Anda di halaman 1dari 21

Peninggalan Sejarah Nusa Tenggara Timur (NTT)

Nusa Tenggara Timur (disingkat NTT) adalah sebuah provinsi di Indonesia


yang meliputi bagian timur Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini beribu
kota di Kupang dan memiliki 22 kabupaten/kota. Provinsi ini berada di
Sunda Kecil. 

1. Benteng Concordia

Benteng Concordia, Kupang-NTT

Benteng Fort Concordia adalah sebuah benteng di Kupang yang dibangun


oleh Portugis di NTT. Benteng ini dibangun oleh Pater Antoni Taveiro,
seorang Portugis yang dikirim ke Rote dan menetap di sana. Setelah
beberapa tahun, Pater Antoni pun kembali ke Kupang dan membangun
benteng bagi Portugis untuk menambah pertahanan mereka.

Benteng itu dibangun dan diberi nama Lahayong. Namun, pada tahun 1642,
VOC berhasil merebut benteng tersebut dari tangan Portugis dan mengambil
alih pada tahun 1646.

Setelah itu, tepatnya pada tahun 1653, VOC pun mulai serius beraktivitas
di Timor. Tanggal 2 Februari di tahun yang sama, Kapten Johan Burgers
mulai membangun benteng baru di bekas benteng Lahayong. Benteng yang
baru itu diberi nama Fort Concordia.

Sejak adanya benteng ini, Kupang langsung dijadikan sebagai pusat


pemerintahan VOC di pulau Timor. Benteng ini juga dikenal dengan nama
Maadu Lasi.
2. Benteng None

Benteng None, Timor Tengah Selatan - NTT

Benteng None adalah benteng Raja Amanuban pada zaman kerajaan


ratusan tahun silam yang letanknya sekitar sembilan belas kilo meter arah
timur Kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) atau sekitar
satu kilo meter dari jalan trans Timor.

Secara Administrasi Benteng tradisional None berada di Desa Lelat,


Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Situs ini memiliki Luas
Lahan : 80 m x 44 m.

Situs Benteng Tradisional None ini memiliki Latar Budaya “Tradisi


Berlanjut” yang telah diwarisi dari jaman dahulu. Situs ini dimiliki oleh
Masyarakat Adat Suku Tauho, dan di kelola oleh Bapak Kores Tauho.
Benteng none berdiri sejak tahun 1820. Sudah mencapai sembilan generasi
sampai saat ini.

Benteng none ini masih di lestarikan. Sejak sembilan generasi yang lalu,
mereka selalu berperang tetapi perang bukan perang internasional
melainkan perang antar suku lokal, yaitu: MOLLO – AMANUBAN –
AMANATUN.
3. Danau Ranamese

Danau Ranamese, Manggarai Timur - NTT

Danau Ranamese adalah sebuah danau di dataran tinggi Golo Loni, Rana
Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur yang memiliki
panorama indah dan udara sejuk. Bukan hanya sekedar tempat wisata,
danau ini juga menyimpan sejarah menarik di masa lampau. 

Danau Ranamese terletak pada ketinggian 1.200 mdpl dan memiliki


kedalaman sekitar 43 meter. Dengan luas sekitar 5 Ha, Danau Ranamese
menjadi danau terbesar di Manggarai. Danau yang dikelilingi oleh hutan
lebat dan subur ini menghadirkan hawa dingin, sejuk dan menyegarkan. Air
danau yang sedingin es melengkapi nuansa dingin khas pegunungan.

Danau Ranamese berada di Rana Mese, Golo Loni, Kabupaten Manggarai


Timur, Nusa Tenggara Timur. Berada sekitar 25 kilometer dari Ruteng.
Danau ini diapit oleh Gunung Mandosawu (2.400 mdpl) yang merupakan
puncak tertinggi dalam pegunungan Ruteng dan Gunung Ranaka (2.140
mdpl) sebagai puncak tertinggi kedua.

