Anda di halaman 1dari 38

GORONTALO DIMENSI SEJARAH

Joni Apriyanto
PENDEKATAN

Wu’udu (peraturan kebiasaan)


Adati (wu’udu yang mempunyai sanksi)
Tinepo (peraturan kesopanan)
Tombula’o (peraturan kesusilaan)
Buto’o (hukum)
PAYU LO LIPU
PAYU LO HULONTALO
Bangusa Taalalo, Bangsa dijaga,
Lipu Podulualo, Negara dibela,
Batanga Pomaya, Diri diabdikan
Upango Potombulu, Harta direlakan,
Nyawa Podungalo, Jiwa dikorbankan,
Penu de moputi tulalo, Biarlah berputih tulang,
Bo dila moputi baya, Asal jangan menanggung malu,
Momarenta Yiladia, Memerintah Negeri
To lipu botia, Di Negeri ini,
Wonu tuhata lo’iya, Jika benar perkataan
Tau hihidi-hidiya, Rakyat bermanja,
Wanu tala lolo’iya, Jika salah bertutur,
Tau hilahi-lahiya , Rakyat menjauh,
SULTAN AMAI
Pemerintahan Sultan Amai (1523-1550) merupakan
awal munculnya slogan yang mengandung karakter
agama Islam. Slogan tersebut adalah “sara’a topa-
topango to adati” atau syarak bertumpu pada adat
(Nur, 1979:220). Amailah yang merupakan Raja
Gorontalo yang pertama kali menerima tentang
risalah Islam masuk ke kerajaan Gorontalo pada
awal abad ke-16 atau tahun 1525. Pengembangan
agama Islam di Gorontalo selalu didasarkan atas
rumusan yang dikatakan penuh kearifan itu.
MATOLODULA KIKI
Matolodula Kiki sebagai sultan kedua yang
menggantikan ayahnya Amai pada tahun 1550
meneruskan konsep yang dicetuskan oleh
ayahandanya. Dalam pengembangan budaya dan
peradaban Islam beliau menyempurnakan konsep
Amai, dan menelorkan rumusan ‘adati hula-hula’a to
sara’a dan sara’a hula-hula’a to adati’ atau adat
bersendi syarak, syarak bersendi adat. Versi adat yang
diislamkan merupakan pemikiran Matolodula Kiki
tentang budaya lokal yang berpengaruh terhadap
budaya Islam atau adat yang diislamkan.
SULTAN EYATO
Konsepsi sendi-sendi keislaman berdasarkan
slogan adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-
hula’a to kuru’ani adat bersendi syarak, syarak
bersendi kitabullah termanifestasi secara tetap
dan dipakai sebagai pedoman hidup adalah
pada masa pemerintahan Sultan Eyato, yang
pada masa pemerintahannya persatuan u
duluwo limo lo Pohalaqa agama Islam resmi
menjadi agama kerajaan. Rumusan ini
mengadung dua sifat yaitu pemikiran yang
bersifat linier thinking, istiqomah, lurus, dari
adat ke syarak langsung ke kitabullah sebagai
landasan tauhid; dan versi budaya dan
peradaban Islam, langsung mengarah kepada
versi Islam yang kaffah.
Selanjutnya nilai moral pada versi adat yang di
islamkan yang berkaitan dengan komunikasi
sosial terlihat dalam tuja’i sebagai berikut.
Opiyohe lo dulelo Jika perilaku baik
Openu dila motonelo Tidak perlu membiayai
Opiyohe lo moiya Jika baik tutur kata
Openu dila doiya Tidak perlu dengan uang
Selanjutnya nilai moral pada versi adat yang
mengandung karakter.

