Anda di halaman 1dari 8

RESENSI

“Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial”

Makalah Ini Ditulis Guna Memenuhi

Tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan (2)

Dosen Pengampu: Asti Kurniawati, S.S, M.Hum.

Disusun Oleh:
DANIEL NAKULA PUTRA (B0417016)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
IDENTITAS BUKU

1. Profil Buku

Judul Buku : Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial

Nama Penulis : Hasanuddin dan Basri Amin

Penerbit : Ombak

Kota Terbit : Yogyakarta

Tahun Terbit : 2012

Jumlah Halaman : xvi + 268

ISBN : 978-602-75544-05-5
IKHTISAR BUKU

Buku yang berjudul Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial ini
membahas secara menyeluruh tentang masa lampau Gorontalo pada masa kolonial.
Hasanuddin dan Basri Amin, selaku penulis buku menjelaskan Gorotalo dengan
melihat dinamika yang terjadi di Gorontalo melalui berbagai aspek perkembangan
sejarah yang meliputi berbagai unsur dan dimensi. Buku ini menunjukan bagaimana
perkembangan sistem kemasyarakatan Gorontalo dengan struktur sosial, ekonomi dan
budayanya dari masa ke masa. Fokus penulis pada periode kerajaan sampai
pertengahan abad ke-20 hingga berakhirnya masa kolonial Belanda dan munculnya
nasionalisme.

Gorontalo merupakan salah satu wilayah kerajaan-kerajaan tradisional yang


pernah eksis di nusantara. Kerajaan Gorontalo berdiri melalui persekutuan 17 linua
(komunitas kecil yang didasarkan pada hubungan antar keturunan dan teritori). Pada
awalnya linua-linua beriri sendiri-sendiri yang masing-masing meiliki olongianya
sendiri-sendiri, kemudian beritegrasi ke dalam satu kerajaan di bawah kekuasaan Raja
Wadipalapa dari Linua Hulontalo. Kerajaan Gorontalo pernah berhasil membangun
suatu sistem demokrasi yang unik serta ketatanegaran baik. Kerajaan Gorontalo
meskipun dipimpin oleh seorang raja (Olongia) namun dalam memilih seorang raja
harus melalui proses pemilihan dari 17 pemimpin linula. musyawarah yang dilakukan
para bate (para tetua yang mengetahui adat istiadat). Dengan demikian otoritas seorang
raja tidak mutlak karena apabila dinilai tidak mampu memimpin kerajaan akan ldapat
diberhentikan oleh bate.

Pemerintahan kerajaan Gorontalo dijalankan oleh 3 lembaga yaitu Buatula


Bantayo, Buatula Bubato, Buatula Bala yang mana pertemuan tiga lembaga ini disebut
sebagai Buatula Totolu. Buatula Bantayo bertugas membuat peraturan dan garis besar
tujuan kerajaan. Lembaga ini dipimpin oleh para bate. Buatula Bubato bertugas
menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga Buatula Bantayo serta
membawahi kegiatan kerajaan, lembaga ini dipegang oleh olongia. Buatula Bala
bertugas mengamankan kerajaan dan secara langsung dikepalai (kapitan laut). Pada
perkembangannya, Kerajaan Gorontalo terdapat 2 raja yang buat dan disepakati
bersama dalam musyawarah karena raja pada saat itu dinilai tidak mampu menjalankan
pemerintahan semestinya, maka diangkatlah raja dari keluarga kerajaan yang bergelar
Olongia to Tilayo sebagai raja hulu yang menguasai dibagian utara Gorontalo.
Sehingga terdapat 2 raja, yaitu Olongia to Huliyaliya (sebagai raja hilir yang menguasai
bagian selatan Gorontalo) dan Olongia to Tilayo. Kemajuan pemerintahan kerajaan
Gorontalo terjadi dengan dibentuknya Bantayo Podoqide (lembaga perwakilan dan
musyawarah) yang bertugas mengawasi jalannya pemerintaha, memberhentikan dan
mengangkat raja, menetapkan peraturan adat.

Penulis juga membahas konflik yang terjadi pada era sebelum VOC datang,
konflik dengan kerajaan-kerajaan sekitar Gorontalo seperti Kerajaan Limboto, yang
megalami konflik yang panjang. Perseteruan ini dijelaskan secara rinci hingga
terjadinya persekutuan dengan Kerajaan Gorontalo. Tak hanya kerajaan Limboto saja
melainkan kerajaan disekitar Gorontalo dan Limboto juga melakukan perjanjian-
perjanjian hingga membentuk Federasi Lima Kerajaan atau Limo lo pahalaa setelah
Bone, Bolango dan Attingola masuk dalam persekutuan Gorontalo dan Limboto.
Artinya lima kerajaan yang secara bersama-sama berpedoman pada agama dan adat
istiadat yang sama serta kepentingan sosail, ekonomi, kebudayaan dan militernya.
Pekembangan agama islam juga digambarkan seca jelas dengan seorang raja yang
pertama kali memeluk Islam kemudian ditiru oleh rakyatnya sehingga ajarn Islam pun
ditambahkan dalam peraturn adat yang ada.

