Anda di halaman 1dari 8

Rumah Adat Suku Batak

Rumah adat suku Batak di Sumatera Utara


ada yang dipasangi tanduk kerbau di pucuk
atapnya. Hal ini melambangkan rumah sebagai
"kerbau berdiri tegak. Suku Batak menganggap
rumah adat mereka sebagai kerbau yang sedang
berdiri dan dinamakan Rumah Balai Batak Toba.
Bentuk rumah adat suku Batak berupa rumah
panggung.
Selain sangat menghargai binatang kerbau,
warga masyarakat Sumatera Utara sangat mencintai gotong royong dan
kebersamaan. Misalnya, pada saat membangun rumah adat suku Batak, mereka
melakukannya dengan bersama-sama.

Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak

1. Rumah adat suku Batak terdiri dari tiga bagian yang disebut tritunggal benua,
yaitu:
O atap rumah atau benua atas yang dipercaya sebagai tempat dewa.
O lantai dan dinding atau benua tengah yang ditempati manusia.
O kolong rumah atau benua bawah yang dipercaya sebagai sebagai tempat
kematian.
Pada zaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar.
Untuk masuk ke dalam rumah harus menaiki tangga dari kolong rumah. Anak
tangganya berjumlah lima sampai tujuh buah.
2. Bagian rumah adat Batak berupa tiang biasanya dekat dengan pintu. Tiang ini
memepunyai bentuk yang bulat panjang, yang dimaksudkan untuk menyangga
bagian atas atau lantai dua.
3. Balok digunakan untuk menghubungkan semua tiang yang disebut juga dengan
rassang. Balok bentuknya lebih tebal daripada papan Balok ini bisa
menyatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah, dan
dipegang oleh solong-solong (pengganti paku).
4. Terdapat pintu di kolong rumah untuk jalan masuk kerbau supaya bisa masuk
ke dalam kolong.
5. Rumah adat suku Batak mempunyai atap rumah yang terbuat dari ijuk. juk ini
terdiri atas 3 lapisan. Tuham-tuham merupakan lapisan pertama, sedangkan
lapisan kedua disebut lalubak dan kemudian dilanjutkan dengan lapisan ketiga.
6. Tangga rumah adat suku Batak ada dua macam, yaitu:
O Pertama adalah tangga jantan (balatuk tunggal). Tangan jantan terbuat dari
beberapa potongan pohon. Jenis pohon yang bisa dijadikan tangga tidak
sembarang. Pohon ini biasanya disebut sibagure, merupakan jenis pohon
yang mempunyai batang kuat.
O Kedua disebut tangga betina (balatuk boru-boru). Jenis tangga ini
merupakan paduan beberapa potong kayu yang keras dan biasanya terdiri
atas anak tangga dengan hitungan yang ganjil.


iri Khas Rumah Adat Suku Batak

Ada beberapa ciri khas yang dapat dijumpai pada rumah adat suku Batak.
Diantaranya adalah
O Bentuk bangunan merupakan perpaduan dari tiga macam hasilseni, yaitu seni
pahat, seni ukir, serta hasil seni kerajinan.
O Bentuk rumah adat dari suku Batak pada umumnya melambangkan "Kerbau
berdiri tegak.
O Menghias bagian atap dengan tanduk kerbau.
O Bangunan dibuat berdasarkan musyawarah dan saran-saran dari para orang tua.





Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini
merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak
yang berbunyi: "juk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk
adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang
antara sesama.
Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan
melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada
tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari
ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan
kehidupan sehari-hari.
Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian
sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka
tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti
mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari
sinilah sejarah ulos bermula.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api
sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari
bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari
awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa
dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis
digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa
oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari
alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku
Batak.
Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya.
Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang
memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku
Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu
ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos
yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan
motif yang sangat artistik.
Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari
yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-
motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh
tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi.
Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk
dijadikan hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek
kehidupan orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak.
Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian
hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi
melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-
kebaikan lainnya.
Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain
bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah
keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak
tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus
sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan
digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana,
sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak".
Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima
ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh
doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan
dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:


1. Ulos Ragidup


Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian
karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar
hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos
ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang
ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah
tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam
upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan
kepada ibu pengantin lelaki.