Hale u labo-laboto Kelakuan yang terbaik


Wonu motitiwoyoto Jika merendahkan diri
Batanga molimomoto Diri menjadi sempurna
U mopio dumo’oto Yang baik akan kekal
Boli tambia lo wolipopo Dihinggapi kunang-kunang
Wonu motitiwanggango Jika berlagak sombong
U mopio motontango Yang baik akan menjauh
Boli dila tambia lo lango Lalatpun tidak kan hinggap
Ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan
gerakan kolonialis yang paling besar pengaruhnya dalam
membawa dampak politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan di negara-negara yang mengalami
penjajahan. Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi Barat
telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur politik
dan ekonomi tradisional ke arah struktur politik dan
ekonomi kolonial yang modern. Seperti di daerah-daerah
lain (terutama di Jawa), Gorontalo sebagai salah satu
wilayah aktivitas ekonomi dan pemerintahan Hindia
Belanda juga tidak dapat lepas dari mainstream tersebut.
[
Secara historis sebelum masuknya Verenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC), di daerah Gorontalo terdapat
pemerintahan yang berbentuk kerajaan yang terikat dalam
suatu ikatan pohalaa, yaitu pohalaa Gorontalo, Limboto,
Bone, Boalemo, dan Atinggola.
[
Pada tahun 1678 Gubernur Robertus Padtbrugge berhasil
mengadakan kontrak dengan salah seorang Raja Gorontalo. Dari
kontrak itu VOC mulai menanamkan hegemoninya di Gorontalo
Selanjutnya sejak VOC sebagai persekutuan dagang Hindia Belanda
dinyatakan bubar pada tahun 1800 dan semua hutang-piutangnya
diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda, maka pemerintah
Belanda secara langsung telah mengubah sistem pemerintahan, yaitu
diberlakukannya pemerintahan langsung oleh Kerajaan Belanda.
Perubahan itu ternyata berpengaruh pada pemerintahan tradisional di
Gorontalo, yaitu adanya pengambilalihan kekuasaan dari elite pribumi
oleh Belanda.
Tahun 1856 merupakan masa awal usaha pelaksanaan
sistem pemerintahan langsung oleh pemerintah Hindia
Belanda dan sampai akhirnya seluruh pemerintahan kerajaan-
kerajaan di Gorontalo dihapuskan secara resmi oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 dan secara
langsung di bawah pemerintah Hindia Belanda.[1]
Sebagaimana yang terjadi kemudian hegemoni Belanda lebih
menampakkan wujudnya dengan melakukan intervensi dan
pengambilalihan kekuasaan atas wilayah Gorontalo dari elite
tradisional melalui tekanan sepihak oleh Belanda. Akibatnya,
Belanda harus berhadapan dengan sejumlah kendala berupa
penolakan dari elite tradisional pribumi yang didukung
rakyatnya. Pada tahap inilah konflik mulai muncul dengan
pelbagai dimensi maupun dinamikanya.
[1] Staatsblad van Nederlandsch-Indië, 1889, No. 94; Besluit Gubernur Jenderal, tanggal 17 April 1889, No. 9.
Berdasarkan sejumlah sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan sejak
Belanda mulai memantapkan hegemoninya di kawasan Sulawesi Utara,
Gubernur Robertus Padtbrugge selanjutnya melanjutkan perjalanannya
melintasi Sulawesi Utara menuju Kwandang Gorontalo di tempat ini
penetapan kontrak tahun 1678 diputuskan. Para elite lokal Gorontalo dan
Limboto tidak dapat berkelit ketika Ternate telah menyerahkan hak-
haknya atas Gorontalo dan Limboto kepada VOC. Berdasarkan kontrak
tersebut maka VOC mempunyai kewenangan yang luas tidak hanya
dalam bidang perdagangan bahkan menguasai sumber perbekalan
makanan termasuk jalur suplainya. Kawasan Gorontalo menjadi penting
mengingat wilayahnya mengandung bahan-bahan makanan seperti
beras, coklat dan kelapa. Untuk beras menurut Gonggrijp, sebelum tahun
1889 Gorontalo merupakan daerah yang subur, makmur dan surplus
beras.[3]

[3] G.F.E. Gongrijp, “Gorontalo” dalam Koloniaal Tijdschrift II, tahun 1915. Bandingkan dengan A.M.P.A. Scheltema, Bagi
Hasil di Hindia Belanda (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 361.
Di samping beras, coklat, dan kelapa, kawasan wilayah
Gorontalo di bagian pegunungan juga terdapat tambang
emas, seperti di Sumalata, Marisa, Bonepantai dan Bintauna.[1]
Melihat kondisi ini maka VOC semakin memantapkan
hegemoninya dengan mendirikan factorij di Gorontalo. Melalui
kantor dagang itu akhirnya kontrak-kontrak dagang antara
pemerintah Belanda dengan Gorontalo resmi dimulai.