Era VOC, kerajaan Gorontalo dikejutkan dengan perjanjian Bongaya antara


VOC dengan Ternate dan Gowa yang mana VOC menyuruh Gorontalo tunduk pada
VOC. Padahal Ternate dan Gowa sekalipun tidak pernah menguasai Gorontalo sama
sekali. Kedatangan VOC mulai ikut campur dalam politik, ekonomi dan sosial di
Gorontalo. Bahkan raja yang tidak tunduk akan ditangkap dan diasingkan ke luar pulau
hingga meninggal. Yang pada akhirnya para pembesar Gorontalo menyepakati
perjanjian yang merugikan bagi Gorontalo. Adanya perjanjian tersebut mengukuhkan
kedaulatan VOC atas wilayah Gorontalo dan sekitarnya. Para elite pribumi
diperintahkan untuk menyerahkan upeti kepada VOC dan mengerahkan tenaga kerja
wajib untuk pembangunan kantor-kantor dagang bagi VOC. Bahkan VOC mulai
mengacaukan demokrasi yang tertata rapi dengan memberhentikan dan mengangkat
raja atas izin residen di Ternate.

Pada masa kolonial, proses penaklukan ekonomi dijalankan bersamaan dengan


penaklukan politis dengan cara melumpuhan otoritas-otoritas tradisonal agar dapat
memperkuat kedudukan Belanda di Gorontalo. Strategi yang dilakukan adalah
membagi wilayah Gorontalo daam bentuk distrik-distrik. Tujuannya yaitu membatasi
kekuasaan raja dengan diangkatnya marsaoleh sebagai kepala distrik yang dulunya
dipilih oleh keluarga kerajaan. Sebagai akibatnya, kedudukan raja mengalami
kemerosotan. Lembaga-lembaga tradisonal yang ada tetap dipertahankan untuk sebagai
penghubung rakyat dan merumuskan peraturam-peraturan pemerintahan Hindia-
Belanda.

Buku yang berjudul Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial ini
juga menjelaskan bagaimana adat perkawinan di Gorontalo, adanya perkampungan
Cina, Arab, dan Bugis yang ada di sepanjang sungai Bone, kondisi masyarakat saat
adanya kolonialisme oleh Belanda, stratifikasi sosial di Gorontalo, jaringan pelayaran
niaga, dinamika Kota Gorontalo yang mana pola kotanya terpusat pada Kantor Asisten
Residen dan Kantor Controleur. Kondisi kota yang ramai dan menjadi pusat kegiatan
yang berpola modern menjadi faktor menarik bagi kaum pendatang dan pedagang dari
luar daerah Gorontalo bahkan banyak perkampungan orang asing yang berada
disepanjang sungai Bone, mereka adalah Cina, Arab dan Bugis yang membentuk pola
pemukiman yang memanjang mengikuti sungai Bone dan mengelompok .

Perkembangan nasionalisme di Gorontalo tak lepas dari pengaruh dari Politik


Etis. Banyak pemuda bangsawan yang sekolah di Jawa lalu pulang ke Gorontalo
membawa pengaruh yang besar bagi berkembangnya paham kesatuan akan nasib yang
menderita akibat penjajahan sehingga dapat menyadarkan masyarakat pentingnya
semangat nasioal. Tak luput juga perkembangan organisasi kebangasaan pada era
Politik Etis menyumbang begitu besar lahirnya kebangkitan pendidikan dan sosial di
masyarakat Gorontalo. SI, PNI, Muhamadiyah berperan besar didalamnya. Banyak
sekolah-sekolah yang dibangun oleh Muhamadiyah untuk mengkader calon-calon
pemimoin dan guru agar terjadi kelanjutan pengurusan. Tokoh yang terkenal pada masa
ini adalah Nani Wartabone.
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN BUKU

Buku yang ditulis Hasanuddin dan Basri Amin ini memberikan informasi
mengenai dinamika Sejarah Gorontalo pada masa awal kerajaan, masa VOC, dan masa
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan
politiknya. Buku ini disajikan untuk membantu pembaca agar paham mengenai
Gorontalo ditinjau dari dinamika sejarah dari masa ke masa yang melahirkan Kota
Gorontalo yang dikenal saat ini. Berikut merupakan keunggulan dan kelemahan buku
berjudul Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial.

