Anda di halaman 1dari 31

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Keadaan Geografis

Penelitian ini dilakukan di Kota Ternate Utara Provinsi Maluku Utara.

Kota Ternate terbagi menjadi empat kecamatan yaitu Ternate Utara, Ternate

Selatan, Ternate Tengah, dan Kecamatan Pulau Ternate dengan Ternate sebagai

ibu kotanya. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Halmahera di sebelah timur,

sedangkan di sebelah utara, selatan dan barat berbatasan dengan Laut Maluku.

Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terletak pada lintasan garis

khatulistiwa dan berada pada 124 Bujur Timur dan 3 utara sampai dengan 3

lintang Selatan. Ada sekitar 353 pulau besar dan kecil, baik yang berpenghuni

maupun belum di wilayah ini. Pulau terbesar dan paling utama adalah Halmahera,

menyusul pulau-pulau penting lainnya, seperti Obi, Sula, Morotai, Bacan,

Makian, Ternate, dan Tidore (Amal, 2009 :3).

Kota Ternate memiliki luas 206,77 km2 Ternate adalah satu dari sejumlah

kota di Kepulauan Maluku Utara, yang terletak di antara Pulau Irian di sebelah

timur, Pulau Sulawesi di sebelah barat, Lautan Teduh di sebelah utara, dan Seram

di sebelah selatan. Kepulauan Maluku Utara terdiri atas pulau-pulau di antaranya

selain Pulau Ternate juga ada Pulau Halmahera, Morotai, Tidore, Makian, Bacan,

Obi, dan pulau-pulau lainnya yang terletak di semenanjung Kepulauan Maluku

Utara. Sebaliknya pulau Ternate yang berdekatan dengan Ternate adalah Pulau

34
35

Hiri di sebelah utara serta Pulau Tidore dan pulau Maitara di sebelah selatan

(Acho, 2009: 1).

Sebagian besar masyarakat yang berada di pulau Ternate melakukan

kegiatan di Kota Ternate. Penduduk di kota Ternate mengalami perkembangan

yang pesat. Penyebabnya adalah adanya pendatang yang berasal dari luar Pulau

Ternate yang menjadikan Ternate sebagai domisili tetapnya. Penyebab lainnya

adalah angka kelahiran lebih besar dari pada angka kematian. Hal itu menjadikan

pulau yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kota Ternate ini telah menjadi

pulau terpadat penduduknya di antara kepulauan yang ada di Maluku Utara.

Kota Ternate adalah sebuah kota yang berada di bawah kaki gunung api,

yaitu Gunung Gamalama pada sebuah pulau Ternate di provinsi Maluku Utara,

Indonesia. Ternate menjadi satu kota otonom sejak 4 Agustus 2010 dan pernah

menjadi ibu kota sementara Provinsi Maluku Utara sampai Sofifi yang menjadi

ibu kotanya di Pulau Halmahera siap secara infrastruktur. Walaupun kota Ternate

ini tergolong kota kecil yang tidak terlalu luas, sebagai suatu kota mempunyai

beberapa latar belakang masyarakat yang berbeda. Perbedaan latar belakang

masyarakat tersebut telah menyebabkan muncul sosial budaya masyarakat yang

berbeda pula. Perbedaan itu menjadi ciri khas budaya kota kecil yang terkenal ini.

Perbedaan itu dapat dilihat dari latar belakang etnis penduduk yang

mendiami kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan ini. Selain penduduknya

adalah orang asli Ternate, Kota Ternate juga mempunyai beragam latar belakang

etnis, di antaranya, Bugis, Jawa, Cina, dan Arab. Beberapa etnis pada umumnya

berlatar belakang sebagai pedagang. Dari merekalah roda perekonomian di


36

Ternate berjalan dengan baik. Selain dari mereka Kota Ternate didiami juga oleh

etnis-etnis yang berasal dari satu rumpun Maluku Utara semisal etnis Tidore,

Bacan, Jailolo, Makian, dan sebagian etnis dari Kepulauan Halmahera.

Secara garis besar penggolongan penduduknya dalam terdiri atas tiga

golongan, yaitu penduduk Indonesia orang Ternate asli, penduduk Indonesia

pendatang bukan penduduk Ternate, dan golongan penduduk orang asing Asia

(Cina) (Atjo, 2009:14). Diketahui bahwa penduduk asli Kota Ternate lebih banyak

tersebar di bagian Ternate Tengah dan Utara karena masih berdekatan dengan

Istana Kesultanan Ternate yaitu tepatnya berada di Kelurahan Soa Sio Ternate

bagian Tengah. Sebaliknya Ternate Selatan lebih banyak didiami oleh penduduk

pendatang dan berbagai etnis yang berasal dari satu rumpun Maluku Utara.

Pada tiap kelurahan atau kampung yang hidup dekat Istana Kesultanan ini

terjadi perpaduan antara nilai-nilai adat dan budaya yang asli dan nilai-nilai Islam

di Kesultanan Ternate. Adapun di bagian Ternate Selatan dan sebagian penduduk

yang mendiami di bagian Ternate Tengah, nilai-nilai Islam, nilai-nilai adat dan

budaya yang asli sudah sering dikesampingkan dan lebih cenderung terdapat nilai-

nilai Islam yang murni tanpa pencampuran nilai adat dan budaya lagi dalam

kehidupan kesehariannya.

Ternate disebut sebagai sebuah kosmopolitan pada abad pertengahan.Dari

kepulauan inilah Islam awal memasuki Nusantara melalui jalur perjalanan perahu

Cina yang telah mampir ke Maluku Utara untuk perdagangan cengkih sejak abad

ke-7 Masehi (era dinasti Tang). Karena Chinese-Linkage inilah, Islam di Ternate
37

beraliran Suni dalam kehidupan sehair-hari yang akomodatif terhadap perbedaan

sosial (Dinsie & Taib, 2008:15 ).

Perbedaan sosial ini juga dapat dilihat pada acara-acara adat semisal pada

upacara pernikahan. Masyarakat yang mendiami Kota Ternate bagian Tengah dan

Ternate Selatan sudah tidak terlalu taat memakai adat istiadat yang berciri khas

kebudayaan Ternate. Berbeda dengan masyarakat Kota Ternate yang mendiami

Kota Ternate bagian Utara, pada umumnya masih sangat kental memegang nilai-

nilai tradisi sehingga pada upacara pernikahan masih dipakai adat istiadat yang

terlihat mewakili kebudayaan Ternate.

Pada saat penelitian ini dilakukan sastra lisan terutama cerita rakyat Tolire

Gam Jaha ini masih di kenal oleh masyarakat Ternate, dalam dunia pendidikan

cerita ini dimuat pada buku pelajaran muatan lokal di tiap-tiap sekolah dasar yang

ada di seluruh kota dan kecamatan di Ternate.

Lebih khusus penelitian ini dilakukan pada sebuah kelurahan yang berada

di Kota Ternate, Kecamatan Pulau Ternate, yaitu Kelurahan Takome adalah

tempat yang sangat berdekatan dengan lokasi Danau Tolire. Saat ini Kelurahan

Takome memiliki 982 jiwa penduduk (sensus 2012). Disamping itu, diketahui

bahwa di kelurahan ini terdapat penutur-penutur cerita rakyat Tolire Gam Jaha.

Bercerita tentang Kelurahan Takome tidak akan lepas dengan legenda Danau

Tolire yang konon sebagian penduduknya berasal dari Desa Tolire (sebelum

terjadinya bencana alam). Dengan demikian, cerita Tolire Gam Jaha ini dianggap

berasal dari Desa Takome.


38

Tolire adalah sebuah danau yang terletak di Kelurahan Takome Ternate

bagian Utara. Danau yang sudah ada sejak abad 18 ini, diakibatkan oleh letusan

Gunung Gamalama, letusan itu menyebabkan banyak korban. Berikut gambaran

terjadinya danau Tolire ditinjau menurut sejarah dan ilmu geologi.

