Anda di halaman 1dari 99

RUMAH ADAT DI INDONESIA

Rumah tradisional atau Rumah adat adalah rumah yang dibangun dengan cara yang sama
dari generasi kegenerasi dan tanpa atau dikit sekali mengalami perubahan. Rumah tradisional
dapat juga dikatakan sebagai rumah yang dibangun dengan memperhatikan kegunaan, serta
fungsi sosial dan arti budaya dibalik corak atau gaya bangunan. Penilaian kategori rumah
tradisonal dapat juga dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat ketika rumah tersebut
didirikan misalnya seperti untuk upacara adat. Rumah tradisional ialah ungkapan bentuk
rumah karya manusia yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh atau
berkembang bersamaan dengan tumbuh kembangnya kebudayaan dalam masyarakat. Ragam
hias arsitektur pada rumah tradisional merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Rumah
tradisional merupakan komponen penting dari unsur fisik cerminan budaya dan kecendrungan
sifat budaya yang terbentuk dari tradisi dalam masyarakat. Rumah tradisional ialah sebagai
hasil karya seni para aksitektur tradisional. Dari rumah tradisional masyarakat dapat
melambangkan cara hidup, ekonomi dan lain-lain. Di Indonesia setiap daerah mempunyai
rumah tradisional yang beragam karena beragamnya budaya dalam setiap daerah yang ada di
Indonesia.

Berikut ini adalah macam-macam rumah adat yang ada di 34 provinsi di Indonesia

1. Rumah Adat Provinsi Aceh

Rumoh Aceh
Rumah Aceh "Rumoh Aceh" atau "Rumah Krong Bade" merupakan rumah adat dari suku
Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan.
Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh
(serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka
keluarga.

Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab
adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat
tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: "Tiap-tiap rakyat mendirikan
rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu
hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit". Kain merah putih yang dibuat khusus di
saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh
putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan
pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah
dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang
suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau
menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam
Rumah Adat Aceh, istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa
Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.

Umah Pitu Ruang

Umah Pitu Ruang yang didalam bahasa Indonesia berarti "Rumah Tujuh Ruang" yaitu
rumah adat masyarakat suku Gayo provinsi Aceh. Rumah ini berbentuk panggung yang
terdiri dari tujuh ruang di atas, sedangkan dibawahnya difungsikan sebagai tempat
penyimpanan perkakas pertanian dan kayu bakar. Rumah adat ini memiliki keunikan yaitu
pada pembuatan susunan rumah tidak menggunakan paku. Melainkan dengan dipasak dengan
kayu dengan bermacam-macam ukiran di setiap kayunya. Ukiran tersebut berbeda-beda, ada
yang berbentuk hewan sampai dengan ukiran seni Kerawang Gayo dengan pahatan khusus.

Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) adalah
peninggalan raja Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin. Sudah berdiri dari sejak jaman pra-
kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti
sejarah dari orang asli Gayo yang sampai sekarang masih ada.

2. Rumah Adat Provinsi Sumatra Utara

Rumah Bolon
Rumah Bolon atau Rumah Balai Batak Toba adalah rumah adat dari suku Batak yang ada
di Indonesia. Rumah Bolon berasal dari daerah Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah simbol
dari identitas masyarakat Batak yang tinggal di Sumatra Utara. Pada zaman dahulu kala,
rumah Bolon adalah tempat tinggal dari 13 raja yang tinggal di Sumatra Utara. 13 Raja
tersebut adalah Raja Ranjinman, Raja Nagaraja, Raja Batiran, Raja Bakkaraja, Raja Baringin,
Raja Bonabatu, Raja Rajaulan, Raja Atian, Raja Hormabulan, Raja Raondop, Raja Rahalim,
Raja Karel Tanjung, dan Raja Mogam. Ada beberapa jenis rumah Bolon dalam masyarakat
Batak yaitu rumah Bolon Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah Bolon Karo, rumah Bolon
Mandailing, rumah Bolon Pakpak, rumah Bolon Angkola. Setiap rumah mempunyai ciri
khasnya masing-masing. Sayangnya, rumah Bolon saat ini jumlah tidak terlalu banyak
sehingga beberapa jenis rumah Bolon bahkan sulit ditemukan. Saat ini, rumah bolon adalah
salah satu objek wisata di Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah salah satu budaya Indonesia
yang harus dilestarikan.

Rumah Adat Karo


Rumah adat Sumatera Utara yang terkenal berikutnya adalah rumah adat Karo yang juga
dikenal sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah
yang didiami delapan keluarga. Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam
rumah tersebut. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian
ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak
terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan
tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat
Karo Sumatera Utara ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas
jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu
ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu.

Rumah Adat Pakpak

Rumah adat Pakpak memiliki bentuk yang khas yang dibuat dari bahan kayu dengan atap dari
bahan ijuk. Bentuk desain Rumah Adat Pakpak Sumatera Utara selain sebagai wujud seni
budaya Pakpak, setiap bentuk desain dari bagian-bagian Rumah Adat Pakpak tersebut
memiliki arti tersendiri. Jika diteliti dengan cermat dan diketahui maknanya, maka cukup
dengan melihat rumah adat Pakpak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Suku Pakpak
berbudaya.

Rumah Adat Mandailing

Rumah Adat Batak Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai kediaman para raja,
terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo Godang
sebagai balai sidang adat. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah
ganjil sebagaimana juga jumlah anak tangganya.

Bangunan arsitektur tradisional Rumah Adat Batak Mandailing Sumatera Utara adalah bukti
budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur
tradisional Batak Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah
satu dari beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut
mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung
baik tidak langsung.

Rumah Adat Simalungun


Batak Simalungun berdiam di sebagian wilayah Deli Serdang sebelah Timur Danau Toba.
Rumah adatnya berbentuk panggung dengan lantai yang sebagian disangga balok-balok besar
berjajar secar horizontal bersilangan. Balok-balok ini menumpu pada pondasi umpak.
Dinding rumah agak miring dan memilliki sedikit bukaan/jendela. Atapnya memilliki
kemiringan yang curam dengan bentuk perisai pada sebagian besar sisi bawah, sedang sisi
atas berbentuk pelana dengan gevel yang miring menghadap ke bawah. Pada ujung atas gevel
biasanya dihiasi dengan kepala kerbau. Tanduknya dari kerbau asli dan kepalanya dari injuk
yang dibentuk. Bagian-bagian konstruksi Rumah Adat Batak Simalungun Bolon diukir, dicat
serta digambar dengan warna merah, putih dan hitam. Selain sarat dengan nilai filosofis,
ornamentasi rumah memiliki keunggulan dekoratif dalam memadukan unsur alam dan
manusia dengan unsur geometris.

Rumah Adat Batak Simalungun Bolon menyampaikan sebuah ungkapan pertemuan


masyarakat dapat dimunculkan dengan bentuk geometri segi empat yang ditengahnya diberi
lingkaran lalu diberi corak ragam hias manusia beruang berkeliling lingkaran. Menyampaikan
sebuah ungkapan hubungan dua manusia ditampilkan dengan bentuk geometri kotak
melambangkan dekorasi badan manusia di mana bagian atas dan bawahnya diberi kepala
dalam posisi berlawanan arah. Corak ragam ornamen Rumah Adat Batak Simalungun Bolon
ini selalu berulang, melalui proses tradisi turun temurun, berkembang dan berpadu saling
melengkapi dengan bentuk dekorasi lain.

Rumah Adat Nias


Rumah adat Nias (bahasa Nias: Omo Hada) adalah suatu bentuk rumah panggung tradisional
orang Nias, yaitu untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu terdapat pula rumah adat Nias
jenis lain, yaitu Omo Sebua, yang merupakan rumah tempat kediaman para kepala negeri
(Tuhenori), kepala desa (Salawa), atau kaum bangsawan.

Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang kayu nibung yang tinggi dan besar, yang
beralaskan rumbia. Bentuk denahnya ada yang bulat telur (di Nias utara, timur, dan barat),
ada pula yang persegi panjang (di Nias tengah dan selatan). Bangunan rumah panggung ini
tidak berpondasi yang tertanam ke dalam tanah, serta sambungan antara kerangkanya tidak
memakai paku, hingga membuatnya tahan goyangan gempa. Ruangan dalam rumah adat ini
terbagi dua, pada bagian depan untuk menerima tamu menginap, serta bagian belakang untuk
keluarga pemilik rumah.

Rumah Omo Sebua

Omo Sebua adalah jenis rumah adat atau rumah tradisional dari Pulau Nias, Sumatra Utara.
Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang
besar dari kayu besi dan atap yang tinggi. Omo sebua didesain secara khusus untuk
melindungi penghuninya daripada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman
dahulu. Akses masuk ke rumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan. Bentuk
atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk
berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempa
bumi.

Omo Hada Laraga

Omo Hada Laraga adalah salah satu jenis rumah adat Nias. Rumah ini berasal dari daerah
Nias Utara dan memiliki ciri berbentuk oval. Rumah ini didirikan dari kayu dengan atap daun
rumbia. Suasana rumah sejuk dengan ventilasi yang memadai. Pembedanya dari jenis rumah
adat Nias lainnya yaitu bentuknya yang oval dengan atap rumbia yang curam dan tinggi.
Bagian dinding terbuka di bagian atas, namun diapit horizontal dengan kutub kayu. Ini
memungkinkan aliran udara yang baik serta perlindungan bagi penghuninya. Di dalam rumah
juga terdapat berbagai ukiran. Sudut yang ereng memberikan posisi yang menguntungkan
bagi penghuni rumah saat terjadi serangan dari luar. Sebuah tangga kayu mengarah ke
serambi kecil yang tertutup yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah.

Rumah Adat Angkola

Angkola merupakan salah satu etnis yang berdiri sendiri, walaupun banyak orang yang
menyamakannya dengan mandailing. Rumah adat tersebut juga dinamai dengan Bagas dan
Gondang seperti halnya rumah adat Mandiling. Tetapi tetap ada beberapa perbedaan diantara
rumah adat keduanya. Rumah adat Angkola yang berasal dari Sumatera Utara mempunyai
ciri atap yang terbuat dari bahan ijuk dan dindingnya terbuat dari papan. Salah satu ciri khas
dari rumah adat tersebut adalah selalu menggunakan warna yang dominan hitam.

Rumah adat Bagas Godang

Bagas Godang adalah Rumah adat atau arsitektur tradisional Suku Mandailing dengan
konstruksi yang khas. Rumah besar ini dahulu sebagai tempat tinggal atau tempat istirahat
raja. Berbentuk empat persegi panjang yang disangga kayu-kayu besar berjumlah ganjil.
Ruang terdiri dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Terbuat dari kayu,
berkolong dengan tujuh atau sembilan anak tangga, berpintu lebar dan berbunyi keras jika
dibuka. Kontruksi atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati. Satu komplek
dengan Bagas Godang terdapat Sopo Godang, Sopo Gondang, Sopo Jago, dan Sopo Eme.
Keseluruhan menghadap ke Alaman Bolak.

Alaman Bolak adalah sebuah bidang halaman yang sangat luas dan datar. Selain berfungsi
sebagai tempat prosesi adat, juga menjadi tempat berkumpul masyarakat. Sering juga disebut
alaman bolak silangse utang. Maksudnya, siapapun yang lari kehalaman ini mencari
keselamatan, ia akan dilindungi raja.

Sopo Godang adalah tempat memusyawarahkan peraturan adat. Selain itu, tempat ini juga
dijadikan untuk pertunjukan kesenian, tempat belajar adat dan kerajinan, bahkan juga tempat
musyafir bermalam. Berbagai patik, uhum, ugari dan hapantunan lahir dari tempat ini. Juga
disiapkan untuk menerima tamu-tamu terhormat. Dirancang berkolong dan tidak berdinding
agar penduduk dapat mengikuti berbagai kegiatan di dalamnya. Karenanya Sopo Godang
juga disebut Sopo Sio Rangcang Magodang, inganan ni partahian paradatan, parosu-rosuan ni
hula dohot dongan. Artinya, Balai Sidang Agung, tempat bermusyawarah melakukan sidang
adat, menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat.

Sopo Jago adalah tempat naposo bulung duduk-duduk sambil menjaga keamanan desa.
Sopo Gondang adalah tempat menyimpan Gorgang Sambilan atau alat-alat seni kerajaan lain.
Alat-alat itu biasanya dianggap sakral.
Sopo eme atau hopuk adalah tempat menyimpan padi setelah dipanen, lambang kemakmuran
bagi huta.
Seluruh komplek bangunan bagas godang pada masa lalu tidak berpagar. Sekalipun raja yang
menempatinya, tetapi seluruh bangunan ini dianggap sebagai milik masyarakat dan
dimuliakan warga huta.

3. Rumah Adat Provinsi Sumatra Barat

Rumah Gadang

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah
tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini juga
disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada
juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.

Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di sumatra barat, Namun tidak semua
kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan
yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu
juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang
didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo


Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo adalah rumah adat tradisional Minangkabau yang
dibuat oleh masyarakat Suku Dalimo dan termasuk cagar budaya Indonesia. Tidak seperti
rumah gadang pada umumnya yang memiliki sembilan ruang, rumah gadang ini memiliki 13
ruang dengan fungsi tertentu.

Rumah gadang 13 Ruang terletak di Jalan Sungai Jodi, Desa Sungai Jodi, Kecamatan Lubuk
Tarok, Sijunjung, Sumatra Barat. Pada awalnya, rumah gadang ini memiliki 17 ruang yang
merupakan milik kelarasan Koto Piliang. Ciri khasnya ditandai dengan anjuang, yaitu bagian
lantai pada sisi samping kanan (Timur) rumah yang ditinggikan.

Rumah Gadang 20 Ruang

Rumah Gadang 20 Ruang adalah sebuah rumah Gadang yang terpanjang di Sumatra Barat.
Secara geografis terletak di Nagari Sulit Air, X Koto Diateh Jorong Silungkang, Solok.
Bangunan ini terdaftar sebagai cagar budaya dengan nomor inventaris
03/BCB-TB/A/15/2007 di Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar. dari sejarahnya,
bangunan ini dinamakan rumah gadang 20 ruang karena bilik atau kamar pada rumah ini
terdiri dari 20 buah. Rumah Gadang 20 ruang dibangun pada tahun 1820, tetapi bangunan ini
terbakar dan kemudian didirikan kembali pada tahun 1901 selesai pada tahun 1907.
Pembagunan rumah Gadang 20 Ruang setelah terbakar tidak dibangun lagi sesuai aslinya.
Rumah Gadang yang pertama atapnya terbuat dari ijuk dan dinding semuanya diukir tetapi
pada saat pembangunan kembali,terjadi perubahan pada bagian atab dan dinding. sekarang,
Atapnya memakai seng dan bagian dindingnya tidak lagi diukir tapi polos.

Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya

Rumah Gadang Baanjuang adalah salah satu objek wisata berupa bangunan Rumah
Gadang, rumah adat suku Minangkabau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Bangunan ini juga dikenal dengan nama Rumah Gadang
Baanjuang Nur Sutan Iskandar karena rumah ini merupakan milik keluarga sastrawan Nur
Sutan Iskandar, seorang sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Rumah ini
sekarang dipelihara oleh ahli warisnya yang bernama Ibu Romlah, adik bungsu Sutan
Iskandar dari lain ibu. Bangunan ini telah dimasukkan ke dalam situs cagar budaya Indonesia
dengan SK Menteri NoPM.86/PW.007/MKP/2011 kategori Benda Cagar Budaya tahun 2011
dengan nomor Registrasi Nasional RNCB.20111017.02.000615, dan saat ini dikelola oleh
BP3 Batusangkar.

Rumah Gadang Kajang Padati


Rumah Gadang Kajang Padati adalah rumah gadang di Minangkabau yang tidak memiliki
atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi bentuk atap pedati yang berupa atap pelana,
tetapi melancip di ujung-ujungnya. Rumah gadang ini dapat ditemukan di Padang, khususnya
di daerah Kuranji, Pauh, dan Koto Tangah. Pada masa Kesultanan Aceh, terdapat aturan
rumah gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi harus ada paduan Aceh
dengan Minangkabau. Oleh karena itu, rumah gadang ini mendapat pengaruh dari Aceh,
terutama pada bentuk tangga dan ukirannya.

Rumah Gadang Kampai Nan Panjang

Rumah Gadang Kampai Nan Panjang adalah rumah adat tradisional Minangkabau milik
Datuk Penghulu Basa dari Suku Kampai Nan Panjang. Rumah gadang ini terletak di Nagari
Belimbing (sekitar 13 km dari Batusangkar), Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar,
Sumatra Barat. Berusia lebih kurang 300 tahun, konstruksinya sebagian besar tidak
mengalami perubahan hingga saat ini.

Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah tempat tinggal yang memiliki
arsitektur bergaya khas Minang dengan atap yang bergonjong empat dan terbuat dari ijuk.
Keseluruhan bangunan bagian luar terdiri dari kayu berwarna hitam. Hanya terdapat satu
pintu masuk ke bagian dalam rumah dan tangganya tepat berada di tengah-tengah. Bangunan
ini terdiri dari tujuh bilik (kamar), yang masing-masing berukuran 1,5 x 3 meter persegi.
Biasanya rumah gadang memiliki ruangan dalam jumlah yang ganjil, bisa 5, 7,9 dan
seterusnya, tetapi pada umumnya jumlah ruang yang ada adalah sambilan ruang. Bentuknya
persegi empat dan atapnya terbuat dari ijuk. Ruangan bagian tengah rumah gadang ini
merupakan ruangan terbuka tanpa sekiat dan bilik. Pintu utamanya hanya satu dan terletak di
bagian tengah. Dinding bagian luar dan dalam polos tidak ada ukiran. Ruangan dalam bagian
belakang merupakan bilik-bilik yang berfungsi sebagai kamar tidur. Pintu bilik berukuran
oval dengan diameter sangat kecil (30 cm) sehingga untuk masuk ke dalam bilik harus
membungkuk.

Seperti rumah gadang pada umumnya, rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah
ini tidak berplafon sehingga langsung terlihat tulang-tulang yang menyusun rangka atapnya,
hanya di bagian ujung sebelah kiri yang ada bagian seperti loteng tempat penyimpanan.
Lantainya rata dan tidak ada anjung di bagian ujung, dilapisi bilah bambu yang bersusun-
susun. Sepanjang rumah bagian belakang yang menuju kamar terdapat bagian lantai yang
lebih tinggi satu anak tangga membujur serta membentuk huruf "U" ke ujung kiri dan kanan.

Rumah panjang Uma

Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat dan
banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatra Barat, Indonesia.
Uma ini dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum
konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta
sistem sambungan silang bertakik.

Dalam rumah Uma ini, selain rumah utamnya, terdapat bagian-bagian lain, yang masing
masing memiliki nama dan fungsi tersendiri. Ruangan utama dinamakan Lalep. Bagian ini
adalah tempat tinggal bagi sepasang suami istri, yang pernikahannya disahkan secara adat.
Bagian ini terdapat di dalam Rumah Uma. Bagian yang ke dua dinamakan Rusuk. Baian ini
merupakan tempat atau ruang khusus, yang diperuntukkan bagi anak-anak muda, para janda
untuk bernaung, dan mereka yang di asingkan karena melanggar aturan adat Suku Mentawai.
Dari segi konstruksi, Rumah Uma ini memiliki panjang sekitar 30 meter, dengan lebar 10
meter dan memiliki tinggi sekitar 7 meter.
Rumah gadang di Nagari Sumpur

Arsitektur Rumah gadang di Nagari Sumpur memiliki karakter lokalitas (arsitektur


vernakular) yang ditunjukkan dengan interaksi antara masyarakat Sumpur dengan lingkungan
alam mereka. Rumah gadang Sumpur sarat dengan simbol-simbol yang diartikulasikan
melalui bentuk atap, jumlah tiang dan ruang atau biliak, anjungan, peninggian lantai, serta
ukiran-ukiran yang ada di rumah gadang.

