Anda di halaman 1dari 22

ARTIKEL ARSITEKTUR RUMAH ADAT MANGGARAI

OLEH

JENITA HERDIANTI SENOL (17.31.6066)

PROGRAMSTUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

SEKOLAH TINGGI ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN

SANTU PAULUS RUTENG

1
2019BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kearifan Lokal merupakan sesuatu yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya
mengingat banyaknya kebudayaan di Indonesia yang telah hilang dimakan zaman. Salah
satu kategori kearifan lokal yang telah banyak punah adalah berupa karya arsitektur
tradisional. Berdasarkan kamus, kata arsitektur (architecture), berarti seni dan ilmu
membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu Archi = kepala, dan
techton = tukang, maka architecture adalah karya kepalatukang. "Arsitektur adalah segala
macam pembangunan yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah lingkungan fisik dan
menyesuaikannya dengan skema-skema tata cara tertentu lebih menekankan pada unsur
sosial budaya" (Amos Rapoport). Dalam artian yang lebih luas, Istilah ini mencakup
merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu
perencanaan kota, perancangan perkotaan, lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain
bangunan, desain perabot dan desain produk.

Manusia membutuhkan ruang untuk menikmati kehidupannya sendiri tanpa mendapat


gangguan dari luar, oleh karena itu manusia membutuhkan rumah. Kebutuhan akan sebuah
bangunan merupakan salah satu motivasi untuk mengembangkan kehidupan yang lebih
tinggi, di samping kebutuhan jasmani lainnya, yaitu sandang, pangan dan kesehatan. Rumah
merupakan suatu ruang yang betul-betul menjadi milik seseorang yang bisa diatur menurut
selera dan kehendak yang memilikinya.

Pada jaman dahulu, manusia purba menggunakan gua-gua sebagai rurnah, supaya
terlindungi dari binatang-binatang buas serta gangguan-gangguan alam lainnya, seperti
misalnya hujan, angin, panas, dan sebagainya. Dengan berkembangnya jaman, melalui
berbagai tahapan arsitektur semakin berkembang, bentuk rumah semakin berkembang juga,
sehingga akhirnya mencapai tahap seperti sekarang, mempunyai dinding serta atap yang
kuat, sejalan dengan perkembangan fungsi dan teknologi, yang merupakan cerminan dari
budaya dan lingkungannya.
1
Sejalan dengan kebutuhan manusia penghuninya, maka sebuah rumah harus memenuhi tiga
fungsi utamanya, yaitu: Rumah sebagai tempat tinggal, tempat di mana seseorang bermukim
(menetap), dan mendapatkan ketenangan fisik dan mental. Rumah merupakan mediasi
antara manusia dengan dunia. Dengan mediasi ini terjadi suatu dialektik antara manusia
dengan dunianya. Dari keramaian dunia manusia menarik diri de dalam rumahnya dan
tinggal dalam suasana ketenangannya, untuk kemudian keluar lagi menuju dunia luar untuk
bekerja dan berkarya. Demikian seterusnya terjadi berulang-ulang. Rumah merupakan
arsenal, di mana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melakukan pekerjaan
yang melelahkan.Rumah merupakan sesuatu yang dapat mencerminkan kepribadian
seseorang. Rumah merupakan kebudayaan fisik yang menjadi ciri khas bagi seseorang.
Dalam konteks tradisionalnya, rumah merupakan cerminan dari kultur sosial dan lingkungan
di mana ia tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perbedaan wilayah dan budaya dapat
mempengaruhi bentuk dan ungkapan arsitektural setiap rumah tradisional. Rumah panggung
merupakan bentuk yang paling umum dari rumah-ruamh tradisional yang terdapat di
Indonesia, hal ini disebabkan oleh tujuan masyarakat Indonesia lampau dalam pembangunan
rumah untuk menghindari serangan hewan buas dengan bentuknya yang tinggi. Rumah
panggung Mbaru Niang tidak hanya sekedar rumah sebagai tempat berlindung. Rumah
Mbaru Niang memiliki filosofi yang mencerminkan sifat dan kebijaksanaan suku Manggarai
dalam memperlakukan alam sekitarnya. Ditempat ini pula terjadi proses alamiah dari
kelahiran dan praktik kegiatan religius dari suku Manggarai.