Gunung Gamalama meletus yang paling dahsyat pada tahun 1775 sampai
yang tadinya penduduk di Kota Ternate berjumlah 3.000 tapi karena bencana
gunung meletus itu menyisakan penduduknya menjadi 1.000 karena 2.000 nya
menjadi korban bencana. Bangunan seperti rumah, mesjid, bahkan keraton
kesultanan (disebutkan pada zaman itu keraton masih terbuat dari kayu) yang
di Kota Ternate pada saat hancur lebur akibat gempa sekaligus Gunung
Gamalama meletus. Danau Tolire sebelum tenggelam, dikisahkan bahwa ada
pemukiman, yang dikepalai oleh seorang fanyira dengan jumlah penduduk
kira-kira 600 kepala keluarga. Permukiman ini tenggelam, dan hampir semua
penduduknya meninggal, hanya beberapa yang hidup. Kemudian penduduk
yang berhasil menyelamatkan diri dari bencana dahsyat itu pindah ke
Kelurahan Takome. Sejak itu Tolire dikenal dengan nama Tolire Gam Jaha
(kampung Tolire yang tenggelam). Sebelum kampung Tolire Tenggelam ada
sebagian penduduk yang pindah ke Kelurahan Takome. Perpindahan itu
disebabkan bukan akibat bencana melainkan akibat serbuan bangsa Spanyol
dengan bantuan masyarakat Tidore menyerbu Ternate pada tahun 1607.
Kampung Tolire diperkirakan 300 m lebarnya dan 200 m panjangnya. Tolire
pantai kira-kira 50 m dari tepi laut. Tolire yang besar cukup terjal
(Wawancara dengan Adnan Amal, sumber diambil dari apendix V Disertasi
Christian Van Frassen jilid I : halaman 388-389, Leiden 1987).
Pada 5--7 September terbentuk sebuah maar di Desa Soela Takomi, atau 1,5
m barat daya Desa Takomi (sekarang). Gorgateng (1918) menyatakan bahwa
terbentuknya lubang yang kemudian dikenal dengan Tolire Jaha (Tolire besar)
tersebut didahului dengan gempa tektonik berskala besar kemudian diikuti
dengan letusan freatik yang dahsyat pada tanggal 5 September. Letusan
berikutnya berlangsung kembali pada tanggal 7 September dan ketika
penduduk sekitarnya datang melihat apa yang terjadi ternyata Desa Soela
Takomi tidak ditemukan lagi. Yang mereka temukan adalah sebuah kawah
bergaris tengah 700 m (bagian atas) dan 350 bagian dasar sedalam antara 40--
50 m serta ke 141orang penduduknya hilang ditelan bumi. Demikian
besarnnya danau maar tersebut sehingga banyak penulis berpendapat bahwa
terbentuknya akibat amblasan tanah (land subsidence) akibat gempa
bumi.Tetapi S. Bronto dkk (1982) mengatakan bahwa terbentuknya maar
tersebut akibat letusan freatik yang dipicu oleh gempa tektonik berskala besar
dengan intrusi magma dengan air tanah di bawah Soela Takomi. Pada saat
gempa bumi terbentuk rekahan dan menyusupnya air tanah dan terjadi kontak
dengan heatfront mengakibatkan letusan freatik (Badan Geologi, 2011).
39

Keterangan di atas bisa dijadikan bukti bahwa penduduk Desa Takome

berasal dari Desa Soela Takomi, yang tenggelam, kemudian sebagian

penduduknya berpindah ke Kelurahan Takome (sekarang). Akibat gempa tektonik

dan letusan gunung berapi (Gamalama) Desa Soela Takome ini tenggelam ditelan

bumi. Kemudian tempat yang hancur ini dikenal oleh masyarakat dengan nama

danau Tolire Ici (Tolire kecil) dan Danau Tolire lamo (Tolire besar) sebagai

akibat dari gempa bumi itu, yaitu dengan nama Tolire Gam Jaha (Tolire

kampung yang tenggelam). Kedua danau ini berada di Kelurahan Takome,

Kecamatan Pulau Ternate seperti pada gambar 4.1 dan gambar 4.2.

Gambar 4.1
Danau Tolire Besar
(Dokumentasi Halida Nuria, 2013)
40

Gambar 4.2
Danau Tolire Kecil
(Dokumentasi Halida Nuria, 2013)

4.2 Sistem Religi

Masyarakat yang menetap di Kota Ternate pada umumnya adalah

mayoritas Islam. Apabila dipersentasikan, sekitar + 90%. Sisanya adalah penganut

agama lain, yaitu Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Pada

umumnya agama selain Islam adalah agama yang berasal dari pendatang-

pendatang. Misalnya dari Ambon, Minahasa, Cina dan lain-lain.

Penyebaran Islam di Kota Ternate dilakukan oleh orang-orang asing dari

Asia- Arab, Gujarat, dan Cina yang berprofesi sebagai pedagang, berikutnya

pedagang-pedagang Jawa dan Melayu yang telah memeluk Islam, merupakan

penyebar-penyebar agama Islam di Maluku pada masa awalnya. Selain itu,

pergaulan dan pembauran antara orang-orang Islam pendatang dan pribumi lokal,

diikuti dengan perkawinan, juga telah memberikan pengaruh dalam sejarah

penyebaran Islam di Maluku Utara.


41

Masalah paling kontroversial tentang Islamisasi Maluku, seperti di daerah

lainnya di seluruh Nusantara adalah kapan tepatnya agama Islam mulai masuk ke

kawasan ini. Para penulis sejarah Maluku, baik asing maupun nasional, lazimnya

merujuk sumber-sumber Portugis yang menetapkan tahun pelantikan Sultan

Zainal Abidin dari Ternate, yakni 1486 sebagai permulaan tarikh Islam di Maluku.

Dasar penggunaan tahun ini sebagai awal masuknya Islam di Maluku adalah

ketika Zainal Abidin bertakhta. Ia menggunakan gelar sulthan yang islami dan

melepaskan titel tradisional kolano yang digunakan raja-raja sebelumnya sejak

berabad-abad silam (Amal, 2009:206).

Dalam versi lain tentang penyebaran Islam, Ajho (2009:48) menyatakan

bahwa sejak abad XIV / XV agama Islam masuk ke pulau Ternate. Pada masa

Raja Gapi Baguna (1465-1486), agama Islam disiarkan berkembang pesat

sehingga menjadikan seluruh penduduk Ternate menganutnya. Agama Islam

disiarkan oleh pedagang-pedagang muslim yang datang dari Jawa, di antaranya

oleh Datuk Maulana Husin. Agama Islam dengan mudahnya diterima dan dianut

oleh penduduk setelah rajanya menganut Islam.

Pernyataan di atas merupakan bahwa masyarakat zaman dulu yang berada

di Kota Ternate dengan mudahnya menerima agama Islam dan pemimpinnya

memeluk Islam maka mereka pun mengikutinya. Hal itu membuktikan bahwa

masyarakat Ternate adalah masyarakat yang taat pada tiap titah atau perintah dari

pemimpinnya sehingga dalam persoalan keyakinan pun rela dipertaruhkan untuk

pemimpinnya. Ini merupakan salah satu faktor sehingga masyarakat Kota Ternate

menjadi mayoritas Islam sejak proses masuknya Islam di pulau ini. Agama Islam
42

berkembang hingga meliputi daerah-daerah di luar Pulau Ternate. Kemudian

Ternate menjadi pusat perkembangan agama Islam di Kepulauan Maluku sampai

saat ini. Hal tersebut dilihat pada sistem kerajaan Ternate diangkat seorang

pemuka agama tertinggi yang disebut Kadhi.