Selain ruangan utama yang dibuat berdasar kebutuhan utama, ada juga bangunan yang
dibangun di luar bangunan utama yaitu, sebagai tempat menyimpan cadangan makanan,
seperti padi dan hasil-hasil perkebunan, bangunan ini disebut lumbung atau dalam bahasa
minang disebut lumbuang padi, atau rangkiang.

Saat Perang Paderi tahun 1821-1837 banyak rumah gadang yang berkurang oleh karena
kondisi sosial politik masa perang, banyak rumah gadang dibakar dan hancur di Nagari
Sumpur Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar terdapat sekitar 200 lebih rumah
gadang, sebagian besar berada di Jorong Nagari, yaitu salah satu jorong di Nagari Sumpur,
sejalan waktu Jumlah tersebut berkurang secara drastis, terutama disebabkan oleh terjadinya
gejolak sosial-politik pemerintahan di masa perang Paderi.

Pada bulan Oktober 2013 jumlah rumah gadang yang ada di Nagari Sumpur tinggal 45
rumah. Kondisinya, ada 30 rumah yang masih layak huni, sedangkan 15 rumah yang tidak
layak huni atau butuh renovasi. Berdasarkan jumlah ruangnya, rumah gadang di Nagari
Sumpur dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu rumah gadang baanjuang kecil,
rumah gadang bagonjong, rumah gadang baanjuang besar.

Rumah Gadang lainya juga dapat kita temukan di luar kawasan sumatra barat seperti Rumah
Gadang Datuk Bisai di Kecamatan Kuantan Tangah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi
Riau Dan Rumah Tradisional Negeri Sembilan di Negeri Sembilan, Malaysia.
4. Rumah Adat Provinsi Riau

Rumah Selaso Jatuh Kembar

Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar adalah rumah adat khas Daerah Riau yang berupa balai
selaso jatuh. Balai atau rumah adat ini difungsikan sebagai tempat berkegiatan bersama,
sebagai tempat pertemuan, tetapi tidak digunakan sebagai tempat tinggal pribadi. Rumah
Adat Selaso Jatuh Kembar dikenal juga dengan sebutan balai penobatan, balirung sari, balai
karapatan dan sebagainya. Dulu bangunan ini sangat ramai karena kerap digunakan oleh
warga untuk melaksanakan acara-acara adat lokal, seperti musyawarah, penobatan kepala
adat, untuk rapat perihal desa dan bahkan untuk melaksanakan upacara adat. Akan tetapi,
sekarang semua itu telah digantikan oleh masjid.

Rumah Lontiok atau Lancang


Rumah Lancang atau pencalang merupakan nama salah satu rumah tradisional masyarakat
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau pencalang,
rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Nama lontik diberikan menurut bentuk
perabung atapnya yang lentik ke atas, hal tersebut itu melambangkan: pada awal dan akhir
hidup manusia akan kembali kepada penciptanya, Allah Yang Maha Besar, sedangkan
lekukan pada pertengahan perabungnya melambangkan "Lembah Kehidupan" yang kadang
kala penuh dengan berbagai ragam cobaan. Sebutan lain adalah Lancang atau Pencalang
karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu. Bentuk dinding rumah miring
keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk rumah
tersebut seperti rumah-rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk.

Rumah Melayu Lipat Kajang

Karena menyerupai bentuk perahu, maka dinamakan Rumah Melayu Lipat Kajang. Bentuk
bumbung curam yang disebut Lipat Kajang ini bisa memudahkan air hujan untuk turun.
Seiring berkembangnya zaman dan makin maraknya konsep bangunan arsitektur modern,
rumah adat ini sudah jarang ditemukan bahkan tidak digunakan lagi oleh masyarakat Riau.

5. Rumah Adat Provinsi Kepulauan Riau

Rumah Belah Bubung

Rumah Belah Bubung adalah rumah adat dari kepulauan Riau yang berada di Indonesia.
Rumah Belah Bubung juga dikenal dengan nama rumah rabung atau rumah bubung melayu.
Konon, nama rumah ini diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke Indonesia seperti
Tiongkok dan Belanda. Rumah Belah Bubung memiliki model rumah yang sama dengan
rumah panggung. Rumah ini memiliki tinggi 2 meter dari tanah dan ditopang oleh beberapa
tiang penyangga. Rumah ini memiliki atap yang berbentuk seperti pelana kuda. Rumah induk
terbagi menjadi 4 bagian yaitu selasar, ruang induk, ruang penghubung dapur, dan dapur.
Rumah Belah Bubung memiliki bahan dasar yaitu kayu. Proses pembangunan rumah pun
tidak sembarangan karena harus melalui beberapa tahap yang dipercaya menghindari pemilik
rumah dari kesialan. Ukuran rumah ini juga bergantung dari kemampuan ekonomi dari sang
pemilik rumah. Semakin besar ukuran rumah ini memperlihatkan bahwa kemampuan
ekonomi dari pemilik rumah adalah menengah ke atas, tetapi semakin kecil rumah ini
menunjukkan bahwa ekonomi pemilik rumah menengah ke bawah.

Rumah Limas Potong


Rumah Limas Potong merupakan rumah tradisional yang dimiliki orang melayu yang tetap
bertahan di tengah perkembangan jaman di dalam kawasan kota Batam yang sudah berdiri
sejak November 1959, dibangun oleh Haji Abdul Karim. Jika melihat tahun pendiriannya
memang rumah tradisional ini cukup tua dan sangat wajar dijadikan warisan sejarah bagi
orang melayu. Keunikan dari nama Rumah Limas Potong berasal dari atapnya yang memiliki
bentuk limas yang dipotong. Rumah Limas Potong berbentuk rumah panggung sama seperti
umumnya rumah panggung yang ada di Sumatra. Rumah Limas Potong Tingginya sekitar 1,5
meter dan terbuat dari papan atau kayu. Untuk ukuran Besar kecilnya rumah maka akan
ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumah dan
ragam hiasnya.

6. Rumah Adat Provinsi Jambi

Rumah Panggung Kajang Leko


Rumah Panggung (Jambi) adalah nama rumah adat yang berasal dari daerah Jambi. Rumah
ini terbuat dari kayu. Rumah ini juga dikenal dengan nama rumah Kajang Leko. Rumah ini
terbagi ke dalam 8 ruangan. Ruangan pertama bernama jogan yang berfungsi sebagai tempat
beristirahat anggota keluarga dan juga sebagai tempat untuk menyimpan air. Ruangan kedua
adalah serambi depan yang berfungsi untuk menerima tamu lelaki. Ruangan ketiga adalah
serambi dalam yang berfungsi sebagai tempat tidur anak lelaki. Ruang keempat adalah amben
melintang yang berfungsi sebagai kamar pengantin. Ruang kelima adalah serambi belakang
yang sebagai ruang tidur untuk anak-anak perempuan yang belum menikah. Ruang keenam
digunakan untuk menerima tamu perempuan. Ruang ketujuh adalah garang yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan air. Kedelapan adalah dapur yang digunakan untuk memasak.

Rumah Tuo Rantau Panjang

Rumah Tuo Rantau Panjang secara administratif terletak di Provinsi Jambi, Kabupaten
Merangin, Kecamatan Rantau Panjang, tepatnya di Desa Baruh. Terdapat sebuah
perkampungan tua dengan rumah-rumah yang masih tradisional sebanyak 80 buah, walaupun
sebagian rumah sudah ada yang menggunakan batu sebagai dinding dan pondasi rumah yang
berada di kawasan rumah tuo Desa Baruh. Luas wilayah 1.750 Ha dengan kondisi geografis
tanah yaitu perkebunan. Rumah Tuo Rantau Panjang merupakan salah satu situs cagar
budaya yang berada di Merangin. Rumah yang dibangun pada tahun 1330 ini mulai
ditetapkan sebagai situs cagar budaya pada tahun 1996. Meski dibangun pada tahun 1330,
namun rumah ini baru mulai ditempati pada tahun 1332. Banyak penelitian yang telah
dilakukan di rumah tuo rantau panjang ini, salah satunya penelitian mengenai arsitektur nya.

Perkampungan Rumah Tuo Rantau Panjang adalah sebuah lokasi perkampungan yang
masih mempertahankan bangunan-bangunan tua/lama yang dibangun sekitar 300 - 400 tahun
yang lalu. Disebut perkampungan rumah tuo, karena di kampung tersebut masih ada
bangunan rumah tua yang didirikan tahun 1330, dan masih bertahan hingga sekarang. .

7. Rumah Adat Provinsi Sumatra Selatan

Rumah Limas

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional Sumatra Selatan. Selain ditandai
dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-
tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti
hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai kedua. Rumah Limas ini memiliki
nama lain, yaitu Rumah Bari. Di Malaysia, rumah Limas ini juga banyak ditemukan di daerah
Johor, Selangor dan Terengganu. konstruksi rumah limas adalah bentuk rumah panggung, di
rumah ini banyak ditemukan berbagai ragam hias, yang menunjukkan identitas adat
masyarakat.

Rumah Rakit

Rumah Rakit adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Rumah rakit
merupakan salah satu rumah tertua di Provinsi Sumatera Selatan, diperkirakan sudah ada
sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Rumah rakit dibangun di atas rakit dan mengapung di
sepanjang pinggiran Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Supaya tidak hanyut
terbawa arus, rumah diikat pada sebuah serdang (penambat).

Rumah Ulu

Rumah ulu adalah salah satu dari tiga tipologi arsitektur rumah tradisional yang berada di
wilayah Sumatra Selatan, dua yang lainnya adalah Rumah Limas dan Rumah Gudang.
Rumah ini berasal dari dataran tinggi Besemah di barat dan menyebar ke arah timur dataran
rendah pemukiman sepanjang sungai Ogan. Rumah Ulu berbentuk panggung dengan dinding
berbentuk kotak dan atap berbentuk curam. Rumah ulu merupakan rumah tradisional warga
yang bertempat tinggal di daerah hulu Sungai Musi, Sumatra Selatan. Secara etimologis,
rumah ulu berasal dari kata uluan yang memiliki arti pedesaan. Uluan juga digunakan sebagai
sebutan bagi masyarakat yang bermukim di bagian hulu Sungai Musi.

Ghumah Baghi
Ghumah Baghi atau Rumah Baghi, atau Ghumah Tatahan, merupakan rumah adat
tradisional di Provinsi Sumatra Selatan yang dibangun oleh Suku Besemah (atau disebut juga
Pasemah). Secara etimologis dalam Bahasa Indonesia Ghumah artinya Rumah, sedangkan
Baghi (dibaca: bari) artinya tua. Selain diartikan sebagai rumah lama, tua atau kuno, bisa juga
Ghumah Baghi disebut sebagai "rumah peninggalan zaman dahulu kala". Bagi komunitas
masyarakat Suku Besemah Ghumah Baghi tidak sekadar tempat tinggal saja, melainkan juga
sebagai simbol strata bagi si pemilik rumah dan dianggap sakral.

8. Rumah Adat Provinsi Bangka Belitung

Rumah Adat Rakit Limas


Rakit Limas adalah rumah adat dari Bangka Belitung. Rumah adat rakit limas banyak
dikenal sebagai rumah adat dari Bangka Belitung. Namun secara garis besar, rumah ada di
Bangka Belitung terdiri atas tiga jenis yaitu Rumah Rakit, Rumah Limas, dan Rumah
Panggung. Rakit dan limas yang menjadi bagian dari jenis rumah adat inilah yang kemudian
dikenal sebagai rumah adat dari daerah ini. Ketiga rumah adat ini memiliki arsitektur yang
berlainan namun di antara ketiganya memiliki persamaan. Ketiganya banyak menggunakan
arsitektur dan adat Melayu pada ketiga bangunannya.

Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti
yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatra dan Malaka. Di daerah ini
dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu
Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti
kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh dan mudah
diperoleh di sekitar pemukiman.

Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki
beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal
terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam
tanah.

Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang.
Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan
pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari
pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada
penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas
karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini
terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-
Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga
keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama
tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.

9. Rumah Adat Provinsi Bengkulu

Rumah adat Bubungan Lima

Rumah Bubungan Lima adalah rumah adat dari provinsi Bengkulu. Rumah ini memiliki
model seperti rumah panggung yang ditopang oleh beberapa tiang penopang. Rumah ini
bukanlah rumah tinggal seperti pada umumnya. Rumah ini biasanya dipakai untuk acara adat
masyarakat Bengkulu. Rumah ini terbagi atas tiga bagian yaitu rumah bagian atas, rumah
bagian tengah, dan rumah bagian bawah. Rumah Bubungan Lima memiliki materi dasar yaitu
kayu. Kayu yang dipilih pun bukan kayu sembarangan melainkan kayu yang kuat dan tahan
lama. Kayu yang biasanya digunakan untuk membangun Rumah Bubungan Lima adalah
Kayu Medang Kemuning. Rumah Bubungan Lima dibangun tinggi agar menghindari pemilik
rumah beserta keluarga dari serangan binatang liar dan juga dari bencana alam seperti banjir.
Karena tinggi Rumah Bubungan Lima ini, maka orang-orang yang hendak masuk ke dalam
rumah pun harus menggunakan tangga. Tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam
rumah umumnya mempunyai jumlah anak tangga yang ganjil sesuai dengan kepercayaan
masyarakat Bengkulu. Rumah Bubungan Lima ini merupakan salah satu Budaya Indonesia
yang menjadi objek wisata.

Rumah adat Enggano


Rumah adat Enggano ditemukan di Pulau Enggano. Secara administrasi Pulau Enggano
masuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Indonesia. Rumah ini
berupa rumah panggung dua lantai setinggi enam meter dengan bentuk bangunan bulat atau
melingkar berukuran 8 x 8 meter.

Masyarakat adat Enggano merenovasi dan membangun enam rumah adat yang digunakan
sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan adat, namun bisa disewakan untuk para
wisatawan yang berwisata ke Pulau Enggano. Enam rumah adat tersebut antara lain:

1. Rumah adat Suku Kaitora.


2. Rumah adat suku Kauno.
3. Rumah adat Suku Kaaruba.
4. Rumah adat Suku Kaharubi.
5. Rumah adat Suku Kaahua.
6. Rumah adat suku Kamay.

Pulau Enggano yang dihuni penduduk terbagi menjadi lima suku asli yakni Kaitora, Kauno,
Kaharuba, Kaahua, Kaharubi dan warga pendatang yang diberi nama suku Kamay.

10. Rumah Adat Provinsi Lampung

Rumah Nuwo Sesat


Nuwo Sesat adalah rumah adat yang berasal dari provinsi Lampung. Dalam bahasa setempat,
Nuwou berarti rumah atau tempat tinggal. Sedangkan Sesat berarti bangunan musyawarah.
Jadi bisa dibilang Nuwou sesat adalah Bangunan atau rumah untuk bermusyarawah para tetua
adat Lampung.

Sesuai dengan namanya, Nuwou Sesat digunakan sebagai balai pertemuan adat antar
penyimbang (tetua masing-masing marga) pada saat mengadakan pepung adat atau
musyawarah. Oleh karena itu, Nuwou Sesat juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian-bagian
yang terdapat pada bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan
atap). Sedangkan Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan atau serambi, biasa
digunakan untuk pertemuan kecil. Pusiban atau ruang tempat musyawarah resmi. Ruang
tetabuhan tempat menyimpan alat musik tradisional, dan ruang gajah merem (tempat istirahat
bagi para tetua). Pada sisi depan bangunan ini terdapat ukiran ornamen bermotif perahu. Hal
lain yang khas di bangunan ini adalah hiasan payung-payung besar berwarna putih, kuning,
dan merah pada bagian atapnya. Payung-payung tersebut merupakan lambang dari tingkat
tetua adat bagi masyarakat tradisional Lampung. Secara fisik Nowou Sesat berbentuk rumah
panggung bertiang. Sebagian besar materialnya terbuat dari papan kayu. Dahulu rumah sesat
beratap anyaman ilalang, namun sekarang sudah menggunakan genting.

Kedatun Keagungan
Rumah adat Kedatun Keagungan terletak di jalan Sultan Haji Nomor 45, Sepang Jaya,
Kedaton, Bandar Lampung, dahulu berfungsi sebagai rumah pribadi seorang raja. Ketika
memasuki areal rumah adat, pengunjung akan disambut dengan gerbang besar yang terbuat
dari besi. Bahkan untuk membukanya dibutuhkan dorongan dari kedua tangan. Di dalamnya
berjejer singgasana sang tokoh adat, ukiran-ukiran kayu, sepaket kolintang atau alat musik
khas Lampung, pakaian-pakaian adat, meriam serta ribuan benda antik lainnya.

Kedatun Keagungan merupakan rumah adat atau istana adat yang diwariskan secara turun-
temurun oleh keturunan Lampung pepadun. Rumah panggung yang terbuat dari kayu tersebut
menjadi syarat menjadi seorang Suttan atau raja secara adat. Namun, rumah adat berusia
ratusan tahun tersebut kini dialihfungsikan sebagai laboratorium pendidikan budaya
Lampung.

Rumah Adat Lamban Pesagi

Lamban Pesagi merupakan salah satu rumah adat lampung berusia ratusan tahun. Namun
masih berdiri kokoh hingga saat ini. Tahun 2014, rumah ini resmi ditetapkan sebagai warisan
budaya tak benda kategori Arsitektur Tradisional oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud).
Rumah adat Lampung ini memiliki arti kata, yaitu lamban adalah rumah dan pesagi adalah
persegi, karena denahnya berbentuk segi empat. Rumah ini berasal dari Desa Kenali,
Kecamatan Belalau, daerah Gunung Pesagi di Lampung Barat yang bersuhu dingin. Lokasi
tersebut mempengaruhi gaya arsitektur Lamban Pesagi yang tertutup atau tidak ditemui
serambi terbuka di bagian depan.

Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat
tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga naik ke rumah), Anjung-anjung (serambi depan
tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang
Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur
bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak
penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang
batin atau anak ketiga).

Rumah Adat Lamban Dalom Marga Balak

Rumah Adat Lamban Dalom Marga Balak terletak di Jalan Dr Setia Budi, Kelurahan Negeri
Olok Gading, Kecamatan Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Bangunan ini tidak jauh
berbeda dengan rumah adat daerah Sumatera. Ciri khas tersebut yaitu struktur bangunan
berbentuk rumah panggung dengan material kayu sebagai material konstruksinya. Terdiri dari
dua bagian bangunan. Bagian bawah rumah yang didominasi pasak kayu berukuran besar
disulap menjadi ruangan pertemuan.
Rumah panggung ini konon dibangun sebagai solusi atas kondisi alam Sumatera. Rumah
panggung membuat warga aman dari ancaman banjir bahkan hewam buas yang sewaktu
waktu menyerang.

11. Rumah Adat Provinsi Banten

Rumah adat Sulah Nyanda

Sulah nyanda adalah rumah adat suku baduy yang berada di Provinsi Banten. Atapnya
terbuat dari daun nipah yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar,
sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang. Salah satu sulah nyanda ini
dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka
atap. Rumah tradisional Baduy ini disebut juga Imah dan harus menghadap ke selatan.
Bentuknya empat persegi panjang dengan atap kampung dan sosoran dipasang di salah satu
sisinya. Selain itu, rumah adat ini memiliki hiasan di atas atap rumah yang menyerupai
bentuk tanduk. Hiasan ini terbuat dari ijuk (sabut aren) yang dibulatkan dan diikat.
Pembangunan rumah adat sulah nyanda mengikuti kontur tanah sehingga tiang-tiang rumah
adat Suku Baduy tidak memiliki ketinggian yang sama.

Bangunan Suku Baduy dirancang berdasarkan konsep ekologis, yaitu memadu dengan
alamiah lingkungannya. Untuk membangun rumah digunakan bahan dan konstruksi alami
berasal dari wilayah terdekat. Sama sekali tidak menggunakan bahan dengan campuran bahan
kimia yang lebih modern. Dalam membuat rumah masyarakat baduy menggunakan patokan
arah Barat-Selatan sejalan dengan arah cahaya matahari yang menyinari bangunan, sehingga
cahaya matahari dan angin akan masuk ke dalam rumah sebagai penambah kesehatan dan
kesegaran melalui celah dinding.

Ukuran luas rumah setiap warga tidak sama satu dengan lainnya. Hal ini disengaja karena
lahan semakin terbatas dan memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendirikan sebuah
rumah, setiap warga tidak sembarang membangun pada lahan yang kosong. Melainkan harus
ada surat ijin khusus dari perangkat adat, termasuk untuk penentuan posisi rumahnya.
Adapun ukuran luas rumah pada umumnya berkisar 7m x 7m, 9m x 10m, bahkan ada yang
mencapai 12m x 10m.

Masyarakat Etnik Baduy memiliki pola pemukiman klaster. Artinya rumah-rumah berhimpun
terpusat berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan
mengelilingi kampung sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan.
Orientasi rumahnya berpaku pada letak rumah dinas Puun yang berada di arah Selatan,
sehingga rumah pejabat adat dan rumah warga tidak berada di belakang atau di samping
rumah Puun. Rumah pejabat adat dan rumah warga berada di depan rumah Puun. Adapun tata
letaknya bahwa rumah Dinas Girang Serat (staf ahli Puun) berada di depan sebelah kanan
rumah Dinas Puun. Demikian pula dengan letak Rumah Dinas Jaro. Rumah para mantan
pejabat adat berada di depan kanan dan kiri rumah Dinas Puun. Perlu diketahui bahwa para
pejabat adat seperti Puun, Girang Serat, dan Jaro selama menjabat dapat dipastikan wajib
menempati rumah dinasnya. Para pejabat ini akan tidak menempati rumah dinas bila sudah
tidak menjabat. Adapun waktu menjabatnya disesuaikan dengan kemampuan fisik dan non
fisiknya, bila merasa sudah tidak mampu lagi maka berhak mengajukan ke kokolot adat untuk
undur diri. Rumah Puun berhadapan langsung dengan Balai adat. Balai Adat ini berfungsi
untuk melaksanakan berbagai keperluan adat, seperti rapat adat, prosesi sunatan, prosesi
lamaran. Saung lisung (balai untuk menumbuk padi) berada di belakang sebelah kanan Balai
adat. Rumah warga berbentuk panggung dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti
kayu digunakan sebagai tiang dan kerangka rumah. Bambu digunakan sebagai sebagian
kerangka, dinding dan tali-temali. Daun nipah digunakan untuk atap. Rumah adat sulah
nyanda tidak memiliki jendela, namun memiliki lubang berbentuk kubus atau persegi dengan
ukuran yang beragam tiap rumah tidak sama. Perkiraan ukurannya lebih kurang 10cm x
10cm, atau 10cm x 15cm. Lubang tersebut dipergunakan untuk memantau keamanan
lingkungan rumahnya. Rumah ini hanya memiliki satu pintu ke luar masuk, pintu itu disebut
dengan Panto. Pintu ini tidak terletak di depan persis tetapi di kiri dan di depan pintu terdapat
terasan yang disebut papange. Di depan papangge terdapat tangga untuk naik turun yang
disebut taraje.
Kasepuhan Banten Kidul

Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah
tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa
Kasepuhan di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan
Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan
Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan
Kasepuhan Sirnaresmi. Kawasan tersebut meliputi dua provinsi, yakni Jawa Barat dan
Banten.

Rompok adat adalah rumah tradisional di Kasepuhan yang tetap dipertahankan secara turun
temurun dalam keadaan seasli mungkin. Kondisi rompok adat tampak tua karena sudah
berumur, namun tetap berdiri kokoh. Konstruksi bangunannya berupa rumah panggung yang
dibuat dari bahan baku kayu dan bambu, serta beratap sebagian sirap dan sebagian lagi ijuk.
Jendela rumah tidak dilapisi kaca, tetapi hanya berjeruji kayu dan berdaun jendela kayu.

12. Rumah Adat Provinsi DKI Jakarta

Rumah Kebaya
Rumah kebaya adalah sebuah nama rumah adat suku Betawi. Disebut dengan rumah kebaya
dikarenakan bentuk atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat dan apabila dilihat dari
samping maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya.

Ciri khas dari rumah ini adalah rumah ini memiliki teras yang luas yang berguna untuk
menjamu tamu dan menjadi tempat bersantai keluarga. Pada zaman dahulu, masyarakat
betawi membuat sumur di depan rumahnya dan pemakaman yang berada disamping rumah.
Dan, dinding rumahnya terbuat dari panel-panel yang dapat dibuka dan digeser-geser ke
tepinya. Hal ini dimaksudkan agar rumah terasa lebih luas.

Rumah ini dapat dibedakan menjadi 2 bagian dari segi sifatnya, yakni bagian depan bersifat
semi publik, sehingga setiap orang dapat melihat betapa asri dan sejuknya rumah tersebut.
Dan yang kedua adalah bagian belakang yang bersifat pribadi. Bagian ini hanya boleh dilihat
oleh orang-orang dekat dari pihak pemilik rumah.

Rumah Darat
Rumah darat juga disebut Rumah Depok adalah rumah tradisional Betawi dengan lantai
yang dibangun di atas permukaan tanah. Rumah ini berbeda dengan rumah panggung Betawi
yang tidak menempel ke darat.

Rumah darat yang dikenal masyarakat umum adalah rumah-rumah yang ditemui dalam
komunitas masyarakat Betawi Tengah. Hal ini karena rumah daratlah yang sering diangkat
dalam forum-forum kebudayaan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rumah darat
bisa dilihat replikanya di Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, dan di Anjungan DKI
Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Rumah darat juga diangkat
dalam beberapa acara televisi bertemakan Betawi, sebut saja Sinetron Si Doel Anak
Sekolahan.

Rumah panggung Betawi

Rumah panggung adalah salah satu jenis rumah tradisional suku Betawi yang lantainya
ditinggikan dari tanah dengan menggunakan tiang-tiang kayu. Rumah ini berbeda dengan
rumah darat yang menempel ke tanah. Rumah panggung Betawi dibangun di kawasan pesisir
dengan tujuan untuk menanggulangi banjir atau air pasang. Sementara itu, rumah panggung
yang terletak di tepi sungai seperti di Bekasi tidak hanya dibangun untuk menghindari banjir,
tetapi juga untuk keamanan dari binatang-binatang buas.
Rumah Betawi pada umumnya tidak memiliki bentuk bangunan yang khas. Selain itu, rumah
Betawi juga tidak memiliki peraturan baku dalam menentukan arah. Walaupun begitu, rumah
panggung Betawi masih memiliki ciri khas dalam hal detail dan peristilahan. Salah satunya
adalah tangga di depan rumah panggung Betawi disebut balaksuji. Balaksuji diyakini dapat
menolak bala; sebelum memasuki rumah melalui balaksuji, seseorang harus membasuh
kakinya terlebih dahulu sebagai lambang penyucian diri.

Bahan untuk membangun rumah panggung Betawi diambil dari daerah sekitar, seperti kayu
sawo, kayu nangka, bambu, kayu kecapi, kayu cempaka, juk, dan rumbia. Kayu-kayu lain
juga dapat digunakan, seperti kayu jati untuk membuat tiang. Dalam membangun rumah,
orang Betawi percaya bahwa terdapat berbagai pantangan dan aturan yang perlu diikuti untuk
menghindari musibah. Sebagai contoh, rumah yang dibangun sepatutnya berada di sebelah
kiri rumah orang tua atau mertua. Ada pula larangan membuat atap rumah dari bahan yang
mengandung unsur tanah. Rumah panggung Betawi sendiri telah dipengaruhi oleh berbagai
macam budaya, dari Jawa, Sunda, Melayu, hingga Tiongkok dan Arab, dan Belanda.

Rumah Koko
Rumah Koko adalah bentuk rumah tradisional di Kemayoran. Bahan-bahan yang diperlukan
antara lain kayu, genteng, pager, dan bambu. Tiang kayu dibuat dari potongan kayu dan
diberi lubang dengan jarak 3 meter sehingga nantinya rumah akan berukuran sekitar 7x9².

Tanah tempat rumah didirikan kemudian diukur dan diurug setinggi 15cm. Pada setiap jarak
3m diberi umpak berbentuk batu persegi empat dan umumnya lebih besar daripada tiangnya.
Untuk umpak yang besarnya sama dengan tiang, dipendam dalam tanah kira-kira 10cm.
Setelah umpak dipasang, baru tiang rumah satu per satu didirikan. Kemudian dipasang
bubungan, kaso-keso dari kayu, reng dari bambu, genteng, jendela depan yang disebut
jendela bujang, pintu depan dan belakang (biasanya pintu dibuat dari pintu nangka), dan
pagar dari anyaman kayu.

Pagar rumah dikapur sedang pintu dan jendela diprenis dengan malam. Untuk lantai hanya
disiram air dan disebari dengan serbuk dari gergajian lalu disapu sampai bersih. Bagian depan
pintu dipasang langkan dari kayu berbentuk balang-balang di sebelah kiri. Sedang bagian
kanan dan tengah dibiarkan kosong.

13. Rumah Adat Provinsi Jawa Barat

Keraton Kasepuhan Cirebon


Keraton Kasepuhan adalah keraton yang terletak di kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk,
Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman
depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton
Kasepuhan adalah kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat
pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.

Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung
Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan kompleks
keraton Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas
Zainul Arifin pada tahun 1529 M. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung
Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan
Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang
menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang
Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab
Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama
Keraton Kasepuhan.

Rumah Julang Ngapak


Julang Ngapak adalah salah satu jenis rumah adat masyarakat Jawa Barat atau suku Sunda,
yang dalam bahasa Indonesia Julang Ngapak memiliki arti burung yang sedang mengepakkan
sayap. Arti tersebut berasal dari kata Julang yang berarti burung dan Ngapak berarti
mengepakkan. Rumah adat satu ini dinamakan Julang Ngapak karena desain atap rumahnya
yang persis seperti seekor burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Bentuk atapnya
melebar pada setiap sisi, dan pada bagian atasnya berbentuk huruf "V" sehingga secara
keseluruhannya rumah adat ini menyerupai burung yang sedang mengepakkan sayap. Ciri
khas lain dari rumah adat Julang Ngapak ini adalah pada bagian bubungannya yang terdapat
pelengkap atap berbentuk cagak gunting atau capit hurang. Fungsi dari capit gunting atau
capit hurang ini adalah sebagai antisipasi atau pencegahan air hujan yang merembes,
utamanya pada bagian pertemuan antara atap. Rumah-rumah yang berbentuk Julang Ngapak
di antaranya akan ditemui di daerah Tasikmalaya. Kampung-kampung adat seperti kampung
Dukuh, kampung Naga, Kuningan, dan tempat-tempat lainnya di Jawa Barat. Selain itu
rumah adat Sunda Julang Ngapak juga digunakan pada beberapa bangunan kampus ternama
di Indonesia. Adapun kampus tersebut di antaranya adalah kampus ITB (Institut Teknologi
Bandung). Rumah Julang Ngapak, sama seperti rumah-rumah adat Sunda atau rumah adat
Indonesia lainnya lainnya yaitu berbentuk rumah panggung dan memiliki kolong yang
berfungsi sebagai penanggulangan apabila terjadi banjir atau gempa bumi, atau dimanfaatkan
juga untuk tempat binatang peliharaan seperti kambing, sapi, ayam atau bisa juga untuk
penyimpanan alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti alat pertanian, dan sebagainya. Untuk
masuk ke dalam rumah adat Julang Ngapak disediakan tangga yang biasa disebut golodog,
biasanya terbuat dari kayu atau bambu dan biasanya hanya memiliki tiga anak tangga saja,
golodog juga berfungsi sebagai tempat membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Capit Gunting
Capit Gunting merupakan nama bangunan rumah atau lebih tepatnya bentuk atap rumah
yang ada di wilayah Jawa Barat. Bentuk bangunan ini sering digunakan pada zaman dahulu.
Terkadang sampai saat ini pun sering digunakan.

Dalam kebudayaan Sunda, nama bentuk atap rumah disebut sebagai susuhunan. Dalam
kebudayaan Sunda lama, Capit Gunting merupakan salah satu nama susuhunan atau bentuk
atap di masyarakat Sunda pada zaman dahulu. Atau dalam bahasa lainnya, istilah untuk nama
susuhunan ini disebut Undagi. Undagi itu sendiri adalah tata arsitektur.

Capit Gunting tersusun dari dua kata, yaitu Capit dan Gunting. Dalam konteks dan arti dalam
bahasa Sunda, Capit berarti asal mengambil dengan ujung barang yang sama-sama
dijepitkan. Sedangkan gunting sendiri dalam basa Sunda juga berarti peralatan semacam
pisau untuk memotong kain atau bisa dispesifikasikan sebagai pisau yang menyilang. Di
kenyataannya, bentuk Capit Gunting adalah ujung atapnya memakai kayu atau bamboo yang
dibuat bercagak atau bercabang seperti gunting yang hendak menjepit. Seperti makna dari
nama Capit Gunting itu pula, maka bentuknya adalah seperti gunting yang sedang terbuka.

Rumah tradisional Sunda

Rumah tradisional Sunda (bahasa Sunda: imah adat Sunda) mengacu kepada rumah adat
tradisional suku Sunda yang terutama mendiami bagian barat Pulau Jawa (Provinsi Jawa
Barat dan Banten), Indonesia. Arsitektur rumah suku Sunda ditandai oleh fungsionalitas,
kesederhanaan, kepolosan, keseragaman dengan sedikit detail, penggunaan bahan atap
dedaunan alamiah, dan ikatan yang cukup teguh pada keselarasan dengan alam dan
lingkungan.

Rumah-rumah tradisional Sunda sebagian besar mengambil bentuk dasar struktur atap pelana,
umumnya disebut atap gaya kampung, terbuat dari bahan-bahan dedaunan (ijuk; serat aren
hitam, hateup dedaunan atau dedaunan palem) menutupi kerangka kayu dan balok, dinding
anyaman bambu, dan strukturnya dibangun di atas panggung pendek. Variasi atapnya bisa
berupa atap melandai dan pelana (kombinasi atap pelana dan melandai).

Atap pelana menjorok yang lebih rumit disebut julang ngapak, yang berarti "burung
menggepakkan sayapnya". Bentuk-bentuk rumah tradisional Sunda tersebut meliputi:

 Buka Pongpok
 Capit Gunting
 Jubleg Nangkub
 Badak Heuay
 Tagog Anjing
 dan Perahu Kemureb

Ornamen umumnya termasuk ujung-ujung atap berbentuk "o" atau "x" yang disebut capit
gunting, yang sangat mirip dengan beberapa desain "x" atap rumah Melayu.

Saung Rangon

Saung Ranggon adalah salah satu rumah adat Jawa Barat yang paling tua. Berlokasi di
Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.
Saung Ranggon diyakini merupakan peninggalan para wali pada abad ke-16 oleh Pangerang
Rangga, putra dari Pangeran Jayakarta.

Nama Cikedokan juga berkaitan dengan rumah adat Saung Rangon yang dulu menjadi tempat
persinggahan Kerajaan Jayakarta. Nama Cikedokan berasal dari kata kedok yang berarti
topeng. Jadi, Cikedokan memiliki arti penyamaran. Nama ini juga tidak sembarangan
diberikan karena ada asal muasalnya.
Dahulu karuhun-karuhun yang datang ke Cikedokan adalah mereka-mereka yang sedang
menyamar karena dikejar-kejar oleh tentara Belanda. Saung ini kemudian dikenal dengan
nama Saung Ranggon karena dibangun oleh Pangeran Rangga. Dalam bahasa Sunda saung
memiliki arti rumah yang berada di tengah ladang atau huma. Fungsi dari saung biasanya
untuk petani menunggu tanaman padi atau palawija mereka yang akan dipanen.

Bangunan saung biasanya dibuat dengan ketinggian 3 sampai 4 meter di atas permukaan
tanah. Hal ini ditujukan untuk menjaga keselamatan penghuninya dari gangguan hewan buas,
seperti babi hutan dan harimau.

Rumah Adat Citalang

Rumah Adat Citalang adalah salah satu rumah adat yang terletak di Gang Patinggi 3, Dusun
Karangsari, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Tepatnya pada
koordinat 06° 32' 371" lintang selatan dan 107° 27' 822" bujur timur. Rumah Adat Citalang
ini merupakan peninggalan dari Raden Mas Sumadireja yang dibangun kurang lebih tahun
1905, dirancang oleh Muhammad Nata Wireja (Amil di Desa Citalang) dan Muhammad Ruki
(Sesepuh Dusun Palumbungan) dengan peralatan sederhana. Rumah ini dibangun untuk
tempat tinggal Raden Mas Sumadireja. Pada saat dibangun Raden Mas Sumadireja adalah
Kepala Desa Citalang III atau terkenal dengan sebutan Patinggi III. Raden Mas Sumadireja
sendiri merupakan putra Bupati Brebes, Jawa Tengah yang diberi tugas berjuang mengusir
para penjajah ke Batavia (Jakarta) bersama tiga orang saudaranya dan prajuritnya. Akibat dari
pertempuran tidak seimbang dengan pasukan penjajah Belanda, maka beliau terdesak dan
memutuskan untuk mundur. Beberapi kali beliau sempat berpindah-pindah daerah untuk
menghindari desakan pasukan Belanda. Daerah yang disinggahi antara lain Karawang,
Purwakarta, Citalang Plered hingga pada akhirnya tinggal di Desa Citalang. Beliau menetap
di Desa Citalang hingga akhir hayatnya pada tahun 1921. Raden Mas Sumadireja
dimakamkan di Pemakaman Pasir Kerabau Citalang.

Rumah Adat Panjalin


Rumah Adat Panjalin berada di Kabupaten Majalengka, provinsi Jawa Barat, tepatnya di
Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 1982, Desa Panjalin telah
dimekarkan menjadi Desa Panjalin Kidul dan Desa Panjalin Lor. Desa Panjalin Kidul yang
merupakan lokasi dari rumah adat ini terletak di sebelah utara Kecamatan Sumberjaya dan
berbatasan dengan Kabupaten Cirebon.

Rumah berbentuk panggung dan hampir semuanya terbuat dari kayu ini telah dibangun
sekitar 300 tahun yang lalu oleh Raden Sanata. Rumah tersebut dibangun untuk berdakwah
dan menyebarkan agama Islam. Sejak tahun 2012, rumah adat Panjalin telah tercatat sebagai
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dengan nomor registrasi 2012002337.

Rumah Adat Penjalin hampir menyerupai rumah kayu Minahasa, Sulawesi Utara dari segi
bentuk bangunan dan bangunan. Secara fisik, rumah ini termasuk dalam kategori rumah
panggung yang disangga oleh 16 tiang penyangga dari kayu yang berukuran 9 x 9 m, dan
menempati areal seluas 172 meter persegi. Material pembangun dalam pembuatan rumah ini
hanya berupa kayu-kayu berukuran besar dan bambu. Sepintas, bangunan peninggalan
sejarah ini hampir mirip dengan gudang padi orang tua pada zaman dahulu.

Tujuan rumah adat ini dibangun oleh keturunan dari Kerajaan Talaga adalah untuk
berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Namun saat sekarang ini, keberadaan Rumah
Adat Panjalin menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan. Dengan segala keunikan
dan sejarahnya, bangunan ini menjadi objek penelitan bahkan tugas akhir bagi para akademisi
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan akademisi, rumah adat
Panjalin juga ramai dikunjungi oleh berbagai elemen masyarakat yang hanya sekadar ingin
tahu.

