Anda di halaman 1dari 10

Rumah Adat Takpala (Abui)

1. Asal-Usul
Kampung tradisional Takpala adalah sebuah permukiman adat yang berlokasi di Desa
Lembur Barat, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur
(NTT). Masyarakat Alor pada awalnya dibentuk berdasarkan keluarga inti yang terdiri
dari bapak, ibu, dan anak. Keluarga inti ini secara tradisional memilih tempat menetap
yang berpisah-pisah. Namun, sering juga didapati beberapa keluarga yang hidup bersama-
sama dan membentuk klan yang tidak lain merupakan perluasan dari keluarga inti.
Klan adalah kesatuan geneologis yang menetap di satu tempat tinggal dan menunjukkan
adanya integrasi sosial serta merupakan kelompok kekerabatan yang besar. Kelompok
kekerabatan dalam suatu klan biasanya terdiri dari semua keturunan seorang nenek
moyang yang diperhitungkan dari garis keturunan laki-laki atau bisa juga wanita. Dalam
tradisi masyarakat Alor, pembentukan klan didasarkan dari garis keturunan ayah dan
masing-masing menetap di dalam satu rumah adat
Penduduk yang mendiami kampung Takpala di Kabupaten Alor adalah Suku Abui.
Menurut kepercayaan warga lokal, Suku Abui adalah suku pendiri kerajaan tertua di Alor
yang dibangun di pedalaman pegunungan Alor, yaitu Kerajaan Abui. Meski pada
akhirnya riwayat Kerajaan Abui berakhir, namun Suku Abui masih tetap eksis. Besar
kemungkinan, orang-orang Suku Abui yang mendiami wilayah Takpala sekarang adalah
keturunan dari penduduk Kerajaan Abui.
Masyarakat Suku Abui dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Suku Kapitang atau suku
perang, Suku Aweni yang terdiri dari kaum raja/bangsawan, dan Suku Marang atau suku
perantara. Setiap suku memiliki kewenangan sesuai kedudukannya masing-masing.
Biasanya, ketiga kelompok suku ini saling berinteraksi saat menjalankan suatu pekerjaan.
Sebagai kalangan bangsawan, misalnya, Suku Marang memberi perintah kepada Suku
Aweni untuk disampaikan kepada Suku Kapitang agar pergi berperang.
Di kampung adat Suku Abui di Takpala masih banyak terdapat rumah tradisional yang
digunakan sebagai tempat tinggal dan kini menjadi komoditas wisata andalan Kabupaten
Alor. Masyarakat Takpala yang masih memegang teguh adat dan tradisi akan menyajikan
atraksi budayanya yang khas ketika menyambut para tamu yang datang. Keramahan dan
kehangatan dari penduduk lokal inilah yang membuat Takpala sering dikunjungi para
pelancong, petualang, serta peneliti dari dalam dan luar negeri.
Salah satu keunikan yang menjadi daya tarik kampung Takpala adalah rumah adat Suku
Abui. Rumah adat ini berupa rumah panggung dan berbentuk seperti piramida. Secara
umum, rumah adat di Takpala terdiri dari tiga macam, yakni rumah adat Kolwat,
Kanuarwat, dan rumah gudang atau Fala. Ketiga bangunan tradisional ini memiliki fungsi
dan peran masing-masing dalam kehidupan keseharian maupun untuk kebutuhan ritual
masyarakat Suku Abui. Saat ini, di kampung tradisional Takpala terdapat 12 hingga 15
rumah adat yang masing-masing dihuni oleh sekitar 13 kepala keluarga.
Tata letak bangunan tradisional Takpala cukup unik dan menarik. Rumah-rumah adat itu
didirikan dan disusun dengan pola menyebar di mana bangunan-bangunan itu dibangun
mengelilingi topografi tanahnya. Pola pengaturan bangunan yang seperti ini dikenal
dengan pola linear. Rumah-rumah adat Suku Abui di Takpala didirikan dalam posisi
menghadap ruang bersama yang disebut Mesang sebagai tempat berkumpul seluruh
warga Suku Abui.
