Abstrak...............................................................................................................................
1
Sejarah Corporate Social Responsibility.........................................................................
1
Pengertian Corporate Social Responsibility...................................................................
2
Teori Ekonomi Politik.......................................................................................................
4
Teori Legitimasi.................................................................................................................
5
Teori Stakeholder...............................................................................................................
7
Teori Institusional..............................................................................................................
9
Pelaporan Sosial dan Lingkungan...................................................................................
10
Keterbatasan akuntansi keuangan Tradisional dalam menangkap dan melaporkan
kinerja sosial dan lingkungan...........................................................................................
10
Mengapa harus melaporkan (why stage)?......................................................................
11
Siapa yang harus diberi laporan (who stage)?................................................................
12
Untuk isu sosial dan lingkungan apa perusahaan harus bertanggung jawab dan
akuntabel (what stage)?....................................................................................................
13
Alasan terkait CSR dengan bisnis....................................................................................
16
Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam melaksanakan CSR................................
16
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau
pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate
philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan
tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple
Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington. Mengembangkan
tiga
komponen
penting
sustainable
development,
yakni
economic
growth,
environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on
Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington
mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang
baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat
(people).
1.2 Pengertian Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) ialah sebuah pendekatan dimana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial di dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi
mereka dengan para stakeholder berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan
(Nuryana, 2005).
Menurut Zadek, Fostator, Rapnas CSR adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
strategi bersaing jagka panjang yang berorientasi pada avokasi pendampingan &
kebijakan publik. CSR (Program Corporate Social Reponsibility) merupakan salah satu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undangundang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam
sidang paripurna DPR.
Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan
lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2
mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai
sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa Setiap penanam
modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Namun UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara
tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Tentu saja kedua ketentuan undang-undang
tersebut diatas membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha swasta lokal.
3
Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang
polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai
sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen
perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar
kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik
bahwa perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti
perusahaan ataupun penanam modal
antara pengungkapan pada organisasi, wilayah, individu dan kelompok. Sehingga dalam
teori ini dijelaskan tentang munculnya laporan pertanggungjawaban sosial (corporate
social responsibility/ CSR). Laporan tersebut, menurut Guthrie dan Parker (1990),
adalah alat untuk mengkonstruksi, menopang dan melegitimasi perjanjian ekonomi,
politik dan ideologi yang berkontribusi pada kepentingan korporasi dengan menyajikan
pandangan yang lebih luas tentang dampak operasi perusahaan dan informasi yang
dipilih untuk diungkapkan. Oleh karena itu, laporan ini pun tidak bisa dikatakan netral
dan tidak bias, namun hanya merupakan mediasi dan akomodasi dari berbagi
kepentingan. Dalam teori ini, dikenal dua pandangan yaitu:
a. Pandangan Klasik
Pandangan ini dikenalkan oleh Karl Max dan lebih terpusat pada konflik karena
adanya ketidakseimbangan akibat adanya kelas-kelas. Dalam pandangan ini
laporan keuangan dan pengungkapan digunakan untuk menjaga posisi yang
menguntungkan bagi pengontrol sumber daya dan merusak pihak-pihak yang
tidak mengontrol sumber daya.
b. Pandangan Burgeois
Pandangan ini diusung oleh Gray, Houchy, dan Flavers, lebih terpusat pada
interaksi kelompok dalam kemajemukan. Dalam pluralistik ini, menurut Lowe
dan Tinker (1977), terdapat kekuatan yang menyebar karena banyaknya individu
yang ingin menonjol dan tidak ada individu yang secara konsisten dapat
mempengaruhi masyarakat. Namun, definisi ini diungkapkan berbeda oleh Cooper
dan Sherer. Mereka berpendapat masyarakat dikendalikan oleh well-defined elite
(kelompok yang ingin menjaga dominasinya)
2.2 Teori Legitimasi
Deegan (2002) menyatakan bahwa teori legitimasi merupakan teori turunan dari teori
politik. Dalam teori ini, diakui tentang adanya benturan kekuatan yang muncul antara
masyarakat dan beberapa kelompok dalam masyarakat. Dengan memahami teori politik
ini maka peneliti dapat memahami lebih baik isu-isu sosial yang lebih luas yang
mempengaruhi operasional perusahaan dan informasi apa yang dipilih untuk
diungkapkan.
Deegan (2002) menyatakan bahwa asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah
perusahaan tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk operasional. Perusahaan
hanya diberi hak legal untuk beroperasi oleh masyarakat sebagai penyedia sumber daya.
Oleh karena itu, masyarakat pun berekspektasi lebih atas biaya yang telah mereka
keluarkan sebagai penyedia sumber daya. Itulah definisi kontrak sosial menurut
Matthews (1993). Hasilnya, perusahaan pun akan terancam keberadaannya apabila
masyarakat merasa perusahaan tidak mampu memenuhi kontrak sosial tersebut.
Deegan (2002) mengungkapkan bahwa selain dari teori politik, teori legitimasi
dipercayai merupakan turunan dari teori institusional juga (DiMaggio dan Powell,
1983). Teori institusional membuat organisasi merubah struktur operasinya untuk
sejalan dengan ekspektasi eksternal tentang bentuk struktur yang diterima (legitimasi).
Kegagalan untuk sejalan dengan ekspektasi eksternal disebut Isomorfisme (DiMaggio
dan Powell, 1983). Perbedaannya, dalam teori politik, perusahaan dirasa memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan dalam teori institusional ini
perusahaan diekspektasikan sejalan dengan norma.
Seperti yang diketahui, perusahaan beroperasi dalam batasan dan norma tertentu di
masyarakat. Batasan ini memunculkan suatu kontrak sosial yang akan selalu berubah
sehingga perusahaan harus selalu bermoral dalam operasinya untuk diakui
legitimasinya. Kontrak sosial ini mengacu pada ekspektasi masyarakat tentang
bagaimana perusahaan beroperasi. Adanya sanksi apabila perusahaan tidak mematuhi,
membuat perusahaan menyusun strategi, menurut Dowling dan Pfeffer (1975) yang
disempurnakan oleh Lindbolm (1994), sebagai berikut:
a. Menginformasikan tentang relevansi publik, perubahan aktual pada kinerja dan
aktivitas perusahaan yang dapat menunjukkan dimana kinerja dan aktivitas itu
sejalan dengan nilai dan ekspektasi masyarakat
b. Berusaha merubah persepsi relevansi publik kinerja dan aktivitas agar sesuai
dengan nilai dan ekspektasi namun tidak merubah perilaku perusahaan
c. Berusaha untuk memanipulasi persepsi dengan mengalihkan perhatian dari
masalah yang menjadi perhatian terhadap isu-isu terkait lainnya
d. Berusahalah untuk mengubah ekspektasi eksternal terhadap kinerja perusahaan.
Teori ini menyatakan bahwa pengungkapan adalah suatu strategi untuk mengatur
hubungan perusahaan dan lingkungan operasinya. Namun, dalam hal ini, perusahaan
akan menghadapi perubahan yang dinamis. Perusahaan pun merespon perubahan
pentingnya akuntabilitas terkait dengan ukuran, kekuatan pasar dan dampak pada
masyarakat. Namun, perspektif ini hanya memandang apa yang seharusnya, bukan yang
sebenarnya sehingga sangat dibutuhkan pengujian.
Sedangkan dalam managerial branch penekanannya adalah adanya kebutuhan
perusahaan untuk mengatur kelompok-kelompok pemangku kepentingan, terutama
kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan sumberdaya yang dibutuhkan
dalam operasional perusahaan. Teori ini dapat membantu mengidentifikasi kelompok
mana yang mungkin relevan dengan keputusan manajemen dimana ekspektasinya harus
diberikan perhatian lebih karena adanya kontrak sosial. Oleh karena itu, pengungkapan
sebenarnya adalah keputusan strategis daripada hanya sekedar melaksanakan tanggung
jawab. Hal ini terbukti dengan berbagai penelitian, salah satunya Penelitian Neu, dkk
(1998) menunjukkan bahwa perusahaan lebih responsif pada permintaan atas pemangku
kepentingan yang terkait dengan keuangan perusahaan dan regulasi pemerintah daripada
pengamat lingkungan.
Stakeholder disini memiliki tingkatan, dimana semakin tinggi kekuatan stakeholder
semakin penting perusahaan untuk sejalan dengan kepentingannya (Roberts, 1992,
p.598). Kekuatan tersebut ada dari penguasaan atas sumber daya yang terbatas, akses
pada media yang berpengaruh, kemampuan mempengaruhi konsumsi perusahaan dan
kemampuan legislasi atas perusahaan. Karena Semakin tinggi kekuatan semakin besar
kemungkinan terjadi konflik (Ullman, 1985; Friedman dan Miles, 2002), muncullah
insentif untuk mengungkapkan informasi untuk membuktikan jika perusahaan sejalan
dengan stakeholder. Ekspektasi dan kekuatan stakeholder pun akan selalu berubah. Oleh
karena itu, penting bagi perusahaan untuk bisa beradaptasi pada operasinya (Unerman
dan Bennet, 2004; Friedman dan Miles 2002) untuk mencegah penolakan dan menjaga
posisi serta hubungan baik dengan stakeholder (Gray, dkk, 1996; Roberts 1992).
2.4 Teori Institusional
Teori ini merupakan teori pelengkap atas kedua teori diatas, teori ini memberikan
pemahaman tentang bagaimana perusahaan mengerti dan merespon perubahan sosial
dan tekanan serta ekspektasi pada institusi dengan menghubungkan pada nilai
masyarakat untuk menjaga legitimasi perusahaan.
Teori ini terbagi menjadi dua, yaitu isomorfik dan decoupling. Isomorfik terpusat
pada bagaimana perusahaan beradptasi pada berbagai tekanan institusional. Teori ini
terbagi lagi dalam:
a. Corcive
Perusahaan berubah karena tekanan oleh stakeholder yang berpengaruh.
b. Mimetic
Perusahaan berubah untuk mendapat keuntungan kompetitif yang terjadi karena
organisasi gagal mengikuti praktik inovatif pada sektor yang sama sehingga
perusahaan kehilangan legitimasi. Mimetic ada karena ada coercive.
c. Normatic
Tekanan muncul dari norma kelompok, baik formal maupun informal.
Sedangkan decoupling theory mengimplikasikan saat manajer mungkin merasa
kebutuhan atas organisasi mereka terlihat dengan mengadopsi praktek institusional
tertentu dan mungkin proses institusi formal tersebut bertujuan mengimplematasikan
praktik ini. Praktek aktual organisasi pun dapat sangat berbeda karena adanya sanksi
formal yang diumumkan pada publik atas praktik dan proses tersebut.
3. PERLUASAN SISTEM AKUNTANSI: PENDIRIAN SOSIAL DAN FAKTOR
LINGKUNGAN DALAM PELAPORAN EKSTERNAL
3.1 Pelaporan Sosial dan Lingkungan
Milton Friedman (1962) pernah mengungkapkan bahwa manajemen tidak memiliki
kewajiban moral selain memaksimalkan profit. Ia beranggapan apabila setiap orang
ingin memaksimalkan kekayaan maka perekonomian pasti akan maju. Hal ini pun
didukung dengan banyaknya pihak yang hanya memperhatikan laba tanpa melihat aspek
sosial lingkungan perusahaan. Namun, teori ini tidaklah seperti realitanya. Pada
realitanya tetap terjadi gap dan perekonomian tidak maju.
Isu sosial dan lingkungan pun mulai diperdebatkan. Perlunya laporan tentang sosial
dan lingkungan dari suatu perusahaan diawali dengan diterbitkannya Our Common
Future (1987) oleh General Assembly dari United Nations yang kemudian dikenal
dengan The Brundtland Report. Dalam bahasan ini dikenalkan istilah bahwa
perusahaan haruslah sustainable. Sustainable berarti perkembangan perusahaan
haruslah memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
di masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, sustainable
10
11
bereaksi
positif
terhadap
pengungkapan
perusahaan
atas
pengelolaan limbah atau disebut ethical investor (Belkaoki, 1976; Jaggi dan
Freedman, 1982).
3) Adanya negative return pada perusahaan yang memiliki kontrol polusi
lemah (Shane dan Spicer, 1983).
4) Perusahaan yang memiliki level polusi yang sama tinggi namun
diungkapkan akan memiliki reaksi kecil daripada yang tidak diungkapkan
(Freedman dan Pattern).
5) Reaksi pasar saat terjadi bencana akan lebih kecil pada perusahaan yang
melakukan penungkapan (Blacconiare dan Pattern, 1994)
g. Sustainable development telah menjadi ekspektasi masyarakat dimana masyarakat
memiliki ekspektasi bahwa perusahaan bertanggung jawab seutuhnya atas
operasional dan produk yang tidak membahayakan lingkungan (70% dari polling
tahun 1999 oleh Environics).
h. Rintangan yang dihadapi adalah :
1) Akuntan harus meluaskan pekerjaan ke pelaporan kinerja sosial lingkungan.
2) Manusia selalu ingin mendominasi dan mengeksploitasi lingkungan
(Dillard, Brown, Marshall, 2005, p.81).
3) Adanya pengorbanan profit jangka pendek untuk memastikan laba yang
sustainable dalam jangka panjang.
12
dengan
14
pembuatan keputusan yang bertanggung jawab. GRI mengejar misi ini melalui
proses dialog dan kolaborasi multi-stakeholder dalam mendesain dan
mengimplementasikan pedoman pelaporan sustainability yang diterima secara
luas
Kategori pengungkapan dalam GRI berhubungan dengan:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
GRI pun diakui sebagai pedoman pelaporan CSR berterima umum. Atribut
komparabilitas adalah sesuatu yang diusung GRI. GRI juga mengusung
karakteristik kualitatif, seperti halnya laporan keuangan, meliputi transparansi,
auditabilitas, relevansi, kelengkapan, konteks sustainability, ketepatan, netralitas,
reliabilitas, kejelasan, ketepatan waktu, dan verifiabilitas. Area lain yang
diperhitungkan GRI adalah assurance proses untuk meningkatkan kredibilitas dan
kualitas laporan.
c. Audit Sosial
Menurut Elkington (1997, p.88) tujuan dari audit sosial adalah menilai kinerja
dalam hubungannya dengan kebutuhan dan ekspektasi. Audit sosial diharapkan
menghasilkan statement of assurance yang merupakan dasar dari laporan sosial
yang diterbitkan untuk publik dan dasar untuk berdialog dengan stakeholder.
Kriteria audit sosial adalah berdasar materialitas, kelengkapan dan kemampuan
reaksi. Namun, tidak semua mampu menyediakan organisasi karena bergantung
pada tipe perusahaannya (Owen dan ODwyer, 2005). Terdapat dua tipe dalam
lingkup audit sosial, yaitu:
1) Audit Sosial
15
lingkungan di sekitarnya. Karena itu, CSR yang dilakukan adalah wujud pemeliharaan
relasi yang baik dengan masyarakat. Ia bukanlah aktivitas sesaat untuk mendongkrak
popularitas atau mengejar profit.
Perinsip ketiga, CSR akan berdampak positif kepada masyarakat, baik secara
ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Perusahaan yang melakukan CSR mesti peduli
dan mempertimbangkan sampai kedampaknya.
Prinsip keempat, dana yang diambil untuk CSR tidak dimasukkan ke dalam cost
structure perusahaan sebagaimana budjet untuk marketing yang pada akhirnya akan
ditransformasikan ke harga jual produk. CSR yang benar tidak membebani konsumen.
Sebuah Perusahaan dikatakan termasuk CSR jika memiliki 3 ciri yaitu:
1. Community Relation
Kegiatan ini menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan
informasi kepada para pihak yang terkait. Beberapa contoh kegiatan yaitu seperti
yang dilakukan PLN antara lain: melaksanakan sosialisasi instalasi listrik,
contohnya melalui penerangan kepada pelajar SMA di Jawa Barat tentang
SUTT/SUTET, dan melaksanakan sosialisasi bahaya layang-layang di daerah
Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur
2. Community Services
Program bantuan dalam kegiatan ini berkaitan dengan pelayanan masyarakat atau
kepentingan umum. Contoh Kegiatan yang dilakukan selama tahun 2011, antara
lain seperti memberikan :
Bantuan bencana alam.
Bantuan peningkatan kesehatan di sekitar instalasi PLN, antara lain di
Kelurahan Asemrowo, Surabaya yang berada di sekitar SUTT 150kV
Sawahan-Waru.
Bantuan sarana umum pemasangan turap untuk warga pedesaan di
Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta bantuan
Indoenesia
Bantuan Sarana air bersih,
3. Community Empowering
17
Kegiatan ini terdiri dari program-program yang memberikan akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Contoh Kegiatan yang
dilakukan antara lain:
Bantuan produksi dan pengembangan pakan ikan alternatif di sekitar SUTET,
Pertanian UGM.
Bantuan pengembangan pola tanam padi SRI produktivitas tinggi
Bantuan pelatihan pengembangan budi daya tanaman organik di sekitar
instalasi PLN
Pemberdayaan anggota PKK Asemrowo, Surabaya.
Program budi daya jamur tiram masyarakat Desa Umbul Metro, Lampung.
Bantuan Pelatihan budidaya rumput lain di Kalimantan Timur
Bantuan Pelatihan kelompok tani tambak ikan tawar Danau Sentani, Papua
Pelatihan manajemen UKM dan Kiat-kiat pengembangan UKM di Papua
Pelatihan manajemen pemasaran dan keuangan bagi pengrajin souvenir khas
Papua
Penyuluhan pertanian untuk petani di Genyem, Papua
18
akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh
proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi
perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin
kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi
yang diambil dari alam.
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas,
altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi
dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat
kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR
merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal
sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung
nilai kuantitatifnya, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti.
Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program
CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.
REVIEW
19
20
publik ini dibentuk oleh media. Oleh karena itu, peran media atas opini publik bisa
dikatakan sentral dan sangat berpengaruh.
Beberapa penelitian menemukan beberapa variabel yang mempengaruhi hubungan
antara aktivitas media dan isu-isu publik. Variabel tersebut antara lain adalah:
a. Tingkat ukuran isu tersebut dan dampaknya yang bisa disebabkan
b. Bagaimana isu tersebut dikemas (secara positif atau negatif)
c. Tenggang waktu antara isu tersebut terjadi dan dikemukakan oleh media
Intensitas dan kemasan media atas isu yang mengemuka juga terbukti mempengaruhi
perilaku masyarakat. Dearing dan Rogers (1996) berpendapat bahwa kemasan negatif
media atas isu yang mengemuka lebih berpengaruh pada pemikiran dan perilaku
masyarakat dari pada isu yang dikemas secara positif karena publik menilai kemasan
negatif atas sebuah isu menjadikan isu tersebut menjadi isu yang besar.
Terdapat beberapa bentuk media, yaitu surat kabar atau koran, televisi, dan radio.
Dalam penelitian Mc Combs (1981) dan Bogart (1984) menyebutkan bahwa surat kabar
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengatur publik agenda daripada
televisi dan radio karena lebih banyak orang yang menyempatkan membaca suratkabar
daripada menonton TV maupun mendengarkan radio. Dari penelitian ini juga dapat
disimpulkan bahwa besar kecilnya perhatian media pada suatu isu tertentu menentukan
besar kecilnya perhatian publik, dan media dapat membentuk dan mengarahkan opini
masyarakat atas suatu isu tertentu tersebut.
Karena hal-hal tesebur diatas, seorang manajer perusahaan harus menyadari bahwa
peran media sangat besar dalam bagaimana membentuk perhatian dan pemikiran
masyarakat atas perusahaannya. Terlebih pada saat ini media bukan lagi transmitter
informasi yang pasif namun sangat aktif dalam mencari informasi untuk diberitakan
kepada masyarakat. Media saat ini sangat gencar menyoroti perusahaan yang dekat
dengan isu-isu lingkungan dan sosial seperti BHP di Australia. BHP di Australia adalah
perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan.
Dalam penelitian Deegan (2002) juga disebutkan bahwa adanya hubungan antara isu
publik dan pelaporan perusahaan. Teori legitimasi digunakan untuk menjelaskan
bagaimana suatu laporan perusahaan digunakan oleh manajemen perusahaan untuk
merubah perspektif publik atas perusahaannya.
3. Pelaporan Tanggung Jawab Sosial Sebagai Reaksi Atas Tuntutan Masyarakat
21
22
dengan norma sosial dapat membuat perusahaan semakin legitimate. Penelitian Guthrie
dan Parker (1989) menyebutkan bahwa laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan
berupa laporan pertanggung jaawaban sumberdaya manusia merupakan faktor yang
paling signifikan dan sangat diperhatikan oleh masyarakat. Faktor lain yang merupakan
public concerns dalam laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan selain sumber
daya manusia antara lain adalah isu tentang lingkungan, penggunaan energi oleh
perusahaan, dan keikutsertaan perusahaan dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Deegan, C. 2002. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company: Sydney.
Deegan, C. 2009. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company: Sydney.
Deegan, C. Rankin, M., and Tobin, J. 2002. An Examination Of The Corporate Social
And Environmental Disclosures Of BHP From 1983-1997: A Test Of Legitimacy
Theory. Auditing and Accountability, Vol. 15, Page. 312-343.
Gaffikin, Michael. 2008. Accounting Theory Research, Regulation and Accounting
Practice. N.S.W.: Pearson Education
Mardikanto, totok. 2009. Majalah Bisnis dan CSR. Jakarta: Latofi
23
TEORI AKUNTANSI
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
24
KELOMPOK 1:
Isadul Muzakki (156020301111001)
Jordan Hotman Ekklesia Sitorus (156020301111006)
Tri Rahayu Widyaningrum (156020301111010)
25