Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai konsep dan teori yang digunakan dalam
penelitian, sebagai landasan dan dasar pemikiran untuk membahas serta menganalisa
permasalahan yang ada.
2.1 APARTEMEN
Apartemen adalah sebuah unit tempat tinggal yang terdiri dari kamar tidur,
kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang santai yang berada pada satu lantai
bangunan vertikal yang terbagi dalam beberapa unit tempat tinggal (Chiara dan
Callender, 1968). Apartemen merupakan salah satu variasi jenis hunian yang diminati
oleh masarakat terutama yang tinggal di kota-kota besar. Jika dahulu rumah biasa
(landed house) menjadi pilihan tempat tinggal yang paling diminati, kini
kecendrungan itu sedikit demi sedikit mulai bergeser. Hal ini bukan disebabkan oleh
faktor tren, melainkan masalah pemukiman di perkotaan yang kian rumit. Oleh sebab
itu, apartemen dapat menjadi alternatif yang layak bagi pengembang perumahan di
wilayah pusat kota untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap tempat
tinggal.
Bagi masyarakat kota, tinggal di apartemen sebenarnya bukanlah hal istimewa.
Tinggal di apartemen sama seperti tinggal di komplek perumahan, bahkan fasilitas
yang tersedia pun hampir sama. Yang menjadi perbedaan adalah bentuknya,
apartemen berbentuk vertikal sehingga penggunaan lahan lebih efisien dan
merupakan solusi yang paling ideal untuk menyelesaikan masalah pemukiman di kota
(Akmal, 2007).
2.1.1 Perkembangan Apartemen di Indonesia
Kehadiran hunian vertikal di Indonesia bermula di kota Jakarta. Sekitar tahun
1974 berdiri sebuah apartemen Ratu Plaza di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta
Selatan dengan jumlah unit apartemen 54 unit. Ratu Plaza adalah mix-used building
antara hunian dan pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan Ratu Plaza sendiri menjadi
pusat perbelanjaan kaum berada Jakarta hingga tahun 1980-an.

II-1
Pada tahun 1980-an berdiri sebuah apartemen di kawasan Kuningan, Jakarta
Selatan, tepatnya di jalan Taman Rasuna Said, yaitu apartemen Taman Rasuna.
Apartemen ini banyak dihuni oleh kaum ekspatriat karena kawasan kuningan
dikelilingi oleh gedung-gedung perkantoran yang kebanyakan berskala internasional
dan kantor-kantor kedutaan dari berbagai negara. Apartemen Taman Rasuna inilah
yang kemudian menjadi pelopor pembangunan apartemen-apartemen lainnya di
Jakarta.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan apartemen,
bangunan apartemen banyak dibangun khususnya di wilayah Jakarta Selatan yang
sampai sekarang masih menjadi pilihan favorit untuk kawasan hunian. Meskipun
Jakarta Selatan tetap menjadi primadona, pada gilirannya apartemen juga dibangun di
empat wilayah Jakarta lainnya, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan
Jakarta Timur (Arlina, 2008).
Sekarang pembangunan apartemen sudah merambat ke kota-kota lain di
Indonesia antara lain Bandung, Depok, Semarang, Surabaya, Malang, Solo, Medan,
Batam, dll.
2.1.2 Klasifikasi Apartemen
Klasifikasi apartemen berdasarkan kategori jenis dan besar bangunan (Akmal,
2007), yaitu:
1. High-Rise Apartment
Bangunan apartemen yang terdiri lebih dari sepuluh lantai. Dilengkapi area
parkir bawah tanah, sistem keamanan dan servis penuh. Struktur apartemen
lebih kompleks sehingga desain unit apartemen cenderung standard. Jenis
ini banyak dibangun di pusat kota.
2. Mid-Rise Apartment
Bangunan apartemen yang terdiri dari tujuh sampai dengan sepuluh lantai.
Jenis apartemen ini lebih sering dibangun di kota satelit.
3. Low-Rise Apartment

II-2
Apartemen dengan ketinggian kurang dari tujuh lantai dan menggunakan
tangga sebagai alat transportasi vertikal. Biasanya untuk golongan
menengah kebawah.
4. Walked-Up Apartment
Bangunan apartemen yang terdiri atas tiga sampai dengan enam lantai.
Apartemen ini kadang-kadang memakai lift, tetapi dapat juga tidak
menggunakan. Jenis apartemen ini disukai oleh keluarga yang lebih besar
(keluarga inti ditambah orang tua). Gedung apartemen ini hanya terdiri atas
dua atau tiga unit apartemen.
Klasifikasi apartemen berdasarkan tipe unit (Akmal, 2007), yaitu:
1. Studio
Unit apartemen yang hanya memiliki satu ruang. Ruang ini sifatnya
multifungsi sebagai ruang duduk, kamar tidur, dan dapur yang terbuka
tanpa partisi satu-satunya ruang yang terpisah biasanya hanya kamar mandi.
Apartemen tipe studio relatif kecil. Tipe ini sesuai dihuni oleh satu orang
atau pasangan tanpa anak. Luas minimal 18-35 m2.

Gambar 2.1 Apartemen Tipe Studio


Sumber: www.greenbaypluit.com

II-3
2. Apartemen 1, 2, 3, 4 kamar/Apartemen Keluarga
Pembagian ruang apartemen ini mirip rumah biasa. Memiliki kamar tidur
terpisah serta ruang duduk, ruang makan, dan dapur yang terbuka dalam
satu ruang atau bisa juga terpisah. Luas apartemen ini sangat beragam
tergantung ruang yang dimiliki serta jumlah kamarnya. Luas minimal untuk
satu kamar tidur adalah 25 m2, dua kamar tidur 30 m2, tiga kamar tidur 85
m2, dan empat kamar tidur 140 m2.