1] B.J. Haga, op. cit., hlm. 51. Keunggulan potensi geografis yang sangat menguntungkan karena Gorontalo berada di poros
tengah pertumbuhan ekonomi, yaitu antara dua kawasan ekonomi terpadu (kapet), Batui (Sulawesi Tengah), dan Manado-
Bitung (Sulawesi Utara). Letaknya yang strategis ini dapat dijadikan daerah transit seluruh komoditi dari kedua kapet
tersebut. Aktivitas meningkat akibat kegiatan arus barang antara kedua kapet dan daerah lain di Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, bahkan Sulawesi Selatan. Selain itu letak Gorontalo yang berhadapan langsung dengan Philipina, Malaysia, dan
Brunei Darussalam, maka ada potensi pengembangan eksport ke negara-negara tersebut terutama bagi komoditi andalan
seperti kopra, cengkih, pala, hasil laut, dan lain-lain. Disamping itu Gorontalo berada pada “mulut” lautan Pasifik yang
menghadap pada negara yang sedang tumbuh dan maju seperti Malaysia, Philipina, Brunei Darussalam, Korea, Jepang,
bahkan Amerika Latin.
Pada peralihan abad ke-18 sampai abad ke-19 terjadi
pergantian politik pemerintahan Verenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) ke pemerintahan Hindia Belanda yang
ditandai adanya kebangkrutan VOC yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Faktor itu antara lain kecurangan
pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah, sistem
monopoli dan sistem paksa yang membawa kemerosotan
moral para penguasa dan penderitaan penduduk. Keadaan
ini pada akhirnya membawa VOC diambil alih oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Sartono Kartodirdjo pada abad ke-19 peralihan pemerintahan
dari VOC ke pemerintahan Hindia Belanda dilakukan. Seiring dengan itu
intervensi di bidang politik dan pemerintahan di Gorontalo oleh Belanda
semakin tampak. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Dinas Direktur
Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 6 Pebruari 1886 nomor 943
dikemukakan bahwa raja-raja dan pembesar-pembesar kerajaan
mengakui hak Gubernemen Hindia Belanda dalam hal pemilihan dan
pengangkatan pengganti-pengganti dalam kedudukan sebagai raja,
bilamana terjadi lowongan, begitu pula bahwa tidak seorang dari pegawai-
pegawai utama negara yang memakai gelar jogugu, kapitan laut dan
wolialolipu (marsaoleh) akan dapat diberhentikan, atau diangkat tanpa
disetujui dan diterima baik oleh Gubernemen. Berkurangnya kebebasan
politik suatu pemerintah dan rakyatnya sebagai akibat intervensi
langsung.
Selain itu intervensi pemerintah Hindia Belanda juga tampak ketika
mengangkat seorang Raja Gouvernement sehingga di Gorontalo pada
saat itu terdapat dua raja yang disebut Raja Gouvernement dan Raja
Negorij.[1] Pengangkatan Raja Gouvernement merupakan salah satu
penyimpangan dari sebuah sistem birokrasi tradisional Gorontalo yang
menganut sistem secara adat. Dampak yang ditimbulkan dari persoalan
tersebut diantaranya pertama, kekuasaan raja menjadi otokratis akibat
dukungan pemerintahan Belanda kepada raja. Kedua, rakyat diwajibkan
menyerahkan emas, sehingga untuk memenuhi kewajiban itu sebagian
rakyat banyak yang melarikan diri ke dalam hutan, dan di sana terjadi
transaksi perbudakan dengan harapan dari hasil transaksi tersebut dapat
memenuhi penyerahan emas yang diwajibkan. Akibat yang lain terjadinya
pembauran antara penduduk yang satu dengan penduduk lainnya, yang
menimbulkan lemahnya kesatuan genealogis masyarakat Gorontalo yang
telah cukup lama dibangun.

