Anda di halaman 1dari 17

Rumah adat Kalimantan tengah

Rumah Baanjung (Ba'anjung) adalah nama kolektif untuk rumah tradisional suku Banjar
dan suku Dayak Bakumpai.
[1]
Suku Banjar biasanya menamakan rumah tradisonalnya dengan
sebutan Rumah Banjar.
Umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung),
yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama, karena
itulah disebut Rumah Ba'anjung (ber-anjung).
Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis
Rumah Banjar yang tidak beranjung. Rumah tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua
yang disebut Rumah Ba-anjung Dua, namun kadangkala rumah banjar hanya hanya
beranjung satu, biasanya rumah tersebut dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak
memiliki keturunan.
Sebagaimana arsitektur tradisional pada umumnya, demikian juga rumah tradisonal Banjar
berciri-ciri antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental,
dekoratif dan simetris.
Rumah tradisional Banjar adalah jenis rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri
sejak sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871, pemerintah kota Banjarmasin
mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah
yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya.
[2]

Jenis rumah yang bernilai paling tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang diperuntukan
untuk bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap.
[3]
Dengan
demikian, nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedhaton (istana
kediaman Sultan).
[4]

Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran
dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja
(Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar, terdapat berbagai jenis
rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah.
Dalam kampung tersebut, rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai
maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang
didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah
(alluvial) maupun lahan kering. Rumah Banjar terdiri Rumah Banjar masa Kesultanan Banjar
dan Rumah Banjar masa kolonial.
Rumah Adat Sulawesi Utara

Pulau Sulawesi merupakan satu dari lima pulau besar di Indonesia. Bentuknya yang
menyerupai huruf K ini dibagi lagi ke dalam beberapa wilayah. Salah satunya adalah Provinsi
Sulawesi Utara dengan ibukota Manado. Sudah pernah berkunjung ke tempat ini? Provinsi
yang terdiri atas 11 kabupaten dan 4 kota ini tersohor karena beberapa hal. Salah satunya
tentulah nilai budaya. Pernah mendengar nama Walewangko? Istilah ini merujuk pada rumah
tradisional suku Minahasa yang mendiami Sulawesi Utara. Kini, ia juga dikenal luas sebagai
rumahadatSulawesiUtara.
Nama lain dari Walewangko adalah Rumah Pewaris. Rumah adat yang satu ini memiliki
tampilan fisik yang apik. Ia secara umum digolongkan sebagai rumah panggung. Tiang
penopangnya dibuat dari kayu yang kokoh. Dua di antara tiang penyanggah rumah ini, konon
kabarnya, tak boleh disambung dengan apapun. Bagian kolong rumah pewaris ini lazim
dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan hasil panen atau godong.

Seperti rumah adat lainnya, rumah adat Sulawesi Utara ini dibagi juga ke dalam beberapa
bagian utama antara lain:
1. Bagian depan yang dikenal juga dengan istilah lesar. Bagian ini tidak dilengkapi
dengan didnding sehingga mirip dengan beranda. Lesar ini biasanya digunakan
sebagai tempat para tetau adat juga kepala suku yang hendak memberikan maklumat
kepada rakyat.
2. Bagian selanjutnya adalah Sekey atau serambi bagian depan. Berbeda dengan Lesar,
si Sekey ini dilengkapi dengan dinding dan letaknya persis setelah pintu masuk.
Ruangan ini sendiri difungsikan sebagai tempat untuk menerima tetamu serta ruang
untuk menyelenggarakan upacara adat dan jejamuan untuk undangan.
3. Bagian selanjutnya disebut dengan nama Pores. Ia merupakan tempat untuk menerima
tamu yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik rumah. Terkadang
ruangan ini juga digunakan sebagai tempat untuk menjamu tamu wanita dan juga
tempat anggota keluarga melakukan aktifitas sehari-harinya. Pores ini umumnya
bersambung langsung dengan dapur, tempat tidur dan juga makan.
Jika kita cermati, keunikan rumah pewaris ini terletak dari arsitektur depan rumah. Perhatikan
saja susunan tangga yang berjumlah dua dan terletak di bagian kiri dan kanan rumah. Konon
kabarnya, dua buah tangga ini berkaitan erat dengan kepercayaan suku Minahasa dalam
mengusir roh jahat. Apabila roh tersebut naik melalui tangga yang satu maka serta merta ia
akan turun lagi melalui tangga lainnya.
RUMAH BUDAYA SULAWESI
TENGGARA
Anjungan atau bangunan induk anjungan
mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan
hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri
dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua
ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi
mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara
Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara
arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana
anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara
menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut
Malige.
Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau Buton serta
merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan dilengkapi
dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari
dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda
betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi
Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan lain-lain.


Rumah adat Sulawesi tengah
Anjungan Sulawesi Tengah menyajikan empat buah bangunan tradisional, yakni
souraja, rumah adat bangsawan suku Kaili; rumah adat suku To Lobo (tambi) dari Lone
Selatan, lumbung padi (gambiri), dan sebuah bangunan kantor merangkap gerai seni.

Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat
dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan
berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota
berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta
karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta
tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan,
meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan
dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban
berada di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang
berarti jembatan, ke rumah induk. Rumah souraja di Anjungan Sulawesi Tengah
dipergunakan sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek budaya: lonta tatangana
sebagai ruang pamer berbagai busana daerah serta pasangan pengantin Kaili lengkap dengan
pengiringnya; lontana rorana dipergunakan sebgai tempat peragaan ruang tidur keluarga; dan
avu dimanfaatkan sebagai ruang peragaan pembuatan kain sarung Donggala.

Rumah tambi berbentuk segi empat dengan atap menyerupai piramida memanjang
dan curam yang sekaligus sebagai dinding rumah. Badan rumah dan atap ditopang tiga atau
lima susun balok kayu bulat sebagai gelagar dan diletakkan di atas tiang-tiang batu cadas
lonjong yang ditanam di dalam tanah. Hanya ada satu pintu, terletak di samping kiri bagian
depan rumah. Ruangan dalam rumah (lobana) tanpa kamar. Di tengah lobana terdapat dapur
(rapu), di atasnya diletakkan para-para yang ditopang empat buah tiang. Selain untuk tempat
memasak, rapu juga menjadi sumber cahaya dan pemanas di waktu malam atau musim
dingin. Ruangan kosong di sekitar dapur dipergunakan untuk ruang makan, ruang tidur, dan
untuk menerima tamu keluarga. Daun pintu dihias ukiran kepala kerbau, sedang di tiang-tiang
ke bubungan tergantung tanduk kerbau berbagai ukuran yang disusun berurut ke atas mulai
yang paling besar dan panjang. Tambi di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan untuk
peragaan pembuatan kain dan kulit kayu haili atau kantevu yang sampai sekarang masih
dipakai oleh suku Kulawi. Di sebelah utara tambi dibangun sebuah duhungan atau lobo yang
aslinya hingga sekarang masih dapat di temui di daerah Plana, Lone Selatan, suatu rumah
panggung empat persegi panjang tanpa kamar dan berdinding separuh terbuka dengan lantai
tiga tingkat. Duhungan atau lobo digunakan sebagai ruang upacara adat serta panggung seni
pada hari-hari libur atau hari besar. Pergelaran seni berupa tarian tradisional Sulawesi
Tengah, seperti tari dero, yakni jenis tari pengantar yang memberi kesempatan kepada para
penonton untuk ikut menari bersama-sama.

Dua buah patung tiruan Tadulako dan Langkae Bulava merupakan peninggalan prasejarah
yang banyak berserakan di daerah Los Selatan. Tadulako menggambarkan seorang ayah yang
tampan dan gagah perkasa, sedangkan Langke Bulova melambangkan seorang ibu yang
cantik. Anjungan Sulawesi Tengah pernah dikunjungi tamu-tamu negara, antara lain Istri
Perdana Menteri Luxemburg, Ny.Gaston Thorn, tahun 1978 dan 1984.

A. Selayang Pandang
Banua Mbaso atau lazim dikenal dengan Sou Raja berarti rumah besar atau rumah
raja. Banua Mbaso ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang
diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili. Rumah jenis ini pertama kali
dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Rumah ini merupakan rumah
kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya, terutama yang tinggal di
daerah pantai dan kota. Rumah sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi
Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut,
hingga saat ini masih terawat dengan baik.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan, yaitu:
Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu.
Sebelum ada meja dan kursi, di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar).
Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur para tamu yang menginap.
Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu
yang masih ada hubungan keluarga.
Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan.
Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang
ruangan ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis agar mudah diawasi
oleh orang tua.
Untuk urang avu (ruang dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan
atau ruangan lain di bagian belakang yang terpisah dengan bangunan utama. Untuk
menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap
yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke. Di jembatan beratap
ini, biasanya dibuatkan pekuntu, yakni ruang terbuka untuk berangin-angin. Di kolong
bangunan utama, biasanya dijadikan sebagai ruang kerja untuk pertukangan atau tempat
beristirahat di siang hari. Sementara loteng rumah dipergunakan untuk menyimpan benda-
benda pusaka dan lain-lain.
B. Keistimewaan
Bangunan Banua Mbaso memiliki arsitektur yang cukup unik dan artistik. Uniknya,
rumah ini berbentuk panggung yang merupakan perpaduan antara arsitektur rumah adat
(Bugis) di Sulawesi Selatan dan rumah adat di Kalimantan Selatan. Bangunan rumah ini
ditopang oleh sejumlah tiang kayu balok persegi empat dari kayu-kayu pilihan yang
berkualitas tinggi, seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya, sehingga bangunan rumah ini
dapat bertahan sampai ratusan tahun. Atap bangunan ini berbentuk piramida segitiga yang
dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut dengan panapiri. Menariknya lagi, pada ujung
bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir yang disebut dengan
bangko-bangko.
Bangunan Banua Mbaso ini tampak lebih artistik, karena hampir semua bagian
bangunan ini diberi hiasan berupa kaligrafi Arab dan ukiran dengan motif bunga-bungaan dan
daun-daunan. Hiasan-hiasan tersebut terdapat pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, dinding-
dinding bangunan, loteng, ruang depan, pinggiran cucuran atap, papanini, dan bangko-
bangko. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan
kesejahteraan bagi penghuninya.

Rumah Tongkonan

Rumah Tongkonan adalah sebuah rumah adat yang berasal dari sulawesi selatan atau yang
lebih dikenal sebagai rumah adat masyarakat Toraja. Rumah yang bentuknya seperti perahu
ini, terdiri atas susunan bambu (pada era sekarang sudah menggunakan seng), di deretan
depannya terdiri dari deretan tanduk kerbau yang sesuai dengan acara adat didaerah tersebut,
sedangkan bagian dalamnya dijadikan sebagai ruang tidur dan dapur, Tongkonan juga bisa
digunakan untuk tempat penyimpanan mayat, Tongkonan sendiri berasal dari kata Tongkon
(duduk bersama sama), seperti dalam rumah daerah lain rumah ini pun memiliki beberapa
jenis yang melambangkan tingkatan sosial dalam masyarakat. Di bagian depan tongkonan
terdapat lumbung padi yang berukirkan ayam dan matahari sebagai simbul menyelesaikan
masalah, biasanya lumbung padi terbuat dari pohon palm(bengah) namun sekarang sudah
menggunakan cor.
Seperti di Sillanan-Pamanukan (Tallu Lembangna) atau yang dikenal sebagai
Maduangtondok terdapat dua Tongkonan yaitu Tongkonan Karua (Delapan rumah
tongkonan) dan Tongkonan Apa (empat rumah tongkonan) yang masing-masing terdiri dari
:
Tongkonan karua terdiri dari:
1. Tongkonan Pangrapa(Kabarasan)
2. Tongkonan Sangtanete Jioan
3. Tongkonan Nosu (To intoi masakkana)
4. Tongkonan Sissarean
5. Tongkonan ToPanglawa padang
6. Tongkonan Tomantada
7. Tongkonan Tolole Jaoan
8. Tongkonan ToBarana
Tongkonan Apa terdiri dari:
1. Tongkonan Peanna Sangka
2. Tongkonan Toinduk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla (Pemanukan)
Seperti dikatakan diatas tadi bahwa Rumah adat tongkonan ini berdasarkan dari tingkat strata
masyarakat, artinya rumah adat dikatakan sebagai Tongkonan kalo memiliki sejarah turun
temurun sebagai pewaris kalangan tertentu yang mempunyai mandat untuk melanjutkan
tongkonan tersebut, dan ke-12 Tongkonan diatas dinyatakan sebagai Tongkonan yang
memiliki sejarah tersebut.
Mengenal Rumah Adat Maluku: Baileo

