[tutup]
Galela adalah sebuah wilayah yang terletak pesisir pantai bagian utara pulau Halmahera di
Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara, dan letaknya sangat strategis karena berada
di bibir laut Pasifik, yang memisahkan dengan pulau Morotai yang juga diapit oleh dua wilayah
yaitu Kecamatan Tobelo dan Kecamatan Loloda, dengan batas wilayahnya adalah sebagai
berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Loloda - SebelahSelatan Berbatasan
dengan kecamatan Tobelo - Sebelah Timur dengan Laut Pasifik dan pulau Morotai - Sebelah
Barat dengan Kecamatan Ibu
Daftar isi
[sembunyikan]
Nama Tobelo muncul pertama kalinya pada tahun 1606, ketika orang Moro di Samafo dan Cawa
mengungsi ke Tolo untuk menghindari serangan dari penduduk pemukiman bernama Tobelo
yang letaknya delapan mil di pedalaman. Lima puluh tahun kemudian, dua pemukiman Tobelo di
catat yaitu Tobelo-tia, dan Tobelo-tai. Keduanya terletak di pedalaman, jauh dari jangkauan
penguasa Gamkonora dan Ternate. Tahun 1686, Tobelo-tia digambarkan terletak di tepi sebuah
danau (diduga sebagai Danau Lina) di pedalaman sebelah utara distrik Kao. Pemukiman tersebut
dibagi dalam delapan wilayah dan merupakan wilayah bawahan dari penguasa Gamkonora yang
diwakili oleh seorang “hukum”. Sumber yang sama menjelaskan bahwa Tobelo-tai terletak satu
hari berlayar ke selatan dari Galela. Dalam peta yang digambar oleh Isaac de Graaf, hanya tiga
pemukiman di sepanjang jazirah utara yang dicatat : Galeta (Galela), Tomueway (di lokasi desa
Mawea sekarang ini) dan Tubella (Tobelo),terletak di Danau Lina.
Dari sini, kita kemudian bisa merekonstruksi perkembangannya. Di akhir abad ke-16, hanya ada
satu pemukiman Tobelo yang terletak delapan mil di pedalaman dari pemukiman orang Moro
yaitu Samafo dan Cawa. Ingatan tentang pemukiman tunggal orang Tobelo masih melekat dalam
ingatan orang Ternate pada abad ke-19. Tahun 1858 ada informasi dari dewan Ternate (Ternaten
Court) yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu ada tujuh negeri kecil (petty states) yang
independen di jazirah utara Halmahera yaitu Jailolo, dan Loloda masing-masing dibawah
seorang kolano, Sahu,Tobaru, Tolofuo dan Kau dibawah seorang sangaji dan Tobelo dan Galela
yang merupakan kampung-kampung yang besar yang memiliki pemerintahan sendiri dan
independen dari Gamkonora.
Pemukiman orang Tobelo terbagi menjadi dua antara tahun 1606 sampai tahun 1656. Kedua
komunitas terletak di pedalaman sampai sebelum tahun 1686, salah satunya bergerak ke tepi
pantai dan menempati tanah tidak bertuan yang dulunya merupakan pemukiman orang Moro.
Disana mereka membangun pemukiman, Tobelo-tai dan pada akhir abad ke-17 pemukiman di
pinggir pantai yaitu Mawea ditambahkan. Komunitas yang lain, Tobelo-tia tetap berada di Danau
Lina. (kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun)
Baru pada tahun 1855 nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk “kampong Tobelo” menolak
untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama bernama Laba kepada komandan kapal perang
“Vesuvius”. Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut.
Di lokasi tersebut,dikenal sebagai “Berera Ma Nguku” (‘kampung terbakar’ dalam bahasa
Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate).
Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau
Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun pemukiman baru.
Kampung ini dikenal sebagai “Berera Ma Hungi” (‘kampug baru’ dari bahasa Tobelo) dan
sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama
(kampung baru). Tapi pada saat itu, pemukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang
pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk
Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat diantaranya
dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo
(Momulati). Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan “tidak lagi
menyandang nama negeri”. Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian
dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. Campen melaporkan pada tahun 1883
bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana,Mawea,Patja,Jaro,Saboea
Lamo,Lina,Sibotto, Momulati dan Mede tapi “pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian
yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan
sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan”. Keempat negeri , yaitu
Momulati, Lina, Sibotto dan Saboea Lamo, bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast)
Tobello. Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat pemukiman Tobelo,
hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung,teluk atau
pulau) dimana mereka tinggal. Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, ini adalah bentuk
yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua pemukiman, yang
semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan kali,sungai, atau teluk dimana
mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu
Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan
kemudian menggantikan hoana tersebut). Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk O
Tobelohoka manga ngi, “wilayah Tobelo”.
Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita
mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut
perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang.
Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro
menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi penduduk yang tersisa di Halmahera
berkurang sangat drastis.
Pemukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti Tobelo, Galela dan
Tobaru di satu pihak. Pemukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak
masuk dalam dalam empat pemukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di
Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan pemukiman Tobelo,
Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan
tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk
untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.
Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan
Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan
Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. Pada tahun 1536 dilaporkan bahwa “...raja-raja Maluku
memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki
persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari
Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba
(escravos) dari raja-raja ini”. Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian
terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. Sekitar
5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam
pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan
Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533.
Portugis kemudian membangun pertahanan yang kuat di Mamuya. Hal ini kemudian memulai
gangguan bagi “tributary relationship” antara Moro dan Ternate, karena setelah itu para
penduduk Moro “menolak untuk memberikan suplai makanan” bagi Ternate.
Tahun 1536 Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan
mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah
sungai Ibu mengambil bagian aktif. Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang
Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan
menyerang dengan tiba-tiba. “mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)”.
Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala).
Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh
serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.
Sekitar dekade 1540-an, Jailolo telah menaklukkan pemukiman Moro di Tolo, sebuah
pemukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai “yang terbesar, yang paling banyak
penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro”. Pada 1549 Sultan
Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara
melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara
pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.
Para pemimpin Gamkonora (terletak di pantai barat jazirah utara Halmahera) dan Sultan Ternate
terus mengancam keberadaan negeri Moro. Pada tahun 1570, Pune di dekat Mamuya dan
pemukiman lainnya diserang dan dihancurkan oleh Sultan Babullah dari Ternate. Pada dekade-
dekade selanjutnya populasi orang Moro semakin berkurang karena serangan yang
berkelanjutan.
Pada tahun 1606, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore,sebuah armada Spanyol
mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.Dengan bantuan
Tidore, Spanyol merebut Ternate. Segera setelah pimpinan Spanyol membuang Sultan Ternate
ke Filipina, Tidore memperoleh kesempatan untuk sekali lagi menjarahi negeri Moro.Penduduk
Moro masih juga diserang dari pedalaman. Di Tolo,misalnya, penduduk Samafo dan Cawa
mengungsi untuk menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Tobelo dan Galela yang
bermukim 8 mil di pedalaman. Hal ini memaksa Spanyol untuk menempatkan pasukan untuk
melindungi “penduduk yang bersahabat dari serangan orang Tobelo dan Galela”. Mereka
kemudian ditarik kembali untuk mempertahankan Tidore dari serangan pasukan gabungan
Belanda dan Ternate. Seorang misionaris bernama Simi membujuk penduduk Tolo untuk
mengungsi ke Morotai tetapi mereka memilih berangkat ke Bicoli. Sementara berkemah di
pantai Bicoli,mereka ditangkap oleh pasukan Ternate. Tolo dimusnahkan sama sekali. Tahun
1617 dikabarkan tempat tersebut diliputi hutan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pernah
dihuni.
Ketakutan menghadapi nasib yang sama, penduduk Moro di pulau Morotai bersekutu dengan
Ternate tapi tidak ada faedahnya. Sesudah pasukan Spanyol ditarik, di bawah pimpinan Sultan
Modafar dari Ternate (berkuasa dari 1610-1627), penduduk Cawo,Sopi, Mira dan Sakita
dipindahkan ke Dodinga dan Jailolo. Di bawah pengganti Modafar, sisa 800 orang Moro
dijadikan budak di Ternate. Sebelumnya, sebagian penduduk yang dipindahkan ke Tidore
“dimana putra mahkota Tidore telah melakukan serangan besar-besaran ...dan memperoleh
banyak tawanan, laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan menjadikan mereka budak Tidore.
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit
air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar
untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa
pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou
maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu
de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan
air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa
berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan
disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran
angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar. Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya
“Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk
mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya.
Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan
anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan
panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas
kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu. Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah
dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada
kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua
Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang
namun belum juga ada berita kapan akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi
merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti,
bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika
tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya
menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu. Kabar tentang
Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong
Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa
Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang
kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari
menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah
cintanya. Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya
terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di
bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo
Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara
telaga yang mereka namakan Telaga Biru.
Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap
dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan
oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.
Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-
mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai
tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya
bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah.
Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan
hubungan.
Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan telaga Biru. Sayang
kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini
semakin diperparah dengan hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan
tanggul beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat MCK sehingga
banyak sampah plastik yang kini sangat merusak pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon
yang sengaja ditebang tidak pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk di dalam air telaga.
Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam
matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan
wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari
anak cucu kita!
J.A. Muller19 melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami
musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut “Maluku.” Tetapi, para bajak laut
tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.
Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala.
Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835,
Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus
anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala
baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.
Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya
pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif Takala maupun Dato
Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.
Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan
mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan
tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa
Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.
Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru:
gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa
Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak
laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang –
tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.
Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar
untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara
perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang
dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik,
bukan perompak Filipina Selatan.
Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan
Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak
laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan
tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela.
Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat
dalam aksi-aksi perompakan.
Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu
meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka –
terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk
menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak,
selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata
para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan
dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi
para bajak laut Tobelo dan Galela.
Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855
tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah
menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang
Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.
Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan
kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata
dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke
Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga
sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman
pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.
Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak
yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir
semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.
Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember
1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para
perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya
ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis,
termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang
sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.
Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang
ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai,
keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent”
pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.
Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:
Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Said Muhammad, seorang
keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang
beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang
ditemukannya. Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya
berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.
Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang
secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini
secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.
Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo
dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya,
karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.
Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama
Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo
dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat ijin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan
Residen. Yang tidak memiliki surat ijin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan
ditindak tegas.
Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang
melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu
Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak
terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan
Pebruari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di
Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.
Pada 1861, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi
dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan
Dodinga. Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera
dan Ternate. Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada
bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.
Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan
terhadap Sangaji Tobelo, Manis. Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut
yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan
yang sama.
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan
pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-
masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan
sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan
keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary
sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan
secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan
tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan
tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana
tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya. Bagi sebuah
pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi
kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak
tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan
keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut
bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur
Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di
antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan
dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari
perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik
antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam
ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan
bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang. Dengan perluasan
kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai
tindakan kriminal dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan
tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan
adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang
yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan
untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani
yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti
Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini
ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap
secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga
karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir
dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk
memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas
pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang
memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk
berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di
Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para
perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam
perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo
menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga
tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam
aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas
Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh
pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo
sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus
terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para
perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait
dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama
Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk
mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal. Pemberantasa bajak laut merupakan
salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di
paruh kedua abad ke-19.
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores
adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana
mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi
pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena
keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut
dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para
bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan
berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap
Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak
laut Tobelo.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan
sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo
untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak
laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke
wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke
Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan
kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan
dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para
bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut
Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada
tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai
Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur
Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005 Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di
Murdoch University tahun 2002 dengan judul “Contested Coastlines : Diaspora,Trade and
Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905”
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan
pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-
masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan
sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan
keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary
sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan
secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan
tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan
tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana
tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya. Bagi sebuah
pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi
kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak
tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan
keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut
bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur
Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di
antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan
dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari
perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik
antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam
ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan
bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang. Dengan perluasan
kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai
tindakan kriminal dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan
tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan
adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang
yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan
untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani
yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti
Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini
ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap
secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga
karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir
dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk
memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas
pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang
memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk
berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di
Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para
perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam
perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo
menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga
tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam
aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas
Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh
pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo
sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus
terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para
perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait
dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama
Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk
mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal. Pemberantasa bajak laut merupakan
salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di
paruh kedua abad ke-19.
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores
adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana
mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi
pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena
keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut
dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para
bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan
berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap
Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak
laut Tobelo.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan
sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo
untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak
laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke
wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke
Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan
kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan
dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para
bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut
Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada
tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai
Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur
Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005 Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di
Murdoch University tahun 2002 dengan judul “Contested Coastlines : Diaspora,Trade and
Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905” Terjemahan Edward Djawa
Seorang pegawai negeri di masa Hindia Belanda di Galela (sekitar tahun 1920)
[sembunyikan]
v
t
e
Diperoleh dari
"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Galela,_Halmahera_Utara&oldid=7928717"
Kategori:
Kategori tersembunyi:
Menu navigasi
Peralatan pribadi
Ruang nama
Halaman
Pembicaraan
Varian
Tampilan
Baca
Sunting sumber
Versi terdahulu
Lainnya
↑
Pencarian
Navigasi
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir
Bagikan
Facebook
Google+
Twitter
Cetak/ekspor
Buat buku
Unduh versi PDF
Versi cetak
Peralatan
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Item di Wikidata
Kutip halaman ini
Bahasa lain
English
Basa Jawa
Basa Banyumasan
Bahasa Melayu
Sunting interwiki
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Developers
Tampilan seluler