Anda di halaman 1dari 104

Mari bergabung dengan komunitas Wikipedia bahasa Indonesia!

[tutup]

Sejarah Tanah Luwu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Makam Datu Luwu (1900-1940)

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula.
Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale,
Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal
sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La
Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara
Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya
di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana
untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari
Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana
Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua
tingkatan pemerintahan, yaitu:

 Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.


 Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa
itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah
dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure
Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka
wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan
Belanda, yaitu:
 Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan
Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
 Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan
dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
 Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen
yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

 Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.


 Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
 Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
 Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
 Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah
sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun
1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh
Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam
sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam
menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat
oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak
menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa
itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang
kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung
Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo,
Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma
Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu
dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada
tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah
dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani
Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu
Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi).
Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum
beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar
Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar,
yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu
berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya
pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu
adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah
Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan
Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian
daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra.
Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan
Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang


Darurat, antara lain:

 Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto


dan Takalar.
 Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan
Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan
Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah
meliputi:

 Kewedanaan Palopo
 Kewedanaan Masamba dan
 Kewedanaan Malili

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan
Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya
adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961,
dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

 Wara
 Larompong
 Suli
 Bajo
 Bupon
 Bastem
 Walenrang(Batusitanduk)
 Limbong
 Sabbang
 Malangke
 Masamba
 Bone-Bone
 Wotu
 Mangkutana
 Malili
 Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status
Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan
berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah
menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan
luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran


kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota
Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga
Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52
Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna
Tanah Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan
Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9
Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam
wilayah provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas
wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah
Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi,
kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April
1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif
dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia,
dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan
mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah
Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur
KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12
Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara
ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:


1. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten
Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
o Kecamatan Lamasi
o Kecamatan Walenrang
o Kecamatan Pembantu Telluwanua
o Kecamatan Warautara
o Kecamatan Wara
o Kecamatan Pembantu Wara Selatan
o Kecamatan Bua
o Kecamatan Pembantu Ponrang
o Kecamatan Bupon
o Kecamatan Bastem
o Kecamatan Pembantu Latimojong
o Kecamatan Bajo
o Kecamatan Belopa
o Kecamatan Suli
o Kecamatan Larompong
o Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
2. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas
Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
o Kecamatan Sabbang
o Kecamatan Pembantu Baebunta
o Kecamatan Limbong
o Kecamatan Pembantu Seko
o Kecamatan Malangke
o Kecamatan Malangke Barat
o Kecamatan Masamba
o Kecamatan Pembantu Mappedeceng
o Kecamatan Pembantu Rampi
o Kecamatan Sukamaju
o Kecamatan Bone-Bone
o Kecamatan Pembantu Burau
o Kecamatan Wotu
o Kecamatan Pembantu Tomoni
o Kecamatan Mangkutana
o Kecamatan Pembantu Angkona
o Kecamatan Malili
o Kecamatan Nuha
o Kecamatan Pembantu Towuti
3. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986
berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April
2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748
jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
o Kecamatan Wara
o Kecamatan Wara Utara
o Kecamatan Wara Selatan
o Kecamatan Telluwanua
o Kecamatan Wara Timur
o Kecamatan Wara Barat
o Kecamatan Mungkajang
o Kecamatan Bara
o Kecamatan Sendana
4. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan
dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
o Kecamatan Angkona
o Kecamatan Burau
o Kecamatan Malili
o Kecamatan Mangkutana
o Kecamatan Nuha
o Kecamatan Wasuponda
o Kecamatan Tomoni
o Kecamatan Tomoni Utara
o Kecamatan Towuti
o Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan
satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten
Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang
telah ditetapkan, yaitu:

 Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2


 Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
 Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
 Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Kategori:

 Sulawesi Selatan
 Kabupaten Luwu
 Sejarah Sulawesi Selatan
 Kesultanan Luwu

Menu navigasi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir

Bagikan

 Facebook
 Google+
 Twitter

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Peralatan

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini

Bahasa

Sunting interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 07.42, 11 Oktober 2013.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Developers
 Tampilan seluler

Kesultanan Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889,
Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10
sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan
Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo, sebuah karya orang
Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi
dengan mitos, maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini terletak di
Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan

[tutup]

Malili, Luwu Timur


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Malili
Kecamatan
Negara Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan
Kabupaten Luwu Timur
Pemerintahan
• Camat Andi Habil
Luas - km²
Jumlah penduduk -
Kepadatan - jiwa/km²
Desa/kelurahan -

Opu Andi Halu, Mokole Matano (pemangku adat) dan Hoofd Maili (kepala daerah). Foto sekitar
1909-1910.

Malili adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Malili terletak sekitar 565 km dari Makassar.[1]

Menurut sejarahnya, Malili dahulu adalah tempat bertemunya suku asli Padoe penduduk Luwu
Timur yang disegani oleh Datu Luwu. Suku ini adalah suku Padoe. Populasi suku Padoe di Luwu
Timur menyebar dari daerah Kawata, Malili, Mangkutana, Pakatan, Wasuponda, Wawondula,
Tabarano, Lioka, Togo, Balambano, Soroako, Landangi, Matompi, Timampu, Karebe, dan lain-
lain.

Padoe telah mendiami daerah pegunungan dan lembah sejak tahun 1400. Banyak ksatria
pemberani yang hidup pada masa itu. Mereka dikenal dengan sebutah "PONGKIARI".
Kehebatan para Pongkiari ini terdengar oleh Datu Luwu, pemimpin Kerajaan Luwu. Saat
Kerajaan Luwu di Palopo menghadapi musuh dari selatan, Datu Luwu meminta para Pongkiari
untuk membantu dalam peperangan.

Bantuan para Pongkiari bagi Kerajaan Luwu dalam menghadapi raja-raja dari Selatan membuat
Datu Luwu memberikan penghormatan tersendiri kepada para Pongkiari dan seluruh suku Padoe.
Karenanya, Suku Padoe tidak diminta memberikan upeti kepada Datu Luwu.

Beberapa cerita rakyat tentang kehebatan Pongkiari ini menceritakan bahwa konon Danau
Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti terbentuk karena pertempuran para Pongkiari.
Begitu dahsyatnya pertempuran itu, membuat terciptanya kubangan yang sangat luas dan dalam
sehingga membentuk danau hingga saat ini. Namun seiring perkembangan zaman, eksistensi
Pongkiari berangsur-angsur hilang.

Suku Padoe memiliki adat-istiadat, aturan adat, bahasa bahkan pola kepemimpinan yang masih
eksis hingga saat ini. Pada era pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulsel, banyak orang
Padoe lari meninggalkan tanah nenek moyang mereka ke arah Sulawesi Tengah seperti
Beteleme, Poso, Taliwan, Parigi, juga sulawesi tenggara dan lain-lain. Hal ini menyebabkan
sebagian Suku Padoe tersebar dan berdiam di wilayaha Sulawesi Tengah hingga kini.
Saat investor tambang nikel masuk ke wilayah suku Padoe, sebagian besar penduduk asli sudah
mengosongkan daerah wilayah mereka. Sekitar 10 tahun kemudian saat kondisi sudah aman,
banyak eksodus kembali ke tanah nenek moyang mereka. Namun mereka menghadapi kesulitan
baru dalam melanjutkan hidup akibat tanah mereka yang telah berubah fungsi menjadi daerah
tambang. Sebagian dari mereka tetap menetap di daerah Padoe .yang sekarang ini bertempat di
belakang bumper(bumi perkemahan)soroako.

Kini, setelah daerah Padoe menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur, beragam kegiatan terus
dikembangkan untuk dapat menyejahterakan suku Padoe. Organisasi adat yang berkembang
sejak tahun 1970 PASITABE telah beberapa kali menyelenggarakan pesta adat dan rapat dewan
adat Padoe. Hingga kini PASITABE tetap aktif dalam rangka konsolidasi dan pendampingan
terhadap kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat, tanah nenek moyang suku Padoe.

Referensi
1. ^ "Lutim, yang Terus Bersolek", TEMPO, No. 3746 (26 Januari-1 Februari 2009)

[sembunyikan]

 v
 t
 e

Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan


Atue · Balantang · Baruga · Harapan · Lakawali · Lakawali Pantai · Laskap · Malili ·
Manurung · Pasi-pasi · Pongkeru · Puncak Indah · Tarabbi · Ussu · [[Wewang Riu
Desa d16=pabeta, Malili, Luwu Timur|Wewang Riu

d16=pabeta]]
[tampilkan]

 v
 t
 e

Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan


Kategori:

 Kecamatan di Sulawesi Selatan


 Kecamatan di Kabupaten Luwu Timur
 Malili, Luwu Timur
 Ibu kota kabupaten di Sulawesi Selatan

Menu navigasi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir

Bagikan

 Facebook
 Google+
 Twitter

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Peralatan
 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini

Bahasa lain

 Français
 Basa Jawa
 Basa Banyumasan
 Bahasa Melayu

Sunting interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 15.10, 10 Agustus 2013.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Developers
 Tampilan seluler

[tutup]

Malili, Luwu Timur


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Malili
Kecamatan
Negara Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan
Kabupaten Luwu Timur
Pemerintahan
• Camat Andi Habil
Luas - km²
Jumlah penduduk -
Kepadatan - jiwa/km²
Desa/kelurahan -

Opu Andi Halu, Mokole Matano (pemangku adat) dan Hoofd Maili (kepala daerah). Foto sekitar
1909-1910.

Malili adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Malili terletak sekitar 565 km dari Makassar.[1]

Menurut sejarahnya, Malili dahulu adalah tempat bertemunya suku asli Padoe penduduk Luwu
Timur yang disegani oleh Datu Luwu. Suku ini adalah suku Padoe. Populasi suku Padoe di Luwu
Timur menyebar dari daerah Kawata, Malili, Mangkutana, Pakatan, Wasuponda, Wawondula,
Tabarano, Lioka, Togo, Balambano, Soroako, Landangi, Matompi, Timampu, Karebe, dan lain-
lain.

Padoe telah mendiami daerah pegunungan dan lembah sejak tahun 1400. Banyak ksatria
pemberani yang hidup pada masa itu. Mereka dikenal dengan sebutah "PONGKIARI".
Kehebatan para Pongkiari ini terdengar oleh Datu Luwu, pemimpin Kerajaan Luwu. Saat
Kerajaan Luwu di Palopo menghadapi musuh dari selatan, Datu Luwu meminta para Pongkiari
untuk membantu dalam peperangan.

Bantuan para Pongkiari bagi Kerajaan Luwu dalam menghadapi raja-raja dari Selatan membuat
Datu Luwu memberikan penghormatan tersendiri kepada para Pongkiari dan seluruh suku Padoe.
Karenanya, Suku Padoe tidak diminta memberikan upeti kepada Datu Luwu.

Beberapa cerita rakyat tentang kehebatan Pongkiari ini menceritakan bahwa konon Danau
Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti terbentuk karena pertempuran para Pongkiari.
Begitu dahsyatnya pertempuran itu, membuat terciptanya kubangan yang sangat luas dan dalam
sehingga membentuk danau hingga saat ini. Namun seiring perkembangan zaman, eksistensi
Pongkiari berangsur-angsur hilang.

Suku Padoe memiliki adat-istiadat, aturan adat, bahasa bahkan pola kepemimpinan yang masih
eksis hingga saat ini. Pada era pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulsel, banyak orang
Padoe lari meninggalkan tanah nenek moyang mereka ke arah Sulawesi Tengah seperti
Beteleme, Poso, Taliwan, Parigi, juga sulawesi tenggara dan lain-lain. Hal ini menyebabkan
sebagian Suku Padoe tersebar dan berdiam di wilayaha Sulawesi Tengah hingga kini.

Saat investor tambang nikel masuk ke wilayah suku Padoe, sebagian besar penduduk asli sudah
mengosongkan daerah wilayah mereka. Sekitar 10 tahun kemudian saat kondisi sudah aman,
banyak eksodus kembali ke tanah nenek moyang mereka. Namun mereka menghadapi kesulitan
baru dalam melanjutkan hidup akibat tanah mereka yang telah berubah fungsi menjadi daerah
tambang. Sebagian dari mereka tetap menetap di daerah Padoe .yang sekarang ini bertempat di
belakang bumper(bumi perkemahan)soroako.

Kini, setelah daerah Padoe menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur, beragam kegiatan terus
dikembangkan untuk dapat menyejahterakan suku Padoe. Organisasi adat yang berkembang
sejak tahun 1970 PASITABE telah beberapa kali menyelenggarakan pesta adat dan rapat dewan
adat Padoe. Hingga kini PASITABE tetap aktif dalam rangka konsolidasi dan pendampingan
terhadap kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat, tanah nenek moyang suku Padoe.

Referensi
1. ^ "Lutim, yang Terus Bersolek", TEMPO, No. 3746 (26 Januari-1 Februari 2009)

[sembunyikan]

 v
 t
 e

Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan


Atue · Balantang · Baruga · Harapan · Lakawali · Lakawali Pantai · Laskap · Malili ·
Manurung · Pasi-pasi · Pongkeru · Puncak Indah · Tarabbi · Ussu · [[Wewang Riu
Desa d16=pabeta, Malili, Luwu Timur|Wewang Riu

d16=pabeta]]
[tampilkan]

 v
 t
 e

Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan


Kategori:

 Kecamatan di Sulawesi Selatan


 Kecamatan di Kabupaten Luwu Timur
 Malili, Luwu Timur
 Ibu kota kabupaten di Sulawesi Selatan
Menu navigasi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir

Bagikan

 Facebook
 Google+
 Twitter

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak
Peralatan

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini

Bahasa lain

 Français
 Basa Jawa
 Basa Banyumasan
 Bahasa Melayu

Sunting interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 15.10, 10 Agustus 2013.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Developers
 Tampilan seluler


FerRum's
Rabu, 04 September 2013
SEJARAH KERAJAAN LUWU
1. Sejarah Kerajaan Luwu.
Kata Luwu berasal dari kata bugis “riulo” yang berarti diulur, kemudian dihamparkan dan
ditaburi/dilengkapi dengan kekayaan alam yang melimpah-limpah dan menjadi satu daerah atau
kerajaan pusaka ”ongko”. Luwu juga berarti suatu daerah yang sangat subur tanahnya dan
mempunyai banyak kekayaan, baik yang berada diatas permukaan buminya maupun kekayaan
alam yang ada didalam perut buminya. Luwu juga berarti “malu”, artinya keruh atau gelap.
Dapat disaksikan, bahwa seluruh dareah kerajaan luwu sejak dari pantai sampai puncak
gunung, kelihatan “gelap”, oleh karena tertutup dengan hutan rimba yang lebat yang berisi
kekayaan alam yang tidak terkira-kira banyaknya (Moh. Sanusi, 1962;1-2). Luwu biasa juga
disebut Ware’[1], Luwuq, tetapi pada dasarnya memiliki arti yang sama yaitu Luwu.

Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi-Selatan, hal ini berdasarkan sumber
tertulis tertua yang menyebutkan tentang Luwu yaitu dalam naskah yang dikenal dengan nama
Sure’ Galigo. Berdasarkan hal itu, Kedatuan Luwu diperkirakan muncul sekitar abad ke X
Masehi pada masa pemerintahan Batara Guru yang juga dianggap sebagai manusia pertama
dalam kepercayaan masyatakat Luwu (bugis kuno), dan berperan penting dalam membangun
tatan masyarakat dalam beberapa wilayah di Sulawesi Selatan dan kerap menghubungkan
keturunan raja-rajanya[2] berasal dari Kerajaan Luwu, serta dianggap sebagai cikal bakal
lahirnya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi-Selatan. Selain itu beberapa pendapat ilmuan asing,
seperti Belanda yang sepakat mengatakan bahwa Luwu merupakan pusat peradaban bugis
termasuk sumber bahasa bugis (Ji Eun, 2011).

Dalam Encyclopedie van nederlandsch-Indie (ENI) diungkapkan bahwa, berdasarkan hikayat


lama, diperkirakan Luwu merupakan kerajaan terbesar pada periode adab ke X hingga adad ke
XIV. Kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan mengakui bahwa kedatuan ini merupakan
kesatuan pemerintahan yang tua. Atas dasar itu Abdurrazak Daeng Patunru menyatakan
bahwa kerajaan Luwu telah berkembang 300 tahun sebelum terbentuknya kerajaan Gowa dan
Bone. Informasi ini tampaknya diperkuat juga oleh david bulbeck dan baygo prasetyo yang
menyatalan bahwa”zaman I La Galigo merupakan puncak keemasan bagi luwu, yaitu abad ke x
sampai abad ke xiv masehi ..” pernyataan ini sesungguhnya berhubungan dengan periode
pemerintagan para dewa dalam kisah sejarah Luwu, sebelum terbentuknya kerajaan
simpurusiang (Edwar L. polinggomang, 2006,174).

Tanah Luwu mempunyai kekayaan hasil hutan yang melimpah, seperti damar, rotan, kayu-
kayu yang berkualitas baik, sagu, bambu dan masih banyak lagi. Dan hasil bumi seperti biji
besi[3] dan emas sangat digemari karena mutunya yang tinggi. Pada masa Datu Simpurusiang,
aktitas perdagangan sudah mulai dilakukan dengan daerah-daerah lain di sulawesi selatan,
bahkan sampai ke jawa, khususnya singasari dan majapahit, berdasarkan sumber tertulis yang
berasal dari kitab Nagarakertagama karya Mpu Pranca (1365) dari kerajaan Majapahit
menyebutkan.

“Murwah tanah 1 Bantayan pramuka Bantayan ke luwuk adamaktrayathi

Mikanang sanusaaspupu! Ikang sakanusa Makassar, batun, Banggawi,

Kuni craliyao mwangi (mg), selaya, sumba (ni)” (pigeyaut, 1962.)


nama Luwu dalam keterangan tersebut merupakan sebutan dari suatu daerah tempat penghasil
bahan baku logam dalam pembuatan senjata-senjata pusaka, dan dikenal memiliki kualitas
yang bagus dalam pembuatannya yang kemudian dikenal dengan “pamor luwu”. Aktifitas
perdagangan Luwu terus berkembang bahkan sampai di negara Sampai ke Cina.

Sejak berdirinya Kejaaan Luwu, pusat-pusat kerajaan atau yang biasa disebut Ware’ sering
berpindah-pindah, diperkirakan berpindah selama enam kali.

