2. Negara kepulauan
Selain letaknya yang strategis, faktor yang menyebabkan perbedaan suku bangsa di
Indonesia adalah kondisi negara kepulauan. Secara total, ada 16.771 pulau di Indonesia,
dari Sabang sampai Merauke.
Hal ini membuat hubungan antarmasyarakat di pulau yang satu dengan yang lainnya
kerap terhambat, sehingga masyarakat di pulau tertentu mulai mengembangkan
kebiasaannya sendiri.
Tak hanya kebiasaan, masyarakat di masing-masing pulau juga mengembangkan adat,
budaya, sampai kepercayaannya masing-masing. Alhasil, Indonesia semakin beragam.
Masing-masing daerah jadi punya suku, bahasa, budaya, sistem kepercayaan, agama,
sampai norma dan nilai yang berbeda-beda di masyarakatnya.
Contohnya, bahasa orang Padang berbeda dengan orang Jawa. Bahasa Padang lebih
banyak terkena pengaruh Melayu, sementara bahasa Jawa menyerap pengaruh India.
Kondisi ini yang menjadi salah satu faktor penyebab keberagaman suku bangsa dan
budaya Indonesia.
3. Kondisi alam
Faktor penyebab keberagaman budaya di Indonesia berikutnya adalah kondisi alam.
Sama halnya dengan budaya yang berbeda-beda di masing-masing daerah, kondisi
alamnya juga tak sama.
Hal ini tentu berdampak pada keberagaman di Indonesia karena mempengaruhi
kebiasaan, mata pencaharian, makanan pokok, pakaian, kesenian, bentuk rumah, tata
kehidupan masyarakat, sampai kepercayaan di tiap daerah.
Masyarakat yang berada di pegunungan misalnya, mata pencahariannya bercocok tanam
sebagai petani. Mereka mungkin lebih terbiasa makan sayuran dan buah karena mudah
mendapatkannya.
Sementara masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan mata pencahariannya melaut
sebagai nelayan, mungkin lebih jarang makan sayur dan buah. Namun, mereka terbiasa
makan hidangan laut.
Rumah tradisional atau Rumah adat adalah rumah yang dibangun dengan cara yang sama dari
generasi kegenerasi dan tanpa atau dikit sekali mengalami perubahan. Rumah tradisional dapat
juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan memperhatikan kegunaan, serta fungsi
sosial dan arti budaya dibalik corak atau gaya bangunan. Penilaian kategori rumah tradisonal
dapat juga dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat ketika rumah tersebut didirikan misalnya
seperti untuk upacara adat. Rumah tradisional ialah ungkapan bentuk rumah karya manusia yang
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau berkembang bersamaan dengan
tumbuh kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Ragam hias arsitektur pada rumah
tradisional merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Rumah tradisional merupakan komponen
penting dari unsur fisik cerminan budaya dan kecendrungan sifat budaya yang terbentuk dari
tradisi dalam masyarakat. Rumah tradisional ialah sebagai hasil karya seni para aksitektur
tradisional. Dari rumah tradisional masyarakat dapat melambangkan cara hidup, ekonomi dan
lain-lain. Di Indonesia setiap daerah mempunyai rumah tradisional yang beragam karena
beragamnya budaya dalam setiap daerah yang ada di Indonesia.
Berikut ini adalah macam-macam rumah adat yang ada di 34 provinsi di Indonesia
Rumah Aceh "Rumoh Aceh" atau "Rumah Krong Bade" merupakan rumah adat dari suku Aceh.
Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian
utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh
dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab
adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang
pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: "Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau
masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain
merah dan putih sedikit". Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu
dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. karenanya terlihat
bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek
moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan
pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan
pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami
meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik
isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh,
istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang
yang memiliki rumah.
Umah Pitu Ruang yang didalam bahasa Indonesia berarti "Rumah Tujuh Ruang" yaitu rumah
adat masyarakat suku Gayo provinsi Aceh. Rumah ini berbentuk panggung yang terdiri dari
tujuh ruang di atas, sedangkan dibawahnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan perkakas
pertanian dan kayu bakar. Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu pada pembuatan susunan
rumah tidak menggunakan paku. Melainkan dengan dipasak dengan kayu dengan bermacam-
macam ukiran di setiap kayunya. Ukiran tersebut berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan
sampai dengan ukiran seni Kerawang Gayo dengan pahatan khusus.
Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) adalah
peninggalan raja Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin. Sudah berdiri dari sejak jaman pra-
kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti
sejarah dari orang asli Gayo yang sampai sekarang masih ada.
Rumah Bolon atau Rumah Balai Batak Toba adalah rumah adat dari suku Batak yang ada di
Indonesia. Rumah Bolon berasal dari daerah Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah simbol dari
identitas masyarakat Batak yang tinggal di Sumatra Utara. Pada zaman dahulu kala, rumah
Bolon adalah tempat tinggal dari 13 raja yang tinggal di Sumatra Utara. 13 Raja tersebut adalah
Raja Ranjinman, Raja Nagaraja, Raja Batiran, Raja Bakkaraja, Raja Baringin, Raja Bonabatu,
Raja Rajaulan, Raja Atian, Raja Hormabulan, Raja Raondop, Raja Rahalim, Raja Karel Tanjung,
dan Raja Mogam. Ada beberapa jenis rumah Bolon dalam masyarakat Batak yaitu rumah Bolon
Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah Bolon Karo, rumah Bolon Mandailing, rumah Bolon
Pakpak, rumah Bolon Angkola. Setiap rumah mempunyai ciri khasnya masing-masing.
Sayangnya, rumah Bolon saat ini jumlah tidak terlalu banyak sehingga beberapa jenis rumah
Bolon bahkan sulit ditemukan. Saat ini, rumah bolon adalah salah satu objek wisata di Sumatra
Utara. Rumah Bolon adalah salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan.
Rumah adat Sumatera Utara yang terkenal berikutnya adalah rumah adat Karo yang juga dikenal
sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami
delapan keluarga. Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut.
Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni
di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing
ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan
pula oleh adat. Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara
ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu
julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah
sendipar ujung kayu.
Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari
bahan ijuk. Bentuk desain Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara selain sebagai wujud seni budaya
Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut memiliki arti
tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup dengan melihat
rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak berbudaya.
Rumah Adat Mandailing
Bangunan arsitektur tradisional Rumah Adat Batak Mandailing Sumatera Utara adalah bukti
budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur tradisional
Batak Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah satu dari
beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut mendapat
perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung baik tidak
langsung.
Batak Simalungun berdiam di sebagian wilayah Deli Serdang sebelah Timur Danau Toba.
Rumah adatnya berbentuk panggung dengan lantai yang sebagian disangga balok-balok besar
berjajar secar horizontal bersilangan. Balok-balok ini menumpu pada pondasi umpak. Dinding
rumah agak miring dan memilliki sedikit bukaan/jendela. Atapnya memilliki kemiringan yang
curam dengan bentuk perisai pada sebagian besar sisi bawah, sedang sisi atas berbentuk pelana
dengan gevel yang miring menghadap ke bawah. Pada ujung atas gevel biasanya dihiasi dengan
kepala kerbau. Tanduknya dari kerbau asli dan kepalanya dari injuk yang dibentuk. Bagian-
bagian konstruksi Rumah Adat Batak Simalungun Bolon diukir, dicat serta digambar dengan
warna merah, putih dan hitam. Selain sarat dengan nilai filosofis, ornamentasi rumah memiliki
keunggulan dekoratif dalam memadukan unsur alam dan manusia dengan unsur geometris.
Rumah Adat Batak Simalungun Bolon menyampaikan sebuah ungkapan pertemuan masyarakat
dapat dimunculkan dengan bentuk geometri segi empat yang ditengahnya diberi lingkaran lalu
diberi corak ragam hias manusia beruang berkeliling lingkaran. Menyampaikan sebuah ungkapan
hubungan dua manusia ditampilkan dengan bentuk geometri kotak melambangkan dekorasi
badan manusia di mana bagian atas dan bawahnya diberi kepala dalam posisi berlawanan arah.
Corak ragam ornamen Rumah Adat Batak Simalungun Bolon ini selalu berulang, melalui proses
tradisi turun temurun, berkembang dan berpadu saling melengkapi dengan bentuk dekorasi lain.
Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung tradisional
orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias
jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri
(Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.
Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar, yang
beralaskan rumbia. Bentuk denahnya ada yang bulat telur (di Nias utara, timur, dan barat), ada
pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan). Bangunan rumah panggung ini tidak
berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara kerangkanya tidak memakai
paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan dalam rumah adat ini terbagi dua,
pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta bagian belakang untuk keluarga
pemilik rumah.
Omo Sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatra Utara.
Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar
dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi
penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu. Akses
masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk atap rumah yang
sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan
musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempa bumi.
Omo Hada Laraga adalah salah satu jenis rumah adat Nias. Rumah ini berasal dari daerah Nias
Utara dan memiliki ciri berbentuk oval. Rumah ini didirikan dari kayu dengan atap daun rumbia.
Suasana rumah sejuk dengan ventilasi yang memadai. Pembedanya dari jenis rumah adat Nias
lainnya yaitu bentuknya yang oval dengan atap rumbia yang curam dan tinggi. Bagian dinding
terbuka di bagian atas, namun diapit horizontal dengan kutub kayu. Ini memungkinkan aliran
udara yang baik serta perlindungan bagi penghuninya. Di dalam rumah juga terdapat berbagai
ukiran. Sudut yang ereng memberikan posisi yang menguntungkan bagi penghuni rumah saat
terjadi serangan dari luar. Sebuah tangga kayu mengarah ke serambi kecil yang tertutup yang
berfungsi sebagai pintu masuk rumah.
Angkola merupakan salah satu etnis yang berdiri sendiri, walaupun banyak orang yang
menyamakannya dengan mandailing. Rumah adat tersebut juga dinamai dengan Bagas dan
Gondang seperti halnya rumah adat Mandiling. Tetapi tetap ada beberapa perbedaan diantara
rumah adat keduanya. Rumah adat Angkola yang berasal dari Sumatera Utara mempunyai ciri
atap yang terbuat dari bahan ijuk dan dindingnya terbuat dari papan. Salah satu ciri khas dari
rumah adat tersebut adalah selalu menggunakan warna yang dominan hitam.
Rumah adat Bagas Godang
Bagas Godang adalah Rumah adat atau arsitektur tradisional Suku Mandailing dengan
konstruksi yang khas. Rumah besar ini dahulu sebagai tempat tinggal atau tempat istirahat raja.
Berbentuk empat persegi panjang yang disangga kayu-kayu besar berjumlah ganjil. Ruang terdiri
dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Terbuat dari kayu, berkolong dengan
tujuh atau sembilan anak tangga, berpintu lebar dan berbunyi keras jika dibuka. Kontruksi atap
berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati. Satu komplek dengan Bagas Godang
terdapat Sopo Godang, Sopo Gondang, Sopo Jago, dan Sopo Eme. Keseluruhan menghadap ke
Alaman Bolak.
Alaman Bolak adalah sebuah bidang halaman yang sangat luas dan datar. Selain berfungsi
sebagai tempat prosesi adat, juga menjadi tempat berkumpul masyarakat. Sering juga disebut
alaman bolak silangse utang. Maksudnya, siapapun yang lari kehalaman ini mencari
keselamatan, ia akan dilindungi raja.
Sopo Godang adalah tempat memusyawarahkan peraturan adat. Selain itu, tempat ini juga
dijadikan untuk pertunjukan kesenian, tempat belajar adat dan kerajinan, bahkan juga tempat
musyafir bermalam. Berbagai patik, uhum, ugari dan hapantunan lahir dari tempat ini. Juga
disiapkan untuk menerima tamu-tamu terhormat. Dirancang berkolong dan tidak berdinding agar
penduduk dapat mengikuti berbagai kegiatan di dalamnya. Karenanya Sopo Godang juga disebut
Sopo Sio Rangcang Magodang, inganan ni partahian paradatan, parosu-rosuan ni hula dohot
dongan. Artinya, Balai Sidang Agung, tempat bermusyawarah melakukan sidang adat, menjalin
keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat.
Sopo Jago adalah tempat naposo bulung duduk-duduk sambil menjaga keamanan desa.
Sopo Gondang adalah tempat menyimpan Gorgang Sambilan atau alat-alat seni kerajaan lain.
Alat-alat itu biasanya dianggap sakral.
Sopo eme atau hopuk adalah tempat menyimpan padi setelah dipanen, lambang kemakmuran
bagi huta.
Seluruh komplek bangunan bagas godang pada masa lalu tidak berpagar. Sekalipun raja yang
menempatinya, tetapi seluruh bangunan ini dianggap sebagai milik masyarakat dan dimuliakan
warga huta.
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah
tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut
dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang
menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di sumatra barat, Namun tidak semua kawasan di
Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah
memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada
kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan
oleh para perantau Minangkabau.
Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo adalah rumah adat tradisional Minangkabau yang
dibuat oleh masyarakat Suku Dalimo dan termasuk cagar budaya Indonesia. Tidak seperti rumah
gadang pada umumnya yang memiliki sembilan ruang, rumah gadang ini memiliki 13 ruang
dengan fungsi tertentu.
Rumah gadang 13 Ruang terletak di Jalan Sungai Jodi, Desa Sungai Jodi, Kecamatan Lubuk
Tarok, Sijunjung, Sumatra Barat. Pada awalnya, rumah gadang ini memiliki 17 ruang yang
merupakan milik kelarasan Koto Piliang. Ciri khasnya ditandai dengan anjuang, yaitu bagian
lantai pada sisi samping kanan (Timur) rumah yang ditinggikan.
Rumah Gadang 20 Ruang adalah sebuah rumah Gadang yang terpanjang di Sumatra Barat.
Secara geografis terletak di Nagari Sulit Air, X Koto Diateh Jorong Silungkang, Solok.
Bangunan ini terdaftar sebagai cagar budaya dengan nomor inventaris 03/BCB-TB/A/15/2007 di
Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar. dari sejarahnya, bangunan ini dinamakan rumah
gadang 20 ruang karena bilik atau kamar pada rumah ini terdiri dari 20 buah. Rumah Gadang 20
ruang dibangun pada tahun 1820, tetapi bangunan ini terbakar dan kemudian didirikan kembali
pada tahun 1901 selesai pada tahun 1907. Pembagunan rumah Gadang 20 Ruang setelah terbakar
tidak dibangun lagi sesuai aslinya. Rumah Gadang yang pertama atapnya terbuat dari ijuk dan
dinding semuanya diukir tetapi pada saat pembangunan kembali,terjadi perubahan pada bagian
atab dan dinding. sekarang, Atapnya memakai seng dan bagian dindingnya tidak lagi diukir tapi
polos.
Rumah Gadang Baanjuang adalah salah satu objek wisata berupa bangunan Rumah Gadang,
rumah adat suku Minangkabau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
Sumatra Barat. Bangunan ini juga dikenal dengan nama Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan
Iskandar karena rumah ini merupakan milik keluarga sastrawan Nur Sutan Iskandar, seorang
sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Rumah ini sekarang dipelihara oleh ahli
warisnya yang bernama Ibu Romlah, adik bungsu Sutan Iskandar dari lain ibu. Bangunan ini
telah dimasukkan ke dalam situs cagar budaya Indonesia dengan SK Menteri
NoPM.86/PW.007/MKP/2011 kategori Benda Cagar Budaya tahun 2011 dengan nomor
Registrasi Nasional RNCB.20111017.02.000615, dan saat ini dikelola oleh BP3 Batusangkar.
Rumah Gadang Kajang Padati adalah rumah gadang di Minangkabau yang tidak memiliki
atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi bentuk atap pedati yang berupa atap pelana,
tetapi melancip di ujung-ujungnya. Rumah gadang ini dapat ditemukan di Padang, khususnya di
daerah Kuranji, Pauh, dan Koto Tangah. Pada masa Kesultanan Aceh, terdapat aturan rumah
gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi harus ada paduan Aceh dengan
Minangkabau. Oleh karena itu, rumah gadang ini mendapat pengaruh dari Aceh, terutama pada
bentuk tangga dan ukirannya.
Rumah Gadang Kampai Nan Panjang adalah rumah adat tradisional Minangkabau milik
Datuk Penghulu Basa dari Suku Kampai Nan Panjang. Rumah gadang ini terletak di Nagari
Belimbing (sekitar 13 km dari Batusangkar), Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar,
Sumatra Barat. Berusia lebih kurang 300 tahun, konstruksinya sebagian besar tidak mengalami
perubahan hingga saat ini.
Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah tempat tinggal yang memiliki arsitektur
bergaya khas Minang dengan atap yang bergonjong empat dan terbuat dari ijuk. Keseluruhan
bangunan bagian luar terdiri dari kayu berwarna hitam. Hanya terdapat satu pintu masuk ke
bagian dalam rumah dan tangganya tepat berada di tengah-tengah. Bangunan ini terdiri dari tujuh
bilik (kamar), yang masing-masing berukuran 1,5 x 3 meter persegi. Biasanya rumah gadang
memiliki ruangan dalam jumlah yang ganjil, bisa 5, 7,9 dan seterusnya, tetapi pada umumnya
jumlah ruang yang ada adalah sambilan ruang. Bentuknya persegi empat dan atapnya terbuat dari
ijuk. Ruangan bagian tengah rumah gadang ini merupakan ruangan terbuka tanpa sekiat dan
bilik. Pintu utamanya hanya satu dan terletak di bagian tengah. Dinding bagian luar dan dalam
polos tidak ada ukiran. Ruangan dalam bagian belakang merupakan bilik-bilik yang berfungsi
sebagai kamar tidur. Pintu bilik berukuran oval dengan diameter sangat kecil (30 cm) sehingga
untuk masuk ke dalam bilik harus membungkuk.
Seperti rumah gadang pada umumnya, rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah ini
tidak berplafon sehingga langsung terlihat tulang-tulang yang menyusun rangka atapnya, hanya
di bagian ujung sebelah kiri yang ada bagian seperti loteng tempat penyimpanan. Lantainya rata
dan tidak ada anjung di bagian ujung, dilapisi bilah bambu yang bersusun-susun. Sepanjang
rumah bagian belakang yang menuju kamar terdapat bagian lantai yang lebih tinggi satu anak
tangga membujur serta membentuk huruf "U" ke ujung kiri dan kanan.
Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat dan
banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Uma
ini dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum konstruksi uma
ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan
silang bertakik.
Dalam rumah Uma ini, selain rumah utamnya, terdapat bagian-bagian lain, yang masing masing
memiliki nama dan fungsi tersendiri. Ruangan utama dinamakan Lalep. Bagian ini adalah tempat
tinggal bagi sepasang suami istri, yang pernikahannya disahkan secara adat. Bagian ini terdapat
di dalam Rumah Uma. Bagian yang ke dua dinamakan Rusuk. Baian ini merupakan tempat atau
ruang khusus, yang diperuntukkan bagi anak-anak muda, para janda untuk bernaung, dan mereka
yang di asingkan karena melanggar aturan adat Suku Mentawai. Dari segi konstruksi, Rumah
Uma ini memiliki panjang sekitar 30 meter, dengan lebar 10 meter dan memiliki tinggi sekitar 7
meter.
Selain ruangan utama yang dibuat berdasar kebutuhan utama, ada juga bangunan yang dibangun
di luar bangunan utama yaitu, sebagai tempat menyimpan cadangan makanan, seperti padi dan
hasil-hasil perkebunan, bangunan ini disebut lumbung atau dalam bahasa minang disebut
lumbuang padi, atau rangkiang.
Saat Perang Paderi tahun 1821-1837 banyak rumah gadang yang berkurang oleh karena kondisi
sosial politik masa perang, banyak rumah gadang dibakar dan hancur di Nagari Sumpur
Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar terdapat sekitar 200 lebih rumah gadang,
sebagian besar berada di Jorong Nagari, yaitu salah satu jorong di Nagari Sumpur, sejalan waktu
Jumlah tersebut berkurang secara drastis, terutama disebabkan oleh terjadinya gejolak sosial-
politik pemerintahan di masa perang Paderi.
Pada bulan Oktober 2013 jumlah rumah gadang yang ada di Nagari Sumpur tinggal 45 rumah.
Kondisinya, ada 30 rumah yang masih layak huni, sedangkan 15 rumah yang tidak layak huni
atau butuh renovasi. Berdasarkan jumlah ruangnya, rumah gadang di Nagari Sumpur dapat
dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu rumah gadang baanjuang kecil, rumah gadang
bagonjong, rumah gadang baanjuang besar.
Rumah Gadang lainya juga dapat kita temukan di luar kawasan sumatra barat seperti Rumah
Gadang Datuk Bisai di Kecamatan Kuantan Tangah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi
Riau Dan Rumah Tradisional Negeri Sembilan di Negeri Sembilan, Malaysia.
Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar adalah rumah adat khas Daerah Riau yang berupa balai
selaso jatuh. Balai atau rumah adat ini difungsikan sebagai tempat berkegiatan bersama, sebagai
tempat pertemuan, tetapi tidak digunakan sebagai tempat tinggal pribadi. Rumah Adat Selaso
Jatuh Kembar dikenal juga dengan sebutan balai penobatan, balirung sari, balai karapatan dan
sebagainya. Dulu bangunan ini sangat ramai karena kerap digunakan oleh warga untuk
melaksanakan acara-acara adat lokal, seperti musyawarah, penobatan kepala adat, untuk rapat
perihal desa dan bahkan untuk melaksanakan upacara adat. Akan tetapi, sekarang semua itu telah
digantikan oleh masjid.
Perkampungan Rumah Tuo Rantau Panjang adalah sebuah lokasi perkampungan yang masih
mempertahankan bangunan-bangunan tua/lama yang dibangun sekitar 300 - 400 tahun yang lalu.
Disebut perkampungan rumah tuo, karena di kampung tersebut masih ada bangunan rumah tua
yang didirikan tahun 1330, dan masih bertahan hingga sekarang. .
Rumah Rakit
Rumah Rakit adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Rumah rakit
merupakan salah satu rumah tertua di Provinsi Sumatera Selatan, diperkirakan sudah ada sejak
zaman Kerajaan Sriwijaya. Rumah rakit dibangun di atas rakit dan mengapung di sepanjang
pinggiran Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Supaya tidak hanyut terbawa arus,
rumah diikat pada sebuah serdang (penambat).
Rumah Ulu
Rumah ulu adalah salah satu dari tiga tipologi arsitektur rumah tradisional yang berada di
wilayah Sumatra Selatan, dua yang lainnya adalah Rumah Limas dan Rumah Gudang. Rumah ini
berasal dari dataran tinggi Besemah di barat dan menyebar ke arah timur dataran rendah
pemukiman sepanjang sungai Ogan. Rumah Ulu berbentuk panggung dengan dinding berbentuk
kotak dan atap berbentuk curam. Rumah ulu merupakan rumah tradisional warga yang bertempat
tinggal di daerah hulu Sungai Musi, Sumatra Selatan. Secara etimologis, rumah ulu berasal dari
kata uluan yang memiliki arti pedesaan. Uluan juga digunakan sebagai sebutan bagi masyarakat
yang bermukim di bagian hulu Sungai Musi.
Ghumah Baghi
Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti yang
ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatra dan Malaka. Di daerah ini dikenal ada
tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas.
Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti kayu, bambu, rotan,
akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar
pemukiman.
Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di
muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas
rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang.
Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan
pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari pelepah/kulit
kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada penambahan
bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena pengaruh
dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain
pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari
bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh
non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan
bentuk lengkung.
Rumah Bubungan Lima adalah rumah adat dari provinsi Bengkulu. Rumah ini memiliki model
seperti rumah panggung yang ditopang oleh beberapa tiang penopang. Rumah ini bukanlah
rumah tinggal seperti pada umumnya. Rumah ini biasanya dipakai untuk acara adat masyarakat
Bengkulu. Rumah ini terbagi atas tiga bagian yaitu rumah bagian atas, rumah bagian tengah, dan
rumah bagian bawah. Rumah Bubungan Lima memiliki materi dasar yaitu kayu. Kayu yang
dipilih pun bukan kayu sembarangan melainkan kayu yang kuat dan tahan lama. Kayu yang
biasanya digunakan untuk membangun Rumah Bubungan Lima adalah Kayu Medang
Kemuning. Rumah Bubungan Lima dibangun tinggi agar menghindari pemilik rumah beserta
keluarga dari serangan binatang liar dan juga dari bencana alam seperti banjir. Karena tinggi
Rumah Bubungan Lima ini, maka orang-orang yang hendak masuk ke dalam rumah pun harus
menggunakan tangga. Tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah umumnya
mempunyai jumlah anak tangga yang ganjil sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bengkulu.
Rumah Bubungan Lima ini merupakan salah satu Budaya Indonesia yang menjadi objek wisata.
Rumah adat Enggano ditemukan di Pulau Enggano. Secara administrasi Pulau Enggano masuk
dalam wilayah Propinsi Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Indonesia. Rumah ini berupa
rumah panggung dua lantai setinggi enam meter dengan bentuk bangunan bulat atau melingkar
berukuran 8 x 8 meter.
Masyarakat adat Enggano merenovasi dan membangun enam rumah adat yang digunakan
sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan adat, namun bisa disewakan untuk para
wisatawan yang berwisata ke Pulau Enggano. Enam rumah adat tersebut antara lain:
1. Rumah adat Suku Kaitora.
2. Rumah adat suku Kauno.
3. Rumah adat Suku Kaaruba.
4. Rumah adat Suku Kaharubi.
5. Rumah adat Suku Kaahua.
6. Rumah adat suku Kamay.
Pulau Enggano yang dihuni penduduk terbagi menjadi lima suku asli
yakni Kaitora, Kauno, Kaharuba, Kaahua, Kaharubi dan warga pendatang yang diberi
nama suku Kamay.
10. Rumah Adat Provinsi Lampung
Rumah Nuwo Sesat
Nuwo Sesat adalah rumah adat yang berasal dari provinsi Lampung. Dalam bahasa
setempat, Nuwou berarti rumah atau tempat tinggal. Sedangkan Sesat berarti bangunan
musyawarah. Jadi bisa dibilang Nuwou sesat adalah Bangunan atau rumah untuk bermusyarawah
para tetua adat Lampung.
Sesuai dengan namanya, Nuwou Sesat digunakan sebagai balai pertemuan adat
antar penyimbang (tetua masing-masing marga) pada saat mengadakan pepung adat atau
musyawarah. Oleh karena itu, Nuwou Sesat juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian-bagian yang
terdapat pada bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Sedangkan Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan atau serambi, biasa digunakan
untuk pertemuan kecil. Pusiban atau ruang tempat musyawarah resmi. Ruang tetabuhan tempat
menyimpan alat musik tradisional, dan ruang gajah merem (tempat istirahat bagi para tetua).
Pada sisi depan bangunan ini terdapat ukiran ornamen bermotif perahu. Hal lain yang khas di
bangunan ini adalah hiasan payung-payung besar berwarna putih, kuning, dan merah pada bagian
atapnya. Payung-payung tersebut merupakan lambang dari tingkat tetua adat bagi masyarakat
tradisional Lampung. Secara fisik Nowou Sesat berbentuk rumah panggung bertiang. Sebagian
besar materialnya terbuat dari papan kayu. Dahulu rumah sesat beratap anyaman ilalang, namun
sekarang sudah menggunakan genting.
Kedatun Keagungan
Rumah adat Kedatun Keagungan terletak di jalan Sultan Haji Nomor 45, Sepang Jaya,
Kedaton, Bandar Lampung, dahulu berfungsi sebagai rumah pribadi seorang raja. Ketika
memasuki areal rumah adat, pengunjung akan disambut dengan gerbang besar yang terbuat dari
besi. Bahkan untuk membukanya dibutuhkan dorongan dari kedua tangan. Di dalamnya berjejer
singgasana sang tokoh adat, ukiran-ukiran kayu, sepaket kolintang atau alat musik khas
Lampung, pakaian-pakaian adat, meriam serta ribuan benda antik lainnya.
Kedatun Keagungan merupakan rumah adat atau istana adat yang diwariskan secara turun-
temurun oleh keturunan Lampung pepadun. Rumah panggung yang terbuat dari kayu tersebut
menjadi syarat menjadi seorang Suttan atau raja secara adat. Namun, rumah adat berusia ratusan
tahun tersebut kini dialihfungsikan sebagai laboratorium pendidikan budaya Lampung.
Rumah adat Lampung ini memiliki arti kata, yaitu lamban adalah rumah dan pesagi adalah
persegi, karena denahnya berbentuk segi empat. Rumah ini berasal dari Desa Kenali, Kecamatan
Belalau, daerah Gunung Pesagi di Lampung Barat yang bersuhu dingin. Lokasi tersebut
mempengaruhi gaya arsitektur Lamban Pesagi yang tertutup atau tidak ditemui serambi terbuka
di bagian depan.
Rumah panggung ini konon dibangun sebagai solusi atas kondisi alam Sumatera. Rumah
panggung membuat warga aman dari ancaman banjir bahkan hewam buas yang sewaktu waktu
menyerang.
Bangunan Suku Baduy dirancang berdasarkan konsep ekologis, yaitu memadu dengan alamiah
lingkungannya. Untuk membangun rumah digunakan bahan dan konstruksi alami berasal dari
wilayah terdekat. Sama sekali tidak menggunakan bahan dengan campuran bahan kimia yang
lebih modern. Dalam membuat rumah masyarakat baduy menggunakan patokan arah Barat-
Selatan sejalan dengan arah cahaya matahari yang menyinari bangunan, sehingga cahaya
matahari dan angin akan masuk ke dalam rumah sebagai penambah kesehatan dan kesegaran
melalui celah dinding.
Ukuran luas rumah setiap warga tidak sama satu dengan lainnya. Hal ini disengaja karena lahan
semakin terbatas dan memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendirikan sebuah rumah, setiap
warga tidak sembarang membangun pada lahan yang kosong. Melainkan harus ada surat ijin
khusus dari perangkat adat, termasuk untuk penentuan posisi rumahnya. Adapun ukuran luas
rumah pada umumnya berkisar 7m x 7m, 9m x 10m, bahkan ada yang mencapai 12m x 10m.
Masyarakat Etnik Baduy memiliki pola pemukiman klaster. Artinya rumah-rumah berhimpun
terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan
mengelilingi kampung sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Orientasi
rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan, sehingga rumah
pejabat adat dan rumah warga tidak berada di belakang atau di samping rumah Puun. Rumah
pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun. Adapun tata letaknya bahwa rumah
Dinas Girang Serat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan rumah Dinas Puun. Demikian
pula dengan letak Rumah Dinas Jaro. Rumah para mantan pejabat adat berada di depan kanan
dan kiri rumah Dinas Puun. Perlu diketahui bahwa para pejabat adat seperti Puun, Girang Serat,
dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib menempati rumah dinasnya. Para pejabat ini
akan tidak menempati rumah dinas bila sudah tidak menjabat. Adapun waktu menjabatnya
disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi
maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk undur diri. Rumah Puun berhadapan langsung
dengan Balai adat. Balai Adat ini berfungsi untuk melaksanakan berbagai keperluan adat, seperti
rapat adat, prosesi sunatan, prosesi lamaran. Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada
di belakang sebelah kanan Balai adat. Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan
bahan-bahan alami, seperti kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah. Bambu
digunakan sebagai sebagian kerangka, dinding dan tali-temali. Daun nipah digunakan untuk atap.
Rumah adat sulah nyanda tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk kubus atau
persegi dengan ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama. Perkiraan ukurannya lebih kurang
10cm x 10cm, atau 10cm x 15cm. Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan
lingkungan rumahnya. Rumah ini hanya memiliki satu pintu ke luar masuk, pintu itu disebut
dengan Panto. Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat
terasan yang disebut papange. Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang
disebut taraje.
Kasepuhan Banten Kidul
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah
tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan
di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan
Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan
Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan
Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi. Kawasan tersebut meliputi dua provinsi, yakni Jawa
Barat dan Banten.
Rompok adat adalah rumah tradisional di Kasepuhan yang tetap dipertahankan secara turun
temurun dalam keadaan seasli mungkin. Kondisi rompok adat tampak tua karena sudah berumur,
namun tetap berdiri kokoh. Konstruksi bangunannya berupa rumah panggung yang dibuat dari
bahan baku kayu dan bambu, serta beratap sebagian sirap dan sebagian lagi ijuk. Jendela rumah
tidak dilapisi kaca, tetapi hanya berjeruji kayu dan berdaun jendela kayu.
Ciri khas dari rumah ini adalah rumah ini memiliki teras yang luas yang berguna untuk menjamu
tamu dan menjadi tempat bersantai keluarga. Pada zaman dahulu, masyarakat betawi membuat
sumur di depan rumahnya dan pemakaman yang berada disamping rumah. Dan, dinding
rumahnya terbuat dari panel-panel yang dapat dibuka dan digeser-geser ke tepinya. Hal ini
dimaksudkan agar rumah terasa lebih luas.
Rumah ini dapat dibedakan menjadi 2 bagian dari segi sifatnya, yakni bagian depan bersifat semi
publik, sehingga setiap orang dapat melihat betapa asri dan sejuknya rumah tersebut. Dan yang
kedua adalah bagian belakang yang bersifat pribadi. Bagian ini hanya boleh dilihat oleh orang-
orang dekat dari pihak pemilik rumah.
Rumah Darat
Rumah darat juga disebut Rumah Depok adalah rumah tradisional Betawi dengan lantai yang
dibangun di atas permukaan tanah. Rumah ini berbeda dengan rumah panggung Betawi yang
tidak menempel ke darat.
Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam
komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena rumah daratlah yang sering diangkat
dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah darat
bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, dan di Anjungan DKI Jakarta,
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Rumah darat juga diangkat dalam beberapa
acara televisi bertemakan Betawi, sebut saja Sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Rumah panggung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Betawi yang lantainya
ditinggikan dari tanah dengan menggunakan tiang-tiang kayu. Rumah ini berbeda dengan rumah
darat yang menempel ke tanah. Rumah panggung Betawi dibangun di kawasan pesisir dengan
tujuan untuk menanggulangi banjir atau air pasang. Sementara itu, rumah panggung yang terletak
di tepi sungai seperti di Bekasi tidak hanya dibangun untuk menghindari banjir, tetapi juga untuk
keamanan dari binatang-binatang buas.
Rumah Betawi pada umumnya tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Selain itu, rumah
Betawi juga tidak memiliki peraturan baku dalam menentukan arah. Walaupun begitu, rumah
panggung Betawi masih memiliki ciri khas dalam hal detail dan peristilahan. Salah satunya
adalah tangga di depan rumah panggung Betawi disebut balaksuji. Balaksuji diyakini dapat
menolak bala; sebelum memasuki rumah melalui balaksuji, seseorang harus membasuh kakinya
terlebih dahulu sebagai lambang penyucian diri.
Bahan untuk membangun rumah panggung Betawi diambil dari daerah sekitar, seperti kayu
sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia. Kayu-kayu lain juga
dapat digunakan, seperti kayu jati untuk membuat tiang. Dalam membangun rumah, orang
Betawi percaya bahwa terdapat berbagai pantangan dan aturan yang perlu diikuti untuk
menghindari musibah. Sebagai contoh, rumah yang dibangun sepatutnya berada di sebelah kiri
rumah orang tua atau mertua. Ada pula larangan membuat atap rumah dari bahan yang
mengandung unsur tanah. Rumah panggung Betawi sendiri telah dipengaruhi oleh berbagai
macam budaya, dari Jawa, Sunda, Melayu, hingga Tiongkok dan Arab, dan Belanda.
Rumah Koko
Rumah Koko adalah bentuk rumah tradisional di Kemayoran. Bahan-bahan yang diperlukan
antara lain kayu, genteng, pager, dan bambu. Tiang kayu dibuat dari potongan kayu dan diberi
lubang dengan jarak 3 meter sehingga nantinya rumah akan berukuran sekitar 7x9².
Tanah tempat rumah didirikan kemudian diukur dan diurug setinggi 15cm. Pada setiap jarak 3m
diberi umpak berbentuk batu persegi empat dan umumnya lebih besar daripada tiangnya. Untuk
umpak yang besarnya sama dengan tiang, dipendam dalam tanah kira-kira 10cm. Setelah umpak
dipasang, baru tiang rumah satu per satu didirikan. Kemudian dipasang bubungan, kaso-keso dari
kayu, reng dari bambu, genteng, jendela depan yang disebut jendela bujang, pintu depan dan
belakang (biasanya pintu dibuat dari pintu nangka), dan pagar dari anyaman kayu.
Pagar rumah dikapur sedang pintu dan jendela diprenis dengan malam. Untuk lantai hanya
disiram air dan disebari dengan serbuk dari gergajian lalu disapu sampai bersih. Bagian depan
pintu dipasang langkan dari kayu berbentuk balang-balang di sebelah kiri. Sedang bagian kanan
dan tengah dibiarkan kosong.
Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati
yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan kompleks keraton Pakungwati
(sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada
tahun 1529 M. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari
nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung
Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua.
Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu
Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Capit Gunting
Capit Gunting merupakan nama bangunan rumah atau lebih tepatnya bentuk atap rumah yang
ada di wilayah Jawa Barat. Bentuk bangunan ini sering digunakan pada zaman dahulu.
Terkadang sampai saat ini pun sering digunakan.
Dalam kebudayaan Sunda, nama bentuk atap rumah disebut sebagai susuhunan. Dalam
kebudayaan Sunda lama, Capit Gunting merupakan salah satu nama susuhunan atau bentuk atap
di masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Atau dalam bahasa lainnya, istilah untuk nama
susuhunan ini disebut Undagi. Undagi itu sendiri adalah tata arsitektur.
Capit Gunting tersusun dari dua kata, yaitu Capit dan Gunting. Dalam konteks dan arti dalam
bahasa Sunda, Capit berarti asal mengambil dengan ujung barang yang sama-sama dijepitkan.
Sedangkan gunting sendiri dalam basa Sunda juga berarti peralatan semacam pisau untuk
memotong kain atau bisa dispesifikasikan sebagai pisau yang menyilang. Di kenyataannya,
bentuk Capit Gunting adalah ujung atapnya memakai kayu atau bamboo yang dibuat bercagak
atau bercabang seperti gunting yang hendak menjepit. Seperti makna dari nama Capit
Gunting itu pula, maka bentuknya adalah seperti gunting yang sedang terbuka.
Rumah-rumah tradisional Sunda sebagian besar mengambil bentuk dasar struktur atap pelana,
umumnya disebut atap gaya kampung, terbuat dari bahan-bahan dedaunan (ijuk; serat aren hitam,
hateup dedaunan atau dedaunan palem) menutupi kerangka kayu dan balok, dinding anyaman
bambu, dan strukturnya dibangun di atas panggung pendek. Variasi atapnya bisa berupa atap
melandai dan pelana (kombinasi atap pelana dan melandai).
Atap pelana menjorok yang lebih rumit disebut julang ngapak, yang berarti "burung
menggepakkan sayapnya". Bentuk-bentuk rumah tradisional Sunda tersebut meliputi:
Buka Pongpok
Capit Gunting
Jubleg Nangkub
Badak Heuay
Tagog Anjing
dan Perahu Kemureb
Ornamen umumnya termasuk ujung-ujung atap berbentuk "o" atau "x" yang disebut capit
gunting, yang sangat mirip dengan beberapa desain "x" atap rumah Melayu.
Saung Rangon
Saung Ranggon adalah salah satu rumah adat Jawa Barat yang paling tua. Berlokasi di
Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Saung
Ranggon diyakini merupakan peninggalan para wali pada abad ke-16 oleh Pangerang Rangga,
putra dari Pangeran Jayakarta.
Nama Cikedokan juga berkaitan dengan rumah adat Saung Rangon yang dulu menjadi tempat
persinggahan Kerajaan Jayakarta. Nama Cikedokan berasal dari kata kedok yang berarti topeng.
Jadi, Cikedokan memiliki arti penyamaran. Nama ini juga tidak sembarangan diberikan karena
ada asal muasalnya.
Bangunan saung biasanya dibuat dengan ketinggian 3 sampai 4 meter di atas permukaan tanah.
Hal ini ditujukan untuk menjaga keselamatan penghuninya dari gangguan hewan buas, seperti
babi hutan dan harimau.
Rumah berbentuk panggung dan hampir semuanya terbuat dari kayu ini telah dibangun sekitar
300 tahun yang lalu oleh Raden Sanata. Rumah tersebut dibangun untuk berdakwah dan
menyebarkan agama Islam. Sejak tahun 2012, rumah adat Panjalin telah tercatat sebagai Warisan
Budaya Tak Benda Indonesia dengan nomor registrasi 2012002337.
Rumah Adat Penjalin hampir menyerupai rumah kayu Minahasa, Sulawesi Utara dari segi
bentuk bangunan dan bangunan. Secara fisik, rumah ini termasuk dalam kategori rumah
panggung yang disangga oleh 16 tiang penyangga dari kayu yang berukuran 9 x 9 m, dan
menempati areal seluas 172 meter persegi. Material pembangun dalam pembuatan rumah ini
hanya berupa kayu-kayu berukuran besar dan bambu. Sepintas, bangunan peninggalan sejarah ini
hampir mirip dengan gudang padi orang tua pada zaman dahulu.
Tujuan rumah adat ini dibangun oleh keturunan dari Kerajaan Talaga adalah untuk berdakwah
dan menyebarkan agama Islam. Namun saat sekarang ini, keberadaan Rumah Adat Panjalin
menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan. Dengan segala keunikan dan sejarahnya,
bangunan ini menjadi objek penelitan bahkan tugas akhir bagi para akademisi berbagai
perguruan tinggi di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan akademisi, rumah adat Panjalin juga
ramai dikunjungi oleh berbagai elemen masyarakat yang hanya sekadar ingin tahu.
Rumah adat cikondang menurut sejarahnya telah berusia 200 tahun. Desa cikondang pernah
mengalami kebakaran pada tahun 1942, sehingga bangunan yang tersisa hanya rumah adat ini.
Rumah ini mengalami perbaikan oleh pemerintah daerah pada tahun 2010 tanpa mengubah
bentuk aslinya. Sekarang rumah tradisional ini menjadi rumah adat tempat masyarakat
melakukan kegiatan adat dan tradisi budaya masyakat cikondang.
Bentuk lokasi tinggal joglo pada zaman dahulu merupakan berbentuk bujur sangkar dan ditopang
oleh empat buah tiang di dalamnya. Tiang-tiang ini mempunyai istilah yakni "saka guru". Nah,
penopang tiang itu ialah sebuah blandar bersusun yang biasa dikenal dengan 'tumpangsari'.
Mengikuti pertumbuhan zaman, lokasi tinggal ini memiliki sekian banyak macam modifikasi
sendiri-sendiri, cocok dengan orang yang menempatinya. Akan tetapi format yang sangat sering
dijumpai ialah bentuk persegi. Dalam urusan bahan, lokasi tinggal ini selalu memakai bahan
kayu. Kayu yang dipakai seperti kayu jati, sengon serta bahan pohon kelapa. Dikarenakan dalam
pemakaiaan kayu dinilai lebih awet, tahan lama, dan mempunyai kekuatan tinggi.
Rumah pada arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe
dasar (pokok) yaitu:
1. Rumah Limasan (atap limas)
2. Rumah Kampung (atap pelana)
3. Rumah Panggang Pe
4. Rumah Mesjidan/Tajugan
5. Rumah Joglo
Jenis joglo:
Joglo ceblokan
Joglo kepuhan limolasan
Joglo lambangsari
Joglo kepuhan lawakan
Joglo kepuhan awitan
Joglo wantah apitan
Joglo Limasan Lawakan (atau "Joglo Lawakan").
Joglo Sinom ( Sinom Apitan)
Joglo Jompongan (Jompongan Pokok)
Joglo Pangrawit
Joglo Mangkurat
Joglo Hageng
Joglo Semar Tinandhu
Joglo Jepara
Joglo Kudus
Joglo Pati
Joglo Rembang
Rumah Adat Jepara memiliki atap genteng yang disebut "Atap Wuwungan", dengan bangunan
yang didominasi seni ukir empat dimensi (4D) khas kabupaten Jepara yang merupakan
perpaduan gaya dari budaya Hindu-Jawa, Islam-Arab, Tionghoa-Cina dan Eropa-Portugis.
Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 600-an Masehi (era Kerajaan Kalingga)
dengan 95% kayu Jati asli.
Rumah adat Kudus atau joglo pencu disebut juga joglo Kudus adalah rumah tradisional asal
Kudus yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus.
Rumah adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut atap pencu dengan bangunan yang
didominasi seni ukir yang sederhana khas Kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya
dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina (Tionghoa) dan Eropa (Belanda). Rumah ini
diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an M dengan 95% kayu jati asli. Joglo Kudus
mirip dengan Joglo Jepara tetapi perbedaan yang paling kelihatan adalah bagian pintunya. Joglo
Kudus hanya memiliki 1 pintu sedangkan Joglo Jepara memiliki 3 pintu.
Joglo Pati
Rumah Adat Pati Joglo Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan
perpaduan gaya dari budaya Jawa dan Tiongkok. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar
tahun 1700-an Masehi dengan 90% kayu Jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus tetapi
perbedaan yang paling tampak adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.
Dalam arsitektur Joglo pati terdapat Pintu Gerbang Majapahit yaitu peninggalan sejarah berupa
Pintu Gerbang terbuat dari kayu jati. Pintu gerbang ini merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit yang diangkat oleh Kebo Nyabrang sebagai persyaratan untuk diakui sebagai
Putra Sunan Muria. Namun setelah tiba di Desa Rondole, Kebo Nyabrang tidak mampu lagi
mengangkat dan tidak mampu melanjutkan perjalanan kemudian menunggui pintu gerbang
tersebut sampai meninggal dunia.
Joglo Rembang
Rumah adat Rembang atau Joglo Bocokan disebut juga Joglo Rembang adalah Rumah
tradisional asal Rembang salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi
kebudayaan masyarakat Kabupaten Rembang, jawa tengah.
Joglo Rembang dahulunya rumah jenis ini dindingnya terbuat dari gedeg dalam bahasa Jawa
artinya anyaman bambu bagi golongan orang kelas bawah, sedangkan bagi golongan kelas
menengah keatas dindingnya Rumah Joglo Bocokan terbuat dari papan kayu jati. Keunikan dan
keistimewaan Rumah Adat Rembang (Joglo Bocokan) tidak hanya terletak pada keindahan
arsitekturnya, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki
makna filosofis berbeda-beda.
Rumah adat Bangsal kencono Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para
raja Keraton Yogyakarta. Selain dikenal difungsikan sebagai tempat tinggal raja, rumah adat
Bangsal Kencono juga memiliki fungsi sebagai ruang pertemuan penting. Dilihat dari desainnya
bentuk Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki sedikit pengaruh dari seni arsitektur khas
Belanda, Portugis dan Cina. Di dalam desain Rumah Adat Bangsal Kencono tampak ada unsur-
unsur desain tersebut meski didominasi oleh adat Jawa dari segi ukiran, atap, bentuk tiang dan
dinding bangunannya. Atap Rumah Bangsal Kencono bentuknya mirip dengan rumah adat Jawa,
Joglo, secara umumnya. Rumah ini memiliki bagian atap yang bubungan tingginya ditopang oleh
empat tiang di tengah. Tiang itu disebut Soko Guru. Material pembuatan atap terdiri atas genteng
yang terbuat dari tanah atau sirap. Sementara bagian dinding dan tiang dibuat dari bahan kayu,
umumnya jika bukan kayu Jati akan dipilih kayu nangka yang memiliki kualitas tinggi karena
tahan lama, tidak mudah rapuh oleh cuaca. Khusus Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki
warna hijau tua atau hitam pada tiang penopang. Tiang ini juga ditopang oleh umpak batu
berwarna hitam keemasan. Sementara untuk lantainya, Rumah Adat Bangsal Kencono di
Keraton sudah memiliki lantai yang dibuat dari marmer atau batu granit. Permukaan bagian
dalam Rumah Adat Bangsal Keraton posisinya lebih tinggi daripada bagian halamannya,
sehingga ada anak tangga di area pintu masuk Rumah Adat Bangsal Kencono.
Ciri khas rumah Adat Bangsal Kencono dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi
Ukuran luas dari rumah Adat Bangsal Kencono biasanya disesuaikan dengan kebutuhannya.
Khusus untuk Bangsal Kencono milik keraton Yogyakarta, ukurannya sangat luas dan besar
guna menampung tamu istana yang jumlahnya bisa ratusan sampai ribuan. kedua, dari segi
desain dan motif ukiran Bangsal Kencono akan didesain berdasarkan filosofi selaras dengan
alam. Desain interior dan eksterior akan disesuaikan satu sama lain. bila desain interior dihias
dengan ukiran-ukiran yang bernuansa alam, maka desain interiornya dihias dengan beragam pot
bunga dan terdapat pula sangkar burung untuk menyempurnakan pemandangan. Arti dari
keberadaan sangat burung yang dilengkapi dengan seekor burung di Bangsal Kencono sendiri
cukup unik. Filosofi dari sangkar dan burung di sini sebagai klangenan, sebuah wahana di mana
raja atau penghuni istana dapat bermain dan berkomunikasi dengan burung untuk melepas
penatnya. Di samping itu juga menjadi simbol betapa hewan merupakan bagian penting dari
istana Kerajaan Ngayogyakarta. Dalam budaya Jawa, ocehan burung menjadi pertanda sesuatu
yang berhubungan dengan alam. Karena Raja Keraton Yogyakarta dipercaya memiliki hubungan
khusus dengan alam, maka burung dalam nuansa kejawen ini menjadi sebuah pemandu untuk
memahami keadaan alam setiap harinya. Ketiga, dari segi Fungsi Bangsal Kencono di kompleks
keraton sangat kompleks. Selain sebagai ruang pertemuan antara Raja dengan para tamu,
Bangsal Kencono juga menjadi ruang untuk melakukan upacara adat maupun ritual keagamaan
bagi masyarakat. Raja akan menjadi pemimpin upacara dan para abdi dalem serta staf keluarga
keraton berada di lingkungan Bangsal Kencono untuk mengikuti jalannya upacara. Keempat,
dari segi Susunan bangunan Bangsal Kencono di Keraton Yogyakarta cukup kompleks. Bangsal
Kencono di Keraton Yogyakarta juga menjadi bagian dari ruang publik. Susunannya terbagi atas
tiga bagian ruang yang disesuaikan pula dengan fungsi-fungsinya.
Joglo Situbondo adalah rumah adat provinsi Jawa Timur. Meskipun memiliki nama Joglo,
namun rumah adat ini berbeda dengan rumah tradisional Joglo di Jawa Tengah. Tak dipungkiri
juga keduanya memiliki beberapa kemiripan. Kegunaan rumah ini adalah sebagai rumah tempat
tinggal, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai peninggalan bersejarah. Hal ini
dikarenakan rumah ini kental dengan budaya nenek moyang di masa lalu. Sinkretisme agama dan
kepercayaan kejawen memberikan pengaruh terhadap bentuk dan tata ruang rumah adat Joglo.
Rumah Joglo Situbondo ini memiliki ciri khas dengan kesederhanaannya, namun memiliki cita
rasa seni yang tinggi. Secara ukuran, rumah adat ini tidak terlalu besar.
Rumah tradisional ini memiliki bentuk limasan atau dara gepak. Joglo Situbondo sesuai dengan
namanya banyak ditemukan di daerah Situbondo, Jawa Timur. Hal inilah yang menjadikan
namanya menjadi Joglo Situbondo. Namun, selain di sana, rumah adat ini juga banyak
ditemukan di Ponorogo.
Pada umumnya bangunan ini menggunakan kayu jati murni sebagai bahan bangunannya. Hal ini
dipercayai karena kayu jati memiliki kekuatan yang besar serta memiliki daya tahan yang cukup
lama. Tata bangunan rumah adat Joglo Situbondi ini mencerminkan hubungan antar sesama
manusia serta manusia dengan alam sekitar. Prinsip ini tercermin jelas melalui tata bangunannya.
Selain itu, kepercayaan masyarakat Jawa juga sangat banyak mempengaruhi dalam porsi
pembangunan rumah adat ini. Pondasi, tiang penyangga, tanah yang diratakan serta dibuat lebih
tinggi dari sekelilingnya merupakan beberapa hal yang mencerminkan pengaruh budaya Jawa
dalam pembangunan rumah adat ini.
Rumah Limasan
Struktur rangka pada rumah limasan berupa batang-batang kayu yang kemudian disusun dengan
sistem kubus beratap limas. Bangunan dengan gaya limasan tergolong fleksibel, dimana
sambungan antar kayu tidak saling kaku. Sehingga bangunan dengan gaya ini dapat digunakan di
daerah yang rawan gempa.
Tanean Lanjhang adalah Permukiman tradisional Madura adalah suatu kumpulan rumah yang
terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan
garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman
hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing
kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai
10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua, anak,
cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung merupakan ciri khas dari kelompok
ini.
Dhurung
Dhurung adalah nama dari sebuah bangunan tak berdinding yang terbuat dari kayu atau bambu.
Atapnya berupa rumbai yang terbuat dari daun pohan yang dalam bahasa Bawean disebut
pohon dheun. Dalam tradisi masyarakat Bawean, pulau yang berjarak sekitar 120 km arah utara
dari Kabupaten Gresik, Jawa timur. "Dhurung" ini digunakan untuk menerima tamu yang
sifatnya nonformal atau sekedar duduk-duduk santai dan beristirahat setelah pulang bekerja serta
mengobrol dengan tetangga sebagai sarana sosialisasi antar warga. Selain sebagai tempat
istirahat dhurung juga difungsikan sebagai lumbung padi atau hasil panen lainnya yang diletakan
pada bagian atasnya. Jika dilihat sekilas, dhurung ini mirip gazebo pada rumah-rumah moderen
saat ini.
Bagian rangka dan papan dudukan terbuat dari kayu sedangkan atapnya terbuat dari rumbia yang
dalam bahasa bawean disebut dheun. Kayu yang digunakan biasanya kayu jati atau kayu lokal
yang ada disekitar Bawean. Bagian yang cukup menarik dari dhurung ini adalah pada ukiran di
beberapa bagian seperti tiang serta adanya jhelepang yaitu semacam jebakan atau penghambat
tikus sehingga dapat melindungi lumbung padi.
Rumah Adat Tengger adalah rumah adat yang dibangun oleh suku Tengger yang ada di daerah
lereng Gunung Bromo, desa Ranupane, kabupaten Lumajang, provinsi Jawa Timur.
Rumah Panjang (rumah Radank) adalah salah satu rumah adat dari daerah Kalimantan Barat.
Rumah Panjang adalah ciri khas dari masyarakat Dayak yang tinggal di daerah Kalimantan
Barat. Hal ini dikarenakan rumah panjang adalah gambaran sosial kehidupan masyarakat Dayak
di Kalimantan Barat. Rumah panjang juga merupakan pusat kehidupan dari masyarakat Dayak.
Saat ini, rumah panjang di Kalimantan Barat dapat dikatakan hampir punah karena jumlahnya
yang sedikit. Pada tahun 1960, pemerintah menghancurkan beberapa rumah panjang karena
dicurigai menganut paham komunis. Rumah panjang di daerah Kalimantan Barat identik dengan
rumah panjang yang ada di Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan letak geografi Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah yang sangat berdekatan. Keduanya sama-sama dikenal dengan
nama Rumah Betang.
Dahulu kala, rumah Panjang dari Kalimantan Barat terbuat dari kayu. Rumah panjang dari
Kalimantan Barat mempunyai tinggi 5 sampai 8 meter. Tinggi rumah tergantung dari tinggi tiang
yang menopang rumah tersebut. Rumah panjang dari Kalimantan barat mempunyai panjang
sekitar 180 meter dan lebar 6 meter. Rumah panjang memiliki sekita 50 ruangan. Ruangan-
ruangan ini umumnya dihuni oleh banyak keluarga yang di dalamnya juga termasuk keluarga
inti. Untuk masuk ke rumah panjang, keluarga mengunnakan tangka atau anak tangga. Rumah
panjang di Kalimantan Barat mempunyai bentuk yang sempit tetapi dengan ukuran panjang yang
ekstrem. Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar. Rumah panjang terdiri dari beberapa bagian
yaitu teras atau biasa disebut dengan pante, ruang tamu yang biasa disebut dengan samik, dan
ruang keluarga. Dalam ruang tamu terdapat sebuah meja yang disebut pene yang berfungsi
sebagai tempat berbicara atau menerima tamu. Pene berbentuk lingkarang dan digunakan untuk
meletakkan makanan atau minuman untuk menyambut tamu. Ruang keluarga adalah ruang
sederhana yang mempunyai panjang 6 meter dan lebar 6 meter. Bagian belakang rumah panjang
digunakan sebagai dapur untuk keluarga. Umumnya, setiap keluarga mempunyai dapur masing-
masing.
Pada umumnya, rumah panjang digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Akan tetapi,
rumah panjang tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja. Rumah panjang dibangun
tinggi karena berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas. Tinggi rumah panjang juga
berperan untuk menjaga keselamatan keluarga dari serangan suku-suku lain dalam masyarakat
Dayak. Rumah panjang juga sering kali digunakan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat seperti
rapat atau pertemuan-pertemuan. Tidak hanya pertemuan-pertemuan masyarakat, rumah panjang
juga dipakai untuk upacara-upacara adat atau ritus-ritus yang ada dalam masyarakat Dayak. Oleh
Karena itu, rumah panjang bukan hanya milik pribadi tetapi juga milik masyarakat Dayak.
Rumah Baluk
Rumah Baluk atau Balug adalah rumah adat Dusun Hli Buei, Desa Sebujit, Kecamatan Siding,
Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Meski serumpun dengan Suku Dayak, bentuk rumah
adat Suku Dayak Bidayuh berbeda dari Suku Dayak yang kebanyakan berbentuk panjang dan
besar dengan nama Rumah Betang. Perbedaan ini dikarenakan kontur tanah kampung Sebujit
didominasi perbukitan dan lembah sehingga tidak memungkinkan membangun Rumah Betang.
Balug biasanya dibangun di dataran paling tinggi di kampung supaya makin mendekatkan diri
kepada Tipaiyakng (Tuhan) dan memudahkan untuk memantau keadaan kampung. Selain itu
juga balug digunakan sebagai pusat kegiatan warga kampung dan pusat informasi. Tahun 2010,
replika Rumah Balug dibangun di Taman Mini Indonesia Indah.
Bentuknya seperti kaleng ceper beratap limas dengan 3 tingkatan dan 1 buah bumbungan sebagai
tempat menyimpan peti berisi tengkorak hasil ngayau. Terakhir balug dibuat pada 1997 yang
dibagun sama persis dengan balug yang dibuat pada 1950-an. Ada 21 tiang penyangga untuk
memerkokoh balug. Lantainya terbuat dari kayu belian, dengan dinding terbuat dari bambu dan
atapnya terbuat dari daun sagu. Tingginya sekitar 20 meter.
Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagai penjuru
Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya
menjadi pusat permukiman suku Dayak.
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai
30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya
sekitar 3-5 meter. Setiap Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan
sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi
penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.
Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang haruslah memenuhi beberapa persyaratan
berikut di antaranya pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke
arah matahari terbenam. Hal ini dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup
mulai dari matahari terbit hingga terbenam.Semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan
yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di
rumah betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.
Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan legendaris
kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata
pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik
sentral kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah
panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal
perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan
dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi
masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh
kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu.
Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti
yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai
sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu,
rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang
unggul. Tak dapat dimungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kukuh dari kehidupan
komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses
kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki
naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya. Mereka
mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk
mempertahankan tradisi rumah betang ini. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu
untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut
dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai
nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya.
Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional
warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai
suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan
sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu
sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran
mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu
bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat
cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap. Demikianlah pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana
kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga
lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan
seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.
Rumah Bubungan Tinggi yang berfungsi sebagai bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi
nama Dalam Sirap, merupakan rumah yang paling tinggi kastanya. Yang berfungsi sebagai istana
kediaman sultan. Kualitas serta kemegahan seninya mencerminkan status sosial maupun status
ekonomi sang pemilik rumah.
Ciri-ciri rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjukkan dengan bentuk-bentuk ornamen
berupa ukiran. Ukiran-ukiran tersebut biasanya terdapat pada tiang, tataban, papilis, dan tangga.
Bentuk dan seni ukir inipun banyak mendapat pengaruh dari Agama Islam, kebanyakan motif
yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung
pilis yang menggambarkan burung enggang gading dan naga juga dibumbui dengan motif floral.
Selain bentuk floral dan binatang tedapat juga ukiran-ukiran berbentuk kaligrafi.
Rumah Palimasan
Rumah Palimasan adalah salah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku
Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Adat Banjar Tipe Palimasan di
Kesultanan Banjar digunakan sebagai rumah bendaharawan istana/kerajaan yang memelihara
emas dan perak Kesultanan.
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan.
Pada rumah Palimasan semua bagian atapnya menggunakan atap perisai sehingga membentuk
atap limas. Jika memakai anjung, atapnya juga berupa atap perisai yang dinamakan Rumah
Ba'anjung tipe Palimasan.
Rumah Palimbangan
Palimbangan adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar
(disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Di zaman Kesultanan Banjar rumah Tipe ini
digunakan sebagai hunian para tokoh agama (Islam) dan para Alim Ulamanya.
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan.
Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan tebar layar
yang disebut Tawing Layar. Kebanyakan rumah Palimbangan tidak menggunakan anjung.
Namun jika memakai anjung maka atapnya juga menggunakan atap pelana dengan Tawing Layar
menghadap ke depan. Pada teras/emper depan ditutup dengan atap sengkuap (atap lessenaardak)
yang disebut atap Sindang Langit. Pada perkembangannya atap teras yang disebut Atap Sindang
Langit ini melebar ke emper samping sampai di depan Anjung membentuk atap jurai luar
(disebut Jurai Laki) pada ujung sudut-sudut atap empernya.
Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan saudagar besar atau ulama pedagang. Rumah
Palimbangan mirip dengan rumah Balai Laki karena sama-sama menggunakan atap pelana, tetapi
pada Rumah Balai Laki menggunakan model anjung Pisang Sasikat (atap sengkuap). Biasanya
Rumah Palimbangan berukuran lebih besar daripada rumah Balai Laki.
Pada Rumah Balai Bini, tubuh bangunan induk memakai atap perisai yang disebut Atap Gajah,
sedangkan sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak yang disebut Atap
Anjung Pisang Sasikat.
Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada
bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap Sindang
Langit. (Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan
Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978).
Namun pada kesempatan lain, Tim Museum dan Purbakala Depdikbud Kalsel berbeda pendapat,
mereka menyebutkan bahwa Rumah Gajah Manyusu: "Bentuk sampai dengan anjung sama
dengan Gajah Baliku. Yang berbeda adalah adalah bagian padu. Panampik padu diberi dua buah
Ambin Sayup yang bentuknya lebih kecil dari anjung dan lebih rendah letaknya".
Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap jalan.
Bentuk atap pada bangunan depan/rumah induk Rumah Ba'anjung Balai Laki memakai atap
pelana. Dalam bahasa Indonesia, model atap pelana tersebut disebut atap gudang, sehingga
sebutan untuk tipe rumah beratap pelana tersebut dalam bahasa Indonesia dinamakan Rumah
Gudang.
Atap pada sayap bangunan (Anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat
seperti pada rumah Bubungan Tinggi. Dalam bentuk umum Balai Laki sama dengan
Palimbangan, tetapi dengan ukuran lebih kecil dan sama-sama menggunakan atap pelana dan
diberi Sungkul Atap bertatah dan bisa memakai anjung namun berbeda bentuknya.
Rumah induk yang memanjang dari muka ke belakang memakai atap pelana (bahasa
Banjar: atap balai laki) kemudian ditambahkan suatu atap limas dalam posisi melintang yang
menutupi sekaligus ruang Palidangan beserta kedua buah anjungnya. Posisi nok
(pamuung/wuwungan) atap limas yang menghalang/melintang ini biasanya lebih tinggi daripada
posisi nok atap pelana pada atap muka yang membujur menutupi ruang Paluaran (ruang tamu).
Hal ini merupakan suatu simbol bentuk Cacak Burung. Simbol Cacak Burung adalah tanda
magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif), karena denah bangunan ini berbentuk +
(tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung.
Rumah Lamin memiliki beberapa ciri khas yang umumnya dapat langsung dikenali. Pada badan
rumah Lamin, banyak ditemukan ukiran-ukiran atau gambar yang mempunyai makna bagi
masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Salah satu fungsi dari ukiran-ukiran atau gambar pada
tubuh rumah Lamin adalah untuk menjaga keluarga yang hidup dalam rumah dari bahaya.
Bahaya disini adalah ilmu-ilmu hitam yang umumnya ada di masyarakat Dayak yang digunakan
untuk mencelakai seseorang. Rumah Lamin mempunyai warna khas yang dipakai untuk
menghias badan rumah. Warna khas itu adalah warna kuning dan hitam. Namun, tidak hanya dua
warna itu yang digunakan untuk menghias rumah Lamin. Setiap warna yang dipakai untuk
menghias rumah Lamin mempunyai makna. Warna kuning melambangkan kewibawaan, warna
merah melambangkan keberanian, warna biru melambangkan kesetiaan, dan warna putih
melambangkan kebersihan jiwa. Rumah Lamin dibuat dari kayu. Kayu yang digunakan untuk
membuat rumah Lamin adalah kayu Ulin. Kayu ini dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama
kayu besi. Konon, apabila kayu ulin terkena air maka kayu ini akan semakin keras. Hal ini
terbukti dari lamanya usia rumah Lamin yang dibuat dengan menggunakan kayu ulin. Hanya
saja, ada berbagai kesulitan untuk menemukan kayu ini di hutan. Halamn rumah Lamin biasanya
dipenuhi dengan patung-patung atau totem. Patung-patung atau totem ini merupakan dewa-dewa
yang dipercaya oleh masyarakat Dayak sebagai penjaga rumah dari bahaya. Rumah Lamin
terbagi atas tiga ruangan yaitu ruangan dapur, ruangan tidur, dan ruang tamu. Ruang tidur
terletak berderet dan umumnya dimiliki oleh masing-masing keluarga yang tinggal di dalam
rumah tersebut. Ruang tidur juga dibedakan antara ruang tidur lelaki dan ruang tidur perempuan
kecuali jika sang lelaki dan perempuan sudah menikah. Ruang tamu umumnya digunakan untuk
menerima tamu dan juga untuk pertemuan adat. Ruang tamu adalah ruangan kosong yang
panjang. Di sisi luar rumah Lamin, ada sebuah tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam.
Tangga ini mempunyai bentuk dan model yang sama baik pada rumah Lamin yang dihuni
masyarakat Dayak kelas menengah ke atas maupun masyarakat Dayak kelas menengah ke
bawah. Di bagian bawa rumah Lamin biasanya digunakan untuk memelihara ternak.