Gambar 2.2 Apartemen Tipe Dua kamar


Sumber: www.greenbaypluit.com
3. Loft
Loft adalah bangunan bekas gudang atau pabrik yang kemudian
dialihfungsikan sebagai apartemen. Caranya adalah dengan menyekat-
nyekat bangunan besar ini menjadi beberapa hunian. Keunikan loft adalah
memiliki ruangan yang tinggi, mezzanine atau dua lantai dalam satu unit.
Bentuk bangunannya pun cenderung berpenampilan industrial. Beberapa
pengembang membangun apartemen baru dan menggunakan istilah loft
untuk apartemen dengan mezzanine atau dua lantai yang mereka bangun.

II-4
Sesungguhnya ini salah kaprah karena keunikan loft terletak pada konsep
bangunan bekas pabrik dan gudang.

Gambar 2.3 Loft dengan Desain Interior Berkonsep Industrial


Sumber: www.interiordesignipedia.com
4. Penthouse
Unit hunian ini berada di lantai paling atas dari sebuah bangunan
apartemen. Luasnya lebih besar daripada unit-unit di bawahnya. Bahkan,
kadang-kadang satu lantai hanya ada satu atau dua unit saja. Selain lebih
mewah, penthouse juga sangat pribadi karena memiliki lift khusus untuk
penghuninya. Luas minimumnya adalah 300 m2.

II-5
Gambar 2.4 Penthouse
Sumber: www.homedsgn.com
Klasifikasi apartemen berdasarkan kepemilikan (Chiara dan Callender, 1968)
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Apartemen Sewa
Pemilik membangun dan membiayai operasi serta perawatan bangunan,
penghuni membayar uang sewa selama jangka waktu tertentu.
2. Apartemen Kondominium
Penghuni membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada
batasan bagi penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit
miliknya. Penghuni biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama
yang dikelola oleh pemilik gudang.
3. Apartemen Koperasi
Apartemen ini dimiliki oleh koperasi, penghuni memiliki saham didalamnya
sesuai dengan unit yang ditempatinya. Bila penghuni pindah, ia dapat
menjual sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan
persetujuan koperasi. Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung oleh
koperasi.

II-6
Klasifikasi apartemen berdasarkan pelayanannya (Chiara dan Callender, 1968)
dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Apartemen Fully Service
Apartemen yang menyediakan layanan standard hotel bagi penghuninya
seperti house keeping, room service, laundry, business center, dsb.
2. Apartemen Fully Furnished
Apartemen yang menyediakan furnitur atau perabotan dalam unit
apartemen.
3. Apartemen Fully Furnished and Fully Service
Gabungan kedua jenis apartemen yang tertulis sebelumnya.
4. Apartemen Building Only
Apartemen yang tidak menyediakan layanan ruang atau furnitur.
2.2 ERGONOMI
Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos
(hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia
dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
engineering, manajemen, dan desain/perancangan (Nurmianto, 2004). Ergonomi
berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan
manusia di tempat kerja, rumah, dan tempat umum. Di dalam ergonomi dibutuhkan
studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling
berinteraksi dengan tujuan utama yaitu meneyesuaikan suasana kerja dengan manusia
(Nurmianto, 2004).
Istilah ergonomi lebih popular dipergunakan oleh beberapa negara Eropa Barat.
Di Amerika istilah ini lebih dikenal sebagai Human Factor Engineering atau Human
Engineering. Human Engineering atau sering disebut ergonomi adalah "Man
Machine Interface", sehingga pekerja dan manusia atau produk lain bisa berfungsi
lebih efektif dan efesien sebagai manusia mesin yang terpadu (Wignjosoebroto,
1995). Tujuan dari disipilin ergonomi adalah mendapatkan suatu pengetahuan yang
utuh tentang permasalahan-permasalahan interaksi manusia dengan teknologi dan

II-7
produk-produknya, sehingga dihasilkan rancangan sistem manusia mesin atau
teknologi yang optimal (Wignjosoebroto, 1995).
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun
(desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras
seperti perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches), platform, kursi, pegangan alat
kerja (workholders), sistem pengendali (controls), alat peraga (display), jalan/lorong
(access ways), pintu (doors), jendela (windows), dan lain-lain. Masih dalam kaitan
dengan hal tersebut diatas adalah bahasan mengenai rancang bangun lingkungan kerja
(working environment), karena jika sistem perangkat keras berubah maka akan
berubah pula lingkungan kerjanya.
Menurut R.S. Bridger (2003), ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi
antara manusia dan mesin dan faktor yang mempengaruhi interaksi. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan interaksi kinerja sistem dengan memperbaiki mesin manusia. Ini
dapat dilakukan dengan "merancang-dalam ' interface yang lebih baik atau dengan
'merancang-out' faktor dalam lingkungan kerja, dalam tugas atau dalam organisasi
kerja yang mendegradasi kinerja manusia-mesin.
Seluruh sistem kerja terdiri atas komponen manusia dan komponen mesin
menyatu dalam satu lingkungan yang disebut ergosistem. Interaksi manusia dan
mesin dengan lingkungan apat divisualisasikan pada gambar 2.10 berikut.

H M
H

(A) (B)

ERGOSISTEM SEDERHANA

II-8
M
M H
M H
H H
M
M H

(C) (D)

ERGOSISTEM KOMPLEKS
Gambar 2.5 Contoh Ergosistem
Sumber: Bridger, 2003
Keterangan:
H = Manusia ( Human)
M = Mesin (Machine)
Pada gambar 2.10 menggambarkan bahwa didalam sistem kerja yang sederhana
terdiri atas satu manusia dan satu mesin dalam satu lingkungan. Gambar A dan B
adalah ergosistem sederhana. Gambar A menggambarkan manusia sendiri didalam
sebuah lingkungan. Pada gambar B ditambahkan sebuah mesin. Pada C dan D adalah
ergosistem kompleks. Pada gambar C, satu manusia terhubung dengan beberapa
mesin. Pada gambar D satu mesin terhubung dengan beberapa manusia. Desain
sistem dibuat saat manusia dan mesin bekerja bersama untuk membuat sesuatu,
karakteristik dari manusia didalamnya dan kemampuan untuk diaplikasikan
pengetahuan ini dalam desain perlu diketahui. Inilah yang disebut dengan fungsi
dasar ergonomi (Bridger, 2003).
2.3 ANTROPOMETRI
Antropometri merupakan bidang ilmu yang berhubungan degnan dimensi tubuh
manusia. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu anthro yang berarti manusia dan
metri yang berarti ukuran (Wignjosoebroto, 1995). Secara definitif Antropometri
dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh
manusia. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dsb),
berat, dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya. Antropometri secara luas
akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses

II-9
perancangan produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksi manusia.
Menurut Wignjosoebroto (1995) data antropometri yang berhasil diperoleh akan
diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal:
1. Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dll).
2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, perkakas (tools), dsb.
3. Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja, komputer,
dll.
4. Perancangan lingkungan kerja fisik.
Menurut Santoso (2013) antropometri merupakan salah satu tool ilmu yang
digunakan untuk menciptakan kondisi kerja yang ergonomis. Ergonomi merupakan
ilmu perancangan berbasis manusia (Human Centered Design). Pengukuran
antropometri pada dimensi tubuh manusia merupakan salah satu bagian dalam
mewujudkan kondisi yang ergonomis. Data dimensi manusia ini sangat berguna
dalam desain produk dengan tujuan mencari keserasian produk dengan manusia yang
memakainya. Pemakaian data antropometri mengusahakan semua alat disesuaikan
dengan kemampuan manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Desain yang
mempunyai kompatibilitas ukuran alat dengan ukuran dimensi manusia yang
memakainya sangat penting untuk mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya
kesalahan kerja yang disebabkan dari kesalahan desain (design-induced error).
2.3.1 Pengukuran Data Antropometri
Pada umumnya manusia berbeda dalam hal bentuk dan ukuran tubuh. Ada
beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia, Faktor-faktor yang
dimaksud adalah:
1. Umur
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh A.F. Roche dan G.H. Davila
(1972) di Amerika Serikat diperoleh kesimpulan bahwa pria akan tumbuh dan
bertambah tinggi sampai dengan usia 21,2 tahun, sedangkan wanita 17,3 tahun;
meskipun ada sekitar 10% yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5
tahun untuk pria dan 21,1 tahun untuk wanita. Setelah itu tidak akan terjadi

II-10
pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi penurunan atau
penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan.
2. Jenis kelamin
Dimensi ukuran tubuh pria umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan
wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul, dsb.
3. Suku/bangsa
Setiap suku, bangsa atau kelompok etnik akan memiliki karakteristik fisik yang
berbeda dari kelompok etnik lain.
4. Posisi Tubuh
Posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Oleh karena itu, posisi
tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Dalam antropometri
dikenal dua cara pengukuran, yaitu :
a. Pengukuran dimensi struktur tubuh (structural body dimension)
Tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak. Istilah lain
untuk pengukuran ini dikenal dengan static antropometri. Dimensi tubuh
yang diukur dengan posisi tetap meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam
posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi atau panjang lutut
berdiri maupun duduk, panjang lengan dan sebagainya.
b. Pengukuran dimensi fungsional (functional body dimension)
Pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat melakukan gerakan-
gerakan tertentu. Hal pokok yang ditekankan pada pengukuran dimensi
fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang berkaitan
dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu.
5. Cacat tubuh
Data antropometri digunakan untuk perancangan produk bagi orang-orang cacat
(kursi roda, kaki/tangan palsu, dll). Produk kaki/tangan palsu harus dapat
memfasilitasi orang-orang cacat dalam bergerak secara dinamis.
6. Tebal/tipisnya pakaian

II-11
Faktor iklim yang berbeda akan memberikan variasi yang berbeda-beda pula
dalam bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian. Dengan demikian dimensi
tubuh akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
7. Kehamilan
Kondisi hamil akan mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh (khusus wanita).
Hal tersebut memerlukan perhatian khusus terhadap produk yang dirancang
khusus untuk ibu hamil.
Data antropometri dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran
produk yang akan dirancang dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang
akan menggunakannya (Wignjosoebroto, 1995). Pengukuran dimensi struktur tubuh
yang biasa diambil dalam perancangan produk maupun fasilitas dapat dilihat pada
gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.6 Data Anthropometri yang diperlukan untuk Perancangan Produk


atau Fasilitas Kerja
Sumber: Wignjosoebroto, 1995
Keterangan gambar 2.11 di atas, yaitu:
1 = Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung
kepala).