2. Ulos Ragihotang


Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara
pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai
untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara
penguburan kedua kalinya.

3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-
bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin
laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua
pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada
pengantin laki-laki.


Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-
teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada
semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu,
ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda
penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut
biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan
tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang
digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang
menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan
harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain
sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.


Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:

Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos
jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.


Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan
dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau
diterima.


Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon;
dililitkan dikepala atau di pinggang.


Berbicara soal harga, ulos dengan motif dan proses pembuatan sederhana relatif murah.
Ulos kelas ini bisa dibeli dengan harga berkisar antara Rp. 6000 sampai Rp.250.000
bahkan lebih. Sementara untuk ulos kelas atas dengan kualitas bahan yang baik dan
proses pembuatan yang lebih rumit, bisa diperoleh dengan harga berkisar antara
ratusan ribu rupiah hingga jutaan. Misalnya songket khas Batak yang digunakan
pengantin pria pada upacara pernikahan adat Batak, dibandrol Rp. 7,5 juta.

Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah:
1. Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo
2. Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak
3. Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun
4. Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.



Tarian Tor Tor

Tor tor adalah tari tradisional Suku Batak. Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik
(magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling,
terompet batak, dan lain-lain.
Menurut sejarah, tari tor tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Roh
tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol leluhur). Patung-patung
tersebut tersebut kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan
tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
Jenis tari tor tor beragam. Ada yang dinamakan tor tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini
biasanya digelar pada saat pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih
dahulu dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya.



ALAT MUSIK TRADISIONAL SUKU BATAK

Ogung merupakan alat musik sekaligus alat komunikasi yang digunakan oleh
masyarakat batak. Ogung itu sendiri berbentuk gong dengan ukuran yang bervariasi.
Ogung adalah salah satu bagian daripada Gondang Sabangunan (terdiri
dari Taganing, Ogung, Sarune dan Hesek), yang dipakai untuk upacara adat seperti
upacara meninggal orang tua yang sudah punya cicit, menggali tulang belulang
orang tua untuk dipindahkan ke bangunan yang telah disediakan, bahkan pada
upacara adat perkawinan.
Sampai sekarang asal mula ogung di tanah batak masih menjadi misteri.
Banyak cerita yang melatarbelakangi asal usul ogung. Ada yang berpendapat bahwa
ogung adalah buatan masyarakat batakitu sendiri, sebab ogung merupakan salah
satu bagian dari Gondang Sabangunan, alat musik tradisional Batak yang diyakini
semuanya dibuat oleh nenek moyang orang batak dan hanya dipakai oleh orang
batak. Namun ada pendapat lain bahwa ogung bukanlah produk asli orang batak,
tetapi berasal dari luar Sumatera Utara. Ada yang mengatakan bahwa ogung berasal
dari Pulau Jawa, tapi ada juga yang mengatakan bahwa ogung berasal dari ndia.
Kualitas ogung milik orang Batak sebenarnya sama saja dengan gong lainnya
di pelosok daerah di ndonesia, yaitu terbuat dari logam, berdiameter 16-65 cm,
memiliki ketebalan kisaran 2,5-10 cm, dan memiliki pencu (bagian tengah ogung
yang menonjol keluar). Akan tetapi, walaupun dewasa ini banyak bermunculan
pengrajin ogung di tanah batak, beberapa pemusik batak lebih menyukai gong yang
berasal dari Pulau Jawa, karena bunyinya yang lebih enak didengar.
Setiap sub-etnis dalam masyarakat Batak punya karakteristik kepemilikan
ogung. Pada orang Karo, ogung wajib hukumnya dimiliki setiap desa sehingga
semua warga di desa tertentu bersama-sama memiliki dan merawat ogung itu.
Berbeda dengan orang Karo, orang Pakpak menganggap ogung adalah benda
mewah dan berharga. Jika sebuah keluarga memiliki ogung, hal ini pertanda bahwa
keluarga ini orang terpandang. tulah sebabnya ogung bagi orang Pakpak identik
dengan "raja dan "harta sebab yang memiliki ogung biasanya keluarga kerajaan
atau orang kaya.

Seperti telah disebutkan di atas, ogung berfungsi sebagai
alat musik tradisional. Namun di lain sisi, ogung memiliki fungsi lain yang
dikhususkan dalam masyarakat batak. Pada zaman dahulu kala dimana belum ada
alat komunikasi canggih seperti sekarang ini, ogung digunakan sebagai
alat komunikasi dengan masyarakat setempat bila terjadi hal-hal tertentu yang
urgent, seperti misalnya ada kebakaran, ada pencuri, ada penyusup yang dicurigai,
dll. Terutama bila memanggil orang untuk mengadakan pertemuan tertentu oleh
masyarakat itu. Demikianlah fungsi ogung sebagai alat komunikasi dalam
masyarakat batak, dimana yang dipergunakan hanya satu tipe, bukan secara
keseluruhan seperti di Gondang Sabangunan.
Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas ogung sebagai
alat komunikasi dalam masyarakat batak mulai menurun. Hal ini disebabkan
banyaknya inovasi alat komunikasi baru semacamtelepon, handphone,
bahkan social networking yang diminati banyak masyarakat ndonesia, termasuk
masyarakat batak di Sumatera Utara. Oleh karena itu ogung hanya digunakan untuk
event-event tertentu misalnya pengesahan gedung,dll. Bukan hanya itu saja
popularitas ogung juga lebih dikenal sebagai bagian dari alat musik tradisional
Batak, Gondang Sabangunan yang sering mengiringi acara-acara khas Batak,
contohnya acara reuni tahunan marga tertentu atau perkawinan adat.
Seiring dengan banyaknya sub-etnis dalam suku batak itu sendiri (terdiri
dari Toba, Karo, Mandailing, Angkola-Sipirok, Simalungun dan Pakpak), setiap sub-
etnis memiliki perangkat ogungnya sendiri. Penamaan ogung yang berbeda
disebabkan perbedaan latar budaya. Berikut adalah macam-macam ogung dari
setiap subetnis:

Sub-etnis Toba
1. Ogung Panggora: Panggora memiliki arti "yang berseru, memberi efek kejut.
Disebut demikian karena bunyinya yang menggelegar dank eras dibandingkan
ogung-ogung lainnya.
2. Ogung hutan :Dinamai Ogung hutan karena tugasnya mengikuti bunyi ogung
oloan. kutan berarti "yang mengikuti. Nama lain ogung ini adalah pangalusi
berarti "jawaban. Ogung ini memiliki nada yang lebih tinggi dibandingkan
Ogung Oloan.
3. Ogung Doal: Ogung ini berfungsi menambah variasi bunyi ogung saja, dengan
menambah ritme tambahan.
4. Ogung Jeret

Sub-etnis Karo
Ogung Gung, yaitu jenis ogung ukuran besar.
Ogung Panganak (anak ogung), yaitu jenis ogung yang lebih kecil dari Gung.

Sub-etnis Mandailing dan Angkola-Keprok
Kedua sub-etnis ini memiliki penamaan ogung yang sama, yaitu:
Ogung Jantan (laki-laki) dan Ogung Dadaboru (perempuan), kedua ogung ini
adalah yang terbesar dari ogung lain
Ogung Pamulosi, Panongahi, dan Pandoali, ketiganya merupakan ogung yang
lebih kecil dari Ogung Jantan dan Dadaboru. Sering disebut sebagai
Ogung Mong-mongan

Sub-etnis Simalungun
Ogung Sibanggalan (besar) dan Ogung Sietekan (lebih kecil), keduanya
merupakan ogung besar, hanya saja punya ukuran berbeda.
Ogung Mong-mongan, terdiri dari dua buah ogung kecil.

Sub-etnis Pakpak
Terdiri dari tiga ogung yaitu Takudep, Poi, dan Pongpong.



SISTEM SOSIAL EKONOMI

Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok
tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa
Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat
bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan
lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.

Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana
yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul,
bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo),
sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional
yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang),
hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.

Anda mungkin juga menyukai