Anda di halaman 1dari 32

Sejarah Arsitektur di

Indonesia

Arsitektur Komunitas
Bangsawan di Sulawesi
Toraja ketekesu, palawa, siguntu
DOSEN : IR. SRI HANDJAJANI, MT
k
E
TIG FANNY SALWA
L
A FAIRUZY
FILSEN PUTASIX LASE
O
M
GLADIS ISTIQOMAH SP
P
KHANSA IZDIHAR
O
YUDISTYA
K

1. TORAJA
KETEKES
U

2.
PALAWA

3.
SIGUNTU

TORAJA KETEKESU
Ketekesu adalah obyek wisata yang sudah populer diantara

turis domestik dan asing sejak tahun 1979, telah ditetapkan


sebagai
salah
satu
cagar
budaya
yang
perlu
dilestarikan/dilindungi.
Terletak di kampung Bonoran yang berjarak 4 km dari Kota
Rantepao.
Obyek wisata ini terbilang cukup menarik karena memiliki
satu kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang
terdiri dari beberapa Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura
(lumbung padinya).
Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu yang berfungsi
sebagai tempat bermusyawarah, mengelolah, menetapkan
dan melaksanakan aturan-aturan adat.
Obyek wisata ini dilengkapi dengan areal pemakaman (rante),
kuburan (liang), purba dan makam-makam modern.

Di Ketekesu terdapat peninggalan purbakala berupa

kuburan batu yang diperkirakan berusia ratusan tahun.


Di sini wisatawan akan menemukan kuburan batu yang
menyerupai sampan atau perahu yang menympan
sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua
kuburan batu diletakkan menggantung di tebing atau
goa dan terkadang ditemukan berserakan di samping
peti jenazah.
Peti mati tradisional di Ketekesu tidak hanya berbentuk
seperti perahu, namun juga ada yang berbentuk
kerbau dan babi dengan pahatan atau ukiran rapi. Peti
berukir kerbau berarti jenazah laki-laki dan peti berukir
babi melambangkan jenazah perempuan.

1.

5.
2
.

3.

4.

6.

7.

8. 9.

Komplek Rumah Adat Tongkonan di Ketekesu terdiri


dari 9 rumah adat Tongkonan dan 9 lumbung padi
atau alang. Rumah Adat Toraja selalu menghadap
ke Utara dan lumbung padi selalu terletak di
depannya.

Lumbung padi Toraja yang disebut alang, di


kampung Ketekesu. Menurut kepercayaan Alok
Todolo di Toraja, padi sebagai makanan utama
dianggap mempunyai roh seperti benda-benda
lainnya. Oleh sebab itu, padi juga memerlukan
penghormatan dan perlakuan sebaik-baiknya.

Rumah Adat Toraja di Ketekesu,


rumah adat atau tongkonan ini selalu
menghadap ke arah utara.

Kabongo, yaitu bentuk kepala kerbau


(tedong) yang terbuat dari kayu dengan
memakai
tanduk
yang
sebenarnya.
Kabongo terletak pada tiang tulak sumba
dan diatasnya disusun tanduk kerbau.

Konstruksi kayu Penggosokan Tingayo dan


Pallo
(terletak pada bagian muka dan
belakang dari Tongkonan) yang tertopang pada
lentong garopang atau tiang utama.

Bagian depan rumah adat Tongkonan.


Perhatikan konstruksinya yang kelihatan
kokoh dan artistik, disertai dengan hiasan
ukiran atau pessura pada dinding.

Rumah adat Tongkonan di Ketekesu. Sepintas


lalu bentuknya kelihatan menyerupai perahu.

Pentiroan
Matampu
pada
Tongkonan di Ketekesu, Toraja.
Jendela ini hanya dibuka pada
waktu upacara kematian.

Tangga yang menuju teras depan disebut


tandok. Tangga ini terletak disamping kanan
bangunan Tongkonan.

Konstruksi tumpang kait pada sudut rumah.


Tongkonan di Ketekesu. Salah satu bukti
kemahiran arsitek Toraja dalam membangun
rumah adatnya.

Bubungan pada Tongkonan di Ketekesu. Atap


dibuat dari bambu yang dibelah dua dan
disusun telungkup dan telentang untuk
menahan air hujan.

Tiang Tulak Sumba dengan hiasan tanduk


kerbau. Terlihat juga kabongo bentuk
kepala kerbau yang dibuat dari kayu.

Lumbung Padi atau Alang. Selain tempat


menyimpan padi, alang ini juga berfungsi
sebagai tempat menerima tamu, tempat
bermusyawarah dan lain-lain.

PALLAWA
Pallawa terletak sekitar 12 km dari kota Rantepao, Ibu

Kota Kabupaten Toraja Utara. Disini akan dijumpai


rumah adat Toraja yang dinamakan Tongkonan, dimana
atapnya melengkung menyerupai perahu yang terdiri
atas susunan bambu.
Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan
dapur.
Tongkonan
digunakan
sebagai
tempat
untuk
menyimpan mayat.
Sebelah kanan rumah adat Toraja terdapat lumbung.
Kadang bangunan lumbung lebih bagus ketimbang
rumah tempat tinggal
Lumbung berfungsi sebagai tempan penyimpanan padi.

Tongkonan

berasal dari istilah tongkon yang berarti


duduk bersama-sama.
Sebelumnya, rumah ini merupakan pusat pemerintahan,
kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tana Toraja.
Rumah ini memiliki sistem turun-temurun oleh keluarga atau
marga suku Tana Toraja.
Fungsi : Pusat budaya, pusat pembinaan keluarga,
pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan,
pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.
Latar
belakang arsitektur rumah tradisional Toraja
menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan
dari perkembangan kebudayaan Toraja.
Satu Tongkonan kira-kira bisa memuat 30 orang didalamnya.
Sebagian besar pemilik dari ke-11 Tongkonan yang ada di
Pallawa adalah keturunan Datu Muane.

Terdapat 5 lumbung padi atau alang sura yang


berdiri gagah diseberang barisan Tongkonan.
Tiang-tiangnya terbuat terbuat dari batang
tanaman bangah atau palem.
Terdapat ukiran kayu bergambar matahari dan
ayam terpampang didepan alang sura ini.

Seperti juga di Ketekesu, atap-atap Tongkonan


di Pallawa terbuat dari bambu, sebuah penanda
bahwa Tongkonan ini masih asli.

Menenun kain khas Toraja menjadi kegiatan utama


para wanita di desa Pallawa. Kain tenun ini disebut
dengan Parambak, juga beberapa kerajinan
tangan lain, seperti badik dengan sarung kainnya,
kotak kayu berukir dan lain-lain.

SIGUNTU
Terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan Kecamatan

Sanggalangi' dengan jarak 5 km dari Kota Rantepao.


Objek wisata Siguntu' mempunyai daya tarik utama adalah
Tongkonan yang unik dan berada di sebuah bukit dengan
pemandangan yang mempesona, dikelilingi hamparan sawah
pada bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang.
Semula Tongkonan ini dikenal sebagai Tongkonan Tirorano
yang bertempat di Tirorano rang dibangun oleh Pong
Tanditulaan namun oleh karena sudah roboh dan
tempatnya yang kurang strategis maka oleh keluarga
membangun kembali dan disatukan di Siguntu'.
Bersama Tongkonan Siguntu' dan Tongkonan Solo' itulah
yang disebut Siguntu'.
Tongkonan tersebut dibuka sebagai objek wisata tahun 1973
dan pada tahun 1974 Tongkonan ini dirara (diupacarakan
secara adat / Rambu Tuka').

Di Siguntu inilah, pertemuan PATA (Pasific Asia Travel


Association) dilaksanakan pada tahun 1974, dan
dihadiri perwakilan dari 60 negara. PATA adalah sebuah
konferensi
yang
berkonsentrasi
pada
dunia
kepariwisataan.

