Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

Abstrak...............................................................................................................................
1
Sejarah Corporate Social Responsibility.........................................................................
1
Pengertian Corporate Social Responsibility...................................................................
2
Teori Ekonomi Politik.......................................................................................................
4
Teori Legitimasi.................................................................................................................
5
Teori Stakeholder...............................................................................................................
7
Teori Institusional..............................................................................................................
9
Pelaporan Sosial dan Lingkungan...................................................................................
10
Keterbatasan akuntansi keuangan Tradisional dalam menangkap dan melaporkan
kinerja sosial dan lingkungan...........................................................................................
10
Mengapa harus melaporkan (why stage)?......................................................................
11
Siapa yang harus diberi laporan (who stage)?................................................................
12
Untuk isu sosial dan lingkungan apa perusahaan harus bertanggung jawab dan
akuntabel (what stage)?....................................................................................................
13
Alasan terkait CSR dengan bisnis....................................................................................
16
Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam melaksanakan CSR................................
16

Indikator keberhasilan CSR.............................................................................................


18
Review jurnal An Examination Of The Corporate Social and enviromental
disclosures of BHP From 1983-1997 A Test of legitimacy theory................................
20
Daftar Pustaka...................................................................................................................
24

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY


ABSTRAK
Makalah ini dibuat untuk menjelaskan arti penting dari CSR. CSR adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari strategi bersaing jagka panjang yang berorientasi pada avokasi
pendampingan & kebijakan publik. Konsep CSR pertama kali muncul pada tahun 1953
dalam tulisan social responsibility of the businessman. Dan juga alasan kenapa
perusahaan pertama kali menerapkan CSR karena hasil survey "The Millenium Poll on
CSR" (1999) mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak
terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) akan paling berperan, dan juga kebanyakan konsumen akan lebih mendukung
perusahaan yang melakukan CSR. Dalam mendefenisikan CSR dapat menggunakan 4
teori yaitu teori ekonomi politik, teori legitimasi, teori stakeholder, dan teori
institusional.CSR dilaporkan pada stakeholder karena secara langsung atau tidak

langsung kegiatan operasional perusahaan akan berdampak selain pada perusahaan


melainkan kepada lingkungan sekitarnya juga.
1. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
1.1 Sejarah Corporate Social Responsibility
Istilah CSR pertama kali menyeruak dalam tulisan Social Responsibility of the
Businessman tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini
menjawab keresahan dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi
penawar kesan buruk perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat dan lebih dari
itu pengusaha di cap sebagai pemburu uang yang tidak peduli pada dampak kemiskinan
dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana, istilah CSR amat marketable melalu
CSR pengusaha tidak perlu diganggu perasaan bersalah.
Menurut Gaffikin (2008 : 201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis
sudah ada pada zaman Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan
standar yang tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di
Eropa, Gereja mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan
kode moral Gereja. Isu ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun
1960. Pada tahun 2000 perhatian serupa diberikan oleh Global Reporting Initiative
(GRI), sebagai bagian dari program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
memberikan pedoman SR yang meliputi tiga elemen, yaitu ekonomi, lingkungan, dan
sosial yang selanjutnya direvisi pada tahun 2002 (Satyo, 2005).
CSR merupakan tanggung jawab aktivitas sosial kemasyarakatan yang tidak hanya
berorientasi profit. John Elkington dalam buku Triple Bottom Line dengan 3P tipe
yaitu:
a. Profit Mendukung laba perusahaan
b. People Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. Planet meningkatkan kualitas lingkungan
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang
berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan
berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering
diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate
community relations, dan community development.

Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau
pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate
philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan
tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple
Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington. Mengembangkan
tiga

komponen

penting

sustainable

development,

yakni

economic

growth,

environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on
Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington
mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang
baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat
(people).
1.2 Pengertian Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) ialah sebuah pendekatan dimana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial di dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi
mereka dengan para stakeholder berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan
(Nuryana, 2005).
Menurut Zadek, Fostator, Rapnas CSR adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
strategi bersaing jagka panjang yang berorientasi pada avokasi pendampingan &
kebijakan publik. CSR (Program Corporate Social Reponsibility) merupakan salah satu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undangundang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam
sidang paripurna DPR.
Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan
lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2
mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai
sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa Setiap penanam
modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Namun UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara
tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Tentu saja kedua ketentuan undang-undang
tersebut diatas membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha swasta lokal.
3

Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang
polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai
sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen
perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar
kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik
bahwa perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti
perusahaan ataupun penanam modal

dibenarkan mencapai keuntungan dengan

mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait. Corporate Social


Responsibility (CSR) merupakan sebuah fenomena dan strategi yang digunakan
perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR
dimulai sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang
adalah lebih penting daripada sekedar profitability perusahaan. Kegiatan CSR akan
menjamin keberlanjutan bisnis yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena :
1. Menurunnya gangguan social yang sering terjadi akibat pencemaran lingkungan,
bahkan dapat menumbuh kembangkan dukungan atau pembelaan masyarakat
setempat.
2. Terjaminnya pasokan bahan baku secara berkelanjutan untuk jangka panjang.
3. Tambahan keuntungan dari unit bisnis baru, yang semula merupakan kegiatan
CSR yang dirancang oleh korporat.
Adapun 5 pilar yang mencakup kegiatan CSR yaitu:
1. Pengembangan kapasitas SDM di lingkungan internal perusahaan maupun
lingkungan masyarakat sekitarnya.
2. Penguatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan wilayah kerja perusahaan.
3. Pemeliharaan hubungan relasional antara korporasi dan lingkungan sosialnya
yang tidak dikelola dengan baik sering mengundang kerentanan konflik.
4. Perbaikan tata kelola perusahaan yang baik
5. Pelestarian lingkungan, baik lingkungan fisik, social serta budaya.
2. KEPUTUSAN PELAPORAN PERUSAHAAN YANG TIDAK DIATUR:
PERTIMBANGAN SISTEM TEORI BERORIENTASI
2.1 Teori Ekonomi Politik
Gray, Owen, dan Adams (1996) mengungkapkan bahwa teori ini merupakan systemoriented theories yang berarti menunjukkan peran informasi dan memberikan hubungan