II-12
2 = Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.
3 = Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4 = Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).
5 = Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukkan).
6 = Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai
dengan kepala).
7 = Tinggi mata dalam posisi duduk.
8 = Tinggi bahu dalam posisi duduk.
9 = Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus).
10 = Tebal atau lebar paha.
11 = Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.
12 = Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut betis.
13 = Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
14 = Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha.
15 = Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).
16 = Lebar pinggul ataupun pantat.
17 = Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam
gambar).
18 = Lebar perut.
19 = Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus.
20 = Lebar kepala.
21 = Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.
22 = Lebar telapak tangan.
23 = Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak
ditunjukkan dalam gambar).
24 = Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.
25 = Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.

II-13
26 = Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan
ujung jari tangan.
2.3.2 Distribusi Normal Dalam Penetapan Data Antropometri
Anthropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991) adalah satu
kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia,
ukuran, bentuk, dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan
masalah desain. Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia
nilai mean (rata-rata) dan SD (standar deviasi) dari suatu distribusi normal.

Gambar 2.7 Distribusi Normal yang Mengakomodasi 95% dari Populasi


Sumber: Nurmianto, 2004
Menurut Panero (1979) persentil menunjukkan jumlah bagian per seratus orang
dari suatu populasi yang memiliki ukuran tubuh tertentu (atau yang lebih kecil).
Persentil merupakan suatu nilai yang menunjukkan presentase tertentu dari orang
yang memiliki ukuran pada atau dibawah nilai tersebut. Contohnya persentil ke-95
akan menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran tersebut;
sedangkan persentil ke-5 akan menunjukkan 5% populasi berada pada atau dibawah
ukuran itu (Wignjosoebroto, 1995).
Persoalan yang akan muncul dalam penetapan data antropometri akan terletak
pada kemampuan kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Seberapa besar sampel pengukuran yang kita ambil untuk penetapan data
antropometri?

II-14
2. Haruskah setiap sampel dibatasi per kelompok (segmentasi) yang
homogen?
3. Apakah sudah tersedia data antropometri untuk populasi tertentu yang
nantinya akan menjadi target pemakai?
4. Bagaimana kita bisa memberikan toleransi perbedaan-perbedaan yang
mungkin akan dijumpai dari data yang tersedia dengan populasi yang akan
dihadapi?
Untuk penetapan data antropometri, pemakaian distribusi normal akan umum
diterapkan. Dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga
rata-rata (mean, ) dan simpangan bakunya (standar deviasi, x) dari data yang
diperoleh. Dari nilai yang ada tersebut dapat ditentukan nilai persentil seusai
dengan tabel probabilitas distribusi normal yang ada. Untuk menghitung nilai
persentil digunakan formulasi seperti terlihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Persentil dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal

Sumber: Nurmianto, 2004

II-15
2.3.3 Persentil
Dengan adanya berbagai variasi yang cukup luas pada ukuran tubuh manusia
secara perorangan, maka besar nilai rata-rata menjadi tidak begitu penting bagi
perancang; hal yang justru harus diperhatikan adalah rentang nilai yang ada. Secara
statistik data pengukuran tubuh manusia pada berbagai populasi akan terdistribusi
dalam grafik sedemikian rupa sehingga data-data yang bernilai kurang lebih sama
akan terkumpul di bagian tengah grafik sedangkan data-data dengan nilai
penyimpangan yang ekstrim akan terletak di ujung-ujung grafik. Jadi, memang
merupakan hal yang logis untuk mengesampingkan data dengan perbedaan yang
ekstrim pada bagian ujung grafik dan hanya menggunakan segmen terbesar (90%)
dari kelompok populasi tersebut.
Untuk tujuan penelitian, sebuah populasi dibagi-bagi berdasarkan kategori-
kategori dengan jumlah keseluruhan 100% dan diurutkan mulai dari populasi yang
terkecil hingga yang terbesar berkaitan dengan beberapa pengukuran tubuh tertentu.
Sebagai contoh, bila dikatakan persentil ke-95 dari suatu data pengukuran tinggi
badan, berarti hanya 5% yang memiliki tinggi badan bernilai lebih besar pada suatu
populasi dan 95% memiliki tinggi badan sama atau lebih rendah pada populasi
tersebut. Persentil ke-50 memberi gambaran yang mendekati ukuran rata-rata dari
suatu populasi, namun pengertian ini jangan disalahartikan dengan mengatakan
bahwa rata-rata orang pada populasi tersebut memiliki ukuran tubuh yang
dimaksudkan oleh nilai tadi.
Menurut Panero dan Zelnik (1979) ada dua hal penting yang harus diingat bila
menggunakan persentil. Pertama, suatu persentil antropometri dari tiap individu
hanya berlaku untuk satu data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan
sesorang memiliki persentil yang sama, ke-95 atau ke-90, untuk keseluruhan dimensi
tubuhnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.13 di bawah ini.

II-16
Gambar 2.8 Data Anthropometri Seseorang dengan Persentil yang Berbeda-
beda pada Setiap Dimensi Tubuh
Sumber: Panero dan Zelnik, 1979
2.3.4 Antropometri Pada Posisi Duduk
Salah satu kesulitan utama dari perancangan tempat duduk adalah seringkali
posisi duduk dianggap sebagai gerak statis, padahal duduk lebih dapat dikatakan
sebagai gerak dinamik. Sebuah kursi yang secara antropometrik benar, belum tentu
nyaman. Menurut Tichauer, Sumbu penyangga dari batang tubuh yang diletakkan
dalam posisi duduk adalah sebuah garis pada bidang datar koronal, melalui titik
terendah dari tulang duduk (ischial tuberosities) di atas permukaan tempat duduk.

II-17
Gambar 2.9 Tulang Duduk (ischial tuberosities) dari Seseorang dalam Posisi
Duduk
Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

Gambar 2.10 Tulang Duduk yang diperbesar pada Bagian Posterior.


Sumber: Panero dan Zelnik, 1979
Branton melakukan dua penelitian berkenaan dengan hal ini. Pengamatan
pertama menunjukkan bahwa sekitar 75% dari keseluruhan berat badan hanya
disangga oleh daerah seluas 4 inchi persegi atau 26 cm2 dari tulang duduk ini.
Tichauer menyatakan bahwa besarnya tekanan-tekanan yang terjadi diperkirakan
sebesar 85 hingga 100 pon per inchi persegi (psi). Data lain menunjukkan bahwa
gaya tekan (kompresi) yang terjadi pada daerah kulit pantat dan landasan kursi yang
keras besarnya sekitar 40-60 psi, sedangkan tekanan pada jarak beberapa inchi hanya
sekitar 4 psi. Bertahan pada posisi duduk dalam jangka waktu lama tanpa mengubah

II-18
posisi, dengan kondisi tekanan yang terjadi, dapat menyebabkan kurangnya aliran
darah pada suatu daerah (ischemia), gangguan pada sirkulasi darah, rasa nyeri, sakit,
dan rasa kebal (mati rasa). Oleh karena itu, suatu perancangan tempat duduk harus
diupayakan sedemikian rupa sehingga berat badan yang disangga oleh tulang duduk
tersebar pada daerah yang cukup luas. Alas yang tepat pada landasan tempat duduk
dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, diupayakan subyek yang sedang
duduk dapat mengubah posisi atau postur tubuhnya untuk mengurangi rasa tidak
nyaman.
Penelitian Branton yang kedua menunjukkan bahwa secara struktural, tulang
duduk membentuk sistem penopang atas dua titik yang pada dasarnya tidak stabil.
Oleh karena itu, landasan tempat duduk saja tidak cukup untuk menciptakan
kestabilan. Secara teoritis, kaki, telapak kaki, dan punggung yang bersinggungan
dengan bagian lain dari tempat duduk juga ikut menciptakan kestabilan. Dari
pernyataan tersebut timbul perkiraan bahwa titik pusat dari gaya berat terletak
melewati tulang duduk. Sebenarnya, titik pusat gaya berat dari tubuh pada posisi
duduk tegak lurus terletak sekitar 1 inchi atau 2,5 cm di depan pusar, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Pusat Gaya Berat Manusia pada Posisi Duduk.


Sumber: Panero dan Zelnik, 1979

II-19
Berikut adalah data antropometri yang dapat digunakan dalam perancangan
kursi (Panero dan Zelnik, 1979)

Gambar 2.12 Data Anthropometri untuk Perancangan Kursi


Sumber: Panero dan Zelnik, 1979
Keterangan gambar 2.12 di atas, yaitu:
A = Tinggi lipatan dalam lutut.
B = Jarak pantat-lipatan dalam lutut.
C = Tinggi siku duduk.
D = Tinggi bahu.
E = Tinggi duduk normal.
F = Rentang antar siku.
G = Rentang panggul.
H = Rentang bahu.
I = Tinggi lumbar.
2.4 PROSES PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN PRODUK
Proses perancangan dan pengembangan produk secara umum terdiri dari
beberapa fase. Menurut Karl T. Ulrich dan Steven D. Eppinger pada bukunya yang
berjudul Perancangan dan Pengembangan Produk, proses perancangan dan
pengembangan produk terdiri dari enam fase, yaitu:

II-20
Gambar 2.13 Fase Pengembangan Produk menurut Ulrich-Eppinger
Sumber: Ulrich dan Eppinger, 2001
1. Fase 0. Perencanaan
Kegiatan ini disebut sebagai zerophase karena kegiatan ini mendahului
persetujuan proyek dan proses peluncuran pengembangan produk aktual.
2. Fase 1. Pengembangan Konsep
Pada fase pengembangan konsep, kebutuhan pasar target diidentifikasi, alternatif
konsep produk dimunculkan dan dievaluasi, kemudian satu atau lebih dipilih
untuk pengembangan dan percobaan lebih jauh. Konsep yang dimaksud adalah
penjelasan dari bentuk, fungsi, dan tampilan suatu produk yang disertai dengan
spesifikasi produk, analisis produk-produk pesaing serta pertimbangan ekonomis
proyek.
3. Fase 2. Perancangan Tingkatan Sistem
Fase perancangan tingkatan sistem mencakup definisi arsitektur produk dan
uraian produk menjadi subsistem-subsistem serta komponen-komponen. Output
pada fase ini adalah tata letak bentuk produk, spesifikasi secara fungsional dari

II-21
tiap subsistem produk, serta diagram alir proses pendahuluan untuk proses
rakitan akhir.
4. Fase 3. Perancangan Detail
Fase perancangan detail terdiri dari spesifikasi lengkap dari bentuk, material, dan
toleransi-toleransi dari seluruh komponen unit pada produk dan identifikasi
seluruh komponen standar yang dibeli dari pemasok. Rencana proses dinyatakan
dan peralatan dirancang untuk tiap komponen yang dibuat dalam sistem
produksi. Hasil akhir dari fase ini adalah catatan pengendalian produk, gambar
tiap komponen produk dan peralatan produksinya, spesifikasi komponen-
komponen yang dapat dibeli, serta rencana proses pabrikasi dan perakitan
produk.
5. Fase 4. Pengujian dan Perbaikan
Fase pengujian dan perbaikan meibatkan konstruksi dan evaluasi dari berbagai
macam versi produksi awal produk. Prototipe awal (alpha) biasanya dibuat
dengan menggunakan komponen-komponen dengan bentuk dan jenis material
pada produksi sesungguhnya, namun tidak memerlukan proses pabrikasi yang
sama dengan proses pabrikasi sesungguhnya. Sasaran dari prototipe beta adalah
menjawab pertanyaan mengenai kinerja dan keandalan dalam rangka
mengidentifikasi kebutuhan perubahan-perubahan secara teknik untuk produk
akhir.
6. Fase 5. Produksi Awal
Pada fase ini, produk dibuat dengan menggunakan sistem produksi yang
sesungguhnya. Tujuan dari produksi awal adalah untuk melatih tenaga kerja
dalam memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada proses produksi
sesungguhnya. Beberapa saat pada masa peralihan ini, produk diluncurkan dan
mulai disediakan untuk didistribusikan.
Seperti yang kita lihat pada gambar 2.23 bahwa kelima fase diatas disusun oleh
berbagai macam proses yang harus dilakukan dalam tahapan proses perancangan dan
pengembangan produk dalam buku Ulrich-Eppinger, yaitu:
1. Bab 2 Proses dan Organisasi Pengembangan produk