Sentral dari susunan penataan rumah-rumah adat Takpala adalah Mesbah, yakni tiga batu
bersusun yang disucikan oleh warga Suku Abui. Rumah-rumah adat Suku Abui dibangun
dengan posisi menghadap Mesbah yang terletak di tengah-tengah Mesang. Selain itu,
posisi rumah adat juga simetris terhadap peletakan bangunan lainnya, yakni didirikan di
sisi kiri sisi kanan Mesang Keberadaan rumah adat Suku Abui di Takpala tidak berdiri
sendiri. Rumah adat Suku Abui menjadi bagian dari rangkaian pola permukiman adat
sebagai salah satu unsur penting dari sejumlah benda atau bangunan lainnya.

Warga Abui Berkumpul di Mesang dan Menghadap Mesbah


dengan Latar Belakang Rumah Adat.
2. Tenaga dan Bahan
Rumah-rumah adat yang masih banyak berdiri di Takpala dibangun secara kolektif oleh
sejumlah keluarga inti yang membentuk satu klan kecil. Di lingkungan perkampungan
Suku Abui di Takpala, beberapa klan kecil ini hidup berdampingan di satu lingkungan
yang sama di mana rumah-rumah mereka didirikan dengan posisi menghadap ke Mesang
dan Mesbah. Tiap-tiap klan kecil menempati satu rumah adat yang disebut Fala (rumah
gudang), yakni rumah tinggal yang juga berfungsi ganda sebagai tempat penyimpanan
benda-benda berharga dan persediaan bahan makanan. Fala adalah salah satu dari tiga
rumah adat yang dikenal dalam Suku Abui. Kedua rumah adat Suku Abui yang lain akan
dijelaskan pada bagian berikutnya.
Bahan yang digunakan untuk membuat rumah panggung Suku Abui di Takpala adalah
kayu, bambu, serta rumput ilalang sebagai bahan dinding dan atap. Sebagai penopang
agar bangunan dapat berdiri tegak adalah enam tiang yang terbuat dari kayu merah (Jata,
2007). Masing-masing tiang diberi papan yang berfungsi untuk menghadang hama tikus.
Untuk membangun kerangka rumah, digunakan kayu dan bambu yang diikat dengan tali
dari tanaman merambat yang diambil dari hutan. Tali yang sama namun dengan ukuran
yang lebih kecil juga digunakan untuk mengikat lantai bambu, sedangkan untuk tiang
utama digunakan tali pengikat yang lebih besar. Anyaman bambu yang disusun secara
melebar memang digunakan sebagai bahan untuk melapisi lantai di bagian dalam rumah.
Keistimewaan dari rumah adat Suku Abui adalah rumah-rumah itu dibangun dan bisa
berdiri tegak tanpa menggunakan paku.
Bangunan Suku Abui juga memanfaatkan tanah tebal untuk melapisi bagian lantai yang
digunakan sebagai tempat tungku untuk keperluan dapur. Rumah adat Suku Abui tidak
mempunyai ventilasi sehingga ruangan akan dipenuhi asap pada saat melakukan aktvitas
memasak di dapur. Namun, asap tersebut akan hilang perlahan-lahan dengan sendirinya
melalui dinding alang-alang yang tebal. Jadi, tidak mengherankan jika dinding ruangan di
dalam rumah menjadi berwarna hitam pekat. Penduduk setempat meyakini bahwa lapisan
hitam yang gelap itu justru akan membuat dinding semakin kuat. Kenyataannya memang
demikian, dinding dan atap rumah adat Suku Abui yang terbuat dari alang-alang itu
cukup kokoh menahan terpaan air hujan.
3. Persiapan dan Pemilihan Tempat
Dalam tradisi adat Suku Abui, membangun rumah adat bukan hanya terkait dengan
persoalan fisik semata. Proses mendirikan rumah adat bagi Suku Abui di Takpala tidak
cuma sekadar menegakkan tiang sebagai tonggak, memasang atap, ataupun merapikan
lantai. Lebih dari hal-hal yang bersifat teknis, pembangunan rumah adat Suku Abui juga
memerlukan ritual persiapan dan dukungan sosial dari seluruh komponen masyarakat.