antara pengungkapan pada organisasi, wilayah, individu dan kelompok. Sehingga dalam
teori ini dijelaskan tentang munculnya laporan pertanggungjawaban sosial (corporate
social responsibility/ CSR). Laporan tersebut, menurut Guthrie dan Parker (1990),
adalah alat untuk mengkonstruksi, menopang dan melegitimasi perjanjian ekonomi,
politik dan ideologi yang berkontribusi pada kepentingan korporasi dengan menyajikan
pandangan yang lebih luas tentang dampak operasi perusahaan dan informasi yang
dipilih untuk diungkapkan. Oleh karena itu, laporan ini pun tidak bisa dikatakan netral
dan tidak bias, namun hanya merupakan mediasi dan akomodasi dari berbagi
kepentingan. Dalam teori ini, dikenal dua pandangan yaitu:
a. Pandangan Klasik
Pandangan ini dikenalkan oleh Karl Max dan lebih terpusat pada konflik karena
adanya ketidakseimbangan akibat adanya kelas-kelas. Dalam pandangan ini
laporan keuangan dan pengungkapan digunakan untuk menjaga posisi yang
menguntungkan bagi pengontrol sumber daya dan merusak pihak-pihak yang
tidak mengontrol sumber daya.
b. Pandangan Burgeois
Pandangan ini diusung oleh Gray, Houchy, dan Flavers, lebih terpusat pada
interaksi kelompok dalam kemajemukan. Dalam pluralistik ini, menurut Lowe
dan Tinker (1977), terdapat kekuatan yang menyebar karena banyaknya individu
yang ingin menonjol dan tidak ada individu yang secara konsisten dapat
mempengaruhi masyarakat. Namun, definisi ini diungkapkan berbeda oleh Cooper
dan Sherer. Mereka berpendapat masyarakat dikendalikan oleh well-defined elite
(kelompok yang ingin menjaga dominasinya)
2.2 Teori Legitimasi
Deegan (2002) menyatakan bahwa teori legitimasi merupakan teori turunan dari teori
politik. Dalam teori ini, diakui tentang adanya benturan kekuatan yang muncul antara
masyarakat dan beberapa kelompok dalam masyarakat. Dengan memahami teori politik
ini maka peneliti dapat memahami lebih baik isu-isu sosial yang lebih luas yang
mempengaruhi operasional perusahaan dan informasi apa yang dipilih untuk
diungkapkan.
Deegan (2002) menyatakan bahwa asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah
perusahaan tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk operasional. Perusahaan

hanya diberi hak legal untuk beroperasi oleh masyarakat sebagai penyedia sumber daya.
Oleh karena itu, masyarakat pun berekspektasi lebih atas biaya yang telah mereka
keluarkan sebagai penyedia sumber daya. Itulah definisi kontrak sosial menurut
Matthews (1993). Hasilnya, perusahaan pun akan terancam keberadaannya apabila
masyarakat merasa perusahaan tidak mampu memenuhi kontrak sosial tersebut.
Deegan (2002) mengungkapkan bahwa selain dari teori politik, teori legitimasi
dipercayai merupakan turunan dari teori institusional juga (DiMaggio dan Powell,
1983). Teori institusional membuat organisasi merubah struktur operasinya untuk
sejalan dengan ekspektasi eksternal tentang bentuk struktur yang diterima (legitimasi).
Kegagalan untuk sejalan dengan ekspektasi eksternal disebut Isomorfisme (DiMaggio
dan Powell, 1983). Perbedaannya, dalam teori politik, perusahaan dirasa memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan dalam teori institusional ini
perusahaan diekspektasikan sejalan dengan norma.
Seperti yang diketahui, perusahaan beroperasi dalam batasan dan norma tertentu di
masyarakat. Batasan ini memunculkan suatu kontrak sosial yang akan selalu berubah
sehingga perusahaan harus selalu bermoral dalam operasinya untuk diakui
legitimasinya. Kontrak sosial ini mengacu pada ekspektasi masyarakat tentang
bagaimana perusahaan beroperasi. Adanya sanksi apabila perusahaan tidak mematuhi,
membuat perusahaan menyusun strategi, menurut Dowling dan Pfeffer (1975) yang
disempurnakan oleh Lindbolm (1994), sebagai berikut:
a. Menginformasikan tentang relevansi publik, perubahan aktual pada kinerja dan
aktivitas perusahaan yang dapat menunjukkan dimana kinerja dan aktivitas itu
sejalan dengan nilai dan ekspektasi masyarakat
b. Berusaha merubah persepsi relevansi publik kinerja dan aktivitas agar sesuai
dengan nilai dan ekspektasi namun tidak merubah perilaku perusahaan
c. Berusaha untuk memanipulasi persepsi dengan mengalihkan perhatian dari
masalah yang menjadi perhatian terhadap isu-isu terkait lainnya
d. Berusahalah untuk mengubah ekspektasi eksternal terhadap kinerja perusahaan.
Teori ini menyatakan bahwa pengungkapan adalah suatu strategi untuk mengatur
hubungan perusahaan dan lingkungan operasinya. Namun, dalam hal ini, perusahaan
akan menghadapi perubahan yang dinamis. Perusahaan pun merespon perubahan

dengan melakukan pengungkapan dengan karakteristik berikut (Deegan dan Gordon,


1996):
a. Peningkatan pengungkapan lingkungan perusahaan sepanjang waktu sejalan
positif dengan peningkatan level kelompok lingkungan.
b. Pengungkapan meliputi pujian terhadap diri sendiri.
c. Adanya korelasi positif antara sensitivitas lingkungan industri yang dimiliki
perusahaan dan tingkat pengungkapan lingkungannya.
Akuntansi ada untuk implementasi strategi dan melegitimasi keberadaan perusahaan
yang ditunjukkan dengan adanya variasi pengungkapan pertanggungjawaban sosial
sepanjang waktu karena adanya perubahan kebijakan demi mengurangi pandangan
negatif terhadap perusahaan. Perusahaan juga sering mengungkapkan manajemen risiko
yang dilaksanakan. Pengungkapan ini ada karena adanya ancaman yang dapat merusak
nilai perusahaan sehingga perusahaan harus dapat mengatasi melalui manajemen yang
aktif.
Tren pengungkapan juga terlihat pada perusahaan yang tertangkap basah
melakukan perusakan lingkungan. Perusahaan ini cenderung memberi pengungkapan
lebih pada pertanggungjawaban terhadap lingkungan. Pengungkapan ini diharapkan
mengembalikan legitimasi perusahaan.
Ekspektasi masyarakat diketahui oleh manajemen melalui media. Media memberikan
penekanan pada berbagai topik yang kemudian membuat topik tersebut terlihat
menonjol dan menghasilkan opini publik (media agenda setting theory). Perusahaan
pun akan semakin mengungkapkan pada aspek yang ditonjolkan oleh media tersebut.
Adanya senioritas manajer, respon kompetitor dan kekuatan prediksi konsumen
menghasilkan batasan pada teori ini. Teori ini pun memiliki persamaa dengan teori
positif dimana sama-sama menggantungkan perilaku pada masyrakat. Perbedaannya
adalah tidak adanya economic-based assumption dan efisiensi pasar.
Selain itu, Deegan (2002) juga mengungkapkan bahwa teori legitimasi ini masih
berisi beberapa kekurangan, seperti:
a. Apakah teori legitimasi ini bekerja saat media memiliki pengaruh yang lebih besar
untuk merubah pandangan masyarakat (Milne dan Patten, 2002).
b. Masih kurangnya bukti bahwa terdapat kelompok yang lebih mempengaruhi
daripada kelompok lain.

c. Bagaimana manajer dikatakan sadar tentang isu-isu di masyarakat dalam


kaitannya dengan kontrak sosial.
d. Bagaimana manajer menentukan mana relevant public yang membutuhkan lebih
banyak legitimasi.
2.3 Teori Stakeholder
Deegan (2009) mengungkapkan bahwa teori stakeholder memandang setiap
kelompok stakeholder memiliki pandangan yang berbeda terhadap organisasi.
Perusahaan pun harus mengoordinasikan semua kepentingan stakeholder termasuk jika
suatu ketika harus dilakukan pengorbanan terhadap kepentingan investor.
Deegan (2002), menyatakan bahwa stakeholder theory juga dipercaya menjadi dasar
dari teori legitimasi ini. Teori ini dibagi menjadi dua cabang, yaitu ethical branch
(normatif) dan managerial branch (positif). Ethical branch memberikan saran tentang
bagaimana tanggung jawab perusahaan yang seharusnya dalam memperlakukan
stakeholder. Stakeholder yang dimaksud adalah kelompok atau individu teridentifikasi
yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi dengan pencapaian tujuan organisasi
(Freeman dan Reed, 1983, p. 91). Clarkson (1995) membagi stakeholder menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Primer
Primer dalam hal ini merupakan stakeholder yang harus dipertimbangkan. Hal ini
disebabkan karena tanpa partisipasi stakeholder ini perusahaan tidak bisa going
concern.
b. Sekunder
Sekunder dalam hal ini terpengaruh/ mempengaruhi perusahaan tetapi tidak
terlibat transaksi dan tidak esensial dalam survival perusahaan.
Pandangan Clarkson ini ditentang karena seharusnya perusahaan mementingkan
semua stakeholder. Seharusnya perusahaan memberikan informasi tentang bagaimana
perusahan mempengaruhi mereka pada semua stakeholder walaupun stakeholder tidak
menggunakan informasi tersebut.
Perusahaan pun harus mementingkan akuntabilitas. Akuntabilitas ini tertuang dalam
accountability model (Gray, Owen, Adams, 1996) dimana perusahaan bertanggung
jawab untuk melakukan tindakan tertentu dan menyediakan informasi entang tindakan
tersebut. Dalam model ini terlihat adanya penekana pada aspek tanggung jawab yang
berarti mengabaikan aspek kebutuhan stakeholder. Hurst (1970) menambahkan
8

pentingnya akuntabilitas terkait dengan ukuran, kekuatan pasar dan dampak pada
masyarakat. Namun, perspektif ini hanya memandang apa yang seharusnya, bukan yang
sebenarnya sehingga sangat dibutuhkan pengujian.
Sedangkan dalam managerial branch penekanannya adalah adanya kebutuhan
perusahaan untuk mengatur kelompok-kelompok pemangku kepentingan, terutama
kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan sumberdaya yang dibutuhkan
dalam operasional perusahaan. Teori ini dapat membantu mengidentifikasi kelompok
mana yang mungkin relevan dengan keputusan manajemen dimana ekspektasinya harus
diberikan perhatian lebih karena adanya kontrak sosial. Oleh karena itu, pengungkapan
sebenarnya adalah keputusan strategis daripada hanya sekedar melaksanakan tanggung
jawab. Hal ini terbukti dengan berbagai penelitian, salah satunya Penelitian Neu, dkk
(1998) menunjukkan bahwa perusahaan lebih responsif pada permintaan atas pemangku
kepentingan yang terkait dengan keuangan perusahaan dan regulasi pemerintah daripada
pengamat lingkungan.
Stakeholder disini memiliki tingkatan, dimana semakin tinggi kekuatan stakeholder
semakin penting perusahaan untuk sejalan dengan kepentingannya (Roberts, 1992,
p.598). Kekuatan tersebut ada dari penguasaan atas sumber daya yang terbatas, akses
pada media yang berpengaruh, kemampuan mempengaruhi konsumsi perusahaan dan
kemampuan legislasi atas perusahaan. Karena Semakin tinggi kekuatan semakin besar
kemungkinan terjadi konflik (Ullman, 1985; Friedman dan Miles, 2002), muncullah
insentif untuk mengungkapkan informasi untuk membuktikan jika perusahaan sejalan
dengan stakeholder. Ekspektasi dan kekuatan stakeholder pun akan selalu berubah. Oleh
karena itu, penting bagi perusahaan untuk bisa beradaptasi pada operasinya (Unerman
dan Bennet, 2004; Friedman dan Miles 2002) untuk mencegah penolakan dan menjaga
posisi serta hubungan baik dengan stakeholder (Gray, dkk, 1996; Roberts 1992).
2.4 Teori Institusional
Teori ini merupakan teori pelengkap atas kedua teori diatas, teori ini memberikan
pemahaman tentang bagaimana perusahaan mengerti dan merespon perubahan sosial
dan tekanan serta ekspektasi pada institusi dengan menghubungkan pada nilai
masyarakat untuk menjaga legitimasi perusahaan.