Ternate sebagai kota sekaligus menjadi pusat aktivitas perdagangan

rempah-rempah bukan hanya bagi daerah-daerah di Nusantara melainkan dunia

Internasional sehingga sistem perdagangan terbuka telah dipraktekan pada saat

itu. Untuk sekadar menggambarkan proses masuknya Islam dan kontak politik

dengan imperium Barat lainnya, Ternate merupakan saksi sejarah atas dominasi

Islam sebagai suatu ideologi masyarakat saat itu (Dinsie & Taib, 2008:52).

Respons atau masuknya Islam merupakan hal yang tidak terlalu sulit bagi

komunitas masyarakat adat Moloku Kie Raha (sebutan untuk empat kerajaan di

Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo) dalam hal penyesuaian

nilai-nilai budaya yang mengatur hubungan sosial dan produk hukum adat yang

berlaku secara turun temurun dari para leluhur untuk mengikuti doktrin dan

syariat ajaran agama Islam.

Hal ini disebabkan oleh telah berlaku produk hukum adat yang mengatur,

baik hubungan antara sesama manusia dalam hubungan relasi sosial, manusia

dengan lingkungan alam, maupun manusia dengan sang Pencipta melalui simbol-

simbol yang berbau mistik dan bersifat holistik. Namun, dalam tataran praksis

tidak terlalu berbeda dengan syariat Islam dan prinsip-prinsip semua ajaran

agama dan kepercayaan (Dinsie & Taib, 2008:51).


43

Hal lain adalah masyarakat di Kota Ternate dikenal masyarakat yang

tergolong menjalankan syariat Islam seperti pada rukun Islam, yaitu salat, puasa,

zakat, dan naik haji. Pada perayaan-perayaan hari keagamaan Islam, seperti pada

hari raya Idul Fitri, Idul Adha, hari perayaan maulid dan Isra Miraj, masyarakat

di Kota Ternate terlihat sangat antusias dalam merayakannya.

Suasana keislaman juga terlihat pada wanita-wanita yang lebih banyak

menggunakan jilbab walaupun masih dijumpai ada wanita yang tidak memakai

jilbab. Yang terjadi pada saat ini di Kota Ternate pada lembaga-lembaga formal

hampir 95% wanita muslim memakai jilbab. Di dunia pendidikan, yaitu dari

tingkat TK sampai pada perguruan tinggi, baik pendidik dan anak didik tidak

luput dari kewajiban memakai jilbab. Pada lembaga perkantoran pemerintahan

dan perkantoran swasta pun semakin banyak wanita yang menggunakan jilbab

menjadi fenomena baru di kota Ternate, bahkan pada acara-acara formal juga

didapati wanita yang berjilbab

Ada juga upacara-upacara keagamaan lainnya yang sering dijumpai dalam

kehidupan masyarakat Kota Ternate, di antaranya acara Khitan, Khatam Al-Quran

juga upacara mendoakan orang yang sudah meninggal. Prosesi dalam upacara

Khitan dan Khatam Al-Quran hampir sama dengan yang dilakukan oleh

masyarakat di Nusantara lainnya. Adapun untuk upacara mendoakan keselamatan

orang yang telah meninggal diadakan mulai malam 1, 2 , 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11,

kemudian diulang lagi pada hari ke-40, 100, dan pada saat genap menjadi setahun

hitungan hari tersebut.


44

Selain hal-hal tersebut, menurut Atjo (2009:14), kepercayaan sebagian

orang Ternate yang masih hidup ada beberapa kepercayan yang dikelompokan

menjadi dua. Pertama, percaya pada makhluk-makhluk halus yang dapat

menyebabkan orang menderita sakit. Makhluk halus itu dapat berupa hantu-hantu,

roh-roh, puntiana, caka, delike, panunggu, dan sebagainya. Dalam usaha

menjauhkan hantu-hantu atau roh-roh jahat itu, biasanya orang menghubungi

dukun untuk meminta pertolongan. Kedua, dalam mengharapkan berhasilnya

sesuatu usaha, suksesnya perlawatan dan sebagainya kerap orang mengunjungi

tempat-tempat keramat untuk menyampaikan permohonan. Tempat-tempat yang

dianggap keramat itu berupa kubur yang disebut jere. Yang dimaksud jere ialah

kubur seseorang yang dianggap seperti orang suci, yang menjadi tempat

persembahan.

Dalam kehidupan masyarakat di Kota Ternate juga dikenal ritual

keagamaan Dabus atau Badabus. Biasanya ritual itu dilakukan apabila seseorang

telah melakukan hajat tertentu sehingga ingin mempertunjukannya lewat Dabus.

Selain itu, juga untuk orang yang telah selamat dari musibah atau dari suatu

penyakit. Pelaksanaan ritual Dabus biasanya dipimpin oleh seorang guru agama

ahli kebatinan, yang biasanya disebut Joguru yang dalam pelaksanaannya Dabus

disapa Syekh. Ia dibantu oleh para muridnya/santri yang berjumlah sekitar lima

hingga sepuluh orang.

Hal lain, ada juga suatu permainan yang berciri khas keagamaan, yaitu

pertunjuk kan bambu gila. Masyarakat Ternate menyebutkan dengan istilah

baramasuwen. Bambu yang disiapkan dipegang oleh beberapa orang kemudian


45

dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Kemudian dapat dilihat kekuatan magis dari

bambu tersebut bisa bergerak sendiri dengan panduan dari seorang. Orang-orang

yang memegangnya juga harus menjaga keseimbangan tubuh dan gerakan bambu

tersebut.

Kepercayaan kepada roh-roh halus juga terdapat di Ternate. Salai Jin

adalah sebuah bentuk ritual yang dipersembahkan kepada roh-roh halus. Ritual ini

dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat dan sarana untuk meminta kesembuhan

atas penyakit yang diderita. Permintaan kesembuhan penyakit biasanya dilakukan

untuk kelompok kecil seperti satu anggota keluarga saja ataupun dilaksanakan

oleh kampung atau desa yang dilanda penyakit atau suatu musibah.

Meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat di Kota Ternate

menyebabkan kepercayaan kepada roh-roh halus, pergi ke Jere atau kuburan

orang suci lama-kelamaan semakin menepis dan berganti pada kepercayaan

kepada agama yang murni. Akan tetapi, sebagian kecil warga masyarakat masih

ada yang melakukan hal tersebut.

Agama lain seperti agama Katolik baru mulai ada di Ternate saat

penjajahan Portugis, sedangkan agama Kristen ada saat penjajahan Belanda.

Agama Hindu dan Budha didominasi oleh para pendatang dari luar Ternate.

Keempat agama tersebut presentasenya sangat kecil dan menjadi minoritas di

Kota Ternate. Akan tetapi, sejauh ini sikap toleransi yang ada juga dijunjung

tinggi oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Ternate.


46

4.3 Sistem Kemasyarakatan

4.3.1 Pemerintahan di Kesultanan Ternate

Kota Ternate sebelum terbentuk pemerintahan yang ada saat ini, dipimpin

oleh seorang raja atau sultan. Dahulu daerah Maluku dikenal dengan jazirah

kerajaan sehingga tidak mengherankan bila gaya pemerintahannya adalah monarki

yang dielaborasi dengan unsur-unsur adat dan tradisi. Takhta adalah lambang

supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan

akhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan (Amal, 2009: 9).