Rumah Lamin berbentuk persegi panjang dan memiliki atap yang berbentuk seperti pelana.
Rumah ini mempunyai tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah. Rumah Lamin memiliki lebar
kurang lebih 15-25 meter dan panjang 200-300 meter. Rumah Lamin dibangun dengan beberapa
tiang penyangga untuk menopang rumah. Tiang-tiang penyangga rumah Lamin dibagi atas dua
bagian. Tiang penyangga inti adalah tiang yang menyangga atap rumah Lamin. Tiang penyangga
lainnya adalah tiang yang menopang lantai-lantai rumah lamin. Tiang-tiang ini berbentuk seperti
tabung. Pintu masuk rumah Lamin dihubungkan dengan beberapa tangga sebagai jalan masuk ke
dalam rumah. Pada halaman depan rumah Lamin terdapat patung-patung atau totem yang dibuat
dari kayu. Pada bagian tengah rumah ada sebuah tiang besar yang dibuat dari kayu yang
berfungsi untuk mengikat ternak atau hewan peliharaan. Bagian ujung atap rumah Lamin dihiasi
dengan kepala Naga yang terbuat dari kayu.
21. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Utara
Rumah Baloy
Rumah adat terkenal dari masyarakat Kalimantan Utara disebut Rumah Baloy. Rumah adat ini
merupakan hasil kebudayaan seni arsitektur dari masyarakat suku Tidung, Kalimantan Utara.
Seperti suku lainnya, suku Tidung ini mempunyai kebudayaan dan model rumah adat sendiri.
Walaupun rumah adat ini masih menggunakan sejumlah tiang tinggi pada bagian bawahnya,
bentuk bangunan rumah adat ini terlihat lebih modern dan modis. Diduga rumah adat ini adalah
hasil pengembangan arsitektur Dayak dari Rumah Panjang (Rumah Lamin) seperti yang dihuni
oleh suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur.
Rumah adat ini berbahan dasar kayu ulin. Rumah Baloy dibangun menghadap ke utara,
sedangkan pintu utamanya menghadap ke selatan. Di dalam Rumah Baloy terdapat empat ruang
utama yang biasa disebut Ambir, yaitu:
Ambir Kiri (Alad Kait), adalah tempat untuk menerima masyarakat yang mengadukan
perkara, atau masalah adat.
Ambir Tengah (Lamin Bantong), adalah tempat pemuka adat bersidang untuk
memutuskan perkara adat.
Ambir Kanan (Ulad Kemagot), adalah ruang istirahat atau ruang untuk berdamai setelah
selesainya perkara adat.
Lamin Dalom, adalah singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.
Pada bagian belakang Rumah Baloy ini, ada bangunan yang dibuat di tengah-tengah kolam yang
disebut dengan Lubung Kilong. Bangunan ini adalah sebuah tempat untuk menampilkan
kesenian suku Tidung, seperti Tarian Jepin.
Di belakang Lubung Kilong ini, ada lagi sebuah bangunan besar yang diberi nama Lubung
Intamu, yaitu tempat pertemuan masyarakat adat yang lebih besar, seperti acara pelantikan
(pentabalan) pemangku adat atau untuk acara musyawarah masyarakat adat se-Kalimantan.
Bola Soba adalah rumah adat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Rumah ini merupakan rumah
bangsawan dari suku Bugis. Tidak hanya itu, rumah Bola Soba juga merupakan rumah dari raja
Bugis. Kata bola soba dalam Bahasa Indonesia berarti persahabatan jadi Rumah Bola Soba
berarti rumah persahabatan. Bahan dasar dari rumah ini adalah kayu. Rumah ini mempunyai
model seperti rumah panggung dengan beberapa tiang yang menyangga badan rumah. Pada
tahun 1920, Rumah Bola Soba menjadi tempat penginapan bagi tamu-tamu yang berasal dari luar
negeri seperti Belanda. Rumah Bola Soba memiliki panjang sekitar 40 meter. Teras rumah
sepanjang 6 Meter, rumah induk sepanjang 21 Meter, dan bagian belakang rumah sepanjang 8
Meter. Bagian belakang rumah umumnya digunakan sebagai dapur. Saat ini, bagian dalam
Rumah Bola Soba berisi barang-barang bersejarah berupa meriam dan berbagai peralatan perang.
Saat ini, rumah ini digunakan seperti museum. Rumah Bola Soba juga sering digunakan untuk
pertemuan-pertemuan adat.
Rumah adat Sao Mario adalah rumah adat dan juga kawasan wisata budaya yang letaknya
berada di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Mario Riawa, Kampung Awakaluku,
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Jarak kawasan wisata budaya ini dengan kota
Watangsoppeng kurang lebih sekitar 32 Km. Rumah adat ini memiliki bentuk seperti sebuah
kompleks yang didalamnya terdapat beberapa miniatur rumah adat dari daerah lain di Sulawesi
Selatan yaitu rumah adat suku Makassar, suku Bugis, suku Mandar dan suku Toraja juga terdapat
rumah adat dari Minangkabau dan Batak serta ada juga rumah lontara. Dalam bahasa Bugis
rumah adat ini juga biasa disebut dengan "bola seratu" yang artinya adalah rumah seratus.
Dikatakan rumah seratus karena rumah ini memiliki 119 tiang. Sudah menjadi ciri khas rumah
adat Bugis memiliki banyak tiang penyangga di bawah rumah. Saat ini rumah ini difungsikan
sebagai museum tempat menyimpan barang barang antik bernilai tinggi yang berasal dari dalam
negeri maupun luar negeri, benda- benda pusaka dan benda benda kerajaan dari beberapa
provinsi di Indonesia.
Rumah Boyang adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Barat. Rumah Boyang
memiliki gaya arsitektur yang unik, berbentuk rumah panggung yang tersusun dari material kayu
dan ditopang tiang-tiang penyangga. Rumah ini menjadi tempat tinggal Suku Mandar yang
merupakan suku asli dari Sulawesi Barat.
Rumah boyang terdiri dari dua jenis, yaitu "boyang adaq" dan "boyang beasa". Boyang adaq
merupakan tempat tinggal bagi bangsawan, sedangkan boyang beasa merupakan tempat tinggal
rakyat biasa. Pada boyang adaq diberi ornamen yang melambangkan identitas tertentu yang
mendukung tingkat status sosial penghuninya. Di antaranya memiliki tumbaq layar (penutup
bubungan) yang memiliki tiga sampai tujuh susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi
derajat kebangsawanannya. Selain itu boyang adaq memiliki dua susun tangga, susunan pertama
terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak
tangga. Kedua susunan tangga tersebut di antarai oleh pararang. Ciri-ciri yang dimiliki boyang
beasa tidak semegah boyang adaq, karena hanya memiliki satu susun penutup bubungan dan satu
susun anak tangga.
Rumah boyang memiliki struktur rumah panggung yang menggunakan material kayu dan
ditopang oleh beberapa tiang yang terbuat dari kayu berukuran besar dengan tinggi dua meter.
Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menopang lantai dan atap rumah, tiang ini tidak
ditancapkan ke tanah melainkan hanya ditumpangkan di sebuah batu datar untuk mencegah kayu
melapuk. Rumah boyang memiliki dua buah tangga yang terletak di bagian depan dan belakang
rumah. Tangga-tangga tersebut harus memiliki jumlah yang ganjil, umumnya antara 7 sampai 13
buah dan dilengkapi dengan sebuah pegangan di bagian sisi kanan dan kiri tangga. Sedangkan
dinding dan lantai rumah menggunakan material papan. Dinding rumah biasanya menggunakan
papan yang sudah diukir sesuai dengan motif khas suku mandar. Pada dinding dilengkapi dengan
jendela yang berfungsi sebagai media untuk sirkulasi udara.
Rumah boyang memiliki atap berbentuk prisma dan memanjang dari bagian depan sampai
bagian belakang rumah. Pada umumnya, atap terbuat dari seng. Sebagian ada yang menggunakan
rumbia dan sirap. Pada zaman dahulu, rumah-rumah penduduk baik boyang adaq maupun
boyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak
tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat tumbaq layar
(penutup bubungan) yang memberi identitas tentang status sosial bagi penghuninya. Pada
penutup bubungan tersebut sering dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap,
baik pada bagian kanan maupun kiri sering diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada
bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke
atas. Ornamen itu disebut "teppang".
Untuk menunjang kegunaan dan fungsinya, rumah boyang dibagi menjadi beberapa bagian
ruangan yang disebut dengan lotang. Lotang utama berjumlah tiga, yaitu samboyang, tangnga
boyang dan bui boyang. Sedangkan lotang tambahan berjumlah empat, yaitu tapang, paceko,
lego-lego dan naong boyang.
Sangat menarik untuk mengunjungi daerah Kalumpang karena daerah ini sudah lama menjadi
daya tarik Arkeolog untuk meneliti sejarah kehidupan nenek moyang Austronesia. Banyak
ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyang yang di yakini sebagai bangsa Austronesia.
Kalumpang berada di Hulu sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat kecamatan
Kalumpang, Mamuju. Kecamatan Kalumpang ini bisa ditempuh 180 km dari kota Mamuju dan
38 km dari pelabuhan Belang-belang, yaitu pelabuhan utama provinsi Sulawesi Barat.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan
kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas
dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas
makin kecil atau sempit ruangannya, tetapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh
bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu.
Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga
jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang
utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan
semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-
tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa
atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti
rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping
6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan
atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang
samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan
Buton.
Banua Tada adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Banua Tada
merupakan rumah tempat tinggal Suku Wolio atau orang Buton di pulau Buton,Kata banua
dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku, sehingga banua tada dapat
diartikan sebagai "rumah siku". Hal ini karena struktur rangka bangunan terdiri dari siku-siku.
Keunikan dari rumah ini terletak pada desain, struktur dan fungsinya yang mengandung nilai
filosofis di dalamnya. Keunikan lain dari rumah banua tada adalah memiliki bentuk rumah
panggung, tetapi pada pembangunannya tidak menggunakan satupun paku.
Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah banua tada dibedakan menjadi
tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau disebut
juga dengan nama "malige" memiliki arti mahligai atau istana, merupakan tempat tinggal untuk
raja atau sultan dan keluarganya. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan jenis banua tada
lainnya, mempunyai empat tingkatan lantai dan juga atap yang bersusun dua. Banua tada tare
pata pale memiliki arti "rumah siku bertiang empat" adalah rumah tempat tinggal para pejabat
atau pegawai istana. Biasanya jenis rumah adat ini bertiang empat, atapnya bersusun, dan juga
mempunyai dua jendela di bagian kiri dan kanan rumah. Sementara itu, banua tada tare talu pale
atau disebut juga "rumah bertiang tiga" adalah rumah tempat tinggal orang biasa. Jenis rumah
adat ini mempunyai jumlah tiang tiga dan pada bagian atapnya simetris. Bahan utama dalam
pembuatannya adalah papan kayu, bambu, dan rotan dengan setiap ruangan mempunyai satu
buah jendela di bagian kiri atau kanan rumah.
Dilihat secara horizontal bagian depan rumah berbentuk simetris, berkaitan dengan bentuk
formil. Sedangkan asimetris terkait dengan dinamis. Makna tersebut terkait dengan sifat orang
Tolaki yang dinamis dan formil.Tampak dari depan atau disebut fasad bagian bawah atau rangka
dan lantai dianalogikan dengan dada dan perut manusia. Bagian loteng atau bagian atas
dianalogikan punggung manusia sedangkan penyangga dianalogikan sebagai tulang punggung
manusia. Sedangkan atap adalah rambut atau bulu. Bagian atap dianalogkan muka dan panggul
manusia.
Struktur rumah Tambi adalah berupa rumah panggung dengan tiang penyangga yang pendek dan
tingginya tidak lebih dari satu meter. Tiang penyangga ini jumlahnya 9 buah serta saling
ditempelkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan pasak balok kayu. Tiang-tiang ini
biasanya terbuat dari bahan dasar kayu bonati, yaitu sejenis kayu hutan yang bertekstur kuat dan
tidak mudah lapuk. Tiang-tiang tersebut menyangga rangka lantai yang terbuat dari papan
sebagai dasar. Papan disusun rapat dan luas lantai rumah Tambi adalah sekitar 5 meter dikali 7
meter.
Untuk ruangannya, rumah Tambi hanya memiliki satu ruangan saja yaitu ruang utama. Meskipun
hanya satu ruangan besar tapi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Kegiatan sehari-hari
mulai dari memasak, tidur, menerima tamu, semuanya dilakukan hanya dalam satu ruangan
tersebut. Untuk melengkapinya, diberi dua bangunan tambahan di luar rumah sebagai penunjang
kegiatan lainnya yang tidak bisa langsung dilakukan di rumah utama, yaitu Pointua dan Buho
atau Gampiri. Pointua adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat penumbuk padi, yang di
dalamnya terdapat sebuah lesung panjang bernama Iso dengan jumlah 4 tiang. Sementara Buho
adalah bangunan yang mirip dengan rumah Tambi utama namun memiliki dua lantai. Lantai
bawah berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu, sementara lantai atas berfungsi sebagai
lumbung padi, sebelum dibawa ke Pointua untuk ditumbuk dan diproses lebih lanjut.
Bagian atap rumah tambi berbentuk prisma dengan sudut kecil pada bagian paling atas sehingga
terlihat tinggi dan dapat menaungi rumah secara keseluruhan. Atapnya terbuat dari ijuk atau daun
rumbia yang memanjang ke bawah sekaligus berfungsi sebagai dinding luar rumah.
Jika ingin membangun rumah Tambi, syarat utama yang harus dipenuhi adalah rumah
menghadap kearah utara-selatan, sehingga tidak boleh menghadap maupun membelakangi posisi
matahari terbit dan terbenam jika anda sekilas melihat bentuk atau konstruksi rumahnya maka
bentuknya seperti jamur dengan prisma yang terbuat dari daun rumbia serta ijuk seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Rumah Souraja
Souraja atau disebut juga Banua Oge adalah rumah adat atau rumah tradisional Indonesia yang
berasal dari Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Provinsi Sulawesi Tengah. Rumah adat ini
dibangun pada abad ke-19 masehi atas prakarsa Raja Yodjokodi dan berfungsi sebagai tempat
tinggal keluarga raja dan juga sebagai pusat pemerintahan kerajaan.
Rumah Adat Lobo
Lobo merupakan nama rumah adat yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten
Sigi, Sulawesi Tengah. Berukuran 5x4 meter dengan tinggi dinding 1 meter, sedangkan
selebihnya ke atas terbuka.
Secara umum bangunan ini tidak menggunakan paku sebagai penyambungnya. Secara struktur,
bangunan ini seperti dengan bangunan tradisional kayu pada umumnya, yaitu memiliki tiga
komponen anatomi bangunan. Yaitu Upper Structure (Struktur Atas), Super Structure (Struktur
Tengah), Sub Structure (Struktur Bawah). Struktur atas terdiri atas Atap bangunan terbuat dari
atap sirap kayu dan bagian puncaknya dari daun aren dan ijuk.Atap sirap tersebut disanggah
dengan kontruksi rangka atap yang terbuat dari kayu langka (Pandan Hutan) yang diraut tipis dan
dipasang melintang.Kemudian ditopang oleh kuda-kuda.
Lobo, yang khas Kulawi (merangkum daerah Pipikoro, Gimpu, Lindu) berfungsi sebagai balai
rapat tetua adat, sidang adat, upacara, perayaan panen, dan rapat penentuan kapan membuka
ladang. Lobo juga berfungsi sebagai rumah singgah jika ada warga desa lain yang kemalaman di
Porelea, bisa bermalam di Lobo. Satu desa punya satu Lobo.
Rumah adat Dulohupa memiliki model rumah panggung yang masing-masing bagiannya
menggambarkan badan manusia. Atap rumah menggambarkan kepala, badan rumah
menggambarkan badan, serta pilar kayu penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain
menggambarkan badan manusia, model rumah panggung dipilih untuk menghindari banjir yang
sering terjadi di kala pembangunan rumah adat ini. Rumah adat Dulohupa juga disebut sebagai
sebuah representasi kebudayaan masyarakat Gorontalo. Sebagai salah satu dari banyak rumah
adat yang memiliki makna sejarah, rumah adat Dulohupa merepresentasikan sebuah komunitas
pada zamannya dan juga menggambarkan kemajuan sebuah peradaban. Hal ini bisa dikupas dari
bagian-bagian rumah secara detail beserta makna yang mengandung prinsip-prinsip dan
kebudayaan yang mendasarinya.