Teori ini terbagi menjadi dua, yaitu isomorfik dan decoupling. Isomorfik terpusat
pada bagaimana perusahaan beradptasi pada berbagai tekanan institusional. Teori ini
terbagi lagi dalam:
a. Corcive
Perusahaan berubah karena tekanan oleh stakeholder yang berpengaruh.
b. Mimetic
Perusahaan berubah untuk mendapat keuntungan kompetitif yang terjadi karena
organisasi gagal mengikuti praktik inovatif pada sektor yang sama sehingga
perusahaan kehilangan legitimasi. Mimetic ada karena ada coercive.
c. Normatic
Tekanan muncul dari norma kelompok, baik formal maupun informal.
Sedangkan decoupling theory mengimplikasikan saat manajer mungkin merasa
kebutuhan atas organisasi mereka terlihat dengan mengadopsi praktek institusional
tertentu dan mungkin proses institusi formal tersebut bertujuan mengimplematasikan
praktik ini. Praktek aktual organisasi pun dapat sangat berbeda karena adanya sanksi
formal yang diumumkan pada publik atas praktik dan proses tersebut.
3. PERLUASAN SISTEM AKUNTANSI: PENDIRIAN SOSIAL DAN FAKTOR
LINGKUNGAN DALAM PELAPORAN EKSTERNAL
3.1 Pelaporan Sosial dan Lingkungan
Milton Friedman (1962) pernah mengungkapkan bahwa manajemen tidak memiliki
kewajiban moral selain memaksimalkan profit. Ia beranggapan apabila setiap orang
ingin memaksimalkan kekayaan maka perekonomian pasti akan maju. Hal ini pun
didukung dengan banyaknya pihak yang hanya memperhatikan laba tanpa melihat aspek
sosial lingkungan perusahaan. Namun, teori ini tidaklah seperti realitanya. Pada
realitanya tetap terjadi gap dan perekonomian tidak maju.
Isu sosial dan lingkungan pun mulai diperdebatkan. Perlunya laporan tentang sosial
dan lingkungan dari suatu perusahaan diawali dengan diterbitkannya Our Common
Future (1987) oleh General Assembly dari United Nations yang kemudian dikenal
dengan The Brundtland Report. Dalam bahasan ini dikenalkan istilah bahwa
perusahaan haruslah sustainable. Sustainable berarti perkembangan perusahaan
haruslah memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
di masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, sustainable
10

berarti memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.


Perusahaan yang sustainable berarti perusahaan yang mampu menghasilkan laba dengan
mengurangi dampak negatif pada sosial dan lingkungan.
3.2 Keterbatasan Akuntansi Keuangan Tradisional dalam Menangkap dan
Melaporkan Kinerja Sosial dan Lingkungan
a. Fokusnya adalah pada pihak yang terlibat pada keputusan alokasi sumber daya
atau bisa dikatakan financial interest sehingga tidak ada laporan bagi pihak yang
terkena dampak.
b. Adanya diskonto yang membuat biaya sosial lingkungan diakui sangat kecil atau
bahkan tidak diakui karena tidak bisa diselesaikan dalam beberapa waktu
mendatang.
c. Entity assumption mengakibatkan hal-hal yang tidak berdampak langsung, yaitu
sosial dan lingkungan, terhadap entitas akan diabaikan.
d. Perdagangan izin mengeluarkan polutan yang diakui sebagai aset. Pengakuan ini
dipertanyakan karena izin ini hanya rasional menurut perspektif ekonomi dan
tidak rasional menurut perspektif masyarakat.
e. Definisi aset menyebutkan bahwa aset adalah sesuatu yang dikontrol dan beban
adalah outflow, padahal lingkungan dan sosial tidak dikontrol sehingga
perusahaan bebas merusak dan tidak mengakui apapun selama tidak ada denda.
f. Aspek sosial lingkungan tidak dapat terukur.
3.3 Mengapa Harus Melaporkan (Why Stage)?
a. Terkadang tindakan perusahaan hanya berorientasi ekonomi dan tidak
mempedulikan aspek lingkungan dan sosial. Hal tersebut terbukti dari pola
konsumsi saat ini memberikan dampak negatif pada masa depan. Aktivitas
perusahaan saat ini telah melebihi kapasitas bumi, dan suatu ketika biosfer akan
mencapai titik degradasi tertinggi sehingga tidak bisa menyokong kehidupan
manusia lagi. Oleh karena itu perusahaan haruslah sustainable dengan turut serta
mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Kemiskinan dan kelaparan akan
menyebabkan manusia memandang sebagai penyedia uang gratis dan membawa
ke kerusakan lebih parah. Perusahaan juga diharapkan tidak mengkonsumsi secara
maksimal (tindakan ekonomi rasional) karena hal tersebut tidak berdampak
rasional pada global dan intergenerasi.

11

b. Ekonomi dan semua sistem sosial beroperasi di lingkungan. Kerusakan


lingkungan pun berarti kemusnahan manusia.
c. Anthony Giddens dan Ulrich
Pengungkapan CSR dapat menjadi alat manajemen risiko yang digunakan sebagai
usaha mengatasi prediksi negatif dari aktivis.
d. Bank dan asuransi mengkriteriakan perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap
lingkungan dan sosial karena memiliki risiko lebih rendah dan aset yang lebih
bersih.
e. Adanya tren yang berkembang bahwa perusahaan melaporkan CSR mereka,
karena perusahaan beranggapan apa yang menguntungkan masyarakat dan
lingkungan pasti menguntungkan pemegang saham.
f. Dengan asumsi EMH, penelitian menunjukkan bahwa:
1) Pasar bereaksi terhadap pengungkapan sosial lingkungan (Ingran, 1978;
Anderson dan Frankle, 1980).
2) Investor

bereaksi

positif

terhadap

pengungkapan

perusahaan

atas

pengelolaan limbah atau disebut ethical investor (Belkaoki, 1976; Jaggi dan
Freedman, 1982).
3) Adanya negative return pada perusahaan yang memiliki kontrol polusi
lemah (Shane dan Spicer, 1983).
4) Perusahaan yang memiliki level polusi yang sama tinggi namun
diungkapkan akan memiliki reaksi kecil daripada yang tidak diungkapkan
(Freedman dan Pattern).
5) Reaksi pasar saat terjadi bencana akan lebih kecil pada perusahaan yang
melakukan penungkapan (Blacconiare dan Pattern, 1994)
g. Sustainable development telah menjadi ekspektasi masyarakat dimana masyarakat
memiliki ekspektasi bahwa perusahaan bertanggung jawab seutuhnya atas
operasional dan produk yang tidak membahayakan lingkungan (70% dari polling
tahun 1999 oleh Environics).
h. Rintangan yang dihadapi adalah :
1) Akuntan harus meluaskan pekerjaan ke pelaporan kinerja sosial lingkungan.
2) Manusia selalu ingin mendominasi dan mengeksploitasi lingkungan
(Dillard, Brown, Marshall, 2005, p.81).
3) Adanya pengorbanan profit jangka pendek untuk memastikan laba yang
sustainable dalam jangka panjang.
12

3.4 Siapa yang Harus Diberi Laporan (Who Stage)?


a. Beck (1992, 1999) beranggapan bahwa stakeholder yang dimaksud adalah
stakeholder yang terkena dampak operasional perusahaan.
b. Menurut perspektif etis, perusahaan perlu memprioritaskan

dengan

mengidentifikasi stakeholder yang terkena dampak terbesar (Gray, et al, 1997)


dengan maksud untuk meminimalkan dampak sosial dan lingkungan.
c. Berdasar penelitian, perusahaan menganggap pemegang saham yang harus diberi
laporan karena merupakan pihak yang paling potensial terhadap profit dan
keberlanjutan perusahaan.
d. Berdasarkan perspektif etis, perusahaan berusaha memahami apa saja dampak
aktual dan potensinya untuk memberikan fokus pada CSR sehingga perusahaa
harus melibatkan masyarakat, yang hidupnya terpengaruh, dalam decision making.
Perusahaan harus mengadakan dialog intensif karena:
1) Stakeholder banyak dan tidak dapat mengekspresikan karena takut dengan
konsekuensi yang mungkin ia dapat (ODwyer, 2005)
2) Adanya stakeholder yang apatis (Adams, 2004, p.76)
3) Sulitnya menentukan apakah nerpengaruh ke masa depan.
e. Pada dasarnya, semua menyesuaikan dengan alasan perusahaan melaporkan.
3.5 Untuk Isu Sosial dan Lingkungan Apa Perusahaan Harus Bertanggungjawab
dan Akuntabel (What Stage)?
a. Sesuai dengan kebutuhan yang merupakan permintaan atau reaksi eksternal atas
informasi tertentu yang diungkapkan.
b. Terdapat beberapa persyaratan agar laporan tersebut digunakan sehingga dapat
membentuk persepsi (Deegan dan Rankin, 1997), yaitu :
1) Materialitas dari isu lingkungan untuk kelompok tertentu dalam masyarakat
yang menggunakan laporan tahunan untuk mendapat informasi.
2) Apakah informasi lingkungan dipandang dari laporan tahunan.
3) seberapa penting informasi lingkungan pada proses decision-making
dibandingkan pada informasi pertanggungjawaban sosial lainnya dan
informasi posisi dan kinerja keuangan perusahaan.
c. perusahaan haruslah akuntabel untuk semua stakeholder atas tindakan perusahaan
yang telah (atau mungkin) berdampak pada stakeholder.
3.6 Bagaimana Bentuk Pelaporannya (How Stage)?
a. Triple Bottom Line
13

Cara ini mengukur keseimbangan antara aspek ekonomi (financial secure),


sosial (sejalan dengan ekspektasi stakeholder untuk sustainable) dan lingkungan
(meminimalkan/mengeliminasi dampak negatif lingkungan). Dalam praktiknya,
cara ini :
1) berhasil membuat manajer menangkap masalah sosial dan lingkungan,
namun tetap tidak bisa melaporkannya dengan angka
2) kesulitan dalam memahami aspek memaksimalkan alam dan sosial seperti
halnya memaksimalkan laba.
3) adanya anggapan bahwa ketika tidak bisa memperlakukan ketiga aspek
tersebut secara seimbang, maka aspek tersebut tidak terinterkoneksi. Hal ini
merupakan pemahaman konsep yang salah dan berdampak pada manajemen
yang berfokus pada laba dan lebih merusak lingkungan.
b. Global Reporting Initiative (GRI)
Awalnya, metode pelaporan CSR sangatlah beragam karena bergantung dari
persepsi manajemen atas informasi yang dibutuhkan stakeholder (Solomon dan
Lewis, 2002). Pada tahun 1987 diterbitkanlah tulisan yang berjudul Our
Common Future oleh General Assembly dari United Nations. Tulisan ini
kemudian lebih dikenal dengan The Brundtland Report. Penerbitan ini diikuti
dengan diadakannya Earth Summit yang diadakan di Rio de Jenairo dan dihadiri
perwakilan pemerintah seluruh negara dan ahli sosial lingkungan. Di EU, tahun
1992, dirilis Towards Sustainability dengan salah satu isi pentingnya adalah
perintah pada akuntan untuk memperbaiki sistem costing untuk menekan biaya
lingkungan. Kemudian, sebagai tindak lanjut dari Earth Summit, tahun 2000
diterbitkan kumpulan pedoman pelaporan CSR yang kemudian dikenal dengan
Sustainability Reporting Guidelines. Hal ini merupakan jawaban untuk pelaporan
yang lebih terstruktur
GRI merupakan praktik pelaporan terbaik yang diterima umum. Dalam GRI
terdapat 50 indikator inti dan 47 tambahan pedoman yang digunakan tergantung
jenis perusahaan. Namun, perusahaan akan bertindak oportunistik dengan selektif
memilh indikator dan menggunakannya sebagai legitimasi dengan label mematuhi
pedoman GRI. Misi GRI adalah
..... harmonisasi dalam pelaporan internasional yang relevan dan kredibel tentang
informasi lingkungan, sosial dan kinerja korporasi untuk meningkatkan

14

pembuatan keputusan yang bertanggung jawab. GRI mengejar misi ini melalui
proses dialog dan kolaborasi multi-stakeholder dalam mendesain dan
mengimplementasikan pedoman pelaporan sustainability yang diterima secara
luas
Kategori pengungkapan dalam GRI berhubungan dengan:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

dampak signifikan transportasi terhadap lingkungan


isu tentang hubungan pemasok dan lingkungan
energi dan air yang dikonsumsi
emisi dan pembuangan
isu biodiversity
kepatuhan hukum
total pengeluaran lingkungan
tipe dan informasi material yang digunakan bersama dengan informasi
tentang pembuangannya

Laporan CSR yang dikeluarkan perusahaan haruslah berisi :


1)
2)
3)
4)
5)

visi dan strategi


Profil perusahaan
struktur dan sistem manajemen
Index GRI
Indikator kinerja

GRI pun diakui sebagai pedoman pelaporan CSR berterima umum. Atribut
komparabilitas adalah sesuatu yang diusung GRI. GRI juga mengusung
karakteristik kualitatif, seperti halnya laporan keuangan, meliputi transparansi,
auditabilitas, relevansi, kelengkapan, konteks sustainability, ketepatan, netralitas,
reliabilitas, kejelasan, ketepatan waktu, dan verifiabilitas. Area lain yang
diperhitungkan GRI adalah assurance proses untuk meningkatkan kredibilitas dan
kualitas laporan.
c. Audit Sosial
Menurut Elkington (1997, p.88) tujuan dari audit sosial adalah menilai kinerja
dalam hubungannya dengan kebutuhan dan ekspektasi. Audit sosial diharapkan
menghasilkan statement of assurance yang merupakan dasar dari laporan sosial
yang diterbitkan untuk publik dan dasar untuk berdialog dengan stakeholder.
Kriteria audit sosial adalah berdasar materialitas, kelengkapan dan kemampuan
reaksi. Namun, tidak semua mampu menyediakan organisasi karena bergantung
pada tipe perusahaannya (Owen dan ODwyer, 2005). Terdapat dua tipe dalam
lingkup audit sosial, yaitu:
1) Audit Sosial
15

Audit sosial seringkali digunakan oleh MNC dan dilaksanakan bersamaan


dengan audit laporan keuangan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
legitimasi, aspek sustainable dan transparansi. Hal ini dilakukan dengan
cara mengadopsi pendekatan hati-hati dengan sebagian besar berfokus pada
masalah konsistensi informasi yang muncul dalam laporan organisasi
dengan kumpulan data yang mendasari.
2) Konsultasi sosial dan lingkungan
Dalam lingkup ini penekanan laporan CSR lebih ke aspek kelengkapan,
fairness, keseimbangan menyeluruh dan pengungkapan kelemahan dari
pelaporan.
4. Alasan Terkait CSR dengan Bisnis
Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics
International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business
Leader Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa
dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis,
praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40%
lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan
mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental
seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.Lebih
lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah
ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang
bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan
tersebut.
5. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipegang dalam Melaksanakan CSR
Prinsip pertama adalah kesinambungan atau sustainability. Ini bukan berarti
perusahaan akan terus-menerus memberikan bantuan kepada masyarakat. Tetapi,
program yang dirancang harus memiliki dampak yang berkelanjutan. CSR berbeda
dengan donasi bencana alam yang bersifat tidak terduga dan tidak dapat di prediksi. Itu
menjadi aktivitas kedermawanan dan bagus.
Prinsip kedua, CSR merupakan program jangka panjang. Perusahaan mesti
menyadari bahwa sebuah bisnis bisa tumbuh karena dukungan atmosfer sosial dari
16

lingkungan di sekitarnya. Karena itu, CSR yang dilakukan adalah wujud pemeliharaan
relasi yang baik dengan masyarakat. Ia bukanlah aktivitas sesaat untuk mendongkrak
popularitas atau mengejar profit.
Perinsip ketiga, CSR akan berdampak positif kepada masyarakat, baik secara
ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Perusahaan yang melakukan CSR mesti peduli
dan mempertimbangkan sampai kedampaknya.
Prinsip keempat, dana yang diambil untuk CSR tidak dimasukkan ke dalam cost
structure perusahaan sebagaimana budjet untuk marketing yang pada akhirnya akan
ditransformasikan ke harga jual produk. CSR yang benar tidak membebani konsumen.
Sebuah Perusahaan dikatakan termasuk CSR jika memiliki 3 ciri yaitu:
1. Community Relation
Kegiatan ini menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan
informasi kepada para pihak yang terkait. Beberapa contoh kegiatan yaitu seperti
yang dilakukan PLN antara lain: melaksanakan sosialisasi instalasi listrik,
contohnya melalui penerangan kepada pelajar SMA di Jawa Barat tentang
SUTT/SUTET, dan melaksanakan sosialisasi bahaya layang-layang di daerah
Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur
2. Community Services
Program bantuan dalam kegiatan ini berkaitan dengan pelayanan masyarakat atau
kepentingan umum. Contoh Kegiatan yang dilakukan selama tahun 2011, antara
lain seperti memberikan :
Bantuan bencana alam.
Bantuan peningkatan kesehatan di sekitar instalasi PLN, antara lain di
Kelurahan Asemrowo, Surabaya yang berada di sekitar SUTT 150kV

Sawahan-Waru.
Bantuan sarana umum pemasangan turap untuk warga pedesaan di
Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta bantuan

pengaspalan jalan umum di Bogor Buleleng, Bali.


Bantuan perbaikan sarana ibadah.
Operasi Katarak gratis di Aceh, Pekanbaru, Jawa Barat, dan kota lainnya di

Indoenesia
Bantuan Sarana air bersih,

3. Community Empowering

17

Kegiatan ini terdiri dari program-program yang memberikan akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Contoh Kegiatan yang
dilakukan antara lain:
Bantuan produksi dan pengembangan pakan ikan alternatif di sekitar SUTET,

bekerja sama dengan Fakultas Pertanian UGM.


Bantuan alat pertanian kepada kelompok tani Ngaran Jaya Kabupaten

Kulonprogo, Jawa Tengah.


Bantuan pengembangan budi daya pertanian pepaya organik untuk komunitas
di sekitar Gunung Merapi Yogyakarta yang bekerja sama dengan Fakultas

Pertanian UGM.
Bantuan pengembangan pola tanam padi SRI produktivitas tinggi
Bantuan pelatihan pengembangan budi daya tanaman organik di sekitar

instalasi PLN
Pemberdayaan anggota PKK Asemrowo, Surabaya.
Program budi daya jamur tiram masyarakat Desa Umbul Metro, Lampung.
Bantuan Pelatihan budidaya rumput lain di Kalimantan Timur
Bantuan Pelatihan kelompok tani tambak ikan tawar Danau Sentani, Papua
Pelatihan manajemen UKM dan Kiat-kiat pengembangan UKM di Papua
Pelatihan manajemen pemasaran dan keuangan bagi pengrajin souvenir khas

Papua
Penyuluhan pertanian untuk petani di Genyem, Papua

6. Indikator Keberhasilan CSR


Indikator keberhasilan dapat dilihat dari dua sisi perusahaan dan masyarakat. Dari
sisi perusahaan, citranya harus semakin baik di mata masyarakat. Sementara itu, dari
sisi masyarakat, harus ada peningkatan kualitas hidup. Karenanya, penting bagi
perusahaan melakukan evaluasi untuk mengukur keberhasilan program CSR, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Satu hal yang perlu diingat, Salah satu ukuran
penting keberhasilan CSR adalah jika masyarakat yang dibantu bisa mandiri, tidak
melulu bergantung pada pertolong orang lain.
KESIMPULAN
Menurut kelompok kami keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan
program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang
rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran
emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR,
kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas

18

akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh
proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi
perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin
kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi
yang diambil dari alam.
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas,
altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi
dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat
kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR
merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal
sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung
nilai kuantitatifnya, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti.
Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program
CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.

Review Jurnal An Examination Of The Corporate Social And Environmental


Disclosures Of BHP From 1983-1997
A test of legitimacy theory
Penulis : Craig Deegan, Michaela Rankin, dan John Tobin
School of Accounting and Law, RMIT University, Melbourne, Australia

REVIEW
19

Penelitian yang dilakukan Deegan (2002) ini meneliti tentang pengungkapan


tanggung jawab sosial perusahaan BHP Ltd (salah satu perusahaan terbesar di Australia)
periode 1983-1997. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe dan
pengembangan laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan pada periode tersebut dan
apakah laporan dapat dijelaskan menggunakan konsep dari teori kontrak sosial dan
legitimasi.
Deegan (2002) berpendapat bahwa pemikiran dan kesadaran publik/masyarakat
(public concerns and public awareness) dipengaruhi oleh pemberitaan atas isu isu
lingkungan dan sosial yang dilakukan oleh media seperti surat kabar, televisi, dan radio.
Maka dari itu manajer sebuah perusahaan besar harus mempertimbangkan media
sebagai salah satu variabel yang harus dicermati dalam menyusun pelaporan perusahaan
khususnya laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
1. Pendahuluan
Penelitian ini menguji apakah perusahaan melaporkan laporan tanggung jawab sosial
dan lingkungan berdasarkan ekspektasi dari masyarakat yang berubah dari waktu ke
waktu. Penelitian ini menggunakan pengukuran yang berbeda dari Guthrie dan Parker
(1989). Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah peran media.
Peneliti yakin bahwa media berhubungan erat dengan ekspektasi masyarakat, dan
dipercaya bahwa media merefleksikan kepentingan, pemikiran dan ekspektasi
masyarakat pada saat itu. Jurnal penelitian ini secara garis besar menginvestigasi
bagaimana media membentuk dan merefleksikan kepentingan dan ekspektasi
masyarakat.

2. Peran Media Dalam Membentuk Pemikiran Masyarakat


Brown dan Deegan (1998) berpendapat bahwa meningkatnya perhatian media pada
kasus khusus berdampak pada meningkatnya perhatian masyarakat pada kasus tersebut.
McCombs (1995) berpendapat bahwa media tidak merefleksikan apa yang terjadi di
masyarakat, melainkan media membentuk apa yang dipikirkan oleh masyarakat.
McCombs (1995) juga menyebutkan bahwa membentuk kesadaran publik adalah
langkah pertama dalam pembentukan opini publik dan sangat jelas bahwa kesadaran

20

publik ini dibentuk oleh media. Oleh karena itu, peran media atas opini publik bisa
dikatakan sentral dan sangat berpengaruh.
Beberapa penelitian menemukan beberapa variabel yang mempengaruhi hubungan
antara aktivitas media dan isu-isu publik. Variabel tersebut antara lain adalah:
a. Tingkat ukuran isu tersebut dan dampaknya yang bisa disebabkan
b. Bagaimana isu tersebut dikemas (secara positif atau negatif)
c. Tenggang waktu antara isu tersebut terjadi dan dikemukakan oleh media
Intensitas dan kemasan media atas isu yang mengemuka juga terbukti mempengaruhi
perilaku masyarakat. Dearing dan Rogers (1996) berpendapat bahwa kemasan negatif
media atas isu yang mengemuka lebih berpengaruh pada pemikiran dan perilaku
masyarakat dari pada isu yang dikemas secara positif karena publik menilai kemasan
negatif atas sebuah isu menjadikan isu tersebut menjadi isu yang besar.
Terdapat beberapa bentuk media, yaitu surat kabar atau koran, televisi, dan radio.
Dalam penelitian Mc Combs (1981) dan Bogart (1984) menyebutkan bahwa surat kabar
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengatur publik agenda daripada
televisi dan radio karena lebih banyak orang yang menyempatkan membaca suratkabar
daripada menonton TV maupun mendengarkan radio. Dari penelitian ini juga dapat
disimpulkan bahwa besar kecilnya perhatian media pada suatu isu tertentu menentukan
besar kecilnya perhatian publik, dan media dapat membentuk dan mengarahkan opini
masyarakat atas suatu isu tertentu tersebut.
Karena hal-hal tesebur diatas, seorang manajer perusahaan harus menyadari bahwa
peran media sangat besar dalam bagaimana membentuk perhatian dan pemikiran
masyarakat atas perusahaannya. Terlebih pada saat ini media bukan lagi transmitter
informasi yang pasif namun sangat aktif dalam mencari informasi untuk diberitakan
kepada masyarakat. Media saat ini sangat gencar menyoroti perusahaan yang dekat
dengan isu-isu lingkungan dan sosial seperti BHP di Australia. BHP di Australia adalah
perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan.
Dalam penelitian Deegan (2002) juga disebutkan bahwa adanya hubungan antara isu
publik dan pelaporan perusahaan. Teori legitimasi digunakan untuk menjelaskan
bagaimana suatu laporan perusahaan digunakan oleh manajemen perusahaan untuk
merubah perspektif publik atas perusahaannya.
3. Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Sebagai Reaksi Atas Tuntutan Masyarakat

21

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa laporan tanggung jawab sosial dan


lingkungan yang dimasukkan dalam laporan tahunan perusahaan meningkat seiring
berjalannya waktu, baik dari segi konten laporan maupun jumlah perusahaan yang
melaporkannya.
Laporan tanggung jawab lingkungan dan sosial menjadi tuntutan yang tak terelakan
seiring dengan meningkatnya tuntutan publik terhadap perusahaan. Perusahaan sadar
bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
internal melainkan juga dipengaruhi oleh masyarakat yang berada di sekelilingnya. Ini
artinya, telah terjadi pergeseran hubungan antara perusahaan dan stakeholders (dalam
hal ini masyarakat dan lingkungan). Perusahaan yang semula memposisikan diri sebagai
pemberi donasi melalui kegiatan amal dan phylantrophy, kini memposisikan masyarakat
sebagai mitra yang turut andil dalam kelangsungan eksistensi perusahaan.
4. Hasil Penelitian, Konklusi Dan Implikasi
Deegan (2002) berpendapat bahwa peran media dalam membentuk dan mengarahkan
opini publik sangat besar. Media dapat mengemas suatu isu yang mengemuka dalam
masyarakat secara positif maupun negatif dan memiliki dampak yang berbeda pada
opini dan perilaku masyarakat.
Ekspektasi masyarakat atas tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
meningkat dari waktu ke waktu. Ekspektasi ini adalah akibat dari kesadaran masyarakat
bahwa perusahaan secara alamiah memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan pada
sekitanya. Media berpengaruh terhadap meningkatnya ekspektasi masyarakat atas hal
sosial dan lingkungan perusahaan ini. Oleh sebab itu, manajer sebuah perusahaan harus
memperlakukan media secara serius dan menyusun strategi yang tepat untuk
mengakomodasi ekspektasi publik atas perusahaannya.
Dalam penelitian Deegan (2002) juga disebutkan bahwa adanya hubungan antara isu
publik dan pelaporan perusahaan. Teori legitimasi digunakan untuk menjelaskan
bagaimana suatu laporan perusahaan digunakan oleh manajemen perusahaan untuk
merubah perspektif publik atas perusahaannya. Penelitian ini menggunakan BHP
Australia, yaitu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan.
Media saat ini sangat gencar menyoroti perusahaan yang dekat dengan isu-isu
lingkungan dan sosial seperti BHP di Australia.
Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi adalah bagian dari masyarakat
sehingga harus memperhatikan norma-norma sosial masyarakat. Kesesuaian perusahaan

22

dengan norma sosial dapat membuat perusahaan semakin legitimate. Penelitian Guthrie
dan Parker (1989) menyebutkan bahwa laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan
berupa laporan pertanggung jaawaban sumberdaya manusia merupakan faktor yang
paling signifikan dan sangat diperhatikan oleh masyarakat. Faktor lain yang merupakan
public concerns dalam laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan selain sumber
daya manusia antara lain adalah isu tentang lingkungan, penggunaan energi oleh
perusahaan, dan keikutsertaan perusahaan dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Deegan, C. 2002. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company: Sydney.
Deegan, C. 2009. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company: Sydney.
Deegan, C. Rankin, M., and Tobin, J. 2002. An Examination Of The Corporate Social
And Environmental Disclosures Of BHP From 1983-1997: A Test Of Legitimacy
Theory. Auditing and Accountability, Vol. 15, Page. 312-343.
Gaffikin, Michael. 2008. Accounting Theory Research, Regulation and Accounting
Practice. N.S.W.: Pearson Education
Mardikanto, totok. 2009. Majalah Bisnis dan CSR. Jakarta: Latofi
23

TEORI AKUNTANSI
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

24

KELOMPOK 1:
Isadul Muzakki (156020301111001)
Jordan Hotman Ekklesia Sitorus (156020301111006)
Tri Rahayu Widyaningrum (156020301111010)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015

25

Anda mungkin juga menyukai