Anda di halaman 1dari 4

Nama: Avrina Dewi Nacita

NIM: D051211021
Kelas: TSA 1-C

RESUME MATERI ARSITEKTUR TRADISIONAL GORONTALO

Menurut catatan sejarah, Jazirah Semenanjung Gorontalo (Gorontalo Peninsula) terbentuk


kurang lebih 1300 tahun lalu, di mana Kerajaan Suwawa telah ditemukan berdiri pada sekitar
tahun 700 Masehi atau pada abad ke-8 Masehi. Kerajaan Suwawa tentu menjadi Kerajaan tertua
di semenanjung Gorontalo. Berdasarkan literatur masyarakat adat setempat, kerajaan Suwawa
pun telah dikenal luas oleh beberapa kerajaan di Sulawesi yang kemudian menjalin hubungan
kekerabatan maupun perdagangan dengan kerajaan tersebut.

Pemerintahan di daerah Gorontalo pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan adalah bersifat


monarki konstitusional, yang pada awal mula pembentukan kerajaan-kerajaan tersebut berakar
pada kekuasaan rakyat yang menjelmakan diri dalam kekuasaan Linula, yang sesungguhnya
menurutkan asas demokrasi. Organisasi pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian
dalam suasana kerjasama yang disebut "Buatula Totolu".

Ketiga bagian dari Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayo dikepalai oleh Bate yang bertugas
menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan. Kedua, Buatula Bubato
dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha
mensejahterakan masyarakat. Ketiga, Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala
yang bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Olongia Lo Lipu (Raja atau Sultan) adalah kepala pemerintahan tertinggi dalam kerajaan tetapi
tidak berkuasa mutlak. Seorang Raja atau Sultan dipilih oleh Bantayo Poboide dan dapat
diberhentikan oleh Bantayo Poboide. Masa jabatannya tidak ditentukan, tergantung dari penilaian
Bantayo Poboide. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan tertinggi dalam kerajaan berada pada
Bantayo Poboide sebagai penjelmaan dari kekuasaan rakyat.

Kerajaan di Gorontalo terbentuk menurut tiga tahap, yaitu daratan Gorontalo dahulunya berupa
lautan yang kemudian menjadi dataran akibat perkerutan kulit bumi. Bangsa Weda sebagai asal
nenek moyang dari orang Gorontalo tinggal di dataran gunung Boliyohuto, lalu memencar ke
timur-tenggara, barat, dan selatan dalam bentuk kelompok, terdapat 21 kelompok yang kemudian
mempersatukan diri menjadi Kerajaan Kesatuan Hulontalo. Lalu, masyarakat Gorontalo tumbuh
bersamaan dengan terjadinya daratan Gorontalo. Masyarakat asli Gorontalo berada di
Bangio/Pinogu di ketinggian 1902 m, kemudian mereka bersatu dalam satu Kerajaan Suwawa.
Terakhir, Kotamadya Gorontalo yang ada sekarang adalah bekas kerajaan Gorontalo atau
Kerajaan Hulanthalo yang berasal dari kata Gowalontalengo (orang Gowa yang melancong)
kemudian menjadi Holantalangi (yang lebih mulia), lalu menjadi Hulanthalo yang oleh orang
Belanda disebut dengan Gorontalo.
Di Gorontalo, terdapat lima sumber hukum yang di terapkan pada kehidupan masyarakat
Gorontalo, yakni Wu’udu memiliki arti sesuatu yang berkaitan dengan norma yang
berlaku/kebiasaan. Kedua, Aadari (kebiasaan yang bila dilanggar mendapatkan sanksi dari
masyarakat. Ketiga, Tinepo memiliki arti arif dan bijaksana. Keempat, Tombula’o yaitu suatu
pertimbangan dan ketulusan. Terakhir, Buto’o yang berarti hukum.

Selain itu, terdapat pula lima prinsip hidup dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, di antaranya;
pertama Wu’udu merupakan cara menyesuaikan diri dengan tata krama yang berlaku atau adat
istiadat. Kedua, Motolo Adati merupakan tata krama yang berpijak pada nilai-nilai adat. Ketiga,
Molinepo (tinepo) adalah menghargai antar sesame umat manusia sebagai pemimpin dan
penguasa. Pengayoman dan keprihatinan akan kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi
kegiatan uatama dari pemimpin dan penguasa. Keempat, Mohombulu (tombulu) yakni
penghargaan dan penghormatan dari masyarakat ke pemimpin. Kelima, Buto’o yaitu hukum
dimana tata aturan dalam memahami nilai hukum adat menjadikan masyarakt menjalin hubungan
yang baik dan saling percaya satu sama lain.

Dalam masyarakat Gorontalo, juga terdapat strata atau stratifikasi sosial dalam bermasyarakat.
Di antaranya, yaitu Mongoeyo merupakan golongan bangsawan atau golongan teratas. Kedua,
Udula’a merupakan golongan kepala kampung, termasuk golongan menengah bukan dari
golongan bangsawan dan bukan dari golongan budak/wato. Ketiga, Wali-wali merupakan
golongan pekerja termasuk pegawai-pegawai, dokter, insinyur, dan lain sebagainya dengan
berstatus udula’a dan tuango-lipu adalah Mantri tani, Mantri hewan, Mantri cacar, dan Juru tulis.
Keempat/terakhir, yaitu golongan rakyat biasa yang berhak mendapat jabatan Kepala kampung
dan jabata Syara di bawah Kadhi (Hakim), Moputi, dan Imam. Apabila mereka ahli dan berbudi
pekerti yang baik maka mereka dapat menempati jabatan yang lebih di atas.

Menurut penelitian Heryati (2014), rumah dalam bahasa Gorontalo disebut Bele. Berdasarkan
sejarah pekembangan rumah masyarakat Gorontalo mulai dari yang paling sederhana yakni
membuat hunian di pohon-pohon sampai ke perkembangan rumah yang lebih sempurna yang
dinamakan Bele Dupi. Bele Dupi inilah yang berkembang terus menyesuaikan peradaban
masyarakat gorontalo yang sampai sekarang sudah mulai punah.

Orang yang mendiami rumah pada masyarakat gorontalo pada zaman dahulu disesuaikan
berdasarkan strata sosial, dimana rumah (Bele) digolongkan menjadi: 1. Bele Yiladea, jenis
rumah yang dihuni oleh raja pada pusat-pusat kerajaan di setiap kabupaten; 2. Bele Lo ti duulu,
yakni rumah yang dihuni oleh kepala kampung, dilengkapi dengan penodopo; 3. Bele Pitu lo
palata (rumah tujuh buah atap rumbia, 1 atap panjang 3 m berarti panjang rumah 7 x 3 meter =
21 meter), dan lebar 60 cm berarti 7 x 60 berarti 4,20 m, yakni jenis rumah yang dihuni oleh orang
kaya; 4. Bele Dupi, yakni jenis rumah yang ditinggali oleh masyarakat kebanyakan.

Terdapat pula Adat dan Tata cara Masyarakat Gorontalo dalam membangun rumah (Bele), yaitu
dengan Menghubungi ta momayango atau pemuka adat untuk menentukan hari baik dan
waktunya. Lalu, Membangun rumah, dengan beberapa ritual yaitu momato’o (pemilihan titik
untuk penancapan tiang pertama dengan cara memukulkan sebilah bambu ke tanah, setelah itu
ditentukan titiknya, lalu suami isteri memegang batu dan meletakkannya ke titik tersebut,
maksudnya agar kekal abadi, lalu diambil ukuran rumah dari laki-laki sebagai kepala keluarga.
Setelah itu, Mohuyula atau membangun secara bergotong royong. Terakhir, Motitae to bele
bohu, upacara menaiki rumah baru. Malam pertama, rumah hanya dihuni oleh kaum laki-laki yang
membacakan matra, ini kemudian karena pengaruh Islam diganti dengan mengumandangkan
azan di berbagai sudut rumah, malam berikutnya baru kaum wanita diperbolehkan bermalam di
rumah.

Seiring berjalannya waktu, rumah masyarakat Gorontalo juga mengalami perkembangan


signifikan, dimulai dari Wambohe (rumah tempat bernaung yang sangat sederhana). Ada dua
jenis wambohe yanitu rumah pohon, ini merupakan tempat tinggal polahu (suku terasing) di
hutan-hutan Gorontalo. Wambohe yang kedua langsung di atas tanah, ini digunakan sebagai
rumah kebun atau rumah sawah. Wambohe tidak memiliki pembagian ruang. Selanjutnya, Bele
Huta-huta merupakan rumah yang berlantai tanah, beratap daun kelapa atau daun rumbia,
berdinding daun kelapa/nipah/rumbia atau bila bambu yang retak. Pintu menggunakan sistem
geser. Lalu, Bele Yilanthongo, berupa rumah panggung dengan ketinggian dari tanah sekitar
satu meter. Sistem sambungan menggunakan sistem ikat. Setelah itu, Bele Kanji seperti Bele
Yilanthongo, tetapi menggunakan sistem pasak. Sering juga disebut bele dupi (rumah papan)
sedangkan dari material bamboo itu bele talilo. Kemudian, Bele Puluwa, terdiri dari rumah induk
dan dapur yang dihubungkan dengan sebuah jembatan yang disebut hulude. Terakhir, Bele Pitu
lo Palata atau Bele Pitu lo Dulahu yaitu rumah besar untuk kaum bangsawan.

Menurut Heryati (2014) Secara horisontal ruang pada rumah Gorontalo terbagi 3 bagian, yakni:
surambe atau ruang depan/teras (tempat menerima tamu laki-laki), ruang tengah/bangunan
induk terdiri dari duledehu/hihibata (tempat menerima tamu perempuan), huali (kamar/tempat
istirahat), dulawonga (ruangan pada bagian belakang yang dipakai untuk melepaskan lelah,
hantaleya (teras samping kiri dan kanan rumah agak rendah dari bagian induk hanya terdapat
pada rumah raja yang berfungsi sebagai selasar dan pengawal raja. Tidak terdapat bangunan
khusus dapur untuk rumah raja oleh karena makanan dan minuman penghuni istana disediakan
dari luar yang pengadaannya diatur secara bergilir oleh anak negeri.

Menurut Daulina (2008) pada bangunan atau rumah-rumah tradisioanl Gorontalo, Tidak ada
aturan untuk orientasi rumah semua menghadap ke jalan. Hal ini dikarenakan adanya hubungan
interaksi antar komunitas dalam masyarakat kampung. Khusus untuk rumah raja pada jaman
dahulu berorientasi ke alun-alun (lapangan) atau dengan pola memusat.

Perletakan tu’adu (tangga) pada mulanya hanya satu yang diletakkan di tengah tegak lurus
bersandar pada duledehu/serambi dengan jumlah anak tangga 5 atau 7. Kemudian berkembang
menjadi 2 tangga yang terletak disamping kiri dan kanan. Perkembangan terakhir merupakan
pengaruh zaman Belanda. Jumlah anak tangga 7 untuk rumah bangsawan dan 5 untuk rakyat
biasa.

Bentuk atap bersusun 2 dengan lisplank yang dihiasi ornamen untuk rumah bangsawan, sedang
untuk golongan berada/menengah atap bersusun sebagian dihiasi dengan ornament, dan untuk
golongan rakyat biasa atapnya sebagian bersusun dan sebagian tidak bersusun. Perkembangan
terakhir perbedaan status sosial tidak lagi dapat dibedakan berdasarkan susunan atapnya.

Dimensi bangunan bervariasi tergantung dari jumlah petak/besar ruang sesuai dengan status
sosial penghuni.
Penggunaan jalamba (ornamen yang terletak pada bagian atas pintu/jendela dan ornamen yang
menghias reiling tangga dan teras) pada golongan bangsawan berbentuk silang dengan berbagai
variasi. Sementara untuk golongan rakyat biasa berbentuk silang tetapi dengan model yang lebih
sederhana. Berbagai bentuk geometris lain berkembang setelah masuknya islam dengan
berbagai variasi.

Penggunaan material (lantai, plafond, dinding, tangga) untuk golongan bangsawan seluruhnya
menggunakan kayu/papan, untuk rumah rakyat biasa/ kebanyakan, sebagian masih gabungan
antara kayu dan bambu. sedangkan mateial atap seluruhnya sudah menggunakan seng yang
pada mulanya menggunakan rumbia. Untuk material tiang baik pada golongan bangsawan
maupun rakyat biasa sebagian besar sudah mengalami perubahan yakni dari material/konstruksi
kayu menjadi konstruksi batu (susunan batu bata). Konstruksi ini berkembang sejak masuknya
pemerintahan Belanda di Gorontalo.

Pola ruang yang berbentuk segi empat pertanda empat kekuatan alam yakni air, api, angin, dan
tanah. Tidak ada aturan untuk penataan ruang kecuali pada saat awal mula pembangunan rumah
tidak diperkenankan membuat kamar lebih dari tiga. Penambahan kamar dilakukan belakangan
setelah rumah itu dihuni. Ini terkait dengan kepercayaan masyarakat gorontalo tentang tiga
tahapan keadaban manusia yakni bermula dari tidak ada, ada, dan berakhir dengan tiada (alam
rahim, alam dunia, dan alam akhirat).

Proses mendirikan rumah merupakan rangkaian kegiatan yang pada prinsipnya dapat
dikelompokkan dalam 3 tahapan: Tahap perencanaan, tahap rancang-bangun, dan terakhir tahap
penghunian. Pertama tahap perencanaan, Setiap akan mendirikan rumah maka terlebih dahulu
dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh pemuka adat terdekat (ahli rumah, untuk
membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan persiapan dan kesiapan pemilik rumah.
Utamanya dalam nenentukan hari baik dan jam yang tepat, untuk membuat pola rumah
(momayongo/sistem pengukuran).

Kedua tahap rancang-bangun. Tahap ini merupakan bagian dari proses membangun rumah.
Dalam hal penetapan lokasi termasuk dalam hal pemilihan titik yang tepat yang nantinya akan
digunakan untuk penancapan tiang pertama dilakukan upacara yang dilakukan oleh orang ahli
momayango. Penentuan titik ini dilakukan berdasarkan hitungan berdasarkan bulan di langit dan
posisi naga. Pada tahapan ini juga termasuk dalam penentuan panjang dan lebar rumah dimana
menggunakan depa (hitungan momayongo) dari kepala dan ibu rumah tangga.

Ketiga tahap penghunian, tahap dimana rumah telah selesai dan siap untuk dihuni. Pada saat
ini diadakan upacara dengan menggantungkan pisang masak satu tandan dan beberapa
perkakas rumah ditidurkan di dalam rumah itu pada malam naik rumah baru.

Halaman file penilitian: https://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/infopub/article/view/2774.


(Heryati, 2014).

Anda mungkin juga menyukai