Rumah Adat Cikondang


Rumah Adat Cikondang disebut juga bumi adat merupakan bangunan tradisional
masyarakat Bandung, Jawa Barat. Rumah tradisonal sunda ini terletak di kampung
Cikondang kabupaten Bandung Selatan. Bangunan ini umumnya terbuat dari bambu, dan
berbentuk panggung.

Rumah adat cikondang menurut sejarahnya telah berusia 200 tahun. Desa cikondang pernah
mengalami kebakaran pada tahun 1942, sehingga bangunan yang tersisa hanya rumah adat
ini. Rumah ini mengalami perbaikan oleh pemerintah daerah pada tahun 2010 tanpa
mengubah bentuk aslinya. Sekarang rumah tradisional ini menjadi rumah adat tempat
masyarakat melakukan kegiatan adat dan tradisi budaya masyakat cikondang.

14. Rumah Adat Provinsi Jawa Tengah

Rumah Joglo
Rumah Joglo adalah merupakan rumah adat masyarakat berasal dari Jawa (suku jawa) atau
daerah lain di Indonesia yang terdiri atas 4 tiang utama. Penyebaran di Pulau Jawa, karena
kedekatan budayanya bangunan ini juga banyak ditemukan di Pulau Madura dan Pulau Bali.

Bentuk lokasi tinggal joglo pada zaman dahulu merupakan berbentuk bujur sangkar dan
ditopang oleh empat buah tiang di dalamnya. Tiang-tiang ini mempunyai istilah yakni "saka
guru". Nah, penopang tiang itu ialah sebuah blandar bersusun yang biasa dikenal dengan
'tumpangsari'.

Mengikuti pertumbuhan zaman, lokasi tinggal ini memiliki sekian banyak macam modifikasi
sendiri-sendiri, cocok dengan orang yang menempatinya. Akan tetapi format yang sangat
sering dijumpai ialah bentuk persegi. Dalam urusan bahan, lokasi tinggal ini selalu memakai
bahan kayu. Kayu yang dipakai seperti kayu jati, sengon serta bahan pohon kelapa.
Dikarenakan dalam pemakaiaan kayu dinilai lebih awet, tahan lama, dan mempunyai
kekuatan tinggi.

Rumah pada arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe
dasar (pokok) yaitu:

1. Rumah Limasan (atap limas)


2. Rumah Kampung (atap pelana)
3. Rumah Panggang Pe
4. Rumah Mesjidan/Tajugan
5. Rumah Joglo

Jenis joglo:

 Joglo ceblokan
 Joglo kepuhan limolasan
 Joglo lambangsari
 Joglo kepuhan lawakan
 Joglo kepuhan awitan
 Joglo wantah apitan
 Joglo Limasan Lawakan (atau "Joglo Lawakan").
 Joglo Sinom ( Sinom Apitan)
 Joglo Jompongan (Jompongan Pokok)
 Joglo Pangrawit
 Joglo Mangkurat
 Joglo Hageng
 Joglo Semar Tinandhu
 Joglo Jepara
 Joglo Kudus
 Joglo Pati
 Joglo Rembang

Rumah Joglo Jepara


Rumah adat Jepara atau disebut juga Joglo Jepara atau Joglo Gebyok adalah Rumah
tradisional asal Jepara salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi
kebudayaan masyarakat Jepara.

Rumah Adat Jepara memiliki atap genteng yang disebut "Atap Wuwungan", dengan
bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4D) khas kabupaten Jepara yang
merupakan perpaduan gaya dari budaya Hindu-Jawa, Islam-Arab, Tionghoa-Cina dan Eropa-
Portugis. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 600-an Masehi (era Kerajaan
Kalingga) dengan 95% kayu Jati asli.

Rumah Joglo Kudus

Rumah adat Kudus atau joglo pencu disebut juga joglo Kudus adalah rumah tradisional asal
Kudus yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus.

Rumah adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut atap pencu dengan bangunan yang
didominasi seni ukir yang sederhana khas Kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya
dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina (Tionghoa) dan Eropa (Belanda). Rumah ini
diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an M dengan 95% kayu jati asli. Joglo
Kudus mirip dengan Joglo Jepara tetapi perbedaan yang paling kelihatan adalah bagian
pintunya. Joglo Kudus hanya memiliki 1 pintu sedangkan Joglo Jepara memiliki 3 pintu.

Joglo Pati
Rumah Adat Pati Joglo Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan
perpaduan gaya dari budaya Jawa dan Tiongkok. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun
sekitar tahun 1700-an Masehi dengan 90% kayu Jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo
Kudus tetapi perbedaan yang paling tampak adalah bentuk bagian pintunya dan atap
gentengnya.

Dalam arsitektur Joglo pati terdapat Pintu Gerbang Majapahit yaitu peninggalan sejarah
berupa Pintu Gerbang terbuat dari kayu jati. Pintu gerbang ini merupakan peninggalan
Kerajaan Majapahit yang diangkat oleh Kebo Nyabrang sebagai persyaratan untuk diakui
sebagai Putra Sunan Muria. Namun setelah tiba di Desa Rondole, Kebo Nyabrang tidak
mampu lagi mengangkat dan tidak mampu melanjutkan perjalanan kemudian menunggui
pintu gerbang tersebut sampai meninggal dunia.

Joglo Rembang

Rumah adat Rembang atau Joglo Bocokan disebut juga Joglo Rembang adalah Rumah
tradisional asal Rembang salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan
akulturasi kebudayaan masyarakat Kabupaten Rembang, jawa tengah.

Joglo Rembang dahulunya rumah jenis ini dindingnya terbuat dari gedeg dalam bahasa Jawa
artinya anyaman bambu bagi golongan orang kelas bawah, sedangkan bagi golongan kelas
menengah keatas dindingnya Rumah Joglo Bocokan terbuat dari papan kayu jati. Keunikan
dan keistimewaan Rumah Adat Rembang (Joglo Bocokan) tidak hanya terletak pada
keindahan arsitekturnya, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya
yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.

15. Rumah Adat Yogyakarta

Rumah Bangsal Kencono

Rumah Adat Bangsal Kencono adalah rumah tradisional berbentuk Joglo dan merupakan
rumah adat khas Kerajaan Mataram atau Keraton Yogyakarta. Bangsal Kencono merupakan
bangunan pendopo yang merupakan rumah adat yang dibangun di kawasan Keraton
Yogyakarta. Sementara rumah adat joglo sendiri merupakan rumah adat Jawa yang eksis
sejak zaman kerajaan. Rumah adat Bangsal Kencono sendiri merupakan rumah adat
berbentuk joglo yang memiliki fungsi khusus di Keraton. Di mana rumah adat ini memiliki
halaman yang sangat luas, ditumbuhi oleh tanaman, dan beberapa sangkar burung. Di depan
Bangsal Kencono akan terdapat dua patung batu Gupolo, dua raksasa yang memegang gada
—sejenis alat pemukul.

Rumah adat Bangsal kencono Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai rumah tempat tinggal
para raja Keraton Yogyakarta. Selain dikenal difungsikan sebagai tempat tinggal raja, rumah
adat Bangsal Kencono juga memiliki fungsi sebagai ruang pertemuan penting. Dilihat dari
desainnya bentuk Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki sedikit pengaruh dari seni
arsitektur khas Belanda, Portugis dan Cina. Di dalam desain Rumah Adat Bangsal Kencono
tampak ada unsur-unsur desain tersebut meski didominasi oleh adat Jawa dari segi ukiran,
atap, bentuk tiang dan dinding bangunannya. Atap Rumah Bangsal Kencono bentuknya mirip
dengan rumah adat Jawa, Joglo, secara umumnya. Rumah ini memiliki bagian atap yang
bubungan tingginya ditopang oleh empat tiang di tengah. Tiang itu disebut Soko Guru.
Material pembuatan atap terdiri atas genteng yang terbuat dari tanah atau sirap. Sementara
bagian dinding dan tiang dibuat dari bahan kayu, umumnya jika bukan kayu Jati akan dipilih
kayu nangka yang memiliki kualitas tinggi karena tahan lama, tidak mudah rapuh oleh cuaca.
Khusus Rumah Adat Bangsal Kencono memiliki warna hijau tua atau hitam pada tiang
penopang. Tiang ini juga ditopang oleh umpak batu berwarna hitam keemasan. Sementara
untuk lantainya, Rumah Adat Bangsal Kencono di Keraton sudah memiliki lantai yang dibuat
dari marmer atau batu granit. Permukaan bagian dalam Rumah Adat Bangsal Keraton
posisinya lebih tinggi daripada bagian halamannya, sehingga ada anak tangga di area pintu
masuk Rumah Adat Bangsal Kencono.

Ciri khas rumah Adat Bangsal Kencono dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi
Ukuran luas dari rumah Adat Bangsal Kencono biasanya disesuaikan dengan kebutuhannya.
Khusus untuk Bangsal Kencono milik keraton Yogyakarta, ukurannya sangat luas dan besar
guna menampung tamu istana yang jumlahnya bisa ratusan sampai ribuan. kedua, dari segi
desain dan motif ukiran Bangsal Kencono akan didesain berdasarkan filosofi selaras dengan
alam. Desain interior dan eksterior akan disesuaikan satu sama lain. bila desain interior dihias
dengan ukiran-ukiran yang bernuansa alam, maka desain interiornya dihias dengan beragam
pot bunga dan terdapat pula sangkar burung untuk menyempurnakan pemandangan. Arti dari
keberadaan sangat burung yang dilengkapi dengan seekor burung di Bangsal Kencono sendiri
cukup unik. Filosofi dari sangkar dan burung di sini sebagai klangenan, sebuah wahana di
mana raja atau penghuni istana dapat bermain dan berkomunikasi dengan burung untuk
melepas penatnya. Di samping itu juga menjadi simbol betapa hewan merupakan bagian
penting dari istana Kerajaan Ngayogyakarta. Dalam budaya Jawa, ocehan burung menjadi
pertanda sesuatu yang berhubungan dengan alam. Karena Raja Keraton Yogyakarta
dipercaya memiliki hubungan khusus dengan alam, maka burung dalam nuansa kejawen ini
menjadi sebuah pemandu untuk memahami keadaan alam setiap harinya. Ketiga, dari segi
Fungsi Bangsal Kencono di kompleks keraton sangat kompleks. Selain sebagai ruang
pertemuan antara Raja dengan para tamu, Bangsal Kencono juga menjadi ruang untuk
melakukan upacara adat maupun ritual keagamaan bagi masyarakat. Raja akan menjadi
pemimpin upacara dan para abdi dalem serta staf keluarga keraton berada di lingkungan
Bangsal Kencono untuk mengikuti jalannya upacara. Keempat, dari segi Susunan bangunan
Bangsal Kencono di Keraton Yogyakarta cukup kompleks. Bangsal Kencono di Keraton
Yogyakarta juga menjadi bagian dari ruang publik. Susunannya terbagi atas tiga bagian ruang
yang disesuaikan pula dengan fungsi-fungsinya.

16. Rumah Adat Provinsi Jawa Timur

Rumah Adat Joglo Situbondo

Joglo Situbondo adalah rumah adat provinsi Jawa Timur. Meskipun memiliki nama Joglo,
namun rumah adat ini berbeda dengan rumah tradisional Joglo di Jawa Tengah. Tak
dipungkiri juga keduanya memiliki beberapa kemiripan. Kegunaan rumah ini adalah sebagai
rumah tempat tinggal, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai peninggalan
bersejarah. Hal ini dikarenakan rumah ini kental dengan budaya nenek moyang di masa lalu.
Sinkretisme agama dan kepercayaan kejawen memberikan pengaruh terhadap bentuk dan tata
ruang rumah adat Joglo.

Rumah Joglo Situbondo ini memiliki ciri khas dengan kesederhanaannya, namun memiliki
cita rasa seni yang tinggi. Secara ukuran, rumah adat ini tidak terlalu besar.

Rumah tradisional ini memiliki bentuk limasan atau dara gepak. Joglo Situbondo sesuai
dengan namanya banyak ditemukan di daerah Situbondo, Jawa Timur. Hal inilah yang
menjadikan namanya menjadi Joglo Situbondo. Namun, selain di sana, rumah adat ini juga
banyak ditemukan di Ponorogo.

Pada umumnya bangunan ini menggunakan kayu jati murni sebagai bahan bangunannya. Hal
ini dipercayai karena kayu jati memiliki kekuatan yang besar serta memiliki daya tahan yang
cukup lama. Tata bangunan rumah adat Joglo Situbondi ini mencerminkan hubungan antar
sesama manusia serta manusia dengan alam sekitar. Prinsip ini tercermin jelas melalui tata
bangunannya. Selain itu, kepercayaan masyarakat Jawa juga sangat banyak mempengaruhi
dalam porsi pembangunan rumah adat ini. Pondasi, tiang penyangga, tanah yang diratakan
serta dibuat lebih tinggi dari sekelilingnya merupakan beberapa hal yang mencerminkan
pengaruh budaya Jawa dalam pembangunan rumah adat ini.

Rumah Limasan

Rumah limasan juga biasa dikenali dengan sebutan rumah joglo limasan atau joglo lawakan.
Bila dilihat sekilas, bentuk rumah joglo mirip dengan limasan. Perbedaannya ada pada bagian
atap rumah limasan yang terlihat mirip dengan atap rumah tradisional Sumatera Selatan.

Struktur rangka pada rumah limasan berupa batang-batang kayu yang kemudian disusun
dengan sistem kubus beratap limas. Bangunan dengan gaya limasan tergolong fleksibel,
dimana sambungan antar kayu tidak saling kaku. Sehingga bangunan dengan gaya ini dapat
digunakan di daerah yang rawan gempa.

Rumah Tanean Lanjhang


Tanean Lanjhang adalah Permukiman tradisional Madura adalah suatu kumpulan rumah
yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan
lahan garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi
tanaman hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-
masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas
2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang
tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung merupakan ciri khas
dari kelompok ini.

Rumah adat Osing

Rumah Osing atau Using adalah rumah adat suku Osing yang berada di Desa Kemiren,
Banyuwangi. Daerah tersebut juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumah Osing
tidak boleh dibangun menghadap gunung dan harus menghadap jalan. Tidak ada ritual khusus
untuk mendirika rumah Osing. Namun, setelah selesai mendirikan rumah Osing, masyarakat
di Bayuwangi biasanya melakukan selamatan. Arah hadap rumah Osing pada saat pendirian
ditentukan dari hari kematian orang tua. Orientasi ke Utara untuk hari Kamis, Timur untuk
hari Selasa, Selatan untuk hari Rabu, dan Barat untuk hari Senin atau Minggu. Satu rumah
hanya bisa dihuni oleh satu keluarga utuh saja. Ruangan kamar anak akan diletakkan dilahan
paling depan (terdekat) dengan jalan utama, dan ruangan kamar orang tua berada di belakang
dari jalan utama.

Dhurung

Dhurung adalah nama dari sebuah bangunan tak berdinding yang terbuat dari kayu atau
bambu. Atapnya berupa rumbai yang terbuat dari daun pohan yang dalam bahasa Bawean
disebut pohon dheun. Dalam tradisi masyarakat Bawean, pulau yang berjarak sekitar 120 km
arah utara dari Kabupaten Gresik, Jawa timur. "Dhurung" ini digunakan untuk menerima
tamu yang sifatnya nonformal atau sekedar duduk-duduk santai dan beristirahat setelah
pulang bekerja serta mengobrol dengan tetangga sebagai sarana sosialisasi antar warga.
Selain sebagai tempat istirahat dhurung juga difungsikan sebagai lumbung padi atau hasil
panen lainnya yang diletakan pada bagian atasnya. Jika dilihat sekilas, dhurung ini mirip
gazebo pada rumah-rumah moderen saat ini.

Bagian rangka dan papan dudukan terbuat dari kayu sedangkan atapnya terbuat dari rumbia
yang dalam bahasa bawean disebut dheun. Kayu yang digunakan biasanya kayu jati atau kayu
lokal yang ada disekitar Bawean. Bagian yang cukup menarik dari dhurung ini adalah pada
ukiran di beberapa bagian seperti tiang serta adanya jhelepang yaitu semacam jebakan atau
penghambat tikus sehingga dapat melindungi lumbung padi.

Rumah Adat Tengger


Rumah Adat Tengger adalah rumah adat yang dibangun oleh suku Tengger yang ada di
daerah lereng Gunung Bromo, desa Ranupane, kabupaten Lumajang, provinsi Jawa Timur.

Suku Tengger atau juga disebut wong Tengger atau wong Brama adalah suku yang mendiami
dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur,
Indonesia. Penduduk suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan,
Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.

17. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Barat

Rumah Panjang
Rumah Panjang (rumah Radank) adalah salah satu rumah adat dari daerah Kalimantan
Barat. Rumah Panjang adalah ciri khas dari masyarakat Dayak yang tinggal di daerah
Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan rumah panjang adalah gambaran sosial kehidupan
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Rumah panjang juga merupakan pusat kehidupan
dari masyarakat Dayak. Saat ini, rumah panjang di Kalimantan Barat dapat dikatakan hampir
punah karena jumlahnya yang sedikit. Pada tahun 1960, pemerintah menghancurkan beberapa
rumah panjang karena dicurigai menganut paham komunis. Rumah panjang di daerah
Kalimantan Barat identik dengan rumah panjang yang ada di Kalimantan Tengah. Hal ini
dikarenakan letak geografi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang sangat
berdekatan. Keduanya sama-sama dikenal dengan nama Rumah Betang.

Dahulu kala, rumah Panjang dari Kalimantan Barat terbuat dari kayu. Rumah panjang dari
Kalimantan Barat mempunyai tinggi 5 sampai 8 meter. Tinggi rumah tergantung dari tinggi
tiang yang menopang rumah tersebut. Rumah panjang dari Kalimantan barat mempunyai
panjang sekitar 180 meter dan lebar 6 meter. Rumah panjang memiliki sekita 50 ruangan.
Ruangan-ruangan ini umumnya dihuni oleh banyak keluarga yang di dalamnya juga termasuk
keluarga inti. Untuk masuk ke rumah panjang, keluarga mengunnakan tangka atau anak
tangga. Rumah panjang di Kalimantan Barat mempunyai bentuk yang sempit tetapi dengan
ukuran panjang yang ekstrem. Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar. Rumah panjang
terdiri dari beberapa bagian yaitu teras atau biasa disebut dengan pante, ruang tamu yang
biasa disebut dengan samik, dan ruang keluarga. Dalam ruang tamu terdapat sebuah meja
yang disebut pene yang berfungsi sebagai tempat berbicara atau menerima tamu. Pene
berbentuk lingkarang dan digunakan untuk meletakkan makanan atau minuman untuk
menyambut tamu. Ruang keluarga adalah ruang sederhana yang mempunyai panjang 6 meter
dan lebar 6 meter. Bagian belakang rumah panjang digunakan sebagai dapur untuk keluarga.
Umumnya, setiap keluarga mempunyai dapur masing-masing.
Pada umumnya, rumah panjang digunakan untuk tempat tinggal beberapa keluarga. Akan
tetapi, rumah panjang tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja. Rumah panjang
dibangun tinggi karena berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas. Tinggi rumah
panjang juga berperan untuk menjaga keselamatan keluarga dari serangan suku-suku lain
dalam masyarakat Dayak. Rumah panjang juga sering kali digunakan untuk kegiatan-
kegiatan masyarakat seperti rapat atau pertemuan-pertemuan. Tidak hanya pertemuan-
pertemuan masyarakat, rumah panjang juga dipakai untuk upacara-upacara adat atau ritus-
ritus yang ada dalam masyarakat Dayak. Oleh Karena itu, rumah panjang bukan hanya milik
pribadi tetapi juga milik masyarakat Dayak.

Rumah Baluk

Rumah Baluk atau Balug adalah rumah adat Dusun Hli Buei, Desa Sebujit, Kecamatan
Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Meski serumpun dengan Suku Dayak,
bentuk rumah adat Suku Dayak Bidayuh berbeda dari Suku Dayak yang kebanyakan
berbentuk panjang dan besar dengan nama Rumah Betang. Perbedaan ini dikarenakan kontur
tanah kampung Sebujit didominasi perbukitan dan lembah sehingga tidak memungkinkan
membangun Rumah Betang.

Balug biasanya dibangun di dataran paling tinggi di kampung supaya makin mendekatkan
diri kepada Tipaiyakng (Tuhan) dan memudahkan untuk memantau keadaan kampung. Selain
itu juga balug digunakan sebagai pusat kegiatan warga kampung dan pusat informasi. Tahun
2010, replika Rumah Balug dibangun di Taman Mini Indonesia Indah.

Bentuknya seperti kaleng ceper beratap limas dengan 3 tingkatan dan 1 buah bumbungan
sebagai tempat menyimpan peti berisi tengkorak hasil ngayau. Terakhir balug dibuat pada
1997 yang dibagun sama persis dengan balug yang dibuat pada 1950-an. Ada 21 tiang
penyangga untuk memerkokoh balug. Lantainya terbuat dari kayu belian, dengan dinding
terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari daun sagu. Tingginya sekitar 20 meter.
18. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Tengah

Rumah Betang

Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagai penjuru
Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya
menjadi pusat permukiman suku Dayak.

Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa
mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang
yang tingginya sekitar 3-5 meter. Setiap Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang
dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar
yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu.

Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah Betang haruslah memenuhi beberapa
persyaratan berikut di antaranya pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan
sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam. Hal ini dianggap sebagai simbol dari kerja keras
untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.Semua suku Dayak,
terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam
kebersamaan hidup secara komunal di rumah betang/rumah panjang, yang lazim disebut Lou,
Lamin, Betang, dan Lewu Hante.

Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekadar ungkapan
legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan
konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga
tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari
proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari
pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan
alam sekitar; soal hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang
memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat
kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan
dari waktu ke waktu.

Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti
yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai
sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan
itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang
unggul. Tak dapat dimungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kukuh dari kehidupan
komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses
kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki
naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya.
Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha
keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini. Harapan ini didukung oleh kesadaran
setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama.
Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap
warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan
masyarakatnya.

Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan
tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih saksama, kegiatan di rumah
panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah
betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak
untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang
untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan
satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada
malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu
atap. Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan
kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu
dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan
bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok
dari luar rumah panjang.
19. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Selatan

Rumah Bubungan Tinggi

Rumah Bubungan Tinggi atau Rumah Ba-Bubungan Tinggi adalah salah satu jenis rumah
Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang
merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena
menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks keraton
Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari
keraton yang menjadi istana kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton) yang disebut Dalam
Sirap (bahasa Jawa: ndalem) yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah
Balai Seba pada tahaun 1780 pada masa pemerintahan Panembahan Batuah.

Rumah Bubungan Tinggi yang berfungsi sebagai bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang
diberi nama Dalam Sirap, merupakan rumah yang paling tinggi kastanya. Yang berfungsi
sebagai istana kediaman sultan. Kualitas serta kemegahan seninya mencerminkan status
sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah.

Ciri-ciri rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjukkan dengan bentuk-bentuk


ornamen berupa ukiran. Ukiran-ukiran tersebut biasanya terdapat pada tiang, tataban, papilis,
dan tangga. Bentuk dan seni ukir inipun banyak mendapat pengaruh dari Agama Islam,
kebanyakan motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif
binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang gading dan naga juga
dibumbui dengan motif floral. Selain bentuk floral dan binatang tedapat juga ukiran-ukiran
berbentuk kaligrafi.

Terdapat setidaknya 9 jenis rumah di Kalimantan selatan

Rumah Palimasan
Rumah Palimasan adalah salah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku
Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Adat Banjar Tipe Palimasan di
Kesultanan Banjar digunakan sebagai rumah bendaharawan istana/kerajaan yang memelihara
emas dan perak Kesultanan.

Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap
jalan. Pada rumah Palimasan semua bagian atapnya menggunakan atap perisai sehingga
membentuk atap limas. Jika memakai anjung, atapnya juga berupa atap perisai yang
dinamakan Rumah Ba'anjung tipe Palimasan.

Rumah Palimbangan
Palimbangan adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar
(disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Di zaman Kesultanan Banjar rumah Tipe ini
digunakan sebagai hunian para tokoh agama (Islam) dan para Alim Ulamanya.

Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap
jalan. Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan
tebar layar yang disebut Tawing Layar. Kebanyakan rumah Palimbangan tidak menggunakan
anjung. Namun jika memakai anjung maka atapnya juga menggunakan atap pelana dengan
Tawing Layar menghadap ke depan. Pada teras/emper depan ditutup dengan atap sengkuap
(atap lessenaardak) yang disebut atap Sindang Langit. Pada perkembangannya atap teras yang
disebut Atap Sindang Langit ini melebar ke emper samping sampai di depan Anjung
membentuk atap jurai luar (disebut Jurai Laki) pada ujung sudut-sudut atap empernya.

Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan saudagar besar atau ulama pedagang.
Rumah Palimbangan mirip dengan rumah Balai Laki karena sama-sama menggunakan atap
pelana, tetapi pada Rumah Balai Laki menggunakan model anjung Pisang Sasikat (atap
sengkuap). Biasanya Rumah Palimbangan berukuran lebih besar daripada rumah Balai Laki.

Rumah Balai Bini


Rumah Balai Bini adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku
Banjar di Kalimantan Selatan. Rumah adat tipe Balai Bini biasanya dimasa Kesultanan
Banjar dihuni oleh para puteri Sultan atau warga Sultan dari pihak perempuan. Rumah Balai
Bini merupakan tempat tinggal para pengasuh.

Pada Rumah Balai Bini, tubuh bangunan induk memakai atap perisai yang disebut Atap
Gajah, sedangkan sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/lessenaardak yang
disebut Atap Anjung Pisang Sasikat.

Rumah Gajah Manyusu


Rumah Gajah Manyusu adalah nama kolektif untuk semua bentuk-bentuk rumah tradisional
suku Banjar dengan ciri khasnya pada bangunan induknya menggunakan atap perisai
buntung.

Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart)
pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang surambinya beratap
Sindang Langit. (Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek
Rehabilitasi dan Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978).

Namun pada kesempatan lain, Tim Museum dan Purbakala Depdikbud Kalsel berbeda
pendapat, mereka menyebutkan bahwa Rumah Gajah Manyusu: "Bentuk sampai dengan
anjung sama dengan Gajah Baliku. Yang berbeda adalah adalah bagian padu. Panampik padu
diberi dua buah Ambin Sayup yang bentuknya lebih kecil dari anjung dan lebih rendah
letaknya".

Rumah Balai Laki


Rumah Ba'anjung tipe Balai Laki adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah
tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah adat Banjar
tipe ini dalam sejarah Banjar dikenal sebagai rumah hunian para Punggawa mantri dan para
prajurit pengawal keamanan Kesultanan Banjar.

Rumah ini tidak dibangun dengan sisi panjang di sejajar jalan, tetapi tegak lurus terhadap
jalan. Bentuk atap pada bangunan depan/rumah induk Rumah Ba'anjung Balai Laki memakai
atap pelana. Dalam bahasa Indonesia, model atap pelana tersebut disebut atap gudang,
sehingga sebutan untuk tipe rumah beratap pelana tersebut dalam bahasa Indonesia
dinamakan Rumah Gudang.

Atap pada sayap bangunan (Anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang
Sasikat seperti pada rumah Bubungan Tinggi. Dalam bentuk umum Balai Laki sama dengan
Palimbangan, tetapi dengan ukuran lebih kecil dan sama-sama menggunakan atap pelana dan
diberi Sungkul Atap bertatah dan bisa memakai anjung namun berbeda bentuknya.

Rumah Cacak Burung


Rumah Ba'anjung Cacak Burung adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah
tradisional suku Banjar (disebut rumah Banjar) di Kalimantan Selatan yang merupakan
rumah hunian rakyat biasa yang umumnya para petani dan pekerja.
Rumah induk yang memanjang dari muka ke belakang memakai atap pelana (bahasa Banjar:
atap balai laki) kemudian ditambahkan suatu atap limas dalam posisi melintang yang
menutupi sekaligus ruang Palidangan beserta kedua buah anjungnya. Posisi nok
(pamuung/wuwungan) atap limas yang menghalang/melintang ini biasanya lebih tinggi
daripada posisi nok atap pelana pada atap muka yang membujur menutupi ruang Paluaran
(ruang tamu).

Hal ini merupakan suatu simbol bentuk Cacak Burung. Simbol Cacak Burung adalah tanda
magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif), karena denah bangunan ini berbentuk +
(tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak Burung.

Rumah Tadah Alas


Tadah Alas adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan
Selatan. Rumah Tadah Alas merupakan pengembangan dari Rumah Balai Bini yaitu dengan
menambahkan satu lapis atap perisai sebagai kanopi paling depan. Atap kanopi inilah yang
disebut "tadah alas" sehingga rumah adat ini dinamakan rumah Tadah Alas.

20. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Timur

Rumah Lamin

Rumah Lamin adalah rumah adat dari Kalimantan Timur. Rumah Lamin adalah identitas
masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Rumah Lamin mempunyai panjang sekitar 300
meter, lebar 15 meter, dan tinggi kurang lebih 3 meter. Rumah Lamin juga dikenal sebagai
rumah panggung yang panjang dari sambung menyambung. Rumah ini dapat ditinggal oleh
beberapa keluarga karena ukuran rumah yang cukup besar. Salah satu rumah Lamin yang
berada di Kalimantan Timur bahkan dihuni oleh 12 sampai 30 keluarga. Rumah Lamin dapat
menampung kurang lebih 100 orang. Pada tahun 1967, rumah Lamin diresmikan oleh
pemerintah Indonesia.

Rumah Lamin memiliki beberapa ciri khas yang umumnya dapat langsung dikenali. Pada
badan rumah Lamin, banyak ditemukan ukiran-ukiran atau gambar yang mempunyai makna
bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Salah satu fungsi dari ukiran-ukiran atau
gambar pada tubuh rumah Lamin adalah untuk menjaga keluarga yang hidup dalam rumah
dari bahaya. Bahaya disini adalah ilmu-ilmu hitam yang umumnya ada di masyarakat Dayak
yang digunakan untuk mencelakai seseorang. Rumah Lamin mempunyai warna khas yang
dipakai untuk menghias badan rumah. Warna khas itu adalah warna kuning dan hitam.
Namun, tidak hanya dua warna itu yang digunakan untuk menghias rumah Lamin. Setiap
warna yang dipakai untuk menghias rumah Lamin mempunyai makna. Warna kuning
melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru
melambangkan kesetiaan, dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa. Rumah Lamin
dibuat dari kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah Lamin adalah kayu Ulin.
Kayu ini dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama kayu besi. Konon, apabila kayu ulin
terkena air maka kayu ini akan semakin keras. Hal ini terbukti dari lamanya usia rumah
Lamin yang dibuat dengan menggunakan kayu ulin. Hanya saja, ada berbagai kesulitan untuk
menemukan kayu ini di hutan. Halamn rumah Lamin biasanya dipenuhi dengan patung-
patung atau totem. Patung-patung atau totem ini merupakan dewa-dewa yang dipercaya oleh
masyarakat Dayak sebagai penjaga rumah dari bahaya. Rumah Lamin terbagi atas tiga
ruangan yaitu ruangan dapur, ruangan tidur, dan ruang tamu. Ruang tidur terletak berderet
dan umumnya dimiliki oleh masing-masing keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut.
Ruang tidur juga dibedakan antara ruang tidur lelaki dan ruang tidur perempuan kecuali jika
sang lelaki dan perempuan sudah menikah. Ruang tamu umumnya digunakan untuk
menerima tamu dan juga untuk pertemuan adat. Ruang tamu adalah ruangan kosong yang
panjang. Di sisi luar rumah Lamin, ada sebuah tangga yang digunakan untuk masuk ke
dalam. Tangga ini mempunyai bentuk dan model yang sama baik pada rumah Lamin yang
dihuni masyarakat Dayak kelas menengah ke atas maupun masyarakat Dayak kelas
menengah ke bawah. Di bagian bawa rumah Lamin biasanya digunakan untuk memelihara
ternak.

Rumah Lamin berbentuk persegi panjang dan memiliki atap yang berbentuk seperti pelana.
Rumah ini mempunyai tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah. Rumah Lamin memiliki lebar
kurang lebih 15-25 meter dan panjang 200-300 meter. Rumah Lamin dibangun dengan
beberapa tiang penyangga untuk menopang rumah. Tiang-tiang penyangga rumah Lamin
dibagi atas dua bagian. Tiang penyangga inti adalah tiang yang menyangga atap rumah
Lamin. Tiang penyangga lainnya adalah tiang yang menopang lantai-lantai rumah lamin.
Tiang-tiang ini berbentuk seperti tabung. Pintu masuk rumah Lamin dihubungkan dengan
beberapa tangga sebagai jalan masuk ke dalam rumah. Pada halaman depan rumah Lamin
terdapat patung-patung atau totem yang dibuat dari kayu. Pada bagian tengah rumah ada
sebuah tiang besar yang dibuat dari kayu yang berfungsi untuk mengikat ternak atau hewan
peliharaan. Bagian ujung atap rumah Lamin dihiasi dengan kepala Naga yang terbuat dari
kayu.

21. Rumah Adat Provinsi Kalimantan Utara

Rumah Baloy

Rumah adat terkenal dari masyarakat Kalimantan Utara disebut Rumah Baloy. Rumah adat
ini merupakan hasil kebudayaan seni arsitektur dari masyarakat suku Tidung, Kalimantan
Utara. Seperti suku lainnya, suku Tidung ini mempunyai kebudayaan dan model rumah adat
sendiri. Walaupun rumah adat ini masih menggunakan sejumlah tiang tinggi pada bagian
bawahnya, bentuk bangunan rumah adat ini terlihat lebih modern dan modis. Diduga rumah
adat ini adalah hasil pengembangan arsitektur Dayak dari Rumah Panjang (Rumah Lamin)
seperti yang dihuni oleh suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur.

Rumah adat ini berbahan dasar kayu ulin. Rumah Baloy dibangun menghadap ke utara,
sedangkan pintu utamanya menghadap ke selatan. Di dalam Rumah Baloy terdapat empat
ruang utama yang biasa disebut Ambir, yaitu:

 Ambir Kiri (Alad Kait), adalah tempat untuk menerima masyarakat yang mengadukan
perkara, atau masalah adat.
 Ambir Tengah (Lamin Bantong), adalah tempat pemuka adat bersidang untuk
memutuskan perkara adat.
 Ambir Kanan (Ulad Kemagot), adalah ruang istirahat atau ruang untuk berdamai
setelah selesainya perkara adat.
 Lamin Dalom, adalah singgasana Kepala Adat Besar Dayak Tidung.

Pada bagian belakang Rumah Baloy ini, ada bangunan yang dibuat di tengah-tengah kolam
yang disebut dengan Lubung Kilong. Bangunan ini adalah sebuah tempat untuk menampilkan
kesenian suku Tidung, seperti Tarian Jepin.

Di belakang Lubung Kilong ini, ada lagi sebuah bangunan besar yang diberi nama Lubung
Intamu, yaitu tempat pertemuan masyarakat adat yang lebih besar, seperti acara pelantikan
(pentabalan) pemangku adat atau untuk acara musyawarah masyarakat adat se-Kalimantan.

22. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Selatan

Rumah Tongkonan

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu,
terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian
depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan
dapur. Berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi
berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (strata sosial Masyarakat Toraja). Di
depan Tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini
dibuat dari batang pohon palem (banga). Saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan
lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare'
allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.

Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah


Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan) dan
Tongkonan A'pa' (empat rumah tongkonan) yang memegang peranan dalam masyarakat
sekitar.

1. Tongkonan karua terdiri dari:


2. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
3. Tongkonan Sangtanete Jioan
4. Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
5. Tongkonan Sissarean
6. Tongkonan Karampa' Panglawa padang
7. Tongkonan Tomentaun
8. Tongkonan To'lo'le Jaoan
9. Tongkonan To Barana' Versi lain Tongkonan Lombok Indo' Piso

Tongkonan A'pa' terdiri dari:

1. Tongkonan Peanna Sangka'


2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)

Banyak rumah adat yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut masyarakat
setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercatat di atas. Rumah adat
yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan adalah rumah adat
di mana turunannya memegang peranan dalam masyarakat adat setempat. Keturunan dari
tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan
Pangrapa' (Kabarasan) / pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal
dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa' untuk
dibagi-bagi keturunannya.

Stara sosial di masyarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:

1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);


2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.

Sejarah Kabarasan:
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan
(rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan
anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai
dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak
ada anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa' (Rumah adat Doa') yaitu So'Padidi (alias
Pong Arruan). Kabarasan dipindahkan ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' setelah So' Padidi
meninggal, karena semua anaknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat
yang mengatakan bahwa bisa dipotongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau
dikorbankan adalah 4, maka Doa' dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya
dibawa Boroalla ke Tongkonan Pangrapa', sampai saat ini.

Rumah Bola Soba

Bola Soba adalah rumah adat yang berasal dari Sulawesi Selatan. Rumah ini merupakan
rumah bangsawan dari suku Bugis. Tidak hanya itu, rumah Bola Soba juga merupakan rumah
dari raja Bugis. Kata bola soba dalam Bahasa Indonesia berarti persahabatan jadi Rumah
Bola Soba berarti rumah persahabatan. Bahan dasar dari rumah ini adalah kayu. Rumah ini
mempunyai model seperti rumah panggung dengan beberapa tiang yang menyangga badan
rumah. Pada tahun 1920, Rumah Bola Soba menjadi tempat penginapan bagi tamu-tamu yang
berasal dari luar negeri seperti Belanda. Rumah Bola Soba memiliki panjang sekitar 40
meter. Teras rumah sepanjang 6 Meter, rumah induk sepanjang 21 Meter, dan bagian
belakang rumah sepanjang 8 Meter. Bagian belakang rumah umumnya digunakan sebagai
dapur. Saat ini, bagian dalam Rumah Bola Soba berisi barang-barang bersejarah berupa
meriam dan berbagai peralatan perang. Saat ini, rumah ini digunakan seperti museum. Rumah
Bola Soba juga sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan adat.

Rumah adat Karampuang


Rumah Adat Karampuang terletak di desa Karampuang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan. Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit rumah adat yang masing-masing
ditempati oleh pemangku adat dengan fungsi yang berbeda-beda. Satu sebagai tempat tinggal
raja (Arung atau To Matoa) yang juga sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan
(arajang). Sementara satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana menteri (Gella)

Rumah adat Sao Mario

Rumah adat Sao Mario adalah rumah adat dan juga kawasan wisata budaya yang letaknya
berada di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Mario Riawa, Kampung Awakaluku,
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Jarak kawasan wisata budaya ini dengan kota
Watangsoppeng kurang lebih sekitar 32 Km. Rumah adat ini memiliki bentuk seperti sebuah
kompleks yang didalamnya terdapat beberapa miniatur rumah adat dari daerah lain di
Sulawesi Selatan yaitu rumah adat suku Makassar, suku Bugis, suku Mandar dan suku Toraja
juga terdapat rumah adat dari Minangkabau dan Batak serta ada juga rumah lontara. Dalam
bahasa Bugis rumah adat ini juga biasa disebut dengan "bola seratu" yang artinya adalah
rumah seratus. Dikatakan rumah seratus karena rumah ini memiliki 119 tiang. Sudah menjadi
ciri khas rumah adat Bugis memiliki banyak tiang penyangga di bawah rumah. Saat ini rumah
ini difungsikan sebagai museum tempat menyimpan barang barang antik bernilai tinggi yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, benda- benda pusaka dan benda benda kerajaan
dari beberapa provinsi di Indonesia.

23. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Barat

Rumah Boyang

Rumah Boyang adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Barat. Rumah
Boyang memiliki gaya arsitektur yang unik, berbentuk rumah panggung yang tersusun dari
material kayu dan ditopang tiang-tiang penyangga. Rumah ini menjadi tempat tinggal Suku
Mandar yang merupakan suku asli dari Sulawesi Barat.

Rumah boyang terdiri dari dua jenis, yaitu "boyang adaq" dan "boyang beasa". Boyang adaq
merupakan tempat tinggal bagi bangsawan, sedangkan boyang beasa merupakan tempat
tinggal rakyat biasa. Pada boyang adaq diberi ornamen yang melambangkan identitas tertentu
yang mendukung tingkat status sosial penghuninya. Di antaranya memiliki tumbaq layar
(penutup bubungan) yang memiliki tiga sampai tujuh susun, semakin banyak susunannya
semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Selain itu boyang adaq memiliki dua susun
tangga, susunan pertama terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas
sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan tangga tersebut di antarai oleh pararang.
Ciri-ciri yang dimiliki boyang beasa tidak semegah boyang adaq, karena hanya memiliki satu
susun penutup bubungan dan satu susun anak tangga.
Rumah boyang memiliki struktur rumah panggung yang menggunakan material kayu dan
ditopang oleh beberapa tiang yang terbuat dari kayu berukuran besar dengan tinggi dua
meter. Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menopang lantai dan atap rumah, tiang ini tidak
ditancapkan ke tanah melainkan hanya ditumpangkan di sebuah batu datar untuk mencegah
kayu melapuk. Rumah boyang memiliki dua buah tangga yang terletak di bagian depan dan
belakang rumah. Tangga-tangga tersebut harus memiliki jumlah yang ganjil, umumnya antara
7 sampai 13 buah dan dilengkapi dengan sebuah pegangan di bagian sisi kanan dan kiri
tangga. Sedangkan dinding dan lantai rumah menggunakan material papan. Dinding rumah
biasanya menggunakan papan yang sudah diukir sesuai dengan motif khas suku mandar. Pada
dinding dilengkapi dengan jendela yang berfungsi sebagai media untuk sirkulasi udara.

Rumah boyang memiliki atap berbentuk prisma dan memanjang dari bagian depan sampai
bagian belakang rumah. Pada umumnya, atap terbuat dari seng. Sebagian ada yang
menggunakan rumbia dan sirap. Pada zaman dahulu, rumah-rumah penduduk baik boyang
adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan
tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat
tumbaq layar (penutup bubungan) yang memberi identitas tentang status sosial bagi
penghuninya. Pada penutup bubungan tersebut sering dipasang ornamen ukiran bunga melati.
Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri sering diberi ornamen ukiran
burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun
belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut "teppang".

Untuk menunjang kegunaan dan fungsinya, rumah boyang dibagi menjadi beberapa bagian
ruangan yang disebut dengan lotang. Lotang utama berjumlah tiga, yaitu samboyang, tangnga
boyang dan bui boyang. Sedangkan lotang tambahan berjumlah empat, yaitu tapang, paceko,
lego-lego dan naong boyang.

Rumah adat Banoa Sibatang

Rumah adat Banoa sibatang (Banoa batang) adalah rumah adat tradisional Kalumpang,
kabupaten Mamuju provinsi Sulawesi Barat. Rumah adat ini dihuni oleh suku Kalumpang
atau disebut juga suku Galumpang. Rumah adat ini memiliki ciri tersendiri pada bagian atap
dan keunikan pada bagian bawahnya. Rumah adat ini diyakini berkaitan langsung dengan
nenek moyang Austronesia. Hal ini terlihat dari tiang rumah panggung yang disambungkan
dengan lantai rumah memiliki pola berbentuk rakit. Hal ini diyakini sebagai jejak warisan
bangsa Austronesia yang dulu bermigrasi dari Pulau Taiwan ke selatan dengan menggunakan
rakit. Secara asal usul, tetua-tetua adat di Kalumpang mengakui bahwasanya sebagian besar
masyarakat Kalumpang berasal dari Tana Toraja. Sehingga dalam penyebutannya secara
umum masyarakat Kalumpang disebut dan menyebut diri mereka sebagai masyarakat Toraja
Barat. Hal ini sangat berpengaruh pada bentuk dan konstruksi rumah adat Banoa sibatang,
yang sangat mirip dengan rumah ada suku Toraja yang ada di Sulawesi Selatan. Dengan atap
bentuk rakit, tiang depan dengan beberapa tanduk kerbau sebagai persembahan ritual
memasuki rumah baru.

Sangat menarik untuk mengunjungi daerah Kalumpang karena daerah ini sudah lama menjadi
daya tarik Arkeolog untuk meneliti sejarah kehidupan nenek moyang Austronesia. Banyak
ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyang yang di yakini sebagai bangsa
Austronesia.

Kalumpang berada di Hulu sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat kecamatan
Kalumpang, Mamuju. Kecamatan Kalumpang ini bisa ditempuh 180 km dari kota Mamuju
dan 38 km dari pelabuhan Belang-belang, yaitu pelabuhan utama provinsi Sulawesi Barat.

24. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tenggara

Rumah Malige

Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling
mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas
sandi yang menjadi landasan dasarnya.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan
kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih
luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke
atas makin kecil atau sempit ruangannya, tetapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau
paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan
deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan
merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat
dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk
bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang
sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang
mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan
rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau
ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat
kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti
rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.

Rumah Banua Tada

Banua Tada adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Banua Tada
merupakan rumah tempat tinggal Suku Wolio atau orang Buton di pulau Buton,Kata banua
dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku, sehingga banua tada
dapat diartikan sebagai "rumah siku". Hal ini karena struktur rangka bangunan terdiri dari
siku-siku. Keunikan dari rumah ini terletak pada desain, struktur dan fungsinya yang
mengandung nilai filosofis di dalamnya. Keunikan lain dari rumah banua tada adalah
memiliki bentuk rumah panggung, tetapi pada pembangunannya tidak menggunakan satupun
paku.

Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah banua tada dibedakan
menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali
atau disebut juga dengan nama "malige" memiliki arti mahligai atau istana, merupakan
tempat tinggal untuk raja atau sultan dan keluarganya. Ukurannya lebih besar dibandingkan
dengan jenis banua tada lainnya, mempunyai empat tingkatan lantai dan juga atap yang
bersusun dua. Banua tada tare pata pale memiliki arti "rumah siku bertiang empat" adalah
rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Biasanya jenis rumah adat ini bertiang
empat, atapnya bersusun, dan juga mempunyai dua jendela di bagian kiri dan kanan rumah.
Sementara itu, banua tada tare talu pale atau disebut juga "rumah bertiang tiga" adalah rumah
tempat tinggal orang biasa. Jenis rumah adat ini mempunyai jumlah tiang tiga dan pada
bagian atapnya simetris. Bahan utama dalam pembuatannya adalah papan kayu, bambu, dan
rotan dengan setiap ruangan mempunyai satu buah jendela di bagian kiri atau kanan rumah.

Rumah adat Laika

Rumah Laika adalah rumah tinggal yang berada di kalangan Suku Tolaki. Sulawesi
Tenggara. Penduduk Sulawesi Tenggara terdiri dari beberapa suku yaitu Tolaki, Buton
(Wolio), Muna, Mekongga, dan Kaba Ena. Pada Pulau Kaba Ena masyarakatnya umumnya
beragama Islam. Rumah tinggal yang berada di kalangan Suku Tolaki disebut Laika
(Konawe) dan Raha (Mekongga) yang berarti rumah. Secara Universal rumah tinggal
dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga). Bangunan ini
berukuran luas, besar, dan berbentuk segi empat terbuat dari kayu dengan diberi atap dan
berdiri di atas tiang-tiang besar yang tingginya sekitar 20 kaki dari atas tanah. Bangunan ini
terletak di sebuah tempat yang terbuka di dalam hutan dengan dikelilingi oleh rumput alang-
alang. Pada saat itu bangunan tingginya sekitar 60-70 kaki. Dipergunakan Sebagai tempat
bagi raja untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara adat.

Dilihat secara horizontal bagian depan rumah berbentuk simetris, berkaitan dengan bentuk
formil. Sedangkan asimetris terkait dengan dinamis. Makna tersebut terkait dengan sifat
orang Tolaki yang dinamis dan formil.Tampak dari depan atau disebut fasad bagian bawah
atau rangka dan lantai dianalogikan dengan dada dan perut manusia. Bagian loteng atau
bagian atas dianalogikan punggung manusia sedangkan penyangga dianalogikan sebagai
tulang punggung manusia. Sedangkan atap adalah rambut atau bulu. Bagian atap dianalogkan
muka dan panggul manusia.

25. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Tengah

Rumah Tambi
Rumah Tambi adalah rumah adat atau rumah tradisional dari provinsi Sulawesi Tengah,
Indonesia. Rumah adat ini berbentuk panggung yang atapnya sekaligus berguna sebagai
dinding. Rumah Tambi merupakan rumah bagi suku Kaili dan suku Lore yang umumnya
merupakan rumah penduduk setempat serta beberapa wilayah di Sulawesi Tengah
menjadikan rumah ini sebagai rumah bagi kepala adat. Yang membedakannya adalah jumlah
anak tangga untuk menaiki rumah, di mana rumah Tambi yang digunakan sebagai rumah
kepala adat jumlah anak tangganya ganjil, sedangkan untuk penduduk biasa anak tangganya
berjumlah genap. Alas rumahnya terdiri dari balok-balok yang disusun, sedangkan
pondasinya terdiri dari batu alam. Tangga untuk naik tersebut terbuat dari daun rumbia atau
daun bambu yang dibelah dua.

Struktur rumah Tambi adalah berupa rumah panggung dengan tiang penyangga yang pendek
dan tingginya tidak lebih dari satu meter. Tiang penyangga ini jumlahnya 9 buah serta saling
ditempelkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan pasak balok kayu. Tiang-tiang
ini biasanya terbuat dari bahan dasar kayu bonati, yaitu sejenis kayu hutan yang bertekstur
kuat dan tidak mudah lapuk. Tiang-tiang tersebut menyangga rangka lantai yang terbuat dari
papan sebagai dasar. Papan disusun rapat dan luas lantai rumah Tambi adalah sekitar 5 meter
dikali 7 meter.

Untuk ruangannya, rumah Tambi hanya memiliki satu ruangan saja yaitu ruang utama.
Meskipun hanya satu ruangan besar tapi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Kegiatan
sehari-hari mulai dari memasak, tidur, menerima tamu, semuanya dilakukan hanya dalam
satu ruangan tersebut. Untuk melengkapinya, diberi dua bangunan tambahan di luar rumah
sebagai penunjang kegiatan lainnya yang tidak bisa langsung dilakukan di rumah utama,
yaitu Pointua dan Buho atau Gampiri. Pointua adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat penumbuk padi, yang di dalamnya terdapat sebuah lesung panjang bernama Iso
dengan jumlah 4 tiang. Sementara Buho adalah bangunan yang mirip dengan rumah Tambi
utama namun memiliki dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat untuk menerima
tamu, sementara lantai atas berfungsi sebagai lumbung padi, sebelum dibawa ke Pointua
untuk ditumbuk dan diproses lebih lanjut.

Bagian atap rumah tambi berbentuk prisma dengan sudut kecil pada bagian paling atas
sehingga terlihat tinggi dan dapat menaungi rumah secara keseluruhan. Atapnya terbuat dari
ijuk atau daun rumbia yang memanjang ke bawah sekaligus berfungsi sebagai dinding luar
rumah.

Jika ingin membangun rumah Tambi, syarat utama yang harus dipenuhi adalah rumah
menghadap kearah utara-selatan, sehingga tidak boleh menghadap maupun membelakangi
posisi matahari terbit dan terbenam jika anda sekilas melihat bentuk atau konstruksi
rumahnya maka bentuknya seperti jamur dengan prisma yang terbuat dari daun rumbia serta
ijuk seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Rumah Souraja

Souraja atau disebut juga Banua Oge adalah rumah adat atau rumah tradisional Indonesia
yang berasal dari Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Provinsi Sulawesi Tengah. Rumah
adat ini dibangun pada abad ke-19 masehi atas prakarsa Raja Yodjokodi dan berfungsi
sebagai tempat tinggal keluarga raja dan juga sebagai pusat pemerintahan kerajaan.

Rumah Adat Lobo


Lobo merupakan nama rumah adat yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Berukuran 5x4 meter dengan tinggi dinding 1 meter,
sedangkan selebihnya ke atas terbuka.

Secara umum bangunan ini tidak menggunakan paku sebagai penyambungnya. Secara
struktur, bangunan ini seperti dengan bangunan tradisional kayu pada umumnya, yaitu
memiliki tiga komponen anatomi bangunan. Yaitu Upper Structure (Struktur Atas), Super
Structure (Struktur Tengah), Sub Structure (Struktur Bawah). Struktur atas terdiri atas Atap
bangunan terbuat dari atap sirap kayu dan bagian puncaknya dari daun aren dan ijuk.Atap
sirap tersebut disanggah dengan kontruksi rangka atap yang terbuat dari kayu langka (Pandan
Hutan) yang diraut tipis dan dipasang melintang.Kemudian ditopang oleh kuda-kuda.

Lobo, yang khas Kulawi (merangkum daerah Pipikoro, Gimpu, Lindu) berfungsi sebagai
balai rapat tetua adat, sidang adat, upacara, perayaan panen, dan rapat penentuan kapan
membuka ladang. Lobo juga berfungsi sebagai rumah singgah jika ada warga desa lain yang
kemalaman di Porelea, bisa bermalam di Lobo. Satu desa punya satu Lobo.

26. Rumah Adat Provinsi Gorontalo

Rumah Dulohupa
Dulohupa adalah rumah adat atau rumah tradisional Indonesia yang berasal dari Kelurahan
Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara. Penduduk
Gorontalo menyebut Dulohupa dengan nama Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo.
Dulohupa memiliki bentuk rumah panggung dengan badan terbuat dari papan dan struktur
atapnya bernuansa daerah Gorontalo. Sebagai lambang dari rumah adat Gorontalo, Dulohupa
memiliki hiasan berupa pilar-pilar kayu, sedangkan sebagai simbol tangga adat atau yang
disebut juga dengan Tolitihu, Dulohupa memiliki dua buah tangga yang masing-masing
berada di sebelah kanan dan kiri rumah. Saat ini, Dulohupa dilengkapi dengan taman bunga,
bangunan tempat penjualan cendera mata, serta bangunan yang menyimpan kereta kerajaan
yang disebut dengan Talanggeda.

Rumah adat Dulohupa memiliki model rumah panggung yang masing-masing bagiannya
menggambarkan badan manusia. Atap rumah menggambarkan kepala, badan rumah
menggambarkan badan, serta pilar kayu penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain
menggambarkan badan manusia, model rumah panggung dipilih untuk menghindari banjir
yang sering terjadi di kala pembangunan rumah adat ini. Rumah adat Dulohupa juga disebut
sebagai sebuah representasi kebudayaan masyarakat Gorontalo. Sebagai salah satu dari
banyak rumah adat yang memiliki makna sejarah, rumah adat Dulohupa merepresentasikan
sebuah komunitas pada zamannya dan juga menggambarkan kemajuan sebuah peradaban.
Hal ini bisa dikupas dari bagian-bagian rumah secara detail beserta makna yang mengandung
prinsip-prinsip dan kebudayaan yang mendasarinya.

Rumah Adat Bantayo Poboide


Bantayo Poboide dari namanya terdiri atas kata "bantayo" yang berarti bangsal, balai; dan
"poboide" yang berarti berbicara. Bantayo Poboide dapat diartikan sebagai bangunan sebuah
rumah gedung atau balai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Akan tetapi di pihak lain,
Bantayo Poboide dapat berarti organisasi pemerintahan yang berbentuk dewan yang sering
juga disebut sebagai dewan kerajaan. Jadi Bantayo Poboide merupakan bangsal atau balai
untuk membicarakan berbagai persoalan tentang negeri yang terorganisir, kedudukannya di
atas Maharaja, mempunyai kekuatan hukum, berdiri sendiri (independent), tidak terkait
dengan politik, semata-mata bekerja untuk kesejahteraan negeri, dan membangun moralitas
pemimpin dan rakyat negeri sesuai adat dan syarak (hukum yang bersendi ajaran Islam).

Selain itu provinsi Gorontalo juga masih memiliki rumah adat bernama Gobel yang berlokasi
di Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango.

27. Rumah Adat Provinsi Sulawesi Utara

Rumah Pewaris
Rumah Pewaris atau Walewangko adalah rumah adat daerah Minahasa, Provinsi Sulawesi
Utara. Minahasa dahulu dikenal dengan nama Tanah Malesung yang merupakan daerah
Semenanjung tempat persinggahan Bangsa Portugis dan Spanyol. Oleh karena tanahnya yang
subur, Bangsa Portugis dan Spanyol tertarik dengan daerah tersebut. Sementara itu, raja
pertama Manado adalah keturunan Bangsa Spanyol, yaitu Muntu Untu. Dari raja pertama
inilah diyakini masyarakat Minahasa mengenal rumah adat. Pada masa pemerintahan raja
pertama ini, sentuhan teknologi sederhana mulai dikenal, misalnya beberapa alat pertukangan
mulai masuk dan dikenal masyarakat. Pada bentuk fisik rumah adat yang dua tiang
penyangganya tidak boleh disambung. Jadi, sudah dapat dibayangkan bahwa masyarakat kala
itu, ketika mengambil kayu sebagai bahan rumah adat, sudah menggunakan perkakas
pertukangan.

Rumah Pewaris juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan hasil panen warga setempat.
Rumah tersebut bentuknya adalah rumah panggung. Pembuatan rumah panggung pada zaman
dahulu bertujuan menghindari serangan musuh dan binatang buas. Rumah pewaris memiliki
26 tiang penyangga yang menggunakan bahan kayu pada lantai dasar dan lantai 1
menggunakan bahan kayu dan beton.

Rumah Bolaang Mongondow


Rumah Bolaang Mongondow merupakan rumah adat tradisional dari suku Bolaang
Mongondow atau juga biasa disebut suku Bolmong yang nama tempat asalnya pun sama
dengan nama suku itu sendiri yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow yang terletak di sebelah
barat provinsi Sulawesi Utara. Mirip seperti Rumah Pewaris, Rumah Bolaang Mongondow
juga sama-sama mengadopsi rumah panggung yang sebagian besar terbuat dari kayu jati.
Bentuk dari Rumah Bolaang Mongondow ini adalah bangunan rumah berupa rumah
panggung dengan atap melintang memanjang ke belakang yang terbuat dari bahan ijuk
dengan sebuah tangga di bagian depan rumah. Tinggi Rumah Bolmung umumnya sekitar satu
setengah meter sampai dua meter dengan sebuah serambi muka yang dikenal sebagai
Dungkolon. Sepanjang tahun 1957 sampai 1959 Rumah Bolaang Mongondow banyak
dibakar karena kesalahpahaman yang terjadi pada peristiwa yang disebut Perjuangan Semesta
atau dalam sejarah disebut sebagai Permesta.

Rumah Adat Woloan


Rumah Adat Woloan merupakan bangunan pemukiman tradisional yang berasal dari
Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Bangunan pemukiman ini berbentuk panggung dan telah
dikenal sebagai bangunan tahan gempa. Bentuk yang estetis dan tahan dari guncangan gempa
membuat produksi rumah tradisional ini menjadi komoditas ekspor ke negara Argentina dan
Venezuela.

Rumah Woloan terbuat dari kayu namun dapat di bongkar pasang. Nama woloan adalah
sebuah desa yang berada di wilayah Tomohon Tengah, Sulawesi Utara. Di daerah yang
berhawa sejuk ini berkembang home industry yaitu pembuatan rumah panggung tradisional
khas Minahasa yang lebih dikenal dengan rumah woloan. Namun seiring perkembangan
jaman struktur bangunan rumah woloan ini sudah agak berubah menjadi tipe rumah modern,
namun tetap mempertahankan karakter khas rumah adat Minahasa.

Rumah woloan ini mempunyai ciri khas yaitu rata – rata tinggi rumah mencapai tiga meter
serta dilengkapi dengan dua buah tangga besar didepan. Dengan disain yang unik, rumah
woloan bukan hanya mampu menembus pasaran dalam negeri saja namun juga mancanegara.
Sistem rakitan dari bahan kayu merupakan salah satu keunggulan rumah ini.

Bahan baku untuk pembuatan rumah woloan ini menggunakan tiga buah jenis kayu, yaitu
kayu besi, kayu natoh serta kayu cempaka. Untuk pembuatan dinding rumah digunakan kayu
cempaka, untuk membuat plafon serta lantai rumah dipakai kayu natoh sedangkan untuk
rangka rumah menggunakan kayu besi. Kayu – kayu tersebut biasanya diambil dari daerah
Bolaang Mongondow serta Gorontalo.Pembuatan satu rumah woloan diperlukan waktu
sekitar dua bulan. Konon rumah woloan tersebut dapat bertahan hingga puluhan tahun.

28. Rumah Adat Provinsi Bali

Rumah Gapura Candi Bentar


Rumah Gapura Candi Bentar sejatinya merujuk pada bangunan gapura yang menjadi gerbang
rumah-rumah adat Bali. Gapura tersebut terdiri dari dua buah candi yang serupa dan
sebangun dan membatasi sisi kiri dan sisi kanan pintu masuk ke pekarangan rumah. Gapura-
gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atasnya sehingga kedua sisinya
terpisah sempurna, dan hanya terhubung di baagian dalam olehk-anak tangga yang menjadi
jalan masuk. Gapura Candi Bentar dalam arsitektur Bali merupakan sebuah perwujudan
bangunan yang berfungsi untuk masuk-keluar dari satu sisi ke sisi lainnya (dari luar ke dalam
dan atau sebaliknya). Pada awalnya ketika arsitektur Bali masih sesuai dengan keadaan pada
masa kerajaan, Gapura Candi Bentar hanya dibangun di lingkungan Puri (Istana Raja) dan
Pura (tempat suci agama Hindu). Tidak ditemukan adanya Candi Bentar di perumahan
masyarakat kebanyakan.

Bentuknya merupakan gapura, atau candi yang terbelah dua tepat di tengah-tengahnya
sehingga menjadi bentukan yang simetri. Baik di puri mau pun di pura, Candi
Bentarmenempati posisi di areal paling luar, menjadi pembuka jalansekaligus penerimabagi
mereka yang akan mengunjungitempat tersebut. Para Undagi yang mengerjaakan bangunan
ini sudah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya, sehingga hasil yang
dicapai sesuai dengan peruntukannya.Undagi memahami betul, di mana dan kapan Candi
Bentar harus tampil megah, tampil normal (akrab), kokoh dan sebagainya.

Di Pura yang merupakan Kahyangan Jagat seperti Pura Ulun Danu Batur (di Kintamani,
Bangli), atau di Pura Besakih (Karangasem), tampak bahwa Gapura Candi Bentar berdiri
kokoh, besar, tinggi atau dengan kata lain: megah. Areal Pura yang luas dan topografi yang
tidak rata (rendah di arah luar, dan meninggi menuju ke areal Pura yang lebih di dalam), ikut
mendukung kemegahan yang terwujud. Dalam teori modern, para undagi telah
memperhitungkan dan menerapakan beberapa aspek estetika, dalam hal ini skala dan
proporsi.

Bagi masyarakat Bali, rumah merupakan keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang pada
umumnya dikelilingi oleh tembok (panyengker). Berikut ini adalah bagian-bagian dan fungsi
tiap ruangan yang ada di Rumah Gapura Candi Bentar.

1. Sanggah atau pamerajan merupakan tempat suci bagi keluarga.


2. Panginjeng karang merupakan tempat memuja roh yang menjaga pekarangan.
3. Bale manten yaitu tempat tidur kepala keluarga, anak gadis, dan sebagai tempat
penyimpanan barang berharga. Ada kalanya digunakan sebagai kamar pengantin baru.
4. Bale gede / bale adat adalah tempat upacara lingkaran hidup yang dalam kehidupan
sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna.
5. Bale dauh merupakan tempat kerja, pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki.
6. Paon atau dapur adalah tempat memasak dan berfungsi sebagai lumbung (tempat
menyimpan padi dan hasil bumi).

Rumah Adat Bali dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali yang mengatur
tentang tata peletakan rumah, aturan ini mungkin hamper sama dengan aturan Feng Shui dari
Cina. Pembangunan rumah Adat Bali harus memiliki tiga asppek yang biasa disebut dengan
“Tri Hita Karana”yakni filosofi yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dan manusia, serta manusia dengan alam. Kednamisan dalam hidup akan tercapai
apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan (penghuni rumah),
palemahan (lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan.

Umumnya sudut utara dan sudut timur adalah tempat yang lebih disucikan sehingga di sana
ditempatkan ruang-ruang yang lebih suci, sedangkan ruang barat dan sudut selatan
merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya. Biasanya sudut-sudut tersebut
merupakan arah masuk ke dalam rumah atau untu bangunan lainnya seperti kamar mandi.

Ruang luar di sekitar tempat berdirinya Gapura Candi Bentar ini memiliki berbagai fungsi.
Salah satu di antaranya adalah menyiapkan ruang terbuka hijau. Keadaan ini akan mampu
untuk menjaga keseimbangan kawasan antara yang terbangun dan terbuka, sehingga udara
segar yang sangat dibutuhkanakan selalu dapat terjaga dan tersedia dengan baik.Ketersediaan
ruang terbuka ini juga menjadi lebih bermanfaat dengan penanganan pertamanan yang penuh
perhitungan. Vegetasi yang tersebar dan tumbuh subur, tidak hanya menyehatkan pandangan
mata dan menghembuskan udara segar, tetapi juga memberikan niilai estetika secara
keseluruhan. Perpaduan antara tanaman mulai dari rumput yang rata tanah, perdu yang lebih
tinggi dan pohon-pohon perindang, semua itu menjadi bentukan komposisi lanskap yang
estetis.

Ruang luar di sekitar Candi Bentarjuga berfungsi sebagai prasarana transportasi.Mobilitas


pengunjung dengan berbagai moda transportasitidak mengurangi kesempatan orang uuntuk
tetap dapat melihat kemegahan Candi Bentar. Tentu saja yang paling leluasa menikmatinya
adalah mereka yang berjalan kaki. Trotoar yang lebar, diselingi dengan lampu-lampu
penerangaan dan patung-patung serta tanaman pohon bunga, semuanya menambah
nyamannya para pejalan kaki di sepanjang jalan, termasuk kesempatan untuk memandang
Candi Bentarmenjadi lebih leluasa.

29. Rumah Adat Provinsi NTB

Rumah Adat Dalam Loka

Rumah Adat Dalam Loka adalah kediaman raja-raja yang berasal dari Kabupaten
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Rumah dalam Loka atau istana Sumbawa ini merupakan
peninggalan sejarah dari kerajaan Sumbawa. Istana Dalam Loka dibangun pada tahun 1885
oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931).
Rumah adat Dalam Loka merupakan desain asli rumah kediaman raja-raja Sumbawa.
Kuatnya pengaruh budaya Islam yang masuk di wilayah ini pada masa itu telah membuat
hampir seluruh aspek adat dan kesukuan masyarakat Sumbawa larut dalam nilai-nilai syariah
Islam.

Rumah Adat Dalam Loka berbentuk rumah panggung dengan luas bangunan 904 M2. Istana
Dalam Loka terlihat sangat megah. Istana yang dibangun dengan bahan kayu ini memiliki
filosofi "adat berenti ko syara, syara barenti ko kitabullah", yang berarti semua aturan adat
istiadat maupun nilai-nilai dalam sendi kehidupan tau Samawa (masyarakat Sumbawa) harus
bersemangatkan pada syariat Islam.

Rumah adat Limbungan

Rumah adat Limbungan atau Bale Sasak Limbungan adalah rumah adat tradisional yang
terdapat pada permukiman Suku Sasak di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suela,
Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat ini dicirikan dengan
penggunaan bahan-bahan yang bersumber dari alam. Konstruksinya menggunakan kayu pada
bagian tiang, dinding dengan anyaman bambu, dan alang-alang sebagai atap. Bahan-bahan
alami yang digunakan pada rumah adat Limbungan, baik atap, tiang, maupun dinding
menjadikan konstruksi rumah ringan dan lentur yang tahan terhadap guncangan. Ratusan
rumah adat di Limbungan masih berdiri kokoh walaupun diguncang serangkaian gempa pada
Juli hingga Agustus 2018.

Uma Lengge
Uma Lengge merupakan bangunan tradisional suku Mbojo yang berada di Kecamatan Wawo
Kabupaten Bima. bangunan tersebut berbentuk kerucut. Pada zaman dahulu, Uma Lengge
digunakan sebagai tempat tinggal oleh masyarakat Wawo dan sebagian digunakan juga
sebagai lumbung.

Bangunan yang mirip rumah ini sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Walau
terlihat sederhana, bangunan ini pasti membutuhkan artistik yang unik dan harus ada keahlian
khusus untuk membuatnya, semua bahan bangunannya berupa kayu dan bambu serta rumbia
atau ilalang sebagai bahan atap dan dindingnya.

30. Rumah Adat Provinsi NTT

Mbaru Niang

Mbaru Niang adalah rumah adat dari wilayah Pulau Flores, Indonesia. Rumah adat Mbaru
Niang berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah
adat Mbaru niang dinilai sangat langka karena hanya terdapat di kampung adat Wae Rebo
yang terpencil di atas pegunungan. Usaha untuk mengkonservasi Mbaru Niang telah
mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-
Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk
Arsitektur tahun 2013.

Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang
digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat "honai"
di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang
keseluruhannya ditutup ijuk. Mbaru Niang memiliki 5 tingkat dan terbuat dari kayu worok
dan bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan yang kuatlah yang mengikat konstruksi
bangunan. Setiap mbaru niang dihuni enam sampai delapan keluarga.

Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:

 tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan
keluarga
 tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan
makanan dan barang-barang sehari-hari
 tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti
benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
 tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi
kekeringan,
 tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada
leluhur.

Rumah Musalaki

Rumah Musalaki adalah rumah adat atau rumah tradisional yang banyak dijumpai di
provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah ini sendiri menjadi lambang dari provinsi
Nusa Tenggara Timur. Rumah adat ini sendiri merupakan tempat tinggal khusus bagi kepala
suku dari beberapa suku di provinsi Nusa Tenggara Timur. Karena sudah menjadi lambang
dari provinsi, saat ini desain bangunan pemerintahan seperti kelurahan, kecamatan, hingga
kabupaten di Nusa Tenggara Timur mayoritas mengadopsi konsep dari rumah Musalaki, serta
di beberapa wilayah rumah ini sudah dihuni oleh masyarakat pada umumnya.

Rumah Musalaki aslinya merupakan rumah adat dari masyarakat suku Ende Lio, karena nama
Musalaki sendiri diambil dari kata dalam bahasa Ende Lio yaitu mosa yang berarti ketua dan
laki yang berarti adat, yang jika digabungkan artinya adalah "ketua adat" atau "kepala suku",
jadi rumah Musalaki adalah rumah yang menjadi tempat tinggal bagi tetua atau kepala suku
dalam masyarakat suku Ende Lio. Rumah Adat Musalaki mempunyai bentuk persegi empat
dengan atap yang menjulang tinggi sebagai simbol kesatuan dengan sang pencipta. Bentuk
atap tersebut diyakini menyerupai layar perahu sebagaimana cerita dalam masyarakat
setempat mengenai nenek moyang dari Suku Ende Lio yang sudah terbiasa menggunakan
perahu. Pada bagian atas atap terdapat dua ornamen yang memiliki simbol yaitu kolo
Musalaki (kepala rumah keda) dan kolo ria (kepala rumah besar) di mana diyakini kedua
bangunan memiliki hubungan spiritual.

Sesuai dengan namanya, fungsi utama dari rumah Musalaki adalah sebagai tempat tinggal
bagi ketua adat atau kepala suku, khususnya bagi suku Ende Lio. Selain berfungsi sebagai
rumah tinggal kepala suku, rumah adat ini juga sering digunakan sebagai tempat ritual
upacara adat, kegiatan musyawarah adat, dan berbagai macam kegiatan adat lainnya.

Rumah adat Lewokluok

Rumah adat Lewokluok atau disebut Korkē adalah rumah adat yang terdapat di Desa
Lewokluok, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Bentuknya berupa rumah panggung yang tidak berdinding dan ditopang oleh
sejumlah tiang. Letaknya berada di tengah permukiman suku-suku yang ada di Demon
Pagong.

Rumah adat ini memiliki fungsi sebagai tempat berkumpulnya tetua adat dalam
melaksanakan upacara ritual serta melaksanakan pertemuan untuk merencanakan seluruh
rangkaian kegiatan di masyarakat seperti upacara membersihkan dan memperbaiki rumah.
Selain itu, rumah adat ini menjadi tempat pemujaan atau sejenis kuil. Masyarakat adat
Demon Pagong memiliki kepercayaan terhadap dewa langit dan dewa bumi yang melindungi
mereka yang dengan sebutan "Rera Wula Tana Ekan". Rumah adat ini dianggap sebagai
bangunan sakral oleh masyarakat adat sekaligus identitas suku-suku yang ada di Demon
Pagong.

Rumah adat Ngada


Rumah adat Ngada atau Sa'o adalah rumah adat tradisional yang banyak dijumpai di
Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Bentuknya berupa rumah panggung dan
hampir seluruh material bangunannya terbuat dari kayu. Rumah adat ini terdapat pada
permukiman Suku Ngada yang tersebar di beberapa kampung adat, seperti Kampung Adat
Bela, Kampung Adat Bena, Kampung Adat Gurusina, dan Kampung Adat Tololela.

Rumah adat ini berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai pusat kegiatan adat
istiadat.

Rumah adat Ume Kbubu

Ume Kbubu merupakan bangunan tradisional berbentuk bundar yang menjadi rumah tempat
tinggal bagi suku Dawan di Nusa Tenggara Timur. Istilah Ume Tua terdiri dari dua kata
yakni Ume yang berarti rumah dan Kbubu yang memiliki arti bundar. Sejak tahun 2010, Ume
Kbubu yang menjadi bagian dari arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur telah
dimasukkan ke dalam pencatatan Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dengan nomor registrasi 2010000034.

Secara umum, Ume Kbubu memiliki sejumlah struktur bangunan yang terdiri atas atap,
dinding, tiang peyangga, dll. Ume Kbubu yang berbentuk bundar menjadikan struktur
atapnya menjadi berbentuk kerucut. Diameternya sekitar 3 hingga 5 meter.[4] Atap Ume
Kbubu biasanya ditutup dengan alang-alang. Atap Ume Kbubu memilki peranan penting
karena bentuknya yang menonjol.

Rumah adat Sumba

Rumah adat Sumba (bahasa Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak") mengacu pada
rumah adat vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Rumah adat Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat
dengan roh-roh atau marapu.

Pulau Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun semua memiliki
adat arsitektur yang sama. Animisme sangat kuat dalam masyarakat Sumba. Adat agama
difokuskan pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang meninggal, dari tempat-tempat
suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia
roh. Konsep ini mempengaruhi arsitektur ruang dalam rumah adat Sumba. Terdapat dua
rumah utama bagi orang Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu ("rumah
berpuncak") dari Sumba Timur yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini
terbuat dari jerami, alang-alang dan agak mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa
joglo. Rumah dengan pumcak paling besar dikenal sebagai uma bungguru. Rumah ini adalah
rumah utama klan dan menjadi tempat penting untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan
dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan, pemakaman, dan sebagainya. Rumah besar
juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua di desa. Jenis lainnya adalah
rumah uma kamadungu ("rumah botak") yang tidak memiliki puncak tengah.

Rumah adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang utama penopang
atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah rumah adat Sumba dapat
menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu masuk diposisikan di kiri dan kanan
rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba, ventilasi udara melalui lubang kecil di
dinding, yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau selubung pinang. Tanduk kerbau sering
digunakan sebagai penghias dinding sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.

Rumah Koke Bale


Koke Bale atau Korke merupakan rumah adat suku Lamaholot di Nusa Tenggara Timur.
Istilah Koke Bale sendiri terdiri atas dua kata yakni koke atau boke yang memiliki arti titik
pusat dan bale yang berarti tempat tinggal atau rumah. Sehingga, Koke Bale dapat bermakna
rumah induk, rumah asal, atau rumah leluhur.

Koke Bale merupakan satu dari tiga bagian penting dalam kepercayaan masyarakat
Lamaholot. Adapun tiga unsur penting terserbut adalah koke bale, nama atau namang, dan
nabanara atau nubanara. Dalam proses pembangunannya, ketiga unsur tersebut merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Koke Bale umumnya berbentuk panggung. Di dalam Koke Bale terdapat sebuah tiang suci
yang disebut rie lima lanang. Tiang tersebut merupakan lambang dari Rera Wulan Tana Ekan
atau Yang Maha Kuasa. Selain itu, Koke Bale dilengkapi dengan berbagai macam benda
purbakala dan peninggalan leluhur yang diyakini memiliki kekuatan gaib oleh masyarakat
Lamaholot. Di halaman depan Koke Bale terdapat sebuah pelataran yang memiliki ukuran
500-1.000 meter persegi. Pelataran tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk
menampilkan pertunjukkan tradisional khas Lamaholot, seperti tarian hedung, hamang, dolo-
dolo, uah, tandak, dan pencak silat tradisional. Pelataran ini juga digunakan sebagai tempat
persembahan. Adapun pelataran tersebut disebut sebagai Nama atau namang.

Di tengah-tengah pelataran atau Nama terdapat sebuah batu kecil berbentuk bundar yang
disebut Nubanara. Nubanara atau Naba nara merupakan bangunan megalitik yang memilki
fungsi sebagai tempat persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu, di halaman Koke
Bale terdapat sebuah menhir yang diletakkan di atas bangunan pagar batu.

Rumah Lopo
Lopo adalah rumah adat yang terdapat di daerah Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menjadi
salah satu rumah adat dari suku Abui yang berada di Kabupaten Alor. Rumah Lopo juga
dianggap sebagai sebagai rumah serbaguna karena rumah ini memiliki banyak kegunaan.

Rumah Lopo terbuat dari bambu dan alang-alang. Bambu digunakan sebagai lantai dari
rumah Lopo, sedangkan alang-alang sebagai atap dari rumah lopo. Rumah Lopo berbentuk
seperti piramida. Rumah ini ditopang oleh beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu.
Rumah lopo tidak memiliki dinding. Rumah Lopo memiliki ruangan dengan tiga tingkat.
Setiap tingkat memiliki fungsinya masing-masing. Tingkat dasar berfungsi sebagai ruang
istirahat sekaligus dapur. Tingkat dua berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan
makanan. Tingkat paling atas berfungsi sebagai gudang yang dapat digunakan apabila
persediaan makanan terlalu banyak di tingkat dua. Rumah Lopo terbagi atas dua jenis yaitu
rumah Kolwat dan rumah Kanuruat. Anak-anak dan perempuan dimungkinkan untuk masuk
ke dalam rumah Kolwat, sedang rumah Kanuruat hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu
saja.

Rumah adat Sao asa mosa lakitana


Rumah adat Sao asa mosa lakitana adalah rumah adat dari provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dalam seni bangunan yang mempunyai fungsi religius adalah rumah adat yang umumnya
berupa rumah panggung dan berbentuk agak segi empat atau segi empat panjang, kecuali
rumah asli Timor yang mempunyai bentuk bulat telur tanpa tiang. Di daerah ini bangunan
dibedakan dalam 3 bentuk yang didasarkan pada model atapnya, yakni bentuk atap berjoglo
yang merupakan rumah adat suku bangsa Sumba, bentuk atap atap kerucut bulat, merupakan
rumah adat suku bangsa Timor dan bentuk atap seperti perahu terbalik, merupakan rumah
adapt suku bangsa Rote. Dari bentuk atap yang berbeda, tetapi dalam rumah ini tetap terdapat
suatu tempat suci untuk arwah nenek moyang yang selalu diberi sesaji pada sat-saat tertentu.
Masyarakat suku bangsa Sabu yang merupakan pelaut ulung membangu rumahnya
menyerupai perahu yang erat hubungannya dengan kebudayaan serta kehidupan sehari-
harinya. Misalnya atapnya berbentuk perahu terbalik menandakan, masyarakat daerah ini
mengenal perahu dan lau sebagai alamnya. Hampir seluruh bagian rumah diberi nama
bagian-bagian perahu seperti haluan, anjungan (duru), dan burian (wui). Duru merupakan
bagian yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki, sedangkan Wui bagian yang diperuntukkan
bagi kaum perempuan. Di perkampungan suku bangsa Sabu, berdasarkan bentuk rumah
adatnya dibedakan menjadi 2 yaitu antara ‘amu kelaga’ atau rumah adat yang berpanggung
dan ‘ammu laburai’, rumah yang berdinding tanah. Ammu kelaga merupakan bentuk rumah
Sabu asli yang mempunyai lantai panggung difungsikan sebagai balai-balai dan disebut
sebagai "kelaga". Bangunan ini mempunyai bentuk 4 persegi panjang dengan atap lancip
mirip perahu terbalik. Tiangnya berbentuk bulat terbuat dari kayu pohon lontar, enau, kayu
hitam atau kayu besi. Lantai panggungnya bertingkat 3, yakni kelaga rai, atau panggung
tanah, kelaga ae atau panggung besar, kelega dammu atau panggung loteng yang
mencerminkan kepercayaan orang Sabu adanya tingkatan dunia, yakni dunia bawah atau
dunia arwah, dunian tengah atau dunia manusia dan dunia atas atau dunia para dewa.

Rumah Adat Temukung


Rumah Adat Temukung adalah rumah tradisional yang dari Nusa Tenggara Timur. Rumah
adat ini merupakan rumah adat bagi beberapa suku besar di Nusa Tenggara Timur, seperti
Flores, Sabu, Sumba, dan Alor. Rumah ini pun menjadi bangunan utama, sekaligus ikon
anjungan Nusa Tenggara Timur di Taman Mini Indonesia Indah.

Rumah Adat Temukung berbentuk empat persegi panjang, atapnya mirip dengan bentuk
perahu terbalik, mempunyai panggung atau dek. Bagi masyarakat Sabu konstruksi Rumah
Adat Temukung berorientasi pada latar belakang asal usul Suku Sabu, oleh karena itu bentuk
dan corak rumah orang-orang dari Sabu mempunyai hubungan dengan filsafat hidup mereka.
Misalkan, lokasi mendirikan rumah biasanya di tempat yang tinggi (bukit, lereng), haluan
rumah selalu mengarah ke barat atau timur (dalam bahasa Sabu disebut duru wa dan duru
dimu).

31. Rumah Adat Provinsi Maluku

Rumah Baileo
Rumah Baileo adalah rumah adat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia. Rumah Baileo
merupakan representasi kebudayaan Maluku dan memiliki fungsi yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat. Rumah Baileo adalah identitas setiap negeri di Maluku selain Masjid
atau Gereja. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara
adat, sekaligus sebagai balai warga. Ciri utama rumah Baileo adalah ukurannya besar, dan
memiliki bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.

Bentuk ornamen atau hiasan di rumah adat Beileo memiliki hubungan dengan adat istiadat
dan kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Negeri-negeri di Maluku memiliki arsitektur
Baileo yang berbeda, namun fungsinya sama. Baileo dibuat dengan bahan yang kuat, dan
dilengkapi dengan ornamen khas Maluku. Rumah Baileo tak berdinding, hal ini dimaksudkan
agar roh nenek moyang dapat leluasa masuk dan keluar rumah Baileo. Rumah Baileo
merupakan rumah panggung, yakni posisi lantainya berada di atas permukaan tanah. Lantai
yang tinggi ini mempunyai makna bahwa agar roh-roh nenek moyang memilii tempat dan
derajat yang tinggi dibandingkan masyarakat. Di rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran
dan ornamen yang bergambar dua ekor ayam yang berhadapan dan diapit oleh dua ekor
anjing di sebelah kiri dan kanan. Ukiran tersebut memiliki makna kedamaian dan
kemakmuran. Ukiran tersebut dibuat dengan maksud roh nenek moyang yang menjaga
kehidupan masyarakat. Ukiran lainnya adalah bulan, bintang, dan matahari yang berada di
atap dengan warna merah, kuning, dan hitam. Ukiran tersebut bermakna kesiapan Baileo
(sebagai balai) dalam menjaga keutuhan adat beserta hukum adatnya.

32. Rumah Adat Provinsi Maluku Utara


Rumah adat Sasadu

Sasadu merupakan rumah adat suku bangsa Sahu di Halmahera Barat yang juga merupakan
suku bangsa asli dan tertua yang ada di daerah tersebut. Di rumah ini, masyarakat adat Sahu
biasa berkumpul dalam pertemuan-pertemuan. Di Halmahera Barat, rumah ini lazim ditemui
di setiap desa. Penggunaan Sasadu sebagai lokasi pertemuan masyarakat biasanya terkait
dengan diselenggarakannya berbagai acara, misalnya ritual atau upacara adat seperti perayaan
panen dan pemilihan ketua adat, dan menyambut tamu yang datang. Meski demikian dapat
pula Sasadu digunakan hanya untuk sekadar bersantai tanpa ada acara khusus. Secara
etimologi, Sasadu berasal dari kata sadu yang dalam bahasa Sahu tidak punya arti apapun,
sedangkan dalam bahasa Ternate artinya adalah menimba, dan sado berarti lengkap, genap
bilangannya. Sasadu dibangun di bagian tengah kampung atau desa dengan lokasi yang tidak
jauh jalan. Hal ini dimaksudkan agar Sasadu bisa dijangkau dengan mudah sehingga orang-
orang dari seluruh penjuru kampung bisa mendatanginya untuk berkumpul.

Sebagai produk budaya, Sasadu tidak luput dari perubahan. Bagaimana perubahan ini eksis di
antaranya terlihat dari atap rumah yang dulunya biasa dibuat dari atap daun sagu, kini
berganti dengan material seng. Perubahan ini disinyalir adalah dampak dari masuknya bangsa
Barat dan agama Kristen ke Halmahera. Di sisi lain, perubahan ini bukannya tidak terpantau
oleh masyarakat karena ada pula keinginan untuk mempertahankan arsitektur rumah Sasadu
agar jati diri sebagai orang Sahu tidak hilang. Sasadu sendiri memang merupakan salah satu
bagian dari alur perkembangan budaya Sahu dalam sejarah perkembanganna. Sebelum ada
Sasadu, masyarakat setempat tinggal di dalam rumah-rumah "koseba" di hutan. Rumah ini
didirikan di atas tiang-tiang pancang yang ditancapkan ke tanah.

Rumah adat Hibualamo


Hibualamo adalah sebutan rumah adat suku bangsa klan/hoana yang bermukim di
Halmahera. Hibualamo diperkirakan telah ada sejak tahun 1400an. Secara harfiah Hibualamo
terdiri dari dua kata yaitu Hibua yang berarti Rumah dan Lamo yang berarti Besar.

Bentuk asli rumah adat ini berada di Pulau Kakara, Halmahera Utara dan biasa disebut
Rumah adat Hibualamo Tobelo. Rumah adat Hibualamo didirikan kembali pada bulan April
2007 sebagai simbol perdamaian pasca konflik SARA pada tahun 1999 – 2001.
Pembangunannya pun mengalami perkembangan dibandingkan bentuk aslinya yang berupa
rumah panggung.

Bangunan rumah adat Hibualamo dibangun dengan banyak symbol yang memiliki arti
tersendiri yang berhubungan dengan persatuan. Konstruksi rumah adat menyerupai perahu
yang mencerminkan kehidupan kemaritiman suku Tobelo dan Galela yang ada di pesisir.
Bangunannya memiliki bentuk segi 8 dan memiliki 4 pintu masuk yang menunjukkan simbol
empat arah mata angin dan semua orang yang berada didalam rumah adat saling duduk
berhadapan yang menunjukkan kesetaraan dan kesatuan.

Pada rumah adat Hibualamo terdapat 4 warna utama yang masing – masing memiliki arti.
Warna merah mencerminkan kegigihan perjuangan komunitas Canga, warna kuning
mencerminkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Warna hitam mencerminkan
solidaritas dan warna putih mencerminkan kesucian.

Rumah adat Fola Sowohi

Fola Sowohi adalah rumah adat suku Tidore. Kata Fola Sowohi, berasal dari kata Fola dan
Sowohi. Kata Fola berasal dari bahasa Tidore, yang berarti rumah, sedangkan Sowohi berarti
tuan rumah. Secara utuh Fola Sowohi berarti rumah. Atap rumah Fola Sowohi terbuat dari
rumbia yang konstruksi bangunannya melambangkan kekayaan budaya. Fola Sowohi
memiliki simbol arsitektur utama (sentral) yang ada di Tidore. Fola Sowohi berfungsi sebagai
tempat musyawarah dan pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan ritual magis.
Bangunan Fola Sowohi berbentuk bidang geometris empat persegi panjang. Fola Sowohi
berlantai tanah.

33. Rumah Adat Provinsi Papua Barat

Rumah Kaki Seribu

Rumah Kaki Seribu atau (bahasa lokal: Mod Aki Aksa) adalah rumah adat asli dari
penduduk Suku Arfak yang menetap di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Rumah adat tersebut dijuluki demikian karena menggunakan banyak tiang penyangga di
bawahnya, sehingga jika dilihat memiliki banyak kaki seperti hewan kaki seribu. Sedangkan
untuk bagian atapnya dibuat dari daun jerami atau daun sagu. Sementara untuk tiangnya
menggunakan kayu, yang terdiri dari kayu berukuran tinggi dan pendek. Fungsi dari tiang
kayu tersebut adalah untuk melindungi penduduk dari serangan musuh dan ancaman ilmu
hitam. Rumah adar kaki seribu berjenis rumah panggung dan memiliki corak khas
Manokwari.

Rumah adat Kaki Seribu pada umumnya dipakai oleh penduduk yang tinggal di daerah
pegunungan dan berhawa dingin. Rumah ini dibuat berukuran tinggi untuk menghindari
serangan hewan buas. Rumah ini juga tidak memiliki jendela, hal ini dimaksudkan agar suhu
di dalam rumah tetap hangat.

Rumah Adat Kaki Seribu pada umumnya memiliki ukuran 8 x 6 meter. Tinggi panggung jika
diukur dari dasar tanah yaitu sekitar 1 - 1,5 meter. Tinggi puncak atap berkisar antara 4,5 - 5
meter. Untuk tiang terbuat dari kayu berdiameter 10 cm. Tiang - tiang fondasi bangunan
rumah adat tersebut memiliki jarak yang sangat dekat antar satu tiang dengan tiang lainnya,
yaitu berjarak sekitar 30 cm. Untuk lantai dan dinding, dibuat dari kulit kayu yang dilebarkan
dan diikat dengan rapat, lalu dibalut dengan batang - batang kayu yang berukuran lebih kecil.
Sedangkan untuk atapnya, dibuat dari daun jerami/ilalang atau sagu yang diikatkan pada
penyangga yang juga terbuat dari kayu. Sambungan kayu tiang, lantai, dinding, dan atap
diikat dengan menggunakan tali serat rotan dan serat kulit kayu. Dengan demikian kesan
yang ditimbulkan adalah kuat dan alami.

Karena Rumah Adat Kaki Seribu tidak memiliki jendela, maka satu-satunya jalan untuk
menciptakan sirkulasi udara adalah melewati pintu. Rumah tersebut memiliki dua pintu,
yakni pintu depan dan pintu belakang. Isi rumah tidak terbagi menjadi kamar - kamar seperti
rumah modern tapi dibagi menjadi dua bagian. Bagian kiri untuk kaum wanita (ngimsi),
sedangkan bagian kanan untuk kaum pria (ngimdi). Di dalamnya juga terdapat perapian
untuk menghangatkan seisi ruangan. Sama dengan rumah panggung tradisional lainnya,
Rumah Adat Kaki Seribu biasanya dihuni oleh beberapa keluarga yang tinggal bersama di
dalamnya.

Bagi masyarakat Arfak, Rumah Adat Kaki Seribu merupakan tempat bernaung, mendidik
anak dan kegiatan pesta. Terdapat celah - celah di lantai yang memungkinkan udara masuk ke
dalam rumah sehingga sirkulasi udara dapat terjaga dengan baik. Di dalamnya terdapat
sebuah kolong yang luas untuk dijadikan sebagai kandang ternak. Di suatu bagian khusus
terdapat sebuah ruang untuk upacara dan pesta adat. Di bagian tengah rumah tersebut tidak
dilapisi dengan kayu, sehingga jika ada pesta berupa tarian bisa dilakukan di atas tanah.
Namun pada akhir - akhir ini, keberadaan rumah adat tersebut sudah jarang ditemukan karena
banyak orang di kampung itu lebih suka membangun rumah modern yaitu rumah berlantai
semen, berdinding batako, beratap seng, dan memiliki jendela.

Rumah adat Jew

Rumah Jew atau dikenal sebagai Rumah Bujang merupakan salah satu rumah adat yang
berasal dari Suku Asmat, khususnya dari ibu kota provinsi Papua Barat yaitu Agats. Rumah
Jew yang memiliki beberapa nama lain yaitu Je,Jeu,Yeu, atau Yai ini merupakan rumah
panggung berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu dan dinding beserta atapnya
terbuat dari daun pohon sagu atau pohon nipah yang telah dianyam. Hal unik yang terdapat
dalam Rumah Jew ini adalah sama sekali tidak menggunakan paku melainkan menggunakan
akar rotan sebagai penghubung. Disebut sebagai Rumah Bujang karena dalam rumah inilah
tempat berkumpulnya laki-laki yang belum berkeluarga atau yang masih berstatus bujang.
Anak-anak dibawah umur 10 tahun, wanita tidak perbolehkan masuk kedalam Rumah Jew
ini.

Rumah adat Kambik


Kambik adalah rumah adat yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan adat
Suku Moi. Pendidikan adat tersebut merupakan pendidikan yang diselenggarakan sebelum
masuknya agama Kristen ke tanah Malamoi. Para pemuda Moi dididik untuk menjadi
anggota dewan adat atau pemimpin adat.

34. Rumah Adat Provinsi Papua

Rumah Honai

Honai adalah rumah Adat Papua pada khususnya di Bagian Penggunungan. Papua terkenal
dengan budayanya yang berakena ragam dan bahkan sebagaian dari masyarakatnya masih
memegang kuat kebudayaannya. Ada satu hal yang perlu kita ketahui tentang papua yaitu
mengenai rumah adatnya.
Honai merupakan rumah mungil yang unik dengan bentuk seperti jamur. Ya, rumah ini
memiliki bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu berdinding anyaman dengan atap
kerucut yang terbuat dari jerami. Tingginya hanya 2,5 meter yang jika dilihat dari udara
terlihat seperti jamur berwarna cokelat kehitaman berjajar di sepanjang lembah.

Struktur bangunan Rumah Honai terdiri dari dua lantai dan terbuat dari kayu dengan atap
berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Lantai pertama biasanya terdiri dari
kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua digunakan sebagai tempat
beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak
berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Selain itu di
tengah-tengah rumah Honai ada tempat pembakaran api unggun yang juga berfungsi sebagai
penghangat. Tinggi bangunannya sekitar 2,5 meter.

Tipe Rumah Adat Honai, Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu : pertama Untuk kaum
laki-laki (Honai Laki-Laki) kedua : Wanita (disebut Ebei atau Honai Prempuan), ketiga
Rumah untuk ternak juga untuk tempat bersantai.

elain Berfungsi untuk tempat tinggal, Rumah Adat Honai juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan peralatan perang atau berburu, Tempat melatih anak laki-laki mereka agar
menjadi orang yang kuat, sehingga Saat dewasa nanti dapat melindungi sukunya, Dijadikan
sebagai tempat untuk menyusun strategi perang, Dijadikan Tempat menyimpan segala
peralatan atau simbol dari adat suku warisan nenek moyang.

Rumah Adat Kariwari

Rumah Kariwari adalah salah satu rumah adat khas Papua, lebih tepatnya adalah rumah adat
dari Suku Tobati-Enggros yang bermukim di sekitar Teluk Yotefa dan Danau Sentani,
Jayapura. Berbeda dengan bentuk rumah adat Papua lainnya - seperti honai yang berbentuk
bulat - rumah Kariwari berbentuk limas segi delapan. Rumah Kariwari biasanya terbuat dari,
bambu, kayu besi dan daun sagu hutan. Rumah Kariwari terdiri dari dua lantai dan tiga kamar
atau tiga ruangan, dengan fungsi yang masing-masing berbeda.

Rumah Kariwari tidak seperti halnya rumah honai yang bisa ditinggali oleh siapa saja,
bahkan tidak bisa pula menjadi rumah tinggal kepala suku - tidak seperti rumah honai yang
memiliki fungsi politik dan hukum. Rumah Kariwari lebih spesifik sebagai tempat edukasi
dan ibadah, oleh karena itu posisi rumah Kariwari dalam masyarakat Suku Tobati-Enggros
dianggap sebagai tempat yang sakral dan suci.

Bentuk arsitektur rumah Kariwari terbilang cukup unik, karena bentuknya limas segi delapan.
Dengan bentuk rumah yang sedemikian rupa, maka rumah Kariwari cukup kuat untuk
bertahan dalam cuaca, terutama saat cuaca sedang berangin. Selain efektif dalam menahan
angin, bentuk limas segi delapan yang berujung lancip juga bermakna kedekatan manusia
dengan Sang Pencipta dan para leluhur.

Rumah Adat Rumsram

Rumah adat Rumsram adalah rumah adat suku Biak Numfor di pantai Utara Papua. Rumah
ini aslinya ditujukan untuk kaum laki-laki. Sama halnya dengan Kariwari, perempuan
dilarang masuk atau mendekati rumah ini. Fungsinya pun mirip, sebagai kegiatan dalam
mengajar dan mendidik para lelaki yang mulai beranjak remaja, dalam mencari pengalaman
hidup.

Bangunannya berbentuk persegi dengan atap berbentuk perahu terbalik. Bentuk ini tak
terlepas dari mata pencaharian mereka sebagai pelaut.

Material yang digunakan adalah kulit kayu untuk lantai, bambu air yang dibelah dan dicacah-
cacah untuk dinding, atapnya terbuat dari daun sagu yang telah kering. Dindingnya terbuat
dari pelepah sagu. Dinding rusmram aslinya hanya ada sedikit jendela dan posisinya di depan
dan belakang.

Rumsram memiliki tinggi kurang lebih 6—8 m dan dibagi menjadi 2 bagian yang dibedakan
dengan tingkatan lantainya. Lantai 1 sifatnya terbuka dan tanpa dinding. Hanya kolom-kolom
bangunan yang terlihat. Di tempat inilah, para lelaki dididik belajar memahat, membuat
perisai, membuat perahu, hingga teknik perang

Anda mungkin juga menyukai