1. Keunggulan Buku
Buku ini begitu kompleks dalam menjelaskan alur historis yang terjadi di
Gorontalo dari awal pembentukan kerajaan hingga pada perkembangan Gorontal
sebagai Kota pada masa kolonial. Dijelaskan pula bahwa Kota Gorontalo ini pada
masa kolonial mengalami perkembangan yang pesat dan maju secara modern.
Bentuk kota terpusat pada Kantor Asisten Residen dan Kantor Controleur. Pusat
Kota Gorontalo sejajar dengan jalan utama dari selatan ke utara, kemudian
selanjutnya dikembangkan dari timur ke barat menuju telaga. Di depan rumah dinas
residen terdapat alun-alun, selatan terdapat kompleks perkantoran administrasi dan
kampung Belanda dan diantara juga kantor polisi. bahkan banyak perkampungan
orang asing yang berada disepanjang sungai Bone, mereka adalah Cina, Arab dan
Bugis yang membentuk pola pemukiman yang memanjang mengikuti sungai Bone
dan mengelompok. Jadi secara jelas terdapat peralihan perkembangan kota yang
tradisional pada masa Kerajaan Gorontalo sebelum kedatangan VOC hingga
menjadi kota yang modern pada masa kolonial.
Buku ini menggunakan data yang kompleks dan lengkap sehingga
penjelasannya dapat dipertanggugjawabkan. Penulis menggunakan sumber-sumber
tradisional lokal dan arsip-arsip dari ANRI, Balai Peestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Manado, Arsip dari Leiden Belanda, koleksi pribadi di Manado dan
Makkasar serta wawancara dengan Jusuf Halalutu, Prof. Drs. Hi. Ibrahim Polontalo
dan Drs. Burhanuddin Domili. Data-data tersebut diolah dengan baik ketika
menyusun tulisan sehingga dapat dimengerti dengan baik dan bengitu lengkap
dinamika Gorontalo secara historis. Bahkan, banyak data yang dilampirkan
dibelakang buku sehingga pembaca dapat membaca secara langsung sumber-
sumber yang dipakai.
Buku ini cocok untuk dijadikan alat pembelajaran tentang sejarah lokal karena
begitu lengkap dalam menyajikan segala informasi yang terkait tentang Gorontao
dari masa ke masa mengenai dinamika sejarah kehidupan masyarakat Gorontalo,
diantara membahas sistem kerajaannya, sistem kemasyarakatannya, agama, sistem
sosial budayanya, sistem ekonomi dan perniagaannya, dan politiknya. Bahkan
disajikan segala perubahan yang terjadi dari masa ke masa dari aspek-aspek
tersebut.

2. Kelemahan Buku
Meskipun memiliki keunggulan yang cukup banyak, buku ini tetap disertai
kekurangan Yang pertama adalah fokus kajian yang disajikan penulis yang
kompleks dan luas sehingga banyak permasalahan yang belum terjawab namun
telah ditimpa pembahasan yang lain. Jadi pembahasan suatu permasalahan kurang
dan tidak mendetail. Penulis hanya mengangkat permasalahan pada permukaannya
sama sekali tidak menjelaskan secara mendetail didalamnya. Selain itu kurangnya
penjelasan ulang beberapa bahasa daerah yang digunakan sehingga para pembaca
harus membuka lembar glosarium diawal halaman lebih dulu agar mengetahui
maksud dari penulis dan juga glosarium terlalu sedikit belum menjelaaskan semua
istilah-istilah bahasa daerah yang digunakan. Selain itu juga banyak kekurangan
dalam menjelaskan hubungan antar nama-nama gelar yang berbahasa daerah
dengan fungsinya, seperti hubungan antara 2 raja kurang disoroti dengan baik.
Banyak penjelasan yang ulang pada beberapa bab yang sama. Misalnya mengenai
upeti dan pajak yang harus serahkan pada pihak kolonial berupa emas yang
dijelaskan dalam tiga bab secara berturut-turut dengan bahasa yang sama.

Kurangnya penjelasan mengenai simbol kota modern pada masa kolonial yang
dibahas hanya simbol pada masa kerajaan yang tradisonal sebagai lambang
kekuasaan yaitu peninggalan benda-benda pusaka Kerajaan Gorontalo teridiri dari:
tombak Juwele, perisai, dua buah keris bergagang emas, sebuah payung katun
berwarna jingga.

Anda mungkin juga menyukai