1. Ware’ 1. Bertempat di daerah Ussu (sekarang termasuk wilayah kabupaten Luwu Timur), Masa
ini diyakini juga sebagai masa berkuasanya keturunan dewa-dewa yang dipercaya sebagai
cikal-bakal dan berdirinya kerajaan di Sulawesi-Selatan.
2. Ware’ 2. berlangsung sekitar awal abad ke XIII. Fase ini dikenal sebagai periode Lontara. Pada
masa ini telah berkuasa Simpurusiang.
3. Ware’ 3. berlangsung sekitar awal abad ke XIV pada masa pemerintahan Anakaji. Ware
dipindahkan ke Mancapai, dekat Lelewawu sebelah selatan danau Towuti.
4. Ware’ 4. Berlangsung sekitar adab ke XVI Masehi pada masa pemerintara Dewa Raja.
Memindahkan ke Kamanre di tepi sungai noling, hal ini dikarenakan perebutan wilayah Cenrana
antara Bone dan Luwu.
5. Ware’ 5. Berlangsung sekitar abad ke XVI Masehi. Pada periode ini diperkirakan We Tenrirawe
berkuasa dan beliau memindahkan pusat kerajaan ke Pao wilayah Pattimang-Malangke.
6. Ware 6. Berlangsung pada awal abad ke XVII pada masa pemerintahan Patipsaung. Pusat
kerajaan dipindahkan ke wara (sekarang lebih dikenal dengan nama Palopo). Menurut
beberapa sumber klasik, ware’ mengalami perkembangan yang cukup pesat setelah Kerajaan
Luwu pindah dari Malangke dan menjadi Palopo sebagai pemukiman awal masyarakat pada
era pra Islam yang berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam, hal ini ditandai
dengan dibangunnya Mesjid Djami dan dalam kemudian berganti nama menjadi kota Palopo (Ji
Eun, 2011). Sumber lain menyebutkan setelah pertikaian yang terjadi antara Patiapassaung
dengan Patiaraja, maka baginda berusaha keras meratakan faham Islam ke seluruh pelosok
kerajaan, untuk menyesuaikan keadaaan tersebut, baginda pun memindahkan ibu kota
kerajaan ke Palopo. Dan mulai menyempurnakan bagian-bagian mesjid, sebab mesjid yang
indah memyebabkan hati kaum muslimin khusuk, beribadat kepada Allah SWT (Moh. Natsir,
1962,81).
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia
Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana
Toraja (Makale, Rantepao), Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi
Tengah). Disebutkan raja pertama yang mendirikan Kerajaan Ware’ (luwu) disekiatr Kampung
Ussu bernama Batara Guru. Ia digambarkan seorang anak laki-laki tertua To Palanroe, maha
dewa di langit, nama lainnya ada patotoE. Maka diutuslah Batara Guru ke bumi karena bumi
atau dunia tengah amat gelap gulita dan sepi.

“Bersabdalah Sang Pencipta: “Sangiyangpajung, Rumamakkompong telah tiga hari aku tak
menampakan kalian, balairung sepi”. Rukellempoba dan Rumamakkompong berdatang
sembah: “ampun, tuanku! Kami datang dari tengah cakrawala, melakukan di sana permainan
orang langit: menyambung petir, kilat, guntur dan halilintar di atas dunia bawah. Amatlah gelap
gulita dan sepi di sana. Kami tidak mendengar pujian-pujian yang dipanjatkan ke langit atau
dipersembahkan turun ke pertiwi. Baiklah kiranya tuanku menempatkan cucu tuanku di dunia
tengah, agar tak hampa dan ada pula cahaya di sana. Apalah arti Dewata apabila tak ada
manusia yang menyembah langit dan pertiwi” sang pencipta membenarkan apa yang
dikemukakan kedua pramunbaktinya itu. bagindapun masuk mendapatkan permaisurinya. Datu
Palinge untuk membicarakan gagasan itu, Datu Palinge menyetujuinya. ..... maka jatuhlah
pilihanya pada Batara Guru, yang terpuji.. demikianlah usul Datu Palinge yang disetujui oleh
suaminya Sang Pencipta ” (R.A. Kern,1993: 20-21).

Maka diturunkalah Batara Guru (Datu 1) di sebuah negeri bernama Ware’ atau Luwu atau
lebih tepatnya disekitar Kampung Ussu, yang kemudian mendirikan Kerajaan Ware’(Luwu).
Batara Guru kemudian menikah dengan We Nyili Timo. Dari pernikahan inilah lahir Batara
Lattu. Batara Guru mempunyai dua orang selir yang bernama We Saungiriu yang melahirkan
tiga orang anak yang bernama Lampanguriseng Toappananrang, Leleuleng, dan Sangiang
Serri. Tetapi putri ini mati muda, ditempat ia dikuburkan tumbuhlah padi dan menjadi padi
pertama di luwu. Selir kedua bernama Leleuleng dan memperoleh dua orang anak bernama
Datu Maoge dan Letemmalolo.

Batara Lattu (Datu 2) kemudian menjadi Raja/Datu menggantikan ayahnya karena Batara
Guru bersama istrinya telah naik ke langit. Ia mengambil alih pemerintahan dan kemudian
menikah dengan We Datu Sengngeng, putri dari Raja Turu’belae dari Tompo’tikka. Dari
penikahan ini lahirlah anak kembar yang berlainan jenis. Seorang laki-laki yang diberinama
Sawerigading dan yang perempuan diberi nama We Tenriabeng. Namun sejak kecil kedua
kakak beradik ini dipisahkan hal ini dilakukan guna menghindari mereka saling jatuh cinta.
Setelah beranjak dewasa sawerigading berkelana ke perbagai Negeri di bumi.

Dan pada suatu hari ia bertemu dengan saudara kembarnya yakni We Tenriabeng, ia pun
jatuh hati kepada adik kembarnya. Tetapi hal itu dilarang oleh orang tuanya karena merupakan
suatu pemali. Atas saran dari adiknya. Sawerigading pun pergi berlayak ke Cina untuk nikah
dengan seorang putri di negeri Cina yang bernama We Cu Dai. Yang wajah dan karakternya
hampir sama dengan We Tenriabeng, karena sakit hati Sawerigading pun pergi ke negeri Cina
dan berikrar untuk tidak kembali lagi ke tanah Luwu. Dalam perjalannya ke Cina berbagai
rintangan ia hadapi dan akhirnya ia bertemu dengan We Cu Dai dan menikah, setelah itu
Sawerigading pulang kembali ke tanah Luwu, namun kedatangannya disambut dingin ayahnya
dan para hadat luwu. Oleh karena ia telah melanggar sumpahnya. Sawerigading pun menjadi
seorang pengembara. Sawerigading mempunyai dua orang dari We Cu Dai, yaitu I La Galigo
dan Patiangraja. Pada masa itu kerajaan tidak memiliki seorang raja selama kurang lebih dua
abad. Sedangkan Batara Lattu dan istrinya pun pergi ke dunia bawah.

Sementara itu saudara kembarnya We Tenriabeng menikah dengan La punnalangi’ dan


mempunyai seorang anak bernama Simpurusiang. Setelah cukup dewasa Simpurusiang (Datu
3) menjadi Datu di Kerajaan Luwu, ia kemudian menikah dengan anak perempuan dari
Sawerigading bernama Patiangjala. Dan mempunyai tiga orang anak yaitu Anakaji,
Lakipadada[4] dan Arung Malasa “Ulie”. pada masa pemerintahan Simpurusiang telah terjalin
hubungan perdagangan pada kerajaan-kerajaan di jawa seperti kerajaan Singasari dan
Majapahit yang tercatat dalam kitab Nagaraketagama. Hasil bumi yang banyak terkenal ialah
biji besi, bahkan diperjual belikan sampai kamboja dan cina.

Setelah masa pemerintahan Simpurusiang berakhir, maka ia digantikan oleh anaknya yang
pertama bernama Anakaji (Datu 4). Anakaji menikah dengan seorang bernama Tappacina
yang merupakan permaisuri dari Kerajaan Majapahit dan mempunyai seorang anak bernama
Tampa Balusu. Dan menghadiahkan kepadanya sebidang tanah yakni wilayah cenrana.
Kerajaan Luwu pada masa pemerintahan Anakaji belum ada yang menyaingi. Bone dan Gowa
pada masa itu (abad ke-13) baru mulai menata kerajaan masing-masing dan sangat sempit.
Maka kerajaan baru itu menjalin hubungan yang sangat erat, kalau Kerajaan Luwu bersifat
agraris maka Kerajaan Gowa bersifat maritim. Pada masa pemerintahan Anakaji pusat
Kerajaan Luwu dipindahkan ke Mancapai. Pusat kerajaan itu berada disebelah selatan Danau
Towuti, dengan demikian terdapat dua pusat peniagaan Luwu yaitu teluk Ussu dan Teluk
Lelewau. Pelabuhan Ussu tetap dipertahakan sebagai pusat ekonomi kerajaan sedangkan
Mancapai hanyalah pusat kerajaan semata, perangkat hadat dan pemimpin pasukan kerajaan
berada di ware’ Mancapai. Malangke, Pao dan Pattimang dijadikan sebagai pusat pembuatan
perahu. (Rizal A. Latif, 2007, 2-3).

Tampa Balusu (Datu ke 4) kemudian mengantikan ayahnya memenang tapuk pimpinan


Kerajaan Luwu. Tampa Balusu menikah dengan seorang putri bernama Daowe. Dari
perkawinan mereka lahirlah Tanra Ballusu (Moh. Sanusi, 1962, 54). Tanra Balusu
menggantikan ayahnya menjadi Raja Luwu (Datu ke 5). ia menikah dengan seorang putri dari
keluarganya sendiri, dari perkawinannya lahirlah empat orang anak yaitu Tompanange, Datu
Riwawo, Lamariawa, dan Datu Pinra. Selama masa pemerintahannya kerajaan tetap stabil
dengan memperkuat kerjasama antara kerajaan Majapahit. Pusat-pusat ekonomi yang telah
dirancang ayahnya diselesaikan oleh Tanra Balusu seperti pelabuhan Pao dan Teluk
Mengkongga. Pedagang yang datang ke Luwu tidak hanya dari Jawa, melainkan juga dari
melayu bahkan tidak mustahi pula ada dari Cina Selatan dan Persia. Putra Tanra Balusu yang
pertama yaitu Tompanange (Datu ke 6) menjadi raja, ia dikenal sebagai Datu Luwu yang gemar
berlayar bahkan sampai ke Gowa. Ia menikah dengan seorang puteri dari keluarganya sendiri
dan mempunyai enam orang anak yaitu, Ajiguna, Dewaraja, Batara Guru, Ajiria, Sangaji Raja
dan Rajengpuja. Pada masa pemerintahannya semakin banyak pedagang yang datang ke
Luwu karena semakin beragam barang yang diperdagangkan seperti hasil hutan berupa damar,
rotan, bambu, kayu olahan, hasil laut seperti teripang dan kerang-kerangan, dan hasil tambang
terutama besi dan emas yang mempunyai kualitas yang tinggi. (Rizal A. Latif, 2007, 4).

Batara guru (Datu ke 7) merupakan putra ketiga dari Tompanange. Batara guru dipilih
karena ayahnya dan rakyat sangat senang dengan batara guru karena sikapnya yang baik,
tidak sepeti saudaranya yang lain. Makam batara guru diangkat menjadi raja. Ia menikah
dengan Datudewakang dan mempunyai dua orang anak yaitu Daturisaung dan Erangga.
Bersamaan dengan itu muncul pula Raja Gowa yang bernama Batara Gowa di Gowa dan
Batara Wajo yang berkedudukan di Tosora. Ketiga kerajaan tersebut mengikatkan diri dalam tali
persaudaraan (Assiajingeng). Di bawah pemerintahan Batara Guru, Luwu semakin kuat, ia
kemudian membentuk pasukan khusus orang Rongkong mereka mempunyai keahlian mahir
membuat senjata tajam bermutu tinggi, dan sangat kebal atau tahan terhadap benda tajam.
Penduduk pegunungan juga memiliki kemahairan membuat parang dan alat pertanian. Karena
kekhawatiran Batara Guru akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke Kamanre. Letak Ware’
yang baru ini dekat Balla-Bajo, sekitar 7 km sebelah utara.
Lamariawa[5] (Datu ke 8) menjadi raja karena waktu itu putra mahkota masih kecil maka
diputuskan oleh Hadat Luwu untuk mengangkat Lamariawa menjadi Raja Luwu, ia tidak lain
adalah paman dari Batara Guru. Ia dikenal sangat sabar, berjiwa terbuka dan pergaulannya
merakyat sehingga disebut “Macenning Wegang”. Pada masa pemerintahannya Luwu berada
dalam keadaan damai. Setelah Daturisaung Lebbi (Datu ke 9) dewasa, maka ia pun naik tahta
menggantikan pamannya. Daturisaung Lebbi mempunyai istri bernama Maningoe Rijarapoe
dan dari penikahannya tersebut lahir lima orang anak yaitu Maningoe Ribajo, Paroppe,
Passabengnge, Datubissu, dan Opunnarawe. Bersama pamannya ia mendalami Adat Luwu
terutama isi Lontara sikap tenang digabungkan dengan sikap keberanian memunculkan sifat
arif. Kebebasan yang diberikan raja terdahulu perlahan-lahan mulai dikekang. Ikatan dengan
pusat kerajaan Luwu harus kuat agar keamanan Luwu terjaga. Kekuatan pasukan Luwu
ditambah, kepada Raja Sangalla diminta pasukan cadangan untuk ditugaskan di Luwu.
Pasukan Rongkong, dan Raja Luwu meminta pula Suku Mekongga agar mempersiapkan pula
pasukannya. Daturisaung Lebbi lebih sering ke Cenrana sebab timbul gejolak adanya
gangguan dari Kerajaan Bone oleh karena perebutan wilayah Cenrana.

Daturisaung Lebbi digantikan oleh anaknya bernama Maningoe Ribajo[6] (Datu ke 10), ia
menikah dengan seorang puteri dari kalangan keluarganya, lahirlah sembilan orang anak yaitu
Lasangaji, Daeng Leba, Opu To Tajiwa, Daeng Soreang, Toleba, Daeng Mangasa,
Toampenano, Daeng Macora, dan Batara Bissu. Pada masa pemerintahannya mencapai pucak
kejayaannya dan dikenal oleh semua kerajaan utama seperti Gowa, Bone dan Wajo. Setelah itu
berangsur digeser pengaruhnya oleh Kerajaan Gowa. Luwu pun mengadakan persekutuan
dengan Wajo. Sejak jatuhnya Malaka ketangan Portugis. Gowa banyak dikunjungi pedagang
Melayu, Persia, dan India Gujarat. Maka pada tahun 1530 bandar Tallo dan Mangallekana atau
yang lebih dikenal Somba Opu bertambah ramai. Kemajuan bandar-bandar Gowa
menguntungkan Luwu. Jalur Cambay-Malaka-Maluku dirubah dan ditambahkan Makassar.
Barang dagangan Luwu dikumpulkan di bandar Makassar, dari sini dibawah ke luar negeri jawa,
seperti Melayu, Cina dan India, yang paling terkenal dari hasil buminya adalah besi Luwu (Rizal
A. Latif, 2007,9).

To Sangkawana (Datu ke 11) merupaka kemanakan dari baginda Maningoe Ribajo. Mulai
saat dia memerintah Luwu kehilangan negeri Cenrana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan
Luwu dipindahkan ke Pattimang-Malangke, alasan pemindahan pusat kerajaan ini dipengaruhi
oleh tiga faktor, pertama potensi pertaniannya yang memproduksi sagu demi menyokong
populasi besar, kedua lokasinya yang strategis di mulut sungai Baebunta yang dapat digunakan
untuk mengepakan produk dari tanah tinggi, biji besi yang bernilai tinggi, emas dan damar yang
diangkut dari jarak yang relatif dekat dari sungai Rongkong, ketiga produksi senjata besi dan
alat pertanian di Pattimang-Malangke. Wiayah pemukian di Pattimang-Malangke merupakan
wilayah terbesar di Luwu pada saat itu, dan memperlihatkan kemegahan mirip dengan halam
istana Gowa di benteng Somba Opu pada masa itu. Sure I La Galigo, dikembangkan juga disini
dan dipindahkan ke kerajaan-kerajaan bugis lainnya`(bersama pranata bissu), sebagai bagian
darin penegasan senoritas politis Luwu di seluruh semenanjung barat daya Sulawesi.

Datu Maoge (Datu ke 12) menjadi Raja Luwu, ia merupakan kemanakan dari To
Sangkawana. Ia kemudian menata kembali Kerajaan Luwu yang pernah terlibat perang dengan
Kerajaan Bone. Pusat kerajaan dipindahkan ke Pattimang. Pelabuhan Ussu, Cerekang,
Lalewau, Pao, Teluk Palopo dan Kolaka ramai dikunjungi pedangang. Gowa dan Bandar
Makassar di bawah kekuasaan Raja Tunipalangga (1540-1565) makin terbuka hubungan Luwu
dan Gowa juga semakin membaik pula. We Tenrirawe (Datu ke 13) merupakan Raja Luwu
perempuan pertama, ia adalah sepupu sekali dengan Datu Mangoe, ia bersuamikan Datu
Balubu dan mempunyai dua orang anak yang bernama Patiarase dan Patiparessa. Berbeda
dengan raja sebelumnya, Raja perempuan ini memerintah Luwu dengan sikap tegas,
perdagangan yang maju mendatangkan kemakmuran, hasil bumi dari hutam rimba di
pegunungan bagaikan tidak akan habis, meskipun barang yang diperdagangkan banyak,
namun hasil bumi tetap banyak dihasilkan penduduk. Perahu tipe Lambo dan Pajala mondar-
mandir di pelabuhan Luwu ke bandar Gowa, sebagian lagi sampai Wajo dan Bone.

Namun nilai-ujian kebenaran di Kerajaan Luwu mulai terganggu yaitu tiga pilar utama Adele,
Lempu dan Tongeng. Dari sini hadirlah seorang yang bijaksana bernama To Ciung yaang
kemudian merumuskan MaccaE ri Luwu.

Patiarase[7] (Datu ke 13) merupakan putra dari We Tenrirawe. Ia mempunyai seorang istri
bernama Karaengnge Riballa Bugisi, ia adalah seorang putri dari Kerajaan Gowa yang juga
merupakan kakak sulung Sultan Alauddin. Mereka pempunyai tiga orang anak yaitu Patiangjala
bergelar Somba Opu, Patipasaung, dan We Tenrisiri Somba Baine. Ia merupakan Datu Luwu
yang diislamkan untuk pertama kali. Dan mempunyai nama Islam Sultan Muh. Waliul
mudaruddin. Pusat pemerintahan Ware masih berada di Malangke atau pattimang, tempat
strategis ini diapit oleh dua pelabuhan yaknni Teluk Palopo dan Teluk Ussu. Tekuk palopo
merupakan tekluk nelayan kerajaan palili penting di Luwu yakni Bua. Perahu dagang biasanyan
singgah di Bua sebelum membuang sauh di Malangke.
Patipasaung[8] (Datu ke 14) walaupun ia anak ke dua tetapi dialah yang dinobatkan sebagai
raja karena sifatnya yang baik dan disukai oleh ayahnya dan rakyat. Naiknya Patipasaung
menjadi Datu Luwu menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Malangke. Beberapa petinggi
istana yang mendukung Patiaraja menolak keputusan adat yang menaikan sang adik. Dan
akhirnya Patiaraja meninggalkan Malake menuju bekas pusat kerajaan luwu di Kamabre. Ia
mendapat dukungan dari Kemadikaan Ponrang, rakyat Cilellang, Bajo, Noling sampai Laropang
menerima Patiaraja dan pada akhirnya Patiaraja mengumumkan sebagai Datu Luwu. Lalu
kemudian Kerajaan Luwu terpecah menjadi dua. Wilayah kekuasaan Patipasaung terbentang
dari Baebunta sampai Poso. Sedangkan wilayah kekuasaan Patiaraja di Kamanrea, termasuk
didalamnya Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotengeng. Tetapi Kemadikkaan Bua
berusaha untuk netral. Pada tahun 1616, pecahlah perang saudara diantara mereka yang
awalnya dimulai dari Patiaraja, tahun berikutnya diambil alih Patipasaung. Lama kelamaan
menjadi perang antara Baebunta dengan sekutunya melawang Ponrang. Atau biasa disebut
perang utara dan selatan. Perang ini diperkirakan berlangsung selama empat tahun lamanya.
Setelah dirasakan kedua belah pihak tidak ada yang memenangkan perang. Mucul ide Maddika
Bua untuk mengupayakan pertemuan mereka. Pada tahun 1619 mereka dipertemukan dan atas
nasehat-nasehat yang diucapkan Maddika Bua akhirnya mereka kembali berpelukan. Pada
tahun 1619 sepeninggal Patiaraja ke Gowa, Kerajaan Luwu bersatu kembali. Patipasaung
kemudian memindahkan pusat kerajaan Luwu ke Palopo yang termasuk wilayah Maddika Bua.
Ketika itu penguasa Ponrang, Bua dan Baebunta dikukuhkan menjadi pilar utama Luwu yang
bernama Ana’ Tellu. yang di koordinir Bua (Rizal A. Latif, 2007:19-22).