[1] Inventaris Arsip Gorontalo, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta 1976, hlm. ii. Lihat pula B.J. Haga, loc.
cit. Raja Gouvernement atau juga disebut raja diatas bertugas memelihara hubungan-hubungan dengan Gubernemen,
sedangkan Raja Negorij atau raja dibawah atau juga dikenal raja negeri dalam tugasnya lebih menitik beratkan pada
urusan-urusan dalam negeri.
Secara intensif lemahnya kesatuan genealogis masyarakat
Gorontalo dipercepat sejak dikeluarkannya peraturan-
peraturan, laporan dan usulan Asisten Residen G. Scherer
yang dikenal dengan nama peraturan-peraturan Scherer.
Dalam bahagian peraturannya memuat tentang beberapa
kepentingan dusun yaitu pasal (1) dinyatakan sebagai berikut.
Penduduk harus sedapat mungkin bertempat tinggal bersama
dalam dusun-dusun yang teratur, yang terletak di pinggir jalan
besar dan tidak seorangpun diperkenankan bertempat tinggal
di hutan atau di pegunungan.
Situasi tersebut semakin diperburuk setelah adanya keinginan
pemerintah Hindia Belanda untuk menempatkan wilayah
Gorontalo di bawah pemerintahan langsung (rechtstreek
bestuur). Kontrak-kontrak yang telah disepakati bersama
antara Belanda dengan para petinggi kerajaan di Gorontalo
dibatalkan melalui Surat Keputusan Gubernemen nomor 17
tanggal 4 September 1864. Hal ini menunjukkan sebuah
pengingkaran Belanda terhadap kontrak-kontrak itu dan
kepada rakyat Gorontalo pada umumnya.
Arus diletakkannya wilayah Gorontalo di bawah
pemerintahan langsung bertambah kuat, ketika Residen
Manado maupun G.A. Scherer dan G.W.W.C. Baron Van
Hoevel mengemukakan pendapatnya bahwa, penempatan
daerah-daerah Gorontalo di bawah pemerintahan langsung
sudah tidak boleh ditangguhkan lagi, bahkan J. Heyting
selaku Inspektur Kepala Keuangan Kopi Pemerintah Hindia
Belanda dalam suratnya juga menegaskan, bahwa waktu
sudah mendesak untuk mengambil tindakan itu.
Dari sejak itu jabatan raja dan jabatan tinggi kerajaan lainnya setelah
masa jabatannya berakhir tidak ada lagi pengangkatan raja yang baru,
karena adanya maksud lain dari pemerintah Hindia Belanda yaitu untuk
mengadakan pemerintahan langsung. Akhirnya keadaan pemerintahan di
Gorontalo mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Di
tengah kondisi seperti itu kekuasaan pemerintah jatuh ke dalam tangan
marsaoleh yang dulunya di bawah perintah raja. Keadaan itu membawa
implikasi lemahnya dan bahkan nyaris hilangnya persaudaraan antar
kerajaan (pohalaa) di wilayah Gorontalo, sedangkan implikasi yang lain,
rakyat menjadi korban kesewenang-wenangan kekuasaan para
marsaoleh. Faktor tidak terbiasanya memegang kekuasaan penuh
menjadi salah satu penyebab persoalan ini. Pemungutan pajak (belasting)
yang dilakukan secara paksa oleh marsaoleh terhadap rakyat seperti
kasus yang terjadi di Batudaa pada tahun 1872 merupakan salah satu
indikator dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Persoalan di atas akhirnya terakumulasi yang bermuara terjadinya konflik
terbuka antara rakyat Batudaa di bawah pimpinan Bobihoe dengan
marsaoleh di bawah dukungan Belanda. Jatuhnya korban tidak
terhindarkan lagi yaitu, tewasnya Marsaoleh Batudaa dan beberapa orang
stafnya. Menurut informan disebutkan bahwa, penarikan pajak yang
terlalu dipaksakan kepada rakyat yang tidak dimampuinya telah menyeret
persoalan ini ke arah persoalan “harga diri” kelompok atau keluarga
tertentu. Pihak Belanda sendiri memberikan dukungan melalui pengiriman
pasukannya untuk membantu kelompok marsaoleh tidak lepas dari
kepentingan Belanda dalam hal menegakkan peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan. Dari sejak awal diangkatnya jabatan marsaoleh oleh
pemerintah kolonial Belanda tidak lain untuk menjadi “kaki tangan”
pemerintah kolonial. Dari kasus yang terjadi di Batudaa kemudian
dikorelasikan dengan peraturan-peraturan Scherer yang diberlakukan di
wilayah Gorontalo, maka patutlah dipertanyakan peranan elite lokal di
dalam hal memperjuangkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan hidup
rakyat pada periode tersebut.
Terlepas dari ketimpangan dan kepemihakan dari peraturan-peraturan yang diciptakan
oleh Scherer, maka dalam perkembangan berikutnya peraturan-peraturan tersebut
memungkinkan dipersiap- kannya pelaksanaan pemerintahan langsung. Sejak
dilaksanakannya pemerintahan langsung di Gorontalo pada tahun 1889 semua
peraturan-peraturan dan usul-usul Scherer ditetapkan dan diikuti,[1] dengan demikian
sistem pemerintahan yang berlaku di Gorontalo bukan lagi sebuah lipu yang
mempunyai kebebasan dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri akan tetapi
berubah menjadi pemerintahan afdeeling di bawah pimpinan Asisten Residen.
Intervensi pemerintah Hindia Belanda telah membawa dampak yang mendasar bagi
perubahan struktur pemerintahan tradisional di Gorontalo yang selama ini dianut.
Intervensi inipun tidak hanya dalam penentuan batas-batas suatu wilayah, tetapi juga
merembet dalam hal penentuan figur siapa yang akan menduduki formasi jabatan-
jabatan yang ada dalam struktur pemerintahan di wilayah itu. Sartono Kartodirdjo
mengatakan, bahwa pada abad ke-19 administrasi kolonial secara berangsur-angsur
diorganisasikan menurut paham Barat. Transformasi itu terdiri dari pembentukan
administrasi birokrasi, satu hirarki pegawai negeri, cara-cara pengisian jabatan yang
lebih rasional dan sebagainya. Inovasi-inovasi itu dengan sendirinya mengakibatkan
menjadi lemahnya ikatan-ikatan tradisional. Otoritas tradisional terancam oleh
masuknya birokrasi modern yang sekuler, yang berpusat pada otoritas dan tanggung
jawab bergeser kepada administrator-administrator Belanda.[2]
[1] Staatsblaad van Nederlandsch-Indië, No. 96, tahun 1889, dan No. 250. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,
Jakarta.