Di Toraja, masing-masing rumpun keluarga membangun

tongkonan besar dan menjadikannya semacam pusat


kegiatan bila hendak melakukan ritual, baik untuk
kehidupan dan kematian.
Di Toraja, ritual kematian dilalui dengan beberapa tahapan,
mulai dari persiapan, membungkus jenazah, memindahkan
jenazah dari rumah ke tempat Lakkian tongkonan utama,
adu kerbau, pemotongan kerbau, hingga membawa
jenazah ke liang. Semua dilakukan dengan pesta besar.
pada upacara kematian itu ada sekitar 200 ekor kerbau
yang disembelih, berikut beberapa kuda, rusa dan ratusan
babi. Di Toraja, semakin banyak keluarga si mati
mempersembahkan hewan akan semakin baik kehidupan
si mati di alam kematian.
Harga kerbau paling rendah sekitar Rp 20 juta. Kerbau
jenis itu hanya menjadi pelengkap, hampir fungsinya
setara dengan babi.

PESTA KEMATIAN

upacara

pemotongan
kerbau
untuk
pesta
kematian di Toraja dilakukan dengan khusuk.
Kerbau pertama yang akan disembelih akan
diperhadapkan pada Lakkian tongkonan utama
tempat jenazah disemayamkan. Kerbau itu diikat
di sebuah tiang kayu dekat dengan batu megalitik.
Bila pemotongan itu dilakukan dengan baik,
dengan orang-orang khusus, maka kepala kerbau
saat dia terkapar harus menghadap ke Lakkian.
Simbol ini, menunjukkan keikhlasan kerbau itu
untuk ditunggangi ke alam kematian.
Dalam tradisi Toraja, kerbau dianggap sebagai
binatang kuat dan mampu membawa arwah orang
mati menuju tempat yang baik.

PROSESI
PENYEMBELIHAN
KERBAU

Simbuang atau batu megalitik adalah unsur penting dalam

ritual kematian di Toraja. Batu-batu ditarik dari dalam hutan


ke menuju kampung, tempat lapangan upacara. Batu itu
didirikan dengan beberapa upacara penting, memotong
beberapa hewan.
Simbuang menjadi penanda penting derajat kebangsawanan
orang yang meninggal. Semakin tinggi batunya semakin
tinggi pula derajat kebangsawanannya.
merupakan penanda suku Toraja menghormati kuasa berkat
dari bumi, bukan hanya dari langit. suku Toraja mempercayai
dua kekuasaan utama. Bumi dan langit.
dijalankan oleh seorang imam perempuan. Imam ini dikenal
dengan jabatan To Burake. Imam perempuan memimpin
semua prasyarat dan tatanan adat yang berhubungan
dengan kesuburan dan kelahiran. Sementara imam Laki-laki
mengurusi masalah kematian atau yang berhubungan
dengan langit.

Dalam
prosesi
penanaman
batu
Simbuang,
menunjukkan pentingnya kuasa berkat dari bumi.
Simbuang menunjukkan dengan jelas, bagaimana
batu yang ditanam harus dengan baik tertancap,
menjulang ke langit sebagai simbol kembalinya
arwah ke alam kematian.

Daftar pustaka
http://www.rappang.com/2010/02/sekilas-tanah-toraja-

tator.html
http://www.acehbooks.org/pdf/00419.pdf
http://lovelytoraja.blogspot.com/
http://travel.kompas.com/read/2014/12/06/203200827/
Wisata.Sehari.di.Toraja.Utara
https://ncangduloh.wordpress.com/
http://venchypatandean.blogspot.com/2013_03_01_ar
chive.html
http://jalan2.com/city/rantepao/tongkonan-pallawa/
http://voi.rri.co.id/voi/post/berita/79204/pesona_indo
nesia/menilik_sejarah_desa_pallawa.html
http://www.torajatreasures.com/en/sight-seeing/touris
m-objects/pallawa
http://ekorusdianto.blogspot.com/2012/01/di-tongkona
n-siguntu-tana-toraja.html

SEKIAN

TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai