Anda di halaman 1dari 10

POLA TATANAN MASSA PEMUKIMAN PADA KAMPUNG URUG DI BOGOR JAWA BARAT

Andri Wangsit Dewanto, Antariksa


awdewanto@gmail.com
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sangat luas, tidak bisa dipungkiri jika
Indonesia memiliki ratusan sampai ribuan suku yang tersebar di berbagai pulau pulau. Dengan
banyaknya suku yang berbeda naungan tempat mereka untuk berlindung pun dapat berbedabeda, Di Jawa Barat memiliki suku Sunda yang mempunya naungan yang masih bertahan hingga
saat ini, salah satu kampung yang masih bertahan adalah Kampung Urug. Karena sudah banyak
arsitektur tradisional yang hanya asal pengunaannya maka perlu di pelajari lebih dalam tentang
makna-makna yang terdapat pada rumah adat nusantara. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah
dapat mengidentifikasi pola tatanan massa pemukiman pada Kampung Urug di Bogor, Jawa
Barat. Metode yang digunakan yaitu deskriptif analitis
Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan
yang sangat luas, tidak bisa dipungkiri jika
Indonesia memiliki ratusan sampai ribuan
suku yang tersebar di berbagai pulau pulau.
Dengan banyaknya suku yang berbeda
naungan tempat mereka untuk berlindung
pun
dapat
berbeda-beda,
namun
keberadaannya saat ini sudah hampir tidak
diperhatikan
dalam
hal
perawatan,
penjagaan serta pelestariannya, apalagi
selama
perkembangan
arsitektur
di
Indonesia. Rumah adat yang ada saat ini
banyak yang tidak terawat, selain karena
terkena bencana alam ada baberapa hal lain
yang menyebabkan rumah-rumah rumah
tradisional
tidak
terawat,
seperti
permasalahan ekonomi pemilik rumah yang
tidak mampu dalam menjaga dan merawat
rumah-rumah adat tersebut. Permasalahan
sosial dan budaya juga mempengaruhi
kelangsungan keberadaan rumah adat ini.
Kebiasaan masyarakat yang sudah mulai
berubah karena terpengaruh secara global
dapat meghilangkan atau mengurangi
pelaksanaan adat yang dahulu sangat
dihargai
dan
diagungkan,
serta
menghilangkan fungsi rumah adat sehingga

keberadaan rumah ada tersebut diganti


dengan bangunan baru.
Di daerah Jawa Barat memiliki beberapa
kampung adat tradisional yang masih
mencoba bertahan dari perkembangan
arsitektur modern saat ini diantaranya
Kampung Dukuh, Kampung Cipta Gelar,
Kampung Mahmud dan lainya yang masingmasing memiliki keistimewaaan. Salah satu
yang masih mencoba untuk bertahan adalah
Kampung Urug yang berada di Kabupaten
Bogor yang merupakan kampung adat
tradisional Sunda yang masih memegang
teguh ajaran leluhur dan tidak tepengaruh
perkembangan zaman, di lihat dari segi
arsitekturalnya
yang
masih
tetap
mempergunakan material alam sekitarnya.
Kampung Urug yang merupakan
kampung adat yang masih mempertahankan
nilai nilai tradisinya diantaranya adalah
kekerabatan, kepemimpinan, dan pola
pemukiman. Dilihat dari segi arsitekturnya
kampung ini juga masih menggunakan
material yanag ada di alam sekitarnya.
Semakin sedikitnya kampung adat
tradisional Sunda yang masih baik sebagai
1

contoh kampung adata tradisional,dengan


perkembangan pola pikir masyrakat banayak
rumah-rumah dan kampung-kampung adat
yang ditinggalkan begitu saja. Sebelum
kampung-kampung tradisional hilang makan
perlu dilakukan penelitian untuk menyimpan
keadaan pola permukiman kampung
tradisional tersebut

lingkungan sekitar turut mempengaruhi


keaneka
ragaman
jenis
dan
pola
kampungnya. Hal ini seperti apa yang di
paparkan oleh Ekadjati [ 1995 ], bahwa jenis
dan pola kampung Sunda dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: sejarah
terbentuk dan perkembangan kampung yang
bersangkutan, letak geografis serta mata
pencaharian utama penduduknya. Kampung
Sunda dibagi berdasarkan letak geografisnya
menjadi 3 bagian, yaitu:

Penerapan arsitektur tradisional biasanya


hanya menerapkan bagian kecil ornament
saja tidak terkecuali arsitektur Sunda. Hal
ini dapat memberikan pemahaman yang
kurang tepat tentang bangunan tradisiona

a. Kampung pegunungan
Kampung yang terletak di daerah
pegunungan dan dataran tinggi.
b. Kampung dataran rendah
Kampung yang terletak di
dataran rendah
c. Kampung pantai
Kampung yang terletak di tepi
pantai.

Kajian ini dibuat sebagai slaah satu cara


untuk mengidentifikasi pola penataan massa
pemukiman pada Kampung Urug di Bogor,
Jawa Barat. diharapkan dapat menjadi salah
satu upaya untuk mempertahankan dan
melestarikan perkampungan adat yang
masih ada.

Bentuk
Bangunan
Tradisional Sunda
Tipologi bangunan rumah adat
Sunda dibagi menjadi beberapa tipe
bangunan, bentuk atap dan peletakan pintu
masuk pada bangunan. Tipologi dibagi
menjadi dua tipe bangunan, yaitu [ Badudu,
1982 ]:

Pola Perkampungan Tradisional Sunda


Sunda
Pola
perkampungan
masyarkat Sunda di pedesaan biasanya
dipengaruhi oleh mata pencahariannya.
Suku Sunda biasanya hidup bercocok tanam
dan kebanyakan tidak suka merantau atau
hidup terpisah dengan kerabatnya. Bagi
masyarakat Sunda, terbentuknya kampung
melalui empat proses. Pertama; diawali
dengan terbentuknya umbulan, yaitu
pemukiman yang terdiri dari 1-3 rumah.
Kedua; dari umbulan berkembang menjadi
babakan, yaitu kesatuan permukiman yang
terdiri dari 4-10 rumah. Ketiga; babakan
berkembang lagi menjadi lembur, yaitu
kesatua permukiman yang terdiri dari 10-20
rumah. Keempat; terbentuklah kampung dari
perkembangan lembur yang terdiri lebih dari
20 rumah beserta lingkungannya [ Garna,
1984 ].

a. Tipe rumah untuk keteduhan,


banyak tersebar di daerah-daerah
datar dan pantai di Jawa Barat.
Ciri-ciri
bangunan
uuntuk
keteduan ini adalah:
1) Lantai
rumah
langsung
beralaskan tanah.
2) Di sekeliling rumah terdapat
serambi yang memberikan
keteduhan inti rumah.
3) Serambi
depan
dapat
berbentuk pendopo dengan
bubungan atap yang terpisah.
4) Inti rumah terbagi menjadi
beberapa
ruangan
yang
simetris kiri dan kanan yang

Jenis dan pola kampung di Tatar


Sunda, sebagaimana di wilayah Indonesia
lainnya beraneka ragam. Faktor budaya serta
2

digunakan sebagai tempat


menerima tamu serta kamar
tidur keluarga.
5) Bentuk atapnya, umumnya
pelana atau limas yang
merupakan pengaruh dari
bentuk atap tradisional Jawa.
6) Bahan
bangunan
untuk
dinding terbuat dari kayu atau
bambu dengan atap dari daun
lang-alang atau daun enau.
b. Tipe
bangunan
untuk
kehangatan, tersebar di daerahdaerah bukit dan pegunungan,
khususnya di daerah Sunda
Priangan, Ciri-ciri bangunan
untuk kehangatan adalah:
1) Rumah memiliki bentuk yang
kompak dengan serambi kecil
yang terbuka. Ruang inti
lebih sering tidak terbagi.
Dapur termasuk sebagai
ruang berkumpul keluarga.
2) Rumah
dibangun
diatas
umpak denga tinggi 40cm 60cm.
3) Rumah inti ada bangunan
lumbung
padi
(leuit),
kandang ternak, pendopo
menumbuk padi, kolam ikan
(banlong) dan bagi orang
berda
juga
memiliki
bangunan mushola kecil, di
dekat kolam ikan.
4) Bahan bangunannya secara
tradisional terbuat dari kayu
atau bambu sebagai bahan
kerangka dan dinding. Untuk
atap umumnya menggunakan
ijuk.
Filosofi
Sunda

Penempatan

mengenai peletakan atau penempatan yang


hingga kini masih di pegang teguh oleh
masyarakat desa tersebut. Filosofi-filosofi
Sunda tentang penempatan bangunan adat
tersebut memiliki makna dan nilai-nilai
spiritual yang sangat dipercayai oleh
masyrakat desa.
Lemah Cai
Filosofi ini biasa digunakan untuk
konsep kampung halaman atau tanah
kelahiran. Filosofi ini tebentuk dari dua
elemen yaitu lemah (tanah) yang layak
untuk dijadikan ladang dan tempat hunian
dan elemen cai (air) yang selalu tersedia
agar dapat menghidupi tanah dan manusia.
Filosofi ini biasa diterapkan dalam
bentuk fisik berupa ladang atau sawah
mewakili elemen tanah (lemah) dan kolam,
mata air atau sungai yang mengalir sebagai
elemen air (cai).

Gambar .1 Filosofi lemah-cai


Luhur Handap
Pada kenyataannya filososfi tentang
penempatan
ini
dapat
berbeda-beda
terapannya pada daerah yang satu dengan
yang lainnya, namun secara umum
penerapan ini menggambarkan konsep
tempat yang berada lebih atas (luhur) adalah
lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan
tempat yang ada dibawahnya (handap).

Bangunan Adat

Dalam masyarakat Sunda di


pedesaan yang jauh dari perkembangan
zaman masih mempercayai filosofi-filosofi
3

Konsep
tempat
ini
biasanya
diterapkan pada pemilihan tempat-tempat
yang dinilai memiliki derajat lebih tinggi
atau memiliki nilai luhur seperti makam
keramat atau masjid yang ditempat kan lebih
tinggi dibandingkan permukiman, ladang
atau lapanagan yang dinilai memiliki derajat
lebih rendah.

Kaca Kaca
Konsep ini dapat diartikan sebagai
batas dalam arti luas. Batas ini dapat berarti
batas antar ketinggian atau batas suatu
tempat dengan tempat yang lainnya,
perbedaaan material tempat, atau suatu
benda yang sengaja diletakan pada tempat
tertentu agar menjadi symbol perbedaan
antara tempat yang satu dengan tempat yang
lainnya.

Gambar.2 Filosofi luhur-handap


Wadah Eusi
Filosofi ini memiliki makna bahwa
setiap tempat selalu menjadi wadah yang
juga memiliki isi (eusi) atau kekuatan
supranatural. Dalam konsep ini menjelaskan
isi akan selalu membutuhkan wadah, namun
isi tersebut dapat bertukar atau berpindah
dari wadah satu dengan yang lainnya.

Gambar.4 Filosofi kaca-kaca


Metode
Penelitian tentang pola tatanan massa
permukiman pada Kampung Urug ini,
dilakukan dengan mengamati pola tatanan
bangunan melewati gambar siteplan,
observasi langsung dan wawancara dengan
masyarakat kampung untuk mencari kembali
informasi-informasi
tentang
kampung
tersebut, dengan mengunakan metode survei
deskriptif.
Metode
survei
deskriptif
bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan suatu keadaan yang
memberi pengaruh pada pola tatanan massa.

Secara fisik terapan konsep ini


biasanya berupa makam-makam keramat
atau suatau gejala alam seperti air terjun,
gua, atau batu prasasti dipercaya memiliki
kekuatan supranatural sehingga wadah
tersebut diperlakuakn lebi oleh masyarakat
disekitarnya.

Hasil dan Pembahasan


1. KAJIAN POLA TATANAN MASSA
PADA KAMPUNG CIBOLEGER,
BADUY (Tias, et al. 2014)
1.1.

Analisa zoning pada kampung


Ciboleger, Baduy
Pada kampung adat Ciboleger, Baduy,
terdapat beberapa kawasan yang di bagi

Gambar.3 Filosofi wadah-eusi

secara khusus. Ada kawasan yang


digunakan untuk daerah pemukiman
penduduk, ada daerah yang digunakan
untuk penghijauan atau orang baduy
sendiri menyebutnya sebagai hutan adat.
Pembagian zoning pada kawasan ini
berdasarkan filosofi dan kebutuhan
penduduk kampung adat Ciboleger itu
sendiri, seperti tata guna lahan hutan
tetap, lahan ini tidak boleh dirubah
ataupun dialihfungsikan ke fungsi yang
lain.

saat memasuki
Ciboleger.

kawasan

kampung

Gamba
r.6 Filosofi kaca-kaca
B. Lemah Cai
Konsep filosofi Lemah Cai
mengandung pengertian tanah air.
Lemah berarti tanah dan cai berarti air.
Dalam
sebuah
perkampungan
dibutuhkan dua elemen utama yaitu
tanah dan air. Filosofi ini biasanya ada di
perkampungan
yang
letak
perkampungannya
berada
di
pegunungan. Dalam konsep filosofi
lemah cai, kampung ciboleger
memiliki konsep filosofi ini.