Danau Ranamese terbentuk karena letusan gunung berapi Nampar Nos


atau dikenal dengan Gunung Ranaka, yang diperkirakan terjadi sekitar 400
tahun yang lalu. Erupsi yang hebat itu mengakibatkan kawah yang ada di
gunung api tertutup air membentuk danau, hingga bagian tepinya terlihat
curam.
Kawasan Danau Ranamese banyak dihuni oleh burung Samyong
(Pachycephala Nudigula) atau Ngklong yang merupakan burung endemik
Nusa Tenggara dan dikenal dengan burung 1.001 kicauan. Selain itu
terdapat juga burung kipasan Flores (Rhipidura Diluta), Anis Nusa Tenggara
(Zoothera Dohertyl), dan puluhan burung lainnya. [sumber]

Danau ini terletak di Jalan Ruteng-Borong, Desa Golo Loni, Kecamatan


Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4. Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende

Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende

Katedral Kristus Raja/Katedral Ende adalah nama tempat ibadah


berdenominasi Katolik yang terletak di kota Ende, Nusa Tenggara Timur.
Gereja ini terletak di bagian selatan dari pulau Flores. Katedral ini
merupakan gereja induk Keuskupan Agung Ende yang dimulai sebagai
prefektur apostolik pada tahun 1913 dan diangkat untuk statusnya saat ini
pada tahun 1961 oleh banteng "Quod Christus" Paus Yohanes XXIII. Gereja
ini berada di bawah tanggung jawab pastoral Uskup Agung Vincentius Sensi
Potokota.

Gereja yang memiliki luas lahan 4.625 m2 ini didirikan oleh Uskup Mgr.
Verstraelen yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat Katedral Keuskupan
Sunda Kecil. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan dengan
upacara yang dipimpin oleh Mgr. Verstraelen pada tanggal 18 Mei 1930.
Bangunan besar dan megah ini diselesaikan dalam waktu dua tahun dan
ditasbihkan pada tanggal 7 Februari 1932 oleh Uskup Mgr. Verstraelen.

Gereja ini terletak di Jalan Katedral No. 5 Kelurahan Potulando, Kecamatan


Ende Tengah, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

5. Gereja Tua Sikka 

Gereja Tua Sikka [Beta NTT]


Gereja Tua Sikka adalah sebuah gereja tua peninggalan Portugis yang
terletak di sebuah kampung yang bernama Sikka, berada di garis pantai
selatan Kota Maumere. Usia gereja ini telah berusia 100 tahun lebih dan
masih berdiri kokoh hingga sekarang.

Gereja ini dibuat oleh seorang pastor Portugis, JF. Lecocq D'armanddaville
yang kemudian dilanjutkan oleh pastor Y. Engbers dan bekerja sama
dengan raja Sikka Yoseph Mbako Ximenes Da Silva pada tahun 1899.

Arsitektur bangunan gereja ini bergaya Baroque, ebuah gaya arsitektur yang
populer di eropa pada jaman itu. Ornamen - ornamen pada dinding tembok
tergambar motif-motif tenun ikat tradisional masyarakat setempat.
Konstruksi kayu dengan pewarnaan warna coklat dan kuning mendominasi
pilar dan plafon. Di depan setelah pintu masuk gereja terdapat patung
seorang pastor memegang alkitab dan kotak donasi. Untuk memasuki gereja
ini, pengunjung diharapkan memberikan donasi untuk pemeliharaan gereja
tua ini.
6. Jembatan Selam

Jembatan Selam dilihat dari arah Selam

Jembatan Selam adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Kupang di


area pusat dan Kupang di bagian barat yang jaraknya tercipta akibat
belahan kali Dendeng.

Daerah yang disebut Selam termasuk dalam wilayah kelurahan Fatufeto


dan berbatasan dengan kelurahan Airmata. Wilayahnya mencakup daerah
sekitar jembatan yang namanya Jembatan Selam.

Konon nama Selam bermula sejak jaman Belanda. Di sekitar area jembatan
yang merupakan muara dari kali Dendeng, pemuda-pemuda jaman itu
gemar berebut uang pemberian para awak kapal Belanda. Karena diberi
dengan cara dilempar ke air tentu saja untuk mendapatkannya harus
dengan menyelam. Dan ternyata para pemuda di sekitar lokasi sangat lihai
menyelam. Saat seorang awak kapal melempar koin bernilai tertentu, lalau
para pemuda segera menyerbu masuk ke dalam air untuk menggapainya.

Kegiatan selam menyelam dan kelihaian para penyelamnya diabadikan


menjadi nama tempat tersebut.
7. Kampung Adat Bena

Kampung Adat Bena, Ngada - NTT

Kampung Bena adalah salah satu perkampungan megalitikum yang terletak


di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di Desa Tiwuriwu,
Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa. Kampung yang terletak di
puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung
merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para
dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta,
dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.

Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling
mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan.
Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian
selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Kampung ini sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada.
Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan
Italia.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang


mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip
pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan
bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok
peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena
sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta
adat.

Kampung Adat Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u,


Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

8. Kampung Adat Tarung

Kampung Adat Tarung, Sumba Barat - NTT

Kampung Tarung adalah sebuah komplek perkampungan yang terletak di


tengah perkotaan Sumba Barat, dengan bangunan-bangunan rumah
tradisional yang mengelilingi tinggalan-tinggalan megalitik yang berupa
kubur-kubur batu dan dolmen.

Pola pemukiman masyarakat Kampung Tarung terdiri dari rumah-rumah


yang diorganisir mengelilingi suatu ruang terbuka  yang disebut Talora.    Di
dalam talora terdapat kubur batu, dolmen, meja altar, monument batu yang
berfungsi untuk upacara-upacara adat. Rumah dengan status tertinggi
selalu berhubungan dengan Talora dan terletak di posisi tanah yang terbaik,
biasanya di posisi yang tertinggi.

Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Tarung berdasarkan pada


kepercayaan Marapu. Kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini
meskipun beberapa penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen
dan Islam. Marapu dapat dijelaskan sebagai suatu sistem kepercayaan
masyarakat yang mempercayai bahwa arwah nenek moyang atau leluhur
yang telah meninggal tetap hidup ditengah-tengah mereka.

9. Kampung Adat Wogo

Kampung Adat Wogo, Ngada - NTT

Desa Adat Wogo merupakan perkampungan dan desa adat masyarakat


Wogo Lama. Desa adat Wogo terletak di desa Ratogesa, Kecamatan Golewa,
Kabupaten Ngada. Jarak dari Kota Bajawa ke Desa Adat Wogo adalah
sekitar 16 km dengan waktu tempuh kurang lebih 25 menit. Pada saat ini,
masyarakat Wogo telah pindah ke tempat baru yang terletak di sebelah
barat dari desa adat Wogo dengan nama perkampungan Wogo Baru.

Kampung Wogo lama berada di lahan hamparan tanah dan lahan pertanian
dan berbentuk segi empat memanjang dengan bangunannya berada di
tengah-tengah, dan di sepanjang areal, menyebar dan tidak beraturan.
Bangunan tersebut merupakan budaya megalit berupa hamparan bebatuan
megalit yang masih tertata rapi. Hamparan batu ini merupakan kuburan
nenek moyang. Selain itu, hamparan batu ini juga digunakan untuk
upacara adat. Setiap bangunan memiliki artefak yang terdiri atas meja altar
batu yang disebut Ture oleh masyarakat sekitar. Kemudian, terdapat
serpihan-serpihan batu pada pinggir areal yang digunakan sebagai
pembatas kampung. Untuk menjangkau objek wisata Wogo, pengunjung
dapat menggunakan angkutan umum dengan rute Bajawa-Mataloko,
menggunakan jasa travel atau jasa ojek.

Kampung Wogo baru merupakan rumah adat tradisional Ngada yang


terbuat dari bahan kayu, ijuk, dan bambu. Di setiap rumah adat terdapat
ukiran-ukiran khas Ngada. Di tengah-tengah kampung terdapat simbol
kampung adat yang disebut Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu merupakan simbol
nenek moyang laki-laki dan digunakan sebagai tiang gantungan hewan
kurban acara adat. Sementara itu bhaga adalah simbol nenek moyang
perempuan yang merupakan miniatur rumah adat. [sumber]

10. Klenteng Siang Lay

Klenteng Siang Lay, Kupang - NTT

Klenteng Siang Lay yang dibangun tahun 1865 adalah satu-satunya


klenteng yang tersisa di provinsi Nusa Tenggara Timor yang menjadi
penanda kedatangan awal masyarakat Tionghoa. Umur bangunan ini lebih
dari 50 tahun.

Klenteng ini didirikan oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Kemudian dari tahun
ke tahun mengalami perombakan karena berbagai hal. Klenteng ini sempat
hancur pada saat Perang Dunia II, dibangun kembali pada tahun 1951.
Renovasi dilakukan pada tahun 1970, 1973, dan 1975.

Bangunan tua yang berada di Kupang ini telah beralih fungsi dari tempat
ibadah menjadi rumah abu dan juga dijadikan tempat tinggal bagi keluarga
yang merawat klenteng tua tersebut.
Klenteng ini sekarang dijaga oleh keluarga Ferry Ngahu, 43 tahun. Pria yang
aslinya dari pulau Sabu ini menikahi Yunni Layandri (Lay Yung Cing) yang
keluarganya memiliki klenteng tersebut. Aa dan keluarga istrinya yang
merawat klenteng itu. Mereka tinggal di rumah sebelahnya yang
berhubungan dengan klenteng.

11. Liang Bua

Liang Bua, Manggarai - NTT

Liang Bua merupakan sebuah situs pemukiman di zaman prasejarah yang


terletak di Dusun Rampasasa, desa Liang Bua, kecamatan Ruteng,
Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Trnggara Timur. Menurut kebahasaan,
kata Liang memiliki arti gua, yang diterjemahkan dari bahasa Manggarai.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa Liang Bua merupakan sebuah gua
peninggalan zaman prasejarah.

Ukuran Liang Bua mencapai 50 meter untuk panjang, 40 meter untuk


lebar, dan 25 meter untuk tinggi. Para arkeolog memulai proyek penggalian
pada tahun 1930, tepatnya pada masa kolonial Belanda dan masih
berlanjut hingga kini. Hasil penelitian yang dilakukan para arkeolog
menyebutkan bahwa usia Liang Bua mencapai 190.000 tahun. Di zaman
dahulu, Liang Bua mempunyai fungsi sebagai hunian manusia prasejarah
dimulai dari zaman Batu (Paleotikum), zaman Batu Madya (Mesolitikum),
zaman Batu Muda (Nesolitikum), hingga zaman Logam Awal
(Paleometalikum). Kini, Liang Bua mempunyai fungsi sebagai tempat
penelitian oleh para arkeolog baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Penemuan yang menarik dari gua ini adalah tengkorak kuno dari manusia
Flores (Homo Floresiensis). Di kedalaman enam meter, tengkorak ini
berbentuk manusia pendek dengan tinggi badan 100 cm dan berat 25
kilogram, yang berasal dari 18.000 tahun yang lalu. Selain itu, di
kedalaman 10,7 meter terdapat penemuan rangka binatang seperti kadal,
kura-kura, dan gajah purba. [sumber]

12. Masjid Airmata

Masjid Agung Al-Baitul Qadim / Airmata, Kupang - NTT

Masjid Agung Al-Baitul Qadim Airmata, terletak di Kelurahan Air Mata, Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejak didirikan, masjid ini telah mengalami
berpindah tempat/lokasi sebanyak tiga kali sejak dibangun tahun 1806
dengan ukuran yang tetap yakni 10 x 10 m persegi. Masjid Airmata pertama
kali dibangun di kota Kupang sekarang, di Kelurahan Oeba.

Masjid ini merupakan pusat semua kegiatan agama Islam pada awal
mulanya. Untuk pertama kali, shalat Jumat dilaksanakan tahun 1812.
Artinya, setidaknya masjid itu selesai dibangun tahun itu. Masjid pertama
yang berlokasi di Pantai Besi itu, namun berpindah karena digusur oleh
Belanda.

Pertapakan masjid itu akan dipergunakan membangun gedung telegrafis


Belanda. Kaum muslim di Oeba dan sekitar itu memindahkan masjid ini ke
arah baratnya, sekitar muara Sungai Kupang yang lahannya menjadi Kanwil
Departemen Perdagangan Kupang di Jalan Soekarno.

Masjid ini berpindah lagi ke tempat lain karena lahan untuk penjara tidak
ada maka di bekas masjid itu didirikan penjara atau lembaga
pemasyarakatan (istilah sekarang).

Menurut Belanda, letak masjid itu tidak sesuai dalam tata kota masa itu
maka terpaksa pindah-gusur lagi, dari sini (bangunan Penjara Kupang) ke
tempat lain yang harus pindah menyeberangi sungai, ke sebuah lembah
yang biasanya memiliki mata air yang banyak. Sesudah ber-pindah-gusur
beberapa kali, barulah masjid itu berada dan berdiri anggun di tempatnya
yang sekarang, yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama
Masjid Air Mata.

Masjid yang sekarang diberi nama Baitul Qodim atau Masjid Air Mata,
dibangun oleh moyang (nenek) Sya’ban bersama tiga orang moyang lainnya,
yaitu Moyang Syamsuddin, Moyang Arkiang, dar Moyang Barkat.

Bahan-bahan bangunannya seperti pasir diambil dari tepi panti , kemudian


dicuci dengan air tawar, sedangkan semennya dari kapur yang dibuat
sendiri (dibakar sendiri). Bahkan, perekatnya, pereka: “semen” kapur itu
digunakan gula pasir atau kalau kurang digarit: dengan air nira (air pohon
enau yang disadap di tangkai bunganya).

Kayu tidak sepotong pun berasal dari Kupang sendiri, tetapi secara
bergotong-royong dicari masyarakat Islam ke pulau-pulau sekitarnya atau
dihanyutkan dari hulu sungai.

13. Masjid At-Taqwa Lerabaing


Masjid At-Taqwa, Alor - NTT

Masjid At-Taqwa Lerabaing merupakan tempat Ibadah Umat Islam yang


terletak di Desa Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masjid ini letaknya dekat laut yang
berbentuk rumah panggung. Berusia ratusan tahun dan strukturnya
(kecuali atap) masih asli hingga sekarang. Beberapa tiang kakinya miring,
tapi masjid ini masih kokoh berdiri.

Masjid ini dibangun tahun 1633 Maseh moleh Sultan Kima Gogo dan Raya
Kinanggi Atamalei. Konstruksi masjid ini waktu pertamakali dibangun
sederhana bersusun dua dan berbahan kayu. Masjid ini masih memikiki
peninggalan Sultan, antara lain : 4 buah tongkat, 2 buah Rotan, 3 kitab Al-
Quran, 2 bilah Pisau, 1 bilah pisau khitan, 2 buah piring, 2 buah Cangkir, 
1 buah meriam, 1 buah dacing, dan 1 buah jangkar.
Bangunan Mesjid berbentuk rumah panggung dengan ukuran 11 M; Lebar
11 M dan tinggidari tanah ke lantai mesjid 1,5 M, tinggi keseluruhan Mesjid
15 M dengan  luas tanah 750 M memiliki 24 tiang, tangga pintu terbuat dari
kayu, atap bertingkat dari seng. Halaman mesjid dikelilingi dengan pagar
besi dan memiliki satu pintu masuk. Mesjid tua Lerabaing berbentuk rumah
panggung didirikan atas inisiatif orang-orang tua di kampung Lerabaing dan
Sultan Kimie desa Gogo yang berasal dari Ternate (Maluku).

14. Museum Daerah Nusa Tenggara Timur

Museum daerah NTT [Kemendikbud] 

Museum Daerah Nusa Tenggara Timur adalah sebuah museum provinsi


Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terletak di Kota Kupang, Nusa Tenggara
Timur. Terletak di Jalan Raya Eltari II. Museum ini didirikan pada 1977.
Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 9
Januari 1991, museum ini ditetapkan sebagai Museum Negeri dan menjadi
UPT. Dengan terbentuknya otonomi daerah maka status Museum Negeri
berubah menjadi Museum Daerah Nusa Tenggara Timur. Saat ini museum
bertanggung jawab kepada Pemerintah Provinsi NTT dan bernaung di bawah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT

Museum ini terletak di Jalan Frans Seda, Kelurahan Oebobo, Kecamatan


Oebobo, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Museum Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Timur didirikan pada 1977/1978.

15. Percetakan Arnoldus Ende


Percetakan Arnoldus Ende, NTT

Percetakan Arnoldus merupakan percetakan terbesar dan tertua di wilayah


Indonesia bagian timur yang pertama kali beroperasi tahun 1926. Mesin-
mesin tua di Percetakan ini sudah berumur hampir 100 tahun. Gedung
percetakan ini terletak di Jalan Katedral No. 5 Kelurahan Potulando,
Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pada tahun 1926, Pater Petrus mendatangkan sejumlah mesin cetak dari
Jerman. Biarawan setempat diberdayakan mengurusi seluruh aktivitas di
percetakan, mulai dari proses pracetak, pemasangan pelat cetak,
pencetakan, penjilidan buku, hingga distribusi buku. Cetakan pertama
dikerjakan pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam
bahasa Melayu berjudul Sende Aus yang berarti 'utuslah'.

Perusahaan dikelola oleh Serikat Sabda Allah, sebuah perkumpulan religius


dan misionaris Katolik yang dikenal dengan Societas Verbi Divini (SVD).
Sejumlah karya tokoh-tokoh sastra Nusantara juga dicetak dan diterbitkan
di sana, seperti Gerson Poyk, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG,
Pamusuk Eneste, dan Arswendo Atmowiloto. [sumber]

16. Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko


Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko

Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko merupakan sebuah bangunan yang


terletak di Jalan Trans Flores Bajawa-Ende, Desa Mataloko, Kecamatan
Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Rumah Retret Kemah Tabor Mataloko dibangun pada tahun 1932 sebagai
rumah tempat tinggal para misionaris SVD di Mataloko. Bangunan ini
didirikan selang tiga tahun berdirinya bangunan Seminari Santo Yohanes
Berkhmans Todabelu yang berada di depannya. Kedua bangunan tersebut
ada keterkaitannya dalam pembangunannya. Seminari berfungsi untuk
bangunan sekolah atau aktivitas belajar mengajar, sedangkan Rumah Retret
digunakan untuk rumah tinggal para frater yang mengajar di seminari, dan
sekaligus sebagai tempat untuk melakukan pertemuan atau diskusi di
kalangan para frater tersebut.

Rumah Retret ini adalah milik Kongregasi Serikat Sabda Allah. Dalam
bahasa Latin, Serikat Sabda Allah ini dikenal dengan Societas Verbi Divini
(SVD), yaitu salah satu ordo Gereja Katolik Roma yang didirikan pada tahun
1875 di Steyl, Belanda oleh Santo Arnoldus Janssen. SVD ini melakukan
pekabaran injil di wilayah Flores, salah satunya adalah di daerah
Kabupaten Ngada ini.

Bangunan rumah retret ini dulu pernah menjadi tempat sementara


pendidikan calon imam sebelum dipindahkan ke Ledalero pada tahun 1937.
Pada tahun 1943, Jepang menduduki Seminari Tinggi Ledalero. Karena
semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater
mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. [Situs Budaya]
17. Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu

Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu [SMA Seminari St. Yohanes


Berkhmans Todabelu]

Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu adalah sebuah bangunan


yang berlokasi di Kelurahan Todabelu, Kecamatan Golewa, Kabupaten
Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bangunan ini dibangun tahun 1929, atau tiga tahun sebelum Rumah Retret
Kemah Tabor Mataloko yang berada di depannya dibangun. Seminari Santo
Yohanes Berkhmans Todabelu berfungsi untuk bangunan sekolah atau
aktivitas belajar mengajar.

18. Situs Rumah Pengasingan Bung Karno


Situs Rumah Pengasingan Bung Karno [Kemendikbud]

Situs Rumah Pengasingan Bung Karno adalah sebuah bangunan yang


beralamat di Jl. Perwira, Kel. Kotaraja, Ende Utara, Kabupaten Ende, Nusa
Tenggara Timur.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende memiliki luas 742,6 m² (23,5 m x


31,6 m) dan dibangun diatas lahan seluas 110,4 m² (11,5 m x 9,6 m).
Bangunan utama terdiri atas ruang tamu, tengah, dan tiga kamar tidur.
Dapur dan kamar mandi berada di bagian belakang dan terpisah dari
bangunan utama. Di halaman belakang rumah terdapat sebuah sumur yang
dipakai untuk memenuhi kebutuhan air. Rumah bergaya tradisional ini di
desain sederhana, menghadap ke arah timur (Jalan Perwira), lantai dari
plesteran semen, berdinding tembok, dan beratapkan seng dengan langit-
langit dari anyaman bambu. Dinding bagian depan terdapat dua jendela dan
di atas kedua jendela tersebut terdapat markis. Di dalam Rumah
Pengasingan Ir. Soekarno di Ende masih disimpan benda-benda yang
pernah dipakai oleh Ir. Soekarno dan keluarganya, antara lain ranjang besi
dan lemari di kamar tidur; biola, tongkat, lampu minyak dan lampu tekan,
setrika, peralatan makan dan peralatan memasak. 

Bangunan ini menjadi tempat pengasingan Bung Karno setelah beliau


ditangkap sesaat setelah pertemuan politik di rumah Muhammad Husni
Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933. Kemudian dipenjarakan
selama delapan bulan tanpa proses pengadilan. 
Pada tanggal 28 Desember 1933, Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda, De Jonge, mengeluarkan surat keputusan pengasingan Ir.
Soekarno yang saat itu berusia 32 tahun ke Ende, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Ir. Soekarno diasingkan atau dibuang ke Ende karena kegiatan
politiknya membahayakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ir.
Soekarno dan keluarganya bertolak dari Surabaya menuju Flores dengan
kapal barang KM van Riebeeck. 

Setelah berlayar selama delapan hari, mereka tiba di Pelabuhan Ende dan
langsung melaporkan kedatangannya ke kantor polisi. Mereka lalu dibawa
ke rumah pengasingan yang terletak di Kampung Ambugaga, Kelurahan
Kotaraja. Di rumah pengasingan inilah Ir. Soekarno berserta istrinya (Inggit
Garnasih), mertuanya (Ibu Amsi), dan kedua anak angkatnya (Ratna Juami
dan Kartika) menghabiskan waktu mereka selama empat tahun. Ir.
Soekarno dan keluarganya menempati rumah milik Haji Abdullah
Ambuwaru. [Kemendikbud]

19. Taman Nasional Kelimutu

Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu

Taman Nasional Kelimutu terletak di Flores, Indonesia. Taman nasional ini


terdiri dari bukit-bukit dan gunung-gunung dengan Gunung Kelibara (1.731
m) sebagai puncak tertinggi. Gunung Kelimutu, terdapat danau Danau tiga
warna yang juga merupakan tempat dari Taman Nasional Kelimutu.

Di dalam Taman Nasional Kelimutu, terdapat arboretum, hutan kecil seluas


4,5 hektare yang mewakili koleksi keanekaragaman flora di daerah tersebut.
Di sana terdapat 78 jenis pohon yang dikelompokkan ke dalam 36 suku.
Beberapa koleksi flora yang merupakan endemik Kelimutu adalah uta onga
(Begonia kelimutuensis), turuwara (Rhododendron renschianum), dan
arngoni (Vaccinium varingiaefolium). Argoni yang berbunga kecil putih dan
akan berubah menjadi hitam ketika matang, diyakini masyarakat setempat
sebagai makanan para dewa. (Wikipedia)

Secara administratif lokasinya berada di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan


Detsuko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.

20. Taman Renungan Bung Karno

Taman Renungan Bung Karno

Taman renungan Bung Karno yang  terletak di Jalan Soekarno, Kelurahan


Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat dikatakan sebagai tempah lahirnya Pancasila. Bung
Karno merenungkan gagasannya di wilayah Indonesia Timur tersebut.

Taman ini terletak di sekitar lokasi rumah pengasingan Bung Karno di


Ende. Tempat ini dimanfaatkan Bung Karno untuk merenung. Tepatnya di
bawah sebuah pohon sukun. Renungannya membuahkan hasil, Pancasila.
Saat ini taman dikenal dengan Taman Renungan Bung Karno. Juga dikenal
Taman Renungan Pancasila.

Di taman ini terdapat patung Bung Karno, patung tersebut diibaratkan


seperti dirinya yang sedang duduk termenung di bawah pohon sukun
bercabang lima. Patung memiliki pose seperti sedang menatap ke arah laut.
Sementara taman disebut sebagai Taman Renungan Bung Karno, pohon
sukun disebut sebagai Pohon Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai