Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ANALISIS RUMAH ADAT MBARU NIANG

SUKU WAEREBO NUSA TENGGARA TIMUR

ARSITEKTUR NUSANTARA

DOSEN PENGAMPU :

Dian

Anas

DISUSUN OLEH :

Rahman Akbar Sayekti (1551010004)

M. Andi Syahputra (1551010009)

Febri Aji Prasetyo (1551010018)

Bahrumsyah Bila Sahil (1551010028)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

TEKNIK ARSITEKTUR

2016
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN
A. Lokasi

B. Pengaruh Sosial Budaya Setempat Terhadap Mbaru Niang


C. Arsitektur Mbaru Niang
D. Filosofi Rumah Mbaru Niang
E. Material dan Konstruksi Mbaru Niang
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kearifan Lokal merupakan sesuatu yang patut dijaga dan dilestarikan


keberadaannya mengingat banyaknya kebudayaan di Indonesia yang telah hilang
dimakan zaman. Salah satu kategori kearifan lokal yang telah banyak punah adalah
berupa karya arsitektur tradisional. Berdasarkan kamus, kata arsitektur (architecture),
berarti seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya,
yaitu Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture adalah karya kepalatukang.
"Arsitektur adalah segala macam pembangunan yang secara sengaja dilakukan untuk
mengubah lingkungan fisik dan menyesuaikannya dengan skema-skema tata cara tertentu
lebih menekankan pada unsur sosial budaya" (Amos Rapoport). Dalam artian yang lebih
luas, Istilah ini mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan,
mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, lansekap, hingga
ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk.

Manusia membutuhkan ruang untuk menikmati kehidupannya sendiri tanpa


mendapat gangguan dari luar, oleh karena itu manusia membutuhkan rumah. Kebutuhan
akan sebuah bangunan merupakan salah satu motivasi untuk mengembangkan
kehidupan yang lebih tinggi, di samping kebutuhan jasmani lainnya, yaitu sandang,
pangan dan kesehatan. Rumah merupakan suatu ruang yang betul-betul menjadi milik
seseorang yang bisa diatur menurut selera dan kehendak yang memilikinya.

Pada jaman dahulu, manusia purba menggunakan gua-gua sebagai rurnah, supaya
terlindungi dari binatang-binatang buas serta gangguan-gangguan alam lainnya, seperti
misalnya hujan, angin, panas, dan sebagainya. Dengan berkembangnya jaman, melalui
berbagai tahapan arsitektur semakin berkembang, bentuk rumah semakin berkembang
juga, sehingga akhirnya mencapai tahap seperti sekarang, mempunyai dinding serta atap
yang kuat, sejalan dengan perkembangan fungsi dan teknologi, yang merupakan cerminan
dari budaya dan lingkungannya.
Sejalan dengan kebutuhan manusia penghuninya, maka sebuah rumah harus
memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Rumah sebagai tempat tinggal, tempat di mana
seseorang bermukim (menetap), dan mendapatkan ketenangan fisik dan mental. Rumah
merupakan mediasi antara manusia dengan dunia. Dengan mediasi ini terjadi suatu
dialektik antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia manusia menarik diri
de dalam rumahnya dan tinggal dalam suasana ketenangannya, untuk kemudian keluar
lagi menuju dunia luar untuk bekerja dan berkarya. Demikian seterusnya terjadi berulang-
ulang. Rumah merupakan arsenal, di mana manusia mendapatkan kekuatannya kembali,
setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan.

Rumah merupakan sesuatu yang dapat mencerminkan kepribadian seseorang.


Rumah merupakan kebudayaan fisik yang menjadi ciri khas bagi seseorang. Dalam
konteks tradisionalnya, rumah merupakan cerminan dari kultur sosial dan lingkungan di
mana ia tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perbedaan wilayah dan budaya dapat
mempengaruhi bentuk dan ungkapan arsitektural setiap rumah tradisional.

Rumah panggung merupakan bentuk yang paling umum dari rumah-ruamh


tradisional yang terdapat di Indonesia, hal ini disebabkan oleh tujuan masyarakat
Indonesia lampau dalam pembangunan rumah untuk menghindari serangan hewan buas
dengan bentuknya yang tinggi.

Rumah panggung Mbaru Niang tidak hanya sekedar rumah sebagai tempat
berlindung. Rumah Mbaru Niang memiliki filosofi yang mencerminkan sifat dan
kebijaksanaan suku Manggarai dalam memperlakukan alam sekitarnya. Ditempat ini pula
terjadi proses alamiah dari kelahiran dan praktik kegiatan religius dari suku Manggarai.

Keunikan dari rumah Mbaru Niang suku Manggarai adalah rumah ini tidak
dipengaruhi oleh kebudayaan lain yang pernah datang ke Indonesia. Bentuk fisik dan
filosofi rumah Mbaru Niang adalah murni kebudayaan asli suku orang Indonesia bagian
timur. Bentuk denah lingkaran sudah menjadi ciri khas bentuk rumah masyarakat timur.
Namun rumah suku manggarai menjadi lebih unik dengan bentuknya yang terus mengecil
hingga puncaknya sehingga menimbulkan bentuk mengerucut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lokasi

Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga


sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu. Warga
sedesa juga masih banyak yang belum mengunjungi Wae Rebo, padahal
pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung
terudik ini. Wae Rebo bolah dibilang dusun internasional yang semakin banyak
digemari oleh wisatawan asing yang berbakat khusus.

Wae Rebo terletak di desa Satar Lenda , Kecamatan Satarmese Barat,


Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hawanya cukup dingin,
berada di ketinggian C. a. 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung Wae Rebo
diapiti oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung
tetangga. Kampung Wae Rebo dikukuhkan oleh Enklave sejak masa penjajahan
Belanda.

Meski letak desa ini jauh terpencil, herannya, setiap tahun turis dari
berbagai negara rela menempuh jalan panjang demi mengunjunginya. Di desa
yang terletak di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini
terdapat harta karun Nusantara, berupa rumah adat yang unik dan kebudayaan
yang masih terjaga.

Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan hujan tropis dan
lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo, sebuah dusun
yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur adat budaya
Manggarai yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan pengikutnya.
Mengapa berbentuk kerucut dan dari mana asal muasalnya masih sebuah tanda
tanya besar, kecuali secuil informasi dari tradisi penuturan masyarakatnya sendiri
yang merupakan generasi ke-18.
Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan
Satarmese Barat, Desa Satar Lenda. Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya
jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung
kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa
di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti
Kampung Denge, desa terdekat ke Wae Rebo belum seutuhnya menjadi desa
tetangga karena belum semua pernah ke Wae Rebo. Sementara warga Belanda,
Perancis, Jerman, hingga Amerika dan beberapa negara Asia sudah sangat
terperangah keindahan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun
lontar atau rumbia yang disebut mbaru niang.

Dari Ruteng, perjalanan dengan kendaraan selama 4 jam yang berkelok


sehingga penumpang tak henti bergoyang. Sampailah di sebuah desa pesisir
bernama Dintor. Jalan terus dilanjutkan menuju tanjakan ke pedalaman pulau
menempuh pematang sawah dan jalan setapak di Sebu sebelum sampai di Denge.
Dari Denge langkah terus dihentakkan melalui hutan kecil, melalui Sungai Wae
Lomba. Setelah mengatur kerja paru-paru di sepanjang jalan setapak, dari Ponto
Nao, terlihat pusat Wae Rebo, sebuah dusun yang mengepul asap dari kerucut-
kerucut aneh yang berkumpul di sebuah lapang hijau. Itulah sisa-sia mbaru
niang yang hampir punah.

Perjalanan panjang menuju dusun ini membuat masyarakatnya sedikit


terasing dari peradaban, terutama pendidikan dan kesehatan. Seorang anak bahkan
dewasa dirata-ratakan telah berjalan kaki selama 4 jam sekali keluar dari
dusunnya dan kembali membawa sesuatu seberat 15 kilogram untuk dijadikan
bahan makanan cadangan karena terbatas sumber daya alam yang bisa
dimanfaatkan. Dalam satu tahun, diperhitungkan seorang anak akan membawa
barang dengan total berat hingga 2 ton.

B. Pengaruh Sosial Budaya Setempat Terhadap Mbaru Niang

Mbaru Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi
(Mbaru = Rumah | Niang = Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung
tradisional yang tersisa tujuh di desa Wae Rebo, NTT.
Mbaru niang sudah punah sebelum memasuki awal tahun 70-an saat
pemerintah mengkampanyekan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran
rendah. Seorang antropolog, Catherine Allerton mengenang pembicaraannya
dengan tu’a golo, pemimpin politik dan kepala kampung, juga tu’a gendang,
kepala upacara adat. Warga Wae Rebo saat itu tak memutuskan meninggalkan
dusunnya. Sudah generasi ke-18 hingga kini Wae Rebo bertahan dari seorang
penghuni pertama dan pendiri Wae Rebo lebih dari 100 tahun lalu, Empo Maro.

Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang


memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau marga saja. Klan
tersebut memiliki gendang pusaka di rumah gendang di tiang utamanya. Mereka
memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari
penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor
musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka.

Berkembangnya penduduk Wae Rebo membuat keberadaan sebuah desa


baru dirasakan harus dibina. Sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya
dengan desa baru yang disebut Kombo. Tak banyak wisatawan mengetahuinya,
walau Kombo dan Wae Rebo adalah masyarakat yang sama. Akan tetapi, karena
lingkungannya dipertahankan sesuai aslinya, Wae Rebo seolah permata di atas
lumpur. Kombo dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang
merintis keberadaan kampung itu.

Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo, sedangkan


orang tua dari para pria muda serta belasan tahun yang menginjak dewasa tinggal
di Wae Rebo. Mereka semua memiliki kepercayaan yang sama. Katolik adalah
agama yang dipeluk masyarakatnya, walau kepercayaan animisme masih kental
terasa dalam kehidupan mereka.

Mereka yakin bahwa tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan.
Sebelum bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan
untuk meminta izin pada penunggunya. Bila tak berizin maka tanah akan menjerit
dan merintih. Bercocok tanam pun harus rutin agar tanah tidak ‘menangis’ sedih.
Warga Wae Rebo memandang tanah sebagai bagian dari mereka dan seperti
manusia yang harus dihormati.

Di tengah dusun terdapat panggung batu yang dikisahkan telah dibina atas
bantuan penunggu hutan yang berupa manusia gagah menawan yang mampu
mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki
penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat
panjang dan parasnya cantik rupawan. Setelah panggung ini selesai,
tarian cacidigelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan (mbata).

Rumah Mbaru Niang memanfaatkan karya arsitektur sebagai alat


pemersatu antar keluarga dari setiap klan suku Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang
terdiri dari lima tingkat dan ditinggali oleh sekitar delapan keluarga. Rumah
Mbaru Niang yang terdapat di Wae Rebo. Hanya ada tujuh Mbaru Niang dan
rumah itu tersusun seperti planet yang megorbit pada matahari.

Warga Waerebo memang memiliki filosofi yang sangat unik. Pada


awalnya tetua atau raja Waerebo memiliki delapan anak. Ini mengapa ada delapan
klan di Desa Waerebo. Yang menarik, rumah Niang tidak dibangun sebanyak
delapan untuk ditinggali masing-masing klan. Sebaliknya, tiap satu Rumah Niang,
yang memiliki delapan kamar, wajib dihuni oleh masing-masing keturunan dari
kedelapan klan tersebut. Mereka benar-benar memakai arsitektur sebagai alat
pemersatu.
Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya
dari ijuk atau ilalang dengan kerangka atap dari bambu. Dan tiang-tiang utama
menggunakan kayu worok yang besar yang diambil sayu pohon utuh. Sebelum di
pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara tradisional agar menjadi kayu yang
baik dan kuat dan dipilih kayu yang cukup umur. selain kayu, masyarakat juga
mengumpulkan bermeter-meter rotan untuk mengikat, ijuk dan alang-alang untuk
atap dan bambu. seluruh bahan ini dipersiapkan dan dikumpulkan sedikit-sedikit
sesuai yang disediakan alam yang dapat diambil secara bijaksana oleh
masyarakat.

Meski tidak terlalu besar, pembagian ruangan di dalam mbaru niang


menunjukkan fungsi rumah sebagai tempat tinggal, untuk menyimpan hasil
panen, juga untuk memuja nenek moyang.

Desain rumah panggung selain melindungi penghuni dari binatang buas


dan tanah yang basah, kolong rumah kerap digunakan untuk menenun.Biasanya,
wanita Waerebo menenun saat tidak bekerja di kebun. Makanya, untuk
menyelesaikan satu buah sarung, bisa memakan waktu sebulan, atau lebih.

Sarung di sini ada dua macam: songke dan curak. Songke mempunyai ciri
khas, yaitu berwarna dasar hitam dengan motif hias berwarna biru, kuning, hijau,
putih, jingga, dan magenta. Ini sarung khas Manggarai. Motif hiasnya bisa
bermacam-macam: bunga, daun, atau kotak-kotak geometris. Songke digunakam
saat acara resmi, juga dikenakan sehari-hari.

Curak adalah sarung bermotif gari-garis dengan aneka warna cerah.


Sarung-sarung ini lumayan tebal, sehingga, selain dipakai sebagai bawahan, pada
malam hari bisa untuk menghangatkan tubuh.

C. Arsitektur Mbaru Niang

Mbaru Niang merupakan karya arsitektur tradisional yang cerdas dan


mengagumkan. Mbaru Niang mendapatkan Award of Excellence, yang
merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang pelestarian warisan budaya.
Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun
terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun.

Rumah tradisional ini berhasil mengalahkan 42 kandidat lainnya dari 11


negara di Asia Pasifik, antara lain sistem irigasi bersejarah di India, kompleks
Zhizhusi di Cina, dan Masjid Khilingrong di Pakistan.

Keberhasilan ini adalah lompatan yang mengejutkan, mengingat Wae


Rebo belum banyak dibicarakan hingga empat tahun yang lalu. Wae Rebo bisa
dibilang sebagai spesies langka. Tidak banyak tersisa rumah kerucut di Flores,
yang adalah rumah adat suku Manggarai. Tetapi ia juga bukan sekedar bentuk.
Penduduk setempat masih mempertahankan keutuhan tradisi setempat, yang
kemudian membuat bentuk menjadi berarti.

Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan


proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya
“mengayomi isu-isu konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.”
Selain mendapatkan penghargaan dari UNESCO, Mbaru Niang juga
mendapatkan penghargaan dari Aga Khan Award. Semua penghargaan tersebut
tidak terlepas dari keunikan dan kecerdasan konstruksi suku Manggarai terhadap
pembangunan Mbaru Niang.

Sebuah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat yang masing-masing


tingkatnya memiliki fungsi dan maksud yang berbeda-beda.

Pada tingkat pertama yang disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal
dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat lutur dibagi tiga, bagian depan ruangan
untuk bersama, semacam ruang keluarga. Di bagian dalam adalah kamar-kamar
yang disekat menggunakan papan, dan dapur di bagian tengah rumah. Atap rumah
terbuat dari ijuk dan alang-alang. Pada tempat ini juga terjadi proses masak-
memasak yang meggunakan asap.

Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo yang berfungsi untuk
menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. Asap dan panas dari
tungku yang berada pada tingkat pertama berguna untuk mengawetkan kayu
bangunan, juga persediaan makanan yang disimpan di loteng.

Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman


pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan.

Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan


cadangan bahan pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat
karena gagal panen.

Tingkat kelima atau merupakan tempat paling atas dalam rumah Mbaru
Niang dan merupakan tempat suci yang disebut hekang kode. Tempat ini
digunakan untuk menempatkan sesaji buat leluhur wae rebo.
Dimensi dari Mbaru Niang adalah lebar lantai pertama 11 m dan terus
mengerucut hingga kepuncaknya, tinggi dari tanah hingga pucuknya 15 meter,
pondasi menancap hingga kedalaman 2 meter.

D. Filosofi Rumah Mbaru Niang.

Mbaru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari cuaca dan
gangguan dari luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo,
Mbaru Niang merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta
merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae Rebo.

Konon dulunya leluhur suku Manggarai yang bermukim di dataran


Flores memiliki delapan orang pewaris. Oleh karena itu terdapat delapan suku
yang tersebar di dataran Flores. Namun leluhur mereka saat itu tidak
membangun delapan rumah untuk dihuni oleh masing-masing kepala keluarga.
Hanya terdapat tujuh buah Mbaru Niang yang masing-masing Mbaru Niang
dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku.

Tujuan para leluhur terdahulu adalah agar sosialisasi antar suku semakin
erat dan dapat terus terjalin hubungan antar tiap keluarga. Oleh karena itu sudah
sangat jelas maksud dan tujuan dari pembangunan tujuh buah Mbaru Niang.
Bentuk rumah panggung menjadikan Mbaru Niang sebagai rumah yang
sempurna sebagai tempat perlindungan dari hewan buas dan berdasarkan dari
letak geografisnya, desa Wae Rebo berada pada wilayah gempa empat dan lima
sehingga bentuk rumah panggung juga sangat kondusif untuk wilayah tersebut.

Seperti umumnya rumah tradisional Indonesia, Mbaru Niang yang


berlantai lima ini adalah rumah komunal. Di dalamnya hidup sekitar delapan
keluarga. Setengah dari rumah adat terdiri dari kamar-kamar tidur yang disusun
melingkar mengelilingi pusat. Sedangkan setengah yang lain adalah ruang
terbuka untuk berkumpul. Di ruang itulah Warga Waerebo biasa menerima
tamu-tamunya.

Para leluhur dahulu membuat tujuh buah rumah dengan formasi setengah
lingkaran. Di bagian tengah adalah rumah gendang (niang gendang) atau rumah
utama, yang berukuran lebih besar dan memiliki puncak yang sedikit berbeda.
Dan enam rumah lain disebut niang gena atau rumah biasa.

E. Material dan Konstruksi Mbaru Niang.

Pembangunan mbaru niang bisa disebut sebagai ‘knock down’, atau


bangunan yang dapat di bongkar pasang tanpa merusak bahan utama dan bisa
dipergunakan kembali.

Mbaru Niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh


tanah. Atap yang digunakan rumah adat Mbaru Niang ini menggunakan daun
lontar. Mirip rumah adat "honai" di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan
struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk.

 Pondasi

Pondasi dari mbaru niang terdiri dari beberapa bilang batang kayu yang
ditanam ke tanah sedalam 2 meter. terdapat permasalah pondasi pada bangunan
lama, yaitu kayu yang membusuk karena lembab atau rapuh, sehingga tak kuat
menahan keseluruhan bangunan rumah. seiring dengan kedatangan tamu dan
beberapa masukan dari ahli, pondasi mbaru niang sekarang dibungkus dengan
plastik dan ijuk untuk melindungi kayu bersentuhan langsung dengan tanah wae
rebo yang lembab.

 Lantai Pertama

Lantai pertama ini berdiameter 11 meter dan merupakan lantai utama


dimana disinilah kehidupan sosial masyarakat berlangsung. Lantai pertama ini
dibuat segera setelah pondasi selesai dilaksanakan. Lantai ini berlandaskan
balok-balok dan hamparan papan kayu serta dikelilingi glondongan rotan besar
sebagai dudukan utama atap. Di atas lantai pertama inilah didirikan tiang utama
hingga kepucuk mbaru niang (Ngando) yang dilengkapi dengan tangga bambu
untuk menaiki setiap tingkatnya.
 Tiang Utama / Bongkok

Tiang utama berdiri diatas lantai pertama. untuk menyangga tiang


utama ini, ditahan dengan tali rotan yang diikatkan pada tiga hingga
empat pasak. Tiang utama ini akan menjadi penyangga dari keseluruhan
aktivitas pembangunan rumah sehingga harus sangat diyakinkan ikatan
pada pasaknya benar-benar kuat.

 Penyangga Dinding dan dinding (atap)

Penyangga dinding yang sekaligus berfungsi sebagai atap ini


adalah kumpulan rotan dalam satu ikatan, ukurannya sangat besar, dan
panjangnya disesuaikan dengan keliling lingkaran, jadi yang paling
panjang adalah pada lantai satu, sepanjang 34,54 m (keliling lingkaran =
2 phi r) dan semakin keatas semakin pendek. kumpulan rotan inilah yang
membentuk bulatan pada mbaru niang.
Selain kumpulan rotan besar itu sebagai penyangga utama, ada juga
bambu-bambu / buku bambu yang berfunsi sebagai ‘reng’ atau penyangga yang
mengikat sekumpulan-kumpulan ijuk atau alang-alang yang disusun bergantian.

 Pekerjaan Lanjutan

Setelah lantai pertama dan tiang utama berdiri, pembangunan tiap-tiap


lantai akan menyesuaikan, dibangun secara simultan dari lantai terbawah, terus
hingga keatas. setelah keseluruhan struktur utama selesai, hingga bambu-bambu
pengikat atap siap, barulah pemasangan ijuk dan alang-alang dilakukan untuk
menutupi keseluruhan rumah.
Bangunan ini hanya menggunakan rotan untuk mengikat pertemuan-pertemuan
balok atau kayu dan pasak atau kunci kayu. Waktu pekerjaan dari pondasi hingga selesai
sekitar tiga bulan, yang dilakukan secara gotong royong oleh para laki-laki. setiap malam
hari ada pertemuan untuk membahas kelanjutan pekerjaan, dimana orang tua akan
memberikan saran atau metode pembangunan kepada yang lebih muda dan apa yang
harus dilakukan keesokan harinya. setiap pekerjaan akan dimulai dan diakhiri dengan
bunyi gendang.
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki
makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi
rumah Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud
pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni
tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga
memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para
pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai
dengan pandangan kosmologis mereka.

Rumah Mbaru Niang dibangun memiliki makna simbolis yang sangat


kuat, di mana konstruksi rumah dibangun dalam lima tingkat yang mewakili lima
makna. Sedangkan secara fungsional, Mbaru Niang memiliki fungsi yang
menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus dibangun dan sosialitas mereka
terhadap keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka. Fungsi ruang-ruang dalam
Mbaru Niang juga mewakili konsep kosmologis mereka. Orang Manggarai
memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang
pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan
meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan
kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.

Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah
tradisional tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni.
Mbaru Niang yang dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang
lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak
hanya dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula
melihat makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian
menjadi padu dalam karya arsitektur Mbaru Niang berupa rumah kerucut. Di
mana unsur estetika nampak dan makna-makna simbolis juga sangat kuat di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.akdn.org/architecture/project.asp?id=4317

http://bandanaku.wordpress.com

http://www.dezeen.com/

http://www.femina.co.id/

http://www.floresecotourism.com/profil/2/2/alam_flores_barat.html

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mbaru_Niang&veaction=edit&section=3

http://www.indonesia.travel/

Anda mungkin juga menyukai