Gambar.5 zoning kampung adat ciboleger


Pembagian kawasan/zoning di dalam
kampung Ciboleger itu sendiri terdapat 3
jenis, yaitu tempat lumbung padi (leuit),
daerah pemukiman penduduk, dimana tata
letak bangunan pada pemukiman ini
mengikuti bentuk kontur pada kawasan
perkampungan Ciboleger, serta kawasan
hutan adat, kawasan yang didirikan
berdasarkan filosofi terdahulu. Kawasan
hutan adat merupakan kawasan hutan yang
padat dengan vegetasi atau area hijau.
A. Kaca Kaca
Konsep filosofi kaca-kaca ini
dipahami sebagai batas suatu teritori,
meliputi batas antara ketinggian tempat,
perbedaan material tempat, dan benda
yang diletakkan pada tempat tertentu
sebagai simbol dua arah yang berbeda.
Di Kampung Ciboleger konsep kaca
kaca ini diterapkan pada sebuah gerbang

Gambar.7 Filosofi lemah-cai


C. Luhur Handap
Konsep filosofi Luhur Handap
dalam bahasa sunda luhur berarti atas,
sementara handap memiliki pengertian
bawah. Konsep ini menunjukan bahwa
area atas lebih penting dibandingkan
dengan area bawah. Di kampung
5

Ciboleger terdapat penempatan yang


sesuai dengan filosofi luhur handap
seperti hutan adat terdapat di tempat
yang paling tinggi, di tengahnya adalah
rumah rumah penduduk dan paling
bawah adalah sawah, ladang dan sungai.
Sangat terasa konsep filosofi luhur
handap ini pada kampung Ciboleger dan
kampung Baduy dalam.

terencana. Masyarakat baduy membuat


jalur drainase buatan berupa selokan
aliran air yang terbuat dari batu kali
yang disusun di pinggir jalan berukuran
30cm, sehingga pada saat hujan air
limpahan mengalir dengan lancar
melewati drainase yang dibuat.

Gambar.
10 Drainase

G
ambar.8 Filosofi luhur-handap

4.4. Orientasi Massa Bangunan


Dilihat dari kondisi massa massa
bangunan di kampung Ciboleger, hampir
semua bangunannya menghadap ke jalan
utama yaitu ke arah barat. Dengan
orientasi menghadap matahari sore,
bangunan mendapat cahaya matahari
secara langsung. Sehingga massa
bangunan
menyesuaikan
dengan
bentukan atap tropis dan sirip tirisan
yang yang lebar ke depan untuk
melindungi
sinar
yang
masuk.
Sedangkan massa bangunan yang
terletak di barat orientasinya menghadap
arah timur ke jalan utama. Dengan
bentukan massa yang sama dengan
bangunan sekitarnya.

4.2. Pola Perletakan Massa Bangunan


Perletakan massa bangunan pada
kampung adat Ciboleger, Baduy
memakai pola linier, pola yang terbentuk
berdasarkan bentuk kontur yang ada di
kawasan tersebut, mereka mengikuti
bentuk kontur untuk mendirikan
bangunan, dimana sirkulasi utama di
kampung Ciboleger, Baduy adalah axis.

Gamb
ar.9 pola peltakan massa bangunan
4.3. Drainase
Drainase aliran air di kampung
Ciboleger ini cukup tertata dengan
6

B. Sirkulasi sekunder
Pola sirkulasi tidak terarah
terdapat di antara rumah penduduk
berupa tanah perkerasan dengan
lebar 1.2-1.5 m. terbentuk di antara
perletakan massa rumah penduduk
yang di jadikan sebagai jalur sikulasi
antara rumah tetangga atau menuju
ruas jalan utama menuju luar
kampung. Pola sirkulasi sekunder di
kampung Ciboleger lebih banyak
digunakan sebagai penghubung
menuju rumah sekitar yang terdapat
di area pinggir tempat tinggal.

Ga
mbar.11 Orientasi massa bangunan
4.5. Sirkulasi
Bentuk sirkulasi di kampung
Ciboleger didapat dari hasil observasi
langsung di lapangan yang mengacu
pada teori bentuk sirkulasi di
perkampungan, bahwa sirkulasi di
kampung Ciboleger ini mempunyai
sirkulasi primer dan sekunder.
A. Sirkulasi primer
Pola sirkulasi pada kampung
Ciboleger ini, dilihat pada pola
sirkulasi aktifitas warganya yang
ditempuh dengan berjalan kaki. Pola
sirkulasi terarah terdapat pada
sirkulasi yang terbentang dari utara
ke selatan menuju kampung baduy
lainnya. Sirkulasi utama digunakan
sebagai jalur penghubung antar desa,
dan menuju ladang berupa jalan yang
tersusun oleh batu dengan lebar 5m.

Gambar.13 Pola sirkulasi sekunder


5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang di dapat adalah,
kampung adat Ciboleger, Baduy memiliki
pola tatanan massa yang mengikuti bentuk
kontur di daerah tersebut. Pola tatanan
massanya menghadap ke arah jalan utama,
jalur sirkulasi atau jalur utama, dan
memiliki bentuk linier. Filosofi Sunda yang
dikenal dengan nama Lemah Cai, Luhur
Handap, Kaca-Kaca, dan Wadah Eusi
memang dianut dan diterapkan di dalam
pola tatanan massa kampung adat
Ciboleger, Baduy, baik dalam hal
bangunannya maupun kawasannya. Hal ini
merupakan ajaran turun -temurun yang
berasal dari para leluhur mereka. Orientasi
massa bangunan di Kampung Ciboleger,
Baduy rata-rata menghadap ke arah barat,
akan tetapi orientasi beberapa massa
bangunan menghadap ke timur. Namun

Gambar.12 Pola sirkulasi primer


7

orientasi utama mereka adalah ke arah jalan


utama. Aspek seperti bangunan maupun
kawasan dibangun berdasarkan filosofi para
leluhur mereka, di saat membangun sebuah
bangunan atau menata kawasan mereka
melakukannya dengan cara bergotong
royong. Semua hal tersebut dilakukan
dengan cara tradisional. Aturan-aturan yang
ada di kampung Ciboleger, Baduy, wajib
ditaati oleh semua warga Baduy. Mereka
terikat erat dengan adat istiadat yang sudah
ada sejak jaman nenek moyang mereka,
hingga saat ini.

kanan berderet sepanjang utara sampai


selatan sampai berakhir di batas lawang
atau pintu gerbang desa

G
ambar.14 Pola perumahan masyarakat
desa tengganan

2. POLA PERUMAHAN DAN


PEMUKIMAN DESA TEGGANAN,
BALI

Pola Perumahan Penduduk Desa


Tenganan
Rumah dalam arsitektur tradisional
Bali, adalah satu kompleks rumah yang
terdiri
dari
beberapa
bangunan, dikelilingi oleh tembok yang
disebut tembok penyengker (Gambar 4).
Perumahan adalah kumpulan beberapa
rumah di dalam kesatuan wilayah yang
disebut banjar adat atau desa adat, juga
merupakan kesatuan keagamaan dengan
pura kayangan tiga yakni; pura desa,
pura puseh, pura dalem (Dewa Nyoman
Wastika
2005).
Desa
Tenganan
memunyai susunan pemukiman yang
merupakan pola
kompleks
yang
terkurung (terbentengi oleh beton),
dengan masing-masing memiliki satu
pintu keluar/masuk pada masing-masing
pekarangan untuk setiap posisi mata
angina Manusia Bali dan alam semesta
adalah suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan,
begitu
pula
dengan
arsitekturnya. Manusia Bali tradisional
tinggal di sebuah perkampungan yang
ditata
dengan
pola-pola
tertentu
mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang
mengacu pada alam semesta, yaitu
kaidah arah angina Kaja-Kelod, KauhKangin. Dan kaidah sumbu Utama
Gunung Agung yang diyakini sebagai

Pola Pemukiman Desa Tenganan


Secara umum pola desa Tenganan
merupakan sistem core yang membujur
dari utara ke selatan.Terdiri atas tiga
bagian, yaitu: Banjar. Kauh, banjar
Tengah dan banjar Pande. Banjar Kauh
terletak pada core yang paling barat,
sekaligus merupakan core utama.
Perumahan di banjar Kauh terletak
berderet mengapit dan menghadap core
utama. Banjar Tengah dengan beberapa
bangunan pada corenya terletak di
sebelah Timur dari banjar Kauh. Banjar
Tengah dengan beberapa bangunan pada
corenya terletak di sebelah timur dari
banjar Kauh. Perumahannya berderet di
kiri kanan core tengah. Banjar Pande ada
pada core yang paling timur, dengan
perumahan yang ada 2 deret pula
menghadap dan mengapit core dari utara
ke selatan. Pada core terdapat beberapa
bangunan
fasilitas
umum
untuk
keperluan kegiatan masyarakat di Banjar
Pande. Secara keseluruhan bentuk pola
pemukimanya adalah sistem core, di
mana fasilitas umum diapit oleh
persilpersil perumahan penduduk. Persilpersil ini terletak di sebelah kiri dan
8

tempat bersemayamnya para dewa dan


leluhur sucu mereka

bangunannya mirip. Bangunan dalam


pekarangan berupa bale boga dan
bale tengah
Keduanya merupakan bangunan
yang
bersyarat yang ditentukan letak, bentuk
serta
bahanbahannya.
Satu
lagi
bangunan yang ada adalah paon (dapur)
dan umah meten. Rumah tinggal
masyarakat Bali sangat unik karena
rumah
tinggal
tidak merupakan satu kesatuan dalam
satu atap tetapi terbagi dalam beberapa
ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam
pola ruang yang diatur menurut konsep
arah angin dan sumbu gunung Agung.
Rumah
tradisional
Bali
selain
menampung aktivitas kebutuhan hidup
seperti: tidur, makan, istirahat juga untuk
menampung kegiatan yang bertujuan
untuk kepentingan psikologis, seperti
melaksanakan upacara keagamaan dan
adat. (Sulistyawati. dkk, 1985:15).
Dengan demikian rumah tradisional
sebagai perwujudan budaya sangat kuat
dengan landasan filosofi yang berakar
dari agama Hindu.
Agama Hindu mengajarkan agar
manusia
mengharmoniskan
alam
semesta dengan segala isinya yakni
bhuana agung (Makro kosmos) dengan
bhuana
alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini
bhuana agung adalah lingkungan
buatan/bangunan dan bhuana alit
adalah manusia yang mendirikan dan
menggunakan wadah tersebut (Subandi,
1990).

Gambar.15 Desai ruamh antar


penduduk desa tengganan
Ditemui bahwa desa Tenganan
memiliki 3 kelompok perumahan, yaitu:
(1) kelompok pola menetap, (2)
kelompok pola perkebunan, dan (3)
kelompok persawahan. Pada pola
menetap terdapat sebuah jalan besar
yang disebut awangan yang sebenarnya
adalah rangkaian halaman depan yang
masing-masing merupakan bagian dari
unit-unit rumah pada kompleks tersebut.
Awangan
tersebut
berundakundak,
makin ke utara makin tinggi. Terdapat
dua awangan, yang batasnya ke dua
awangan ini adalah sebuah selokan.
Jumlah awangan yang membujur
dari Utara ke Selatan ada 3, yaitu:
awangan Barat, awangan Tengah dan
awangan Timur.
Leret pekarangan rumah ada 6 Leret
a paling barat, leret b bertolak
belakang dengan leret c, leret d
bertolak belakang dengan leret e dan
leret f paling timur. Warga desa adat
Tenganan hanya menempati leret a
sampai leret d, sedangkan leret d
dan f (banjar pande) adalah tempat
menetap warga desa yang telah
disingkirkan, karena pelanggaran adat.
Tanah pekarangan tempat menetap
itu adalah hak milik desa (hak ulayat).
Bentuk pola-pola menetap satu sama lain
seragam, karena luas dan struktur

Gambar.16 Bangunan-bangunan yanag


9

ada di dalam kavling masyarakat desa


tengganan

Badudu, J.S, dkk. 1982. Tipe rumah


Tradisional khas Sunda di Jawa Barat.
Bandung : ITB Fakultas Teknik
Arsitektur.
Muanas,
D.,dkk.
1984.
Arsitektur
Tradisional
Daerah
Jawa
Barat,
Bandung:Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Jawa Barat

Daftar Pustaka
Ekadjati, Dr. Edi S. MASYARAKAT
SUNDA DAN KEBUDAYAANNYA.
PT.Girimukti Pasaka,1984 : Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai