1. Benteng Concordia
Benteng itu dibangun dan diberi nama Lahayong. Namun, pada tahun 1642,
VOC berhasil merebut benteng tersebut dari tangan Portugis dan mengambil
alih pada tahun 1646.
Setelah itu, tepatnya pada tahun 1653, VOC pun mulai serius beraktivitas
di Timor. Tanggal 2 Februari di tahun yang sama, Kapten Johan Burgers
mulai membangun benteng baru di bekas benteng Lahayong. Benteng yang
baru itu diberi nama Fort Concordia.
Benteng none ini masih di lestarikan. Sejak sembilan generasi yang lalu,
mereka selalu berperang tetapi perang bukan perang internasional
melainkan perang antar suku lokal, yaitu: MOLLO – AMANUBAN –
AMANATUN.
3. Danau Ranamese
Danau Ranamese adalah sebuah danau di dataran tinggi Golo Loni, Rana
Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur yang memiliki
panorama indah dan udara sejuk. Bukan hanya sekedar tempat wisata,
danau ini juga menyimpan sejarah menarik di masa lampau.
Gereja yang memiliki luas lahan 4.625 m2 ini didirikan oleh Uskup Mgr.
Verstraelen yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat Katedral Keuskupan
Sunda Kecil. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan dengan
upacara yang dipimpin oleh Mgr. Verstraelen pada tanggal 18 Mei 1930.
Bangunan besar dan megah ini diselesaikan dalam waktu dua tahun dan
ditasbihkan pada tanggal 7 Februari 1932 oleh Uskup Mgr. Verstraelen.
Gereja ini dibuat oleh seorang pastor Portugis, JF. Lecocq D'armanddaville
yang kemudian dilanjutkan oleh pastor Y. Engbers dan bekerja sama
dengan raja Sikka Yoseph Mbako Ximenes Da Silva pada tahun 1899.
Arsitektur bangunan gereja ini bergaya Baroque, ebuah gaya arsitektur yang
populer di eropa pada jaman itu. Ornamen - ornamen pada dinding tembok
tergambar motif-motif tenun ikat tradisional masyarakat setempat.
Konstruksi kayu dengan pewarnaan warna coklat dan kuning mendominasi
pilar dan plafon. Di depan setelah pintu masuk gereja terdapat patung
seorang pastor memegang alkitab dan kotak donasi. Untuk memasuki gereja
ini, pengunjung diharapkan memberikan donasi untuk pemeliharaan gereja
tua ini.
6. Jembatan Selam
Konon nama Selam bermula sejak jaman Belanda. Di sekitar area jembatan
yang merupakan muara dari kali Dendeng, pemuda-pemuda jaman itu
gemar berebut uang pemberian para awak kapal Belanda. Karena diberi
dengan cara dilempar ke air tentu saja untuk mendapatkannya harus
dengan menyelam. Dan ternyata para pemuda di sekitar lokasi sangat lihai
menyelam. Saat seorang awak kapal melempar koin bernilai tertentu, lalau
para pemuda segera menyerbu masuk ke dalam air untuk menggapainya.
Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling
mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan.
Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian
selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Kampung ini sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada.
Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan
Italia.
Kampung Wogo lama berada di lahan hamparan tanah dan lahan pertanian
dan berbentuk segi empat memanjang dengan bangunannya berada di
tengah-tengah, dan di sepanjang areal, menyebar dan tidak beraturan.
Bangunan tersebut merupakan budaya megalit berupa hamparan bebatuan
megalit yang masih tertata rapi. Hamparan batu ini merupakan kuburan
nenek moyang. Selain itu, hamparan batu ini juga digunakan untuk
upacara adat. Setiap bangunan memiliki artefak yang terdiri atas meja altar
batu yang disebut Ture oleh masyarakat sekitar. Kemudian, terdapat
serpihan-serpihan batu pada pinggir areal yang digunakan sebagai
pembatas kampung. Untuk menjangkau objek wisata Wogo, pengunjung
dapat menggunakan angkutan umum dengan rute Bajawa-Mataloko,
menggunakan jasa travel atau jasa ojek.
Klenteng ini didirikan oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Kemudian dari tahun
ke tahun mengalami perombakan karena berbagai hal. Klenteng ini sempat
hancur pada saat Perang Dunia II, dibangun kembali pada tahun 1951.
Renovasi dilakukan pada tahun 1970, 1973, dan 1975.
Bangunan tua yang berada di Kupang ini telah beralih fungsi dari tempat
ibadah menjadi rumah abu dan juga dijadikan tempat tinggal bagi keluarga
yang merawat klenteng tua tersebut.
Klenteng ini sekarang dijaga oleh keluarga Ferry Ngahu, 43 tahun. Pria yang
aslinya dari pulau Sabu ini menikahi Yunni Layandri (Lay Yung Cing) yang
keluarganya memiliki klenteng tersebut. Aa dan keluarga istrinya yang
merawat klenteng itu. Mereka tinggal di rumah sebelahnya yang
berhubungan dengan klenteng.
Masjid Agung Al-Baitul Qadim Airmata, terletak di Kelurahan Air Mata, Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejak didirikan, masjid ini telah mengalami
berpindah tempat/lokasi sebanyak tiga kali sejak dibangun tahun 1806
dengan ukuran yang tetap yakni 10 x 10 m persegi. Masjid Airmata pertama
kali dibangun di kota Kupang sekarang, di Kelurahan Oeba.
Masjid ini merupakan pusat semua kegiatan agama Islam pada awal
mulanya. Untuk pertama kali, shalat Jumat dilaksanakan tahun 1812.
Artinya, setidaknya masjid itu selesai dibangun tahun itu. Masjid pertama
yang berlokasi di Pantai Besi itu, namun berpindah karena digusur oleh
Belanda.
Masjid ini berpindah lagi ke tempat lain karena lahan untuk penjara tidak
ada maka di bekas masjid itu didirikan penjara atau lembaga
pemasyarakatan (istilah sekarang).
Menurut Belanda, letak masjid itu tidak sesuai dalam tata kota masa itu
maka terpaksa pindah-gusur lagi, dari sini (bangunan Penjara Kupang) ke
tempat lain yang harus pindah menyeberangi sungai, ke sebuah lembah
yang biasanya memiliki mata air yang banyak. Sesudah ber-pindah-gusur
beberapa kali, barulah masjid itu berada dan berdiri anggun di tempatnya
yang sekarang, yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama
Masjid Air Mata.
Masjid yang sekarang diberi nama Baitul Qodim atau Masjid Air Mata,
dibangun oleh moyang (nenek) Sya’ban bersama tiga orang moyang lainnya,
yaitu Moyang Syamsuddin, Moyang Arkiang, dar Moyang Barkat.
Kayu tidak sepotong pun berasal dari Kupang sendiri, tetapi secara
bergotong-royong dicari masyarakat Islam ke pulau-pulau sekitarnya atau
dihanyutkan dari hulu sungai.
Masjid ini dibangun tahun 1633 Maseh moleh Sultan Kima Gogo dan Raya
Kinanggi Atamalei. Konstruksi masjid ini waktu pertamakali dibangun
sederhana bersusun dua dan berbahan kayu. Masjid ini masih memikiki
peninggalan Sultan, antara lain : 4 buah tongkat, 2 buah Rotan, 3 kitab Al-
Quran, 2 bilah Pisau, 1 bilah pisau khitan, 2 buah piring, 2 buah Cangkir,
1 buah meriam, 1 buah dacing, dan 1 buah jangkar.
Bangunan Mesjid berbentuk rumah panggung dengan ukuran 11 M; Lebar
11 M dan tinggidari tanah ke lantai mesjid 1,5 M, tinggi keseluruhan Mesjid
15 M dengan luas tanah 750 M memiliki 24 tiang, tangga pintu terbuat dari
kayu, atap bertingkat dari seng. Halaman mesjid dikelilingi dengan pagar
besi dan memiliki satu pintu masuk. Mesjid tua Lerabaing berbentuk rumah
panggung didirikan atas inisiatif orang-orang tua di kampung Lerabaing dan
Sultan Kimie desa Gogo yang berasal dari Ternate (Maluku).
Pada tahun 1926, Pater Petrus mendatangkan sejumlah mesin cetak dari
Jerman. Biarawan setempat diberdayakan mengurusi seluruh aktivitas di
percetakan, mulai dari proses pracetak, pemasangan pelat cetak,
pencetakan, penjilidan buku, hingga distribusi buku. Cetakan pertama
dikerjakan pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam
bahasa Melayu berjudul Sende Aus yang berarti 'utuslah'.
Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko dibangun pada tahun 1932 sebagai
rumah tempat tinggal para misionaris SVD di Mataloko. Bangunan ini
didirikan selang tiga tahun berdirinya bangunan Seminari Santo Yohanes
Berkhmans Todabelu yang berada di depannya. Kedua bangunan tersebut
ada keterkaitannya dalam pembangunannya. Seminari berfungsi untuk
bangunan sekolah atau aktivitas belajar mengajar, sedangkan Rumah Retret
digunakan untuk rumah tinggal para frater yang mengajar di seminari, dan
sekaligus sebagai tempat untuk melakukan pertemuan atau diskusi di
kalangan para frater tersebut.
Rumah Retret ini adalah milik Kongregasi Serikat Sabda Allah. Dalam
bahasa Latin, Serikat Sabda Allah ini dikenal dengan Societas Verbi Divini
(SVD), yaitu salah satu ordo Gereja Katolik Roma yang didirikan pada tahun
1875 di Steyl, Belanda oleh Santo Arnoldus Janssen. SVD ini melakukan
pekabaran injil di wilayah Flores, salah satunya adalah di daerah
Kabupaten Ngada ini.
Bangunan ini dibangun tahun 1929, atau tiga tahun sebelum Rumah Retret
Kemah Tabor Mataloko yang berada di depannya dibangun. Seminari Santo
Yohanes Berkhmans Todabelu berfungsi untuk bangunan sekolah atau
aktivitas belajar mengajar.
Setelah berlayar selama delapan hari, mereka tiba di Pelabuhan Ende dan
langsung melaporkan kedatangannya ke kantor polisi. Mereka lalu dibawa
ke rumah pengasingan yang terletak di Kampung Ambugaga, Kelurahan
Kotaraja. Di rumah pengasingan inilah Ir. Soekarno berserta istrinya (Inggit
Garnasih), mertuanya (Ibu Amsi), dan kedua anak angkatnya (Ratna Juami
dan Kartika) menghabiskan waktu mereka selama empat tahun. Ir.
Soekarno dan keluarganya menempati rumah milik Haji Abdullah
Ambuwaru. [Kemendikbud]