Ritual dan dukungan sosial yang melibatkan banyak orang itu terlihat dari prosesi Tari
Lego-Lego yang wajib dilakukan sebelum, selama, dan sesudah pembangunan rumah
adat.
Tari Lego-Lego adalah tarian sakral yang menjadi ciri khas warga Suku Abui. Dalam
tiap-tiap acara adat yang dihelat warga Suku Abui, termasuk dalam pembangunan rumah
adat, tarian ini menjadi ritual yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi orang-orang Suku
Abui, Tari Lego-Lego merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan. Para
penari Lego-Lego, kaum pria maupun wanita, memakai busana adat Suku Abui. Selain
itu, rambut kaum perempuan dibiarkan terurai. Di kaki para penari dipasang gelang perak
yang akan memantulkan bunyi gemerincing jika digerakkan. Tetabuhan gong dan
gendang dari kuningan (moko) mengiringi aksi para penari yang bergerak rancak sambil
mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa adat setempat.Demikianlah, tarian suci
ini dilakukan pada saat-saat tertentu dan mengiringi proses pembangunan rumah adat
Suku Abui di Takpala.
Sedangkan mengenai pemilihan tempat, rumah adat Suku Abui harus didirikan dengan
menghadap ke ruang umum. Di tengah-tengah ruang publik itu telah ditempatkan
tumpukan batu Mesbah yang menjadi sentral kehidupan adat Suku Abui. Salah satu pintu
rumah Suku Abui harus menghadap ke arah Mesang dan Mesbah sehingga tata letak
rumah-rumah di permukiman masyarakat adat Takpala terlihat berjajar melingkar dengan
mengelilingi Mesang dengan Mesbah sebagai pusatnya.

Tari Lego-Lego, Mengiringi Pembangunan Rumah Adat


4. Pola Susunan Rumah Adat
Terdapat komponen-komponen penting yang membentuk pola perkampungan masyarakat
Suku Abui di Takpala, antara lain:
a. Mesang
Dalam pola permukiman Suku Abui di Takpala, terdapat ruang publik yang terletak di
pelataran terbuka. Ruang umum inilah yang disebut sebagai Mesang yang letaknya sangat
strategis. Mesang berfungsi sebagai sarana komunikasi atau kontak sosial di dalam
kehidupan bermasyarakat Suku Abui di Takpala. Pelataran Mesang berbentuk agak bulat
telur (oval) dengan diameter memanjang kurang lebih 12 meter. Di tengah-tengah
Mesang inilah ditempatkan Mesbah yang berupa tumpukan batu. Rumah-rumah adat di
Takpala didirikan melingkar di sepanjang tepi Mesang dengan mengelilingi Mesbah yang
berfungsi sebagai pusat.
Pada upacara-upacara adat Suku Abui, Mesang biasanya digunakan untuk tempat duduk
warga Suku Abui atau sebagai tempat melakukan pementasan seni budaya, seperti Tari
Lego-Lego dan lain-lainnya. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai ruang publik,
Mesang juga merupakan altar suci yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara-
upacara adat yang bersifat religius.
b. Mesbah
Seperti yang telah sedikit dijelaskan pada bagian sebelumnya, Mesbah merupakan sentral
dari susunan penataan rumah-rumah adat di Takpala. Mesbah berupa tiga batu bersusun
yang disucikan oleh warga Suku Abui, di mana rumah adat dibangun dengan posisi
menghadap Mesbah yang terletak di tengah-tengah Mesang. Antara Mesbah dan Mesang
memang terdapat hubungan yang sangat erat dalam tradisi Suku Abui.
Mesbah terbuat dari batu kali atau lempengan-lempengan batu yang ditumpuk dalam
posisi melingkar, oval, atau persegi. Oleh para ahli arkeologi, Mesbah diyakini sebagai
salah satu produk peradaban megalitikum (zaman batu besar). Ukuran Mesbah bervariasi,
misalnya Mesbah yang ada di Takpala memiliki ukuran tinggi 70 cm dengan diameter
185 cm. Pada bagian atas atau puncak Mesbah ditanam tiga buah batu dalam posisi
berdiri sehingga menyerupai menhir (tugu batu) yang oleh masyarakat setempat disebut
dengan nama kameng halifi. Tradisi mengeramatkan Mesbah sebenarnya tidak hanya
berlaku di Takpala saja, melainkan dikenal juga di beberapa tempat atau suku lain yang
ada di Kabupaten Alor. Meskipun kini sudah banyak penduduk Alor yang memeluk
agama Islam, namun peran Mesbah seolah-olah tidak tergantikan dan masih disucikan
sebagai sarana mediasi antara manusia dengan dewa atau arwah nenek moyang.
Fungsi utama Mesbah adalah sebagai tempat upacara atau altar pemujaan yang sifatnya
sangat sakral, yakni seperti upacara menolak bala, upacara mengusir wabah, upacara
memohon kesuburan tanaman, upacara memohon keberhasilan dalam perang, pertemuan
atau rapat para tetua adat, dan lain sebagainya. Pada zaman dahulu, upacara-upacara ini
biasanya disertai dengan mengorbankan binatang, bahkan manusia, dan menggunakan
berbagai kelengkapan upacara lainnya seperti sirih, pinang, nasi, dan telur, dengan
diiringi pengucapan doa-doa oleh seorang pemimpin upacara yang disebut Marang.
Konon, Mesbah yang sudah ada sejak zaman prasejarah tersebut dibangun dengan
mengorbankan kepala manusia sebagai tumbal. Menurut cerita rakyat yang beredar, pada
zaman dahulu Mesbah digunakan untuk menanam kepala musuh yang kalah perang. Oleh
sebab itu, Mesbah menjadi benda yang dikeramatkan Suku Abui. Mesbah yang berjumlah
tiga merupakan simbol dari tiga kelompok dalam Suku Abui, antara lain Suku Kapitang
(suku perang), Suku Aweni (suku raja/bangsawan), dan Suku Marang (suku perantara).
Saat menarikan Lego-Lego, Suku Abui mengelilingi Mesbah sebagai tanda
penghormatan.
c. Rumah Adat Kolwat
Seperti diketahui, keberadaan Mesang dan Mesbah terkait erat dengan tata letak
pembangunan rumah adat Suku Abui di Takpala. Rumah-rumah adat harus dibangun
dengan posisi melingkari Mesang dan menghadap ke Mesbah sebagai sentral. Rumah
adat Suku Abui di Takpala terdiri dari tiga macam rumah, yakni sepasang rumah yang
disebut Kolwat dan Kanurwat di mana keduanya dibangun dengan saling berdampingan,
dan sebuah rumah lagi yang disebut Fala atau rumah gudang. Kompleks rumah-rumah
adat ini merupakan pusat segala kegiatan Suku Abui, terutama dalam urusan adat yang
pengaturannya dipimpin oleh kepala suku.
Rumah adat Kolwat dan Kanurwat hanya berfungsi pada saat diadakan upacara-upacara
adat. Rumah adat Kolwat boleh dimasuki oleh siapa saja tanpa kecuali, baik pria, wanita,
ataupun anak-anak. Rumah adat ini dibangun secara sederhana dengan bentuk bujur
sangkar dan biasanya berukuran kurang lebih 3,70 x 3,70 meter. Bentuk bujur sangkar
merupakan cerminan ruang dalam rumah adat Kolwat, yakni terbagi menjadi dua oleh
sirkulasi yang letaknya di tengah ruangan dengan membujur dari timur ke barat.
Di bagian utara rumah adat Kolwat terdapat sebuah balai-balai bambu yang tingginya
kurang lebih 0,65 meter dari permukaan lantai. Balai-balai ini biasanya digunakan
sebagai tempat duduk warga Suku Abui ketika diadakan pesta atau upacara adat.
Sedangkan di sebelah kanan rumah terdapat bilik kecil yang dibatasi oleh dinding yang
terbuat dari anyaman bambu. Di dalam bilik ini juga terdapat sebuah balai-balai
berukuran kecil. Sementara di sisi sebelah barat terdapat tangga dari bambu yang
menghubungkan lantai dasar dengan loteng di atasnya. Loteng ini digunakan sebagai
tempat penyimpanan perabotan atau perlengkapan yang akan digunakan pada waktu
pelaksanaan upacara adat.
d. Rumah Adat Kanurwat
Berbeda dengan rumah adat Kolwat yang bisa dimasuki siapa saja, rumah adat Kanurwat
memiliki aturan yang lebih ketat. Menurut kepercayaan Suku Abui, tidak semua orang
boleh menginjakkan kaki di rumah adat Kanurwat. Anak-anak dan perempuan dilarang
keras memasuki rumah ini. Apabila aturan tersebut dilanggar, maka dapat menimbulkan
penyakit di mana proses penyembuhannya harus dilakukan dengan upacara adat.
Kalangan yang paling berhak memasuki rumah adat Kanurwat adalah anak sulung laki-
laki, tetua adat, dan pemimpin upacara adat. Dengan demikian, Kanurwat adalah rumah
adat yang paling disakralkan dalam tradisi Suku Abui karena selain menjadi salah satu
bagian penting dalam pelaksanaan upacara adat Suku Abui, rumah adat Kanurwat juga
berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai benda-benda pusaka Suku Abui, seperti
moko, periuk, tombak, dan perlengkapan upacara adat lainnya yang diwariskan secara
turun-temurun.

Rumah Adat Kanurwat


Bentuk rumah adat Kanurwat sama persis dengan rumah adat Kolwat, yaitu bujur sangkar
dengan ukuran kurang lebih 3,70 x 3,70 meter. Perbedaannya terletak pada penempatan
tiang utama dan letak pintu. Tiang utama pada rumah adat Kolwat terletak di bagian
keempat sudut atau pojok bagian luar bangunan, sedangkan tiang utama pada rumah adat
Kanuarwat berada di dalam ruangan. Demikian juga dengan posisi pintunya. Jika pada
rumah adat Kolwat pintunya membuka ke arah ke timur dan barat, maka pada rumah adat
Kanuarwat salah satu pintunya menghadap ke barat atau ke arah rumah adat Kolwat,
sedangkan satu pintu yang lain menghadap ke utara atau ke arah Mesbah dan Mesang.
Tidak ada dinding permanen yang menjadi sekat di ruang dalam rumah adat Kanuarwat.
Ruangan dalamnya terbuka dan di tengah-tengah ruangan terdapat balai-balai dari bambu
yang tingginya kurang lebih 65 cm dari permukaan lantai. Di atas balai-balai tersebut
terdapat sebuah tempat, disebut para-para, yang digantungkan pada balok loteng.
Di para-para inilah diletakkan benda-benda pusaka, perlengkapan upacara adat, serta
barang-barang suci lainnya. Selain itu, di sisi sebelah barat, tepat di samping tiang utama
bagian belakang, terdapat sebuah tangga bambu yang menghubungkan dengan loteng di
atasnya. Loteng ini juga digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka.
e. Fala (Rumah Gudang dan Rumah Tinggal)
Meskipun dinamakan Fala atau rumah gudang, tetapi justru bangunan inilah yang
dijadikan sebagai rumah tinggal oleh masyarakat Suku Abui di Takpala. Penamaan rumah
gudang sebenarnya selaras dengan salah satu fungsi Fala, yakni sebagai lumbung untuk
tempat penyimpanan hasil pertanian, seperti padi dan jagung. Di bagian ujung atas tiang
utama Fala ditempatkan penghalau hama tikus.
Secara umum, Fala berbentuk bujur sangkar yang ukurannya bervariasi, tergantung
kemampuan ekonomi pemilik rumah. Sedangkan secara vertikal, Fala berbentuk rumah
panggung dan terdiri dari beberapa tingkat ruang yang memiliki fungsi masing-masing.
Di ruang paling dasar terdapat siwo atau kolong sebagai tempat untuk memelihara
binatang ternak. Sedikit di atas siwo terdapat ruang tengah yang disebut liktaha. Ruangan
ini berupa balai-balai terbuka tanpa dinding penyekat. Di dalam liktaha terdapat dua
serambi yang disebut likhomi dan likhabang. Likhomi biasanya digunakan untuk
membersikan hasil panen sebelum disimpan atau sebagai tempat pengolahan makanan
sebelum dimasak. Sedangkan likhabang berfungsi sebagai sebagai ruang untuk bersantai
kaum pria dan sebagai tempat menjamu tamu, serta terkadang juga digunakan sebagai
tempat tidur untuk tamu laki-laki.
Ruangan di atas liktaha adalah falah omi, yaitu ruang keluarga. Kegiatan keluarga seperti
tidur, makan, dan aktivitas bersama lainnya dilakukan di ruang ini. Falah omi juga
difungsikan sebagai dapur dan tempat penyimpanan perabotan rumah tangga. Ruangan
ini tertutup atap dan tidak memerlukan dinding penyekat. Falah omi adalah ruang terbuka
yang berpusat pada perapian yang terletak di tengah-tengah ruangan. Dengan kata lain,
tidak ada pembagian ruang secara permanen yang membedakan antara area pribadi
dengan area umum di dalam tata letak ruang falah omi.
Tingkat berikutnya adalah ruang yang disebut akui taha. Ruangan ini berfungsi sebagai
lumbung untuk menyimpan hasil pertanian. Masih terdapat satu loteng lagi yang berada
di atas akui taha, yaitu akui kiding atau loteng kecil. Sama seperti akui taha, loteng kecil
juga digunakan untuk menyimpan hasil pertanian, namun penggunaannya dikhususkan
bagi anak lelaki yang belum menikah. Selain itu, akui kiding juga digunakan untuk
menyimpan barang-barang berharga.

Permukiman Adat Suku Abui di Takpala

5. Ragam Hias
Ragam hias yang paling mencolok dalam susunan rumah adat Suku Abui di Takpala
terutama yang terdapat pada rumah adat Kanuarwat di mana ragam hias pada bangunan
tradisional ini dapat ditemukan pada tiang-tiang penunjang, balok, dan bingkai daun pintu
bagian luar. Ragam hias juga terdapat pada lik, yakni podium atau panggung, yang pada
umumnya berbentuk geometris seperti belah ketupat, segi tiga, lingkaran, dan elips,
dengan pilihan warna tertentu. Warna dasar yang paling umum digunakan adalah hitam,
putih, merah hati, dan kuning. Warna-warna yang diambil dari jenis tanah tertentu ini
hampir selalu merupakan satu rangkaian dalam satu ragam hias dan ditempatkan secara
berselang-seling.
Komposisi gelap dan terang dalam pemberian warna juga cukup diperhatikan sehingga
seringkali ditemukan penekanan warna pada bagian-bagian tertentu. Penekanan itu
misalnya seperti yang terlihat pada pintu yang warnanya terlihat lebih menonjol atau
lebih terang daripada bagian rumah lainnya. Bahkan untuk lebih menegaskan kesan
terang, pada sisi kiri dan kanan pintu dipasang masing-masing dua papan berwarna putih
mencolok.
Ragam hias utama yang mencolok adalah bentuk dasar dari rumah adat itu sendiri, yakni
berwujud rumah panggung yang terbuat dari bahan dasar bambu dengan bentuk rumah
menjulang ke atas seperti piramida dan beratapkan ilalang. Di bagian atas rumah terdapat
ornamen berbentuk tangan terbuka. Ornamen ini dimaknai sebagai simbol permohonan
berkah kepada Yang Maha Kuasa.
6. Nilai-Nilai
Cukup banyak nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam susunan pola permukiman ,
termasuk rumah adat, masyarakat Suku Abui di Takpala, Kabupaten Alor, NTT. Salah
satu unsur yang paling berpengaruh dalam pembangunan rumah adat di Takpala adalah
Tari Lego-Lego yang wajib ditarikan beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu selama
pembangunan rumah. Tari ini merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan
Suku Abui. Oleh karena itu, tarian ini harus dilakukan secara massal yang melibatkan
seluruh warga. Orang-orang Suku Abui menarikan Lego-Lego dalam formasi melingkar
dan saling bergandengan tangan. Aksi utama tarian bermula dari gerakan mengelilingi
Mesbah yang sudah dipenuhi tumpukan batu dengan pohon beringin di tengahnya. Dalam
satu pertunjukan, Tari Lego-Lego yang dilakukan dengan mengelilingi Mesbah ini bisa
berlangsung sepanjang malam. Tak jarang para pelakunya menari dalam
keadaan trance atau kerasukan arwah leluhur alias roh halus.
Mesbah sendiri memiliki nilai-nilai yang tidak kalah penting bagi segenap warga Suku
Abui. Selain sebagai benda yang paling dianggap suci dan sebagai sentral kehidupan adat
Suku Abui, Mesbah yang berupa tiga batu bersusun juga menjadi simbol kekuatan tiga
sub Suku Abui yang ada di Takpala, yakni Suku Kapitang, Suku Aweni, dan Suku
Marang yang memiliki peran dan wewenang masing-masing dalam kehidupan keseharian
di lingkungan perkampungan Takpala. Selain itu, antara Mesbah dan ruang publik
(Mesang) terdapat hubungan yang sangat erat dalam tradisi Suku Abui. Dua perangkat
budaya ini menjadi simbol persekutuan serta pusat pembentukan mental dan spiritualitas
yang beradab.
Nilai-nilai filosofis pun terkandung pula dalam rumah adat Suku Abui. Misalnya dari segi
bentuk, di mana ketiga jenis rumah adat Suku Abui (rumah adat Korwat, Kanurwat, dan
Fala) berupa rumah panggung dengan beberapa tingkat, serta fisik bangunannya
menjulang ke atas seperti piramida dengan ornamen berbentuk tangan terbuka yang
terdapat di bagian paling atas atau di puncak rumah. Bentuk tangan mengadah seperti
sikap orang yang sedang meminta tersebut mengandung arti bahwa Suku Abui senantiasa
memohon perlindungan dan kesejahteraan kepada para dewa.
Tingkat-tingkat rumah panggung Suku Abui juga mengandung pemaknaan filosofis
khusus. Tingkat-tingkat tersebut, biasanya berjumlah 3 hingga 4 tingkat, melambangkan
tiga zona kehidupan yang terdapat dalam kepercayaan masyarakat Suku Abui. Seperti
yang berlaku untuk Fala atau rumah gudang, ruangan di bagian paling bawah rumah
panggung atau lantai dasar merupakan bagian kehidupan untuk hewan-hewan ternak.
Sementara satu atau dua lantai di atas lantai dasar diperuntukkan bagi manusia sebagai
ruang aktivitas keluarga. Sedangkan lantai paling atas merupakan tempat yang
dipersembahkan untuk dewa-dewa atau roh leluhur. Hal itu ditandai dengan penggunaan
lantai atas sebagai ruang untuk menyimpan benda-benda pusaka yang hanya dikeluarkan
ketika diadakan upacara-upacara adat.
Upacara Adat Suku Abui
7. Penutup
Kedudukan rumah adat Suku Abui yang berada di perkampungan tradisional Takpala,
Kabupaten Alor, NTT, sangat berkaitan erat dengan pola permukiman di lingkungan
kampung itu sendiri. Terdapat beberapa elemen penting yang menyusun pola
permukiman dan mempengaruhi kehidupan adat di Takpala. Elemen-elemen itu antara
lain Mesang, Mesbah, serta tiga jenis rumah adat Suku Abui, yaitu rumah adat Kolwat,
Kanurwat, dan Fala. Selain itu, tarian adat Lego-Lego dan sejumlah perangkat yang
digunakan untuk ritual adat, juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola
permukiman dan gaya hidup masyarakat adat Suku Abui.

Anda mungkin juga menyukai