Anda di halaman 1dari 13

Tektonika dan Arsitektur Indonesia

Rooang.com | Mendengar istilah tektonika, banyak yang menyandingkannya


dengan gempa tektonik. Namun ternyata istilah tektonika dalam arsitektur memiliki
makna yang berbeda. Terlebih Arsitektur Indonesia dengan segala kebhinekaannya,
tak akan terlepas dari unsur tektonika. Apa, atau siapakah tektonika ini?
Dalam perkembangan kegiatan bangun membangun, biasanya akan diarahkan pada
Yunani sebagai pusat bermulanya kegiatan ini dipandang sebagai ilmu. Dan pada
kiblat ini pula, muncul berbagai pandangan awal mengenai arsitektur, terlebih
tektonika. Awalnya arsitektur dipandang sebagai proses memikul dan dipikul, atau
hanya berpusat pada elemen struktural. Namun di kemudian waktu disadari
hadirnya unsur lain. Ketika arsitek sibuk menerapkan kata harmonis selaras pada
susunan strukturnya, disinilah hadir kata keindahan.

Secara etimologi, tektonika berasal dari bahasa yunani, tekton, berarti tukang kayu
atau builder. Pada kata kerja adalahtektainomai yang berarti kriya, atau
ketukangan, dan pada seni penggunaan kapak. Namun istilah ini muncul pertama
pada bahasa Sappho, dimana tekton adalah tukang kayu yang berperan pada unsur
seninya. Secara umum, tektonika, adalah yang pada proses pembuatannya
menyertakan ide-ide puitis yang diasosiasikan dengan mesin, alat, teknologi, dan
pembuatan-pembuatan hal, dan pembentukan material.
Dari berbagai perdebatan panjang filsuf Yunani mengenai tolak ukur keindahan,
Thomas Aquinas merangkumnya dengan indah: Pulchrum Splendor est
Veritatis. Yang bermakna, keindahan adalah pancaran kebenaran. Maka tak elak
tektonika menjadi ilmu yang mencoba mengaitkan kebenaran sebagai sumber
pancaran keindahan. Secara sederhana tektonika adalah, the art of construction.

Menengok sejarah perkembangan arsitektur nusantara, tentunya akan dihiasi


dengan ragam tektonika. Unsur-unsur hias yang menghiasi elemen struktural
dengan falsafah kebenaran menjadi pancaran keindahan arsitektur nusantara. Hal ini
tak lepas dari kemahiran sang tukang bangunan yang dengan lihainya mengukir,
memahat, dan membangun sebuah arsitektur. Namun ternyata, selain unsur utama
tektonika, yakni Seni dan Struktur. Tektonika Nusantara dihiasi dengan cerita sejarah
pada setiap ragamnya. Hal inilah yang menjadikan keduanya terikat satu sama lain.
Unsur pertama adalah material. Olah tektonika tidak lepas dari jenis material yang
digunakan. Umumnya, arsitektur nusanatara adalah berbahan dasar kayu, hingga
kemudian berkembang dengan bambu, batu dan batu-bata. Hal ini tercermin jelas
pada wajah rumah adat nusantara. Pada perkembangannya ketika era industri
merebak, material beton mulai hadir. Sehingga kemudian bangunan-bangunan
dengan gaya kolonial, gaya jengki, hadir di Indonesia.

Unsur kedua adalah ragam hias. Kebhinekaan budaya Nusantara tergambar melalui
pembangunan rumah adat pada masing-masing daerah. Kemahiran masyarakat
pada jaman dahulu untuk menyesuaikan bentuk bangunan, pola struktur, dan ragam
hias, sesuai dengan kondisi iklim setempat, dan kebudayaan sukunya. Menginjak
masa modern, rumah adat telah tersebar di berbagai daerah yang bukan tempat
asalnya. Misalnya kita menemui bangunan dengan arsitektur khas Bali yang berada
di pulau Jawa. Hal tersebut tentu tak terlepas dari tafsiran kita mengenai bentuk
bangunan, pola struktur, dan ragam hiasnya. Selain itu, pada umumnya ragam hias
yang diaplikasikan memiliki falsafah tersendiri, sehingga unsur ini pun juga mampu
menyibak sejarah budaya bangsa Indonesia.

Unsur ketiga adalah ketukangan. Semenjak era industrialis, pembuatan bata secara
manual ditinggalkan. Moda ukiran kayu ditinggalkan. Pemahatan batu pun telah
samar-samar terbelakang. Karena unsur efisiensi yang diutamakan, pembuatan
material secara mesin pun tak terelakkan. Arsitektur Indonesia pun mulai diwarnai
bangunan-bangunan masif yang tak tersentuh keahlian tukang-tukang Bangsa.
Namun kini, critical regionalism mulai marak dibicarakan. Keahlian setiap daerah
untuk membuat identitas arsitekturnya mulai bangkit kembali, dengan trigger Venice
Biennale lalu yang mengusungAbsorbing Modernity.

Pada akhirnya, tiba pada manifesto Renzo Piano yang luar biasa, An architect must
be a craftsman. Of course any tools will do. These days the tools might include a
computer, an experimental model, and math. However, it is still craftmanship the
work of someone who doesnt separate the work of the mind from the work of the
hand. It involves a circular process that draws you from an idea to a drawing, from a
drawing to an experiment, from an experiment to a construction, and from
construction back to an idea again.
Untuk kembali ke era permainan tektonika yang mampu melahirkan identitas
arsitektur yang kaya akan budaya.

Sumber:
Frampton, Kenneth. 1995. Studies in Tectonic Culture. London: MIT Press
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk
Arsitektural. Jakarta: Gramedia.
Serta Kuliah-kuliah oleh Prof. Josef Prijotomo

Sumber Gambar:

Dokumentasi Pribadi
http://gayonusantara.blogspot.com/
http://karonusantara.blogspot.com
htpp://sightsworld.com/

Anda mungkin juga menyukai