Maluku (Moluccas atau Molukken) bukan sekedar provinsi tertua di nusantara. Dahulu ia
juga kokoh sebagai kerajaan yang konon usianya sama dengan Kerajaan di Mesir pimpinan
Firaun. Dengan demikian, bisa diamsusikan, peradaban di nusantara boleh jadi dimulai di
Maluku. Berbicara mengenai peradaban, tentu kita tak akan lepas dari budaya. Salah satu
warisan budaya dengan nilai tinggi dari Maluku adalah Baileo atau yang kerap juga disebut
Balai. Rumah adat Maluku ini terbilang unik sebab dibangun dengan tujuan yang berbeda
darirumahadatlainnya.
BalaiBersama
jika dikaji dari akar kata, boleh jadi Baileo merupakan moyang dari kata Balai yang kita
kenal sekarang ini. Sama seperti makna Balai, Baileo sebagai rumah adat Maluku dibangun
dengan tujuan sebagai balai atau tempat masyarakat melangsungkan berbagai kegiatan seperti
upacara adat dan musyawarah. Terkadang juga Baileo ini dijadikan tempat untuk menyimpan
benda-benda yang dikeramatkan, senjata serta pusaka peninggalan leluhur. Jadi, meski
menyandang status sebagai rumah adat, tapi bangunan Baileo sama sekali tidak ditinggali
atau dihuni masyarakat.
Rumah Adat Papua

Dengan tinggi sekitar 2 2.5 meter, rumah adat dari Papua terdiri dari 2 lantai. Lantai
pertama biasanya terdiri dari kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai
kedua digunakan sebagai tempat beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Di tengah ruangan di
lantai pertama terdapat api unggun yang digunakan untuk menghangatkan diri. Rumah adat
Papua Honai merupakan rumah dengan arsitektur yang sederhana, inti dari rumah ini adalah
rumah yang melindungi orang-orang yang tinggal di dalamnya dari udara dingin, tanpa fungsi
rumit lainnya. Kesederhanaan ini mungkin yang dijadikan patokan utama bagi suku Dani
untuk membangun rumah Honai mereka, karena mereka termasuk jenis suku yang kerap kali
berpindah tempat. Kesederhanaan desain dan bentuk Honai memudahkan mobilitas mereka.
Jenis-Jenis Rumah Adat Papua

Rumah Honai terdiri dari 3 jenis, yaitu rumah untuk para lelaki (disebut Honai), rumah untuk
para wanita (disebut Ebei), dan rumah untuk ternak mereka, babi (disebut Wamai). Ada juga
beberapa orang Papua yang tidak lagi tinggal di rumah adat Papua seperti pakem yang dulu
ada, dan tinggal bersamaan antar anggota keluarga inti, namun ternak/babi selalu
mendapatkan rumah tersendiri. Bagi orang Papua, ternak merupakan harta yang sangat
berharga.
Rumah adat provinsi Papua sebenarnya hanya ada 1 jenis saja, yaitu Honai itu sendiri. Jika
terdapat beberapa perbedaan, itu dikarenakan perbedaan daerahnya saja dan perbedaannya
tidak begitu mencolok. Rumah Honai dibuat berkelompok, karena kadang satu keluarga
membutuhkan lebih dari satu rumah untuk tempat ternak mereka tinggal, dan anak-anak yang
sudah akil baligh/dewasa. Dilihat dari arsitekturnya yang sederhana, rumah ini berbentuk
hampir seperti kerucut dengan batu-batu kecil mengelilingi rumah tersebut.
Keunikan khasanah kebudayaan bangsa tercermin dari banyaknya jenis rumah yang ada di
Indonesia. Walaupun Honai merupakan rumah asli suku Dani, kita dapat menjumpainya di
beberapa museum yang tersebar di Indonesia dikarenakan banyak juga orang yang penasaran
atau ingin tahu jenis rumah suku Dani papua ini. Honai dan rumah-rumah adat suku lainnya
merupakan bukti kekayaan budaya bangsa kita yang patut kita ketahui. Jika ingin mengetahui
lebih banyak tentang rumah adat Papua, anda bisa mencarinya di internet dengan mencari
rumah adat Papua wikipedia.
Rumah Adat Bali
Bali, Sebuah tempat yang begitu indah alamnya dan begitu terasa budayanya. Tidak salah
jika Bali selalu ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Salah satu unsur
kebudayaan yang sangat unik adalah rumah adat bali. Keunikannya dapat membuat
wisatawan nyaman berada di rumah ini.
Rumah adat merupakan representasi dari kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban. Ada
sejarah, filosofi, makna, dan fungsi yang mendalam dari setiap rumah adat. Rumah adat Bali
dibangun dengan aturan Asta Kosala Kosali( aturan tata letak ruangan dan bangunan dalam
Kitab Weda).
Filosofi yang terkandung adalah kedinamisan dalam hidup akan terwujud jika terciptanya
hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Oleh karena
itu, pembangunan rumah adat harus memenuhi aspek-aspek tersebut atau yang disebut Tri
hita Karana. Pawongan maksudnya adalah si penghuni rumah. palemahan maksudnya adalah
harus tercipta hubungan baik antara penghuni dengan lingkungan. Parahyangan berabri ada
hubungannya dengan sang pencipta.

Gambaran umum dari arsitektur rumah Bali biasanya banyak dihiasi dengan peralatan,
ukiran, dan perwarnaan yang khas. Semua detail tersebut memiliki makna yang tersimpan.
Selain untuk mempercantik, biasanya tambahan tersebut ditujukan untuk ritual tertentu.

Jika dilihat dari sisi geografis, ada dua jenis rumah di bali yaitu rumah adat yang berada di
daerah dataran tinggi dan rumah adat di daerah dataran rendah. Rumah yang berada di daerah
dataran tinggi pada umumnya berukuran kecil, dan memiliki jumlah ventilasi yang lebih
sedikit, dan beratap rendah. Ini dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat.
Selain itu pekarangan rumah juga lebih sempit disebabkan kontur tanah yang tidak rata.
Aktivitas sehari-hari seperti memasak, tidur, hingga ritual keagamaan dilakukan didalam
rumah.

Rumah adat bali yang terletak di daerah dataran rendah pada umumny memilki ciri
sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka, beratap tinggi, dan berpekarangan luas. Seperti
bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan
menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak,
njineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Rumah keturunan keluarga
raja dan brahmana pekarangannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu njaba sisi (pekarangan
depan), njaba tengah (pekarangan tengah) dan njero (pekarangan untuk tempat tinggal).


Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran tanah yang biasa disebut dengan nyikut
karang. Kemudian dilaksanakan caru pengerukan karang, adalah ritual persembahan kurban
& mohon izin untuk mendirikan rumah hampir sama seperti meembangun rumah adat jawa.
Upacara ritual dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin, bertujuan untuk
memohon kekuatan pada bumi pertiwi agar nanti bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh
serta pekerja atau tukang dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan
keselamatan dalam bekerja. Jika seluruh ritual sudah dijalankan barulah pembangunan
dimulai. Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan
upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah
yang akan didirikan dan untuk menjagakeselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya.
Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Jumat, 14 Juni 2013 Posted by Mutiara Rosya
Jika Sebelumnya kita mebahas tentang Kebudayaan Jawa Tengah, sekarang kita akan
membahas kebudayaan dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Kita akan berkenalan dengan
Rumah adat, pakaian adat, tari-tarian, senjata tradisional, suku, bahasa dan lagu
tradisionalnya.

1.RumahAdat

Rumah adat Daerah Istimewa Yogyakarta dinamakan Bangsal Kencono Kraton Yogyakarta
merupakan sebuah bangunan Pendopo. Halamannya sangat luas, ditumbuhi tanaman dan
dilengkapi beberapa sangkar burung. Di depan Bangsal Kencono terdapat dua patung dari
Gupolo, sang raksasa yang memegang gada (sejenis alat pemukul).

Bangsal Kencono
Rumah Adat Daerah Riau
Rumah Adat Daerah Riau - Sebenarnya tidaklah bisa disebut rumah adat Riau, namun
disebabkan oleh Riau identik dengan ciri ciri Melayu, maka Rumah adat Riau adalah rumah
adat Melayu. Ditambah pula Riau-ini terdapat banyak sungai maka setiap sungai itu beda
pula beradaban serta adatnya walaupun banyak terdapat persamaan.

Secara umum ada 5 jenis rumah adat Melayu Riau:
* Balai Salaso Jatuh,
* Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar,
* Rumah Melayu Atap Limas,
* Rumah Melayu Lipat Kajang dan
* Rumah Melayu Atap Lontik.

Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri
diatas tiang dengan bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah, semuanya
hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya identik, kecuali rumah lontik
yang-mendapat pengaruh Minang.

- Rumah Lontik/Lancang (Kampar)
Rumah lontik yang dapat juga
disebut rumah lancang karena rumah ini bentuk, ciri atapnya melengkung keatas, agak
runcing seperti tanduk kerbau. Sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki
dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan-
sesama. Rumah adat lontik diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau
karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Tangga
rumah biasanya ganjil.

- Balai Salaso Jatuh

Balai salaso jatuh adalah
bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk
musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai
macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-
lain. Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di
rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan dilakukan di masjid.

Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari
ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun
balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran.

Puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini
diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Seluk Beluk Rumah Adat Bengkulu : Bubungan Lima

Provinsi Bengkulu terletak di Pulau Sumatera bagian barat daya. Ia berbatasan dengan
Sumatera Barat, Jambi di sebelah timur dan Lampung di arah selatan. Bengkulu dikenal
dalam beragam nama antara lain Bengkulen, Benkoelen, Bencoolen dan juga Bangkahulu.
Dahulu, wilayah ini pernah dihuni banyak kerajaan antara lain Kerajaan Selebar, Kerajaan
Sungai Serut, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Marau Riang dan
masih banyak lagi lainnya. Mungkin karena alasan inilah, Bengkulu kemudian kental dengan
budaya. Salah satu fitur seni yang bisa dinikmati di tempat ini adalah rumah tradisional. Sama
seperti wilayah lainnya, juga menyimpan falsafah hidup masyarakat setempat.

Rumah Adat Bubungan Lima

Rumah adat Bengkulu bernama Bubungan Lima. Secara umum, bangunan ini tergolong
rumah panggung. Sejatinya, nama Bubungan Lima melekat bukan tanpa alasan. Ia merujuk
pada atap rumah tersebut. Selain disebut dengan Bubungan Lima, rumah adat Bengkulu ini
juga terkadang dikenal dengan nama Bubungan Haji Bubungan Limas, dan juga
Bubungan Jembatan.

Rumah apik nan cantik ini umumnya terbuat dari kayu medang kemuning atau dikenal juga
dengan nama balam. Kayu ini dipilih sebab karakternya lembut namun ia tahan lama bahkan
hingga ratusan tahun. Adapun bagian lantai rumah Bubungan Lima ini terbuat dari papan,.
Bagian atapnya disusun dari ijuk enau bisa juga sirap. Bagian depan rumah terdapat tangga.
Anak tangga ini berjumlah ganjil sebab berkaitan dengan adat dan kepercayaan setempat.

Jika didasarkan pada literatur yang ada, sebenarnya, rumah adat Bengkulu ini tidak ditujukan
untuk tempat tinggal umum. Rumah Bubungan Lima memiliki fungsi khusus yakni sebagai
tempat dilaksanakannya berbgai ritual adat seperti kelahiran, penyambutan tamu, perkawinan,
dan juga kematian.

Bagian-Bagian Rumah Bubungan Lima



Secara umum, rumah bubungan lima ini terdiri atas:
1. Bagian atas, yakni atap yang terbuat dari ijuk, seng namun terkadang juga bambu.
Bubungan yang dibuat dalam beragam bentuk. Pecu atau plafon yang terbuat dari
papan bisa juga pelupuh. Peran, yakni balok-balok di bagian atas, fungsinya adalah
untuk menghubungkan tiang di bagian atas rumah. Kap, atau kerangka tempat kasau
menempel. Kasau sendiri berfungsi untuk mendasi reng. Sementara reng berperan
sebagai tempat atap menempel. Bagian atas rumah Bubungan Lima selanjutnya
adalah listplang, sayuk dan penyunting.
2. Bagian tengah rumah terdiri atas, kusen atau kerangka pintu juga jendela. Dinding
yang lazim terbuat dari papan juga pelupuh. Jendela dalam bentuk ram atau biasa.
Pintu yang juga bisa dijumpai dalam bentuk ram atau biasa. Tulusi atau lubang angin,
lazimnya berada di atas pintu juga jendela. Ia dibuat dalam beragam jenis lengkap
dengan hiasan. Tiang penjuru. Piangung atau tiang pengjuru halaman. Tiang tengah.
Dan terakhir adalah bendok, yakni balok yang melintang di sepanjang dinding.
3. Bagian bawah rumah bubungan lima antara lain lantai yang tersusun dari papan,
pelupuh dan juga bambu. Geladan yang terdiri atas 8 papan dim, lebarnya 50 cm, ia
dipasang di sepanjang dinding luar di atas balok. Kijing, merupakan penutup balok
yang ada di pinggir luar, ia ada di sepanjang dinding rumah. Tilan, yakni balok
sedang dengan fungsi sebagai tempat menempelnya lantai. Balok besar yakni
kerangka besar tempat lantai. Blandar, yakni penahan talian, bagian ini dipasang
melintang. Bedu, balok di bagian ats tempat rel menempel. Bidai, dibuat dari bambu
tebal dan dipasang melintang di papan lantai. Tujuannya untuk mempertahankan dari
serangan musuh dari arah bawah rumah. Peluph kamar tidur, disusun sejajar dengan
papan lantai atau di atas bidai. Lapik tiang, yakni batu pondasi di tiap tiang rumah.
Tangga depan juga tangga belakang.

Rumah Adat Aceh dan Kemampuan
Ekonomi Warga Aceh
Jika di Bali hampir semua rumah mempunyai
ornamen ukiran yang terdapat dalam rumah adat tersebut, tidak semua rumah adat Aceh
memiliki ukiran, dan kalaupun rumah-rumah tersebut memiliki ukiran bentuknya tidak sama.
Hal ini bergantung pada kemampuan ekonomi si empunya rumah. Jika pemilik rumah
mempunyai kemampuan ekonomi yang di atas rata-rata, biasanya mereka akan memiliki
rumah dengan ukir-ukiran yang bagus dan mewah. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang
mempunyai kemampuan ekonomi pas-pas an atau rata-rata, maka tidak terdapat begitu
banyak ukir-ukiran di rumahnya.
Menurut keterangan banyak warga Aceh, jumlah rumah adat Aceh yang ada di Aceh saat ini
menurun drastis. Kebanyakan warga Aceh lebih memilih untuk tinggal di rumah modern. Hal
tersebut dikarenakan banyak warga merasa rumah Krong Bade membutuhkan dana yang
tidak sedikit dalam pembangunannya, juga butuh banyak tenaga untuk proses perawatannya.
Fenomena ini sudah berlangsung sejak 30 tahun hingga sekarang. Hungga tahun 1980, orang-
orang Aceh masih bisa mendapatkan kayu sebaga material utama dalam membangun Krong
Bade. Sekarang, orang-orang lebih memilih membangun rumah modern karena jumlah biaya
yang digunakan separuh dari uang yang dikeluarkan untuk Krong Bade.
Anatomi Rumah Adat Aceh

Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia. Jadi jika ada
kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun yang terbakar, tanpa
kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau gentong tempat menyimpan air.
Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika
seseorang ingin memasuki rumah. Karena letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka
rumah ini membutuhkan tangga bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah
anak tangga biasanya ganjil.
Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya kekhasan
seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur klasik dan terbuat dari
kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk
Aceh yang sudah tersentuh arus modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah
ini dibutuhkan banyak sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh
merupakan jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra
dalam proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini
sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.
Rumah Adat Jambi - Jambi merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera. Kota Jambi
terbentuk ketika Kerajaan Melayu Jambi berdiri sekitar abad XVII. Terletak di sekitar tepian
Sungai Batanghari, Jambi dibentuk dari berbagai kebudayaan yang berasal dari berbagai
etnik, strata sosial, ekonomi, dll yang dapat dilihat dari bangunan dan suasana tepi sungai.


Pada tahun 70an, Gubernur Jambi pernah mengadakan sayembara "Sepucuk Jambi Sembilan
Rumah" untuk mencari rumah adat yang menjadi jati diri daerah Jambi. Dari hasil Sayembara
tersebut, yang dipilih dan dijadikan sebagai rumah adat jambi adalah Rumah Panggung
Kajang Leko.

Rumah Panggung Kajang Leko merupakan konsep arsitektur dari Marga Bathin. Hingga
sekarang orang Bathin tetap mempertahankan adat istiadat yang ditinggalkan oleh pendahulu
mereka, bahkan peninggalan Kajang Leko pun masih dapat dinikmati keindahannya dan
masih dipergunakan hingga kini. Salah satu perkampungan Bathin yang masih utuh hingga
sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang.

Rumah Panggung Kajang Leko memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran kurang lebih
12 meter x 9 meter. Keunikannya terletak pada struktur konstruksi & seni ukiran yang
menghiasi bangunan.
Konstruksi bubungan atap rumah dinamakan "gajah mabuk" diambil dari cerita nama si
pembuat rumah yang mebuk cinta namun tidak disetujui. Bubungan tersebut dibuat
melengkung ke atas menyerupai perahu dinamakan "jerambah" atau "lipat kajang" dengan
atap bagian atas dinamakan kasau, terbuat dari anyaman ijuk yang dilipat dua untuk
mencegah air masuk ke dalam rumah.

Pada langit-langit rumah terdapat pemisah/pembatas yang dinamai "tebar layar" yang
berfungsi untuk menahan rembesan tepias air hujan. Ruang diantara layar tebar dan atap
biasanya difungsikan untuk menyimpan peralatan. sedangkan di bagian tepi, dinding rumah
terbuat dari kayu yang dihiasi dengan ukiran.
Pintu rumah kajang leko ada tiga macam yaitu: pintu tegak, pintu masidinding, dan pintu
balik melintang.


Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang
palamban.

Rumah Panggung Kajang Leko adalah salah satu bentuk pengejawantahan cita rasa seni,
budaya, dan keyakinan masyarakat Jambi yang tersirat mulai dari bentuk bangunan, fungsi
ruangan, seni ukiran, dll

Rumah adat Lampung



Rumah adat pribumi Lampung bernama Sessat. Bentuk bangunan dimaksud berdasarkan
keasliannya mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk panggung bertiang yang bahan bangunannya
sebagian besar terbuat dari kayu. Pada sisi bangunan tertentu ada yang memiliki ornamen
yang khas. Umumnya sessat ini berupa rumah besar. Namun dewasa ini, rumah-rumah adat
(sessat) di kampung-kampung penduduk asli Lampung sebagian besar dibangun tidak
bertiang/depok (berlantai di tanah). Sedangkan fungsinya tetap sama.Secara umum bentuk
bangunan tempat tinggal di lingkungan masyarakat pribumi Kabupaten Lampung boleh di
bilang cukup beraneka ragam. Keanekaragaman ini sesuai dengan pola serta seni pertukangan
yang ada. Kanyataan itu dapat di lihat dari keragaman bentuk rumah (bahasa daerah: rumah=
nuwo) yang didirikan oleh warga setempat sebagai tempat tinggal/berdiam, mengembangkan
keturunan/berkeluarga dan sebagainya.


Bervariasinya bentuk serta ukuran rumah merupakan keanekaragaman bangunan yang
dimiliki oleh penduduk setempat. Rumah pulalah banyak hal dapat dilakukan. Dari bentuk
serta ukuran rumah juga taraf hidup bisa di lihat. Sedangkan ukurannya tidak tentu. Bisa saja
tergantung dari luas tanah, kemampuan, kebutuhan dan lain-lain.


Sebagai tempat menetap, rumah sangat penting artinya. Namun nampaknya walaupun
demikian, bentuk-bentuknya juga dari waktu ke waktu turut mengikuti perkembangan.
Beberapa model bangunan rumah tempo dulu mempunyai karekteristik, yaitu berbentuk
panggung bertiang. Sebagai tempat tinggal, bentuk bangunan rumah masyarakat pribumi
Lampung nampaknya memiliki persamaan dengan rumah-rumah di lingkungan penduduk asli
lainnya di Provinsi Lampung. Tapi kini, nuwo-nuwo itu banyak sekali mengalami perubahan,
mulai dari bentuk bangunan yang banyak berlantai tanah/depok (tak bertiang) hingga
ornamen lainnya yang tak lagi bercirikan kultur Lampung. Peradaban telah pula membawa
perubahan terhadap seni bangunan rumah dilingkungan pribumi masyarakat Lampung yang
semakin majemuk.

Anda mungkin juga menyukai