II-22
Proses pengembangan produk generic dan variasi pemakaian proses ini dalam
berbagai macam lingkungan industri. Bab ini juga menjelaskan bagaimana
seorang individu ditempatkan didalam organisasi/kelompok yang terlibat dalam
proyek pengembangan produk.
2. Bab 3 Perencanaan Produk
Menjelaskan metode untuk mengambil keputusan produk yang akan
dikembangkan. Output dari bagian ini adalah pernyataan misi untuk proyek
tertentu.
3. Bab 4 sampai bab 8
Aktivitas-aktivitas kunci pada fase pengembangan konsep. metode-metode yang
dijelaskan akan menuntun tim pengembangan produk mulai dari pembuatan misi
sampai seleksi konsep.
4. Bab 9 Arsitektur Produk
Implikasi arsitektur terharap perubahan produk, variasi produk, standardisasi
komponen, kinerja produk, biaya manufaktur, dan manajemen proyek. Terakhir
dijelaskan suatu metode untuk membuat arsitektur produk.
5. Bab 10 Desain Industri
Bab ini berisi peran desainer industri, isu-isu yang berkaitan dengan interaksi
produk dan pemakainya, pertimbangan aspek estetika dan ergonomi dalam
proses pengembangan produk.
6. Bab 11 Desain untuk Proses Manufaktur
Teknik-teknik yang digunakan untuk mengurangi biaya manufaktur. Teknik-
teknik ini diterapkan pada fase perancangan sistem dan perancangan detail sistem
dari proses pengembangan produk.
7. Bab 12 Membuat Prototipe
Berisi metode proses pembuatan prototipe produk yang berlangsung selama
proses pengembangan.
8. Bab 13 Analisis Ekonomi Pengembangan Produk
Metode yang digunakan untuk memahami pengaruh faktor-faktor internal dan
eksternal terhadap nilai ekonomis proyek.

II-23
9. Bab 14 Mengendalikan Proyek
Bab ini berisi konsep dasar interaksi antara tugas-tugas didalam proyek dan
metode perencanaan dan pelaksanaan proyek pengembangan.
2.5 SELEKSI KONSEP
Seleksi konsep merupakan proses menilai konsep dengan pertimbangan
kebutuhan pelanggan dan kriteria lainnya, membandingkan kekuatan, kelemahan
konsep, dan memilih satu atau lebih konsep untuk penyelidikan atau pengembangan
lebih lanjut (Ulrich dan Eppinger, 2001). Seleksi konsep dibagi menjadi dua tahap,
yaitu penyaringan dan penilaian konsep. Metode yang dipakai adalah metode yang
dikembangkan oleh Stuart Pugh (1990). Penyaringan dan penilaian konsep
menggunakan matriks sebagai acuan untuk enam tahapan proses pemilihan. Enam
tahapan tersebut mencakup: menyiapkan matriks seleksi, menilai konsep, meranking
konsep, mengkombinasi dan memperbaiki konsep, memilih satu atau lebih konsep,
dan merefleksikan hasil dan proses (Ulrich dan Eppinger, 2001).
2.5.1 Metode Penyaringan Konsep Stuart Pugh
Penyaringan konsep berfungsi untuk mempersempit jumlah konsep secara cepat
dan memperbaiki konsep (Ulrich dan Eppinger, 2001). Metode ini dibagi kedalam
enam tahapan, yaitu:
1. Menyiapkan matriks seleksi
Matriks berisi konsep dan kriteria yang akan diseleksi. Kriteria seleksi
dituliskan sepanjang sisi kiri matriks penyaringan. Kriteria ini dipilih
berdasarkan kebutuhan pelanggan yang telah diidentifikasi, dan juga kebutuhan
perusahaan seperti biaya produksi yang rendah atau risiko produk yang
minimum. Kriteria seleksi seharusnya dipilih untuk membedakan konsep-
konsep. Namun, karena tiap kriteria diberi bobot yang sama, sebaiknya berhati-
hati untuk tidak mencantumkan terlalu banyak kriteria yang tidak penting pada
matriks penyaringan. Selain itu, perlu ditambahkan konsep referensi sebagai
patokan konsep lainnya. Refer ensi biasanya merupakan standar industri atau
konsep terdahulu yang telah berada di pasaran. Berikut adalah contoh matriks
penyaringan pada seleksi konsep sepeda.

II-24
Tabel 2.2 Matriks Penyaringan Sepeda
Konsep-Konsep
Konsep
Kriteria Seleksi Konsep Konsep Konsep Konsep
(referensi)
B C D E
A
Harga 0 0 + - -
Konstruksi Fork 0 0 - + +
2 in 1 0 0 - + +
Kapasitas / Bahan 0 0 - 0 0
Dual Tone 0 0 0 0 0
Kelistrikan 0 0 0 0 0
Brake System 0 0 0 + +
Speed & Odometer 0 0 0 0 0
Frame & Velg 0 0 - + +
Stang & Pedal 0 0 - + +
Konstruksi Frame 0 0 0 + 0
Speed Gear 0 0 0 + +
Tools 0 0 0 0 0
Manual 0 0 0 0 0
Jumlah + 0 0 1 6 5
Jumlah 0 14 14 8 6 7
Jumlah - 0 0 5 1 1
Skor Bersih 0 0 -4 5 4
Rangking 3 3 5 1 2
Continue ? Combine Combine No Yes Yes
Sumber: Sultan, 2009
2. Menilai konsep
Nilai relatif lebih baik (+), sama dengan (0) atau lebih buruk (-)
diletakkan di tiap sel matriks untuk memperlihatkan bagaimana tiap konsep
dinilai terhadap konsep referensi untuk kriteria tertentu. Sebaiknya setiap
konsep dinilai terhadap satu kriteria sebelum pindah ke kriteria selanjutnya.
3. Meranking konsep
Setelah menilai seluruh konsep, jumlahkan nilai lebih baik, sama dengan,
dan lebih buruk. Lalu catat jumlah untuk tiap kategori pada bagian bawah
matriks. Setelah itu, berilah peringkat untuk tiap konsep. Konsep dengan nilai
positif atau nol adalah konsep yang diterima. Sebaliknya konsep dengan nilai
negatif adalah konsep yang ditolak.
4. Menggabungkan dan memperbaiki konsep

II-25
Setelah menilai dan merangking konsep, tim harus memeriksa apakah hasilnya
masuk akal. Pada tahap ini, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a. Adakah konsep yang secara umum baik, tetapi nilainya turun karena salah
satu kriterianya berpenampilan buruk? Dapatkah sedikit modifikasi
memperbaiki konsep secara keseluruhan dengan tetap menjaga perbedaan
dengan konsep lainnya?
b. Adakah dua konsep yang dapat digabungkan untuk mendapatkan kualitas
yang lebih baik sekaligus menghilangkan kualitas yang lebih buruk?
5. Memilih satu atau lebih konsep
Setelah memahami karakteristik tiap konsep, tahapan selanjutnya adalah
memilih satu atau lebih konsep untuk dilakukan perbaikan dan analisis lebih
jauh. Jumlah konsep yang dipilih untuk analisis selanjutnya akan dibatasi oleh
berbagai macam sumber daya (tenaga manusia, uang dan waktu).
6. Merefleksikan hasil dan proses
Jika konsep yang terpilih masih terlihat meragukan, maka mungkin satu atau
lebih kriteria dapat dihilangkan dari matriks penyaringan, atau mungkin ada
kesalahan penilaian. Konsep yang terpilih harus mudah dimengerti untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan.
2.5.2 Metode Penilaian Konsep Stuart Pugh
Penilaian konsep digunakan agar peningkatan jumlah alternatif penyelesaian
(resolusi) dapat dibedakan lebih baik di antara konsep yang bersaing. (Ulrich dan
Eppinger, 2001). Pada tahap ini, setiap kriteria seleksi diberi bobot kepentingan
relatif dan terfokus pada hasil perbandingan yang lebih baik dengan penekanan pada
setiap kriteria. Metode ini dibagi kedalam enam tahapan, yaitu:
1. Menyiapkan matriks seleksi
Konsep yang telah terpilih pada tahap penyaringan konsep diletakkan pada
bagian atas matriks. Kemudian kriteria seleksi diberi bobot kepentingan. Pola
yang digunakan adalah dengan mengalokasi nilai 100% pada kriteria-kriteria
tersebut. Ada juga teknik pemasaran untuk menentukan bobot data pelanggan
berdasarkan data empiris, dan melalui proses identifikasi kebutuhan pelanggan

II-26
(Urban dan Mauser, 1993). Berikut adalah contoh matriks penilaian pada
seleksi konsep sepeda.
Tabel 2.3 Matriks Penilaian Sepeda
Konsep-Konsep
Konsep AB Konsep D Konsep E

Rating

Rating

Rating
Bobot

Bobot

Bobot
Bobot

Skor

Skor

Skor
(%)
Kriteria Seleksi

Harga 12.16 % 4 0.4864 3 0.3648 4 0.4864


Konstruksi Fork 11.41 % 3 0.3423 3 0.3423 3 0.3423
2 in 1 6.48 % 2 0.1296 3 0.1944 2 0.1296
Kapasitas / Bahan 3.06 % 3 0.0918 3 0.0918 3 0.0918
Dual Tone 4.04 % 3 0.1212 3 0.1212 3 0.1212
Kelistrikan 3.34 % 3 0.1002 3 0.1002 3 0.1002
Brake System 6.92 % 3 0.2076 3 0.2076 3 0.2076
Speed & Odometer 6.41 % 3 0.1923 3 0.1923 3 0.1923
Frame & Velg 9.46 % 5 0.473 3 0.2838 5 0.473
Stang & Pedal 10.05 % 2 0.201 3 0.3015 2 0.201
Konstruksi Frame 10.51 % 5 0.5255 3 0.3153 4 0.4204
Speed Gear 6.63 % 3 0.1989 3 0.1989 3 0.1989
Tools 5.97 % 3 0.1791 3 0.1791 3 0.1791
Manual 3.54 % 3 0.1062 3 0.1062 3 0.1062
Total Skor 3.3551 2.9994 3.2500
Rangking 1 3 2
Continue ? Developed No No
Sumber: Sultan, 2009
2. Menilai konsep
Penilaian konsep dilakukan dengan cara memberi rating pada seluruh konsep
terhadap satu kriteria sekaligus, sebelum berpindah pada kriteria berikutnya.
Berikut adalah tabel nilai yang digunakan:
Tabel 2.4 Nilai Kinerja Relatif (rating)
Kinerja Relatif Nilai
Sangat buruk dibandingkan referensi 1
Buruk dibandingkan referensi 2
Sama seperti referensi 3
Lebih baik dari referensi 4
Sangat lebih baik dari referensi 5

II-27
Sumber: Ulrich dan Eppinger, 2001
Gunakan referensi yang berbeda untuk beragam kriteria seleksi. Referensi dapat
berasal dari beberapa konsep yang sedang dipertimbangkan, dari analisis
perbandingan (bench-marking), dari nilai target spesifikasi produk, dan sumber
lainnya. Nilai referensi untuk setiap kriteria harus mudah dipahami untuk
mempermudah perbandingan langsung satu per satu.
3. Meranking konsep
Setelah menilai seluruh konsep, nilai berbobot dihitung melalui perkalian nilai
dengan bobot kriteria. Total nilai untuk tiap konsep merupakan penjumlahan
dari nilai yang berbobot.

Sj = =1 x .........................................................................................(7)
Di mana,

rij = nilai konsep j untuk kriteria i

wi = bobot untuk kriteria i

n = jumlah kriteria

Sj = total nilai untuk konsep j

4. Mengkombinasi dan memperbaiki konsep


Seperti pada tahap penyaringan, konsep diperbaiki dengan cara mencari konsep
pengganti atau mengkombinasi konsep. Beberapa perbaikan kreatif dan
kemajuan dilakukan pada proses ini, hal ini karena kekuatan dan kelemahan
tiap konsep sudah terlihat.
5. Memilih satu atau lebih konsep
Konsep yang telah terpilih akan dikembangkan lebih lanjut hingga menjadi
prototype. Matriks seleksi juga dapat melakukan penilaian pada segmen pasar
yang berbeda. Mungkin saja satu konsep dominan umtuk beberapa segmen saja.
6. Merefleksikan hasil dan proses

II-28
Setelah melewati seluruh tahapan seleksi konsep, perlu dilakukan evaluasi
terhadap proses itu sendiri. Dua pertanyaan yang berguna dalam memperbaiki
proses untuk kegiatan seleksi konsep berikutnya adalah:
a. Dengan cara apa metode seleksi konsep dapat membantu tim dalam
mengambil keputusan?
b. Bagaimana metode tersebut diperbarui untuk memperbaiki kinerja tim?
Pertanyaan ini memfokuskan tim pada kekuatan dan kelemahan metodologi
yang berhubungan dengan kebutuhan dan kapabilitas perusahaan.
2.6 REVIEW PENELITIAN
Review penelitian bertujuan untuk mengetahui penelitian sebelumnya yang
berhubungan dengan perancangan produk. Penelitian yang di-review ditunjukkan
pada tabel 2.5 di bawah ini.
Tabel 2.5 Review Penelitian Sebelumnya
No Peneliti Judul Tahun
1 Rossi et. al. Design for the Next Generation: 2006
Incorporating Cradle-to-Cradle Design
Into Herman Miller Products
2 Varghese et. al. Design of Multipurpose Modular, 2011
Flexible, and Space-Saving Dining
Table.
3 Suhardi dan Perancangan Tempat Tidur Periksa 2013
Sudadi untuk Orang Lanjut Usia
4 Suhardi et. al. Redesain Boncengan Anak pada Sepeda 2013
Motor dengan Pendekatan
Anthropometri
Rossi et. al. (2006) menggunakan product assessment tool yang disebut Design
for Environment (DfE). Ia menganalisis material kursi mirra yang diproduksi oleh
perusahaan furnitur Herman Miller. Penelitian ini memberikan arahan kepada para
desainer untuk memperoleh desain produk yang ramah lingkungan. Analisis
dilakukan dengan cara pembobotan terhadap tiga aspek yaitu, material assessment,
disassembly, dan recyclability. Ketiga aspek tersebut akan ditotal untuk memperoleh
skor akhir DfE.
Varghese et. al. (2011) melakukan perancangan meja makan space-saving pada
masyarakat kelas menengah di Bangalore, India. Tahap perancangan meja terdiri dari
survey literatur, market study and product study, bench marking product, user study,

II-29
matriks QFD, PDS, concept generation and selection, dan physical modeling and
validation.
Suhardi dan Sudadi (2013) melakukan perancangan tempat tidur periksa untuk
orang lanjut usia. Data anthropometri yang digunakan adalah data anthropometri
orang lanjut usia penghuni panti wredha dan tenaga kesehatan panti wredha. Tahapan
perancangan menggunakan metode Ulrich.
Suhardi et. al. (2013) melakukan redesain boncengan anak pada sepeda motor
dengan pendekatan anthropometri. Tahapan konsep perancangan menggunakan
metode Ulrich. Tahap ini meliputi: 1) identifikasi kebutuhan konsumen, 2) penentuan
spesifikasi produk, 3) penyusunan konsep produk, 4) pemilihan konsep produk, 5)
pengujian konsep produk. Tahap perancangan mewujudkan konsep rancangan yang
terpilih ke dalam bentuk desain produk.

II-30

Anda mungkin juga menyukai