[2] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya: Sebuah Studi
Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia (Jakarta : Pustaka Jaya, 1994), hlm. 448.
Jabatan-jabatan yang terdapat dalam struktur
pemerintahan lipu di Gorontalo, seperti buatulo
bubato di bawah pimpinan olongia, buatulo bantayo
di bawah pimpinan bate dan buatulo bala yang
dipimpin oleh pulubala serta sebutan jabatan lainnya
selanjutnya diganti dan digeneralisasikan menjadi
sebutan distrik, onderdistrik, dan kampung.
Intervensi Belanda dalam bidang pemerintahan
dengan menghapus semua istilah-istilah
pemerintahan tradisional, bahkan beberapa linula
dipecah lagi menjadi kampung-kampung merupakan
cara-cara pemerintah Hindia Belanda untuk
memudahkan fungsi pengawasannya dan mencegah
kemungkinan terjadinya perlawanan-perlawanan
kepada pemerintah.
Pemerintah Hindia Belanda mengira
diberlakukannya sistem birokrasi modern dan
sebagainya tidak akan menimbulkan protes di
kalangan rakyat, karena hal ini merupakan
konsekuensi logis dari bahagian wilayah
kekuasaannya dan sebagai negeri koloninya. Akan
tetapi realitas yang dihadapi pemerintah Hindia
Belanda justru mendapat tanggapan dan protes,
bahkan menimbulkan rasa antipati yang semakin
dalam di kalangan rakyat dan berpuncak dalam
bentuk perlawanan.
Awal abad ke-20 perkembangan politik Belanda mengalami perubahan arah
dan mendasar. Eksploitasi terhadap Indonesia khususnya di Gorontalo
sebagai pembenaran utama atas kekuasaannya mulai berkurang dan
digantikan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan
bangsa Indonesia.[1] Perubahan kebijakan tersebut dikenal dengan politik
etis yang berdasar pada gagasan kewajiban moral dan hutang budi (een
eereschuld) pemerintah kolonial terhadap tanah jajahan. Dalam pidato Ratu
Wilhelmina pada bulan September 1901 menyatakan bermulanya zaman
baru dalam politik kolonial dengan trilogi kebijakan, edukasi, irigasi dan
emigrasi.[2] Periode ini menurut Van Deventer dan para pengikutnya adalah
inti dan kunci segala perubahan yang diinginkan. Selanjutnya bagi Van
Deventer, tidak akan ada perubahan tanpa tenaga-tenaga pribumi yang
berpendidikan cukup yang akan memikul beban itu.[3]
[1] M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (terjemahan Dharmono Hardjowidjono) (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1995), hlm. 227.

[2] Pandangan ini dikemukakan pada tahun 1899 oleh C.Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah menetap di
Indonesia selama tahun 1880-1897, dan menulis sebuah artikel yang berjudul ”Een Eereschuld” dalam majalah de Gids.
Menurutnya negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri
mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberi prioritas utama pada kepentingan rakyat Indonesia
di dalam kebijakan kolonial, lihat Amry Van Den Bosch, The Dutch East Indiës : Its Government, Politics, and Problems
(Berkeley: Berkeley University Press, 1941), hlm. 64; M.C. Ricklefs, op. cit., hlm. 228; Akira Nagazumi, Bangkitnya
Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 (Jakarta: Garafitipers, 1989), hlm. 27.

[3] Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (terjemahan Zahara Deliar Noer), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),
hlm. 54.
Seiring dengan hal itu Gorontalo juga tidak lepas dari
mainstream tersebut. Kesempatan untuk menikmati
pendidikan bagi orang-orang pribumi dalam
perkembangannya memberikan peluang kepada orang-orang
Gorontalo untuk membentuk kekuatan dan kemudian
berseberangan dengan pemerintah kolonial. Penentangan
terhadap pemerintah Hindia Belanda dilakukan dengan
menyatukan diri lewat berbagai organisasi sosial, agama, dan
politik yang didirikannya. Organisasi Sinar Budi (SB), Sarekat
Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdatussyafiyah, Partai
Indonesia (Partindo), Partai Arab Indonesia (PAI), Persatuan
Islam (Persis), Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Gabungan
Politik Indonesia (GAPI), serta beberapa organisasi
kepemudaan seperti Jong Gorontalo, Jong Islamiten Bond
(JIB), Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan lain-lain
merupakan wujud dari rasa nasionalisme rakyat Gorontalo.
Di samping munculnya organisasi-organisasi pergerakan, muncul pula
sejumlah surat kabar pribumi dan gerakan kesusasteraan Gorontalo,
seperti tanggomo. Semua itu merupakan bagian kebangunan penduduk
bumiputera di Hindia Belanda. Kaum bumiputera mencari tempat dan
bentuk-bentuk untuk menyatakan kesadaran baru, menggerakkan pikiran-
pikiran dan gagasan yang dihadapkan kepada realitas di Hindia Belanda
di tengah dunia dan zaman yang dirasakan semakin bergerak.[1]
Munculnya surat-surat kabar di Gorontalo seperti Soeara Nasional,
Tjahaja Merdeka, Sinar Merdeka, Soeara Rakjat, Kilat, Kesatoean,
Soeara Pemoeda, Lukisan Masjarakat, Kebenaran, Kita, Adil, dan Insjaf [2]
bahkan surat kabar yang diterbitkan orang-orang Tionghoa peranakan di
Makassar, misalnya Chau Sing yang peredarannya sampai ke
Gorontalo—turut memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan
pengembangan rasa nasionalisme dan juga menciptakan suatu
masyarakat yang edukatif.

1] Takashi Shiraisi, An Age in Motion, Popular Radicalism in Java (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), hlm.
88-90, 339-342. Lihat pula Abdurrachman Surjomihardjo, “Perkembangan Konsep Nasionalisme di Indonesia Masa
Pergerakan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan” makalah disampaikan dalam seminar tentang Nasionalisme
Indonesia diselenggarakan UKSW Salatiga, tanggal 2-5 Juni 1993.

[2] Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Propinsi Sulawesi (Makassar: Djawatan Penerangan R.I., 1953), hlm.
548-550.
Di samping berfungsi mensosialisasikan cita-cita dan perjuangan
pergerakan kepada rakyat,[1] pers juga menciptakan sistem komunikasi
terbuka dan oleh karenanya informasi dapat diperoleh oleh golongan
sosial manapun. Sirkulasi informasi yang terbuka mau tidak mau
mengurangi keketatan hirarki menurut usia dan kedudukan, posisi
monopolistis golongan yang berstatus tinggi, dan sebagainya.[2] Hal
serupa munculnya gerakan kesusasteraan seperti tanggomo menjadi
counter terhadap sistem kolonial yang diterapkan di tanah jajahan,
Gorontalo. Selain itu tanggomo merupakan salah satu bukti terjadinya
penyebaran gagasan atau ide-ide pembaharuan mengingat dalam
tanggomo terdapat nilai-nilai dan fungsi bagi kehidupan masyarakat.[3]

[1] F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara (Jakarta: Gramedia,
1990), hlm. 9-10.

[2] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai
Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 59-60, 252. Nasionalisme yang lahir, berkembang, dan
terwujud sebagai pergerakan nasional adalah suatu bentuk tanggapan terhadap kolonialisme.

