999, P. 378

7
Marjoeni Warganegara, mantan Dirut PT. Krakatau Steel yang banyak
berperan dalam menata dan membangun Kota Baja Cilegon, menyatakan
bahwa Provinsi Banten harus direalisasikan. Beliau berkata bahwa
sesungguhnya masyarakat Banten yakin bahwa daerahnya layak menjadi
provinsi, baik Sumber Daya Alam (SDA), luas daerah, jumlah penduduk
maupun Sumber Daya Manusia (SDM) Banten, sangat memenuhi syarat untuk
berdirinya sebuah provinsi, yaitu Provinsi Banten. Dengan kata lain,
masyarakat Banten merindukan ingin menjadi tuan di daerahnya sendiri.17

F. Proses Menuju Provinsi Banten18


1. Kondisi Politik Tahun 1950

Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk berdasarkan


keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), eksistensinya tidak
berlangsung lama, yaitu hanya 8 saja bila dihitung dari pelantikan Presiden
RIS tanggal 17 Desember 1949 sampai dengan bubarnya Kabinet RIS
tanggal 17 Agustus 1950. Bubarnya RIS disebabkan negara ini tidak
mendapatkan dukungan. Sudah sejak awal mereka tidak setuju dengan
pembentukan RIS. Mereka menghendaki agar dibentuk negara kesatuan
dan menolak bentuk Negara federasi. Langkah pertama untuk dapat
melaksanakan keinginan tersebut adalah dikeluarkannya Undang –
Undang Darurat tanggal 8 Maret 1950 No. 11, yang menetapkan dasar
untuk mengambil keputusan melalui publisit atau pemilihan umum dengan
prosedur – prosedur yang diperpendek.

Kemudian pada bulan Maret dan April 1950 dicapai kesepakatan


bahwa semua bekas daerah RIS bergabung lagi dengan Republik
Indonesia, kecuali Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur.
Kalimantan Barat pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Federal,
sedangkan Distrik Federal Jakarta tidak bergabung dengan Republik
Indonesia.

17
Mansyur Muhyidin, Banten Menuju Masa Depan, (Cilegon: CV. Semoga Jaya), 1999, P. 365
18
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
184

8
Kembalinya bentuk negara ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan perkembangan yang penting dan bersejarah bagi Jawa Barat
yaitu dengan dibentuknya Provinsi Jawa Barat berdasarkan Undang –
Undang No. 11 tahun 1950. Berdasarkan undang – undang ini, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri, sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 22
tahun 1948 tentang pemerintah daerah. Kerasidenan Banten merupakan
wilayah Provinsi Jawa Barat, di samping Kerasidenan Jakarta,
Kerasidenan Bogor, Kerasidenan Priangan, Kerasidenan Cirebon.

Undang – Undang No. 14 Tahun 1950 menetapkan kabupaten –


kabupaten Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Lebak merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat, di samping kabupaten – kabupaten, Bekasi,
Karawang, Purwakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang,
Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan
Majalengka.19

2. Pergerakan Rakyat Banten Menuju Tercapainya Sebuah Provinsi

Gerakan – gerakan perlawanan dalam daerah embrio munculnya


gerakan nasional hingga puncak kulminasi20 Indonesia telah menyatakan
kemerdekaannya yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Hampir 1 ½ abad rakyat Banten seakan – akan tidak henti – hentinya
mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda, hingga pasca
kemerdekaan pun, ketika Belanda masih juga mencampuri urusan dalam
negeri Republik Indonesia, namun Banten, Aceh, dan Yogyakarta tetap
konsisten terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal Jawa
Barat telah menjadi Negara Pasundan.

Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan


masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari
Karesidenan menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat.

19
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
184 – 185
20
Puncak tertinggi ; Tingkatan tertinggi

9
Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah
Istimewa Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh.
Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan,
yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena
diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun
1949. Hanya saja keinginan ini tidak dapat tanggapan serius.21

Kemudian seiring dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin oleh


Pemerintah Pusat, pemerintah di Jawa Barat pun mengalami perubahan.
Konsep Demokrasi Terpimpin pertama kali dikemukakan oleh Presiden Ir.
Soekarno pada akhir tahun 1956 menyusul gagasannya untuk
membubarkan partai – partai politik telah berjalan atas kepentingan –
kepentingan pribadinya yang sempit. Pada kesempatan berikutnya, yaitu
pada tanggal 21 Februari 1957 ia menjelaskan bahwa Demokrasi
Terpimpin akan menjadi bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Pemerintahan itu akan didasarkan pada
“Kabinet Gotong Royong” yang terdiri dari partai – partai besar, yaitu
PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kabinet itu akan mendapat nasihat dari
Dewan Nasional yang terdiri dari golongan – golongan fungsional, seperti
pemuda, kaum buruh, kaum tani, kelompok agama, kelompok daerah, dan
lain – lain, bukannya dari partai – partai politik.22

Kabinet pun berganti – ganti. Kabinet Juanda, Dewan Nasional, dan


militer berusaha mencari cara untuk memecahkan masalah kedaerahan
yang telah mengakibatkan terjadinya krisis pemerintahan. Pada tanggal
yang 10 – 14 September 1957 dilangsungkan Musyawarah Nasional, yang
dihadiri oleh tokoh – tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah.
Kemudian disusul dengan Musyawarah Nasional Pembangunan pada
tanggal 25 November 1957 sampai dengan 4 Desember 1957 yang
bertujuan membahas dan merumuskan usaha – usaha pembanigunan sesuai
dengan keinginan daerah – daerah. Musyawarah tersebut dihadiri oleh para

21
https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten
22
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
185 – 186

10
pemimpin militer dari segenap teritorium, wakil – waki; partai dan
organisasi, serta tokoh – tokoh pemerintah dari pusat dan daerah.
Meskipun telah diadakan kedua musyawarah tersebut, namun tetap tidak
dapat menyelesaikan masalah kedaerahan dan tentara, malahan keadaan
menjadi semakin buruk. Bahkan pada tanggal 30 November 1957 terjadi
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, ketika ia menghadiri
pesta ulang tahun ke – 15 Perguruan Cikini. Nasution menuduh Zulkifli
Lubis sebagai orang yang mendalangi percobaan pembunuhan itu.23 Selain
upaya pembunuhan tersebut, pada tanggal 15 Februari 1958 di Sumatera
diumumkan suatu pemerintahan baru yang lepas dari pemerintahan di
Jakarta bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Sjafruddin Prawiranegara
sebagai perdana menterinya. 2 hari kemudian Permesta di Sulawesi
bergabung dengan PRRI. Kedua gerakan separatis itu kemudian
diselesaikan secara militer oleh Pemerintah Pusat.24

Sementara operasi – operasi pemulihan keamanan di daerah – daerah


sedang dilaksanakan, di pihak lain Konstituante yang bersidang di
Bandung mengalami kemacetan dalam sidang – sidangnya. Untuk
mengatasi masalah – masalah tersebut, pada bulan Agustus 1958 Nasution
mengajukan usul kepada Presiden Soekarno dan Kabinet Juanda untuk
kembali ke UUD 1945 dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Presiden Soekarno menyetujui usul tersebut, sedangkan partai politik dan
organisasi masyarakat cenderung menolak, malahan mereka berusaha
untuk tetap mempertahankan UUDS tahun 1950. Usul Nasution tersebut
kemudian dibawa oleh Presiden Soekarno ke sidang pleno Konstituante
untuk dibahas dalam dewan itu. Namun tampaknya Konstituante tidak
dapat memutuskan apakah akan kembali ke UUD 1945 atau tidak.
Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 di Istana Negara, di depan para pejabat
negara, seperti para menteri Kabinet Karya, Ketua Parlemen (Mr.
Sartono), Ketua Konstituante (Wilopo), Ketua Mahkamah Agung (Mr.
23
Warta Bandung, 2 Januari 1957
24
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
186

11
Wirjono Prodjodikoro), anggota Dewan Nasional, KSAD, KSAL, KSAU,
Kepala Polisi Negara, anggota korps diplomatik, dan massa yang
berkumpul di depan halaman Istana Negara, Presiden Soekarno
mengumpulkan dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang
berdasarkan atas hukum darurat tata negara, dan untuk menyelamatkan
Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.25

Setelah Dekrit Presiden tersebut diumumkan, pada tanggal 6 Juli 1959


Kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno
karena kabinet tersebut dibentuk berdasarkan UUDS tahun 1950. Setelah
itu, Presiden Soekarno membentuk kabinet baru berdasarkan pada UUD
1945 yang dinamakan Kabinet Kerja. Sesuai dengan UUD 1945, dalam
kabinet yang baru itu Soekarno merangkap sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan.

Begitu pula halnya dengan parlemen akan dilakukan penyesuaian


dengan UUD 1945, namun untuk sementara DPR hasil Pemilihan Umum
tahun 1955 masih tetap bekerja sampai terbentuknya DPR hasil pemilihan
umum baru yang berdasarkan UUD 1945. Untuk itu dikeluarkan Penpers
no. 1 tahun 1959. Akan tetapi, pada tanggal 5 Maret 1960, Presiden
Soekarno membekukan tugas DPR tersebut dengan suatu Penpers no. 3
tahun 1960 karena menurutnya DPR tidak memenuhi harapan pemerintah,
yaitu bekerja atas dasar saling membantu antara pemerintah dengan DPR
sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, dan
Manipol / Usdek. Selanjutnya Presiden Soekarno membentuk parlemen
baru yang diberi nama DPR Gotong Royong pada tanggal 27 Maret 1960.
Ia menamakan DPR Gotong Royong pada parlemen baru itu karena di
dalamnya tergabung wakil – wakil partai dan golongan karya yang akan
bekerja sama dengan pemerintahannya dalam melaksanakan Demokrasi
Terpimpin berdasarkan unsur – unsur demokrasi dan mengakui adanya

25
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
187

12
kepemimpinannya. Adapun jumlah anggota DPR tersebut ialah 261
orang.26

Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya


pemerintahan dan parlemen baru di tingkat pusat, kehidupan politik di
Jawa Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di lembaga
pemerintahan baru yang disesuaikan dengan konsep Demokrasi
Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal 2 macam pemerintahan
daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten / kotamadya.
Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya
Baru dan Pemerintahan Daerah Gotong Royong.27

Pemerintahan Daerah Gaya Baru dibentuk atas dasar Penpres No. 6


tahun 1959 yang berlangsung dari tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal
10 Desember 1969. Pemerintahan Daerah ini tersusun atas badan eksekutif
dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari gubernur yang dibantu oleh
Badan Pemerintah Harian (BPH). Menurut ketentuannya, gubernur dibantu
oleh 6 orang anggota BPH, tetapi sampai akhir Pemerintahan Daerah Gaya
Baru anggota BPH hanya 3 orang, yaitu 1 orang dari wakil PKI, 1 orang
wakil dari NU, dan 1 orang dari wakil Murba. 2 orang wakil dari Masyumi
dan 1 orang wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH
karena mereka tidak dapat melepaskan keanggotaaan dari partainya
masing – masing. Di samping itu, selain sebagai kepala daerah, gubernur
juga bertindak sebagai ketua badan legislatif (Ketua DPRD Gaya Baru).
DPRD Gaya Baru beranggotakan 75 orang yang tersusun dari partai –
partai politik dan golongan fungsional.28

setelah pembentukan DPR Gotong Royong di tingkat pusat, di Jawa


Barat pun terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan
Daerah Gaya Baru diganti dengan Pemerintahan Daerah Gotong Royong,
mengikuti nama di tingkat pusat. Pemerintah Daerah Gotong Royong
26
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
187 – 188
27
Pikiran Rakyat, 28 Maret 1960
28
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
188

13
dibentuk atas dasar Penpres No. 5 tahun 1960. Bentuk pemerintahan
tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas
badan eksekutif dan badan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari gubernur
dengan dibantu oleh anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH). Badan
legislatif adalah DPRD Gotong Royong dengan gubernur sebagai ketua.
Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi,
namun 3 kursi tidak diisi karena politik – politik yang akan menduduki
ketiga kursi itu tidak diakui oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya
tinggal 72 orang. Ketiga partai politik yang kemudian tidak diakui
pemerintah itu adalah PRIM, PRN, dan Partai Buruh. Komposisi anggota
DPRD Gotong Royong terdiri dari wakil partai politik dan wakil golongan
karya.29

3. Langkah Awal

Tiga daerah tersebut di atas, 2 daerah di antaranya telah menjadi


provinsi yaitu Aceh dan Yogyakarta bahkan sebagai daerah Istimewa. Atas
inisiatif putra – putra daerah Banten, muncul suatu gagasan untuk
membentuk Provinsi Banten, gagasan tersebut pada waktu Halal bi Halal
di pendopo Kabupaten Serang pada tahun 1963. Di antara tokoh – tokoh
penggagas tersebut: Gogo Sandjadirdja (Bupati Serang), Ayip Dzukhri,
Tb. Sukhari Khatib dan Tb. Mansyur Makmun.30

Tokoh-tokoh yang datang bukan hanya dari Banten, tetapi juga dari
daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan
rapat. Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan
tentang perlunya keresidenan Banten menjadi propinsi sendiri. Gagasan itu
kemudian diwujudkan dengan membentuk panitia “Pembentukan Provinsi
Banten (PPB). Panitia ini diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan
pengurus yang mewakili partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur
partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena poros

29
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
189
30
Tubagus Najib, Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa Ke Masa, (Serang: Sengpho Utama),
2008, P. 185

14
nasakom (Nasional, agama, komunis) dijadikan acuan politik nasional,
Panitia Provinsi Banten menawarkan unsur PKI untuk dduduk dalam
kepanitiaan. Akhirnya terbentuk Panitia Provinsi Banten dengan susunan
sebagai berikut :

Ketua : Gogo Sandjadirdja (PSII)

Wakil Ketua : Ayip Djuhri (NU/Front Nasional), Entol masyur

(PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional).

Anggota : M. Sanusi (PSII/Front Nasional), Toha


(PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb. Sukhari
Chatib (PSII)

Panitia ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang,


ternyata gagasan untuk membentuk Provinsi Banten mendapat sambutan
luar biasa dari masyarakat.Hal itu dapat dipahami karena pada waktu itu
posisi politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat
gerakan ini secara horisontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan
ormas, dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif
se-wilayah Banten.31

Gagasan tersebut telah mendapat dukungan dan tokoh – tokoh partai


politik Banten antara lain dari PSII, NU, PNI, dsb. Lalu gagasan tersebut
disampaikan ke Mendagri 1964. Namun Mendagri secara diplomasi hanya
menyatakan; bahwa Banten menjadi provinsi tidak usah dituntut karena
sudah ada pemikiran dan pemerintah pusat yang ingin memberikan sesuatu
kepada rakyat Banten, karena pusat berhutang budi pada rakyat Banten
yang telah berjasa bukan saja tahun 1945 tetapi sebelumnya Banten telah
bergerak menentang penjajah Belanda.32 Hanya, menurut Mendagri, perlu
sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus Ibukota)
Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang. 33

31
https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten
32
Tubagus Najib, Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa Ke Masa, (Serang: Sengpho Utama),
2008, P. 185 – 186

15
Gentur Mu’min, mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang
terbit di Jakarta antara tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya
pada tahun 1965 itu Banten “hampir resmi menjadi Provinsi”. Namun,
karena terjadi peristiwa G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan
bahwa panitia Provinsi banten telah mengadakan pertemuan dengan tim
DPR-GR-RI, yang tidak dingat lagi oleh sumber tersebut tanggal dan
harinya, hanya disebutkan pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di
rumah H. Tb. Kaking (bendahara Panitia Provinsi Banten). Hadir dalam
pertemuan tersebut adalah H. M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati
Serang saat itu), H. Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR RI), dan beberapa
tokoh masyarakat Banten, yang datang dari Jakarta dan Bandung. 34
Selanjutnya tim dari DPR- GR- RI itu ber-kunjung ke Jambi, Bengkulu,
dan Lampung, yang sama seperti Banten, ingin memisahkan diri dari
Provinsi induknya untuk menjadi Provinsi sendiri. Dalam pertemuan itu,
Ketua Tim DPR – GR – RI menyampaikan bahwa saat ia tidur di gedung
Negara Kerasidenan Banten, ia bermimpi didatangi para leluhur Banten,
yang datang mengucapkan selamat kepadanya dan ia yakin bahwa arwah
Sultan Banten seakan – akan berpesan setuju agar tuntutan Banten menjadi
provinsi segera diproses. Mendagri Mayjen Sumarno, sudah menyiapkan
RUU Provinsi untuk daerah yang ingin menjadi provinsi sendiri tersebut
dan telah masuk ke DPR – GR – RI. Menurut H. Gentur Mu’min, itu
berarti tidak lama lagi keempat daerah tersebut akan menjadi provinsi
sendiri.35

Perkembangan gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh


PKI sebagai peluang. DN Aidit sebagai Ketua CC PKI segera membentuk
CDB (Central District Bureau), organ setingkat provinsi yakni CDB PKI
Provinsi Banten pimpinan Dachlan Riva’I yang belakangan membentuk
Dewan Revolusi Banten (Pola PKI) (Uwes Qorny, salah seorang pelopor
pendiri Provinsi Banten, sempat menyaksikan papan nama (CDB PKI)
33
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
190
34
https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten
35
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
191

16
terpampang di jalan protokol di samping Gedung Islamic Centre sekarang.
Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN Aidit tidak kesampaian di
Banten, karena kemudian meletus Peristiwa G – 30 – S. Markas CDB PKI
pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMI Konsulat Serang.36

Ikhtiar pertama, tahun 1963 – 1964 gagal, lalu dilanjutkan pada ikhtiar
kedua tahun 1967 – 1970 juga gagal, bahkan setelah itu, ruang gerak
ikhtiar berikutnya diperketat bahkan tuduhan sebagai gerakan komunis.
Dan tuduhan berikutnya sebagai ekstrim kiri dan kanan. Putra – putra
Banten terus berikhtiar dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, dan pada
masa Reformasi ikhtiar tersebut menghasilkan sebuah hasil, yaitu
berdirinya Banten menjadi Provinsi. Pada masa B.J. Habibie telah
menyambut pembentukan tersebut dan masa K.H. Abdurrahman Wahid
yang secara legal formal disahkan.37

4. Lahirnya Orde Baru

Setelah merasa kuat secara politik, PKI mempersiapkan langkah –


langkah penting untuk merebut pusat kekuasaan. Untuk keperluan itu,
berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Staf badan Pusat
Intelijen Brigjen Polisi Soetarto, DN Aidit menyebarkan isu tentang
adanya Dewan Jenderal, sebagai sebuah dewan yang terdiri dari para
jenderal yang ingin menggulingkan kekuasaan Soekarno. Menurut isu
yang dikembangkan PKI ini, Dewan Jenderal diperkirakan akan merebut
kekuasaan dari tangan Soekarno menjelang peringatan hari ulang tahun
ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kondisi Soekarno yang tengah mengalami
gangguan kesehatan serius memberi keyakinan kuat pada PKI tentang
kebenaran rencana Dewan Jenderal ini. Oleh karena itu, dalam
menghadapi rencana kudeta Dewan Jenderal ini, hanya ada 2 pilihan bagi
PKI, mendahului rencana gerakan Dewan Jenderal atau membiarkan
rencana tersebut. Pilihan mendahului gerakan Dewan Jenderal pada
akhirnya menjadi keputusan yang diambil PKI.
36
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
191
37
Tubagus Najib, Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa Ke Masa, (Serang: Sengpho Utama),
2008, P. 186

17
Sesuai dengan “Skenario”, dinihari tanggal 1 Oktober 1965
dilancarkan operasi penculikan terhadap para anggota Dewan Jenderal.
Hampi bersamaan dengan dilancarkannya operasi penculikan, dilakukan
pulan operasi perebutan gedung – gedung vital. Satu di antara gedung vital
yang menjadi target penguasaan adalah gedung RRI Pusat di Jakarta.
Setelah berhasil dikuasai, tepat pukul 07.20 WIB tanggal 1 Oktober 1965,
melalui RRI disiarkanlah pengumuman tentang adanya sebuah gerakan
yang bernama “Gerakan 30 September” di bawah komandan, Letkol
Untung, yang juga merupakan komandan Batalyon I Resimen
Cakrabirawa. Pengumuman yang sama kemudian diulang lagi pukul 08.15
WIB. Dalam penjelasannya, Komando Gerakan 30 September mengatakan
bahwa gerakan tersebut semata – mata merupakan gerakan dalam tubuh
angkatan darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal, yang kini anggota
– anggotanya telah ditangkap, sedangkan Presiden Soekarno dalam
keadaan selamat.38

Pernyataan politik yang dikeluarkan Gerakan 30 September 1965


dalam perkembangannya kemudian menjadi awal munculnya aksi – aksi
perlawanan untuk menumpas gerakan tersebut. Selanjutnya, serangkaian
peristiwa politik mulai dari aksi demonstrasi dalam skala besar yang
digelar oleh kesatuan – kesatuan aksi (KAPPI – KAMI). Sampai
penumpasan PKI yag dilakukan Pangkostrad Mayjen Soeharto, maka
kemudian lahirlah apa yang disebut Supersemar yaitu sebuah surat
perintah yang ditandatangani 11 Maret 1965, dari Presiden Soekarno
kepada Menpangad Letjen Soeharto.

Berbekal Supersemar, dalam waktu tidak lebih dari 1 kali 24 jam,


Letjen Seoharto mengeluarkan sebuah keputusan berani berupa
pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas – ormasnya.
Keputusan pembubaran PKI yang berlaku efektif sejak tanggal 12 Maret

38
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
191

18
1966, tertuang dalam Keputusan Presiden No. 1/3/1966, yang
ditandatangani Letjen Soeharto atas nama Presiden Republik Indonesia.39

5. Peluang Baru

Panitia Pembentukan Provinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun


1963, tidak luput dari usaha membersihkan diri dari komunis. Maka unsur
– unsur PKI pun dikeluarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang
agaknya tetap menaruh kecurigaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI.
Tuduhan itu tentu saja membuat panitia goyah, apalagi pemerintah pusat
melalui Kopkamtib dan Laksusnya berusaha melakukan pembersihan teru
– menerus. Oleh karena itu, panitia memilih tidak aktif sementara.
Meskipun demikian, panitia secara tegas menyatakan bahwa tidak benar
panitia ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah
yang sengaja ditiup – tiupkan oleh pihak – pihak yang tidak senang atas
kemajuan Banten.

Untuk menggalang kekuatan baru, panitia mulai melibatkan para


aktivis Angkatan 66 di Jakarta dan Bandung yang berasal, dari Banten.
Kodam Siliwangi mencermati gerakan ini secara serius karena khawatir
pembentukan Provinsi Banten akan dimanfaatkan oleh sisa – sisa PKI.
Sekretaris Panitia Provinsi Banten, H. Rahmatullah Sidik, menceritakan
bahwa ia bersama Tubagus Kaking (Bendahara Panitia Provinsi Banten)
selalu mendapat pengawasan ketat dari Kodam VI Siliwangi. Bahkan
setelah itu, tidak sembarang orang mau menceritakan tentang rencana
40
pembentukan Provinsi Banten karena merasa takut oleh aparat. Untuk
mengantisipasi hal – hal yang tidak diinginkan , pada tahun 196 Mayor
Jenderal Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi, meresmikan Korem 064/
Maulana Yusuf dengan misinya antara lain membendung gerakan Provinsi
Banten. Gerakan pertama yang diagendakan Korem Maulana Yusuf adalah
Operasi Bhakti Siliwangi secara besar – besaran yang di tingkat Kodam
Wakil yang pernah menjadi Komandan Kontingen Garuda II di Kongo –
39
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
192 – 193
40
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
193

19
Afrika. Operasi Bhakti Siliwangi Korem Banten dilaksanakan di bawah
Danrem Kolonel Senior Anwar Padmawijaya. Tokoh inilah yang menjadi
Danrem pertama dan yang terlama membangun infrastruktur
perekonomian Banten, seperti membangun gedung pertemuan umum
Serang, merehabilitasi Pelabuhan Karangantu, merenovasi Masjid Agung
Banten, dan juga melakukan pembangunan gedung IAIN Sunan Gunung
Djati cabang Serang (Kini STAIN Maulana Hasanuddin), Bendungan
Cicurug Malingping, Pemandian Batu Kuwung, dan lain – lain.

Misi Kolonel Anwar berhasil berkat dukungan 3 Pemda Kabupaten


(Serang, Pandeglang, Lebak). Dengan usaha ini diharapkan tercipta suatu
opini publik bahwa masalah pembentukan provinsi bukan soal yang urgen.
Sekalipun operasi terus berlanjut, namun tidak mengurangi semangat dan
tekad para penggerak Provinsi Banten. Tercatat Panitia berhasil
mengundang tim peninjau lapangan dari DPRD – GR – TK I Jabar
pimpinan Kastura, tokoh Koperasi Jabar yang berasal dari Banten Kidul
dan Komisi B DPRD – GR Pimpinan Brigjen (Pol). Domo Pranoto untuk
mengadakan dialog dengan segenap tokoh politisi, tokoh masyarakat,
ormas, dan pemuda (Angkatan 66) Banten.41

Panitia Provinsi Banten, pada tanggal 20 April 1967, merumuskan


“Kebulatan Tekad Panitia Provinsi Banten”. Isinya diawali dengan
Muqaddimah yang berisi landasan idiil dan landasan hukum untuk
berdirinya Provinsi Banten. Selanjutnya dikemukakan 2 syarat yang harus
dimiliki untuk menjadi provinsi yaitu syarat subjektif yakni hasrat atau
kemauan rakyat Banten untuk menjadikan daerahnya sebagai provinsi dan
syarat Objektif yaitu adanya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup
sebuah provinsi. Dalam surat kebulatan tekad itu, diuraikan tentang SDA
dan SDM yang dimiliki Banten. Menyangkut SDA, dijelaskan bahwa hasil
pertanian berupa padi dan palawija memadai dan bisa menjadi surplus
apabila diterapkan teknologi tepat guna. Di Banten juga ada perkebunan

41
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
194

20
karet, kelapa, cengkih, lada, panili, melinjo (Banten daerah penghasil
emping yang penting) dan buah – buahan. Perikanan laut juga sangat
signifikan karena 75% daerah Banten dikelilingi laut. SDA yang juga
menjanjikan ialah pertambangan, berupa tambang emas di Cikotok, biji
besi di Cipurut, bahan semen di Anyar, belerang di Walantaka dan
Padarincang, bahan memiliki aset pariwisata, pantai yang indah, cagar
alam Ujung Kulon, dan peninggalan sejarah dan kebudayaan yang pernah
mengalami kejayaan pada masa lalu. Direncanakan pula bahwa Provinsi
Banten nanti akan terdiri dari 7 kabupaten, yaitu Serang, Pandeglang,
Lebak, Ujung Kulon, Cilangkahan, Tangerang, dan Jasinga, serta 2 kota
praja yaitu Kotapraja Banten dan Kotapraja Cilegon dengan jumlah
penduduk pada tahun 1967 sekitar 4 juta orang.42

Di pihak lain, Kodam Siliwangi melakukan tindakan represif denfan


melakukan penahanan dan pemeriksaan terhadap beberapa orang aktivis
Provinsi Banten pada tahun 1967. Mereka adalah Moch. Sanusi tokoh PSII
yang jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD – GR – TK II Serang, Tb.
Kaking pejuang 45 yang sukses bisnis beras serta Rachmatullah Sidik
pendidik aktivis Sekber Golkar Serang.

Penahanan Moch. Sanusi dilakukan dalam kaitan dengan saudara


sepupunya yaitu Ajun Komisaris Polisi Atje Chutbi (BPH Kabupaten
Serang) yang diduga terlibat dalam Dewan Revolusi (Pola PKI) Banten.
Kebetulan pula, putranya yang bernama Cholid adalah aktivis Pemuda
Rakyat (PKI) golongan B. Baik Atje Chutbi maupun Cholid bukan
termasuk pengurus atau aktivis Provinsi Banten. secara berlebihan,
Panglima Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono membuat pernyataan yang
intinya menuding gerakan ini sebagai pola PKI43

Uwes Qorny menyatakan bahwa pada tahun 1968, ketika itu menjadi
Ketua Dewan Pimpinan KAPPI Daerah Jawa Barat merencanakan akan
menyelenggarakan rapat pimpinan KAPPI se – Jawa Barat di Serang. Ia
42
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
194
43
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
195

21
didatangi 3 orang utusan KAPPI Pusat yang terdiri dari unsur IPNU (Partai
NU), IPM (Muhammadiyah), SEPMI (PSII). Mereka menyatakan tentang
acara rapat apakah akan membahas isu Provinsi Banten. Pertanyaan itu
mengundang keheranan di benak Uwes, mengingat masalah Provinsi
Banten tidak terpikirkan untuk dibawa ke dalam rapat. KAPPI yang
berskala nasional sehingga ia balik bertanya kepada para utusan itu apa
latar belakang pertanyaan itu. Mereka membuka kartu, bahwa mereka
membawa pesan Brigjen Ali Moertopo, Aspri (Asisten Pribadi) Politik
Presiden Soeharto, yang sangat berpengaruh serta Komandan Opsus
(Operasi Khusus). Secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan
pesan demi keutuhan KAPPI dan tidak memecah belah KAPPI Banten dan
KAPPI Priangan. Kemudian, pada tahun 1970, Gubernur Jawa Barat
melalui Direktorat Khusus Provinsi Jawa Barat Kolonel Abdullah
Prawirakusumah, bersama para tokoh masyarakat dan mahasiswa Banten
di Bandung melakukan penggalangan pendekatan dengan segenap
komponen di Banten.44

Sementara itu Ali Moertopo mengirim Muhammad Danu Hasan,


mantan Panglima DI/TII Jabar yang digunakan Opsus. Dengan demikian
telah berlangsung operasi penggalangan bersama yang dilakukan oleh
Pusat dan Gubernur Jabar untuk mencari titik temu antara 2 keinginan
yang berbeda dalam masalah Provinsi Banten.

Tim Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsensus dengan


rakyat Banten melalui keputusan DPRD – GR – se Wilayah Banten yang
menandakan bahwa secara subtantif tuntutan Provinsi Banten merupakan
hak dan aspirasi rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. Meskipun
hal ini dianggap menutup harapan untuk terwujudnya Provinsi Banten,
pada tanggal 24 Agustus 1970. 27 orang anggota DPR – GR dengan juru
bicara Bustaman, S.H. mengajukan usul inisiatif membuat RUU
Pembentukan Provinsi Banten. Usul itu tidak sempat disidangkan karena
banyaknya hambatan, antara lain , Gubernur Sholihin GP tidak siap

44
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
196

22
melepas Banten dan Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau.
Sementara itu rekomendasi DPR – GR Tk. 1 Jawa Barat menyerahkan
sepenuhnya kepada Pusat. 45

Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno


Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensahkan Presidium
Panitia Pusat Provinsi Banten. Duduk sebagai Ketua Penasihat Tb.
Bachtiar Rifa’i, dengan Ketua Ayip Abdurrahman, dan Sekretaris Achmad
Nurjani. Duduk pula sebagai anggota: Uwes Qorny, yang 30 tahun
kemudian kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk
mendirikan provinsi sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan
Alaydrus, yang juga ikut andil dalam era reformasi nanti.

Ada 1 hal yang membanggakan masyarakat Banten, pada tahun 1970


ini, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat menjadi pahlawan nasional melalui
Keppres No. 45/TK/1970. Yang tidak menggembirakan adalah bahwa
DPR – GR hasil pemilu 1971 ternyata tidak mengagendakan RUU
Provinsi Banten. Selain itu, masyarakat Banten agaknya terpaksa berdiam
diri, sepanjang sisa masa Orde Baru. Memang ada 1 atau 2 kali aksi
mahasiswa Banten di Bandung yang berunjuk rasa, tetapi tidak
memberikan gaung yang diharapkan. Kekuasaan pemerintah Orde Baru
dengan pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu
menjaga sifat kenegaraan yang patriomanialistis. Hingga tiba – tiba saja 26
tahun kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah, pada bulan
Agustus 1997, Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim tentang
perlunya dibentuk Provinsi Banten.46 Uwes Qorny mengungkapkan bahwa
permintaan Banten menjadi Provinsi ke – 28 adalah hak rakyat dan
merupakan aspirasi dinamis yang legal. Diungkapkan pula secara
kronologis tentang gagasan untuk membentuk Provinsi Banten. dengan
munculnya berita ini, masyarakat Banten seakan dibangunkan dari
tidurnya.47

45
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
196 – 197
46
Harian Merdeka

23
6. Lahirnya Orde Reformasi

Ketika Soeharto terpilih kembali sebagai presiden dalam Sidang


Umum (SU) MPR pada bulan Maret 1998, muncul reaksi negatif dari
berbagai kalangan, khususnya kekuatan – kekuatan dalam infrastruktur
politik yang menginginkan adanya perubahan pemimpin nasional. Reaksi
semakin keras ketika Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinet
pada tanggal 14 Maret 1998. Berbagai komentar bermunculan atas
susunan kabinet yang dipandang sarat dengan nuansa Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Dalam kabinet tersebut, tidak hanya tampak kroni –
kroni Soeharto, tetapi juga tampak salah seorang putri Soeharto, Siti
Hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki menteri sosial.48

Rakyat seperti benar – benar telah kehilangan kepercayaan terhadap


pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan
diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari berbagai
krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya kabinet yang
sarat akan KKN. Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan
dapat mengatasi krisis sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat pada
akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri – sendiri dalam
mengatasi kekecewaannya.

Ketika terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) antara 25


% - 71, 43 % mulai tanggal 4 Maret 1998 timbul aksi mahasiswa di mana
– mana. Aksi – aksi mahasiswa yang semula hanya menuntut penurunan
harga – harga sembilan bahan pokok (Sembako) pada akhirnya berubah
menjadi tuntutan agar Presiden Soeharto mundur. Mahasiswa merasa
pemerintah tidak lagi mau mendengar aspirasi rakyat. Tuntutan ini
semakin kencang ketika aparat keamanan menghadapi aksi – aksi
mahasiswa merasa pemerintah tidak lagi mau mendengar aspirasi rakyat.
Tuntutan ini semakin kencang ketika aparat keamanan menghadapi aksi –
aksi mahasiswa dengan cara – cara kekerasan. Akibatnya, tidak sedikit
47
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
198
48
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
199

24
mahasiswa yang menjadi korban kekerasan serta tercatat pula sejumlah
aparat yang menjadi korban aksi demonstrasi. Beberapa peristiwa
bentrokan antara aparat keamanan dan para mahasiswa terjadi pula pada
bulan Mei, di Bandung dan Bogor. Aksi – aksi demontrasi mahasiswa
yang pada awalnya bersifat sporadis, berskala kecil, dan hanya
berlangsung di dalam kampus masing – masing, dalam waktu relative
singkat segera berubah menjadi aksi – aksi demonstrasi yang sistematis,
berskala besar,m dan berlangsung hingga ke luar kampus. Aksi mahasiswa
ini juga tidak lagi terpusat di ibu kota negara saja tetapi meluas ke kota –
kota besar lainnya, baik di Jawa maupun luar Jawa.

Aksi demontrasi mahasiswa pertama yang secara tegas menyatakan


tuntutan bagi turunnya Soeharto dari jabatan presiden, terjadi pada tanggal
12 Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti Jakarta. Tuntutan yang sama
dalam skala massa yang lebih besar dikumandangkan oleh mahasiswa
Bandung dalam aksi yang berlangsung tanggal 13 Mei 1998. Ternyata
dalam peristiwa 12 Mei itu jatuh korban 4 mahasiswa meninggal dunia
akibat luka tembakan. Kemarahan massa pun berubah menjadi
keberingasan. Kerusuhan di ibu kota selama 2 hari ternyata memakan
korban, baik harta maupun nyawa manusia.49

Pemerintah bukan saja dihadapkan kepada masalah kerusuhan


mahasiswa tetapi juga kondisi perekonomiian nasional yang semakin
terpuruk serta melebarnya krisis kepercayaan. Melihat keseriusan aksi –
aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa serta dukungan yang
diperlihatkan rakyat, dunia internasional pun, khususnya negara – negara
yang selama ini menjadi negara donor Indonesia, mulai ragu – ragu untu
meneruskan sokongannya terhadap pemerintahan Soeharto.

Dipercepatnya kepulangan Soeharto pada pagi hari ini tanggal 15 Mei


1998 dari lawatan kenegaraannya di Mesir sejak tanggal 9 Mei 1998,
menjadi pertanda paling jelas tentang betapa cepatnya perkembangan
peristiwa politik. Di tengah intensnya upaya yang dilakukan Soeharto
49
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
200

25
untuk menjawab tuntutan mahasiswa, sebuah perkembangan istimewa
terjadi di luar istana. Ribuan mahasiswa secara bergelombang sejak
tanggal 18 Mei 1998 mulai memasuki gedung MPR/DPR.

Soeharto melakukan upaya penyelamatan dengan melakukan reshuffle


kabinet, tetapi para calon menteri yang diminta duduk pun sudah tidak
berminat mendukungnya lagi. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto meletakkan jabatannya dan Wakil Presiden B.J. Habibie
pun disumpah sebagai presiden baru. 50

7. Merebut Peluang

Dengan berakhiranya masa Orde Baru yang cenderung represif, kini


masyarakat seakan menghirup udara segar demokrasi. Namun demikian,
maneuver politik Habibie lewat kabinetnya ini bisa dikatakan kurang
mendapat respon positif dari masyarakat. Akan tetapi, untuk menjawab
tuntutan masyarakat Habibie mengeluarkan kebijakam – kebijakan berupa
pembaruan perangkat perundangan, pembebasan para tahanan politik,
pembukaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan
pembaruan hukum dan hak azasi manusia. Di bidang ekonomi, Habibie
pun berupaya mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang dapat
menurunkan tingkat inflasi, melaksanakan pemulihan ketersediaan dan
keterjangkauan ekonomi, pengembangan ekonomi kerakyatan,
restrukturisasi perbankan, dan perbaikan kurs rupiah. Kebijakan
pembebasan tahanan politik yang dilakukan Habibie sedikit banyaknya
berhasil mengangkat citra pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan
yang menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi.

Manuver Habibie mengadakan berbagai perubahan politik untuk


mendongkrak simpati rakyat terhadap pemerintahannya lambat laun
melahirkan harapan positif rakyat terhadap eksistensi pemerintahan yang
dipimpin Habibie.51 Inilah peluang baru bagi masyarakat Banten untuk

50
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
201
51
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
201

26
merealisasikan keinginannya. Sehari setelah Soeharto lengser, ribuan
masyarakat Banten dipimpin H. Embay Mulya Syarif dan sejumlah tokoh
muda Banten, mendatangi Senayan untuk menyatakan dukungan kepada
B. J. Habibie. Ketika dilakukan Sidang Istimewa pada tanggal 10
November 1998, pemerintah memutuskan diadakannya Pengamanan
Swakarsa (Pamswakarsa) untuk mengamankan jalannya sidang. Sekali
lagi, rombongan warga Banten datang untuk ikut menjadi Pamswakarsa.52

Pada awal tahun 1999, Presiden B. J. Habibie merencanakan


kunjungan kerja ke Banten. Pada akhir bulan Januari 1999, H. Embay
Mulya Syarif dengan disertai beberapa kiyai dan tokoh lainnya dipanggil
ke Istana Presiden dalam rangka persiapan kunjungan ini. Sebagaimana
direncanakan pada hari Jum’at, 5 Februrari 1999. Presiden B. J. Habibie
berkunjung ke Banten. Tempat pertemuan yang dipilih adalah Pondok
Pesantren Darul Iman Pandeglang yang dipimpin K.H. Aminuddin
Ibrahim. Sesuai skenario yang sudah dirancang, di hadapan Gubernur Jawa
Barat dan para menteri yang datang yaitu Mensesneg Akbar Tanjung,
Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik Fajar,
Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono. Pengasuh
Pondok Pesantren Darul Iman, K.H. Aminuddin Ibrahim mengusulkan
agar wilaya eks Kerasidenan Banten ditingkatkan menjadi Provinsi
Banten. Dalam kesempatan itu, Presiden B. J. Habibie tidak menolak
usulan itu, hanya menyatakan bahwa usulan itu harus melalui mekanisme
konstitusional. Usul serupa diajukan oleh K.H. Mansur Muchjiddin dalam
acara dialog presiden B.J. Habibie dengan para ulama di Cilegon. Respon
Presiden B. J. Habibie dalam kunjungan itu sama seperti ketika
Pandeglang.

Masyarakat Banten merasa mendapat angina segar dengan respon


Presiden RI ke – 3 itu. Hal ini diberitakan di berbagai media cetak di
Banten dan media elektronik. Keinginan masyarakat Banten untuk
mewujudkan Provinsi Banten, ternyata dimanfaatkan benar oleh partai –

52
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
202

27
partai yang sedang kampanye menjelang pemilu. Misalnya saja Partai
MKGR, dalam kampanye di Pandeglang jelas – jelas menyatakan sangat
mendukung keinginan masyarakat Banten tersebut. Partai Bulan Bintan
(PBB) yang juga melakukan kampanye di Pandeglang, menyatakan hal
yang sama. Bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) berani kampanye :
“PAN menang, Provinsi Banten Jadi”.53

8. KPPB dan Pokja – PBB

Pada awal tahun 1999, dengan mengambil tempat di Kampung Gardu


Tanjak Pandeglang, diselenggarakan halal bihalal Yayasan Sumur Tujuh
dan reuni para mantan siswa SMP Pandeglang. Dalam kesempatan itu,
Ekky Syahruddin, berbicara soal reformasi. Ia antara lain menganjurkan
agar masyarakat Banten memanfaatkan peluang reformasi untuk membuka
kembali wacana pembentukan Provinsi Banten. Pertemua semacam itu
juga dilakukan di Sekolah Menengah Analisis Kimia di Serang dan
ternyata pertemuan itu selangkah lebih maju. Peserta pertemuan
merencanakan unjuk ras ke DPR di Jakarta. Beberapa hari setelah
pertemuan itu, dengan menggunakan 5 buah para pemuda Banten
berangkat ke DPR RI di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi
pembentukan Provinsi Banten. Hanya saja karena tidak terencana dengan
matang, unjuk rasa ini tidak menghasilkan apa – apa. Namun, setidak –
tidaknya hal ini dipandang sebagai langkah awal kaum muda Banten untuk
membuka wacana lanjutan tentang Provinsi Banten.54

Langkah selanjutnya yang lebih terarah dilakukan kaum muda di


Serang yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia
(GPRI). Berbagai pertemuan, diskusi, dilangsungkan di rumah H. Sanusi
Al – Mariz di kompleks DPRD Serang. Para pemuda ini juga melakukan
kunjungan kepada para pemuka intelektual seperti H. M.A. Tihami, rector
STAIN Banten, Hasan Muarif Ambary, Kepala Puslit Arkeologi Nasional.
Selanjutnya dilakukan pertemuan – pertemuan di Hotel Patra Jasa, Anyer
53
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
203
54
Wawancara dengan Indra Abidin, tanggal 2 September 2003 di Jakarta (lihat Nina Herlina
Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P. 203

28
yang menghasilkan Panitia Musyawarah Masyarakat Banten dengan
ketuanya Agus Najiullah Ibrahim didampingi Aenk Chaerudin dan Udin
Saparudin. Beberapa pengusaha Banten diminta memberikan kontribusi
untuk pembiayaan musyawarah.

Pada tanggal 4 Mei 1999 bertempat di Gedung Wanita “Kawunganten”


Serang. GPRI Serang mengeluarkan deklarasi berisi Sembilan butir
pernyataan yang pada intinya menilai Kerasidenan Banten layak menjadi
Provinsi Banten. Deklarasi dibacakan Agus Setiawan, ditandatangani oleh
ketuanya Agus Najiullah Ibrahim dan Sekretaris Umum Udin Saparudin.
Dalam acaranya yang dihadiri segenap komponen masyarakat Banten itu,
dilakukan pelantikan Pengurus GPRI Serang oleh Ketua Umum DPP
GPRI Bursah Zarnubi.

Seakan berpacu dengan waktu, beberapa hari kemudian, tepatnya


tanggal 7 – 12 Mei 1998, GPRI Serang menghadiri Konferensi Pemuda
Indonesia abad ke – 21 dan dalam konferensi meminta agar DPP GPRI
merekomendasikan perlunya Pembentukan Provinsi Banten (PBB).
Rekomendasi ini disepakati seluruh peserta konferensi untuk diteruskan
kepada B. J. Habibie. Pada tanggal 4 Juni 1999 GPRI Serang mengadakan
acara silaturahmi dengan anggota DPR/MPR – RI asal Banten, bertempat
di Gedung Korpri Serang. Dari pertemuan ini, lahir semacam kesepakatan
untuk menggulirkan terus PBB hingga terwujudnya Provinsi Banten.

Atas gagasan K.H. Irsyad Djuwaeli, Ketua Mathlaul Anwar Banten,


didirikanlah Kelomok Kerja – PBB. Beberapa tokoh masyarakat ikut
bergabung di dalamnya. Berbagai pertemuan dilakukan untuk membuat
perencanaan – perencanaan tentang Pembentukan Provinsi Banten.
Rupanya, bukan hanya kelompok ini yang memikirkan tentang PBB,
berbagai kelompok lain muncul. Pada pertengahan Juli 1999 di Serang
dibentuk Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB) dengan diketuai
oleh H. Uwes Qarny. Kegiatan pertamanya adalah mengadakan rapat
akbar bertempat di Alun – alun Barat Kota Serang. dalam rapat itu
dibacakan Deklarasi Rakyat Banten 1999 yang ditandatangani oleh 30

29
orang tokoh Banten, antara lain H. Uwes Qarny, Uu Mangkusasmita,
Djajuli Mangkusubrata, Gunawan, Sofyan Ichsan, dan lain – lain.55

Pengakuan pemerintah terhadap keinginan rakyat Banten ini mulai


tampak ketika akhir bulan Juli 1999, Mendagri Syarwan Hamid dalam
kesempatan Wisuda Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
(STPDN) di Jatinangor, menyatakan bahwa keinginan masyarakat Banten
adalah suatu hal yang wajar dan perlu diproses. Pernyataan Mendagri ini
disambut hangat masyarakat Banten.

Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1999 digelar Seminar Nasional


“Mempertegas Proyeksi Terwujudnya Provinsi Banten”, bertempat di
Hotel Patra Jasa Anyer. Tampil sebagai pembicara adalah Menteri Hukum
dan Perundang – undangan Yusril Ihza Mahendra, Ekky Syahruddin
(Anggota DPR – RI), Isryad Djuwaeli (Ketua PB Mathla’ul Anwar), HMA
Tihami (Ketua STAIN SMHB), Kahumas Depdagri Herman Ibrahim, dan
R. Gunawan. Para pembicara yang melihat dari masing – masing bidang
menganggap bahwa Provinsi Banten memang layak diwujudkan.

9. Terbentuknya Banten Sebagai Provinsi

Senin, 4 Oktober 2000. Sejak pukul 07.00 pagi belasan ribu rakyat
Banten tumpah ruah di halaman dan di dalam gedung DPR – RI Senayan,
Jakarta. Aneka jenis sarana transportasi, mulai dari kendaraan pribadi, bus
umum, hingga truk – truk pengangkat barang, secara bergelombang datang
dari pelosok – pelosok daerah. Mengenakan macam – macam atribut,
termasuk serombongan orang berpakaian hitam – hitam ala suku Baduy,
kaum laki – laki hingga ibu rumah tangga dengan bayi di gendongan, siap
melakukan pesta kemenangan. Pada hari itu, usaha panjang rakyat Banten
sejak tahun 60 an untuk menjadikan wilayahnya sebagai sebuah provinsi
akan disetujui oleh DPR – RI. Sidang Paripurna DPR telah resmi
menyetujui RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten untuk disahkan
55
Nina Herlina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: LP3ES Indonesia), 2004, P.
205

30
menjadi UU. Segala tabuh – tabuhan, mulai dari gendang para pemain
debus hingga angklung pusaka masyarakat Baduy, menyulap halaman
DPR yang biasanya menjadi “arena pameran” mobil – mobil mewah milik
para wakil rakyat menjadi ajang pesta rakyat. Provinsi Banten diresmikan
pembentukannya oleh Menteri Dalam Negeri Soerjadi Sudirdja pada 18
November 2000. UU tentang Pembentukan Provinsi Banten sendiri
ditandangani Presiden RI pada 17 Oktober 2000.56

Pada masa Orde Baru masih bisa mempermainkan wacana kata – kata
masyarakat yang pada praktiknya adalah masyarakat tertentu, tetapi pada
masa Reformasi tidak bisa lagi mempermainkan wacana, karena
masyarakat telah memiliki landasan hukumnya, yaitu Undang – Undanng
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang – Undang No.
25 tentang pertimbangan Keuangan Negara. lalu PP No. 25 Tahun 2000
tentang Kewenagan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah
Otonom dan PP No. 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantu.57

Provinsi Banten, nampaknya telah menuai


rintangan/tantangan/kekhawatiran baik dari dalam pemerintahan Jawa
Barat maupun pribadi – pribadi yang menyangsikan eksistensi Banten dan
SDM nya. Tantangan dari pemerintahan Provinsi Jawa Barat,
dilegitimasikan melalui suatu analisis SWOT (Strength, Weakness,
Oppurtunity, dan Threat), yang disusun oleh BAPPEDA Jawa Barat,
Bandung 3 Maret 2000. Khususnya tentang budaya, pada hal 58 bahwa
sebutan “Banten” berkonotasi kepada pengertian wilayah dan bukan
merupakan sebagai konotasi suku (etnis). Kekhawatiran Banten sebagai
etnis itu nantinya akan mengembangkan etnosentrisme yang
membahayakan kesatuan dan persatuan. Tuduhan tersebut dibantah oleh
Prof. Dr. Tb. Ronny Nitibaskara, bahwa paham etnosentrisme dari sudut

56
Ace Suhaedi Madsupi, Potret Banten, (Banten: Paguyuban Rakyat Banten), 2014, P. 52 – 53
57
Tubagus Najib, Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa Ke Masa, (Serang: Sengpho Utama),
2008, P. 186

31
pandang antroplogi sangat penting dalam menunjang nation and
charachter building suatu bangsa, atau setiap suku bangsa.

Hampir secara tidak disadari sebenarnya banyak suku – suku bangsa


diseluruh dunia memiliki paham yang sehat, sepanjang tidak digunakan
untuk menilai rendah suatu bangsa lain. Yang berbeda adalah intensitas
dan kadarnya. Setiap bangsa pasti memiliki kebanggaan terhadap budaya
yang dimilikinya. Paham etnosentris baru berbahaya kalau digunakan
secara sempit seperti ras Aria di Eropa yang kita sebut dengan pandangan
Chauvinistic. Orang – orang Banten tidak memiliki pandangan budaya
yang sempit, mereka bisa hidup berdampingan dengan suku bangsa lain,
seperti terlihat dalam sejarah Banten pada umumnya. Provinsi Banten telah
terbentuk namun apriori terhadap Banten provinsi sebagaimana yang
dilontarkan oleh Pemerintahan Jawa Barat tidak menutup kemungkinan
akan muncul kembali, Banten dituduh hanyalah sebuah “wilayah”,
tuduhan pada pasca provinsi bahwa Banten tidak memiliki budaya sendiri,
seperti sunda, jawa dan melayu, ia represntatif dari ketiganya, namun
bukan berarti bahwa Banten tidak memiliki budaya. Tuduhan itu juga
pernah muncul pada masa pra Provinsi oleh pemerintahan Jawa Barat
bahwa budaya Banten dalam analisis SWOT nya dinilai minus. 58

10. Kesimpulan
1. Banten menjadi sebuah kerasidenan dan memiliki sebuah wilayah yang
setingkat dengan kabupaten. Banyak kebijakan yang dilakukan oleh
Inggris salah satunya yang dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles
yaitu mengubah Banten menjadi kerasidenan dan membagi beberapa
kabupaten dan Van Der Cappellen (asal Belanda) mengubah pula
tatanan pemerintahan yang telah dibentuk oleh Raffles dan
menerapkan sistem desentralisasi.
2. Terdapat beberapa tokoh dari Banten sendiri yang berinisiatif untuk
menggagas sebuah ide untuk diajukan ke pihak yang berwajib yaitu

58
Tubagus Najib, Wawasan Kebantenan, (Serang: Sengpho Utama), 2014, P. 51 – 55

32
usulan tentang Banten untuk memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat
alias Banten ingin menjadi Provinsi tersendiri.
3. Adanya suatu argumentasi mengapa Banten layak untuk menjadi
sebuah provinsi tersendiri. Salah satu alasannya yaitu karena Banten
ini memiliki SDM dan SDA yang cukup. Selain itu, Banten juga
menjadi sebuah wilayah yang sangat menentang kehadiran kolonial
Barat di nusantara ini. Banyak terjadi perlawanan atau pertumpahan
darah di tanah Banten. Hal itu pun kemudian dipertegas oleh Menteri
Dalam Negeri ketika para motor pendiri Provinsi Banten mengajukan
usul, bahwa Menteri Dalam Negeri secara diplomasi menegaskan
kalau sebelumnya memang sudah ada rencana untuk pembentukan
Banten sebagai Provinsi karena Pemerintah atau negara merasa
berhutang budi kepada Banten.
4. Terbentuknya Provinsi Banten berkat dukungan dari rakyat Banten
sendiri. Peresmian tersebut diawali dengan disahkannya RUU pada
Sidang Paripurna pada tanggal 4 Oktober 2000 yang kemudian disusul
dengan ditandatangani UU Pembentukan Provinsi Banten pada tanggal
17 Oktober 2000 oleh presiden dan disusul dengan peresmian oleh
Menteri Dalam Negeri pada tanggal 18 November 2000.

33
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Tim Penyusun. 2006. Kota dan Kabupaten Dalam Lintasan Sejarah. Bandung:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Lubis, Nina Herlina dkk. 2006. Sejarah Kabupaten Lebak. Lebak: Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebak

Lubis, Nina Herlina. 2004 Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES
Indonesia

Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2014. Banten Sumber Potensi Heroisme
Di Nusantara. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten

Juliadi dkk. 2005. Ragam Budaya Pusaka Banten. Serang: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang

Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari. 2011. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Saudara Serang

Muhyidin, Mansyur. 1999. Banten Menuju Masa Depan. Cilegon: CV. Semoga
Jaya

Najib, Tubagus. 2008. Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa Ke Masa. Serang:
Sengpho Utama

Madsupi, Ace Suhaedi. 2014. Potret Banten. Banten: Paguyuban Rakyat Banten

Najib, Tubagus. 2014. Wawasan Kebantenan. Serang: Sengpho Utama

Internet :

https://biroumum.bantenprov.go.id/berdirinya-banten

34

Anda mungkin juga menyukai