Keunikan dari rumah Mbaru Niang suku Manggarai adalah rumah ini tidak dipengaruhi
oleh kebudayaan lain yang pernah datang ke Indonesia. Bentuk fisik dan filosofi rumah
Mbaru Niang adalah murni kebudayaan asli suku orang Indonesia bagian timur. Bentuk
denah lingkaran sudah menjadi ciri khas bentuk rumah masyarakat timur. Namun rumah
suku manggarai menjadi lebih unik dengan bentuknya yang terus mengecil hingga
puncaknya sehingga menimbulkan bentuk mengerucut.

BAB II
PEMBAHASAN

2
2.1 Lokasi
Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga
sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu. Warga sedesa juga
masih banyak yang belum mengunjungi Wae Rebo, padahal pengunjung asing sudah
banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik ini. Wae Rebo bolah
dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh wisatawan asing yang
berbakat khusus.

Wae Rebo terletak di desa Satar Lenda , Kecamatan Satarmese Barat,


Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hawanya cukup dingin, berada
di ketinggian C. a. 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung Wae Rebo diapiti oleh
gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung tetangga. Kampung Wae
Rebo dikukuhkan oleh Enklave sejak masa penjajahan Belanda.

Meski letak desa ini jauh terpencil, herannya, setiap tahun turis dari berbagai
negara rela menempuh jalan panjang demi mengunjunginya. Di desa yang terletak di
Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini terdapat harta karun
Nusantara, berupa rumah adat yang unik dan kebudayaan yang masih terjaga.

Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan
lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo, sebuah dusun yang
menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur adat budaya Manggarai
yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya. Mengapa berbentuk
kerucut dan dari mana asal muasalnya masih sebuah tanda tanya besar, kecuali secuil
informasi dari tradisi penuturan masyarakatnya sendiri yang merupakan generasi ke-18.

Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Satarmese


Barat, Desa Satar Lenda. Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya jauh terpisah
lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung kabut di ujung
pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa di satu kecamatan
masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti Kampung Denge, desa
terdekat ke Wae Rebo belum seutuhnya menjadi desa tetangga karena belum semua
pernah ke Wae Rebo. Sementara warga Belanda, Perancis, Jerman, hingga Amerika dan
3
beberapa negara Asia sudah sangat terperangah keindahan kampung yang rumahnya
seperti payung berbahan daun lontar atau rumbia yang disebut mbaru niang.

Dari Ruteng, perjalanan dengan kendaraan selama 4 jam yang berkelok


sehingga penumpang tak henti bergoyang. Sampailah di sebuah desa pesisir bernama
Dintor. Jalan terus dilanjutkan menuju tanjakan ke pedalaman pulau menempuh
pematang sawah dan jalan setapak di Sebu sebelum sampai di Denge. Dari Denge
langkah terus dihentakkan melalui hutan kecil, melalui Sungai Wae Lomba. Setelah
mengatur kerja paru-paru di sepanjang jalan setapak, dari Ponto Nao, terlihat pusat Wae
Rebo, sebuah dusun yang mengepul asap dari kerucut-kerucut aneh yang berkumpul di
sebuah lapang hijau. Itulah sisa-sia mbaru niang yang hampir punah.

Perjalanan panjang menuju dusun ini membuat masyarakatnya sedikit terasing


dari peradaban, terutama pendidikan dan kesehatan. Seorang anak bahkan dewasa
dirata-ratakan telah berjalan kaki selama 4 jam sekali keluar dari dusunnya dan kembali
membawa sesuatu seberat 15 kilogram untuk dijadikan bahan makanan cadangan
karena terbatas sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Dalam satu tahun,
diperhitungkan seorang anak akan membawa barang dengan total berat hingga 2 ton.

2.2 Pengaruh Sosial Budaya Setempat Terhadap Mbaru Niang


Mbaru Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi (Mbaru =
Rumah | Niang = Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung tradisional yang
tersisa tujuh di desa Wae Rebo, NTT.

Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat pemerintah
mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran rendah. Seorang
antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya dengan tu’a golo,
pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang, kepala upacara adat. Warga

4
Wae Rebo saat itu tak memutuskan meninggalkan dusunnya. Sudah generasi ke-18
hingga kini Wae Rebo bertahan dari seorang penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo
lebih dari 100 tahun lalu, Empo Maro.

Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai
klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan tersebut memiliki gendang
pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka memiliki pantangan untuk tidak
makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke
Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang
adalah bagian dari leluhur mereka.

Berkembangnya penduduk Wae Rebo membuat keberadaan sebuah desa baru


dirasakan harus dibina. Sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya dengan desa
baru yang disebut Kombo. Tak banyak wisatawan mengetahuinya, walau Kombo dan
Wae Rebo adalah masyarakat yang sama. Akan tetapi, karena lingkungannya
dipertahankan sesuai aslinya, Wae Rebo seolah permata di atas lumpur. Kombo
dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang merintis keberadaan kampung
itu.

Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo, sedangkan orang tua dari
para pria muda serta belasan tahun yang menginjak dewasa tinggal di Wae Rebo.
Mereka semua memiliki kepercayaan yang sama. Katolik adalah agama yang dipeluk
masyarakatnya, walau kepercayaan animisme masih kental terasa dalam kehidupan
mereka.

Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum
bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin
pada penunggunya. Bila tak berizin maka tanah akan menjerit dan merintih. Bercocok
tanam pun harus rutin agar tanah tidak ‘menangis’ sedih. Warga Wae Rebo memandang
tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti manusia yang harus dihormati.

5
Gambar 1.2

Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas bantuan
penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu mengangkat batu
besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan ini memiliki
jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat panjang dan parasnya cantik
rupawan. Setelah panggung ini selesai, tarian cacidigelar dan juga tabuhan gendang
dilaksanakan (mbata).

Rumah Mbaru Niang memanfaatkan karya arsitektur sebagai alat pemersatu antar
keluarga dari setiap klan suku Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat
dan ditinggali oleh sekitar delapan keluarga. Rumah Mbaru Niang yang terdapat di Wae
Rebo. Hanya ada tujuh Mbaru Niang dan rumah itu tersusun seperti planet yang
megorbit pada matahari.

Warga Waerebo memang memiliki filosofi yang sangat unik. Pada awalnya tetua atau
raja Waerebo memiliki delapan anak. Ini mengapa ada delapan klan di Desa Waerebo.
Yang menarik, rumah Niang tidak dibangun sebanyak delapan untuk ditinggali masing-
masing klan. Sebaliknya, tiap satu Rumah Niang, yang memiliki delapan kamar, wajib
dihuni oleh masing-masing keturunan dari kedelapan klan tersebut. Mereka benar-benar
memakai arsitektur sebagai alat pemersatu.

6
Gambar 2.2

Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau
ilalang dengan kerangka atap dari bambu. Dan tiang-tiang utama menggunakan kayu
worok yang besar yang diambil sayu pohon utuh. Sebelum di pakai, kayu tersebut telah
dipersiapkan secara tradisional agar menjadi kayu yang baik dan kuat dan dipilih kayu
yang cukup umur. selain kayu, masyarakat juga mengumpulkan bermeter-meter rotan
untuk mengikat, ijuk dan alang-alang untuk atap dan bambu. seluruh bahan ini
dipersiapkan dan dikumpulkan sedikit-sedikit sesuai yang disediakan alam yang dapat
diambil secara bijaksana oleh masyarakat.

Meski tidak terlalu besar, pembagian ruangan di dalam mbaru niang menunjukkan
fungsi rumah sebagai tempat tinggal, untuk menyimpan hasil panen, juga untuk
memuja nenek moyang.

7
Desain rumah panggung selain melindungi penghuni dari binatang buas dan tanah yang
basah, kolong rumah kerap digunakan untuk menenun.Biasanya, wanita Waerebo
menenun saat tidak bekerja di kebun. Makanya, untuk menyelesaikan satu buah sarung,
bisa memakan waktu sebulan, atau lebih.

Sarung di sini ada dua macam: songke dan curak. Songke mempunyai ciri khas, yaitu
berwarna dasar hitam dengan motif hias berwarna biru, kuning, hijau, putih, jingga, dan
magenta. Ini sarung khas Manggarai. Motif hiasnya bisa bermacam-macam: bunga,
daun, atau kotak-kotak geometris. Songke digunakam saat acara resmi, juga dikenakan
sehari-hari.

Curak adalah sarung bermotif gari-garis dengan aneka warna cerah. Sarung-sarung ini
lumayan tebal, sehingga, selain dipakai sebagai bawahan, pada malam hari bisa untuk
menghangatkan tubuh.

2.3. Arsitektur Mbaru Niang


Mbaru Niang merupakan karya arsitektur tradisional yang cerdas dan mengagumkan.
Mbaru Niang mendapatkan Award of Excellence, yang merupakan penghargaan
tertinggi dalam bidang pelestarian warisan budaya. Penghargaan ini diberikan kepada
proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah
berumur lebih dari lima puluh tahun.

Rumah tradisional ini berhasil mengalahkan 42 kandidat lainnya dari 11 negara di Asia
Pasifik, antara lain sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina, dan
Masjid Khilingrong di Pakistan.

Keberhasilan ini adalah lompatan yang mengejutkan, mengingat Wae Rebo belum
banyak dibicarakan hingga empat tahun yang lalu. Wae Rebo bisa dibilang sebagai
spesies langka. Tidak banyak tersisa rumah kerucut di Flores, yang adalah rumah adat
suku Manggarai. Tetapi ia juga bukan sekedar bentuk. Penduduk setempat masih
mempertahankan keutuhan tradisi setempat, yang kemudian membuat bentuk menjadi
berarti.

8
Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek
pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu
konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.”

Selain mendapatkan penghargaan dari UNESCO, Mbaru Niang juga mendapatkan


penghargaan dari Aga Khan Award. Semua penghargaan tersebut tidak terlepas dari
keunikan dan kecerdasan konstruksi suku Manggarai terhadap pembangunan Mbaru
Niang.

Sebuah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat yang masing-masing tingkatnya memiliki
fungsi dan maksud yang berbeda-beda.

Pada tingkat pertama yang disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan
berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan untuk
bersama, semacam ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar yang disekat
menggunakan papan, dan dapur di bagian tengah rumah. Atap rumah terbuat dari ijuk
dan alang-alang. Pada tempat ini juga terjadi proses masak-memasak yang meggunakan
asap.

Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo yang berfungsi untuk menyimpan bahan
makanan dan barang-barang sehari-hari. Asap dan panas dari tungku yang berada pada
tingkat pertama berguna untuk mengawetkan kayu bangunan, juga persediaan makanan
yang disimpan di loteng.

Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti
benih jagung, padi, dan kacang-kacangan.

Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan
pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen.

Tingkat kelima atau merupakan tempat paling atas dalam rumah Mbaru Niang dan
merupakan tempat suci yang disebut hekang kode. Tempat ini digunakan untuk
menempatkan sesaji buat leluhur wae rebo.

9
Gambar 3.2

Dimensi dari Mbaru Niang adalah lebar lantai pertama 11 m dan terus mengerucut
hingga kepuncaknya, tinggi dari tanah hingga pucuknya 15 meter, pondasi menancap
hingga kedalaman 2 meter.

2.4 Filosofi Rumah Mbaru Niang.


Mbaru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari cuaca dan gangguan dari
luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo, Mbaru Niang merupakan
wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari
kehidupan sosial warga desa Wae Rebo.

Konon dulunya leluhur suku Manggarai yang bermukim di dataran Flores memiliki
delapan orang pewaris. Oleh karena itu terdapat delapan suku yang tersebar di dataran
Flores. Namun leluhur mereka saat itu tidak membangun delapan rumah untuk dihuni
10
oleh masing-masing kepala keluarga. Hanya terdapat tujuh buah Mbaru Niang yang
masing-masing Mbaru Niang dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku.

Tujuan para leluhur terdahulu adalah agar sosialisasi antar suku semakin erat dan dapat
terus terjalin hubungan antar tiap keluarga. Oleh karena itu sudah sangat jelas maksud
dan tujuan dari pembangunan tujuh buah Mbaru Niang.

Bentuk rumah panggung menjadikan Mbaru Niang sebagai rumah yang sempurna
sebagai tempat perlindungan dari hewan buas dan berdasarkan dari letak geografisnya,
desa Wae Rebo berada pada wilayah gempa empat dan lima sehingga bentuk rumah
panggung juga sangat kondusif untuk wilayah tersebut.

Seperti umumnya rumah tradisional Indonesia, Mbaru Niang yang berlantai lima ini
adalah rumah komunal. Di dalamnya hidup sekitar delapan keluarga. Setengah dari
rumah adat terdiri dari kamar-kamar tidur yang disusun melingkar mengelilingi pusat.
Sedangkan setengah yang lain adalah ruang terbuka untuk berkumpul. Di ruang itulah
Warga Waerebo biasa menerima tamu-tamunya.

Para leluhur dahulu membuat tujuh buah rumah dengan formasi setengah lingkaran. Di
bagian tengah adalah rumah gendang (niang gendang) atau rumah utama, yang
berukuran lebih besar dan memiliki puncak yang sedikit berbeda. Dan enam rumah lain
disebut niang gena atau rumah biasa.

2.5 Material dan Konstruksi Mbaru Niang


Pembangunan mbaru niang bisa disebut sebagai ‘knock down’, atau bangunan yang
dapat di bongkar pasang tanpa merusak bahan utama dan bisa dipergunakan kembali.

Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang
digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat
"honai" di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk
kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk.

11
2.6 Pondasi
Pondasi dari mbaru niang terdiri dari beberapa bilang batang kayu yang ditanam ke
tanah sedalam 2 meter. terdapat permasalah pondasi pada bangunan lama, yaitu kayu
yang membusuk karena lembab atau rapuh, sehingga tak kuat menahan keseluruhan
bangunan rumah. seiring dengan kedatangan tamu dan beberapa masukan dari ahli,
pondasi mbaru niang sekarang dibungkus dengan plastik dan ijuk untuk melindungi
kayu bersentuhan langsung dengan tanah wae rebo yang lembab.

Gambar 4.2

2.7 Lantai Pertama


lantai pertama ini berdiameter 11 meter, dan merupakan lantai utama, dimana disinilah
kehidupan sosial masyarakat berlangsung. lantai pertama ini dibuat segera setelah
pondasi selesai dilaksanakan, berlandaskan balok-balok dan hamparan papan kayu dan
dikelilingi glondongan rotan besar sebagai dudukan utama atap. Di atas lantai pertama

12
inilah didirikan tiang utama hingga kepucuk mbaru niang / Ngando yang dilngkapi
dengan tangga bambu untuk menaiki setiap tingkatnya.

Gambar 5.2

13
Gambar 6.2

14
Gambar 7.2

2.8 Tiang Utama / Bongkok


Tiang utama berdiri diatas lantai pertama. untuk menyangga tiang utama ini, ditahan
dengan tali rotan yang diikatkan pada tiga hingga 4 pasak.tiang utama ini akan
menjadi penyangga dari keseluruhan aktivitas pembangunan rumah, sehingga harus
sangat diyakinkan ikatan pada pasaknya benar-benar kuat.

Gambar 8.2

15
Penyangga Dinding dan dinding (atap)
Penyangga dinding yang sekaligus berfungsi sebagai atap ini adalah kumpulan rotan
dalam satu ikatan, ukurannya sangat besar, dan panjangnya disesuaikan dengan
keliling lingkaran, jadi yang paling panjang adalah pada lantai satu, sepanjang 34,54
m (keliling lingkaran = 2 phi r) dan semakin keatas semakin pendek. kumpulan
rotan inilah yang membentuk bulatan pada mbaru niang.

Gambar 9.2

16
Gambar 10.2

selain kumpulan rotan besar itu sebagai penyangga utama, ada juga bambu-bambu /
buku bambu yang berfunsi sebagai ‘reng’ atau penyangga yang mengikat sekumpulan-
kumpulan ijuk atau alang-alang yang disusun bergantian.

Gambar 11.2

17
Pekerjaan Lanjutan
setelah lantai pertama dan tiang utama berdiri, pembangunan tiap-tiap lantai akan
menyesuaikan, dibangun secara simultan dari lantai terbawah, terus hingga keatas.
setelah keseluruhan struktur utama selesai, hingga bambu-bambu pengikat atap siap,
barulah pemasangan ijuk dan alang-alang dilakukan untuk menutupi keseluruhan
rumah.

Gambar 12.2

Bangunan ini hanya menggunakan rotan untuk mengikat pertemuan-pertemuan balok


atau kayu dan pasak atau kunci kayu. Waktu pekerjaan dari pondasi hingga selesai
sekitar tiga bulan, yang dilakukan secara gotong royong oleh para laki-laki. setiap
malam hari ada pertemuan untuk membahas kelanjutan pekerjaan, dimana orang tua
akan memberikan saran atau metode pembangunan kepada yang lebih muda dan apa
yang harus dilakukan keesokan harinya. setiap pekerjaan akan dimulai dan diakhiri
dengan bunyi gendang.

18
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki makna
simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi rumah
Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud pemaknaan
akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni tersebut. Bangunan
rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga memberi nilai estetik
yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para pemiliknya. Hal tersebut
terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan pandangan kosmologis
mereka.

Rumah Mbaru Niang dibangun memiliki makna simbolis yang sangat kuat, di mana
konstruksi rumah dibangun dalam lima tingkat yang mewakili lima makna. Sedangkan
secara fungsional, Mbaru Niang memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana
kehidupan itu harus dibangun dan sosialitas mereka terhadap keluarga, masyarakat dan
lingkungan mereka. Fungsi ruang-ruang dalam Mbaru Niang juga mewakili konsep
kosmologis mereka. Orang Manggarai memandang rumah tidak hanya sekedar tempat
tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan,
dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan
tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.

Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah tradisional
tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni. Mbaru Niang
yang dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang lebih
komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak hanya
dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula melihat
makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian menjadi padu
dalam karya arsitektur Mbaru Niang berupa rumah kerucut. Di mana unsur estetika
nampak dan makna-makna simbolis juga sangat kuat di dalamnya.

19
20
DAFTAR PUSTAKA

http://bandanaku.wordpress.com

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mbaru_Niang&veaction=edit&section=3

http://www.akdn.org/architecture/project.asp?id=4317

http://www.dezeen.com/

http://www.femina.co.id/

http://www.floresecotourism.com/profil/2/2/alam_flores_barat.html

http://www.indonesia.travel/

21

Anda mungkin juga menyukai