Raja Luwu menata kembali struktur pemerintahan, kedudukan Kadhia menjadi sangat
penting. Perpindahan pusat Kerajaan Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan pendirian se buah
mesjid megah. Bangunannya amat kokoh dan memiliki bentuk yang cukup unik yang diberi
nama Mesjid Djami’. Mesjid ini memiliki tiang agung terbuat dari kayu yng sangat kuat dan
keras. Tukang ahli yang membuat menara bernama Pongke Mante’ yang didatangkan langsung
dari Makale. Konon tukang pahat batu pekerjanya ada empat puluh orang. Setiap tukang pahat
dibantu oleh tukang asah sebanyak empat puluh orang. Tidak kurang dari seribu orang setiap
harinya terlibat dalam penyelesaian bangunan mesjid ini. Kayu yang digunakan sebagai tiang
agung berasak dari cinaguri. Mesjid Djami yang dibangun pada tahun 1604 oleh sebagian
masyarakat Luwu dinyatakan sebagai pusat Palopo. Sekitar empat puluh depa dari Mesjid
Djami dibangun pasar kerajaan, istana kerajaan datu juga berjarak 40 depa dari Mesjid Djami.
Jarak pasar dengan istana datu sekitar 80 depa. Antara ketiga bangunan itu adalah lapangan
atau biasa disebut alun-alun. Patipasaung dua kali beristri, dari permaisuri yang bernama Petta
MatinroE Rijuddah, lahir dua oranh anak yakni Petta MatinroE ri Gowa dan Petta MatinroE
Rabini. Dari permaisurinya yang bernama Datu Wittoeng, lahir lima anak yakni Opu Peso, Opu
Totimo, Opu Mangile dan Opu Daeng Makulle.

Petta Matinroe ri Gowa[9] (Datu ke 15) merupakan anak pertama Patiapasaung yang
menggantikannya sebagai raja. Ia menikah dengan Opu Daeng Masalle dan dianugerahi dua
orang anak yaitu Settiaraja dan Opu Pawelai Luminda. Pada masa pemerintahannya Gowa
masih di bawah pemerintahan Sultan Alauddin yang masih kakeknya sendri. Waktunya lebih
banyak dihabiskan di Gowa membantu penetaan dan perluasan kerajaan kakeknya. Bantuan
yang diberikan berupa kayu ramuan diangkut dari Ussu, Cerekang, Pao, Lelewau, Kolaka dan
Palopo. Karena kegiatan Raja Luwu sering di Gowa, ia pun wafat di Somba Opu. Setelah
ayahnya meninggal, anaknya settiaraja[10] naik tahta (Datu ke 16 dan ke 18) semasa
remajanya banyak dihabiskan di Gowa. Settiaraja adalah seorang panglima perang yang
banyak memiliki ilmu-ilmu perang. Sejak memerintah menjadi Datu Luwu, ia pun mengikuti
kebiasaa ayahnya yang lebih banyak menghasbiskan waktunya di Gowa. Karena kurangnya
waktu di Luwu, maka musuh-musuhnya di Ware berpeluang untuk melakukan kudeta kerajaan.
Settiaraja tidak sadar bahwa sepupunya yakni Petta matinroE ri Polka berambisi untuk menjadi
Datu Luwu. Sebulan meninggalkan Luwu, Settiaraja dihianati oleh sepupunya. Ia dan semua
pejabat kerajaan meninggalkan istana dan pergi Gowa.

Akhirnya Petta MatinroE ri Polka (Datu ke 17) naik tahta secara diam-diam dari hasil kudeta
yang dilakukan pada Settiaraja sewaktu settiaraja pergi ke Gowa untuk membantu Sultan
Hasanuddin melawan Belanda. Dan untuk kedua kalinya Settiaraja naik tahta setelah merebut
kembali kerajaan dari tangan raja sebelumnya. Settiaraja menikah dengan keluarga Opu
Datu[11] dari perkawinan tersebut lahir dua orang anak bernama Patipatau Topalaguna Opu
Toleba[12] dan Etenriummu[13]. Semasa pemerintahannya ia meneruskankan pembangunan
kota Palopo, mesjid raya dan membangun makam Lokkoe yang berbentuk piramid untuk
makam raja-raja Luwu dipiggir kota Palopo (Moh. Sanusi, 1962,56-57). Topaguna (Datu ke 19)
yang tidak lain adalah putra sulung Raja Settiaraja menjadi raja, pada saat ia naik tahta usianya
sudah tua. Ia menikah dengan Datu Tanete, mereka mempunyai seorang putri bernama Batari
Tungke. Pada masa pemerintahannya luwu kembali makmur dan dihormati. Hal ini
menyebabkan banyak bangsawan Bone, Wajo dan Soppeng datang ke Luwu untuk berdagang.
Batari tungke[14] (Datu ke 20). Baginda bersuamikan Patta MatinroE ri Suppa. Dari hasil
perkawinannya lahir dua orang anaknya yaitu We Tenrilelang[15] dan Latenrioddang[16]. Beliau
gugur dalam pertempuran antara Bone dan Wajo, ketika itu Wajo tampil melawan Belanda yang
dibantu oleh Bone, Luwu membantu Bone dalam peperangan itu. We Tenrileleang diangkat
menjadi Arung panca. Suatu daerah dekat Tanete Barru, maka darah keturunan Luwu telah
sampai ke kerajaan tepi barat selat Makassar, yakni di Suppa sampai Tanete (Risal A. Latif,
2007;26).

Batari Tojang[17] (Datu ke 21). Baginda Batari Tojang adalah raja perempuan sangat
terkenal dalam sejarah raja-raja Sulawesi Selatan, karena beliau pernah mempunyai tiga
kerajaan sekaligus. Datu di Luwu, Mangkau (raja) di Bone, dan Datu di Soppeng. Karena ia
ingin mempunyai keturunan makam baginda 7 kali bersuami akan tetapi sampai mangkatnya
dia tidak memiliki keturunan. We Tenrileleang(Datu ke 22 dan ke 24), ia merupakan putri Batari
Tungke. Beliau dua kali bersuami yang pertama bernama Lamapasali Datuk Patojo[18] dan
mempunyai dua orang anak We Tenriabeng Datu ri Wawo dan La Pancaji Datu Soppeng Petta
matinroe ri Sapirie. Karena derajat suaminya tidak sepadan dengan beliau/derajat istrinya lebih
tinggi jika dibandikan dengan suaminya, maka saudara We Tenrileleang, yakni Latenrioddang
membunuhnya. Baginda pun menikah lagi dengan sepupunya yang memiliki derajat yang sama
yaitu La Mallarangeng Petta Matinroe ri Sapirie. Dari pernikahan keduanya, lahir empat orang
anak yaitu, We Panagngarang daTu Mario ri Wawo[19], Wetenriawakkang Datu Ribakke[20], La
Tenrisessung Cenning ri Luwu, dia kemudian diangkat sebagai Arung Panca dan yang terakhir
La Maddusila, dia diangkat menjadi Arung Tanete.

Peristiwa pembunuhan suami We Tenrileleang mengakibatkan kekacauan politik didalam


istana, kaun adat sempat berkumpul, berlanjut dengan ketidak percayaan ke pada We
Tenrilelang, akhirnya Hadat Dua Belas mengangkat Lakaseng[21] (Datu ke 23) menjadi Datu
Luwu. ia merupakan saudara sebapak dengan We Tenrileleang. Lakaseng menikah dengan
dengan We Sauda Datu Pacciro dan memiliki anak Lateripeppang[22]. Selama lima tahun
pemerintahannya Luwu dalam keadaan tenang. Sadar akan dirinya sewaktu-watu akan diganti
maka, maka anaknya (Opu Cenning) dititipkan pada Raja Luwu. Opu Cenning kemudian
diterima dengan senang hati, sebab ia adalah keponakan We Tenrileleang. Setelah keadaaan
pulih kembali,

We Tenrileleang kembali menjadi Raja Luwu. Karena We Tenrileleang tidak mempersiapkan


anaknya[23] untuk menjadi Raja Luwu maka digantikan oleh kemanakannya sendiri yaitu La
tenripeppang (Datu ke 25), ia menjadi Datu Luwu. Ia menikah dengan putri Sangalla Puang
Sairi’na. Dan ia juga menikah dengan puteri wajo. Namun perkawinan yang dilakukan keduanya
merupakan bagian dari strategi politik, agar kedua negeri tersebut tetap menjalin persahabatan
dengan Luwu. Kekuasaan Datu La Tenripepang sangat dihormati oleh negeri tetangga,
Kerajaan Luwu bertambah kuat mulai dari Toraja hingga Poso. Wilayah poso, kediaman Suku
Pamona tetap patuh yang secara tradisi atau turun temurun tunduk kepada Wotu yang dikepalai
oleh Macoa Bawa Lipu. Meskipun anaknya cukup banyak tetapi yang diberi status adat selaku
Ana’Mattola hanya We Tenrirawu, puteri Datu tersebut dengan senndirinya diangkat menjadi
Opu cenning di Luwu. (Rizal A. Latif. 2007; 28).

We Tenriawaru[24] (Datu ke 26) naik tahta dan baginda bersuamikan Mappaapoleonro dan
mempunyai seorang 15 orang anak namun hanya dua yang terkenal yaitu, Laoddang Pero dan
Petta MatinroE ri Tamalullu. Warisan Kerajaan Luwu yang tenang, damai dan makmur diterima
oleh raja perempuan ini. Darah Luwu melebar dalam istana kerajaan di Sulawesi Selatan.
Penduduknya hidup berkecukupan, kebanyakan suku atau anggota masyarakat kerajaan-
kerajaan di Sulawesi Selatan telah menjadi penduduk Luwu. Pada tahun 1814 Residen Philips
yang berkedudukan di Makassar mengunjungi Datu We Tenriawaru atas nama Gubenur
General Thomas S. Raffles di Bogor, residen menganugerahkannya pending emas. Pending
emas itu diserahkan dalam bentuk upacara yang unik, berupa bentuk latihan fisik mental yang
dijalani oleh Datu We Tenriawaru.

Prosesi upacara pelaksanaan ini[25], diharuskan Datu Luwu menjalani penderitaan selama
tujuh hari tujuh malam, dengan memakam yang paling sederhana seperti pisang, keladi, umi.
Dan ia hanya menggunakan pakain kain sederhana yang tidak dijahit, alas pengganti tikar
terbuat dari daun kelapa, tidak ada atap, jika hujan dan panas terik matahari harus ditahan. Dan
masih banyak lagi penderitaan lahir dan batin. Selama proses tersebut ia dijaga oleh anggota
Hadat Dua belas. Dan untuk sementara ia digantikan Opu Cenning dalam memimpin kerajaan
selama masa itu. Akhir dari penderitaannya ia pun di dilantik pada tahun 1841 dengan
pembuatan Pajung[26] Kebesaran Luwu yang dilakukan bersama-sama, dan ia pun nobatkan
sebagai Pajung Maharaja Luwu. Sejak saat itu penduduk Ware’ menganggap bahwa segala
ucapanya harus dituruti dan memerintah dengan penuh kewibawaan. Pajung Luwu di gelari To
RisompaE(dia yang dipuja). (rizal a. Latif, 2007;28-29).

Laoddang Perro[27] (Datu ke 29) merupakan putra dari datu sebelumnya, selama masa
pemerintahannya, luwu tetap bersekutu dengan Bone. Ia menikah dengan Andi Habiba. Dari
hasil perkawinannya lahirlah anak bernama Patipatau Toampanyompa. Menjelang naik tahta di
Luwu, bersamaan dengan tibanya pejabat tinggi belanda di Makassar yaitu Van Der Capellen
(1824) dan pada tahun itu juga tiba lagi Mr. Tobias dari Batavia untuk mendampingi Gubernur
Celebes Kol. KL. Van Schelle. Kedatangan penjabat tinggi ini bertujuan untuk memperbaiki
hubunga dengan Belanda, namun kehadiran dua pejabat tinggi Belanda itu disambut dingin
oleh raja-raja di Sulawesi Selatan dan pada puncaknya pecah perang antara Bone dengan
Belanda. Sinjai dan Bulo-bulo melawan Belanda. Luwu memberikan bantuan kepada Bone dan
Sinjai dengan memberikan tempat pengungisan bagi rakyat Bone di Cimpu dan Baramamase
dan di sinjai di malili.

Putra Laoddang Pero yaitu Patipatau Toampanyompa[28](Datu ke 30) naik tahta


menggatikan ayahnya, ia menikah dengan Andi Wanrudapanangngareng. Dari perkawinannya
lahir dua orang putri bernama Andi Kambo Opu Daeng ri Sompa[29] dan Andi Gau Opu
Dareng Tocoa. Pada masa pemerintahannya Luwu dalam keadaan aman, keadaan perang di
wilayah Bone dan Sinjai telah berakhir. Sehingga memberikan pengaruh terhadap hasil bumi
Luwu menjadi semakin di minati pedangan dari Makassar, Bone, Wajo dan Sinjai. Gubernur
Celebes J.A.Bakker berkunjung ke Ussu yang merupakan bekas kerajaan Batara guru sampai
Simpurusiang (abad ke 10-12). Tujuan utama kunjungan ini ialah memantau jalur perdagangan
damar di hulu sungai ussu[30]. Luwu dinilai sebagai kerajaan yang paling sulit di perintah.

Petta MatinroE Tamalallu[31] (Datu ke 31) merupan putra dari We Tenriawaru dan
merupakan paman dari raja sebelumnya. Ketika naik tahta, ia sudah cukup tua. Ia dikenal
sebagai guru silat dan ahli kebatinan. Pemerintahan sepenuhnya dikendalikan dan dijalankan
oleh Pakkatenni Ade’ yang dipimpin Opu Patunru, bersama Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng
dan Opu Balirante. Gaya pemerintahanya yang arif dan penuh kasih sayang dinilai Belanda
sebagai pemerintahan gaya wanita. Hasil bumi Luwu diperdagangkan seperti sagu, rotan, kopi,
lilin, kayu nibong, kulit kerang, teripang, dan bingkaru. Masyarakat Luwu memakai ujian tukar
uang Petes Cina (rizal A. Latif, 2007;30).

Iskandar Opu Daeng Pali[32] (Datu ke 31).merupakan kemanakan Opu Anrong Guru. Masa
pemerintahannya sejaman dengan Gubernur Celebes bernama D.F. Van Braam Morris. Dalam
masa pemerintahanya ia mengusahakan agar Luwu tidak terlalu banyak terikat pada Belanda
maka pada tanggal 15 sepetember 1887 ia memutuskan kontak dengan pemerintah Hidia
Belanda. Hal ini membuat Belanda menyalahkan Bone karena dianggap terlalu lemah dan
bahkan menghasut luwu untuk menentang Belanda. Pelabuhan Makassar yang dikuasai
Belanda tetap ramai, perdagangan bertambah maju, hal ini pun ikut berimbas pada pelabuhan
Palopo yang kedatangan 12 kapal bertiang tiga pada bulan maret dan april. Penghasilan Palopo
setiap tahun sekitar f. 15.000. hak istimewa pun diberikan kepada orang Rongkong dengan
memberi status otonom agar longgar dari kekuasaan Baebunta dengan memberi tugas untuk
menjaga keselamatan Istana.

Andi kambo Opu Daeng Risompa[33] (Datu luwu ke 33) merupakan puteri dari raja Patipatau
Toampanyompa. Ia menikah dua kali, yang pertama Andi Tenrilengka gelar Opu Cenning, dari
hasil perkawinannya lahirlah Andi Luwu Opu Daenna Patiware[34] dan Andi Patiware atau lebih
dikenal dengan nama Andi Jemma. Suami kedua baginda yaitu Andi Baso Lampulle Opu
Tosapaile[35]. Pernikahan keduanya ini tidak memiliki keturunan. Lima tahun setelah naik tahta,
sulawesi-Selatan teracam perang. Pada tahun 1905 Gubernur Jendaral Belanda di Batavia
memaklumkan perang total. Hal senada pun dilakukan Gubernur di Celebes Van Heutz, hal ini
dilakukan karena Raja-raja yang ada di Sulawesi tidak dapat diperintah dan adanya keinginan
Belanda menguasai hasil bumi Kerajaan Luwu[36]. Belanda memaksa Datu Luwu untuk
menandatangani Korte Verklaring (Penjanjian pendek). Tetapi Datu Luwu menolaknya.
Sehingga pada masa pemerintaha Datu Luwu inilah terjadi banyak pertempuran yang hebat
dengan Belanda. Seperti pertempuran yang terjadi di Balandai dan PonjalaE yang
mengakibatkan gugurnya Andi Tadda Opu Tosangaji dan To Ijo, gugurnya kedua pemimpin itu
menbuat Datu Luwu menandatangani perjanjian tersebut. Meskipun perjanjian telah ditanda
tangani upaya belandah memperkokoh kekuatanya di tana luwu tidaklah muda, sejumlah
perlawanan diperlihatkan rakyat Luwu seperti Makole Baebunta yang di pimpin Makole
Baebunta Opu Topewennei. Di Tana Toraja perlawan di pimpin oleh Pong Tiku, di utara kota
Kolaka juga terjadi perlawanan yang di pimpin Haji Hasan dan Tojabi. Dan Andi Baso yang
tidak lain adalah suami kedua Datu Luwu. Beliau mangkat pada tahun 1935 (Rizal. A. Latif,
2007;32-38).

Andi Jemma (Datu ke 34 dan 36). Merupakan putra Kambo Opu Daeng Risompa. Pada saat
pemilihan Datu, ada dua kandidat calon Datu Luwu yaitu Andi Baso Lanrang yang berasal dari
Balla Bajo dan Andi Jemma. Tetapi pada akirnya Andi Jemma dinobatkan sebagai Datu Luwu.
Andi Jemma tiga kali menikah, yang pertama dengan Andi Kasirang, mempunyai satu orang
anak bernama Andi Makkulau Opu Daeng Paebba. Istri kedua bernama Intang Daeng Mawero,
lahir tiga anak yaitu Andi Ahmad, Andi Nuhung dan Andi Iskandar dan dari permaisurinya Andi
Tenripadang gelar Opu Datu[37] lahir seorang putra bernama Andi Alamsyah. Masa
pemerintahannya dipenuhi dengan perlawan, bersama pemuda-pemuda dan seluruh rakyatnya
melakukan perlawana terhadap belanda terutama pada saat menjelang proklamasi dan juga
melakukan perlawanan terdapat pendudukan Jepang di Tana Luwu (Moh. Sanusi, 1962;60).
Andi jelling (Datu ke 35) merupakan paman dari andi jemma dan atas perintah Nica ia
kemudian diangkat menjadi Datu Luwu. Setelah itu untuk kedua kalinya Andi Jemma menjadi
Datu Luwu.

2. Sistem pemerintahan Kedatuan Luwu


Dalam Kerajaan Luwu, ada dua golongan yang boleh menjadi Datu, yakni golongan
“anakmattola” atau “anakangileng”. Pengangkatan seorang Datu dalam Kerajaan Luwu,
haruslah dari keturunan Raja-raja yang memiliki derajat tersebut. Akan tetapi tidak boleh sekali-
sekali “anakangileng” menjadi Datu jika masih ada “anakmattola”, kecuali dalam hal yang
sangat penting, seperti yang terjadi pada zaman pemerintahan baginda Patipassaung. Jika
aturan itu dilanggar, maka dapat menimbulkan kekacauan yang hebat dalam kerajaan. Jika
kebetulan tidak terdapat “anakmattola” atau “anakangileng”, maka calon Datu harus di cari di
Kerajaan Soppeng, Bone dan Wajo. Dan jika tidak terdapat seorang pun “anakmattola” atau
“anakangileng” maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh pangandaran (kabinet)
dan yang bertidak sebagai kepala pemerintahan ialah Opu Patunru (Perdana Menteri).

Kepala pemerintahan Kerjaan Luwu di sebut Datu atau Pajung, namun ada perbedaan
antara Datu dan Pajung, yang boleh menjadi Pajung hanya Datu. Seorang Datu tidak mudah
memperoleh gelar Pajung, sebab ada syarat-syarat yang harus dilakukan yang pertama, ia
harus mempunyai pengalaman yang cukup dalam kedatuannya dan yang kedua ia harus
menempuh ujian yang berat[38] di suatu tempat yang bernama “Tanah Bangkala” sesudah ia
lulus barulah datu dinobatkan sebagai Pajung.

Sejak masa pemerintaha Datu pertama sampai ke 13, bentuk pemerintahan kerajaan luwu
bersifat Absolut Monarchie, artinya kerajaan yang bersifat mutlak kekuasaannya dan tidak
terbatas. Semuanya berada dalam kekuasaan Datu dan tidak boleh dibatah atau disanggah,
semua ornag harus tunduk dan patuh kepada segala perintah dan kemauan datu. Bentuk dasar
hukum dari kekuasaan tersebut yaitu

1. “Naiyyaa datue, matukkuului, namatukkuaje, tennawellangesso. tennairiaging”

Maksudnya: Datu atau Pajung, tidak boleh diwajibkan melakukan sesuatu tugas, akan tetapi ia
hanya berhak melakukan apa saja keinginannya, yakini duduk diatas singgasana raja dan
memerintah apa saja yang ia kehendaki.

2. “Puakko siyo kiraukkaju riakommiri riakkeng teppa. mutappalireng”


Maksudnya: sesungguhnya engkau Raja, dan kami “daun kayu” kemana saja bertiup, disanalah
kami terdampar lantaran hanyut.

3. “Mauni manggerre ripangaranna tudang tellewalewa risabalina, napatudangile rinawana datue


rilalamua”.

Maksudnya: biarpun suami-istri sangat berkasih-kasihan, akan tetapi jika istri orang itu
diinginkan datu, maka suami istri terseut terpaksa bercerai.

Demikian mutlak kekuasaan Datu atau Pajung pada zaman itu. Tiga hukum tadi cukup
menjadi bukti sistem pemerintahan kerajaan luwu yang Absolut Monarchie. Dan pada masa
pemerintahan Datu ke 14 yakni We Tenriaware bentuk pemerintahannya berubah menjadi
“Konstitutie Monarchie” yang artinya, Datu tidak lagi mutlak seperti yang sudah-sudah, akan
tetapi telah terbatas, sehingga segala urusan kerajaan harus mendapat persetujuan dari “Ade
Dus Belas”. hal ini atas anjuran “Toaaccana Luwu” atau orang pandai luwu, ia seorang ahli
dalam ketata-negaraan dan diberi gelar Tomenneng. Maka diciptakanlah beberapa dasar
hukum untuk mengganti dasar hukum sebelumnya, antara lain

1. “Puang temma bawangpawang, ata tenri bawangpawang”.


Maksudnya: datu (pemerintah), sekali-sekali tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang
kepada rakyat, dan sebaliknya, rakyat tidak boleh sekali-sekali dianiya.
2. “Puang mappaattu ata ripattutu ”
Maksudnya: seseorang yang didakwa, baik pemerintah atau swasta, maka hakim tidak boleh
bertidak semena-mena menjatuhkan putusan, tetapi hakim harus memeriksan perkara tersebut
terlebih dahulu.
3. “Puang maddampeng ata riaddampengeng ”
Maksudnya: Datu mempunyai hak untuk mengampunkan seseorang yang bersalah, jika Datu
memandang perlu.
4. “puang temmattennisulo ata tenriattenai sulo”
Maksudnya: Datu dan pemerintahan tidak boleh bersifat seperti kelakuan orang yang sedang
memegang suluh yang tengah menyala. Demikian pula sebaliknya rakyat tidak boleh
diperlakukan seperti itu.
5. “Puang teppleoleo ata tenrileoleo”
Maksudnya: Datu tidak boleh bersifat rendah, seperti mengejek-ejek atau menghina orang, dan
rakyat tidak boleh dihina dan dipermalukan.
6. “Puang teggoroliu ata telliusepe”.
7. “Bolaluka tanengtaneng, kaloluks bola ”.
Maksudnya: dalam kehidupan rakyat, maka pertanian adalah hal yang sangat penting. Jika
penduduk atau pemerintah ingin membangun rumah/gedung tetapi tempat untuk membangun
tersebut terdapat kelapa, durian, mangga dan lain-lain harus ditebang dan memberikan ganti
rugi kepada pemiliknya. Demikian pula parit sawah yang hendak digali, jika harus melewati
suatu rumah, maka rumah tersebut harus dibongkar dan diberi ganti rugi (Moh. Natsir, 1962,
61-69).
Bentuk pemerintahan seperti itu berlangsung terus menerus sampai datangnya Islam di tanah
Luwu kira-kira akhir abad ke 16 atau permulaan awal abad ke 17. Setelah Islam masuk ke
tanah Luwu, ia pun merubah bentuk pemerintahan sesuai dengan bentuk kehendak Islam.
Dalam pemerintahannya dia didampingi oleh seorang Patunru (perdana menteri) ia bernama
Dg. Mangawing dan diberi gelar “Mustafa” atau yang biasa disebut Patunru Mustafa. Datu
kemudian merubah dan membentuk Dua Dewan yakni, dewan “Ase Asera” (adat sembilan)[39]
dan dewan “Ade Seppulo Dua” (Adat dua belas)[40]. Dengan adanya bentuk pemerintahan
seperti ini, maka sebagian besar kekuasaan Datu telah beralih kepada rakyat terutama soal
pengangkatan dan pemecatan datu (Moh. Natsir, 1962,81-94).

Ase Asera terdiri atas 9 anggota, yang mewakili tiga golongan besar rakyat, yaitu Anak TelluE,
mereka adalah kepala-kepala daerah (gubernur) di daerah masing-masing, mereka dipilih
secara langsung oleh rakyat dan ia mempunyai hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Yang kedua Bendera telluE, dalam kerajaan luwu terdapat tiga golongan dan mempunyai
bendera sendiri-sendiri yaitu Anakarung yang merupakan golongan bangsawan dan
mempunyai warna bendera lembayung yang dinamai kamummuE. Attoriolong merupakan
golongan angkatan bersenjata dan mempunyai bendera berwarna putih dan terdapat gambar
macam ditengah-tengah atau yang biasa disebut “macangnge”. Dan golongan yang ketiga
Pampawaopu yang termasuk golongan buruh atau kaum pekerja, lambang bendera dari
golongan ini disebut “goncingnge” karena ditengah-tengah ada gambar gunting yang terbuka.

Tiga Matoa, tiga golongan tersebut merupakan tiga golongan penduduk dari Wage (wajo
sengkang), Cenrana (bone) dan Laletonro (soppeng). Jadi mereka adalah keturunan orang-
orang bugis yang menetap di wilayah kerajaan luwu, agar merasa tidak dianak tirikan maka
perwakilan dari masing-masing mereka dimasukan dalam dewan-dewan tersebut. Ade Sepullo
Dua (adat dua belas). Merupakan gabungan dari semuanya, Terdiri atas Datu/Pajung yang juga
sebagai ketua, Pakatte Ade atau Pengendarang, Anak TelluE , Bandera TelluE, Tiga Matoa,
dan Khadhi. Kadhi berperan sebagai pemberi nasehat-nasehat agar dalam pengambilan
keputusan Datu dan Hadatnya tidak bertindak dengan ajaran dan hukum Islam. Dan apabila
Datu mangkat atau dipecat maka dengan sendirinya Kadhi harus pula meletakkan jabatannya
(Moh. Natsir, 1962; 83-89).

Pada tahun 1905 belanda mendarat di tanah luwu, namun mendapat perlawanan yang
dipimpin Hulubalang Andi Tadda bersama laskarnya di Ponjalae (putra gamaru, 2011). Belanda
akhirnya berhasil menduduki pusat Kedatuan Luwu di Palopo. Belanda akhirnya membangun
sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintahan penjajah diseluruh wilayah
Kerajaan Luwu, mulai dari selatan di Pitumpanua sampai ke utara Poso. Dan dari tenggara
Kolaka (Mekongga) hingga ke barat Tana Toraja. Sistem pemerintahan Luwu dibagi dalam dua
tingat pemerintahan yaitu

1. Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langung oleh pihak Belanda


2. Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak Swapraja.
Setelah Belanda menguasai Luwu dan daerah-daerah sekitarnya, maka lama kelamaan
kerajaan itu diperkecil wilayah kekuasaannya dengan siasat “Divide at imperal” (moh. Natsir,
1962;5-). Wilayah Kerajaan Luwu kemudian dibagi sekehendak dan demi kepentingan Belanda
menjadi dua Afdeling dan satu Distrik.

1. Poso dipisahkan dan dibentuk menjadi satu Afdeling.


2. Pitumpanua dibentuk Distrik dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Wajo
3. Luwu juga di jadikan Afdeling yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi lima Onder Afdeling yaitu

1. Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo


2. Onder Afdeling Makale dengan ibukotanya Makale
3. Onder Afdeling Masamba dengan ibukotanya Masamba
4. Onder Afdeling Malili dengan ibukotanya Malili
5. Onder Afdeling Mekongga dengan ibukotanya Kolaka.
Tiap-tiap Onder Afdeling dikepalai oleh seorang bangsa Belanda yang bergelar Controleur
atau Gezaghebber. Keadaan ini tidak berubah-ubah lagi sampai jepang datang menjajah
Indonesia. Pada tahun 1942 tentara Jepang menduduki wilayah Kerajaan Luwu. Dengan
segera Jepang memisahkan Kolaka[41] dari Palopo dan dimasukan dalam kekuasaan Kendari,
tindakan Jepang itu menimbulkan rasa benci di hati rakyat, karena hal ini berarti mempersulit
hidup rakyat Luwu terutama penduduk Palopo dan Kolaka, betapa tidak kedua wilayah tersebut
telah lama menjalin hubungan selama beratus-ratus tahun, baik dalam sosial adat istiadat
maupun dalam soal ekonomi. Dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Dikeluakan
suatu peraturan tentang penggabungan daerah Sulawesi Selatan yang menetapkan Onder
Afdeling Kolaka kembali dimasukkan dalam Afdeling Luwu. Maksud yang penting dari politik
penggabungan tersebut ialah hendak membujuk dan menyenangkan hati rakyat, Datu Luwu
dan Hadatnya. Tetapi mereka menuntut kemerdekaan Indonesia tanpa syarat (Moh. Natsir,
1962;5-6).

Pada tahun 1953 keluar suatu peraturan pemerintah No. 34 tahun 1952, tentang
pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembahagiaannya, PP tersebut bermaksud
membubarkan dan membagi dan membagi daerah Sulawesi Selatan dalam 7 daerah
Swatantra. Dan peraturan UU No. 29 tahun 1959, dibubarkanlah status Swapraja dan Neo
Swapraja di Sulawesi Selatan dengan membentuk 13 daerah tingkat II. Sebagai kelanjutan dari
UU sebelumnya maka pada tanggal 19 Desember 1961 No. 2067 A, dibubarkan semua status
distrik diseluruh sulawesi menjadi Kecamatan. Berdasarkan UU tersebut maka Kolaka dan
Tana Toraja terlepas dari Palopo. Status sebagai Swapraja dihapuskan, sehingga jabatan Datu
dan Hadatnya turut pula terhapus. Penghapusan status Swapraja dan Neo-Swapraja adalah
konsekuensi dari pada Demokrasi, sesuai dengan cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia.
Kini tidak ada lagi jabatan Datu dan Pengadarang di Luwu yang ada hanya kepada daerah
(Moh. Natsir, 1962 6-8), dan Palopo kemudian dikenal menjadi kotamadya Palopo yang
dipimpin seorang walikota.

3. Budaya dan kesusatraaan Luwu.


Ada empat macam tingkatan bahasa yang digunakan di luwu yaitu:

1. Bahasa “Bissu”. Bahasa ini hanya digunakan oleh kepala-kepala bissu, pada waktu dilakukan
suatu upacara “tari bissu”
2. Bahasa “Galigo” suatu bahasa yang kalimat-kalimatnya tersusun indah. Bahasa ini tertulis
dalam buku-buku cerita “mythologis La Galigo”.
3. Bahasa “Lontara”, yakni bahasa yang tertulis dalam buku lontara , mengenai peraturan-
peraturan adat.
4. Bahasa sehari-hari.
Dalam hal sastra, orang luwu pandai dalam menyusun kalimat dengan mempergunakan
ibarat dan perumpamaan, baik dalam cerita-cerita maupun dalam nyanyian. Dikalangan
penduduk ada dua buah cerita yang terkenal dan amat di gemari yaitu “Caritana Inderaputera”
dan “La galigo”. Cerita-cerita tersebut amat indah susunan bahasanya, mengandung banyak
perbandingan dan perumpamaan yang berisi pengajaran dan nasehat.

Selain kaya dalam hal kesusatraan, luwu juga terkenal dengan beberapa jenis-jenis tarian
seperti tari pajaga, tari bissu, tari lulo, tari pagellu dan tari pajoge. Diantara segala jenis tarian,
tarian pajaga merupakan yang terkenal dimana-mana. Hal ini karena Tari Pajaga merupakan
hasil pemikiran yang bersungguh-sungguh dari orang-orang luwu sendiri. Tari pajaga sendiri
terbagi atas dua, yaitu tari pajaga yang dimainkan oleh perempuan atau yang biasa disebut
pajaga Boneball[42] dan tari pajanga yang dimainkan ole kaum pria pertama yang disebut
Pajaga Taulolo dan tarian pajaga lain yang di mainkan kaum pria yaitu pajaga palili[43]. Pajaga
boneballa dan pajaga taulolo hanya dimainkan dalam istana Datu dan di pesta raja-raja atau
dihadapan tamu agung kerajaan sebagai bentuk penghormatan. Sebaliknya pajaga palili tidak
boleh dimainkan didalam istana dan dihadapan tamu agung kerajaan. Pakaian yang digunakan
para penari disebut “pokko[44]” semacam baju yang pendek terbuat dari kain sutera yang tipis
disertai dengan perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas “subang”. Disamping itu mereka
juga harus memakai Bungasimpolong[45] dan memakai sebuah kipas. Tarian ini dimaikan
menurut irama nyanyian dan bunyi gendang. Nyanyian pajaga ada bermacam-macam antara
lain ini dibawa mapatakko, sulsana napabongngo dan paminru siwalie.

Tarian bissu, sudah tidak ditemukan lagi di daerah Luwu, hal ini karena desakan kemajuan
zaman terutama pengaruh islam. Tari ini dapat dilakukan oleh siapa saja karena tarian ini
dilakukan untuk menebus suatu nasar. Tarian ini termasuk tarian keagamaan dan hanya
dilakukan oleh kau wanita saja. Tarian ini dilakukan dengan mengikuti irama gendang.
Perempuan-perempuan yang menari memakai tombak dan keris, dalam tarian itu berulang-
ulang kali menombak kerbau yang akan dikorbankan, namun ada beberapa wanita yang
melakukan tarian ini mati karena menikam dirinya sendiri karena saat menari mereka sudah
berada dalam keadaan Asoloreng yakni tidak ingat akan dirinya dan menikam dirinya sendiri
dengan keris pada saat itu, yang dimaksudkan agar segala sakit penyakitnya dalam dirinya
dibuhuh. Tetapi yang terjadi malah penari bissu itu meninggal dunia. Tari bissu yang terkenal
pada jaman sawerigading yaitu Tari Bissu Empat Puluh.

Tari Lulo merupakan tarian rakyat dan tidak terikat oleh pakaian ataupun batas waktu
tertentu dan dilakukan di daerah-daerah terbuka atau didepan rumah orang yang sedang
mengadakan pesta. Tarian ini bisa dilakukan oleh wanita maupun pria. Tarian ini dilakukan
dengan cara berpegangan tangan, berjalan-jalan berputar-putar membentuk suatu lingkaran.
Penari-penari tersebut bergerak menurut irama gong dan tawak-tawak. Tarian ini hanya
terdapat di daerah Mekongga (Kolaka). Tari Pangelu. Tarian ini hanya terdapat di daerah Tana
Toraja dan biasanya dimainkan oleh para wanita-wanita baik yang masih gadis maupun yang
sudah berkeluarga dengan gerakan yang halus, mengikuti irama gong dan gendang. Tarian ini
biasanya dilaksanakan pada pesta-pesta besar. Tari joge tidak hanya dikenal di Luwu tetapi
juga ditempat lain, tarian ini biasanya dimainkan oleh para wanita-wanita.

Seni ukir di Luwu biasa disebut “uki-panji”, ukiran ini terdapat pada pintu-pintu rumah,
jendela-jendela, lemari-lemari dan lain-lainnya di rumah orang-orang yang mampu. Ukiran ini
merupakan hasil pemikiran dari orang-orang Luwu sendiri dan tidak sedikitpun meniru ukiran
bangsa lain. namun sayang ukiran ini tidak berkembang (Moh. Natsir, 1962;26-44).

4. Pelapisan Sosial Masyarakat Luwu


Pelapisan sosial masyarakat Luwu dikenal sejak masa Sawerigading, pelapisan ini tetap
berlanjut pada kerajaan Luwu setelah masa Sawerigading. Adapun pelapisan sosial masyarakat
Luwu yaitu

1. Keturunan Datu atau Pajung yang terdiri Anakmattola atau Anakangileng


2. Daeng atau Tomang, yakni mereka yang merupakan keturunan dari Datu yang hidup sebagai
rakyat biasa.
3. Hamba belian, yakni hamba pusaka yang terdiri dari oro termasuk juga orang rampasan dalam
peperangan dan orang-orang yang tidak membayar utang (Iskandar, 1996, 21)

[1] Ware’ atau Watampare, merupakan sebutan bagi daerah ibukota dari Kerajaan Luwu.

[2] Orang Bugis- Makassar menganggap tanag luwu sebagai bugis tertuadan meliputi semua negeri di wilayah
sulawesi selatan, sulawesi tenggara, sualwesi tengah dan sulawesi utara. jika silsilah keturunan mereka ditelusuri,
maka akan bermuara di Luwu, silsilah mereka akan sampai pada saweigading, batara lattu, batara guru dan terakhir
pada pasangan Patotoe dan Datu Palinge

[3] Dari hasil penelitian OXIST, disekitar Danau Matano dijumpai indikasi lubang-lubang bekas penggalian dan
penambangan kuno, tepatnya di Bukit Latajang. Kandungan besi laterit berupa biji besi dengan kadar 50%. Selain itu
terdapat sumber besi Di Limbong yang terletak di Kambiri, kampung Uri, desa Pengkendekan dan desa Passanen,
kampung Ponglegen, Desa Marampa.
[4] Lakipadada di Gowa dikenal dengan nama Karaeng Bayo dan dinikahkan dengan Kareng Baine (Tomanurunga),
dia mengikuti jejak sawerigading berkeliling dunia. Di Tana Toraja di kenal dengan nama Puang Tombolo Buntu.

[5] Lamariawa mempunyai gelar Datu MapataE (Ketenangan dalam berpikir).

[6] Maningoe Ribajo atau juga lebih dikenal dengan nama Dewaraja, atau Datu Kalali To Senggereng.

[7] Mempunyai gelar Petta Matinroe Pattimang, baginda inilah mula-mula menganut islam pada kira-kira permulaan
abad ke 17 dari yang mulia Datuk Sulaeman, seorang alim ulama besar dan ahli Negara yang berasal
dariMinangkabau, sumatera Barat yang datang bertugas di luwu dan ditemapat-tempat lainnya sebagai misi islam.

[8] Mempunyai gelar Petta MatinroE Malangka dan setelah masuk islam dia diberi gelar Sultan Abdullah. Ia dikenal
sebagai raja yang adil, ahli pemerintaha yang cakap dan bijaksana, tegas, sehingga dapat bertindak tanpa mundur
setapak pun, jika tindakannya itu benar-benar untuk kepentingan rakyat (Moh. Natsir, 1962,82).

[9] Atau yang dikenal juga dengan nama La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin. Ia wafat di somba opi
gelar maka ia diberi gelar Petta matinreoE ri Gowa. Yang artinya raja yang meninggal di gowa.

[10] Dikenal juga dengan nama MatinroE ri Tomotikka

[11] Gelar Petta MatinroE Lawelarang

[12] Gelar petta MatinroE ri Langkanae

[13] Gelar petta Patinroe Bola Jala-jala

[14] Gelar Sultan Fatimah dan gelar petta MatinroE Pattiro.

[15] Gelar petta MatinroE ri Soreang.

[16] Gelar Petta MatinroE ri Musuna.

[17] Gelar Petta Matinroe TipuluE dan gelar Sultan Zainab. Baginda adalah saudara sepupu sekali dengan batara
tungke

[18] Gelar petta matinroE ri Duninna

[19] Gelar MatinroE ri Ujung Tanah.

[20] Gelar matinroE ri Baloe.

[21] Gelar petta MatinroE ri Kaluku boddoE

[22] Gelar petta matinroE ri Sabbangparu, atau Sultan Abdullah patiware.

[23] Anak we tenrileleang menjadi raja di pancana atas permintaan kaum adat di barru, adik datu pancana diangkat
menjadi datu tanete.

[24] Gelar Petta MatinroE ri Tanggana Luwu. Dan gelar Sultan Hawa.

[25] Asal usul upacara ritual ini bermula ketika perang cenrana terjadi, diaman datu dewaraja dikepung selama
berbulan-bulan. Ia hanya memakan mekama umbi-umbian dan sejenisx.

[26] Bahan dan pembuatan pajung dibuat masing-masing oleh Aruang Pao bertanggung jawab menjahit kain pajung,
menjaga Pajung sampai penyerahan ke Datu. Arung Ussu bertanggung jawab mencari benang kain sutra dari
gunung Woila. Dan Arung Lelewawu bertugas menyiapkan rangka Pajung, Macowa Wotu bertugas menyiapkan kursi
upacara, Makole Baebunta menyiapkan tangkai Pajung.
[27] Gelar Petta MatinroE ri Kombong Beru. Nama kecilnya Andi BaruE, dikenal pula dengan nama Laoddang Riu

[28] Gelar petta MatinroE ri Limpomajang

[29] Gelar Petta MatinroEri Bintangna

[30] Daerah ini dikenal sebagai Turungang Damar artinya cikal baka pohon damar. Daera ini juga dikenal sebagai
pusat kebudayaan bugis, dan dari sinilah tersebuar ke Wajo, Soppeng, Bone dan daerah-daerah bugis lainnya.

[31] Dikenal juga dengan nama opu Anrong guru. Ia sejaman dengan Raja Wajo La Koro Arung Paladi Batara Wajo.
Ia juga digelari sebagai jendaral Luwu

[32] Gelar Petta MatinroE ri Matekko atau Andi Iskandar.

[33] Gelar Petta MatinroE ri Bintangna dan gelar lainnya Sultan Zainab. Ia dikenal sebagai perempuan yang arif,
cerdas, budiman, dan cantik. Semaca gadis menjadi rebutan pemuda bangsawan di soppeng, wajo, dan bone.

[34] Beliau meninggal sewaktu di madinah saat melaksanakan haji.

[35] ia memegang jabatan Opu Patunru dan karena perlawanan yang dilakuka terhadap belanda maka ia diasingkan
ke jawa dan meninggal disana.

[36] Hasil bumi luwu dipasarkan di pelabuhan Pallime, pelabuhan bone yang terpenting dan ramai pada saat it.u

[37] Saat menikah dengan Andi jemma, usianya baru 17 tahun, ia merupakan puteri raja bone andi mappayukki.
Perkawinan ini lebih bersifat politik untuk memperkuat jalinan antara dua kerajaan. Beliau juga merupakan cucu
Sultan Husain raja gowa.

[38] Ia harus ditempatkan di suatu tempat diluar ibu kota yang disebut “tanah bangkala”. Disana ia tidur
, tidak menggunakan bantal, hanya buah kelapa saja dan makanannya pun sangat sederhana seperti
keladi, umbi-umbian, pisang dan lain-lain, ia harus melakukan itu selama tujuh hari tuju malam. siang
dan malam dengan tidak berteduh. Saat hujan ia ke hujanan saat kepanasan ia kepanasan.

[39] Biasa juga disebut dewan perwakilan rakyat yang terdiri atas 9 anggota.

[40] Biasa juga disebut majelis permusyawaratan rakyat yang terdiri atas 14 anggota, namun hanya
memiliki 12 suara.

[41] Pada masa itu, Zending Kristen menghendaki tana toraja dan kolaka lepas dari palopo, karena
memandang palopo sebagai “pusat islam”. Mereka takut dari pengaruh islam yang selalu datang dari
palopo menyelinap memasuki jantung kota tana-toraja dan kolaka (moh. Natsir, 1962;8-9)

[42] Khusus untuk wanita yaitu Pawinru (pembina), Sulsana (bijaksana), Piso-Laja (pisau tajam), Ininnawa
(jiwa), Malemo (bulat).

[43] Khusus untu pria yaitu Eja-eja (merah-merah) dan Seba (kera).

[44] Warna baju paja hanya ada tiga warana yaitu ijo (hijau), lango-lango (merah muda) dan kamummu
(lembayung , tidak terlalu hitam pekat). Baju dengan warna hijau dan merah biasanya dipakai penari
pajaga yang masih gadis sedangakan warna lembayung biasa dipakai penari pajaga yang sudah
berkeluarga.
[45] Semacam sanggul yang indah

[tutup]

Kabupaten Luwu Utara


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Kabupaten Luwu Utara

Lambang Kabupaten Luwu Utara

Peta lokasi Kabupaten Luwu Utara


Koordinat: 2°30'45"–2°37'30" LS dan 119°41'15"–
121°43'11" BT
Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar hukum UU No. 19 tahun 1999
Ibu kota Masamba
Pemerintahan
- Drs. H. Arifin
Junaidi, MM
- DAU Rp. 512.644.776.000.-
(2013)[1]

Luas 7.502,58 km2


Populasi
- Total 287.472 jiwa (SP2010)
- Kepadatan 38,32 jiwa/km2
Demografi
Pembagian administratif
- Kecamatan 11
- Kelurahan 167 / 4
- Situs web http://www.luwuutara.go.id/

Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Masamba. Luwu Utara terletak pada koordinat
2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT. Secara geografis kabupaten ini berbatasan
dengan provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur,
Kabupaten Luwu di sebelah selatan dan Kabupaten Mamuju di sebelah barat.

Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota
Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki
luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten
Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2.

Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya berjumlah
250.111 jiwa (2003) atau sekitar 50.022 Kepala Keluarga yang sebagian besar (80,93%) bermata
pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara
pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak Rp. 4,06 triliun.

Daftar isi
 1 Kondisi Geografis
 2 Referensi
 3 Lihat pula
 4 Pranala luar

Kondisi Geografis
Luas wilayahnya 7.502 km² dan secara geografis Kabupaten Luwu Utara terletak pada koordinat
antara 20°30’45” sampai 2°37’30” Lintang Selatan dan 119°41’15” sampai 12°43’11” Bujur
Timur dengan batas administratif sebagai berikut:[2]

Utara Sulawesi Tengah


Selatan Teluk Bone
Barat Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Mamuju
Timur Kabupaten Luwu Timur

Referensi
1. ^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses 2013-02-15.
2. ^ Kabupaten Luwu Utara di situs Sulsel.go.id
Dasar Hukum Pembentukan Kabupaten Luwu Utara UU No. 13 Tahun 1999

Budaya dan adat Luwu Utara


Minggu, 08 Juni 2014
Arkeologi : Rampi dan Bukti Kehidupan Pra Sejarah.

Arkeologi : Rampi dan Bukti Kehidupan Pra Sejarah.

Secara geografis Kecamatan Rampi terletak pada kawasan Pegunungan pada titik 10
53’ 19” - 20 16’ 14” Lintang Selatan/South Latitude 1200 3’ 2” - 1200 31’ 13” Bujur Timur/East
Longitude. Batas Wilayah sebelah Utara/North Side Propinsi Sulawesi Tengah/ Province of
Sulawesi Tengah, Sebelah Timur/East Side Kabupaten Luwu Timur/ Subdistrict of Luwu Timur,
Sebelah Selatan/South Side Kecamatan Masamba/Subdistrict of Masamba, dan Sebelah Barat/
West Side Kecamatan Seko/ Subdistrict of Seko. LUAS WILAYAH/Total Area 1 565.65 Km2,
JUMLAH DESA/ Number of Village 6 Desa Definitif.

Secara Sosiologis Masyarakat Rampi masih dapat digolongankan dalam kehidupan yang
Homogen. Ikatan kekerabatan antar desa tetangga masih sangat kental, hal ini dapat terlihat pada
hubungan komunikasi antar sesama masyarakat Rampi. Secara ekonomi mata pencaharian
masyarakat Rampi yang dominan adalah petani. Peran Lembaga Adat yang dipimpin oleh Tokei
Rampi masih dipegan teguh oleh masyarakat Rampi dalam menyelesaikan segala macam
persoalan sosial kemasyarakatan.

Kawasan lembah Rampi ternyata menyimpang bukti - bukti kehidupan masa lampau. Temuan -
temuan tinggalan Arkeologis dapat dijumpai pada sebaran - sebaran daratan Rampi, seperti
temuan tinggalan patung batu megalitik dan Pecahan Gerabah Tanah Liat yang terdapat di Desa
Onondowa dalam kawasan areal persawahan "Timo-oni".

(Temuan : Pecahan Gerabah Tanah Liat yang tertanam dalam Tanah)


Berdasarkan ciri-ciri fisik temuan tinggalan Budaya di Kecamatan Rampi, temuan tersebut dapat
dikategorikan dalam benda tinggalan budaya masa Megalitik fase kehidupan Pra sejarah. Masa
Megalitik ditandai dengan adanya Benda Batu Besar yang dibuat oleh manusia masa lalu serta
komponen alat rumah tangga seperti gerabah yang terbuat dari tanah liat.

Kegiatan Eskavasi yang dilakukan pada Bulan April Tahun 2014 oleh Tim Pusat Balai Arkeologi
Nasional bersama Balai Pelestarian Benda Cagar Budaya Makassar bersama Bidang Kebudayaan
Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Luwu Utara menenukan ciri -
ciri Fase Pra Sejarah dimaksud diatas pada galian yang dilakukan dalam lokasi eskavasi di
Kawasan "Timo-oni" Desa Onondowa Kecamatan Rampi Kab. Luwu Utara Prop. Sulawesi
Selatan.

(Dokumentasi Eskavasi Bulan April 2014 : Patung Batu Megalitik di Kawasan "Timo -
Oni" Desa Onondowa Kecamatan Rampi )
(Dokumentasi Survei Bulan April 2014 : Patung Batu Megalitik di Kawasan "Timo - Oni" Desa
Onondowa Kecamatan Rampi )
(Dokumentasi Eskavasi Bulan April 2014 : Pecahan Gerabah Tanah Liat yang ditemukan
dalam timbunan tanah di Kawasan "Timo - Oni" Desa Onondowa Kecamatan Rampi )
(Dokumentasi Eskavasi Bulan April 2014 Di Kawasan "Timo - Oni" Desa Onondowa Kec.
Rampi )

Tujuan dari Eskavasi yang dilakukan adalah untuk melihat asal usul temuan tinggalan
budaya megalitik di Kawasan Lore Lindu Kabupaten poso dan Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi
Tengah dalam bentuk mengumpulkan dan merekam tentang asal usul, pemukiman dan aspek -
aspek perkembangan Budaya Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Rampi. Tujuan ini
berada dalam lingkup tema ketiga dari kebijakan penelitian prasejarah Indonesia di Pusat
penelitian Arkeologi yaitu : " Kehidupan dan Perkembangan budaya Penutur Austronesia".
Kerangka Penelitian ini mengaittkan dengan isu - isu besar seperti : evolusi dan perkembangan
hunian dan budaya, migrasi atau persebaran pendukungnya, adaptasi dan interaksi dengan
lingkungan biotik dan abiotik dalam konteks geografis Sulawesi.

Selain temuan tinggalan Budaya Megalitik di atas, di Rampi juga masih ditemukan tinggalan
budaya masa lalu yang bersifat kerajaan seperti benda - benda alat rumah tangga yang terbuat
dari kuningan, pakaian kerajaan Luwu serta alat pembuat pakaian dari kulit kayu.
(Dok. Bid. Kebudayaan Tahun 2014 : Benda - benda tinggalan budaya Lembaga adat "Tokei
Rampi")
(Dok. Bid. Kebudayaan : Baju Raja Baebunta yang dihadiahkan kepada Pemangku Adat Rampi
saat perang di wilayah Baebunta Masa Lalu)
(Dok. Bid. Kebudayaan : Pakaian adat Tradisional Rampi yang terbuat dari Kulit Kayu).

Hingga kini penulusuran atas tinggalan benda budaya dan kekayaaan budaya masih saja
dilakukan guna menginventarisasi kekayaaan budaya lokal Kabupaten Luwu Utara sebagai
kerangka dalam pelestarian budaya dan penguatan kekayaan budaya Nusantara/Nasional seperti
yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Terima Kasih.

Diposkan oleh andy di 22.13 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Senin, 17 Maret 2014


MATTOMBANG : Ritual adat pencucian Benda Pusaka Karajaan Uraso
Mattombang adalah sebuah prosesi ritual adat Tana Luwu yang dilakukan oleh komunitas adat
sebagai bagian kepercayaan masyarakat yang turun - temurun dilaksanakan berdasarkan
perhitungan kalender masa tanam padi masyarakat setempat. Prosesi adat ini dilakukan dengan
ritual pencucian benda pusaka komunitas adat setempat.

Prosesi Mattombang tidak serta merta dilaksanakan, namun sebagai bagian yang terintegrasi
dengan kepercayaan maka prilaku sosial dan gejala alam juga menjadi perhatian dan
pertimbangan untuk melaksanakan ritual mattombang.

Secara sosiologis prosesi Mattombang juga dimaknai sebagai langkah transformasi informasi
prilaku adat setempat kepada masyarakat dengan alam sekitarnya, mempererat hubungan
silahturahmi antar sesama kerabat serta memupuk persatuan dan kesatuan adat masyarakat
komunitas.

Nilai Arkeologisnya adalah proses pemeliharaan dan penyelamatan terhadap benda pusaka,
walaupun dalam praktek pelaksanaan alat pencucian "bilah bambu" yang digunakan jika tidak
dilakukan secara hati - hati dapat merusak benda pusaka tersebut.

Berikut beberapa dokumentasi kegiatan Mattombang di Desa Uraso Kec. Mappedeceng Kab.
Luwu Utara :
Diposkan oleh andy di 20.53 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Rabu, 13 Juni 2012
Benda - benda sejarah kerajaan Luwu

Situs Sejarah di tana Luwu :

Di tana Luwu sebagai pusat kebudayaan kerajaan tertua di Sulawesi selatan masih banyak
dijumpai situs dan benda benda sejarah yang berhubungan langsung dengan kehidupan masa
lalunya. Benda - benda tersebut mengandung makna akan kejadian pada masa itu, baik yang
bersentuhan langsung dengan mekanisme tatanan hidup rumah tangga kerajaan Luwu maupun
yang bersentuhan langsung dengan pola sosial adat istiadat dan budaya di luar Istana Kerajaaan.
Disamping benda sejarah tersebut, juga terdapat beberapa maqam para tokoh yang berpengaruh
pada masa itu.

Di Luwu Utara misalnya, dibeberapa titik kita akan menjumpai kawasan-kawasan sejarah
lengkap dengan peninggalan - peninggalannya seperti di Desa Pattimang Kec. Malangke. Desa
Uraso Kecamatan Mappedeceng, Desa Tamuku Kec. Bone - Bone, dan kawasan-kawasan
sekitarnya. Dari benda - benda tersebut kita akan dapatkan kisahnya sendiri seperti misalnya
pada benda yang satu ini ( lihat gambar ) :
.

Benda - benda tersebut merupakan benda sejarah tentang kejayaan Kerajaan Luwu pada
masanya. Aneka bentuk peralatan rumah tangga yang digunakan keluarga kerajaan Luwu pada
saat itu. Berdasarkan bentuknya, maka kita akan melihat sentuhan karya seni tingkat tinggi pada
masing-masing benda tersebut. Ini menandakan bahwa alat ini memang khusus hanya digunakan
pada Istana Kerajaan Luwu.
berdasarkan penulusuran penulis, informasi yang didapatkan bahwa benda - benda tersebut telah
berumur ratusan tahun bahkan benda tersebut di atas sempat dibawa ke hutan oleh pemberontak
pada saat itu, namun mungkin terjatuh di sungai sehingga benda tersebut ditemukan warga dan
dikembalikan kepada pemiliknya saat itu. Ciri benda tersebut biasanya terbuat dari logam keras
semacam kuningan dan tembaga.Tentang fungsi dari benda tersebut diatas, penulis dapat
sebutkan sebagai berikut :
1. Pajjanangan adalah wadah menempatkan lampu minyak.
2. Kompu adalah wadah untuk sesaji saat proses pelamaran
3. Timbokan adalah wadah untuk air cuci tangan
4. Pattikuduan adalah wadah pembuangan air ludah saat makam buah siri/pinang
5. Buleta adalah pengalas gelas
6. Jolong dan bosara adalah wadah baki makanan dan pengalas piring.

benda tesebut sangat kaya dengan sentuhan seni, keelokan dan keindahan yang ada pada benda
tersebut diatas menandakan keistimewaan akan benda tersebut dan penggunanya.

Diposkan oleh andy di 23.53 4 komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Senin, 28 Mei 2012


BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT SEBAGAI IDENTITAS BANGSA

Budaya dan adat istiadat sebagai identitas bangsa.

Pada hakekatnya, awal lahirnya sebuah budaya atau adat istiadat adalah sebuah usaha sosial
atau kelompok masyarakat untuk mempertahankan hidupnya terhadap desakan kebutuhan hidup
yang diperhadapkan pada tantangan alam di sekitarnya. Akal dan pengetahuan manusia sebagai
modal kreasi untuk menciptakan pola kebudayaan itu sendiri sehingga menciptakan nilai dan
norma kehidupan yang diakui dan dipercaya sebagai sebuah kekuatan spiritual pada saat itu.
Kreasi ini kemudian menjadi kekuatan moral untuk mengkontrol pola hubungan timbal balik
antara manusia dan alam sekitarnya.

Kepercayaan ini tumbuh kuat secara kolektif dalam ranah kehidupan sosial bahkan
dibeberapa tempat mengarah menjadi bentuk sebuah keyakinan. kekuatan mistik ini menjelma
menjadi semacam pedoman untuk berprilaku secara pribadi maupun secara homogen. Pada
prakteknya prosesi adat dan budaya ini terlaksana dipimpin oleh seseorang yang dipercaya
mampu menjembatani komunikasi metafisik antara alam nyata dan alam gaib. Istilah pemimpin
mistik lokal ini sering kita dengan dengan sebutan dukun, atau pawang.

Ket. Gbr : (Prosesi Manre Saperra atau Mappalesso Samaja di Desa Pattimang Kec. Malangke
Kab. Luwu Utara pada tanggal 24 April 2012 - Dokumentasi Bid. Kebudayaan Dikominfobudpar
Kab. Luwu Utara)

Kekuatan kepercayaan masa lampau ini menjadi semakin kuat setelah mendapatkan
legitimasi dari Pimpinan lembaga pemerintahan saat itu yaitu Raja, sehingga pada
perkembangannya kebiasaan adat dan budaya setempat menjadi sangat terkontrol dan
terkoordinir. Dibeberapa kawasan bekas kerajaan, kebiasaan ini menjadi terpelihara dan sangat
sakral ketika prosesi adat dan budaya ini dikendalikan langsung oleh para pewaris kerajaan atau
minimal mendapat restu dari pewaris kerajaan untuk melakukan ritual adat dan budaya tersebut.
Inilah yang menjadi ciri khas masing - masing wilayah adat budaya sehingga kekuatan ini
menjadi jati diri sebuah bangsa.

Sekarang tugas kita adalah memelihara dan menjaga untuk tujuan pelestariannya.

Diposkan oleh andy di 20.47 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Minggu, 27 Mei 2012


Permohonan Bantuan Dana Pembangunan Masjid: Mohon bantuan dana
pembangunan Masjid Jami Kel. Ba...

Permohonan Bantuan Dana Pembangunan Masjid: Mohon bantuan dana pembangunan


Masjid Jami Kel. Ba...

Assalamu Alaikum Wr. Wb


Kepada para Hamba Allah yang telah limpahkan reski yang berlimpah dan berberkah di
Sisi-Nya.
Kami mengajak untuk membantu kami dalam menyelesaikan pembangunan Masjid Jami
Baliase yang sementara dalam proses pekerjaan bangunannya. Masjid tersebut terletak di
Kelurahan Baliase Kec.Masamba Kab. Luwu Utara Prop. Sulawesi Selatan.

Alhamdulillah, proses pengerjaan bangunan telah mencapai 40 % dari total bangunan


yang direncanakan dan tetap kami upayakan sesuai harapan masyarakat dan jamaah
masjid agar dapat digunakan secara utuh pada bulan Ramadhan 1433 H / 2012 M
nantinya.

Oleh karena itu, kami mengajak sekalian kepada Hamba Allah, SWT agar dapat secara
bersama-sama mengsukseskan pembangunan Masjid ini dengan melalui Do'a kesuksesan,
Harapan dan bantuan dana. Semoga semua dapat menjadi ladan dan amal jariah bagi
kita. Amin.

Bantuan Dana anda dapat disalurkan melalui :


Bank BRI KCP MASAMBA
Nomor Rekening : 0641-01-003050-53-3
Nama : PANITIA PEMBANGUNAN MASJID JAMI BALIASE

Situs Resmi Kab. Luwu Utara - Sulsel


 HOMEBeranda
 SELAYANG PANDANGInformasi Umum Lutra
 PEMERINTAHANData Pemerintahan
 LRALaporan Realisasi Anggaran
 Download
 Index
 Obyek Wisata
 Layanan Umum
 LAKIP

P
u
blished on Friday, 07 September 2012 10:51
Written by Super User
Hits: 2850

Sejarah Luwu Utara


Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Masamba. Luwu Utara terletak pada koordinat
2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT.

Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara,
Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Kabupaten Luwu di sebelah selatan dan Kabupaten
Mamuju di sebelah barat.

Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota
Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki
luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten
Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2.

Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya berjumlah
250.111 jiwa (2003) atau sekitar 50.022 Kepala Keluarga yang sebagian besar (80,93%) bermata
pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara
pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak Rp. 4,06 triliun.

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook dan Twitter [tutup]

Kabupaten Luwu Timur


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kabupaten Luwu Timur

Lambang Kabupaten Luwu Timur

Peta lokasi Kabupaten Luwu Timur


Koordinat: 2º03'00" - 3º03'25" LS
119º28'56" - 121º47'27" BT
Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar UU Nomor 7 Tahun 2003
hukum
Tanggal 3 Mei 2003
Ibu kota Malili
Pemerintahan
- Bupati H. Andi Hatta Marakarma MP
- DAU Rp. 410.974.651.000.-(2013)[1]
Luas 6,944.88
Populasi
- Total 243.069 jiwa (BPS 2010)
- Kepadatan 35
Demografi
- Kode area 0474
telepon
Pembagian administratif
- Kecamatan 11
- Kelurahan 99
- Situs web http://www.luwutimurkab.go.id/

Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan
UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Malili adalah ibu kota dari Kabupaten
Luwu Timur yang terletak di ujung utara Teluk Bone. Kabupaten ini memiliki luas wilayah
6.944,98 km2. Kabupaten ini terdiri atas 11 Kecamatan yakni Kecamatan Malili, kecamatan
Angkona, Tomoni, Tomoni Timur, Kalena, Towuti, Nuha, Wasponda, Wotu, Burau dan
Mangkutana. Di kabupaten ini terletak Sorowako, tambang nikel yang dikelola oleh INCO,
sebuah perusahaan Kanada yang kini berubah nama menjadi PT Vale . Pada tahun 2008,
Pendapatan Asli Daerahnya berjumlah Rp. 38,190 miliar.[2] Pendapatan per kapita masyarakat
Luwu Timur pada tahun 2005 adalah Rp. 24,274 juta.[3]

Daftar isi
 1 Sejarah dan Latar Belakang
o 1.1 Kisaran Tahun 1959
o 1.2 Kisaran Tahun 1963
o 1.3 Kisaran Tahun 1966
o 1.4 Kisaran Tahun 1999
o 1.5 Kisaran Tahun 2002 - 2003
 2 Geografis
 3 Arti Lambang
 4 Prestasi & Penghargaan
o 4.1 Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2006
o 4.2 Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2007
o 4.3 Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2008
o 4.4 Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2009
o 4.5 Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2010
o 4.6 Penghargaan Yang Diterima Kabupaten Luwu Timur tahun 2011
 5 Demografi
 6 Potensi Daerah
o 6.1 Pertambangan & Energi
o 6.2 Pertanian
o 6.3 Pariwisata
 6.3.1 Danau Matano
 6.3.2 Danau Towuti
 6.3.3 Air Terjun Mata Buntu
 6.3.4 Air Terjun Salu' Anuang
 6.3.5 Pantai Lemo
 6.3.6 Bulu' Poloe
 7 Referensi
 8 Lihat pula

Sejarah dan Latar Belakang


Kerinduan masyarakat di wilayah eks Onder-afdeling Malili atau bekas Kewedanaan Malili,
untuk membentuk suatu daerah otonom sendiri telah terwujud. Kabupaten Luwu Timur yang
terbentang dari Kecamatan Burau di sebelah barat hingga Kecamatan Towuti di sebelah timur,
membujur dari Kecamatan Mangkutana di sebelah utara hingga Kecamatan Malili di sebelah
selatan, diresmikan berdiri pada tanggal 3 Mei 2003.

Dalam perjalanan panjang pembentukan kabupaten ini, terangkai suka dan duka bagi para
penggagas dan penginisiatif yang akan menjadi kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang
masa. Semuanya telah menjadi hikmah yang dapat dipetik pelajaran dan manfaat tak ternilai
guna kepentingan membangun daerah ini di masa depan. Secara kronologis, sekilas perjalanan
panjang itu, dapat dilukiskan sebagai berikut:

Kisaran Tahun 1959

Pada Bulan Januari Tahun 1959, situasi ketentraman dan keamanan pada hampir seluruh
kawasan ini, sangat mencekam dan memprihatinkan akibat aksi para gerombolan pemberontak
yang membumihanguskan banyak tempat, termasuk kota Malili. Peristiwa ini, secara langsung
melahirkan semangat heroisme yang membara, khususnya di kalangan para pemuda pada` waktu
itu, untuk berjuang keras dengan tujuan membangun kembali wilayah eks Kewedanaan Malili
yang porak poranda. Gagasan pembentukan kabupaten pun merebak dan diperjuangkan secara
bersungguh-sungguh. Sebagai dasar utamanya, secara sangat jelas termaktub dalam Undang-
undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan
(L.N. 1959 Nomor 74 TLN Nomor 1822) yang mengamanatkan bahwa semua Daerah Eks
Onder-Afdeling di Sulawesi Selatan, termasuk di antaranya bekas Kewedanaan Malili akan
ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten. Namun pada realitas, ternyata terdapat 3 Daerah Ex
Onder Afdeling yakni Malili, Masamba dan Mamasa belum dapat diwujudkan pembentukannya,
terutama disebabkan karena alasan situasi keamanan yang belum memungkinkan pada waktu itu.

Kisaran Tahun 1963


Harapan kembali berkembang, ketika dikeluarkan Resolusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Gotong Royong (DPRD –GR) Daerah tingkat II Luwu di Palopo, Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963
tanggal 2 Mei 1963, yang menyetujui Ex Onder Afdeling Malili menjadi Kabupaten. Kemudian,
sebagai perkembangannya, dikeluarkanlah Resolusi Nomor 9/Res/DPRD-GR/1963 yang
memutuskan untuk meninjau kembali Resolusi Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963 tersebut, sehingga
terdapat konsiderans yang berbunyi sebagai berikut: “……mendesak Pemerintah Pusat RI Cq.
Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah agar membagi Dati II Luwu menjadi 4
Dati II yang baru terdiri dari Dati II Palopo, Dati II Tanah Manai, Dati II Masamba dan Dati II
Malili”.

Kisaran Tahun 1966

Berdasarkan laporan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada sidang seksi Pemerintahan V tanggal
2 Mei 1966, dihasilkan kesimpulan sepakat untuk menyetujui tuntutan masyarakat Ex
Kewedanaan Malili menjadi Daerah Tingkat II dengan nama Kabupaten Malili dengan Ibukota
di Malili. dilanjutkan pada Paripurna VI DPRD Provinsi Sul-Sel tanggal 9 Mei 1966 disetujui Ex
Kewedanaan Malili menjadi Kabupaten. Lahirnya keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
peran kalangan mahasiswa yang berasal dari wilayah Eks Kewedanaan Malili, dimana secara
bersama-sama kalangan muda tersebut dengan penuh semangat mendesak DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan untuk merekomendasikan pembentukan Kabupaten di Wilayah Eks
Kewedanaan Malili. Keputusan itu disikapi oleh kalangan mahasiswa dengan semangat heroik
dengan melakukan long-march dari Makassar menuju ke wilayah Eks Kewedanaan Malili guna
mensosialisaikan Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Tidak sedikit rintangan yang
dihadapi mereka, baik karena minimnya fasilitas maupun tantangan kurangnya jaminan
keamanan pada masa itu. Hal tersebut, tidak sedikitpun melemahkan semangat para Mahasiswa
untuk menguinjungi wilayah Eks Kewedanaan Malili, mulai dari Wotu, Mangkutana, Malili,
Tabarano dan Timampu serta kembali ke Makassar. Beberapa bulan kemudian dilakukan
pertemuan antara perwakilan penuntut dan penggagas Kabupaten yang diprakarsai oleh Ikatan
Keluarga Eks Kewedanaan Malili (IKMAL) dengan Gubernur Sulawesi Selatan, tepatnya pada
tanggal 29 Agustus 1966, Gubernur Sul-Sel pada waktu itu Achmad Lamo menyatakan:
“Sebenarnya Malili menjadi Kabupaten tinggal menunggu waktu saja “. Pada tanggal 8 Oktober
1966 Panitia Persiapan Pembentukan Daerah Tingkat II Malili dan Masamba menghadap Sekjen
Depdagri pada waktu itu (Soemarman, SH). Pada pertemuan itu, Sekjen berjanji akan
mengirimkan Tim ke Daerah yang bersangkutan.

Kisaran Tahun 1999

Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah memberikan ruang kebebasan lebih luas
terhadap `wacana pemekaran Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hal ini
dimamfaatkan sebagai momentum yang kuat dalam melanjutkan perjuangan aspirasi Masyarakat
Ex Kewedanaan Malili untuk membentuk sebuah Kabupaten. Pada awal tahun 1999, saat
pemekaran Kabupaten Luwu sedang dalam proses, timbul kembali aspirasi masyarakat yang kuat
menginginkan dan mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk merealisasikan pembentukan suatu
Kabupaten pada wilayah Eks Kewedanaan Malili sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi-
Selatan.Menindaklanjuti aspirasi pemekaran Kabupaten Luwu yang beragam, maka DPRD
Provinsi Sulawesi Selatan melalui Surat Keputusan DPRD Provinsi TK. I Sulawesi Selatan
Nomor 21/III/1999, dijelaskan pada pasal 2 sebagai berikut ; Mengusulkan Kepada Pemerintah
Pusat untuk selain menyetujui Pemekaran Daerah TK. II Luwu menjadi 2 ( Dua ) kabupaten
Daerah Tingkat II Luwu Utara, agar melanjutkan Pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II
dengan menjadikan bekas Kewedanaan (Onder Afdeling) Masamba dan bekas Kewedanaan
(Onder Afdeling) Malili masing-masing menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II serta peningkatan
Kota Administratif Palopo menjadi Kota Madya Daerah TK. II. Meskipun aspirasi dan tuntutan
masyarakat Luwu Timur untuk membentuk Kabupaten Luwu Timur yang otonom sesuai dengan
hak historis dan kecukupan potensi yang dimiliki belum terealisasi, namun tidak mengurangi
semangat dan tekad masyarakat Luwu Timur untuk berjuang mewujudkan cita-cita tersebut. Hal
ini dibuktikan dengan digelarnya Pertemuan Akbar masyarakat Ex Kewedanaan Malili pada
tanggal 18 Maret 2000 di Gedung pertemuan Masyarakat Malili yang menghasilkan rekomendasi
tentang pembentukan Kabupaten Luwu Timur dengan membentuk Panitia Persiapan
Pembentukan Kabupaten Ex Kewedanaan Malili yang hasilnya telah diusulkan melalui surat
Nomor 005/PP-Alu/2000 tanggal 20 April 2000 Tentang Usul Pemekaran Luwu Utara kepada
Bupati Luwu Utara dan Ketua DPRD Kabupaten Luwu Utara. Dalam menindaklanjuti aspirasi
masyarakat Luwu Timur maka lahirlah keputusan DPRD Luwu Utara mengeluarkan SK tentang
Pembentukan Pansus dan SK Nomor 04 Tahun 2001 Tanggal 31 Januari 2001 Tentang
persetujuan pemekaran Kabupaten Luwu Utara menjadi 2 ( dua ) wilayah Kabupaten Luwu
Utara dan Kabupaten Luwu Timur, yang merupakan prakarsa hak inisiatif DPRD Luwu Utara.
Hal ini, kemudian direspon oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sesuai ketentuan dan
mekanisme yang ditetapkan dalam PP. 129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan
kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, yakni dengan melanjutkan
keputusan DPRD Kabupaten Luwu Utara tentang Persetujuan terhadap Pembentukan ex
Kewedanaan Malili menjadi Kabupaten Luwu Timur, kepada Gubernur Provinsi Sulawesi
Selatan melalui surat tertanggal 04 April 2002, Nomor 100/134/Bina PB.Bang Wil .

Kisaran Tahun 2002 - 2003

Berdasarkan Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 tanggal 24 Mei
2002, tentang Persetujuan usul pemekaran Luwu Utara. Gubernur Sulawesi Selatan
menindaklanjuti dengan mengusulkan pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Mamuju Utara
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 130/2172/Otoda tanggal 30 Mei 2002.
Akhirnya, aspirasi perjuangan masyarakat Luwu Timur yang diperjuangkan selama 44 tahun
telah mencapai titik kulminasi yaitu atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia dengan disahkannya Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2003 tanggal 25 Februari 2003, Tentang Pembentukan
Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Undang - Undang tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan, atas nama Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia pada tanggal 3 Mei 2003 telah meresmikan sekaligus melantik
penjabat Bupati Luwu Timur di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar.
Kemudian pada tanggal 12 Mei 2003, sebagai penanda mulai berlangsungnya aktivitas
pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Luwu Timur yang baru terbentuk itu, maka
Bupati Luwu Utara dan Penjabat Bupati Luwu Timur secara bersama-sama meresmikan pintu
gerbang perbatasan Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur yang ditandai dengan
pembukaan selubung papan nama perbatasan bertempat di Desa Lauwo antara Kecamatan Burau
Kabupaten Luwu Timur dan Kecamatan Bone - Bone, Kabupaten Luwu Utara. Pada hari yang
sama dilakukan prosesi penyerahan operasional Pemerintahan dari Pemerintah Kabupaten Luwu
Utara kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Timur bertempat di lapangan Andi Nyiwi, Malili.
Dengan terbentuknya Kabupaten Luwu Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Luwu Utara maka secara administratif Kabupaten Luwu Timur berdiri sendiri sebagai daerah
otonom yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun secara kultural, historis dan hubungan
emosional sebagai satu rumpun keluarga Tanah Luwu tetap terjalin sebagai satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Demikian Kilas Balik Terbentuknya Kabupaten Luwu Timur. Malili, Mei 2007
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Timur, H. ANDI HASAN

Geografis
Kabupaten Luwu Timur merupakan Kabupaten paling timur di Provinsi Sulawesi Selatan yang
berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Utara. Sedangkan di sebelah Selatan
berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Teluk Bone. Sementara itu, batas sebelah
Barat merupakan Kabupaten Luwu Utara.

Kabupaten Luwu Timur yang beribukota di Malili, secara administrasi dibagi menjadi 11
kecamatan yaitu

 Kecamatan Burau
 Kecamatan Wotu (Regional Pelayanan Kesehatan)
 Kecamatan Tomoni
 Kecamatan Tomoni Timur (Regional Pertanian)
 Kecamatan Angkona
 Kecamatan Malili (Regional Administratif)
 Kecamatan Towuti
 Kecamatan Nuha (Regional Pertambangan)
 Kecamatan Wasuponda
 Kecamatan Mangkutana (Regional Perdagangan)
 Kecamatan Kaleana

Di Kabupaten Luwu Timur terdapat 14 sungai. Sungai terpanjang adalah Sungai Kalaena dengan
panjang 85 km. Sungai tersebut melintas di Kecamatan Mangkutana. Sedangkan sungai
terpendek adalah Sungai Bambalu dengan panjang 15 km.

Selain itu, di Kabupaten Luwu Timur juga terdapat lima danau. Kelima danau tersebut antara
lain danau Matano (dengan luas 245.70 km2), Danau Mahalona (25 km2), dan Danau Towuti
(585 km2), Danau Tarapang Masapi (2.43 km2) dan Danau Lontoa (1.71 km2). Danau Matano
terletak di Kecamatan Nuha sedangkan keempat danau lainnya terletak di Kecamatan Towuti.

Kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi.
Selama tahun 2011, tercatat rata-rata curah hujan mencapai 258 mm, dengan rata-rata jumlah
hari hujan per bulan mencapai 17 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yakni
393 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 23 hari.
Arti Lambang
MAKNA WARNA LAMBANG DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR

 Hijau Tua

Melambangkan kematangan berfikir bertindak dan terencana

 Hijau Muda

Mempunyai nilai estetis dan dinamis

 Kuning

Bermakna kesetiaan

 Kuning keemasan

Bermakna kemuliaan

 Merah

Bermakna semangat dan keberanian

 Putih

Bermakna kesucian

 Oranye

Keselamatan , keamanan dan dapat memberikan pertolongan

FALSAFAH LAMBANG LUWU TIMUR

A. SIMBOL : Makna Logo Luwu Timur memiliki Visi dan Misi yang sangat dinamis
mencerminkan karakteristik daerah yang mengandung nilai Ketuhanan, Budaya, Historis,
Kejuangan, Persatuan dan Kesatuan.

• BINTANG:
Melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Wujud dari Falsafah negara
Pancasila sebagaimana halnya Luwu Timur memiliki berbagai agama, etnis,
budaya yang berkepribadian sama mementingkan toleransi saling menghargai.
• PAYUNG ( AMMAKUASANG) :
Melambangkan sifat mengayomi, melindungi kehidupan masyarakatnya, sehingga
tercipta sebagaimana falsafah “ Wanua Mappatuwo Naewai Alena
• KOBARAN API :
Melambangkan semangat Kejuangan dengan kobaran jiwa yang tidak mengenal
mati sebelum memberi cahaya, membuktikan bahwa Luwu Timur dapat memberikan
kehidupan yang terbaik untuk rakyatnya.
• GUNUNG :
Bermakna lebih tinggi menampakan bentuk yang lebih jelas seperti halnya
Luwu Timur dalam memberikan program pembangunan, memiliki visi dan misi yang
jelas dengan penuh komitmen, dan juga merupakan symbol dari kekayaan Sumber
daya alam yang dimiliki yang merupakan cadangan devisa dan sumber pendanaan
pembangunan wilayah Luwu Timur menuju negeri yang dapat mensejahterakan
seluruh masyarakatnya.
• PABRIK (Cerobong Asap) :
Yang memberikan gambaran bahwa Luwu Timur ke depan merupakan daerah
Industri yang berbasis pada potensi kelokalan dengan tetap mempertahan
kulitas lingkungan hidup sehingga Sumber daya alam tetap dapat terwariskan
untuk generasi-generasi selanjutnya. Secara khusus daerah Luwu Timur
merupakan daerah Industri (tambang Nikel) yang merupakan hasil primadona,
yang memberikan konstribusi PAD terbesar di kawasan Timur Indonesia dan
merupakan salah satu penghasil nikel terbesar di dunia.
• AIR :
Air memiliki sifat Tawaddu mencari titik terendah namun manusia selalu
menempatkan di tempat yang suci. Selain itu merupakan simbol daerah maritim.
Luwu Timur juga memiliki tiga (3) buah danau. Danau Matano , Danau Towoti dan
Mahalona., selain merupakan sumber air salah satu pembangkit listrik tenaga
air (PLTA) yang kita kenal dengan bendungan Larona yang merupakan aset wisata
daerah Luwu Timur. Juga merupakan salah satu danau purba (danau Matano).
• WELENRENGNGE :
Merupakan pohon kehidupan dan kesuburan serta keseimbangan antara Makro
Kosmos dan Mikro Kosmos sehingga terjadi keterikatan, kerukunan, kedamaian
antara seluruh masyarakat dengan pemimpinnya. Welenrengnge secara histories
merupakan pohon yang menjadi bahan untuk pembuatan perahu/kapal yang
dipergunakan Sawerigading mengelilingi dunia.
• PADI :
Yang melambangkan Kesejahteraan dapat tumbuh "satu jadi seribu”. Yang
menggambarkan bahwa Luwu Timur dapat mengembangkan pembangunan dari hasil
alamnya yang melimpah, dengan memiliki kontur alam, laut daratan dan
pegunungan Dua belas (12) bulir padi kiri dan kanan merupakan simbol dari 12
anak suku yang pernah ada di Kerajaan Luwu , yang secara bahu membahu di
bawah pajung ri Luwu membangun daerah ini
• EMPAT MATA RANTAI YANG KOKOH :
Rantai berwarna Orange melambangkan Persatuan, Kesatuan, dan keselamatan.
Empat wilayah Tana Luwu yang tidak dapat terpisahkan secara cultural
historys. Yang saling melengkapi dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya.
• LABUNGAWARU :
Merupakan salah satu benda pusaka kerajaan Luwu yang mempunyai fungsi dan
posisi yang sangat penting. Bagi seorang raja yang memerintah kerajaan Luwu.
Secara simbolis Labungawaru mencerminkan Keberanian, Kasatria kegigihsn,
ketegasan, Keteguhan dan Siri.
• SAYAP BURUNG :
Secara historis melambangkan KUAJENG (Burung Garuda), secara simbolis
merupakan perwujudan semangat untuk menggapai dan mencapai cita-cita serta
perlambang dinamisasi kehidupan masyarakat Luwu Tumur., kebebasan, keuletan,
kesabaran serta setia mengembang amanah.

B. POLA/BENTUK : Berbentuk Perisai. Yang bermakna melindungi. Dan berkolaborasi pada


lambang empat wilayah yang secara historis memiliki banyak kesamaan Visi dan Misi dalam
naungan Pajung Ri Luwu Wanua Mappatuwo Na Ewai Alena
C. TULISAN KAB. LUWU TIMUR : Luwu merupakan daerah dibawah naungan satu kerajaan
dimasa lalu yang pada perkembangannya dimekarkan menjadi empat wilayah yaitu Kab. Luwu,
Kota Palopo, Kab. Luwu Utara dan Luwu Timur yang letaknya di bagian timur sehingga di
katakan Luwu Timur

Prestasi & Penghargaan


Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2006

Penghargaan Satya Lencana Karya Sapta 20 Tahun

Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2007

Piagam Tanda Penghargaan Manggala Karya Kencana dari Kepala BKKBN

Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Wira Karya Presiden RI Kepada Bupati Luwu Timur

Penghargaan PERDA Akte Kelahiran Bebas Bea dari Presiden RI

Penghargaan PERDA Akte Kelahiran Bebas Bea dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
RI

Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2008

Penghargaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI atas Motivasi, Partisipasi, Komitmen
dan Kinerjanya Dalam Pembangunan Transmigrasi Tahun 2008

Penghargaan Kepada Bapak Bupati Luwu Timur sebagai 10 Tokoh Pilihan Majalah Tempo

Penghargaan Presiden RI Kepada Pemerintah Daerah Luwu Timur yang Mampu Meningkatkan
Produk Beras diatas 5%

Penghargaan Harian Ujungpandang Ekspres Kepada Bupati Luwu Timur sebagai Bupati
/Walikota Visioner 2008

Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2009

Penghargaan sebagai Nominasi Daerah Dengan Terobosan Inovatif Bidang Pertumbuhan


Ekonomi Tahun 2009 dari Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO)

Penghargaan Gubernur Sul-Sel, Atas Tekad dan Kepedulian Melaksanakan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Menengah 12 Tahun

Piagam Penghargaan Citra Bakti Abdi Negara Kepada Kabupaten Luwu Timur, Dari Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reforamsi Birokrasi, 9 Desember 2009
Penghargaan yang di terima Kab. Luwu Timur tahun 2010

Piagam Penghargaan yang Diberikan Kepada Kabupaten Luwu Timur sebagai Juara 1 Kontes
Buah Durian (Durian Bayondo)

Piagam Penghargaan Gubernur Sulawesi Selatan Kepada Bupati Luwu Timur atas Partisipasinya
pada Kegiatan Kerja Bakti dan Penanaman Pohon Serentak se Provinsi Sulawesi Selatan)

Piagam Adipura Menteri Negara Lingkungan Hidup Kepada Kota Malili atas Upaya Terbaik
dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan

Penganugerahan ADIUPAYA PURITAMA KELAS 2 Kepada Kabupaten Luwu Timur oleh


Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia

Penghargaan Gubernur Sulawesi Selatan Dalam Rangka Hari Jadi Provinsi Sulawesi Selatan Ke-
341 Tahun 2010, Kepada Bupati Luwu Timur atas Sharing Pendanaan Dalam Program
Pendidikan Grais di Sulawesi Selatan

Piagam Penghargaan Gubernur Sulawesi Selatan Kepada Bupati Luwu Timur Atas
Kepeduliannya Telah Menuntaskan Buta Aksara Tahun 2010

Kopel Award Kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Timur atas Inovasi Publikasi APBD sejak
Tahun 2007 Melalui Website dan Tahun 2009 Memperluas Melalui Media Poster serta APBD
2010 Melalui Media Radio di Tempat Umum

Piagam Penghargaan Gubernur Sulawesi Selatan Kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Timur,
atas Dukungan dan Komitmen dalam Peningkatan Pembiayaan Program Pelayanan Kesehatan
Gratis

Piagam Penghargaan Ketahanan Pangan 2010 dari Presiden Republik Indonesia Kepada
Kabupaten Luwu Timur Yang telah Mampu Meningkatkan "PRODUKSI DIATAS 5 PERSEN" ,
7 Desember 2010

Penghargaan Ketahanan Pangan 2010 dari Presiden RI Kepada Luwu Timur, 3 Desember 2010

Penghargaan Yang Diterima Kabupaten Luwu Timur tahun 2011

Piala Adipura Untuk Luwu Timur dengan Kategori Kota Kecil

Tropi FIPO Award 2011

Tropi Otonomi Award, Nominasi Daerah dengan Terobosan Paling Menonjol Bidang
Lingkungan Hidup

Piagam Otonomi Award, Nomimasi Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayaan
Administrasi Kependudukan dan Perizinan Tahun 2011
Piagam Otonomi Award, Nominasi Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Kesehatan 2011

Piagam Otonomi Award, Nominasi Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan
Pendidikan 2011

Piagam Otonomi Award, Nominasi Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pemerataan
Ekonomi 2011

Piagam Otonomi Award, Nominasi Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pemberdayaan
Ekonomi

Piagam Penghargaan Yang Diberikan Kepada Kelompok P3A Merta Sari Kab. Luwu Timur
Sebagai Juara I Lomba P3A Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan TA. 2011, Oleh Gubernur
Sulawesi

Demografi
Kepadatan penduduk tahun 2009 di Luwu Timur masih kecil, hanya 33 jiwa per Km2.
Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Malili dengan Jumlah penduduk 32.112 Jiwa.
Sedangkan Kecamatan yang paling rendah jumlah penduduk adalah kecamatan Kalaena 11.205
jiwa.

Secara umum jumlah penduduk laki-laki di kabupaten Luwu Timur lebih besar dibandingkan
perempuan. Hal ini terlihat dengan rasio jenis kelmain (sex ratio) penduduk Luwu Timur sebesar
107.41 yang artinya bahwa setiap 100 Perempuan di Luwu Timur terdapat 107 Laki-laki.

Berdasarkan komposisi kelompok umur mengindikasikan bahwa penduduk laki-laki dan


perempuan terbanyak berada di Kelompok umur 5-9 tahun. Dan distribusinya menunjukkan
bahwa 36% penduduk Luwu Timur berusia muda (umur 0-14 tahun), 60% berusia produktif (15-
64 tahun) dan 4 % usia tua (65 tahun ke atas). Sehingga diperoleh rasio ketergantungan
penduduk Luwu Timur 150,81, yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung
150 penduduk usia non produktif.

Kabupaten Luwu Timur merupakan salah satu daerah penempatan Transmigrasi di Provinsi
Sulawesi Selatan. Ada empat UPT di Kabupaten Luwu Timur diantaranya adalah UPT Malili SP
I (425 KK) dan SP II (400 KK) dan UPT Mahalona SP (330 KK) dan SP II (100 KK). Para
Transmigran yang ada di ke empat UPT tersebut berasal dari bebrapa daerah antara lain Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTB, Bali, Ambon, Poso, maupun Timor Timur.

Potensi Daerah
Pertambangan & Energi

Peradaban modern sangat tergantung pada logam, salah satunya adalah Nikel. Dengan
karakteristiknya yang khas membuat nikel menjadi bahan dasar yang banyak digunakan dalam
peralatan di dunia modern. Mulai dari peralatan di dapur sampai dengan komponen di pesawat
terbang.

Kabupaten Luwu Timur dikenal memiliki kandungan Nikel yang cukup banyak. Penambangan
Nikel di kabupaten ini dilakukan oleh PT INCO yang sekarang setelah di akuisisi berubah nama
menjadi PT.Vale yang terletak di Kecamatan Nuha. Pada tahun 2010, jumlah produksi Nikel
Matte mencapai 77.185,184 ton. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang
mencapai 68.228,332 ton

Pada tahun 2010, berdasarkan data dari PDAM Kabupaten Luwu Timur diketahui banyaknya
pelanggan PDAM sebesar 1.163 pelanggan. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya yaitu sebanyak 967 pelanggan. Sedangkan jumlah air yang disalurkan sebanyak
562.264 m3.

Berdasarkan data dari PT PLN Ranting Malili, pada tahun 2010 jumlah listrik yang disalurkan di
Kabupaten Luwu Timur adalah sebesar 54.700.914 KWH dengan nilai produksi sebesar lebih
dari 31 miliar. Sementara itu jumlah konsumen listrik mencapai 29.534 rumahtangga.

Pertanian

Lahan sawah di Kabupaten Luwu Timur seluas 20.017 Ha, terdapat 9.267 Ha yang menggunakan
sistem pengairan/irigasi teknis, 7.587 Ha beririgasi setengah teknis, 210 Ha beririgasi sederhana,
1.616 Ha merupakan sawah tadah hujan, pasang surut 50 Ha dan 1.285 Ha beririgasi desa/non
PL. Lahan kering di Kabupaten Luwu Timur diantaranya digunakan untuk rumah/pekarangan,
tegal/kebun, ladang/huma, tanah gembala/padang rumput, rawa-rawa yang tidak ditanami,
tambak, kolam/tebat, lahan sementara yang tidak diusahakan, hutan rakyat, hutan negara,
perkebunan dan lainnya. Persentase penggunaan lahan kering di Kabupaten Luwu Timur yang
paling banyak adalah untuk hutan Negara, yakni sebesar 36,97 persen.

Rata-rata Produktivitas padi (padi sawah dan padi ladang) di Kabupaten Luwu Timur pada tahun
2010 sebesar 59,50 Kw/Ha dengan luas panen sebesar 28.678,00 Ha dan produksi 170.620,49
ton. Kecamatan penyumbang produksi padi terbesar adalah Kecamatan Burau dengan total
produksi sebesar 30.954,52 ton dan luas panen bersih sebesar4.886 Ha serta memiliki
produktivitas yaitu 63,60 Kw/Ha.

Komoditi tanaman pangan yang dihasilkan Kabupaten Luwu Timur adalah jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Sub Sektor hortikultura mencakup tanaman
sayuran, tanaman buahbuahan, tanaman biofarma dan tanaman hias. Komoditi yang disajikan
pada tanaman sayuran meliputi bawang daun, cabe, tomat, petsai, kacang panjang dan bayam.
Pada tahun 2010, produksi tanaman sayuran terbesar yang dihasilkan Kabupaten Luwu Tmur
adalah tanaman kangkung dengan produksi 557,55 ton. Sedangkan tanaman buah-buahan yang
dihasilkan meliputi mangga, durian, jeruk, pisang, pepaya, nanas, rambutan dan manggis dengan
produksi terbesar adalah buah pisang sebanyak 30.314,60 ton. Tanaman obat-obatan meliputi
jahe, laos, kencur, kunyit dengan produksi terbesar adalah laos/lengkuas sebanyak 2.300 kg.

Pariwisata
Danau Matano

Danau Matano terletak di pinggiran Sorowako, luasnya mencapai 8.218, 21 Ha dan merupakan
salah satu danau terdalam mencapai 550 meter. Sumber mata air danau berasal dari sebuah
kolam berukuran 8 x 12 m di desa Matano. Beberapa tepian danau, kini dijadikan lokasi
berekreasi seperti Pantai Ide, Pantai Kupu – kupu, Pantai Salonsa. Danau Matano menawarkan
panorama eksotik, air yang sejuk, landscaping tepian danau tertata rapi dipenuhi rimbunan
pohon-pohon besar menjadikan suasananya sangat teduh. Bagi pencinta olahraga air tidak perlu
khawatir, karena sarana rekreasi di danau Matano dilengkapi berbagai fasilitas seperti Kayak,
Banana Boat, Jet Ski, Kapal Pesiar, serta didukung dengan penempatan Gasebo, Bungalow,
Restaurant, taman bermain untuk anak – anak dan fasilitas lengkap lainnya.

Danau Towuti

Tercatat sebagai danau air tawar terluas kedua setelah danau Toba di Sumatera Utara, Danau
Towuti memberikan jasa lingkungan pada ekosistem di sekelilingnya. Salah satu danau tektonik
ini masih menyimpan misteri : kedalaman permukaannya. Disini, terdapat 14 jenis ikan air tawar
endemic Sulawesi Crocodylus Porosus dan Hydrosaurus Amboinensis.

Air Terjun Mata Buntu

Gemuruh air menambah suasana sejuk kawasan obyek wisata Mata Buntu seakan mengajak
pengunjung untuk segera melepas penat menjadikan sambutan yang menggoda hati untuk segera
menggelar tikar alas daun pandan di sela – sela rimbunan hutan tropis sambil menikmati undak –
undakan air terjun bersusun 33 yang terbentuk alami. Kupu – kupu beterbangan dan hinggap di
antara sembulan anggrek hutan yang bertengger menyembul di antara pakis hutan yang
menempel di batang pohon dan dibebatuan menjadi bonus untuk melepas penat sambil bersantap
bersama keluarga. Obyek wisata Mata Buntu terletak di Kecamatan Wasuponda. Keunikan di
obyek wisata ini adalah di undakan paling atas pengunjung dapat menemui sebuah batu
berbentuk alat kelamin pria yang konon dipercaya dapat membantu bagi pasangan yang belum
dikarunia anak, adapula yang meyakini sebagai tempat mengikat janji bagi pasangan muda –
mudi, percaya atau tidak.

Air Terjun Salu' Anuang

Objek wisata air terjun yang tak kalah menariknya yakni Air Terjun Salu Anuang terletak 30 km
arah utara Mangkutana di poros Trans–Sulawesi arah Poso. Tidaklah sulit menemukan karena
tepat di sisi kanan jembatan yang melintas di atasnya. Banyak pengunjung yang selalu
menyempatkan singgah untuk refreshing dalam perjalanan panjang dari Sulawesi Tengah manuju
ke Sulawesi Selatan. Derasnya air yang mengalir memberihkan bulir-bulir air terbang tersapu
angin menciptakan kesegaran disekitarnya.

Pantai Lemo

Di sebelah barat Malili yakni di Kecamatan Wotu dapat pula kita jumpai wisata bahari pantai
Bissue, lalu bergerak ke barat lagi di Kecamatan Burau tepatnya di desa Mabonta kita disuguhi
pemandangan pantai dan laut lepas teluk Bone di Pantai Lemo. Objek ini tergolong primadona
dengan jumlah pengunjung yang banyak. Disini kita disuguhi jejeran lambaian nyiur dengan
hamparan rumput Jepang yang menahan abrasi pantai. hamparan pasir yang panjang melandai
menjadikan kegiatan wisata pantai dengan leluasa dinikmati

Bulu' Poloe

Satu potensi wisata yang ditawarkan di Bumi Batara Guru yakni potensi wisata bawah laut.
Keindahan aneka terumbu karang dan biota lautnya tidak kalah dengan wisata bawah laut di
tempat lain. Biota di Bawah laut di sekitar Pulau Bulu’ Poloe yang belum tereksploitasi
mengajak kita untuk berkenalan lebih jauh. Letak Pulau ini berada di ujung utara Teluk Bone,
jika berangkat dari kota malili dibutuhkan waktu 30 menit menggunakan perahu jenis Katinting
untuk dapat menikmati keindahan bawah laut pulau ini.

Referensi
1. ^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses 2013-02-15.
2. ^ "Lutim yang Terus Bersolek", TEMPO, No. 3746 (26 Januari-1 Februari 2009)
3. ^ Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita menurut provinsi dan kab/kota,
2005

Lihat pula
 Kesultanan Luwu
 Sejarah Tanah Luwu

[tampilkan]

 v
 t
 e

Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan


[tampilkan]

 v
 t
 e

Sulawesi Selatan

Koordinat: 2°32′LU 121°8′BT


Artikel bertopik geografi Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Kategori:

 Kabupaten di Sulawesi Selatan


 Kabupaten di Indonesia
 Kabupaten Luwu Timur
 Rintisan geografi Mei 2014
 Geografi Indonesia

Menu navigasi
 Buat akun baru
 Masuk log

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Perubahan tertunda
 Sunting
 Sunting sumber
 Versi terdahulu

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman baru
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang
 Hubungi kami
 Bak pasir
Bagikan

 Facebook
 Google+
 Twitter

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Peralatan

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Informasi halaman
 Item di Wikidata
 Kutip halaman ini

Bahasa lain

 Deutsch
 English
 Basa Jawa
 Bahasa Melayu

Sunting interwiki

 Halaman ini terakhir diubah pada 06.43, 6 Mei 2014.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Developers
 Tampilan seluler


Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
1

BAB 2
GAMBARAN UMUM WILAYAH
2.1
Geografis, Administratif dan Kondisi Fisik
Kabupaten Luwu merupakan salah satu daerah yang berada dalam
wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah Kabupaten
Luwu
terbagi dua wilayah akibat pemekaran Kota Palopo y
aitu Kabupaten Luwu
Bagian Selatan yang terletak di sebelah selatan Kota Palopo dan
wilayah
Kabupaten Luwu Bagian Utara yang terletak di sebelah utara Kota
Palopo.
Kabupaten Luwu memiliki luas wilayah sekitar 3.000,25 Km
2
atau 3.00
0
.
25
0
Ha
dengan jumlah pe
nduduk keseluruhan mencapai 335.828 jiwa pada tahun 2011,
dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya bergerak pada
sektor
pertanian dan perikanan. Secara umum karasteristik bentang alam
Kabupaten
Luwu terdiri atas kawasan pesisir/pantai dan daratan hing
ga daerah
pegunungan yang berbukit hingga terjal, dimana berbatasan langsung
dengan
perairan Teluk Bone dengan panjang garis pantai sekitar 116,161 Km
(RTRW
Kabupaten Luwu).
2.1.1
Letak Geografis dan Administratif
Ditinjau
dari segi geografis, Kabupaten Luwu te
rletak di bagian utara
Provinsi Sulawesi Selatan, dimana posisi Kabupaten Luwu terletak
2º.34’.45”

3º.30’.30” LS dan 120º.21’.15”

121º.43’.11” BT.
Secara administratif, Kabupaten Luwu memiliki batas sebagai berikut:

Sebelah Utara
:
Kabupaten Luwu
Utar
a
dan Kota Palopo

Sebelah Timur
:
Teluk Bone

Sebelah Sela
tan
:
Kota Polopo dan Kabupaten Wajo

Sebelah Barat
:
Kabupaten Tanah Toraja
, Kabupaten Toraja Utara,
Kabupaten Enrekang
dan Kabupaten
Sidrap.
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
2
Kabupaten Luwu terbagi atas 22 wilayah kecamatan dan 2
27
Desa/Kelurahan dimana Ibukota Kabupaten adalah Kota Belopa
(terdiri dari
Kecamatan Belopa dan Kecamatan Belopa Utara). Kecamatan
Latimojong
merupakan kecamatan yang terluas jika dibandingkan dengan
kecamatan
lainnya di Kabupaten Luwu
dengan luas 467,75
Km2 atau 15,59%. Sedangkan
wilayah kecamatan dengan luas yang paling kecil adalah Kecamatan
Lamasi
dengan luas 42,2 Km2 atau 1,41 %
. Perbandingan l
uas wilayah dan
banyaknya kecamatan di Kabupaten Luwu, lebih jelasnya dapat dilihat
pada
Tabel
2
.1
dan
Grafik
2.1
berikut
.
Tabel
2
.1.
Luas Wilayah dan Banyaknya Kecamatan
Di Kabupaten Luwu
Tahun 2012
No
Kecamatan
Luas
(km
2
)
%
Banyaknya Desa/Kelurahan
Defenitif
Persiapan
Jumlah
1
Larompong
225,25
7.51
13
-
13
2
Larompomg Selatan
131
4.37
10
-
10
3
Suli
8
1,75
2.72
13
-
13
4
Suli Barat
153,5
5.12
8
-
8
5
Belopa
59,26
1.98
9
-
9
6
Kamanre
52,44
1.75
8
-
8
7
Belopa Utara
34,73
1.16
8
-
8
8
Bajo
68,52
2.28
12
-
12
9
Bajo Barat
66,3
2.21
9
-
9
10
Bassesangtempe
301
10.03
24
-
24
11
Bassesangtempe Utara
**
**
**
-
**
12
Latimojong
467,75
15.59
12
-
12
13
Bupon
182,67
6.09
10
-
10
14
Ponrang
107,09
3.57
10
-
10
15
Ponrang Selatan
99,98
3.33
13
-
13
16
Bua
204,01
6.80
15
-
15
17
Walenrang
94,6
3.15
9
-
9
18
Walenrang Timur
63,65
2.12
8
-
8
19
Lamasi
42,2
1.41
10
-
10
20
Walenrang Utara
259,77
8.66
11
-
11
21
Walenrang Barat
247,13
8.24
6
-
6
22
Lamasi Timur
57,65
1.92
9
-
9
Jumlah
3000,25
100
227
-
227
Sumber : Kabupaten Luwu Dalam Angka Tahun 2010
** Data masih bergabung dengan Kecamatan induk
(Bassesangtempe)
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
3
Grafik
2
.1.
Perbandingan Luas Wilayah Kecamatan
di Kabupaten Luwu Tahun 2012
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
4
Gambar
2
.1
Peta Administrasi Kabuapeten Luwu
2.1.2
Aspek Fisik Dasar Wilayah
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
5
A
spek fisik dasar wilayah Kab
upaten Luwu meliputi kondisi
topografi atau kemiringan lereng, aspek klimatologi atau kondisi iklim
dan
curah hujan, aspek hidrologi,
serta
aspek penggunaan lahan
.
a.
Aspek Topografi/Kemiringan Lereng
S
ebagian besar wilayah Kabupaten Luwu memiliki tingkat ke
miringan
diatas 40% dengan luas wilayah sekitar 197.690,77 Ha atau 65,89%
dari
luas
wilayah
Kabupaten Luwu, sedangkan wilayah dengan kemiringan 0
-
8%
dengan
luas 42.094,88
Ha
atau 14,03%, kemiringan 8
-
15% memiliki
luas 29.696,28
Ha
atau 9,90%, kemiringa
n 15
-
25% memiliki luas 8.245,50
Ha
atau 2,75% dan 25
-
40% memiliki luas 22.297,60
Ha
atau 7,43%. Secara
umum, Kabupaten Luwu berada pada ketinggian berkisar antara 0

2000
mdpl.
b.
Aspek klimatologi (Iklim & Curah Hujan)
Secara umum, keadaan cuaca di Kabu
paten Luwu dipengaruhi oleh dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kabupaten Luwu
memiliki keadaan iklim tipe B1, dengan suhu rata
-
rata 29°
-
31°C yang
merupakan tipe umum di daerah tropis. Sedangkan jika ditinjau dari
intensitas hujan, maka cu
rah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Juli
dengan nilai 756 mm di Belopa dan intensitas terendah terjadi pada
bulan
Oktober di Kecamatan Bua dengan intensitas 6 mm, sementara itu,
intensitas hujan tinggi yang merata tiap bulannya di Kecamatan Besse
san
g
Tempe dengan rata rata 499 mm.
L
ebih jelasnya dapat dilihat pada
Grafik
2
.2
berikut ini.
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
6
Grafik
2
.2.
Grafik Curah Hujan Tahunan di beberapa Kecamatan di
Kabupaten Luwu.
90
82
63
117
176
383
477
253
86
147
93
121
80
101
238
295
311
317
756
68
90
120
316
160
680
543
368
361
356
408
424
406
381
678
690
694
183
89
114
250
174
236
135
28
128
354
167
327
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
CURAH
HUJAN TAHUNAN DI BEBERAPA KECAMATAN KABUPATEN LUWU
mm
BULAN
Sumber: RTRW Kab. Luwu 20
09
c.
Aspek Hidrologi
Kabupaten luwu dilalui oleh
11 (seb
elas)
sungai yang cukup besar dan
panjang, diantara sungai
-
sungai tersebut yaitu sungai Lamasi yang
melintasi Kecamatan Lamasi dan Kecamatan Walenrang, sungai
Pareman
melintasi Kecamatan Bupon dan Ponrang, sungai Bajo melintasi
Kecamatan Bajo dan Kecamatan
Belopa, sungai Suli melintasi Kecamatan
Suli, sungai Larompong melintasi Kecamatan Larompong, sungai
Temboe
melintasi Kecamatan Larompong, sungai Riwang melintasi
Kecamatan
Larompong dan sungai Siwa melintasi Kecamatan Larompong
Selatan.
Dari ke
sebelas
su
ngai tersebut yang terpanjang
a
dalah sungai Pareman
dengan panjang tercatat sekitar 73 Km, sedangkan ke
sepuluh
sungai yang
lain tercatat memiliki panjang sekitar 1
2
-
69 Km. untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada
Tabel
2
.2
berikut.
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
7
Tabel
2
.2.
Nama,
Panjang dan Daerah yang Dilintasi
Sungai di
Kabupaten Luwu
No
Nama sungai
Panjang (Km)
Daerah Yang Dilalui
1
Sungai Lamasi
69
Kecamatan Walenrang Barat,
Walenrang dan Lamasi
2
Sungai Makawa
36
Kecamatan Lamasi Timur
3
Sungai Bua
13
Kecamatan Bua
4
Sungai Pareman
73
Kecamatan Bupon,
Ponrang
,
Ponrang Selatan, Kamandre
5
Sungai Bajo
44
Kecamatan
Bajo Barat,
Bajo dan
Belopa
6
Sungai Suli
30
Kecamatan
Suli Barat dan
Suli
7
Sungai Larompong
13
Kecamatan Larompong
8
Sungai Temboe
25
Kecamatan Larompong
Selatan
9
Sungai
Rantebelu
15
Kecamatan Larompong
10
Sungai Sampano
17
Kecamatan Larompong Selatan
11
Sungai Kandoa
(Balambang)
12
Kecamatan Bua
Sumber : Kabupaten Luwu Dalam Angka Tahun 201
2
d.
Aspek Geologi
Ditinjau dari kondisi geologi Kabu
paten Luwu, maka diketahui bahwa di
wilayah utara kabupaten dan di
bagian timur hingga selatan yang
berbatasan dengan Kabupaten Toraja
, Toraja Utara
dan Enrekang
memiliki formasi Batuan Terobosan (granit, granodiorit, riolit, diorit,
dan
aplit), Batuan gun
ung api Lamasi (lava andesit, basal, breksi gunung api,
batu pasir, dan batu lanau setempat mengandung felsdpatoid,
umumnya
terkloritkan dan terkersitkan, umumnya diduga Oligosen karen
a
menindih Formasi Toraja (Tets
yang berumur Eosen), Formasi Latimojong
(batu sabak, kuarsit, filit, batu pasir kuarsa mali
h, batu lanau malih dan
pualam
setempat
,
batu lempung malih).
Sedangkan di daerah dataran rendah yang berada dijalur pesisir
Kabupaten Luwu, dari Larompong, Suli, Belopa, Ponrang dan
Kecamatan
Bua serta da
erah pesisir sekitarnya, terdiri atas Batuan Gunung api
Baturape
-
Cindako (pusat erupsi), Batuan
g
unung
api Lamasi (lava
andesit, basal, breksi gunungapi, batupasir, dan batulanau, setempat
mengandung felsdpatoid, umumnya terkloritkan dan terkersitkan,:
umu
mnya diduga Oligosen karena menindih Formasi Toraja (Tets yang
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
8
berumur Eosen), Endapan aluvium dan Pantai (kerikil, pasir, lempung,
lumpur, batugamping koral).
e.
Jenis Tanah
Jenis tanah di Kabupaten Luwu bervariasi ditiap kecamatan baik yang
tersebar di
daer
ah pegunungan ataupun di
daerah pesisir. Lingkup
daerah pesisir cenderung memiliki bentuk tanah datar dengan jenis
tanah
aluvial coklat kekelabuan di Kecamatan Larompong. Kecamatan
Larompong juga terdapat daerah perbukitan dengan jenis tanah
gromusol
kela
bu dan mediteran coklat kelabuan dengan struktur bahan induk batu
gamping & serpih. Daerah sepanjang pesisir memiliki jenis tanah yang
hampir sama dari selatan Larompong hingga utara Kecamatan Bua
dari
garis pantai dan bagian daratan utama banyak endapan l
umpur dan
menjadi daerah pemanfaatan pertambakan.
Permukaan tanah yang berbukit berada diketinggian di
atas 60 meter di
Kecamatan Bajo Barat dengan jenis tanah gromusol kelabu dengan
batuan
induk batu gamping & serpih merupakan daerah pemanfaatan
perkebu
nan untuk komoditas unggulan Luwu yaitu Kakao. Kondisi yang
sama juga terdapat di Kecamatan latimojong dan Kecamatan
Besseng
Tempe yang berada diketinggian diatas 100 meter memiliki jenis
tanah
mediteran coklat kelabuan, grumusol kelabu, aluvial hidromorf
(daerah
basah), aluvial hidromorf (daerah basah), podsolik merah kekuningan.
f.
Aspek Penggunaan Lahan
Pola pemanfaatan lahan dan potensi lahan dalam suatu wilayah akan
sangat mempengaruhi pola kegiatan masyarakat. Terkhusus di
Kabupaten
Luwu yang memiliki p
ola pemanfaatan lahan yang beraneka ragam
karena terdiri dari daratan dan lautan.
Secar umum, pola penggunaan lahan di kabupaten luwu terdiri dari
hutan, permukiman, tegalan atau kebun, perkebunan, sawah, semak,
tambak, dan ladang. Untuk lebih jelasnya dap
at dilihat pada
Tabel
2
.3
berikut ini.
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
9
Tabel
2
.3. Pola Pemanfaatan Lahan
di Kabupaten Luwu Tahun 2009
No
Jenis Penggunanaan
Lahan
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
Hutan
111
.
953,5
38,03
2
Permukiman
4792,9
1,63
3
Tegalan/kebun
46
.
675,9
15,86
4
Perkebunan
75
.
810,6
25,75
5
Sawah
4
.
692,5
1,59
6
Semak
21
.
458,8
7,29
7
Tambak
22
.
944,2
7,79
8
Ladang
6
.
057,6
2,06
Sumber : RTRW Kab. Luwu Tahun 2009
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
10
Gambar 2.2 Peta Topografi
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
11
Gambar 2.3 Peta Hidrologi
(sementara di olah)
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
12
Gambar 2.4 Peta Penggu
naan Lahan
(sementara di olah)
Buku Putih Sanitasi Kabupaten Luwu
I
I
-
13
2.2
Demografi
a.
Perkembangan Jumlah Penduduk
Perkembangan jumlah penduduk di Kabupaten Luwu s
elama lima tahun
terakhir
mengalami peningkatan, dimana berdasarkan data dari Badan
Pusat St
atistik (BPS) Kabupaten Luwu diketahui bahwa rata
-
rata
pert
a
mbah
a
n penduduk dalam lima tahu
n terakhir yaitu dari tahun 2007
-
20
11
sebanyak 3.
918
jiwa per
-
tahun.
Laju pertumbuhan penduduk dari
tahun 20
07

2011 mengalami peningkatan sebesar 1,0
4
persen, den
gan
jumlah penduduk pada tahun sebelumnya sebesar
335.828
jiwa.
Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada
Tabel
2
.4
.
Secara umum, jumlah penduduk terbesar pada tahun 2011 terdapat di
Kecamatan Bua sebanyak
31,266 Jiwa sedangkan penduduk jumlah
penduduk teren
dah terdapat di Kecamatan Latimojong sebesar
5,512 Jiwa,
selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2.5
dan
Grafik 2.3.
Tabel
2
.4.
Perkembangan
Jumlah Penduduk Kabupaten Luwu Tahun
200
7

20
11
No
Tahun
Jumlah penduduk
(jiwa)
Pertambahan
(jiwa)
%
1
2007
320
205
-
-
2
2008
324229
4024
1.013
3
2009
328180
3951
1.012
4
2010
332428
4248
1.013
5
2011
335828
3400
1.010
Sumber:
Kabupaten Luwu dalam angka 2012

Anda mungkin juga menyukai