Dinsie & Taib (2008) dalam pengantarnya pada buku Ternate Sejarah,

Kebudayaan & Pembangunan Perdamaian Maluku Utara menguraikan sistem

kesultanan Maluku Utara memiliki dua lembaga yang mengatur sistem negara dan

pemerintahan, yaitu lembaga legislatif dan lembaga ekskutif. Lembaga Legislatif

disebut Bobato18 (Bobato Nyagimoi Se Tufkange) merupakan perwujudan dari

perwakilan rakyat yang terdiri atas kumpulan Soa (dalam istilah Sumatra adalah

Marga dan dalam istilah Ambon adalah Dati). Sebagai lembaga legislatif, Bobato

18 memiliki tugas membuat kebijakan bagi rakyatnya yang kemudian menjadi

hukum adat. Bobato berwenang menunjuk dan mengangkat kepada adat, yang

disebut Kolano atau Sultan. Lembaga Eksekutif merupakan lembaga yang

menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan pemerintahan. Dalam pemerintahan

kesultanan di Maluku Utara lembaga eksekutif dipimpin oleh Kolano yang

berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebaliknya, untuk

pelaksanaan tugas, Kolano (Sultan) dibantu oleh elemen pemerintahan yang

terdiri atas (a) Jogugu adalah Perdana Menteri (dalam isitlah Jawa disebut
47

Mangkubumi), juga menjabat sebagai kepala staf angkatan bersenjata dengan

pangkat Mayor Parang, (b) Kapita Parang : Menteri Pertahanan Keamanan, (c)

Kapita Lau : Laksamana Angkatan Laut, (d) .Hukum Soa-Sio: Menteri Dalam

Negeri, (e) Hukum Sangaji: Menteri Luar Negeri, (f) Tuli Lamo: Sekretaris

Negara (dalam bahasa Ternate disebut Juru Tulis Besar).

Adapun sebagai wakil raja yang meneruskan segala perintah-perintah raja

(Sultan) di pulau-pulau seperti Pulau Sula disebut Sulahakan, sedangkan di

Halmahera dengan sebutan Utusan. Pejabat ini bersama-sama dengan sebutan

Sangaji. Kepala-kepala kampung dan wakil-wakil kampung mengatur

pemerintahan di kampung-kampung.

Pada zaman modern ini struktur pemerintahan di kota Ternate sama halnya

dengan struktur pemerintahan yang ada di daerah di seluruh Indonesia. Dalam

pernyataan Acho (2009: 26) disebutkan bahwa pada tahun 1915 terjadi perubahan

struktur pemerintahan. Daerah kerajaan (di Pulau Ternate) dibagi dalam dua

distrik dan dikepalai oleh kepala Distrik. Selanjutnya, distrik terbagi dalam

kampung-kampung dengan kepala kampung sendiri-sendiri.

Jabatan-jabatan adat di atas kemudian ditiadakan dan diganti dengan

jabatan-jabatan yang ada seperti pada struktur pemerintahan sekarang ini. Pada

umumnya masyarakat Ternate pun tidak lagi mengenal jabatan-jabatan adat

tersebut, kecuali yang berada di dalam dan di sekitar istana kesultanan Ternate.

Masyarakat Ternate pada umumnya hanya mengenal unit-unit pemerintahan

seperti pada daerah lain yang ada di Indonesia, seperti kampung/ desa/ kelurahan,

wilayah kecamatan, kabupaten, dan provinsi.


48

4.3.2 Lapisan Sosial

Masyarakat yang tinggal di kota Ternate saat ini lebih cenderung

mengikuti lapisan sosial yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya,

yakni lapisan sosial berdasarkan sesuatu yang dengan mudahnya berpindah pada

tingkat atau strata yang dikehendaki. Tentunya perpindahan lapisan tersebut harus

sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap

masyarakat Ternate. Saat ini pelapisan sosial baru, seperti pegawai, guru,

pengusaha, dan lainnya lebih banyak berpengaruh daripada lapisan sosial yang

lama yang berdasarkan pada batas-batas tertentu. Dahulu lapisan masyarakat

Ternate terbagi berdasarkan keturunan, tetapi tidak menentukan kasta seseorang

sehingga tidak bersifat fungsional. Pembagian tersebut, di antaranya adalah

sebagai berikut :

1. Lapisan sosial yang disebut dengan kelas bangsawan pertama atau

golongan Jou, yaitu golongan istana, yang termasuk sultan/raja dan

keluarganya, sampai tiga turunan satu garis lurus langsung. Gelar terhadap

kedua golongan ini, misalnya Jou Kolano (yang mulia sultan), dengan

nama kebesaran. Kemudian gelar untuk Permaisuri Sultan adalah Jou Ma

Boki, gelar untuk anak putra sultan, yaitu Kaicil Putra dan Boki Putri

(putri sultan). Keraton kesultanan Ternate adalah tempat tinggal mereka.

Golongan Jou memakai penutup kepala berwarna putih, tetapi hanya

dipakai oleh golongan Jou Tuala Bubudo. Setelah sultan mangkat mereka

yang mendapat gelar-gelar di atas biasanya kehilangan gelar-gelar dan

menggunakan sebutan Dano yang merupakan gelar untuk keturunan raja


49

saja. Akan tetapi, golongan ini menduduki urutan kedua dalam pelapisan

sosial di kesultanan.

2. Lapisan sosial dari kelas bangsawan kedua atau disebut dengan golongan

Dano, yaitu golongan yang berasal dari keluarga atau anak cucu sultan dan

anak-anak yang dilahirkan dari putri Sultan dengan orang dari luar

lingkungan istana atau golongan masyarakat biasa. Di samping itu, juga

termasuk keturunan dari kanak-kanak dan adik kandung sang Sultan.

Penutup kepalanya pejabat kesultanan (Kapita/ Fanyira).

3. Kelas rakyat biasa atau disebut dengan bala, yaitu golongan sering

dikenal dalam masyarakat kesultanan dengan bala kusu sekano-kano

adalah masyarakat biasa yang berada di luar kedua golongan di atas.

Biasanya mereka menggunakan penutup kepala yang berbeda dengan

kelas bangsawan dengan tanda, yaitu warna kuning atau disebut dengan

tuala kuraci.

4. Kelas budak lapisan sosial ini diketahui pernah ada di daerah Ternate,

tetapi sudah sejak lama tidak ada. Oleh karena itu, kadang masyarakat

Ternate pun tidak mengetahui bahwa ada golongan ini sebelumnya.

Pada sistem pelapisan sosial dalam lingkungan istana kesultanan di

Ternate ada hal yang menarik karena tidak menutup kemungkinan rakyat biasa

dapat ikut serta dalam jabatan-jabatan tinggi misalnya, kepala adat dan jabatan-

jabatan yang bisa dijabat tanpa harus melihat garis keturunan bangsawannya atau

keturunan sultan. Akan tetapi, dalam hal penentuan jabatan biasanya berdasarkan

keturunan dari orang yang sudah menjabat jabatan tersebut. Misalnya, jabatan
50

perdana menteri harus diganti dengan anak perdana menteri ataupun garis

keturunan yang kuat dari perdana menteri tersebut. Walaupun perdana menteri itu

tidak berasal dari golongan sultan ataupun bangsawan yang disebutkan di atas.

4.3.3 Gotong Royong

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, tetapi

memerlukan orang lain dalam berbagai hal, seperti bergaul, bekerja, tolong

menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain. Seperti halnya yang dikemukakan

oleh Kayam (1987: 27) bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat,

agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, pada waktu

pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan,

efisien, dan efektif daripada hidup soliter, sendirian. Pada waktu itu pula manusia

belajar untuk bertenggang rasa dan bersikap toleran terhadap yang lain. Pada

waktu mengetahui bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya dibutuhkan

kerja sama dengan orang yang kemudian mengikat diri dalam suatu masyarakat,

manusia juga belajar memahami suatu pola kerja sama yang terdapat dalam

hubungan masyarakat tersebut.

Pada masyarakat Ternate juga dikenal hidup bermasyarakat dan

mempunyai sikap toleransi yang tinggi dengan orang lain yang ada di sekitarnya.

Masyarakat Ternate mempunyai pola kerja sama yang terjalin untuk membina

suatu hubungan yang baik. Bentuk-bentuk kerja sama tersebut yang lazim disebut

dengan gotong royong.

Bentuk-bentuk gotong royong atau kerja bantu-membantu yang dikenal

pada masyarakat Ternate adalah (a) bari adalah suatu bentuk gotong royong
51

dalam membangun rumah, (b) morong adalah suatu bentuk gotong royong untuk

menyelesaikan pekerjaan dalam bidang pertanian, (c) oro-oro gia yakni gotong

royong dalam hal membuka tanah-tanah baru secara bergilir antara beberapa

orang anggota masyarakat yang telah bersepakat terlebih dahulu, (d) lilian adalah

suatu kerja gotong royong dalam hal membantu perhelatan dalam menyambut

sebuah upacara perkawinan, khitanan, selamatan untuk orang yang naik haji,

ataupun pada acara-acara lainnya, (e) rorio adalah suatu kerja tolong menolong

untuk masyarakat dalam wujud yang diberikan kepada orang yang membuat suatu

hajatan, dan istilah ini pada umumnya digunakan untuk acara pernikahan dan

biasanya dilakukan malam sebelum acara akad nikah dalam pernikahan.

Kerja sama yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat di

daerah Ternate yang telah disebutkan di atas adalah sebagai bentuk gotong

royong, yang menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan

beban setiap pekerjaan. Adanya kerja sama semacam ini merupakan suatu bukti

adanya keselarasan hidup antarsesama bagi masyarakat yang tinggal di Ternate,

terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang

biasanya dilakukan oleh masyarakat di Ternate.

4.4 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Ternate berdasarkan hubungan patrilineal, yang

diikuti dengan pola menetap patrilokal, yaitu adat yang menetapkan istri harus

tinggal di tempat suami setelah kawin. Kesatuan kekerabatan terkecil adalah

keluarga batih, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Anak-

anak yang sudah menikah/kawin membentuk lagi keluarga batih. Dalam sebuah
52

rumah tangga terkadang terdapat juga dua keluarga batih, tetapi pada umumnya

dalam satu rumah tangga terdapat satu keluarga batih yang membentuk satu

rumah tangga (Atjo, 2009: 31).

Sama halnya dengan masyarakat lainnya, di Kota Ternate terdapat

keluarga batih, yaitu memiliki keluarga inti yang terdiri atas suami, istri, dan

anak-anak. Selain itu, juga ada keluarga besar terdiri atas beberapa keluarga inti.

Keluarga besar memiliki keterkaitan dengan kelompok kekerabatan. Kelompok

kekerabatan itu sendiri merupakan seperangkat hubungan berdasarkan keturunan

dan perkawinan. Kemudian untuk sistem kekerabatan lebih berdasarkan hubungan

patrilineal yang mengikuti garis keturunan ayah. Sistem kekerabatan ini

memengaruhi keluarga besar yang terbentuk.

Selanjutnya, Atjo juga menambahkan bahwa kelompok kekerabatan yang

lebih besar adalah soa (clan), yaitu kelompok kekerabatan yang menghitung

kerabat-kerabatnya secara patrineal melalui keturunan orang laki-laki. Soa bersifat

eksogam, artinya seorang laki-laki mencari calon istrinya di luar soa nya. Pada

masa sekarang ini mencari jodoh tidak terikat lagi pada adat ini. Soa biasanya

bersifat genealogis. Tiap-tiap Soa disebut dengan nama soa nya, misalnya Soa

Limatahu, Soa Tomagala, dan seterusnya (Atjo, 2009: 31).

Soa dalam masyarakat Maluku Utara adalah sebutan marga. Biasanya

berbagai jenis marga yang ada mewakili darimana asal orang tersebut. Fungsi

marga pada masyarakat Maluku Utara adalah sebagai identitas di dalam

masyarakat, mengenai seluruh jenis hubungan antar pribadi, pribadi dengan


53

golongan, golongan dengan golongan, dan lain-lain. Misalnya, dalam adat

pergaulan sehari-hari, adat, hukum, milik, pemerintahan, dan sebagainya.

Sistem kekerabatan juga tidak lepas dengan pernikahan yang ada dalam

daerah tersebut. Begitu halnya dengan pernikahan yang ada di Maluku Utara

khususnya di Kota Ternate. Ada beberapa jenis pernikahan yang dikenal yang

dijelaskan sebagai berikut.

1. Kawin minta, atau dalam bahasa Ternate disebut dengan Kai Lahi.

Pernikahan jenis ini adalah pernikahan yang terhormat atau termasuk

sangat ideal. Biasanya pernikahan ini diawali dengan masa percintaan laki-

laki dan perempuan. Kemudian laki-laki yang berniat menikahi perempuan

mengajak kerabatnya untuk melamar pada kerabat perempuan. Biasanya

pernikahan jenis ini dilaksanakan secara besar-besaran. Prosesi adat pun

biasanya dilakukan secara lengkap setelah upacara pernikahan dilakukan

secara rukun Islam.

2. Kawin lari, dalam bahasa Ternate disebut dengan Kai Masibiri.

Pernikahan ini dilakukan apabila kerabat atau orang tua tidak menyetujui

sehingga biasanya pasangan yang ingin menikah mengambil jalan pintas

ke rumah hakim untuk minta dinikahikan secara rukun Islam. Biasanya

juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang lain.

3. Dijodohkan atau menikah dengan yang sederajat atau dalam bahasa

Ternate disebutkan dengan Kufu. Biasanya terjadi pada kerabat dekat

ataupun jauh yang dianggap sederajat dengan golongan keluarganya yang

ingin menikahkan kedua anak mereka. Sebelum pernikahan ini terjadi


54

biasanya juga dilakukan kesepakatan dari kedua belah pihak. Akan tetapi,

dari anak yang ingin dinikahkan tidak menyetujui dan melakukan Kawin

Lari atau Ma Sibiri dengan pasangan yang dipilih olehnya sendiri dan

tidak memilih yang telah dipilihkan oleh orang tuanya.

4. Kawin tangkap atau disebut dalam bahasa Ternate dengan Sicoho.

Pernikahan jenis ini dilakukan apabila telah terjadi norma asusila yang

dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang perempuan. Biasanya tertangkap

basah, kemudian diminta agar pihak laki-laki meminta maaf kepada

kerabat perempuan dan diminta untuk segera menikahi perempuan

tersebut.

5. Kawin tutup malu, atau disebut dalam bahas Ternate dengan Kai Taku

Mahe. Pernikahan jenis ini dilakukan jika ada perempuan yang hamil di

luar pernikahan kemudian seseorang laki-laki lain atau kerabat diminta

untuk menikahi perempuan tersebut untuk menutup malu akibat perbuatan

yang dilakukan.

6. Kawin sembah atau dalam bahasa Ternate disebut dengan Kai Suba.

Pernikahan jenis ini sudah sejak lama tidak ada lagi di daerah Maluku

Utara khususnya juga di Ternate. Alasannya karena pernikahan ini

menjatuhkan derajat kaum laki-laki apabila lamaran yang dilakukan

sampai tiga kali tidak direstui oleh pihak perempuan.

7. Kawin ganti tiang atau disebut dalalm bahasa Ternate dengan Ngali

Ngasu. Yang dimaksudkan dengan ganti tiang adalah turun ranjang atau

menikahi ipar sendiri karena ditinggal mati oleh suaminya. Hal itu
55

bertujuan agar kelangsungan hidup keluarga si ipar tidak jatuh ke tangan

orang lain.

Jenis-jenis pernikahan yang disebutkan, yang masih sangat sering terjadi

adalah kawin minta (Kai Lahi) dan kawin lari (Kai Masibiri). Kawin minta (Kai

Lahi) di kalangan masyarakat Ternate adalah jenis pernikahan yang sangat

terhormat, sedangkan kawin lari (Kai Masibiri ) walaupun merasa tidak terhormat

orang yang menempuh jenis pernikahan ini, masih saja banyak terjadi di kalangan

masyarakat Ternate. Kemudian, untuk poin tiga sampai dengan poin 7 sudah

sangat jarang terjadi.

4.5 Mata Pencaharian

Pada saat ini orang Ternate umumnya telah mencapai pendidikan dari

jenjang perguruan tinggi, baik strata satu maupun strata dua. Sehubungan dengan

itu, mereka rata-rata bekerja sebagai pegawai negeri sipil, dengan berbagai ragam

profesi. Ada yang menjadi guru, bidan atau perawat, polisi dan tentara, dan

berbagai latar kedinasan lain yang ada di Provinsi Maluku Utara. Adapun

beberapa d iantaranya sebagai wirausahawan. Selain itu, untuk masyarakat

Ternate yang tidak mengenyam pendidikan tinggi berprofesi sebagai sopir

angkutan, ojek, petani, kuli bangunan, buruh, dan sebagainya.

Kota Ternate adalah kota yang sebagian besar wilayahnya berupa laut jika

dilihat secara geografis sehingga aktifitasnya, baik secara ekonomi, sosial,

maupun lainnya selalu berinterkasi dengan laut. Masyarakat yang tinggal di

pesisir Kota Ternate terutama pada kecamatan-kecamatannya sebagian besar


56

bergantung pada sektor perikanan, baik sebagai nelayan, penjual atau pedagang

ikan, pengolah ikan, maupun pembudi daya ikan.

Perairan Pulau Ternate dan sekitarnya memiliki berjenis-jenis ikan, seperti

bubara, kira, tude, nguaro (julung), ow (kombong) dan lain-lain mendatangkan

penghasilan bagi penduduk. Jenis- jenis perahu penangkapan ikan yang dikenal

adalah perahu-perahu sema-sema, perahu fonai, dan perahu lepa-lepa. Perahu

sema-sema terbuat dari batang kayu dan diberikan cadik. Perahu fonai terbuat dari

papan kayu keras dengan ukuran panjang rata-rata 7--8 m, sedangkan perahu lepa-

lepa terbuat dari batang kayu tanpa cadik. Penduduk menangkap ikan dengan

berbagai cara, antara lain dengan menggunakan kail, lai-lai, pukat, jubi-jubi, igi

(bubu), dan meracun (bori bobatu) ( Atjo, 2009: 23).

Selain sebagai nelayan, kota Ternate juga dikenal memiliki lahan yang

subur sehingga mata pencaharian sebagian penduduk juga tergantung pada sektor

pertanian, yaitu pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Tanaman pangan

yang menjadi favorit masyarakat Ternate adalah pohon sagu. Hasil pohon sagu

tersebut kemudian diolah menjadi tepung kemudian tepung tersebut diolah lagi

menjadi makanan yang dikenal dengan nama popeda, jenis makanan yang seperti

bubur dan lebih mirip dengan lem. Selain itu, tepung sagu dibakar kemudian

hasilnya seperti roti. Biasanya masyarakat Ternate menyebut sagu lempeng. Hal

lainnya tepung sagu dijadikan bahan dasar kue-kue tradisional Ternate seperti

sinole dan bagea.

Hasil perkebunan masyarakat Ternate adalah buah-buahan, seperti durian,

pisang, salak, nanas, mangga, kelapa, dan tanaman kayu manis. Kemudian, yang
57

paling tersohor dari zaman penjajahan adalah tanaman cengkih, yang menjadi

sumber perdagangan utama masyarakat Eropa zaman dahulu. Saat ini tanaman

cengkih masih juga menjadi penghasilan utama masyarakat Ternate yang

memiliki lahan tanah subur yang ditanami pohon cengkih.

Atjo (2009:20--21) menyebutkan bahwa perkebunan masyarakat Kota

Ternate yang menonjol adalah tanaman cengkih dan kelapa yang menghasilkan

produksi yang cukup tinggi harganya. Kedua jenis tanaman perdagangan ini

tumbuh subur di Pulau Ternate. Tanah di sini memiliki sedimen-sedimen vulkanis

yang tidak mudah hilang sehingga kesuburan tanahnya dapat bertahan lama.

Adapun yang disebut cengkih ialah kuntum bunga yang telah kering. Kuntum

bunga itu dipetik sebelum menjadi polong (buah). Setelah dikumpulkan lalu

dijemur sehingga menjadi kering dan berwarna sawo. Orang Ternate menyebut

cengkih dengan buwalawa atau gaumedi.

Dahulu orang Ternate rata-rata berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Untuk profesi petani saat ini semakin sedikit antara lain disebabkan oleh

kurangnya lahan yang digarap juga ada peluang-peluang dalam berwirausaha

lebih tersedia. Adanya perkembangan di kawasan Kota Ternate, menimbulkan

munculnya hotel dan perusahaan swasta lainnya sehingga sebagian masyarakat di

Kota Ternate bekerja di sektor-sektor swasta. Selain itu, adanya perusahaan-

perusahaan pertambangan yang tersebar di kawasan Halmahera, seperti tambang

emas dan nikel, sehingga pilihan sebagai karyawan dalam perusahaan

pertambangan pun dilakoni oleh masyarakat di Kota Ternate. Walaupun pada saat
58

bekerja ada kalanya untuk sementara masyarakat Ternate bermukim di daerah

Halmahera dan akan kembali ke Ternate setelah mendapat cuti libur kerja.

4.6. Sastra Lisan di Ternate

Fungsi sastra lisan pada masyarakat Ternate sangat berarti dalam

kehidupan sehari-hari. Sastra lisan yang ada di Ternate merupakan karya sastra

yang dapat ditemukan dalam masyarakatnya yang beredar di masyarakat atau

diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk lisan. Adapun jenis sastra lisan

yang ada di Kota Ternate adalah puisi dan prosa. Beberapa macam sastra lisan

dalam bentuk puisi adalah tamsil, dola bololo, dalil moro, dalil tifa, cum-cum, dan

rorasa, sedangkan kemudian dalam bentuk prosa, seperti mite, legenda, dan fabel.

Sastra lisan di Kota Ternate yang berbentuk puisi adalah sebagai berikut:

Tamsil adalah kisah berbentuk prosa lirik yang mengandung nasihat/fatwa

atau peringatan kepada manusia sebagai hamba-hamba Allah untuk senantiasa

menjalankan perintah-perintah-Nya. Tamsil biasanya dibacakan/ diperdengarkan

pada hari-hari berkabung selama beberapa hari di rumah duka. Tamsil dapat

menggugah perasaan orang yang mendengarnya untuk selalu ingat kepada

perintah Ilahi dan wajib dijalankannya. Di dalam tamsil terdapat banyak ibarat

atau perumpamaan-perumpamaan. Pengertian tamsil juga berarti suatu kisah/

cerita tentang suatu peristiwa/kejadian, misalnya tamsil berdirinya Keraton

Ternate dan sebagainya (Atjo, 2009:45). Contoh tamsil adalah sebagai berikut.

Uto joro kaha domato, marau jang jaga lawara, serta mabunga tego
masofo malo (menanam tanaman di tanah yang berbatu-batu, daunnya
bagus, cabangnya banyak, serta bunga duduk/mekar hasilnya tidak ada).
Ditinjau dari pengertian umum adalah menggambarkan jerih payah tanpa
hasil (pahala) dan yang diperoleh hanyalah kelalahan belaka.
59

Dalil Moro adalah sajak-sajak yang dalam bentuk nasehat yang dilagukan

secara berkelompok atau terdiri atas beberapa orang. Biasanya berisikan tentang

nasihat kepada orang untuk bisa menempatkan dirinya dalam kehidupan

bermasyarakat yang penuh dengan norma agama dan adat, yang patut

dilaksanakan dengan baik agar tidak tergiring dalam situasi yang tidak diinginkan.

Sebagai salah satu contoh syair dari dalil moro adalah seperti di bawah ini.

ino fo ma oki mayang, mayang ma oki, ma oki mayang, non toma titi ino
giki ua ngone bati, maku gasa jira afa (mari bersama seperti tangkai
mayang, mayangnya bertangkai, tangkainya bermayang, berasal dari satu
pangkal, bukan orang lain, melainkan kita juga, jangan saling berbuat
jahat). Maknanya bahwa sekalipun berbeda-beda, tetap satu jua atau jika
menggunakan semboyan populer Bhineka Tunggal Ika (Atjo, 2009:46).

Dola bololo adalah puisi yang berbentuk dua bait yang berisikan pendapat,

perasaan, ataupun sindiran. Biasanya dilakukan oleh dua orang jika bertemu atau

berbicara. Kemudian dalam berdialog sering diselipkan bahasa-bahasa dari Dola

bololo agar orang yang diajak berbicara merasa nyaman dengan kehalusan bahasa

yang terkandung dalam Dola bololo tersebut. Misalnya dalam ungkapan bahasa

penghormatan yang bertujuan untuk membina keakraban antara sesama.

Dara tolefo mampila, Soro gudu to nonako, Gudu moju si to suba, Ri jou
si to nonako (Burung merpati kuberi tanda, Terbang jauh aku kenali,
Masih jauh sudah ku beri hormat, Tuanku maka kukenali).

Dalil Tifa, adalah sajak-sajak yang berisi nasehat-nasehat agama kemudian

dilagukan dengan iringan alat musik tradisional yaitu Tifa (beduk yang biasa

ditabuh saat memasuki waktu salat). Biasanya dilagukan oleh para orang tua jika

saling bertemu. Sajak-sajak ini merupakan nasihat nenek moyang yang dijadikan

contoh dan wajib ditaati karena dalamnya berisi tentang perintah agama ataupun

tentang kehidupan dalam bermasyarakat.


60

ino fomakati nyinga, doka gosora se buwalawa, om doro fomamore,


fomagoguru fomadodara (mari kita bertimbang rasa, seperti pala dan
cengkih, masak bersama-sama, gugur bersama-sama, saling mencintai dan
menyayangi).

Cum-cum adalah sejenis sajak yang berisi tebak-tebakan yang biasa

dimainkan pada saat suasana berkabung atau upacara kematian. Jenis sastra lisan

ini dimainkan oleh dua kelompok. Dalam permainan ini ada beberapa ketentuan

yang harus dipatuhi para pemain. Biasanya ketentuan tersebut adalah jika yang

kalah dalam permainan tebak-tebakan ini, dihukum dengan mengerjakan

pekerjaan yang berhubungan dengan upacara kematian tersebut. Semisal

menyiapkan makanan adat untuk keperluan upacara dan hukuman lainnya yang

diinginkan oleh kelompok pemenang tebak-tebakan ini. Contoh Cum-cum adalah

sebagai berikut:

Sidolo-dolo afa sidolo dian die, Naha nita si fohida maha yala mai laha,
Manyira jang majojo jang tego kokonora, kapagu ijo ngone ngamdi nga
ronga jaro masinoto, Bela-bela wari, wari Abdul Majid bole nage adi
(Diketuk-ketuk jangan, ketuk mereka punya, Nanti besok kita lihat,
nantikan baik juga, Yang kakak cantik yang adik, cantik terletak ditengah,
dipanggung hijau kita berhadapan nama terpancung dua pemisah, Kilat
menyambar, meyambar Abdul Majid, atau siapa lagi?).

Rorasa adalah kata pengantar atau prakata yang biasanya diungkapkan

oleh ketua adat atau pemuka agama dalam suatu kegiatan seremonial. Rorasa

berisi nasihat atau petunjuk ataupun sebuah ungkapan perasaan dari orang yang

melaksanakan hajatan atau seremonial tersebut. Rorasa bisa ditemukan pada saat

upacara pernikahan, acara-acara kesultanan, atau upacara-upacara adat lainnya.

Contoh sepenggal dari bahasa rorasa adalah sebagai berikut.

Ngofangare ngom ronga bala se rakyat Moloku Kie Raha Ternate se


Tidore, Bacan se Jailolo toma mie gudu-gudu Sula se Taliabo. Misi tede
mi puji se mi syukur se Jou Khalikul makhluk rabbul Arsyil adlim i
61

rahmati se i nikmat, i duka se i gogoru so toma wange enane (Kami


seluruh rakyat Maluku Utara sejak dari ujung Morotai sampai ujung
Taliabo, mempersembahkan puja dan syukur ke hadirat Allah, Tuhan seru
sekalian alam, atas rahmat dan karunia-Nya, cinta dan kasih sayang Nya,
pada hari ini).

Sastra lisan yang berbentuk prosa yang ada di Ternate ada yang berbentuk

prosa, seperti mite di antaranya asal mula mahkota, momole, puteri tujuh. Selain

itu, juga ada yang berbentuk fabel yang mengungkapkan kisah-kisah binatang

seperti tikus, kucing, penyu, burung gagak, ikan layar dan ikan lumba-lumba, dan

cecak. Kemudian yang berbentuk legenda seperti asal mula empat kesultanan di

Maluku Utara, air sentosa, legenda danau laguna, dan yang lainnya.

4.7 Gambaran Keadaan antara Cerita Rakyat Tolire Gam Jaha

Dalam analisis secara teks dan kontekstual yang dilakukan dapat

dipaparkan dua versi cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang didapatkan dari

informan pada saat penelitian. Versi pertama, cerita ini didapatkan dari penutur

lisan pihak kesultanan Ternate, yaitu Ridwan Dero, seorang mantan Jo Kalem atau

Menteri Agama dalam kesultanan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan

Jailolo). Berikut adalah kisahnya.

Tolire Gam Jaha berceritakan tentang suatu desa di Ternate Maluku Utara.
Yang bernama Tolire. Pada zaman dahulu biasanya masyarakat
melaksanakan pesta rakyat apabila menerima hasil panen seperti cengkeh,
pala atau kelapa. Dalam pesta itu masyarakat biasanya menyediakan
makanan dan melaksanakan pesta bersama-sama. Berbagai ronggeng pun
dipentaskan seperti ronggeng Gala dan Tide biasanya pesta tersebut
berlangsung sampai 3 hari 3 malam, 7 hari 7 malam, sampai 9 hari 9
malam. Saat pesta sedang berlangsung terjadi perbuatan asusila antara
ayah dan anak terjadi. Awalnya biasa saja, tapi karena pengaruh minuman
keras mereka kemudian mabuk sehingga menghilangkan kesadaran dan
terjadi perbuatan asusila itu. Setelah perbuatan tersebut ada kokok ayam
yang bisa berbicara layaknya manusia sambil berbicara Tolire Ma Gam
Jaha yang artinya Kampung Tolire tenggelam.
62

Dalam pesta tidak seorang pun yang mendengar suara kokok ayam
tersebut. Namun, salah seorang masyarakat yang tidak mengikuti pesta
mendengar dan memberitahukan kepada yang melaksanakan pesta bahwa
hentikan segera pesta yang melampaui batas karena dia baru saja
mendengar ayam berkokok yang mengatakan kampung Tolire mau
tenggelam. Namun, masyarakat tidak menghiraukan informasi yang
dikatakan orang tersebut. Beberapa kali kokok ayam itu terdengar pada
tengah malam dan kembali dia memberitahukan, tetapi masyarakat tetap
tidak menghiraukan. Kemudian orang tersebut menyelamatkan diri, tiba-
tiba tanah di sekitar kampung Tolire mulai turun dan tenggelam.Tersadar
akan hal itu, anak perempuan yang melakukan perbuatan zina dengan ayah
tersebut kemudian lari ke tepi laut dan tanah di tepi laut pun ikut
tenggelam. Akhirnya, ayah dan anak tenggelam bersama-sama dengan
masyarakat kampung Tolire yang merayakan pesta. Kemudian cerita ini
dikenal turun-temurun oleh masyarakat Ternate dengan pembuktian dua
danau yang ada di dekat desa Takome, yaitu Tolire ici atau Tolire kecil
yang dikenal penjelmaan dari anak gadis, sedangkan sang ayah serta
masyarakat desa sebagian yang melakukan pesta menjelma menjadi Tolire
lamo atau Tolire besar (Wawancara dengan Ridwan Dero 4 Februari
2013).

Versi cerita kedua dari cerita ini adalah hampir sama temanya tapi agak

berbeda dalam alurnya. Berbeda dari yang peneliti dapatkan dari cerita di atas

yang didapatkan dari pihak kesultanan Ternate. Akan tetapi, cerita yang

dipaparkan nanti adalah cerita yang didapatkan dari salah satu tokoh masyarakat.

Versi berikut adalah versi yang juga dikenal oleh masyarakat Ternate dan Moloku

Kie Raha lainnya. Berikut petikan wawancara dengan Safril F. Salam dalam versi

lain cerita ini.

Pada zaman dahulu Tolire adalah sebuah desa definitif di bawah


kepemimpinan mahimo atau fanyira (ketua adat) yang membuat tugas
masing-masing. Pada saat itu mata pencaharian penduduk Tolire adalah
petani di bidang perkebunan, seperti cengkeh, pala, dan kelapa seperti
petani di Ternate pada umumnya. Sebelum peristiwa yang terjadi di
kampung Tolire masyarakatnya sangat rukun, damai dan berdampingan
serta bergotong royong. Pada suatu ketika Desa Tolire dilanda wabah
penyakit yang mengakibatkan seluruh penduduknya mengalami sakit
secara tiba-tiba. Awalnya para pemimpin adat setempat menganggap
bahwa mungkin hanya sakit biasa. Lama-kelamaan kemudian menular dan
mengakibatkan penduduk yang mengalami penyakit tersebut meninggal.
63

Hampir dua atau tiga bulan akhirnya mahimo serta petinggi-petinggi


kampung lainnya sepakat untuk berunding mencari solusi tentang wabah
penyakit yang melanda Desa Tolire.
Hasil kesepakatan perundingan tersebut menyepakati untuk membuat
ritual salai jin dengan tarian cakelele. Ritual salai jin dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengobati orang-orang yang sakit, sedangkan tarian cakalele
bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat. Saat sudah disepakati
masyarakatnya bergotong royong mempersiapkan hal-hal yang
berhubungan dengan upacara ritual tersebut. Setelah semua siap,
masyarakat pun berkumpul pada malam hari untuk mulai melaksanakan
ritual salai jin dan cakalele . Pada malam pertama dan kedua berjalan
aman sesuai dengan rencana. Pada malam ketiga yang merupakan malam
terakhir tarian cakalele dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat. Pada
malam tersebut dilakukan sampai tengah malam.
Namun, para pemain atau penari cakalele biasanya meminum arak atau
masyarakat setempat menyebutnya dengan saguer yang bisa menyebabkan
mabuk pada tiap pemain atau penari cakalele. Sampai larut malam ritual
tersebut tidak terkontrol lagi. Semua yang hadir terbuai dengan musik
cakalele dan minuman saguer, sehingga mahimo atau pemimpin desa
tersebut pun tidak sadarkan diri karena banyak mengonsumsi saguer atau
minuman yang memabukan itu. Anak gadis dari mahimo itu pun ikut
dalam ritual tersebut. Dikisahkan bahwa anak dari mahimo tersebut adalah
gadis yang paling cantik yang merupakan kembang di Desa Tolire. Dalam
keadaan mabuk mahimo tertarik dengan anak gadisnya sendiri, begitu pun
sebaliknya. Hampir mendekati waktu subuh kedua insan manusia yang
dilahirkan berstatus ayah dan anak tersebut melakukan perbuatan asusila
atau perzinahan.
Sementara perbuatan itu terjadi orang-orang yang ada di sekitar ritual
upacara tidak mengetahui karena semua sudah larut dalam ketidaksadaran
akibat mabuk minuman saguer. Pada saat subuh salah satu wanita Papua
yang sedang menyusui yang tidak ikut serta dalam proses ritual tersebut
mendengar suara kokok ayam yang berbicara seperti manusia berseru
Tolire Ma Gam Jaha yang artinya kampung Tolire mau tenggelam,
sampai pada dua tiga kali suara kokok ayam wanita tersebut pun berlari ke
tempat upacara ritual dengan memberitahukan pada masyarakat yang
mengikuti upacara bahwa kampung Tolire akan tenggelam. Akan tetapi,
masyarakat tidak memercayai apa yang dikatakan oleh wanita tersebut.
Setelah diberitahukan, wanita itupun berlari pulang untuk mengambil
anaknya tapi dalam perjalanan itu petir, angin, dan hujan yang sangat
dahsyat pun datang secara tiba-tiba. Karena faktor alam yang sangat
dahsyat itu masyarakat pun memercayai apa yang dikatakan wanita
tersebut. Kemudian salah satu petinggi Desa Tolire segera berlari
memberitahukan kepada mahimo atau pemimpin desa bahwa bencana
alam sedang melanda di Desa Tolire.
64

Awalnya mahimo menafsirkan bahwa kejadiaan alam tersebut adalah


sebagai tanda bahwa permintaan mereka dalam ritual tersebut akan segera
diterima oleh penguasa alam. Akan tetapi, setelah itu, mahimo pun
sadarkan diri dan kemudian kaget bahwa perempuan yang bersamanya
melakukan tindak asusila adalah anaknya sendiri. Pada saat semua sudah
sadarkan diri, gemuruh angin tidak berhenti juga tanah akan retak di Desa
desa tersebut. Tanah-tanah yang ada di sekitar desa itu tergoncang.
Gempa-gempa yang awalnya hanya kecil menjadi gempa yang sangat
dahsyat. Semua penduduk pun berusaha untuk menyelamatkan diri. Begitu
pula mahimo berusaha untuk keluar dari Desa Tolire, tetapi malang
nasibnya. Dia tenggelam bersama masyarakatnya. Anak gadisnya sempat
menyelamatkan diri. Sampai di tepi pantai anak gadis tersebut pun ikut
terkena bencana tersebut karena tanah di sekitarnya juga ikut tenggelam.
Kemudian dari cerita rakyat Tolire Ma Gam Jaha ini di kenal dua danau
yang disebut dengan Tolire lamo atau Tolire Besar adalah tempat
tenggelamnya mahimo dan penduduknya di Desa Tolire dan sekitar tiga
km ke selatan ada sebuah danau kecil yang disebut masyarakat setempat
adalah tolire ici atau tolire kecil. Tolire besar sebagai penjelmaan dari
ayah atau mahimo dan Tolire kecil merupakan penjelmaan dari anak
gadisnya (Wawancara dengan Safril F. Salam 12 Maret 2013).
Berdasarkan kedua versi yang memiliki alur berbeda cerita rakyat Tolire

Gam Jaha, ditemukan kaitan antara teks dan konteks sosial masyarakat pemilik

cerita rakyat ini khususnya Ternate, Maluku Utara. Terdapat berbagai perspektif

yang digunakan untuk menemukan kaitan antara cerita rakyat dan masyarakat

pemiliknya yang dianalisis pada bab-bab berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai