Sekitar 6 kilometer dari pusat Kota Ternate, terdapat pohon cengkeh tertua di
dunia yaitu Cengkeh Afo yang usianya mencapai ratusan tahun. Batang pohon
Cengkeh Afo memiliki ukuran sebesar empat pelukan orang dewasa. Pohon tersebut
berada pada ketinggian 800 m, sekitar 2 km dari Pos Pengamatan Gunung Api
Gamalama di Kelurahan Marikrubu ke arah barat laut.
Hingga saat ini, pohon Cengkeh Afo hanya tersisa satu pohon yang masih
berdiri tegak dengan umur sekitar 200 tahun. Pohon Cengkeh Afo generasi pertama
yang berusia lebih dari 400 tahun sudah punah dan yang tersisa adalah puing-
puingnya. Pohon Cengkeh Afo ini memiliki tinggi 36,60 m dan lingkaran 4,26m.
Sebelum komunitas itu terbentuk, ada salah seorang pria berusia 43 tahun asal
Maluku Utara yang bernama Kris Syamsudin yang menyiapkan ide awal. Ia turut pula
membantu melestarikan pohon Cengkeh Afo agar bisa membantu tujuan wisata yang
layak dikunjungi. Objek wisata Cengkeh Afo adalah tanaman berusia 400 tahun lebih
atau merupakan cengkeh tertua di dunia dan yang selama ini menjadi induk dari
cengkeh yang dikembangkan di Ternate dan kabupaten / kota lainnya di Maluku
Utara, termasuk berbagai daerah di Indonesia. Namun, sangat disayangkan pohon
Cengkeh Afo yang tertua di dunia telah roboh dan hanya tersisa puing-puingnya.
Setelah Cengkeh Afo tertua di dunia roboh, maka yang tertinggal hanya
Cengkeh Afo generasi kedua dan generasi ketiga. Pohon Cengkeh Afo generasi kedua
merupakan pohon cengkeh yang usianya 300 tahun. Pohon ini berusia lebih muda
dibandingkan dengan usia pohon Cengkeh Afo generasi pertama yang berusia 400
tahun lebih. Pohon Cengkeh Afo generasi kedua dengan tinggi sekitar 10 meter yang
sudah roboh beberapa waktu lalu di karenakan kesalahan dalam pemberian pupuk.
Hal ini menyebabkan pohon Cengkeh Afo menjadi keropos dan di saat gempa, pohon
Cengkeh Afo generasi kedua ini roboh.
Pohon Cengkeh Afo generasi kedua terletak pada ketinggian sekitar 400 meter
dari permukaan laut, masuk wilayah Air Tege-Tege, Kelurahan Tahabawa, Ternate
Tengah. Pohon Cengkeh Afo generasi pertama terletak lebih tinggi, di ketinggian
sekitar 600 meter. Pemilik pohon-pohon cengkeh di perkebunan seluas kurang lebih
50 hektar ini adalah milik warga sekitar.
Selain cengkeh, kawasan ini tumbuh pula pohon pala, pohon pinang, pohon
kayu manis, pohon kenari dan pohon durian. Cengkeh biasanya dipanen pada bulan
Juni hingga Oktober. Buah cengkeh bentuknya lonjong dengan panjang 2 cm
berwarna hitam. Cengkeh masih menjadi komoditas utama di Kota Ternate, meski
sudah tidak menjadi mata pencaharian utama warga.
Satu pohon bisa menghasilkan hingga 100 kilogram cengkeh kering. Harga
cengkeh rata-rata Rp 150.000 per kilogram. Untuk menghasilkan cengkeh kualitas
bagus, pohon harus berusia minimal 30 tahun. Dalam sekali panen, pemilik pohon
mendapat untung rata-rata Rp 15 juta per pohon.
Di Kelurahan Tongole juga ada Air Tege-Tege, yakni sumber mata air yang
memiliki berbagai cerita menarik dan dipercaya jika membasuh muka dengan Air
Tege-Tege itu akan selalu awet muda. Air Tege-Tege ini memang sudah cukup
familiar. Kendati begitu, tidak banyak yang tahu kondisinya saat ini.
Kelurahan Tongole, Ternate berada pada 600 meter di atas permukaan laut,
pemukiman ini sejak dahulu tidak dialiri air oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM). Kampung ini memang memiliki sumber mata air sendiri. Air yang
bersumber dari lereng gunung api aktif, sejak dahulu sudah digunakan oleh warga
Tongole. Warga menyebutnya “Air Tege-tege”. Dalam bahasa Ternate sendiri, “Tege-
tege” dapat diartikan sebagai “menetes” atau “air jatuh”.
Bercerita sejarah Air Tege-Tege bersama salah satu tokoh masyarakat, Jauhar
A Mahmud. Menurutnya. Tongole ditempati sekitar 300 lebih kepala keluarga.
Sementara, yang masih menggunakan atau mengonsumsi Air Tege-Tege, berkisar 200
lebih kepala keluarga. Hal ini dikarenakan, warga di RT 01, sudah mendapatkan air
dari PDAM. Sementara, warga yang berada di ketinggian, masih menggunakan air
yang bersumber dari Air Tege-Tege.
Menurut beliau, air ini memang sejak zaman dahulu tidak hanya dinikmati
oleh warga Tongole saja, melainkan mencukupi kebutuhan air sebagian warga
Ternate. Tepat saat masuknya bangsa Belanda di Ternate. Sumber mata Air Tege-tege
sendiri dikelola sejak zaman Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sebuah
bak penampungan air peninggalan Belanda. Pada masa itu, Belanda membangun bak
tersebut untuk mengalirkan air sampai ke pusat kota.
Sekitar tahun 1970-an, debit Air Tege-Tege cukup besar. Bahkan bunyi aliran
airnya terdengar sampai ke pemukiman warga. Tetapi, sekarang debitnya sudah
menurun dan untuk memperbaiki masalah ini, pemerintah membangun sejumlah bak
kecil, tepat disisi mata air dan lainnya berdekatan dengan pemukiman.
Bak yang berada berdekatan dengan mata air berfungsi sebagai tangkapan
rembesan air hujan. Sementara bak yang dibangun didekat pemukiman sebagai bak
kontrol. Bak kontrol sendiri sebagai bak penampung air yang dialiri dari bak induk.
Lokasi mata air berada di bantaran hutan Tongole, kondisi mata airnya cukup
memprihatikan. Tidak seperti dulu lagi. Debit airnya benar-benar menurun.
Sebelumnya, meskipun saat kemarau panjang, debit Air Tege-Tege tetap banyak.
Sementara sekarang, kendati sering hujan, penggunaan air tersebut mesti diatur.
Bahkan di aliri ke pemukiman secara bergiliran saat debit berkurang.
Keunikan rumah bambu khas Ternate adalah mulai dari kaki bangunan hingga
atap, semuanya menggunakan bambu. Bambu lurik yang ditemukan di Tongole ini
begitu menarik penampakkannya sehingga selalu digunakan sebagai material untuk
berbagai perabot rumah; produk lokal yang cukup diminati dan telah dijual ke
berbagai kota lainnya.
Kota Ternate adalah sebuah kota yang berada di bawah kaki gunung api
Gamalama pada sebuah Pulau Ternate di Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Ternate
merupakan ibukota sementara provinsi Maluku Utara secara de facto dari tahun 1999
hingga 2010. Pada tanggal 4 Agustus 2010, Sofifi diresmikan menjadi ibukota
pengganti Ternate. Sejarah kota ini bermula dengan adanya Kesultanan Ternate yang
berdiri di sekitar abad ke -13 di Pulau Ternate, yang menjadikan kawasan kota
sebagai pusat pemerintahannya. Kornelis Matelief de Jonge pada tahun 1607
membangun sebuah benteng pada kawasan kota ini, yang dinamakan Fort Oranje
yang sebelumnya bernama Malayu.
Selain sarat akan sejarah, Ternate juga kaya dengan objek wisata alam yang
menakjubkan. Di antaranya adalah sebagai berikut ; Benteng Tolukko, Benteng
Oranje, Benteng Kalamata, Benteng Kota Naka, Benteng Gam Lamo, Benteng Santo
Pedro, Benteng Talagame. Benteng Willyam Star,Pantai Sulamadaha, Hol
Sulamadaha, Pantai Jikumalamo, Danau Laguna,Danau Tolire, Pantai Bobane
Ici,Batu Angus, Kedaton Kesultanan Ternate dan Masjid Al Munawarroh Ternate.
Maluku Utara memiliki berbagai makanan khas daerah antara lain papeda
(sagu), ketam kenari, halua kenari, bagea serta hasil olahan ikan seperti ikan asap
(ikan fufu), gohu ikan, ikan garu rica dan lain-lain. Pusat tempat makanan di kota ini
terletak di Swering, tepat berada di belakang Jatiland Mall, namun hanya beraktivitas
selepas sore hingga tengah malam.
Kaya akan sejarah, wisata alam yang menarik dan kuliner khas yang
menggugah selera, Ternate juga kaya dengan kesenian tradisional seperti tarian yang
menarik minat pengunjung. Ada dua jenis kesenian di daerah Ternate, yaitu Kesenian
Istana dan Kesenian Rakyat. Kesenian Istana umumnya merupakan kelengkapan adat
yang bersifat ritual maupun seremonial. Tarian klasik yang bersifat ritual yaitu legu-
legu. Legu-legu mengandung makna bahwa mempunyai sifat sakral. Para penari
merupakan medium yang masih suci. Kadang ada satu atau lebih penari yang
melakukan gerakan, tidak dalam keadaan sadar / kemasukan roh nenek moyang.
Tarian legu-legu hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu dengan pertimbangan
utamanya harus bersifat ritual dan mempunyai keterkaitan dengan adat keramat
keraton.
Alat musik daerah Maluku : Tifa merupakan alat music yang paling terkenal
dari Maluku. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu
yang dilubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa
Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas. Alat musik lainnya
yang berasal dari Maluku adalah Toto Buang dan Kulit Bia. Alat musik ini merupakan
serangkaian gong-gong yang kecil bentuknya dan biasanya ditaruh pada sebuah meja
dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Sedangkan alat musik Kulit Bia
merupakan alat musik tiup yang terbuat dari Kulit Kerang.
Tari Cakalele merupakan nama tarian yang paling popular dan terkenal dari
Maluku. Tarian ini menggambarkan tari perang. Tari ini sering dipentaskan dan
diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai).
Nama tarian lain yang berasal dari Maluku adalah Tari Saureka-reka dan Tari Katreji.
Tari Katreji dimainkan oleh wanita dan pria. Saat memainkan tarian ini diiringi
berbagai alat musik seperti biola, suling, bambu, ukulele, karakas, gitar,tifa dan bas
gitar.
Tari Pelangi Maluku Utara merupakan garapan kreasi yang diciptakan dari
perpaduan tradisional Maluku Utara, yaitu tari soya-soya dan tari cakalele. Garapan
kreasi ini menggambarkan kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh Maluku Utara,
baik dari segi kekayaan alam, seni maupun kebudayaannya. Pengaruh tari soya-soya
begitu kental dalam garapan kreasi ini.
Pemukiman yang tertata rapi dan lingkungan yang sangat bersih membuat
nyaman mata memandang. Pemerintahan di Kelurahan Tongole, menerapkan kerja
bakti di setiap RT untuk menjaga kebersihan lingkungan. Akan tetapi, hal yang sangat
disayangkan Kelurahan Tongole belum menempatkan tempat sampah di depan rumah
warga. Jadi, warga masih membuang sampah di belakang rumah. Jelas hal ini
merupakan tindak pencemaran lingkungan. Diharapkan kedepannya, pemerintah
memberikan solusi terbaik untuk masalah ini.
Kelurahan Tongole adalah salah satu pemukiman yang rawan bencana atau
dikenal dengan Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejauh ini, mitigasi bencana yang
dilakukan adalah dengan meletakkan pamplet jalur-jalur evakuasi dan juga pamplet
(KRB). Menurut penjelasan Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD), pihak
terkait pernah ingin melaksanakan sosialisasi tentang mitigasi bencana, akan tetapi
usaha ini ditolak oleh masyarakat karena dianggap ianya ibarat sebuah doa yang
meminta agar bencana terjadi.