Bantayo Poboide dari namanya terdiri atas kata "bantayo" yang berarti bangsal, balai; dan
"poboide" yang berarti berbicara. Bantayo Poboide dapat diartikan sebagai bangunan sebuah
rumah gedung atau balai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Akan tetapi di pihak lain,
Bantayo Poboide dapat berarti organisasi pemerintahan yang berbentuk dewan yang sering juga
disebut sebagai dewan kerajaan. Jadi Bantayo Poboide merupakan bangsal atau balai untuk
membicarakan berbagai persoalan tentang negeri yang terorganisir, kedudukannya di atas
Maharaja, mempunyai kekuatan hukum, berdiri sendiri (independent), tidak terkait dengan
politik, semata-mata bekerja untuk kesejahteraan negeri, dan membangun moralitas pemimpin
dan rakyat negeri sesuai adat dan syarak (hukum yang bersendi ajaran Islam).
Selain itu provinsi Gorontalo juga masih memiliki rumah adat bernama Gobel yang berlokasi di
Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango.
Rumah Pewaris juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen warga setempat. Rumah
tersebut bentuknya adalah rumah panggung. Pembuatan rumah panggung pada zaman dahulu
bertujuan menghindari serangan musuh dan binatang buas. Rumah pewaris memiliki 26 tiang
penyangga yang menggunakan bahan kayu pada lantai dasar dan lantai 1 menggunakan bahan
kayu dan beton.
Rumah Woloan terbuat dari kayu namun dapat di bongkar pasang. Nama woloan adalah sebuah
desa yang berada di wilayah Tomohon Tengah, Sulawesi Utara. Di daerah yang berhawa sejuk
ini berkembang home industry yaitu pembuatan rumah panggung tradisional khas Minahasa
yang lebih dikenal dengan rumah woloan. Namun seiring perkembangan jaman struktur
bangunan rumah woloan ini sudah agak berubah menjadi tipe rumah modern, namun tetap
mempertahankan karakter khas rumah adat Minahasa.
Rumah woloan ini mempunyai ciri khas yaitu rata – rata tinggi rumah mencapai tiga meter serta
dilengkapi dengan dua buah tangga besar didepan. Dengan disain yang unik, rumah woloan
bukan hanya mampu menembus pasaran dalam negeri saja namun juga mancanegara. Sistem
rakitan dari bahan kayu merupakan salah satu keunggulan rumah ini.
Bahan baku untuk pembuatan rumah woloan ini menggunakan tiga buah jenis kayu, yaitu kayu
besi, kayu natoh serta kayu cempaka. Untuk pembuatan dinding rumah digunakan kayu
cempaka, untuk membuat plafon serta lantai rumah dipakai kayu natoh sedangkan untuk rangka
rumah menggunakan kayu besi. Kayu – kayu tersebut biasanya diambil dari daerah Bolaang
Mongondow serta Gorontalo.Pembuatan satu rumah woloan diperlukan waktu sekitar dua bulan.
Konon rumah woloan tersebut dapat bertahan hingga puluhan tahun.
Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat di tengah-tengahnya sehingga
menjadi bentukan yang simetri. Baik di puri mau pun di pura, Candi Bentarmenempati posisi di
areal paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi mereka yang akan
mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang mengerjaakan bangunan ini sudah memiliki
kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan
peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi Bentar harus tampil megah,
tampil normal (akrab), kokoh dan sebagainya.
Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu Batur (di Kintamani, Bangli),
atau di Pura Besakih (Karangasem), tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri kokoh, besar,
tinggi atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi yang tidak rata (rendah
di arah luar, dan meninggi menuju ke areal Pura yang lebih di dalam), ikut mendukung
kemegahan yang terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah memperhitungkan dan
menerapakan beberapa aspek estetika, dalam hal ini skala dan proporsi.
Bagi masyarakat Bali, rumah merupakan keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang pada
umumnya dikelilingi oleh tembok (panyengker). Berikut ini adalah bagian-bagian dan fungsi tiap
ruangan yang ada di Rumah Gapura Candi Bentar.
1. Sanggah atau pamerajan merupakan tempat suci bagi keluarga.
2. Panginjeng karang merupakan tempat memuja roh yang menjaga pekarangan.
3. Bale manten yaitu tempat tidur kepala keluarga, anak gadis, dan sebagai tempat
penyimpanan barang berharga. Ada kalanya digunakan sebagai kamar pengantin baru.
4. Bale gede / bale adat adalah tempat upacara lingkaran hidup yang dalam kehidupan
sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna.
5. Bale dauh merupakan tempat kerja, pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki.
6. Paon atau dapur adalah tempat memasak dan berfungsi sebagai lumbung (tempat
menyimpan padi dan hasil bumi).
Rumah Adat Bali dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali yang mengatur
tentang tata peletakan rumah, aturan ini mungkin hamper sama dengan aturan Feng Shui dari
Cina. Pembangunan rumah Adat Bali harus memiliki tiga asppek yang biasa disebut dengan “Tri
Hita Karana”yakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dan manusia, serta manusia dengan alam. Kednamisan dalam hidup akan tercapai apabila
terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan
(lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan.
Umumnya sudut utara dan sudut timur adalah tempat yang lebih disucikan sehingga di sana
ditempatkan ruang-ruang yang lebih suci, sedangkan ruang barat dan sudut selatan merupakan
sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya. Biasanya sudut-sudut tersebut merupakan arah
masuk ke dalam rumah atau untu bangunan lainnya seperti kamar mandi.
Ruang luar di sekitar tempat berdirinya Gapura Candi Bentar ini memiliki berbagai fungsi. Salah
satu di antaranya adalah menyiapkan ruang terbuka hijau. Keadaan ini akan mampu untuk
menjaga keseimbangan kawasan antara yang terbangun dan terbuka, sehingga udara segar yang
sangat dibutuhkanakan selalu dapat terjaga dan tersedia dengan baik.Ketersediaan ruang terbuka
ini juga menjadi lebih bermanfaat dengan penanganan pertamanan yang penuh perhitungan.
Vegetasi yang tersebar dan tumbuh subur, tidak hanya menyehatkan pandangan mata dan
menghembuskan udara segar, tetapi juga memberikan niilai estetika secara keseluruhan.
Perpaduan antara tanaman mulai dari rumput yang rata tanah, perdu yang lebih tinggi dan pohon-
pohon perindang, semua itu menjadi bentukan komposisi lanskap yang estetis.
Rumah adat Dalam Loka merupakan desain asli rumah kediaman raja-raja Sumbawa. Kuatnya
pengaruh budaya Islam yang masuk di wilayah ini pada masa itu telah membuat hampir seluruh
aspek adat dan kesukuan masyarakat Sumbawa larut dalam nilai-nilai syariah Islam.
Rumah Adat Dalam Loka berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 904 M2. Istana
Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan bahan kayu ini memiliki
filosofi "adat berenti ko syara, syara barenti ko kitabullah", yang berarti semua aturan adat
istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus
bersemangatkan pada syariat Islam.
Uma Lengge
Uma Lengge merupakan bangunan tradisional suku Mbojo yang berada di Kecamatan Wawo
Kabupaten Bima. bangunan tersebut berbentuk kerucut. Pada zaman dahulu, Uma Lengge
digunakan sebagai tempat tinggal oleh masyarakat Wawo dan sebagian digunakan juga sebagai
lumbung.
Bangunan yang mirip rumah ini sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Walau
terlihat sederhana, bangunan ini pasti membutuhkan artistik yang unik dan harus ada keahlian
khusus untuk membuatnya, semua bahan bangunannya berupa kayu dan bambu serta rumbia atau
ilalang sebagai bahan atap dan dindingnya.
Mbaru Niang adalah rumah adat dari wilayah Pulau Flores, Indonesia. Rumah adat Mbaru Niang
berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah adat Mbaru
niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo yang terpencil di
atas pegunungan. Usaha untuk mengkonservasi Mbaru Niang telah mendapatkan penghargaan
tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan
menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013.
Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang
digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat "honai" di
Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang
keseluruhannya ditutup ijuk. Mbaru Niang memiliki 5 tingkat dan terbuat dari kayu worok dan
bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan yang kuatlah yang mengikat konstruksi bangunan.
Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga.
Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:
tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan
keluarga
tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan
makanan dan barang-barang sehari-hari
tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti
benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi
kekeringan,
tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.
Rumah Musalaki
Rumah Musalaki adalah rumah adat atau rumah tradisional yang banyak dijumpai di provinsi
Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah ini sendiri menjadi lambang dari provinsi Nusa
Tenggara Timur. Rumah adat ini sendiri merupakan tempat tinggal khusus bagi kepala suku dari
beberapa suku di provinsi Nusa Tenggara Timur. Karena sudah menjadi lambang dari provinsi,
saat ini desain bangunan pemerintahan seperti kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten di Nusa
Tenggara Timur mayoritas mengadopsi konsep dari rumah Musalaki, serta di beberapa wilayah
rumah ini sudah dihuni oleh masyarakat pada umumnya.
Rumah Musalaki aslinya merupakan rumah adat dari masyarakat suku Ende Lio, karena nama
Musalaki sendiri diambil dari kata dalam bahasa Ende Lio yaitu mosa yang berarti ketua
dan laki yang berarti adat, yang jika digabungkan artinya adalah "ketua adat" atau "kepala suku",
jadi rumah Musalaki adalah rumah yang menjadi tempat tinggal bagi tetua atau kepala suku
dalam masyarakat suku Ende Lio. Rumah Adat Musalaki mempunyai bentuk persegi empat
dengan atap yang menjulang tinggi sebagai simbol kesatuan dengan sang pencipta. Bentuk atap
tersebut diyakini menyerupai layar perahu sebagaimana cerita dalam masyarakat setempat
mengenai nenek moyang dari Suku Ende Lio yang sudah terbiasa menggunakan perahu. Pada
bagian atas atap terdapat dua ornamen yang memiliki simbol yaitu kolo Musalaki (kepala rumah
keda) dan kolo ria (kepala rumah besar) di mana diyakini kedua bangunan memiliki hubungan
spiritual.
Sesuai dengan namanya, fungsi utama dari rumah Musalaki adalah sebagai tempat tinggal bagi
ketua adat atau kepala suku, khususnya bagi suku Ende Lio. Selain berfungsi sebagai rumah
tinggal kepala suku, rumah adat ini juga sering digunakan sebagai tempat ritual upacara adat,
kegiatan musyawarah adat, dan berbagai macam kegiatan adat lainnya.
Rumah adat ini memiliki fungsi sebagai tempat berkumpulnya tetua adat dalam melaksanakan
upacara ritual serta melaksanakan pertemuan untuk merencanakan seluruh rangkaian kegiatan di
masyarakat seperti upacara membersihkan dan memperbaiki rumah. Selain itu, rumah adat ini
menjadi tempat pemujaan atau sejenis kuil. Masyarakat adat Demon Pagong memiliki
kepercayaan terhadap dewa langit dan dewa bumi yang melindungi mereka yang dengan sebutan
"Rera Wula Tana Ekan". Rumah adat ini dianggap sebagai bangunan sakral oleh masyarakat adat
sekaligus identitas suku-suku yang ada di Demon Pagong.
Rumah adat Ngada
Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai pusat kegiatan adat istiadat.
Ume Kbubu merupakan bangunan tradisional berbentuk bundar yang menjadi rumah tempat
tinggal bagi suku Dawan di Nusa Tenggara Timur. Istilah Ume Tua terdiri dari dua kata
yakni Ume yang berarti rumah dan Kbubu yang memiliki arti bundar. Sejak tahun 2010, Ume
Kbubu yang menjadi bagian dari arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur telah dimasukkan
ke dalam pencatatan Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dengan nomor registrasi 2010000034.
Secara umum, Ume Kbubu memiliki sejumlah struktur bangunan yang terdiri atas atap, dinding,
tiang peyangga, dll. Ume Kbubu yang berbentuk bundar menjadikan struktur atapnya menjadi
berbentuk kerucut. Diameternya sekitar 3 hingga 5 meter.[4] Atap Ume Kbubu biasanya ditutup
dengan alang-alang. Atap Ume Kbubu memilki peranan penting karena bentuknya yang
menonjol.
Rumah adat Sumba (bahasa Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak") mengacu pada rumah
adat vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah adat
Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat dengan roh-roh atau
marapu.
Pulau Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun semua memiliki adat
arsitektur yang sama. Animisme sangat kuat dalam masyarakat Sumba. Adat agama difokuskan
pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang meninggal, dari tempat-tempat suci, benda-
benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh. Konsep ini
mempengaruhi arsitektur ruang dalam rumah adat Sumba. Terdapat dua rumah utama bagi orang
Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu ("rumah berpuncak") dari Sumba Timur
yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini terbuat dari jerami, alang-alang dan agak
mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa joglo. Rumah dengan pumcak paling besar
dikenal sebagai uma bungguru. Rumah ini adalah rumah utama klan dan menjadi tempat penting
untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan,
pemakaman, dan sebagainya. Rumah besar juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang
tertua di desa. Jenis lainnya adalah rumah uma kamadungu ("rumah botak") yang tidak memiliki
puncak tengah.
Rumah adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang utama penopang
atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah rumah adat Sumba dapat
menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu masuk diposisikan di kiri dan kanan
rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba, ventilasi udara melalui lubang kecil di dinding,
yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau selubung pinang. Tanduk kerbau sering digunakan
sebagai penghias dinding sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.
Koke Bale merupakan satu dari tiga bagian penting dalam kepercayaan masyarakat Lamaholot.
Adapun tiga unsur penting terserbut adalah koke bale, nama atau namang, dan nabanara atau
nubanara. Dalam proses pembangunannya, ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
Koke Bale umumnya berbentuk panggung. Di dalam Koke Bale terdapat sebuah tiang suci yang
disebut rie lima lanang. Tiang tersebut merupakan lambang dari Rera Wulan Tana Ekan atau
Yang Maha Kuasa. Selain itu, Koke Bale dilengkapi dengan berbagai macam benda purbakala
dan peninggalan leluhur yang diyakini memiliki kekuatan gaib oleh masyarakat Lamaholot. Di
halaman depan Koke Bale terdapat sebuah pelataran yang memiliki ukuran 500-1.000 meter
persegi. Pelataran tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk menampilkan
pertunjukkan tradisional khas Lamaholot, seperti tarian hedung, hamang, dolo-dolo, uah, tandak,
dan pencak silat tradisional. Pelataran ini juga digunakan sebagai tempat persembahan. Adapun
pelataran tersebut disebut sebagai Nama atau namang.
Di tengah-tengah pelataran atau Nama terdapat sebuah batu kecil berbentuk bundar yang disebut
Nubanara. Nubanara atau Naba nara merupakan bangunan megalitik yang memilki fungsi
sebagai tempat persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu, di halaman Koke Bale
terdapat sebuah menhir yang diletakkan di atas bangunan pagar batu.
Rumah Lopo
Lopo adalah rumah adat yang terdapat di daerah Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menjadi salah
satu rumah adat dari suku Abui yang berada di Kabupaten Alor. Rumah Lopo juga dianggap
sebagai sebagai rumah serbaguna karena rumah ini memiliki banyak kegunaan.
Rumah Lopo terbuat dari bambu dan alang-alang. Bambu digunakan sebagai lantai dari rumah
Lopo, sedangkan alang-alang sebagai atap dari rumah lopo. Rumah Lopo berbentuk seperti
piramida. Rumah ini ditopang oleh beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu. Rumah
lopo tidak memiliki dinding. Rumah Lopo memiliki ruangan dengan tiga tingkat. Setiap tingkat
memiliki fungsinya masing-masing. Tingkat dasar berfungsi sebagai ruang istirahat sekaligus
dapur. Tingkat dua berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan. Tingkat paling atas
berfungsi sebagai gudang yang dapat digunakan apabila persediaan makanan terlalu banyak di
tingkat dua. Rumah Lopo terbagi atas dua jenis yaitu rumah Kolwat dan rumah Kanuruat. Anak-
anak dan perempuan dimungkinkan untuk masuk ke dalam rumah Kolwat, sedang
rumah Kanuruat hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu saja.
Dalam seni bangunan yang mempunyai fungsi religius adalah rumah adat yang umumnya berupa
rumah panggung dan berbentuk agak segi empat atau segi empat panjang, kecuali rumah asli
Timor yang mempunyai bentuk bulat telur tanpa tiang. Di daerah ini bangunan dibedakan dalam
3 bentuk yang didasarkan pada model atapnya, yakni bentuk atap berjoglo yang merupakan
rumah adat suku bangsa Sumba, bentuk atap atap kerucut bulat, merupakan rumah adat suku
bangsa Timor dan bentuk atap seperti perahu terbalik, merupakan rumah adapt suku bangsa
Rote. Dari bentuk atap yang berbeda, tetapi dalam rumah ini tetap terdapat suatu tempat suci
untuk arwah nenek moyang yang selalu diberi sesaji pada sat-saat tertentu. Masyarakat suku
bangsa Sabu yang merupakan pelaut ulung membangu rumahnya menyerupai perahu yang erat
hubungannya dengan kebudayaan serta kehidupan sehari-harinya. Misalnya atapnya berbentuk
perahu terbalik menandakan, masyarakat daerah ini mengenal perahu dan lau sebagai alamnya.
Hampir seluruh bagian rumah diberi nama bagian-bagian perahu seperti haluan, anjungan (duru),
dan burian (wui). Duru merupakan bagian yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki, sedangkan
Wui bagian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Di perkampungan suku bangsa Sabu,
berdasarkan bentuk rumah adatnya dibedakan menjadi 2 yaitu antara ‘amu kelaga’ atau rumah
adat yang berpanggung dan ‘ammu laburai’, rumah yang berdinding tanah. Ammu kelaga
merupakan bentuk rumah Sabu asli yang mempunyai lantai panggung difungsikan sebagai balai-
balai dan disebut sebagai "kelaga". Bangunan ini mempunyai bentuk 4 persegi panjang dengan
atap lancip mirip perahu terbalik. Tiangnya berbentuk bulat terbuat dari kayu pohon lontar, enau,
kayu hitam atau kayu besi. Lantai panggungnya bertingkat 3, yakni kelaga rai, atau panggung
tanah, kelaga ae atau panggung besar, kelega dammu atau panggung loteng yang mencerminkan
kepercayaan orang Sabu adanya tingkatan dunia, yakni dunia bawah atau dunia arwah, dunian
tengah atau dunia manusia dan dunia atas atau dunia para dewa.
Rumah Adat Temukung berbentuk empat persegi panjang, atapnya mirip dengan bentuk perahu
terbalik, mempunyai panggung atau dek. Bagi masyarakat Sabu konstruksi Rumah Adat
Temukung berorientasi pada latar belakang asal usul Suku Sabu, oleh karena itu bentuk dan
corak rumah orang-orang dari Sabu mempunyai hubungan dengan filsafat hidup mereka.
Misalkan, lokasi mendirikan rumah biasanya di tempat yang tinggi (bukit, lereng), haluan rumah
selalu mengarah ke barat atau timur (dalam bahasa Sabu disebut duru wa dan duru dimu).
Rumah Baileo adalah rumah adat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia. Rumah Baileo
merupakan representasi kebudayaan Maluku dan memiliki fungsi yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat. Rumah Baileo adalah identitas setiap negeri di Maluku selain Masjid atau
Gereja. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat,
sekaligus sebagai balai warga. Ciri utama rumah Baileo adalah ukurannya besar, dan memiliki
bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.
Bentuk ornamen atau hiasan di rumah adat Beileo memiliki hubungan dengan adat istiadat dan
kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Negeri-negeri di Maluku memiliki arsitektur Baileo
yang berbeda, namun fungsinya sama. Baileo dibuat dengan bahan yang kuat, dan dilengkapi
dengan ornamen khas Maluku. Rumah Baileo tak berdinding, hal ini dimaksudkan agar roh
nenek moyang dapat leluasa masuk dan keluar rumah Baileo. Rumah Baileo merupakan rumah
panggung, yakni posisi lantainya berada di atas permukaan tanah. Lantai yang tinggi ini
mempunyai makna bahwa agar roh-roh nenek moyang memilii tempat dan derajat yang tinggi
dibandingkan masyarakat. Di rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran dan ornamen yang
bergambar dua ekor ayam yang berhadapan dan diapit oleh dua ekor anjing di sebelah kiri dan
kanan. Ukiran tersebut memiliki makna kedamaian dan kemakmuran. Ukiran tersebut dibuat
dengan maksud roh nenek moyang yang menjaga kehidupan masyarakat. Ukiran lainnya adalah
bulan, bintang, dan matahari yang berada di atap dengan warna merah, kuning, dan hitam.
Ukiran tersebut bermakna kesiapan Baileo (sebagai balai) dalam menjaga keutuhan adat beserta
hukum adatnya.
Sebagai produk budaya, Sasadu tidak luput dari perubahan. Bagaimana perubahan ini eksis di
antaranya terlihat dari atap rumah yang dulunya biasa dibuat dari atap daun sagu, kini berganti
dengan material seng. Perubahan ini disinyalir adalah dampak dari masuknya bangsa Barat dan
agama Kristen ke Halmahera. Di sisi lain, perubahan ini bukannya tidak terpantau oleh
masyarakat karena ada pula keinginan untuk mempertahankan arsitektur rumah Sasadu agar jati
diri sebagai orang Sahu tidak hilang. Sasadu sendiri memang merupakan salah satu bagian dari
alur perkembangan budaya Sahu dalam sejarah perkembanganna. Sebelum ada Sasadu,
masyarakat setempat tinggal di dalam rumah-rumah "koseba" di hutan. Rumah ini didirikan di
atas tiang-tiang pancang yang ditancapkan ke tanah.
Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang memiliki arti tersendiri
yang berhubungan dengan persatuan. Konstruksi rumah adat menyerupai perahu yang
mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir.
Bangunannya memiliki bentuk segi 8 dan memiliki 4 pintu masuk yang menunjukkan simbol
empat arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk
berhadapan yang menunjukkan kesetaraan dan kesatuan.
Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing memiliki arti. Warna
merah mencerminkan kegigihan perjuangan komunitas Canga, warna kuning mencerminkan
kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam mencerminkan solidaritas dan warna putih
mencerminkan kesucian.
Fola Sowohi adalah rumah adat suku Tidore. Kata Fola Sowohi, berasal dari
kata Fola dan Sowohi. Kata Fola berasal dari bahasa Tidore, yang berarti rumah,
sedangkan Sowohi berarti tuan rumah. Secara utuh Fola Sowohi berarti rumah. Atap rumah Fola
Sowohi terbuat dari rumbia yang konstruksi bangunannya melambangkan kekayaan budaya. Fola
Sowohi memiliki simbol arsitektur utama (sentral) yang ada di Tidore. Fola Sowohi berfungsi
sebagai tempat musyawarah dan pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan ritual magis.
Bangunan Fola Sowohi berbentuk bidang geometris empat persegi panjang. Fola Sowohi
berlantai tanah.
Rumah Kaki Seribu atau (bahasa lokal: Mod Aki Aksa) adalah rumah adat asli dari penduduk
Suku Arfak yang menetap di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Rumah adat tersebut dijuluki demikian karena menggunakan banyak tiang penyangga di
bawahnya, sehingga jika dilihat memiliki banyak kaki seperti hewan kaki seribu. Sedangkan
untuk bagian atapnya dibuat dari daun jerami atau daun sagu. Sementara untuk tiangnya
menggunakan kayu, yang terdiri dari kayu berukuran tinggi dan pendek. Fungsi dari tiang kayu
tersebut adalah untuk melindungi penduduk dari serangan musuh dan ancaman ilmu hitam.
Rumah adar kaki seribu berjenis rumah panggung dan memiliki corak khas Manokwari.
Rumah adat Kaki Seribu pada umumnya dipakai oleh penduduk yang tinggal di daerah
pegunungan dan berhawa dingin. Rumah ini dibuat berukuran tinggi untuk menghindari serangan
hewan buas. Rumah ini juga tidak memiliki jendela, hal ini dimaksudkan agar suhu di dalam
rumah tetap hangat.
Rumah Adat Kaki Seribu pada umumnya memiliki ukuran 8 x 6 meter. Tinggi panggung jika
diukur dari dasar tanah yaitu sekitar 1 - 1,5 meter. Tinggi puncak atap berkisar antara 4,5 - 5
meter. Untuk tiang terbuat dari kayu berdiameter 10 cm. Tiang - tiang fondasi bangunan rumah
adat tersebut memiliki jarak yang sangat dekat antar satu tiang dengan tiang lainnya, yaitu
berjarak sekitar 30 cm. Untuk lantai dan dinding, dibuat dari kulit kayu yang dilebarkan dan
diikat dengan rapat, lalu dibalut dengan batang - batang kayu yang berukuran lebih kecil.
Sedangkan untuk atapnya, dibuat dari daun jerami/ilalang atau sagu yang diikatkan pada
penyangga yang juga terbuat dari kayu. Sambungan kayu tiang, lantai, dinding, dan atap diikat
dengan menggunakan tali serat rotan dan serat kulit kayu. Dengan demikian kesan yang
ditimbulkan adalah kuat dan alami.
Karena Rumah Adat Kaki Seribu tidak memiliki jendela, maka satu-satunya jalan untuk
menciptakan sirkulasi udara adalah melewati pintu. Rumah tersebut memiliki dua pintu, yakni
pintu depan dan pintu belakang. Isi rumah tidak terbagi menjadi kamar - kamar seperti rumah
modern tapi dibagi menjadi dua bagian. Bagian kiri untuk kaum wanita (ngimsi), sedangkan
bagian kanan untuk kaum pria (ngimdi). Di dalamnya juga terdapat perapian untuk
menghangatkan seisi ruangan. Sama dengan rumah panggung tradisional lainnya, Rumah Adat
Kaki Seribu biasanya dihuni oleh beberapa keluarga yang tinggal bersama di dalamnya.
Bagi masyarakat Arfak, Rumah Adat Kaki Seribu merupakan tempat bernaung, mendidik anak
dan kegiatan pesta. Terdapat celah - celah di lantai yang memungkinkan udara masuk ke dalam
rumah sehingga sirkulasi udara dapat terjaga dengan baik. Di dalamnya terdapat sebuah kolong
yang luas untuk dijadikan sebagai kandang ternak. Di suatu bagian khusus terdapat sebuah ruang
untuk upacara dan pesta adat. Di bagian tengah rumah tersebut tidak dilapisi dengan kayu,
sehingga jika ada pesta berupa tarian bisa dilakukan di atas tanah. Namun pada akhir - akhir ini,
keberadaan rumah adat tersebut sudah jarang ditemukan karena banyak orang di kampung itu
lebih suka membangun rumah modern yaitu rumah berlantai semen, berdinding batako, beratap
seng, dan memiliki jendela.
Honai merupakan rumah mungil yang unik dengan bentuk seperti jamur. Ya, rumah ini memiliki
bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu berdinding anyaman dengan atap kerucut yang
terbuat dari jerami. Tingginya hanya 2,5 meter yang jika dilihat dari udara terlihat seperti jamur
berwarna cokelat kehitaman berjajar di sepanjang lembah.
Struktur bangunan Rumah Honai terdiri dari dua lantai dan terbuat dari kayu dengan atap
berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Lantai pertama biasanya terdiri dari
kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua digunakan sebagai tempat
beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak
berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Selain itu di tengah-
tengah rumah Honai ada tempat pembakaran api unggun yang juga berfungsi sebagai
penghangat. Tinggi bangunannya sekitar 2,5 meter.
Tipe Rumah Adat Honai, Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu : pertama Untuk kaum laki-
laki (Honai Laki-Laki) kedua : Wanita (disebut Ebei atau Honai Prempuan), ketiga Rumah untuk
ternak juga untuk tempat bersantai.
elain Berfungsi untuk tempat tinggal, Rumah Adat Honai juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan peralatan perang atau berburu, Tempat melatih anak laki-laki mereka agar menjadi
orang yang kuat, sehingga Saat dewasa nanti dapat melindungi sukunya, Dijadikan sebagai
tempat untuk menyusun strategi perang, Dijadikan Tempat menyimpan segala peralatan atau
simbol dari adat suku warisan nenek moyang.
Rumah Kariwari tidak seperti halnya rumah honai yang bisa ditinggali oleh siapa saja, bahkan
tidak bisa pula menjadi rumah tinggal kepala suku - tidak seperti rumah honai yang memiliki
fungsi politik dan hukum. Rumah Kariwari lebih spesifik sebagai tempat edukasi dan ibadah,
oleh karena itu posisi rumah Kariwari dalam masyarakat Suku Tobati-Enggros dianggap sebagai
tempat yang sakral dan suci.
Bentuk arsitektur rumah Kariwari terbilang cukup unik, karena bentuknya limas segi delapan.
Dengan bentuk rumah yang sedemikian rupa, maka rumah Kariwari cukup kuat untuk bertahan
dalam cuaca, terutama saat cuaca sedang berangin. Selain efektif dalam menahan angin, bentuk
limas segi delapan yang berujung lancip juga bermakna kedekatan manusia dengan Sang
Pencipta dan para leluhur.
Bangunannya berbentuk persegi dengan atap berbentuk perahu terbalik. Bentuk ini tak terlepas
dari mata pencaharian mereka sebagai pelaut.
Material yang digunakan adalah kulit kayu untuk lantai, bambu air yang dibelah dan dicacah-
cacah untuk dinding, atapnya terbuat dari daun sagu yang telah kering. Dindingnya terbuat dari
pelepah sagu. Dinding rusmram aslinya hanya ada sedikit jendela dan posisinya di depan dan
belakang.
Rumsram memiliki tinggi kurang lebih 6—8 m dan dibagi menjadi 2 bagian yang dibedakan
dengan tingkatan lantainya. Lantai 1 sifatnya terbuka dan tanpa dinding. Hanya kolom-kolom
bangunan yang terlihat. Di tempat inilah, para lelaki dididik belajar memahat, membuat perisai,
membuat perahu, hingga teknik perang.
37 Ragam Pakaian Adat Indonesia Dari Seluruh Provinsi
Sebagai warga negara Indonesia, sudah tahukah kamu tentang baju adat Indonesia yang
beragam? Jika belum tahu, yuk tambah wawasan kita tentang budaya Indonesia dengan
menyimak ragam pakaian adat Indonesia beserta asalnya!
Pakaian adat merupakan salah satu bentuk dari identitas dan jati diri sebuah daerah.
Busana ini dikenakan untuk mewakili budaya atau identitas kelompok suku bangsa tertentu.
Di Indonesia sendiri, pakaian adat umumnya digunakan untuk merayakan acara-acara istimewa.
Karena geografisnya yang banyak dan kaya akan budaya, setiap provinsi di Indonesia memiliki
pakaian adat mereka masing-masing.
Sudah tahu apa saya pakaian adat yang terdapat pada 37 provinsi di Indonesia?
Yuk, simak gambar pakaian adat Indonesia dan asalnya di bawah ini!
Pakaian Adat Indonesia Lengkap dari Seluruh Provinsi
Berikut adalah macam macam baju adat atau beragam nama pakaian adat Indonesia beserta
asalnya:
Powered By
Play
Unmute
Loaded: 0.17%
Fullscreen
Pria akan menggunakan kain tapis sebagai tutup kepala, sedangkan perempuan akan
menggunakan siger atau mahkota emas.
11. Pakaian Adat Pangsi dari Banten
Saya Langsung Terbebas dari Hutang dalam 5 Hari setelah Baca Ini
Wealth Amulet
Warga Padang Yang Sakit Lutut dan Pinggul Wajib Membaca Ini!
Easy Moves
Orang yang Mengalami Sakit Lutut dan Pinggul Harus Membaca Ini!
Easy Moves
Keluarga asal Padang Mendadak Kaya dalam 7 Hari setelah Baca Ini
Wealth Amulet
Pakaian adat ini melambangkan sifat berani dan anggun.
15. Jawi Jangkep dari Provinsi Jawa Tengah
Indonesia sendiri saat ini memiliki 34 provinsi. Nah, di setiap provinsi tentu memiliki tarian
daerah masing-masing. Apa saja 34 tarian daerah? Langsung aja yuk simak daftar 34 tarian
daerah beserta asalnya di bawah ini.
Dikutip dari buku Ensiklopedia Seni dan Budaya: Seni Tari Nusantara oleh R. Toto Sugiharto,
dkk, Tari Saman dimainkan dengan jumlah penari lebih dari 10 orang, tapi harus ganjil. Tarian
ini mencerminkan tentang kekompakan, kebersamaan, keagamaan, sopan santun serta
pendidikan.
Tari Saman ditampilkan cenderung tidak menggunakan iringan alat musik, melainkan dari suara
dan bunyi tepuk tangan penarinya. Gerakan tari akan dikombinasikan dengan memukul pangkal
paha dan dada, sebagai sinkronisasi lalu menghempaskan badan ke berbagai arah.
Tariannya ditarikan oleh sekelompok orang berjumlah ganjil, di mana salah satu penari akan
berada ada di tengah dengan memegang tepak. Tepak merupakan kotak keemasan yang di
dalamnya berisi daun sirih. Nantinya, daun sirih itu akan diberikan ke salah seorang tamu yang
dianggap penting.
Tarian ini sering menjadi media dalam dakwah islam melalui syair lagu-lagu Zapin sebagai
pengiring tarian. Musik pengiringnya terdiri dari tiga buah marwas sebuah gendang kecil dan dua
alat musik petik gambus.
Selain itu, tari ini juga sebagai persembahan ucapan selamat datang untuk tamu kehormatan
tersebut. Sekilas, jika dilihat dari pengertiannya makna tari ini mirip dengan Tari Sigeh Penguten
asal Lampung.
Tari Andun menjadi salah satu tarian rakyat yang dipersembahkan saat pesta perkawinan. Zaman
dulu, tari ini sering digunakan sebagai sarana untuk mencari jodoh setelah panen padi.
10. Tarian Bidadari Teminang Anak (Bengkulu)
Tarian Bidadari Teminang Anak merupakan tari daerah asal Bengkulu, tepatnya dari Rejang
Lebong. Sesuai dengan namanya, tarian ini menggambarkan bidadari yang meminang anak.
Pertama, penari akan membuat formasi memanjang, dengan saling bersebelahan. Lalu, kaki
mereka akan digerakan melangkah maju mundur, dengan tangan yang direntangkan setinggi
bahu.
Ciri khas tari Jaipong adalah musiknya menghentak, di mana alat musik kendang akan terdengar
paling menonjol. Tari Jaipong ini sering dipentaskan pada acara pesta pernikahan, hiburan
maupun acara selamatan.
Tari gambyong ini dikenal dari penari jalanan bernama si Gambyong, yang hidup di zaman
Sinuhun Paku Buwono IV di Surakarta (1788-1820). Ciri khas tarian ini akan dibuka dengan
gendhing Pangkur terlebih dahulu, sebelum dimulai pertunjukan.
Gerakan Tari Rejang mengandalkan lemah gemulai dari penarinya. Tari ini biasanya akan
diiringi dengan suara gamelan gong kebyar.
Di mana, arti dari tari ini yaitu pemberian ucapan selamat dan berkat kepada Tuhan. Tujuannya,
agar seseorang yang dikhitan itu bisa sehat dan sukses dalam hidup.
Tari Gantar gerakannya mirip seperti saat seseorang sedang menanam padi. Penari akan
menggunakan tongkat kayu sebagai penumbuk.
Tarian Kancet papatai menceritakan kisah seorang pahlawan Dayak Kenyah, yang melawan
musuh dengan memakai alat perang tradisional. Tarian ini menggambarkan sebuah sifat
keberanian pria atau ajai suku Dayak Kenyah saat berperang.
Tari Pontanu menggambarkan wanita yang seolah-olah sedang menenun. Para wanita itu
digambarkan sedang menenun Sarung Donggala, sebagai sarung khas dari daerah Donggala.
Sebelum tarian bambu gila dimulai, akan ada seorang pawang yang membakar kemenyan sambil
membacakan doa. Setelah itu bambu akan terguncang, yang semakin lama semakin kencang. Itu
lah alasan mengapa tarian ini disebut Tarian Bambu Gila.
Awalnya tarian bambu gila digunakan untuk memindahkan kapal kayu, yang telah selesai
dikerjakan di atas gunung ke pantai. Seiring berjalannya waktu, tarian ini difungsikan sebagai
hiburan saat ada pesta rakyat.
Mengutip buku berjudul 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia karya Fitri Haryuni, Tari
Suanggi lahir dari cerita seorang suami yang ditinggal mati istrinya, di mana sang istri dipercaya
menjadi korban roh jahat anggi-anggi (mahluk gaib). Masyarakat Papua Barat percaya kalau roh
jahat itu, merasuki tubuh seorang wanita.
Tari Saman, tarian daerah dari Aceh
Kesenian asli Indonesia yang satu ini sudah sangat dikenal di berbegai belahan dunia. Tari
Saman sudah sering ditampilkan oleh para wakil Indonesia di ajang internasional. Tarian ini
biasanya dibawakan untuk memperingati upacara adat penting masyarakat Aceh.
Tarian Saman sendiri berasal dari suku Gayo dan menggunakan bahasa Gayo dalam setiap
penampilannya. Kesenian yang satu ini salah satu yang dijaga dengan baik oleh seluruh
masyarakat Indonesia terbukti dengan hadirnya sebagai ekstrakulikuler di berbagai tingkat
sekolah.
Tari Saman juga sudah ditetapkan UNESCO sebagai “Representative List of the Intangible
Cultural Heritage of Humanity” pada 2011 silam. Penetapan tersebut dilakukan dalam sidang
Komiter Antar-Pemerintah ke-6 untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda UNESCO yang
diselenggarakan di Bali.
Tari daerah dari Aceh, yaitu Tari Kecak
Daya tarik Bali bukan hanya keindahan alam dan keramahan masyarakatnya. Bali juga punya
kesenian tari kecak yang masih terjaga sampai sekarang. Tari kecak ini pun masih dibawakan
secara rutin di lokasi wisata terkenal di Bali untuk menghibur wisatawan yang datang.
Tarian tradisional ini diisi oleh tujuh puluh orang penari yang berdiri melingkar sambil
meneriakan kata “cak cak cak” berkali-kali. Cerita yang diangkat dalam tarian ini adalah tokoh
pewayangan Ramayana yang hendak menyelamatkan putri yang diculik. Tarian ini juga sangat
menarik karena dihiasi dengan atraksi api di dalamnya.
Jawa Barat merupakan provinsi yang sangat luas dan membuatnya punya banyak kebudayaan di
dalamnya. Salah satunya tari Jaipong yang menggabungkan berbagai kesenian di dalamnya,
mulai dari wayang golek, pencak silat, dan ketuk tilu. Tari Jaipong lahir dari seniman bernama
H. Suanda sekitar tahun 70-an silam.
Tarian yang satu ini ditampilkan untuk menyambut tamu yang datang, baik untuk urusan
kedaerahan atau tamu internasional yang datang ke Indonesia. Tarian ini punya gerakan yang
sangat semangat dengan iringan musik yang cepat juga. Kamu bisa melihat keindahan
gerakannya saat menontonnya langsung.
Selain tari kecak, Bali juga punya tari pendet yang cukup populer sampai ke mancanegara. Tari
pendet punya gerakan unik yang jadi ciri khasnya. Sang penari akan menggerakan badan, tangan,
jari, leher, dan matanya mengikuti alunan musik.
Tarian pendet ini ditampilkan untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala karunia yang
diberikan oleh para dewa. Tak heran tarian ini sering diadakan di tempat ibadah dalam hari besar
masyarakat di Bali. Namun, tarian ini juga sering dijumpai dalam acara kenegaraan untuk
menyambut para tamu.
Saking bagusnya kesenian yang satu ini, negara tetangga pernah mau mengklaimnya menjadi
kebudayaan mereka. Tarian yang berasal dari daerah Ponorogo, Jawa Timur, ini bercerita tentang
raja yang ingin melamar putri Kediri bernama Dewi Ragil Kuning. Namun, rencana ini pun
dihadang oleh Raja Kediri.
Dalam kesenian ini, beberapa penari akan memakai pakaian besar berbentuk macan. Kabarnya,
para penarinya harus “kerasukan” dulu supaya kuat mengangkat reognya. Biarpun
menyeramkan, kesenian tradisional ini tetap sangat menghibur untuk ditonton.
Banyak orang mengira ondel-ondel jadi kesenian terbesar yang ada di Jakarta. Sebenarnya, tari
topeng Betawi punya kepopuleran yang sama. Malahan, tari-tarian ini selalu hadir dalam
perayaan kedaerahan yang diadakan di ibu kota.
Seperti namanya, para penari akan mengenakan topeng dan pakaian dengan warna cerah saat
membawakannya. Selain itu, musik dari tari topeng betawi juga sangat khas dengan campuran
adat Melayu dan Tionghoa yang sudah hidup lama di tanah Betawi sejak dulu.
Keunikannya terletak dari properti tarian yang digunakannya, yaitu piring. Dulunya tari piring
ditampilkan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah sehingga masyarakat bisa
mendapatkan makanan yang banyak.
Tari piring ini dilakukan oleh kelompok yang berisi pria dan perempuan. Para penarinya akan
menari mengikuti iringan lagu yang semakin cepat. Hebatnya, piring-piring yang dibawa seperti
menempel di tangan mereka dan tidak akan terjatuh.
Tari Sekapur Sirih dimaknai sebagai sebuah sikap keterbukaan masyarakat Jambi dalam
menyambut para tamu yang datang ke sana. Selain itu, tarian ini juga sebagai ungkapan rasa
syuruk dan kebahagiaan masyarakat saat menyambut tamu tersebut.
Pada zaman dulu, penari yang memainkan tarian ini hanya orang-orang terpilih yang ditentukan
oleh keraton. Tingkat kesakralannya sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambangkan
kekuasaan raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu.
Saat digelar pada pernikahan adat, tarian ini biasanya dilakukan oleh mempelai pria bersama
orang tua atau wali dihadapan mempelai wanita. Sembari menari, mempelai pria ini melirik-lirik
ke arah mempelai wanita untuk melihat secantik apa calon istrinya tersebut.
Hal yang membuat tarian ini menegangkan adalah kedua penarinya dilengkapi dengan Mandau
asli dan sebuah perisai untuk bertahan. Kedua properti ini digunakan untuk mendukung aksi
pertempuran di dalam tariannya.
Tari yang termasuk ke dalam tarian tradisional Zapin Melayu ini dipercayai berkembang dari
ajaran agama Islam dan merupakan tarian yang menggambarkan kehidupan dan budaya
masyarakat Lampung saat itu. Pada waktu itu, tari ini kerap kali dimainkan saat ada salah satu
anggota keluarga yang khatam (menamatkan) Al-Quran.
Tari ini biasa dilakukan secara berpasangan atau berkelompok antara laki-laki dengan
perempuan. Untuk mengiringinya, tarian ini umumnya menggunakan alat musik tradisional khas
Lampung seperti karenceng, marwis, dan gitar gambus.
Janger menjadi gerak tari klasik Bali yang merupakan pemindahan dari gerakan Tari Arja,
Topeng, Tari Baris atau Jauk. Seni tari ini tergolong dalam jenis tari kreasi baru yang diadaptasi
dari rutinitas para petani kopi di Bali sebagai hiburan untuk melepas lelah setelah seharian
bekerja.
Unsur tari rakyat di sini sangat kental dengan digunakannya nyanyian yang dinyanyikan secara
bersahut-sahutan antara satu sama lain. Dari nyanyian ini terdengar suasana yang begitu gembira
dari kehidupan masyarakat yang membawakannya.
Tari cakalele adalah tarian daerah Maluku yang merupakan tari perang. Tari cakalele merupakan
bentuk seni tari yang melambangkan keberanian, ketangkasan, keperkasaan, dan rasa
persekutuan.
Tari perang ini ditampilkan oleh lima sampai 30 penari. Tarian daerah ini ditampilkan untuk
memberikan semangat para pasukan untuk melawan penjajah. Namun, jauh sebelum itu tarian ini
merupakan penghormatan bagi pelaut yang ingin berlayar agar mendapatkan restu dari arwah
leluhur.
Tarian daerah Sumatera Utara ini berkisah tentang dua manusia yang saling jatuh cinta pada
pandangan pertama dan akhirnya mendapatkan restu dari kedua orang tua pihak perempuan dan
kemudian berujung pada pernikahan.
Untuk menampilkan tarian daerah tersebut penari wanita memakai baju kurung lengan panjang
dengan kain yang menutupi pinggang hingga mata kaki. Sementara itu, penari pria memakai
kemeja dan celana panjang, dengan peci dan kain di pinggang sepanjang lutut.
Bahkan dengan popularitasnya, nama tarian daerah tersebut sudah dikenal di kancah
internasional.
1. Tari Saman, Aceh
Tari saman merupakan salah satu tarian daerah asal Aceh yang dikenal hingga kancah
internasional berkat gerakan tarinya yang memukau.
Di Aceh, tarian ini berasal dari suku Gayo yang dibawakan untuk memperingati upacara penting
masyarakat Aceh.
Maka tak heran jika dalam setiap penampilannya, tarian ini menggunakan bahasa Gayo.
Pada 2011 silam, UNESCO menetapkan tari saman sebagai “Representative List of Intangible
Cultural Heritage of Humanity”.
Tarian ini sangat dijaga kelestariannya dan dijadikan sebagai ekstrakulikuler di berbagai tingkat
sekolah.
2. Tari Kecak, Bali
Bali, provinsi yang dikenal dengan julukan Pulau Dewata ini sudah lama menjadi daya tarik
dunia karena kebudayaannya yang kaya.
Selain menawarkan pemandangan yang indah, Bali terkenal dengan ragam tarian tradisional
yang spektakuler.
Salah satu tariannya adalah tari kecak yang namanya diambil dari sorakan para penarinya, yakni
“cak cak cak”.
Tarian ini menceritakan cerita Ramayana.
Tari kecak dimainkan oleh banyak orang, sekitar 50-150 orang. Tak heran jika tarian ini bisa
menciptakan daya tarik yang besar.
Powered By
Play
Unmute
Loaded: 1.02%
Fullscreen
3. Tari Jaipong, Jawa Barat
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang daerah yang luas, artinya
kebudayaannya pun sangat beragam.
Salah satu tarian populer di Jawa Barat adalah tari jaipong. Tarian ini menggabungkan berbagai
kesenian di dalamnya, mulai dari wayang golek, ketuk tilu, dan pencak silat.
Tarian khas masyarakat Sunda Karawang ini diciptakan oleh H. Suanda sekitar tahun 70an silam.
MUNGKIN ANDA SUKA
Wanita 55-an asal Padang dengan Baby Face Pakai Ini sebelum Tidur
Immaculate Skin
Ahli Mata Saja Kaget. Ini Tingkatkan Penglihatan 99% dalam 5 Hari
Evision
Saya Langsung jadi Kaya dalam 30 Hari setelah Membaca Hal Ini
Wealth Amulet
Memperbaiki Sakit Lutut, Pinggul & Sendi, Semua Dimulai dari Sini
Easy Moves
4. Tari Pendet, Bali
Tarian daerah yang banyak menggunakan gerakan mata berasal dari daerah Bali, yakni dikenal
dengan tari pendet.
Gerakan tarian ini sangat khas karena sang penari menggerakkan badan, tangan, leher, jari, dan
matanya mengikuti alunan musik yang dimainkan.
Oleh masyarakat Bali, tarian ini ditampilkan untuk mengungkapkan rasa syukur atas karunia
yang telah diberikan oleh dewa.
5. Tari Reog Ponorogo, Jawa Timur
Dulu, tari reog sering dianggap mistis karena sebelum tarian ini ditampilkan ada ritual
pemanggilan roh agar penarinya tidak merasa kesakitan ataupun terluka ketika terkena
cambukan.
Selain terkenal mistis, penampilan tarian ini memang sangat memukau. Penarinya harus
menggunakan topeng reog super besar dengan cara digigit.
Tarian ini bercerita tentang kisah seorang raja yang ingin melamar Dewi Ragil Kuning, seorang
putri Kediri.
Namun, rencana raja tersebut dihadang oleh raja Kediri.
6. Tari Topeng Betawi, DKI Jakarta
Selain terkenal dengan ondel-ondel, provinsi Jakarta juga terkenal dengan tari topeng Betawi
yang kerap ditampilkan dalam perayaan daerah.
Sesuai dengan nama tariannya, setiap penari tarian ini mengenakan topeng dan pakaian berwarna
cerah dalam penampilannya.
Tarian ini sangat khas dengan campuran adat Melayu dan Tionghoa, karena dua kebudayaan
tersebut telah hidup lama di tanah Betawi.
7. Tari Piring, Sumatera Barat
Tari piring asal Sumatera Barat merupakan salah satu tarian daerah yang menggunakan properti,
dalam tarian ini propertinya adalah piring.
Dulu, tari piring merupakan tarian yang ditampilkan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil
panen yang berlimpah.
Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang terdiri dari pria dan wanita. Setiap penari
memegang piring di tangannya dan mengikuti alunan lagu yang semakin cepat.
8. Tari Sekapur Sirih, Jambi
sumber: negerikuindonesia.com
Tari sekapur sirih merupakan tarian daerah yang berasal dari Jambi. Tarian ini dimainkan oleh
para wanita dan digunakan sebagai tarian penyambutan.
Saat menampilkan tarian ini, para penari membawakan cerano sebagai persembahan untuk tamu
yang disambut.
Selain itu, tarian ini juga merupakan bentuk rasa syukur dan kebahagiaan masyarakat saat
menyambut tamu.
9. Tari Kipas Pakarena, Sulawesi Selatan
sumber: konfirmasitimes.com
Tari Kipas Pakarena berasal yang berasal dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, ini memiliki
makna yang mendalam di setiap gerakan tariannya.
Secara garis besar, tarian ini menggambarkan perpisahan antara Boting Langi (kayangan) dan
Lino (Bumi).
Melalui setiap gerakannya, setiap gerakan tari kipas pakarena menggambarkan ajaran kepada
masyarakat dalam beternak, berburu, bercocok tanam, hingga ucapan rasa syukur pada
kayangan.
10. Tari Serimpi, Jawa Tengah
sumber: pariwisataindonesia.id
Tari serimpi adalah salah satu bentuk tarian Jawa klasik dari Kesultanan Mataram yang
kemudian dilestarikan oleh empat istana pewarisnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Tarian ini merupakan tarian sakral yang tidak bisa disamakan dengan tarian pentas lainnya.
Bahkan pada zaman dulu, tari serimpi hanya bisa boleh dimainkan oleh orang-orang yang
ditentukan keraton.
Tingkat kesakralan tarian ini sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambangkan
kekuasaan raja zaman Jawa Hindu.