[3] Lihat Nani Tuloli, Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo (Ringkasan Disertasi untuk memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Sastra pada Universitas Indonesia, 1990), hlm. 10-11.
Munculnya nasionalisme yang ditandai adanya organisasi
pergerakan baik yang bersifat sosial-agama, politik,
munculnya pers, dan gerakan kesusasteraan Gorontalo
(tanggomo) pada dasarnya merupakan respons terhadap
hegemoni Belanda. Faktor-faktor itu dalam
perkembangannya menjadi pukulan “dahsyat” bagi
pemerintah Hindia Belanda.
Selanjutnya sistem birokrasi kolonial yang menggantikan
sistem birokrasi tradisional ternyata menuntut diadakannya
perluasan jabatan-jabatan baru yang mampu
mengakomodasi kebutuhan untuk kepentingan pemerintah
kolonial, yang pada akhirnya mendorong terjadinya
mobilitas sosial dan munculnya elite modern.
Apabila dicermati munculnya elite modern di Gorontalo, pada umumnya
berasal dari kelompok bangsawan atau paling tidak berasal dari keluarga
terpandang dan terhormat di masyarakat. Elite modern di Gorontalo
dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertama, elite penguasa pemerintah
atau elite formal. Kedua, elite penguasa yang bukan pemerintah atau
kelompok pimpinan non formal.[1] Contoh figur yang termasuk kelompok
pertama seperti Zakaria Wartabone yang memperoleh kedudukan di
masyarakat oleh karena kekuasaan politik yang dimilikinya. Kelompok ini
tidak memerlukan massa untuk melaksanakan suatu kebijakan politik,
sebab mereka memiliki kekuasaan politik untuk melakukan tindakan yang
dipandang bermanfaat bagi masyarakat yang dipimpinnya. Lain halnya
dengan kelompok elite bukan pemerintah seperti Nani Wartabone dan R.M
Koesno Danoepojo menjadikan massa sebagai instrumen penting untuk
memperkuat kedudukannya. Hal itu penting karena kehadiran mereka di
masyarakat ditentukan oleh dukungan massa.

[1] Seperti yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dalam salah satu tulisannya berjudul The Mind and Society, membagi
masyarakat dalam dua lapisan, yaitu : (1) A Higher Stratum, The Elite, terdiri atas a Governing elite.
(2) A Lower Stratum, The Non-Elite. Lihat Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit Penentu dalam Masyarakat
Modern( terj. Zahara D. Noer), (Jakarta : Rajawali Press, 1984), hlm. 359; T.B. Bottomore, Elites and Society (England:
Pinguin Books, 1964), hlm. 9 – 14.
Dalam banyak hal kelompok elite bukan pemerintah
tidak saja memiliki pengaruh dalam bidang politik,
akan tetapi juga berpengaruh terhadap kehidupan
sosial-budaya dari anggota masyarakat yang
dipimpinnya. Dari faktor-faktor tersebut, dalam
perkembangan berikutnya kelompok elite ini berhasil
mengelolah dan memobilisasi massa dari berbagai
komponen yang ada untuk mengadakan perlawanan
terhadap pemerintah Hindia Belanda. Secara faktual
pada awal abad ke-20 kelompok elite non
pemerintah seperti Nani Wartabone, R.M. Koesno
Danoepojo bersama rekan-rekan lainnya berhasil
memanfaatkan moment-moment penting untuk
menyusun strategi dan kekuatan.
Perlawanan kolektif pada tahun 1942 yang dimotori oleh kelompok a non
governing elite yang didukung oleh rakyat, pada dasarnya di dorong oleh
faktor perkembangan situasi yang terjadi di negeri Belanda maupun situasi
di dalam negeri Hindia Belanda. Di negeri Belanda serangan Jerman pada
tanggal 10 Mei 1940 berhasil melumpuhkan pusat kota Rotterdam. Petinggi
Kerajaan Belanda tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan
negerinya dari ekspansi Jerman, akibatnya tanggal 15 Mei negeri Belanda
menyatakan takluk. Sementara di Hindia Belanda juga mendapat serangan
awal dari pihak Jepang sebagai sekutu Jerman. Keadaan itu lebih menambah
kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda, baik di Batavia maupun di
Gorontalo. Lebih-lebih ketika Jepang juga dapat menghancurkan Pearl
Harbour, apalagi susulan serangan Jepang atas wilayah Tarakan dan Manado
membuat pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo dalam keadaan situasi
yang semakin terdesak . Akibatnya langkah yang diambil oleh pemerintah
Hindia Belanda di Gorontalo adalah merealisasi politik bumi hangus pada
sejumlah obyek-obyek vital yang dilakukan pasukan vernielingscorps. Oleh
karena tindakan yang dilakukan pasukan vernielingscorps ini dinilai
merugikan rakyat, maka tentu saja mendapat reaksi keras dari kalangan
kaum nasionalis dan rakyat umum yang pada akhirnya bermuara pada aksi
perlawanan kolektif.
Pembumihangusan tujuh buah gudang kopra di
kampung Pabean, kompleks pelabuhan, rumah-
rumah rakyat, sebuah kapal motor Kololio milik salah
seorang warga bernama A. Lasahido, dan beberapa
obyek lainnya menjadi pemicu percepatan dipilihnya
perlawanan secara terbuka.
Lebih daripada faktor-faktor di atas, mencermati fenomena historis di
Gorontalo khususnya mengenai konflik antara Gorontalo dengan Hindia
Belanda yang berakhir dengan perlawanan kolektif, pada dasarnya
merupakan akumulasi dari faktor-faktor pada periode-periode sebelumnya
dan kemudian dijawab oleh kaum nasionalis bersama rakyat sebagai
pendukungnya dengan jalan reaksi total, yang ditandai adanya
penyergapan, penangkapan, dan penahanan sejumlah petinggi-petinggi
pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di Gorontalo. Akan tetapi ketika
Jepang telah berhasil menduduki wilayah Gorontalo fenomena-fenomena
itupun juga turut berubah. Perubahan itu disebabkan oleh kebijakan politik
pemerintah Jepang di Gorontalo,[1] dari sini berbagai fenomena baru
bermunculan, baik di bidang pemerintahan, ekonomi maupun di bidang
sosial-politik. Fenomena-fenomena ini menandai masuknya periode baru
setelah berakhirnya pemerintah Hindia Belanda, yakni sebuah periode
pemerintahan pendudukan militer Jepang.

[1] Awal perkenalan pertama antara Jepang dengan Gorontalo dimulai sejak adanya pengiriman utusan komite duabelas
yang diwakili oleh U.H. Buluati dan A.R. Ointu berangkat dengan K.M. Bitung Tiga menuju Langowan atau Kisaran untuk
memberitahukan kepada pihak Jepang, bahwa rakyat Gorontalo telah berhasil menangkap orang-orang Belanda.
Kesimpulan
• Berdasarkan dari hasil kajian studi ini memperlihatkan
bahwa konflik yang terjadi antara Gorontalo dengan
Hindia Belanda periode 1856-1942 pada dasarnya
merupakan akibat dari kehendak Belanda untuk
merealisasikan dominasi teritorialnya. Pihak Belanda
mencoba memaksakan sistem birokrasi, komersialisasi
ekonomi, pelapisan sosial ke arah yang lebih modern,
sementara di pihak yang lain timbul penolakan dari elite
lokal yang didukung rakyatnya atas ide-ide tersebut.
Pergeseran kebijakan politik di negeri Belanda ternyata
mempunyai pengaruh yang signifikan di Hindia-Belanda,
khususnya di Gorontalo. Secara faktual, pengaruh yang
fundamental tampak adanya pemberlakuan wilayah
Gorontalo di bawah pemerintahan langsung. Akibatnya,
sistem birokrasi tradisional diganti dengan sistem
birokrasi modern yang berlaku menurut kolonial Belanda.
• Di samping itu perubahan kebijakan politik Belanda
ternyata menjadi pukulan terhadap kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo. Hal ini tampak
munculnya nasionalisme yang ditandai adanya
organisasi pergerakan, pers, dan gerakan
kesusasteraan Gorontalo menandai babak baru
melawan hegemoni Belanda pada awal abad ke-20.
Pada periode yang sama di tengah negeri Belanda
mengalami kekalahan atas serangan Jerman dan
Jepang sebagai sekutunya juga berhasil menguasai
wilayah Manado, maka pemerintah Hindia Belanda di
Gorontalo mengadakan pembumihangusan atas
sejumlah obyek vital. Faktor itu menjadi pendorong dan
pemicu dikerahkannya kekuatan rakyat di bawah pelopor
elite lokal yang berpuncak adanya perlawanan kolektif
atas kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai