ARSITEKTUR NUSANTARA
DOSEN PENGAMPU :
Dian
Anas
DISUSUN OLEH :
TEKNIK ARSITEKTUR
2016
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
A. Lokasi
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada jaman dahulu, manusia purba menggunakan gua-gua sebagai rurnah, supaya
terlindungi dari binatang-binatang buas serta gangguan-gangguan alam lainnya, seperti
misalnya hujan, angin, panas, dan sebagainya. Dengan berkembangnya jaman, melalui
berbagai tahapan arsitektur semakin berkembang, bentuk rumah semakin berkembang
juga, sehingga akhirnya mencapai tahap seperti sekarang, mempunyai dinding serta atap
yang kuat, sejalan dengan perkembangan fungsi dan teknologi, yang merupakan cerminan
dari budaya dan lingkungannya.
Sejalan dengan kebutuhan manusia penghuninya, maka sebuah rumah harus
memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Rumah sebagai tempat tinggal, tempat di mana
seseorang bermukim (menetap), dan mendapatkan ketenangan fisik dan mental. Rumah
merupakan mediasi antara manusia dengan dunia. Dengan mediasi ini terjadi suatu
dialektik antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia manusia menarik diri
de dalam rumahnya dan tinggal dalam suasana ketenangannya, untuk kemudian keluar
lagi menuju dunia luar untuk bekerja dan berkarya. Demikian seterusnya terjadi berulang-
ulang. Rumah merupakan arsenal, di mana manusia mendapatkan kekuatannya kembali,
setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan.
Rumah panggung Mbaru Niang tidak hanya sekedar rumah sebagai tempat
berlindung. Rumah Mbaru Niang memiliki filosofi yang mencerminkan sifat dan
kebijaksanaan suku Manggarai dalam memperlakukan alam sekitarnya. Ditempat ini pula
terjadi proses alamiah dari kelahiran dan praktik kegiatan religius dari suku Manggarai.
Keunikan dari rumah Mbaru Niang suku Manggarai adalah rumah ini tidak
dipengaruhi oleh kebudayaan lain yang pernah datang ke Indonesia. Bentuk fisik dan
filosofi rumah Mbaru Niang adalah murni kebudayaan asli suku orang Indonesia bagian
timur. Bentuk denah lingkaran sudah menjadi ciri khas bentuk rumah masyarakat timur.
Namun rumah suku manggarai menjadi lebih unik dengan bentuknya yang terus mengecil
hingga puncaknya sehingga menimbulkan bentuk mengerucut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lokasi
Meski letak desa ini jauh terpencil, herannya, setiap tahun turis dari
berbagai negara rela menempuh jalan panjang demi mengunjunginya. Di desa
yang terletak di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini
terdapat harta karun Nusantara, berupa rumah adat yang unik dan kebudayaan
yang masih terjaga.
Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan
lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo, sebuah dusun
yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur adat budaya
Manggarai yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya.
Mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal muasalnya masih sebuah tanda
tanya besar, kecuali secuil informasi dari tradisi penuturan masyarakatnya sendiri
yang merupakan generasi ke-18.
Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan
Satarmese Barat, Desa Satar Lenda. Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya
jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung
kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa
di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti
Kampung Denge, desa terdekat ke Wae Rebo belum seutuhnya menjadi desa
tetangga karena belum semua pernah ke Wae Rebo. Sementara warga Belanda,
Perancis, Jerman, hingga Amerika dan beberapa negara Asia sudah sangat
terperangah keindahan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun
lontar atau rumbia yang disebut mbaru niang.
Mbaru Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi
(Mbaru = Rumah | Niang = Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung
tradisional yang tersisa tujuh di desa Wae Rebo, NTT.
Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat
pemerintah mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran
rendah. Seorang antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya
dengan tu’a golo, pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang,
kepala upacara adat. Warga Wae Rebo saat itu tak memutuskan meninggalkan
dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Wae Rebo bertahan dari seorang
penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo lebih dari 100 tahun lalu, Empo Maro.
Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan.
Sebelum bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan
untuk meminta izin pada penunggunya. Bila tak berizin maka tanah akan menjerit
dan merintih. Bercocok tanam pun harus rutin agar tanah tidak ‘menangis’ sedih.
Warga Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti
manusia yang harus dihormati.
Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas
bantuan penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu
mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki
penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat
panjang dan parasnya cantik rupawan. Setelah panggung ini selesai,
tarian cacidigelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan (mbata).
Sarung di sini ada dua macam: songke dan curak. Songke mempunyai ciri
khas, yaitu berwarna dasar hitam dengan motif hias berwarna biru, kuning, hijau,
putih, jingga, dan magenta. Ini sarung khas Manggarai. Motif hiasnya bisa
bermacam-macam: bunga, daun, atau kotak-kotak geometris. Songke digunakam
saat acara resmi, juga dikenakan sehari-hari.
Pada tingkat pertama yang disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal
dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan
untuk bersama, semacam ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar
yang disekat menggunakan papan, dan dapur di bagian tengah rumah. Atap rumah
terbuat dari ijuk dan alang-alang. Pada tempat ini juga terjadi proses masak-
memasak yang meggunakan asap.
Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo yang berfungsi untuk
menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Asap dan panas dari
tungku yang berada pada tingkat pertama berguna untuk mengawetkan kayu
bangunan, juga persediaan makanan yang disimpan di loteng.
Tingkat kelima atau merupakan tempat paling atas dalam rumah Mbaru
Niang dan merupakan tempat suci yang disebut hekang kode. Tempat ini
digunakan untuk menempatkan sesaji buat leluhur wae rebo.
Dimensi dari Mbaru Niang adalah lebar lantai pertama 11 m dan terus
mengerucut hingga kepuncaknya, tinggi dari tanah hingga pucuknya 15 meter,
pondasi menancap hingga kedalaman 2 meter.
Mbaru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari cuaca dan
gangguan dari luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo,
Mbaru Niang merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta
merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae Rebo.
Tujuan para leluhur terdahulu adalah agar sosialisasi antar suku semakin
erat dan dapat terus terjalin hubungan antar tiap keluarga. Oleh karena itu sudah
sangat jelas maksud dan tujuan dari pembangunan tujuh buah Mbaru Niang.
Bentuk rumah panggung menjadikan Mbaru Niang sebagai rumah yang
sempurna sebagai tempat perlindungan dari hewan buas dan berdasarkan dari
letak geografisnya, desa Wae Rebo berada pada wilayah gempa empat dan lima
sehingga bentuk rumah panggung juga sangat kondusif untuk wilayah tersebut.
Para leluhur dahulu membuat tujuh buah rumah dengan formasi setengah
lingkaran. Di bagian tengah adalah rumah gendang (niang gendang) atau rumah
utama, yang berukuran lebih besar dan memiliki puncak yang sedikit berbeda.
Dan enam rumah lain disebut niang gena atau rumah biasa.
Pondasi
Pondasi dari mbaru niang terdiri dari beberapa bilang batang kayu yang
ditanam ke tanah sedalam 2 meter. terdapat permasalah pondasi pada bangunan
lama, yaitu kayu yang membusuk karena lembab atau rapuh, sehingga tak kuat
menahan keseluruhan bangunan rumah. seiring dengan kedatangan tamu dan
beberapa masukan dari ahli, pondasi mbaru niang sekarang dibungkus dengan
plastik dan ijuk untuk melindungi kayu bersentuhan langsung dengan tanah wae
rebo yang lembab.
Lantai Pertama
Pekerjaan Lanjutan
Penutup
A. Kesimpulan
Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki
makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi
rumah Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud
pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni
tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga
memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para
pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai
dengan pandangan kosmologis mereka.
Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah
tradisional tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni.
Mbaru Niang yang dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang
lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak
hanya dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula
melihat makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian
menjadi padu dalam karya arsitektur Mbaru Niang berupa rumah kerucut. Di
mana unsur estetika nampak dan makna-makna simbolis juga sangat kuat di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.akdn.org/architecture/project.asp?id=4317
http://bandanaku.wordpress.com
http://www.dezeen.com/
http://www.femina.co.id/
http://www.floresecotourism.com/profil/2/2/alam_flores_barat.html
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mbaru_Niang&veaction=edit§ion=3
http://www.indonesia.travel/