Anda di halaman 1dari 78

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada awal tahun 1905 Pemerintahan Hindia Belanda berusaha memperluas kekuasaanya yang sasaranya adalah daerah luar Pulau Jawa seperti Sulawesi Selatan, Bali, Tapanuli, Lombok, Kalimantan. Belanda mulai menuju Luwu tahun 1905 setelah menaklukan Kerajaan Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng, dan Kerajaan Rappang. Pada waktu itu Luwu berada di bawah kekuasaan Andi Kambo Opu Daeng Risompa. Tentara Belanda menggunakan bantuan kaki tangan bernama Daeng Paroto,untuk maksud berdamai didalam perdagangan tetapi disambut dengan senapan oleh Datu Luwu karena keinginan Belanda untuk menguasai daerah Kerajaan Luwu sudah diketahui oleh rakyat Luwu melalui informasi dari daerah yang pernah didudukinya (Idwar,2005:73). Tana Toraja pada awal 1905 merupakan bagian dari Kerajaan Luwu sebagaimana yang diungkapkan oleh (Mattata,1962:125) bahwa; Setelah Belanda dapat mematahkan perlawanan Andi Tadda Opu Papalai Punjalae dan melumpuhkan perlawanan Opu Topawennei Ma Kole Baebunta,kemudian Belanda mengarahkan dari Palopo , satuan tentara yang kuat menuju Tanah Toraja yang indah alamnya itu untuk menggempur Pong Tiku gelar Ne Baso,seorang bangsawan Toraja dan Pahlawan Luwu di Bagian Tanah Toraja ,yang juga menentang dan tidak mau tunduk kepada Belanda.

Setelah melalui berbagai peperangan,militer Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dengan mengeluarkan perjanjian Korte Verklaring (Pernyataan Pendek) yang isinya agar semua kerajaan tunduk dan patuh pada Pemerintahan Hindia Belanda serta bersedia meniadakan kekuatan militer mereka.(Tangdilintin,2009:69) Usaha perluasan kekusaan Belanda sampai ke Sulawesi Selatan termasuk Tana Toraja yang dulunya dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Belanda melakukan perluasan khususnya ke Tana Toraja karena daerah ini merupakan daerah yang potensial untuk penanaman modal dibidang pertanian khususnya perkebunan kopi. Setelah Luwu dikuasai,maka tentara pendudukan Kolonial

Belanda,menganggap Daerah Tana Toraja dapat dikuasai dengan mudah,tetapi ternyata usaha untuk menguasai Daerah Tana Toraja mendapat perlawanan yang cukup sengit oleh masyarakat Tana Toraja terutama oleh Siambeq Pong Tiku atau yang lebih dikenal dengan nama Ne Basoq, seorang diantara pemimpin atau penguasa adat tertinggi di Daerah Bagian Utara Tana Toraja dan Madika Bombing bersama adiknya Uaq Saruran,seorang penguasa atau pemimpin tertinggi di Daerah Bagian Selatan Tana Toraja.(Mappangara,2004:74) Tana Toraja pada permulaan Tahun 1905 belum mengenal bagaimana bentuk dan cara dari Pemerintahan Belanda itu sendiri, tetapi bagi raja-raja yang ada di sekitar pantai telah mengetahui bagaimana watak dan karakter dari penjajah

Belanda tersebut. Oleh sebab itu dengan segala cara dan kemampuan yang

dimiliki mereka bertekad melawan Belanda jika kedaulatan mereka dilanggar oleh pemerintah Belanda tersebut. (Tangdilintin,1978:217) Akhir tahun 1905 Belanda memasuki Daerah Bugis antara lain Enrekang dan Luwu,sementara Pong Tiku dan Pong Maramba yang dikenal sebagai

pasukan penghancur Belanda dan beberapa Raja-Raja Bugis lainya mengadakan pertemuan rahasia di Rantepao untuk menyusun strategi manghadapi Belanda. (Zainuddin,2004;158). Dari Rantepao serangan dilancarkan terhadap pertahanan Pong Tiku,pada bulan April 1906 di Daerah Panggala.Pada bulan Juni 1907 Pong Tiku ditembak oleh pasukan Belanda di pinggir Sungai Sadan di Rantepao,ketika sedang mandi (Abduh,1981;154). Dengan meninggalnya Pong Tiku berarti perlawanan terhadap Belanda semakin kendor,dengan demikian peluang Belanda menanamkan kekuasaanya di Tana Toraja semakin terbuka. Setelah situasi di Tana Toraja dirasa cukup baik, maka Belanda mulai menata pemerintahanya dengan baik. Setelah Pemerintah Belanda menguasai seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan, Belanda membuat perubahan-perubahan atas Negeri yang sudah dikuasai,daerahdaerah yang sudah dikuasai oleh Belanda dinamakan Onder Affdeling wilayahnya meliputi , Balanipa, Bikeheru, Bulukumba, Bantaeng, Binamu , Bangkala ,Takalar , Tallo, ParaloE, Maros , Pangkajene dan Selayar. (Mattulada,1988:382). Tana Toraja dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa perubahan penting yaitu tahun 1909-1942 Tana Toraja dibawah Pemerintahan Kolonial Belanda ,tahun 1942-1945 berstatus Onder Affdeling, 1949-1951 terbentuk sebagai Tongkonan

adat atau pemerintahan sendiri,tahun 1951-1957 berkedudukan sebagai Lenschap atau kewedanan. Kondisi alam Tana Toraja yang berada di daerah pegunungan dengan topografi dan geologis yang bervariasi menyebabkan pola pemukiman suku Toraja sangat bervariasi. Masyarakat yang bermukim di daerah lembah dan daerah yang relative datar, pola pemukimanya adalah mengelompok secara terpusat dan Tongkonan sebagai titik pusat yang dikelilingi rumah dan bangunan-bangunan Sosial lainya. Pola pemukiman masyarakat Toraja membentuk Lembang yang berpatokan pada Tongkonan. Sejak zaman dahulu Lembang orang Toraja dibangun berdasarkan adanya hubungan kekerabatan,yang berarti bahwa dalam satu perkampungan akan dihuni oleh orang-orang yang berasal dari satu leluhur atau nenek moyang. Pusat dari Lembang tersebut adalah Tongkonan yang dipimpin oleh seorang kepala suku atau to Parengngek, untuk Lembang yang dianggap sebagai lembang pertama dibangun di antara Lembang lainya,maka Tongkonan yang ada di Lembang tersebut dinamakan Tongkonan Layuk yang berarti Tongkonan yang pertama di bangun. Tongkonan pada zaman dahulu dianggap sebagai pusat pemerintahan adat,Aturan-aturan . (Hasanuddin,2003:3) Sebelum Tana Toraja dikuasai oleh Belanda struktur kelompok suku Toraja yang mempunyai bentuk tersendiri yaitu seluruh peranan dan kekuasaan adat itu berpusat atau terpancar dari peranan tongkonan,dan peranan tongkonan dengan jabatan adat itu diterapkan dengan sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan maka dikenallah gelar jabatan adat yang umum didalam masyarakat Tana Toraja ialah Toparenge (Pemikul tanggung jawab).(Tangdilintin,1978:11)

Sistem dan struktur pemerintahan tradisional di Tana Toraja dapat dilihat pada Tongkonan yang merupakan gambaran dalam sistem pemerintahan maupun dalam berbagai aspek kehidupan baik secara individu atau pun masyarakat,

termasuk bidang kepemimpinan oleh sebab itu sistem pemerintahan dan kekuasaan tradisional di Tana Toraja dapat disebut sebagai sistem pemerintahan dan kekuasaan Tongkonan. Adapun sistem pemerintahan Tongkonan terbagi dalam tiga daerah adat besar sejak terciptanya Aluk Sanda Saratu dan Aluk 7777 dari Banua Puan(Tongkonan pertama) sebagai landasan terbaginya Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo.Ketiga daerah ini masing-masing berdiri sendiri tapi merupakan satu kesatuan dalam persekutuan kombongan basse lepongan bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama. Sistem ini membagi wilayah adat dalam tiga daerah yaitu, 1. 2. 3. Daerah adat bagian timur yang dinamakan daerah adat Diambei atau sekarang dinamakan daerah adat pekamberan Daerah adat bagian tengah dinamakan daerah adat dipuangi atau yang sekarang dinamakam daerah adat kapuangan Daerah adat bagian barat yang dinamakan daerah adat Dimadikai atau sekarang dinamakan pula daerah adat kamadikaan.(Tandilintin,1986:23)

Dari ketiga daerah persekutuan adat ini masing-masing mempunyai lagi beberapa kelompok adat yang dikuasai oleh suatu badan yang dinamakan kombongan ada. Dari tiap-tiap kombongan ada mempunyai beberapa pemerintahan adat kecil yang dinamai lembang. Dari daerah lembang masingmasing mempunyai pula satu badan kombongan yang dinamakan kombongan

lembang yang sewaktu-waktu dapat bersidang untuk membicarakan kepentingan lembang yang dihadiri oleh seluruh penguasa adat. Dibawah pemerintahan Puang Lembang atau daerah Lembang masih terdapat pemerintahan wilayah yang dinamakan Buatetapi ada yang berstatus desa dengan pemerintahan sendiri. Dibawah penguasa Bua terdapat sekurang kurangnya daerah Penanian yang terdiri dari seorang ketua dan tiga orang anggota.Dalam seluruh daerah Tana Toraja dewan pemerintahan penanian bernama to Parengnge artinya orang yang memikul tanggung jawab adapun ketua-ketua dewan pemerintahan penanian sama saja dengan gelar daerah bua atau lembang yaitu: 1. Daerah adat kapuangan memakai gelar puang untuk ketua dewan penanian. 2. Daerah adat madika memakai gelar madika untuk daerah adat penanian. 3. Daerah adat Pekamberan memakai gelar sokkong bayu untuk ketua dewan penanian dan to parengnge sebagai anggota dewan

Sejak Belanda menguasai Tana Toraja daerah ini terbagi dalam 3 daerah yang digabungkan dengan satu daerah lain dalam bentuk pemerintahan OnderAfdeeling. Tana Toraja masuk ke dalam Afdeeling Luwu dengan nama Onder Afdeeling Makale Rantepao.

Mengapa penulis memilih judul Pemerintahan Tongkonan Adat Pada Masa Kolonial Belanda di Tana Toraja (1905-1942) mengingat bahwa Tana Toraja adalah bagian dari bangsa dan Negara Republik Indonesia yang memiliki

kebudayaan dan merupakan salah satu warisan dunia yang sangat menarik untuk dikaji. Meskipun sudah banyak tulisan yang mengkaji berbagai masalah sekitar kebudayaan ,adat istiadat,pemerintahan atau sistem kekuasaan tradisional dan lain-lain tentang Tana Toraja,akan tetapi masalah-masalah yang menyangkut masyarakat tradisional Tana Toraja sangat menarik,amat kompleks dan masih belum terungkap secara utuh. Pada uraian ini penulis berusaha menguraikan beberapa catatan berdasarkan tinjauan dari sudut sejarahnya sehingga kita dapat melihat bahwa pada dasarnya dan sejak semula ada perbedaan sistem pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat tradisional Tana Toraja. Pada masa sekarang sistem pemerintahan adat seperti Lembang masih kita temukan di Tana Toraja dan lembaga-lembaga adat yang masih berfungsi sampai sekarang. Meskipun lembaga lembaga adat tersebut telah mengalami perubahan karena ada pengaruh dari luar dan perkembangan zaman yang begitu cepat misalnya,peranan tokoh adat dalam "kombongan" yakni sebagai media pengambilan keputusan tertinggi di tingkat Lembang, dan keputusan tidak akan sah tanpa kehadiran seluruh warga Lembang termasuk kaum perempuannya, secara perlahan diambil alih oleh lembaga desa, kombongan telah kehilangan kekuatannya sebagai mekanisme pengambilan keputusan dan digantikan perannya oleh Lembaga Masyarakat Desa yang terdiri dari sejumlah posisi-posisi penting dalam desa yang umumnya lelaki Selain itu para penguasa adat masih memegang peranan yang sangat penting dalam berbagai upacara adat di Tana Toraja misalnya acara rambu solodan uapacara rambu tuka. Bahkan pada masa pendudukan Belanda pengusa

adat masih berperan dalam membuat peraturan meskipun ada aturan tersendiri dari Belanda. Namun begitu banyaknya pengaruh yang datang dari luar mengakibatkan peranan penguasa di tingkat desa sudah berubah termasuk semua sistem pengambilan keputusan di tingkat desa. Pada masa sekarang sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Padahal sebelumnya tokoh adatlah yang sangat berperan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana sistem pemerintahan tradisional di Tana Toraja pada masa Kolonial Belanda. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini yaitu: 1. Bagaimana bentuk pelaksanan Pemerintahan Tongkonan Adat sebelum masuknya Kolonial Belanda? 2. Bagaimana latar belakang masuknya Hindia Belanda di Tana Toraja? 3. Bagaimana bentuk pelaksanaan Pemerintahan Adat setelah masuknya Kolonial Belanda? C. Batasan Masalah Pemberian batasan masalah terhadap suatu masalah adalah sangat penting karena mrupakan titik tolak dari pembahasan selanjutnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kesalah pahaman dalam penafsiran sebagai salah satu pokok permasalahan dalam penulisan proposal penelitian ini.Untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini.maka titik berat pembahasan difokuskan pada bagaimana gambaran Pemerintahan Tongkonan adat sebelum masuknya Kolonial Belanda dan setelah masuknya Kolonial Belanda, serta latar

belakang masuknya Belanda di Tana Toraja dan bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah kolonial terhadap pemerintahan adat di Tana Toraja. Batasan spasial dalam penulisan skripsi ini adalah Kabupaten Tana Toraja khusunya di Kecamatan Rembon Kelurahan Banga,sedangkan batasan

temporalnya yaitu pada tahun 1905-1942, mengapa penulis mulai pada tahun 1905 karena dilandasi dengan pikiran bahwa pada tahun inilah Pemerintah Kolonial Belanda mulai masuk ke Tana Toraja, dan batas pada tahun 1942 karena pada tahun ini Pemerintahan Belanda diambil alih oleh Jepang di Tana Toraja . Batasan tematis dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana gambaran umum Pemerintahan Tongkonan Adat sebelum masuknya Kolonial Belanda dan setelah masuknya Kolonial Belanda di Tana Toraja, serta bagaimana latar belakang kedatangan Belanda di Tana Toraja. D. Tujuan penulisan Berdasarkan beberapa pokok permasalahan yang telah dikemukakan

sebelumnya,maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan Pemerintahan Tongkonan Adat sebelum masuknya Kolonial Belanda. 2. Untuk mengetahui latar belakang kedatangan Kolonial Belanda di Tana Toraja. 3. Untuk mengetahui bentuk gambaran masuknya Kolonial Belanda. Pemerintahan Tongkonan Adat setelah

10

E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Dapat memberikan pemahaman dan wawasan yang berkenan dengan sistem pemerintahan tradisional di Tana Toraja 2. Hasil penulisan ini dapat memperdalam pengetahuan tentang sejarah lokal khususnya daerah Kabupaten Tana Toraja 3. Diharapkan dengan adanya penulisan ini dapat dijadikan bahan perbandingan atau referensi bagi penulisan selanjutnya yang tertarik untuk mengkaji Daerah Tana Toraja F. Tinjauan Penelitian terdahulu Sebelumnya telah banyak buku-buku yang menulis tentang daerah Tana Toraja baik dari agama,kepercayaan,budaya maupun pariwisatanya. Seperti buku yang ditulis oleh Tandilintin (1978), sejarah dan pola-pola kahidupan masyarakat dalam buku ini lebih banyak dijelaskan tentang bagaimana sejarah dan pola kehidupan masyarakat Toraja yang berdasarkan pada kepercayaan alluk todolo dengan berpegangan pada alluk sanda saratu di mana penguasapenguasa adat sangat berperan penting dalam berbagai aktifitas manusia.sedangkan buku yang ditulis oleh Mohammad Natsir Sitonda (2005), yaitu Toraja Warisan Dunia lebih banyak dijelaskan mengenai berbagai informasi tentang keberadaan tana toraja dilihat dari sudut pandang kelyakan untuk dinominasikan dalam upaya penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage).Selain itu buku ini juga di lengkapi dengan bacaan mengenai proses dan tahapan pelaksanan upacara rambu solosebagaimana yang dilaksanakan sekarang ini.Sedangkan dalam buku

11

yang ditulis oleh Abdul Aziz Said (2004) yang berjudul Toraja (Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional) dalam buku ini lebih banyak menulis tentang Tongkonan adat sebagai rumah adat Tana Toraja yang sudah mengalami perubahan dalam desainya karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar. Dari beberapa buku diatas yang menulis tentang Tana Toraja belum ada yang

memaparkan secara detail bagaimana pengaruh Pemerintahan Kolonial Belanda terhadap pemerintahan Tongkonan Adat di Tana Toraja. Sebelumnya telah ada skripsi yang menulis tentang peranan tongkonan adat dalam menentang pengaruh Kolonial Belanda yaitu,skripsi yang ditulis oleh Nonci (2000), Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin dengan judul skripsi

Peranan tongkonan adat dalam perlawanan rakyat Benteng Allaterhadap Kolonial Belanda pada tahun 1905-1907.Di dalam skripsi ini lebih banyak dijelaskan bagaimana bentuk peranan \Tongkonan adat dalam melawan Belanda. Dalam buku dijelaskan bagaimana Tongkonan menjadi alat pemersatu masyarakat dalam melawan Belanda karena pada waktu itu ,masyarakat masih hidup dalam bentuk kelompok-kelompok dengan adanya Tongkonan itu mereka bersatu untuk melawan Belanda. Buku ini banyak menulis mengenai bagaimana rakyat petani dengan pengesahan tongkonan sehingga mereka dapat melawan Belanda dengan menggunakan senjata yang masih tradisional. Disini Tongkonan lebih diartikan sebagai pusat bertingkah laku sosial warga, menjadi sumber pelaksana peraturan adat dan sebagai wadah pemersatu masyarakat dalam melawan

Belanda.Sedangkan dalam skripsi yang ditulis oleh Ayyub Salasa (1990), Fakultas Arkeologi Universitas Hasanuddin dengan judul Sejarah Pemerintahan

12

Tradisional Tana Toraja 1900-1979. Dalam skripsi ini lebih banyak dijelaskan mengenai Tongkonan yang berfungsi sebagai gambaran proyeksi pemerintahan dalam berbagai bidang aspek kehidupan individu dan masyrakat Toraja yang diaplikasikan melalui pranata Tongkonan,termasuk dalam bidang pemerintahan dan kepemimpinanya.lebih lanjut dalam skripsi ini dijelaskan bahwa sistem

pemerintahan dan kekuasan Tradisional Tana Toraja dapat disebut sistem pemerintahan dan kekuasaan Tongkonan. Meskipun sudah ada skripsi yang membahas tentang pemerintahan tradisional di Tana Toraja, akan tetapi penulis belum menemukan karya yang membahas secara khusus bagaimana pemerintahan tradisional (Tongkonana adat) sebelum masuknya Belanda dan setelah Pemerintahan Kolonial Belanda di Tana Toraja, serta gambaran Pemerintahan Kolonial Belanda di Tana Toraja.Berawal dari gambaran itulah penulis ingin mencoba memaparkan bagaimana bentuk Pemerintahan Tongkonan Adat pada masa Kolonial Belanda di Tana Toraja dengan mengambil batas spasial kabupaten Tana Toraja khususnya di Kecamatan Rembon Kelurahan Banga.Tak dapat dipungkiri bahwasanya kehadiran beberapa buku atau hasil penelitian tersebut di atas menjadi sumber informasi dan referensi bagi penulis dalam menambah perbendaharaan informasi mengenai Pemerintahan Tongkonan Adat di Tana Toraja tersebut yang akan dibahas dalam skripsi ini.

13

G.Metodologi Penelitian Sebagai salah satu karya tulis yang tentunya di sertai dengan kajian ilmiah, tentunya memiliki kerangka yang mengacu pada aturan-aturan yang didasarkan pada objek kajian dan latar belakang keilmuannya. Peristiwa sejarah adalah cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (eksternal/bahan dan internal/isi), interpretasi (penafsiran) dan historiografi (penulisan kisah sejarah). Berdasarkan pada cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau di atas maka penyusunaan skripsi ini melalui empat tahapan kerja yakni sebagai berikut: 1. Heuristik Heuristik atau pengumpulan data merupakan tahap awal dalam proses penulisan ini. Kegiatan diarahkan pada pencarian dan pengumpulan sumber yang berkaitan dengan masalah atau objek yang ditulis. Bentuk dari pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dibedakan atas sumber lisan,tulisan dan benda. Ketiga sumber ini dapat dilakukan dalam penulisan peristiwa sejarah tetapi tidak semua peristiwa sejarah meninggalkan tiga sumber dari suatu peristiwa. Oleh sebab itu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam menyusun tulisan ini yaitu: 1.1 Penelitian lapangan Dalam penelitian lapangan penulis menempuh dengan cara wawancara. Peneliti melakukan wawancara terhadap orang-orang yang dianggap dalam objek yang diteliti ini. Peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat yang berada di

14

sekitar lokasi penelitian yaitu Tana Toraja khususnya di keluragan Banga karena daerah ini merupakan salah satu pusat dari Pemerintahan Tongkonan Adat pada masa lampau. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu , sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti melakukan penelusuran informasi dan seleksi terhadap informan yang akan diwawancarai yang pada dasarnya bertujuan

menciptakan hubungan yang bebas dan wajar dengan para informan. Hal ini dimaksudkan agar para informan tidak merasa terpaksa memberikan keterangan yang diperlukan oleh penulis. Seorang penulis harus tetap kaidah normatif dalam penelitian. Karena itu terlebih dahulu informan dimintai persetujuan dalam hal perekaman dari data yang dibutuhkan. Peneliti tidak boleh memaksakan kehendaknya atau keinginanya untuk merekam hasil wawancara dan dicatat untuk selanjutnya diperbaiki pada saat penulisan skripsi ini. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh peneliti sifatnya objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 1.2 Penelitian kepustakaan Penulis juga berusaha mengumpulkan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku yang relevan atau erat kaitannya dengan objek yang ditulis oleh peneliti. Sumber-sumber tersebut dapat diperoleh pada toko buku, Arsip, maupun perpustakaan yang berkaitan dengan Pemerintahan Tongkonan Adat di Tana Toraja dan pengaruh kebijakan Tongkonan Adat di Tana Toraja. Kolonial Belanda terhadap Pemerintahan

15

2. Kritik sumber Setelah sumber dikumpulkan,tahap selanjutnya adalah kritik sumber untuk menentukan otensitas dan kredibilitas dari sumber sejarah. Dari sumber sejarah yang diperoleh oleh peneliti tidak semuanya langsung dipakai dalam penulisan sejarah tetapi perlu dilakukan verifikasi atau penyeleksian sumber Pada tahap kritik, semua sumber dan data yang telah dikumpulkan dalam kegiatan heuristik diadakan penyeleksian atau pengujian data agar memperoleh data yang lebih akurat. Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu dalam

pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan kritik ini adalah otentitas (authenticity) jika data tersebut benar-benar bersumber dari orang yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa atau kejadian. Kritik sumber ini dibedakan antar kritik internal dan kritik eksternal. Tahap penyeleksianya harus dilakukan secara sistemastis yaitu dimulai dengan melakukan kritik eksternal dan kemudian kritik internal. Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha melakukan kritik eksternal dan kritik internal. 3. Interpretasi Setelah melalui tahapan sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip, internet, buku-buku yang relevan dengan masalah yang diangkat, maupun hasil wawancara langsung dengan para tokoh yang pernah terlibat langsung dengan peristiwa yang diteliti atau saksi sejarah dan tokoh lainnya yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti dalam bentuk penjelasan seobjektif mungkin. Tahapan ini menuntut

16

kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta. Hal ini dimaksudkan untuk memberi arti terhadap aspek yang diteliti, mengaitkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah. Perlunya interpretasi yang objektif adalah agar tidak meninggalkan sifat yang ilmiah dan memberi nilai tambah setiap aspek yang diteliti. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan yang luas dari sejarawan, baik pengetahuan dalam ilmu sejarah maupun pengetahuan dalam disiplin ilmu lainnya, agar dapat memberikan interpretasi yang tepat di dalam sumber sejarah.Hal lain bahwa tidak semua fakta sejarah tersebut penting untuk dimasukkan sebagai sumber yang relevan, perlu analisis penuslis sebagai subjek agar bisa berlaku seobjektif mungkin. Dalam hal ini tidak semua fakta kita masukan, tetapi kita hanya mengambil fakta yang relevan dengan karya yang kita ingin tulis. Dalam melakukan interpretasi kita harus bersifat objektif. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya interpretasi yang bersifat subjektifitas. Subjektif yang dimaksud disini adalah subjektifitas yang berlebihan sehingga keaslian dari tulisan kita jauh dari fakta yang ada. 4. Historiografi Tahapan keempat adalah historiografi yang merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian prosedur kerja metode sejarah. Historiografi merupakan puncak dari segala-galanya dalam metode penelitian sejarah. Sejarawan pada fase ini mencoba menangkap dan memahami realita sejarah. Dalam konteks ini sejarawan tidak hanya menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan, dan bagaimana

17

tetapi melakukan suatu eksplanasi secara kritis tentang bagaimana, dan mengapa. Pada tahap ini, fakta-fakta yang telah dirumuskan atau

diinterpretasikan itu selanjutnya dirangkaikan untuk mengungkapkan kisah sejarah yang menjadi topik dalam penelitian ini secara kronologis dan menjelaskan maknanya. Adapun tujuan dari penulisan yang telah dilakukan yaitu menciptakan kembali totalitas dari pada fakta sejarah dengan sesuatu cara dengan menulis kejadian atau peristiwa masa lampau yang sesungguhnya. Pada tahap akhir ini, penulis berusaha merekonstruksi kembali jalannya peristiwa dalam bentuk kisah sejarah secara menyeluruh menurut urutan kejadiannya. Pada tahap ini penulis mencoba memaparkan dalam bentuk deskriptif naratif yaitu menguraikan peristiwa dalam bentuk kisah sejarah

dengan memperhatikan urutan kronologis peristiwa. Hal ini dimaksudkan agar tulisan yang disajikan dapat lebih sistematis dan dapat dipahami oleh pembaca.

18

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Tana Toraja Dalam skripsi ini , penulis tidak bermaksud mambahas mengenai keseluruhan Pemerintahan Tongkonan Adat di Tana Toraja. Melainkan hanya terbatas pada sebuah kelurahan yaitu Kelurahan Banga Kecamatan Saluputti, meskipun demikian ada baiknya jika penulis menggungkapkan latar belakang sejarah Tana Toraja secara umum dan ringkas sebagai berikut; Sebelum wilayah pemukiman suku Toraja bernama Tana Toraja daerah ini bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Nama daerah tersebut merupakan gabungan dari enam buah kata yang berasal dari bahasa daerah Tana Toraja yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo = Negeri;kampung = Kebulatan;kesatuan = Bulan = Tana;negeri = Berbentuk = Matahari

Berdsarkan uraian diatas maka Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo berarti Negeri atau Perkampungan yang Bulat Bagaikan Bulan Purnama. Penaman tersebut mengandung pula arti simbolik bahwa Tana Toraja adalah sebuah Negeri yang bentuk Pemerintahan atau kemasyarakatanya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat ibarat matahari dan bulan. Asal usul nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo tersebut dilandaskan pada faktor kesatuan agama dan keyakinan yang bersumber dari kepercayaan tradisional

19

masyarkat Tana Toraja yaitu Aluk Todolo. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Toraja sejak dahulu terkenal dengan masyarakat yang menganut sistem kepercayaan Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu (Aluk 7777) , atau juga disebut sebagai Aluk sanda pituna. Aluk Pitung Sabu Pitu Ratupitung Pulo Pitu, ini adalah salah satu ajaran hidup dan kehidupan yang didalamya berisi 7(tujuh) prinsip / asas sebagai dasar falsafah hidup yaitu terdiri dari 3 (tiga),yang dinamakan Aluk Tallu Otona serta 4 (empat) asas aturan tata masyarakat atau tata cara hidup dan kebutuhan manusia yang dikenal dengan Aluk atau aturan Ada Apa Otona.(Limbonglala, 1995:139) Alluk Tallu Otona adalah ajaran falsafah kepercayaan 3 (tiga) ajaran

ketuhanan/keyakinan dalam Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu Pitung Pulo yang percaya dan menyembah kepada Puang Matta sebagai sang pencipta semesta alam yang tunggal ,percaya dan memuja kepada Deata-deata sebagai sang pemelihara ciptaan Puang Matua yang terdiri dari dewa-dewa yang terdapat diatas langit,dewa-dewa yang ada di permukaan bumi,dan dewa-dewa yang ada di dalam tanah. Mereka juga percaya dan meSmuja Tomembalai Puang yaitu arwah nenek moyang yang sudah selesai seluruh proses penobatanya menjadi setengah dewa dengan tugas memperhatikan serta memberi berkat karunia

turunanya.(Tangdilintin,1978:18) Ada apa otona yaitu ajaran tata kehidupan manusia yang terdiri dari 4 (empat) proses kehidupan dari manusia di dalam dunia ini,sesuai dengan yang diturunkan kepada manusia yang pertama yang bernama Datu La Ukku.

20

Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo juga merupakan penamaan daerah Tana Toraja yang berdasarkan kepada simbol kesatuan adat. Hal ini sesuai dengan keadaan Tana Toraja yang terbagai dalam tiga wilayah adat,yaitu Padang Dipuangngi, Padang Diambei, dan Padang Dimakdikai. Walaupun demikian ketiga wilayah adat tersebut tetap merupakan satu kesatuan adat yang terselenggara di bawah koordinasi lembaga musyawarah adat yang sampai sekarang mendapat dukungan dari masyarakat Toraja,yaitu Kombongan Basse Lepongan Bulan Limbukaluana Tana Matarik Allo. Nama Toraja mulai dikenal setelah adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan daerah luar seperti Bugis makassar. Kata Toraja berasal dari kata Toriaja (To; orang, Riaja;di atas) artinya orang yang berdiam di atas pegunungan sebelah utara daerah Sidenreng. Nama ini diberikan oleh orang Bugis Sidenreng dan daerah bugis lainnya. Dalam hal ini nama Toraja juga pernah dipopulerkan oleh N. Adriani dan Albert. C. Kruyt, pada akhir abad ke-19, menurut mereka nama Toraja digunakan untuk mengganti nama Alfuru yang mulanaya sering digunakan sebagai nama kolektif dari penduduk pedalaman Sulawesi Selatan pada masa itu, yang belum menganut agama Islam maupun agama Kristen akan tetapi telah menganut suatu kepercayaan asli dari nenek moyang mereka yaitu Aluk Todolo. Kemudia Kruyt dan Adriani menggunakan nama Toraja yang telah disadur dari kata To Riaja, nama yang diberikan oleh kerajaan Bugis Sidenreng (Hasanuddin, 2003:4). Orang Toraja sendiri pada zaman dahulu menyebut kelompoknya berdasarkan tempat tinggal, yaitu Sadan, dari nama sebuah sungai yang mengalir

21

di wilayah mereka. Karena itu sering juga disebut Toraja Sadan. Dan jika dilihat dari bahasa mereka disebut juga orang Toraja Tae. Pada masa sekarang orang Toraja berdiam di daerah yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja. Menurut sejarah, awal adanya masyarakat Toraja berdasarkan cerita rakyat yaitu diawali oleh kedatangan satu kelompok manusia yang berlayar dari selatan (Kab. Enrekang sekarang) menuju ke utara (Toraja) dengan menggunakan perahu (lembang) yang di sebut dengan To Lembang. To Lembang tersebut pertama datang di Enrekang. Satu kelompok perahu tersebut merupakan simbol sebuah kelompok masyarakat (komunitas) yang didalamnya memiliki kapten kapal (pimpinan) serta para awak dan masyarakat itu sendiri. Mereka datang dalam bentuk-bentuk kelompok yang dalam sejarah Tana Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia) dan menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu dan setelah mereka tidak dapat lagi melayarkan perahunya karena air deras dan beerbatu-batu, maka mereka menambat perahuperahunya di pinggir-pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui sungai dan karena itulah maka dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal dengan nama Banua di toke (Banua: rumah,Toke: digantung), karena perahu itu dijadikan rumah sebagai tempat berdiam salama belum ada rumah mereka dan Arroan kemudia berjalan kaki menuju tempat-tempat tinggi di pegunungan kemudian menetap disana. (Tangdilintin,1978:5) Kelompok dalam tiap Arroang dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe Aroang. Kelompok-kelompok yang datang tidak sekaligus tetapi

22

datangnya

secara

berangsur-angsur.

Kemudian

masing-masing kelompok

membentuk suatu persekutuan keluarga dibawah pimpin Ambe Arroang. Kelompok-kelompok tersebut lama kelamaan bertambah banyak dan mereka menyebar mencari tempat yang lebih luas untuk kediaman mereka dengan keturunan selanjutnya,dengan bentuk keluarga kecil yang dalam bahasa Toraja dikenal dengan istilah Pararrak yang dipimpin oleh seorang kepala yang dinamai Pong pararrak. Kemudian dari Siambeserta gelar Pong yang tersebar luas di Tana Toraja yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya kedua gelar ini dipadukan menjadi gelar bagi penguasa adat,misalnya Si AmbePong Simpi,Si Ambe Pongtiku,Si Ambemaramba Sisa-sisa masyarakat yang ada di Toraja membangun Tongkonan (rumah adat) untuk membangun komunitas yang akhirnya berkembang dalam kelompokkelompok yang menimbulkan persaingan sehingga terjadi perang, yang tidak ada yang dapat mendamaikannya. Dalam kondisi tersebut maka Dewa menurunkan aturan Sanda Saratu (Serba seratus) tetapi tidak ada yang mentaatinya maka diturunkannlah To Manurung dari langit dengan nama Puang Tamboro Langi sebagai pelaksana aturan diatas dan mendamaikan masyarakat yang berperang. To Manurung dianggap sebagai nenek moyang dari bangsawan yang ada sampai sekarang.To Manurung menikah dengan Sundiwai (Dewi Air) di Enrekang yang melahirkan anak laki-laki yang bernama Padada yang setelah dewasa merantau dengan menggunakan burung garuda menuju Kabupaten Gowa, dan menikah dengan anak dari raja Gowa. Dan perkawinan ini dijadikan simbol dari cikal bakal lahirnya suku Mamasa, Mandar, Mamuju dan Majene. Sehingga lahir falsafah

23

pitu ulunna salu, pitu babanna binangnga (tujuh kerajaan di gunung dan tujuh kerajaan dari pantai). Papa tettu ( Wawancara, 28 Juli 2011) B. Letak Geografis Dalam sejarah pemerintahan Hindia Belanda, Tana Toraja dulu merupakan sebuah wilayah administratif dengan kedudukan sebagai Onderafdeeling di bawah Afdeeling Luwu. Status Tana Toraja sebagai onderafdeeling ini bermula dari upaya Belanda untuk menanamkan kekuasaannya di seluruh wilayah Nusantara. Setelah menguasai Sulawesi Selatan pemerintah Hindia Belanda mulai menata wilayah administrasi kekuasaannya. Wilayah administrasi Hindia Belanda di Sulawesi Selatan dibagi atas Gewest, Afdeeling, Onderafdeeling, dan

Distrik. Gewest berkedudukan di provinsi dan dipegang oleh seorang gubernur yang juga bertindak sebagai kepala pemerintahan. Afdeeling dikepalai oleh seorang berpangkat asisten residen. Adapun Onderafdeeling dikepalai oleh seorang controleur, dan dalam tingkat distrik dikepalai oleh regent (Tampubolon, 1971: 5). Dengan adanya pembagian wilayah tersebut di atas maka Tana Toraja atau yang pada waktu itu dikenal dengan Onderafdeeling Makale-Rantepao ditetapkan berada dibawah wilayah Afdeeling Luwu. Onderafdeeling Makale-Rantepao dikepalai oleh seorang Controleur. Pemerintah sipil di Onderafdeeling MakaleRantepao oleh pemerintah Belanda juga dibagi dalam beberapa distrik. Pembagian distrik tersebut memperhatikan juga kepala persekutuan adat yang telah ada.

24

Adapun distrik-distrik di Wilayah Onderafdeeling Makale-Rantepao (A. Tampubolon 1971:7) adalah sebagai berikut: Distrik di Rantepao yaitu: 1. Distrik Kesu 2. Distrik Tikala 3. Distrik Madandan 4. Distrik Pangala 5. Distrik Ulusalu 6. Distrik Tondon 7. Distrik Kurra 8. Distrik Piongan 9. Distrik Dende 10. Distrik Nanggala 11. Distrik Balusu 12. Distrik Sadan 13. Distrik Rantebua 14. Distrik Buntao 15. Distrik Bittuang 16. Distrik Pali 17. Distrik Salu 18. Distrik Seseng Distrik di Makale yaitu: 1. Distrik Makale 2. Distrik Mengkendek 3. Distrik Sangalla 4. Distrik Banga 5. Distrik Talion 6. Distrik Malimbong 7. Distrik Tapparan 8. Distrik Palossom 9. Distrik Bua Kayu 10. Distrik Rano 11. Distrik Bua 12. Distrik Mappu 13. Distrik Balopa 14. Distrik Simbuang Jarak ibukota Tana Toraja dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 329 km yang dapat ditempuh dengan kendaraan beroda empat dan beroda dua ataupun melalui jalur udara yang melalui Kabupaten Enrekang,

25

Kabupaten Sidrap, kota Pare-pare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep, dan kabupaten Maros. (BPS Tana Toraja 2010) Sedangkan yang menjadi pusat dalam penelitian ini yaitu Kelurahan Banga Kecamatan Rembon. Kelurahan Banga yang menjadi tempat dalam pengambilan informasi terletak di Kecamatan Rembon pada Daerah Barat yang terkenal dengan daerah adat Kamadikaan (Padang di Madikai). Sebelum masuknya Belanda Kecamatan Rembon yang sebelumnya masih bagian dari Kecamatan Saluputti yang terdiri dari 6 lingkungan yaitu; Surakan, Buri, Mebali, Maroson, Tandingan, dan Rembon,dan terdiri dari kelompok daerah kekuasaan dimana daerah tersebut diperintah oleh salah seorang yang berwibawa dan bijaksana yang bersal dari Tongkonan layuk. C. Agama dan kepercayaan Sebagai Bangsa yang memiliki falsafah Pancasila dimana Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama, maka sudah sewajarnya setiap individu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Masyarakat Tana Toraja sebelum mengenal agama Islam maupun agama Kristen sudah mengenal suatu kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo. Setelah masuknya Kristen di daerah ini keadaan berangsur-angsur berubah baik dalam sikap dan tata cara hidup dalam masyarakat. Namun demikian tidak berarti bahwa masyarakat sudah seluruhnya meninggalkan tata cara hidup yang berbau tradisional.

26

Aluk todolo adalah salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh puang matua (sang pencipta). Aturan diturunkan pada Datu La Ukku yang berisi aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi harus menyembah kepada puang matua sebagai sang pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang matua memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang pemelihara). Dalam ajaran Aluk Todolo dikenal 3(tiga ) golongan deata yaitu; Deata tangga langi sang pemelihara langit, Deata kapadanganna sang pemelihara bumi, Deata tanggana padang pemelihara menguasai segala isi tanah.(Tangdilintin,1978; 17) Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat masih tetap berdampingan dengan kabiasan-kebiasan yang diturunkan oleh leluhur mereka,seperti

kepercayaan tentang hari- hari baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari hari kemajemukan penganut selalu terlihat kerukunan dan tidak terlihat benturan antara pemeluk agama dan kepercayaan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya sifat saling pengertian dan rasa saling menghargai dan menghormati kepercayaan diantara mereka. Dalam kehidupan beragama, masyarakat Tana Toraja adalah penganut agama yang taat melaksanakan ibadahnya. Kehidupan beragama dapat dimanivestasikan dalam tingkah laku sehari-hari. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran tempat peribadatan seperti Gereja dan Masjid yang tersebar di kota sampai ke desa-desa. Di dalam Islam mengajarkan bahwa manusia adalah bersaudara yang dapat menyatukan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, golongan suku di Tana Toraja dapat mencapai kehidupan yang aman, tenteram dan damai, terutama dalam kerukunan hidup beragama dan bermasyarakat.

27

D.

Sistem Sosial Masyarakat Masyarakat Tana Toraja sejak dahulu mengenal lapisan masyarakat yang

bersumber dari ajaran dan kepercayaan Aluk Todolo. Strata inilah yang mengatur berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat terutama dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kedudukan seseorang yang diatur sesuai dengan tingkat strata yang dimiliki sangat mempengaruhi dalam berinteraksi dengan masyarakat yang lain,sehingga sangat tampak adanya perbedaan dalam berpakaian maupun perilaku mereka dalam pergaulan sehari hari. Hal ini akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan

masyarakat Toraja.Tingkatan sosial dalam masyarakat Toraja disebut sebagai Tana(kasta). Dalam masyarakat Toraja Tana (kasta) dapat dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu: a. Tana Bulaan (Tokapua), yaitu lapisan bangaswan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk atau kepercayaan untuk dapat mengatatur aturan hidup dan menciptakan aturan-aturan dalam masyarakat yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat Toraja yang tertinggi dalam masing-masing daerah adat ataupun kelompok adat. Tana Bulaan merupakan golongan bangsawan tertinggi yang memegang peranan dalam masyarakat Tana Toraja dan mereka yang menguasai tanah persawahan di Tana Toraja. b. Tana Bassi (Tomakaka), yaitu lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima kepercayaan untuk mengatur

28

kepemimpinan atau pembantu dari ketua pemerintahan/ penguasa adat tertinggi. c. Tana Karurung, yaitu lapisan rakyat kebanyakan yang dinamakan Bulodiapa (golongan masyarakat yang diatur secara teratur). Golongan ini yang dapat menerima kepercayan sebagai tukang atau orang orang yang terampil. Pada umumnya mereka tidk mempunyao tanah persawahan sendiri. Mereka bekerja sebagai penggarap tanah bangsawan. d. Tana kua- kua, yaitu Lapisan hamba sahaya sebagain pewaris yang harus menerima tanggung jawab sebagai pengabdi kepada para bangsawan. Lapisan ini memiliki tugas tugas tertentu yang pada umumnya mereka mendeapat tugas pada upacara upacara sebagai pembantu seperti upacara rambu Solo atau rambu Tuka.Dari golongan ini sering dipilih petugas-petugas pemakaman yang dinamakan to Mebalun atau to Makayo (orang yang membungkus orang mati) . Tingakatan tingkatan sosial tersebut masih berlaku dalam masyarakat Tana Toraja, apalagi yang berhubungan dengan upacara - upacara adat. Golongan sosial yang sangat berperan dalam setiap upacara keagamaan adalah Tana Bulaan. Pelapisan sosial untuk Tana bulaan selalu diidentikan dengan kekayaan dan kekuasaa, hal ini sangat tampak pada upacara - upacara dengan pengurbanan hewan dalam jumlah yang banyak, yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang berhak menerimanya.Dalam bidang pemerintahan tingkatan

29

inilah yang memiliki peranan penting, walaupun dalam pelaksanaanya tidak seperti pada zaman dahulu. Pelapisan sosial dapat dilihat pada penggunaan nama seseorang. Nama tersebut biasanya diambil dari keturunan Ayah maupun Ibu.Namun pada masa dewasa ini strata sosial ini lambat laun mulai berubah yang tidak lagi didasarkan pada keturunan ataupun kedudukan,melainkan pada tingkat pendidikan dan kemampuan dalam bidang ekonomi, begitupun dalam bidang pemerintahan yang sudah diatur oleh pemerintahan pusat (Petrus.Wawancara, 30 Juli 2011). Sistem kekerabatan dalam masyarakat masih memegang peranan penting dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang harmonis, Sistem

kekerabatan tersebut berkembang dari suatu unit atau kelompok kekerabatan yang paling kecil yakni keluarga Bathi (Tosiendaporan) suatu keluarga Bathi merupakan segi tiga abadi yang terdiri dari Ayah Ibu, dan anak- anak yang belum kawin ,mereka tinggal dalam sebuah rumah menyiapkan makanan pokok seharihari dalam satu dapur,akan tetapi dalam masyarakat Toraja,anggota keluarga tidak hanya terdiri dari anak-anak kandung dan istri. Dalam sebuah keluarga rumah tangga terdapat beberapa sanak saudara (family) dari pihak Ayah atau pihak Ibu. Anggota keluarga tinggal dalam sebuah rumah yang disebut Missabanua (serumah). Falsafah hidup dan kehidupan masyarakat Toraja yang telah membentuk masyarakat yang berdasar kepada kesatuan, kekeluargaan dan kegotong-royongan ,menyebabkan susunan masyarakat Toraja berkekerabatan yang bilateral yang

30

berbeda dengan sistim kekerabatan di daerah yang lain. Dalam masyarkat Toraja kedudukan seorang suami dan seorang istri adalah sama.Begitu pun sebaliknya kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama dalam segala hal termasuk dalam hukum warisan yaitu semua anak mempunyai kedudukan yang sama sebagai pewaris,namun ada kewajiban-kewajiban yang Mengikat mereka. Tongkonan menjadi rumah yang telah diwarisi secara turun

temurun.Pemilik Tongkonan menjadi warisan Tongkonan untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh keturunan suami istri pendiri Tongkonan. Tongkonan merupakan sumber aluk dan sumber kehidupan bagi keturunanya,dapat mempersatukan turunanya,berusaha membina keturunanya dengan menceritakan asal usul para leluhurnya serta mitos-mitos Tongkonan , juga mengharuskan keturunanya menghadiri upacara Rambu solo atau upacara penyembahan kepada leluhur dan upacara Rambu tukaatau penyembahan kepada dewa-dewa,dengan mengambil bagian dalam membangun rumah Tongkonan dengan segala kegiatanya dan kegiatan dalam masyarakat. Semua anggota tongkonan bertanggung jawab dalam pemeliharaan Tongkonan dan menjaga nama baik Tongkonan.

31

BAB III PEMERINTAHAN TONGKONAN ADAT SEBELUM MASUKNYA BELANDA A. Karakteristik Pemerintahan Tongkonan Adat sebelum masuknya Belanda Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menguasai seluruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906 yaitu pada saat seluruh bangsawan dan penguasa adat Toraja sudah mengakui atau tunduk pada Pemerintah Kolonial Belanda tersebut, namun sebelumnya seluruh daerah adat Toraja dikuasai oleh penguasa adat atau dikuasai / diperintah oleh bangsawan bangsawan yang sistem pemerintahannya dikatakan Ada dan orangnya bernama Tongkonan Ada, dan daerah-daerah adat itu berdiri sendiri otonom, namun semuanya terikat dalam satu perikatan adat besar (federasi) yang dinamakan Kombongan Ada. Kombongan adat yang tertinggi itu dinamakan Kombongan Ada Basse Lepongan Bulan Limbu Kaluana Tana Matarik Allo (badan musyawarah perikatan lepongan Bulan atau Tana Toraja).

Sebelum kedatangan Pemerintahan Kolonial Belanda di Tana Toraja, sudah ada pembagian wilayah pemerintahan menurut adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Toraja. Tana Toraja yang dahulunya dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dibagi dalam tiga daerah adat besar sejak terciptanya Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu (Aluk Sanda Pitunna/Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu 7777) dari Banua Puan (Tongkonan pertama ) sebagai landasan terbaginya Tondok Lepongan Bulan Tana

32

Matarik Allo. Ketiga daerah ini masing-masing berdiri sendiri tapi merupakan satu kesatuan dalam persekutuan Kombongan Basse lepongan bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama. Sistem ini membagi wilayah adat dalam tiga daerah yaitu;

1. Daerah adat bagian timur yang dinamakan daerah adat Diambei atau sekarang dinamakan daerah adat pekamberan. 2. Daerah adat bagian tengah dinamakan daerah adat dipuangi atau yang sekarang dinamakam daerah adat kapuangan. 3. Daerah adat bagian barat yang dinamakan daerah adat Dimadikai atau sekarang dinamakan pula daerah adat kamadikaan. Daerah daerah adat tersebut masing masing mempunyai pemimpin yang diberi gelar berdasarkan daerah yang dipimpin. Daerah adat kapuangan mengunakan gelar puang. Daerah adat Madika memakai gelar Madika dan daerah adat pekamberan memakai gelar Sokong Bayu.(Tandilintin,1986:23) Adapun batas - batas dari daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo (Tombe,2000:47) yaitu sebagai berikut; a. Sebelah utara berbatasan dengan Poso dan Donggala. b. Sebelah Timur dengan batas daerah kerajaan Luwu ,yaitu dataran pantai teluk Bone termasuk daerah kerajaan Luwu,dan pada bagian pegununganya termasuk daerah Tondok Lepongan Bulan. c. Sebelah Selatan dengan batas gunung sinaji Membujur ke sebelah Barat melalui Enrekang terus ke Mandar. d. Sebelah Barat dengan batas dataran Sulawesi Selatan. Pada bagian pegununganya dan dataran pantai termasuk daerah kerajaan Mandar. Daerah- daerah yang begitu luas seperti yang telah disebutkan diatas sejak dahulu merupakan tiga daerah adat toraja yang masih sangat jelas dalam perkembanganya sampai sekarang. Tiga daerah adat itu bersatu atau merupakan

33

satu kesatuan negeri, karena adanya kesatuan sosiologis dan kesatuan kultural sebagai satu bangsa.

Ketiga daerah adat besar itu masing-masing berdiri sendiri dan berdaulat ke dalam tetapi keluar merupakan satu kesatuan dalam persekutuan Kombongan Basse Lepongan Bulan yang ketiganya mempunyai kedudukan yang sama (Papa tettu,Wawancara,28 Juli 2011). Tiap-tiap Daerah Adat itu masih terbagi atas beberapa kelompok adat yang namanya Kombongan Ada,misalnya Daerah Adat Pekamberan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Ambe dan Daerah Adat Kapuangan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Puang serta Daerah Adat Kamadikaan dikuasai dan dibina oleh Kombongan Ada Madika.

Tiap-tiap Kombongan Ada itu mempunyai pemerintahan kecil sebagai pemerintahan yang juga berdaulat ke dalam yang bernama Lembang (berasal dari kata Lembang = perahu) yang artinya mempunyai kesatuan dan penanggung jawab sendiri dari tiap lembang yaitu satu daerah tertentu dimana lembang ini sudah diperintah oleh seorang penguasa lembang yang masing-masing Daerah Adat mempergunakan gelar masing-masing sesuai pembahagian. Penggunaan gelar untuk masing masing lembang seperti yang dikemukakan oleh (Papa tettu, Wawancara,28 Juli 2011) yaitu;

1. Puang lembang untuk Daerah Adat Kapuangan 2. 3. Ambe Lembang untuk Daerah Adat Pekamberan. Madika Lembang untuk Daerah Adat Kamadikaan

34

Masing-masing daerah lembang di atas itu mempunyai badan musyawarah yang membantu penguasa adat lembang yang dinamakan Kombongan LembangLembang untuk tiap Daerah Adat. Keputusan musyawarah lembang adalah merupakan garis pemerintahan dari penguasa adat lembang masing-masing daerah adat atau kelompok adat.

Di bawah pemerintahan lembang masih terdapat beberapa daerah kerja yang merupakan pembantu pelaksana kerja dari lembang dan daerah bagian pemerintahan atau wilayah ini dinamakan Daerah Bua yang dikuasai oleh

seorang penguasa adat Bua dan langsung bertanggung jawab kepada lembang, yang dalam tiap lembang itu terdiri beberapa Daerah Bua sesuai dengan kepentingannya. Ada kalanya 2 atau 3 daerah Bua untuk satu daerah lembang.

Pemerintah dari daerah Bua itu adalah penguasa Bua yang masing-masing Daerah Adat sebagai berikut:

1) Daerah Bua' dari Daerah Lembang kapuangan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Puang Bua. 2) Daerah Bua' dari Daerah Lembang pekamberan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Ambe Bua. 3) Daerah Bua' dari Daerah Lembang Kamadikaan dikuasai oleh penguasa adat bergelar Madika Bua

Dari daerah Bua' ini di dalamnya masih terdiri dari beberapa daerah dengan pemerintahan wilayah kecil yang disebut desa pada waktu sekarang dan

35

dikoordinir oleh Bua, dan daerah ini bernama Daerah Penanian, yaitu tiap-tiap Bua terdiri dari beberapa Penanian. Tiap Penanian ini diperintah oleh satu badan pemerintahan adat yang umumnya terdiri dari Toparengnge, salah seorang dari Toparengnge itu sebagai ketua(PetrusWawancara,30 Juli 2011).

Toparenge(pemikul tanggung jawab) merupakan dewan pemerintahan adat yang berlaku umum di seluruh Daerah Tondok Lepongan Bulan sejak dahulu yang disebarkan oleh penguasa Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu dari Banua Puang Marinding pada waktu pembagian Daerah Adat , dan gelar Tongkonan Parengnge ini berlaku pada semua Daerah Adat termasuk daerah adat yang ada di Banga.

Di dalam satu Daerah Penanian terdapat pula pembantu-pembantu pemerintahan adat yang masing-masing Daerah Adatnya memberi nama masingmasing sesuai dengan kepentingannya dan keadaan setempat seperti ada yang menamainya To Bara, ada pula yang menamainya Anak patalo (to=orang; bara= angin ribut yang tak dapat ditahan; anak = anak; patalo = menang sendiri), dan orang - orang inilah yang mendampingi To Parengnge dalam membina masyarakat dan pemerintahan adat daerah Penanian.Untuk ketua-ketua dewan adat penanian juga ada nama atau gelar masing-masing daerah adat seperti daerah adat Lembang, Bua dan untuk Daerah Penanian sebagai berikut:

a. Daerah adat Kapuangan memakai pula gelar untuk ketua dewan adat Penanian. b. Daerah adat Kamadikaan memakai pula gelar Madika untuk ketua dewan adat Penanian. c. Daerah adat Pekamberan memakai pula gelar To Parengnge dan Sokkong Bayu untuk ketua dewan adat penanian.

36

(http://www.toraja.go.id/lembaga adat.html diakses pada 26 Juli 2011) Seluruh masalah yang terjadi dalam daerah Penanian harus setahu ketua dewan adat Penanian kemudian diteruskan kepada penguasa Bua dan seterusnya kepada penguasa adat Lembang sebagai pemerintahan adat yang tertinggi ialah penguasa lembang, Puang lembang, Ambe Lembang dan Madika Lembang. Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk di Tana Toraja, maka tetap mempergunakan penguasa adat yang tertinggi ialah pemerintahan lembang namun namanya dirubah tetapi statusnya tetap sebelum datangnya pemerintah Belanda(Petrus,Wawancara,30 Juli 2011).

Daerah penanian yang disebutkan diatas terdiri dari kelompok daerah kerja atau kesatuan yang dinamakan tepo padang (tepo=seperempat; padang=tanah) ada pula yang mengatakan tepo Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, jadi seluruh daerah penanian harus terbagi atas 4 (empat) Tepo Padang dan Tepo Padang ini dikordinir oleh seorang terkemuka dalam daerah Tepo Padang tersebut yang memimpin seluruh anggota masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaanpekerjaan desa secara gotong-royong, maka dengan demikian Tepo Padang dikatakan kesatuan Gotong-royong. Koordinator dari Tepo Padang bukan jabatan adat tetapi adalah jabatan yang diangkat sendiri secara langsung oleh dewan Pemerintahan adat yang sewaktu-waktu pula dapat diganti.

Jabatan seperti yang disebutkan di atas seluruhnya berpusat atau bersumber dari masing-masing Tongkonan dengan dukungan dari semua keluarga yang lahir dan berasal dari Tongkonan itu yang sangat susah dipatahkan karena merupakan

37

tanggung jawab bersama keluarga sekalipun jabatan itu hanya dijabat oleh satu orang anggota keluarga.

Pemerintahan adat Toraja yang tersebut di atas sampai datangnya Pemerintah Belanda masih tetap berlaku dan terpelihara yaitu dengan memberikan tugas kepada masing-masing Tongkonan, namun telah disesuaikan dengan susunan pemerintahan dari Pemerintah Belanda dimana kelihatannya sangat serasi terutama yang menyangkut pembinaan masyarakat tetap memegang paranan penguasa-penguasa adat. Dari hasil wawancara dengan Papa tettu,28 Juli 2011 (kepala Kampung Banga ) pemakaian gelar jabatan pengusa lembang, Bua dan Penanian sebagai susunan pemerintahan adat dalam 3 (tiga) tingkatan diseragamkan yang kelihatannya sangat baik dan harmonis masing-masing:

1. Daerah Lembang diganti dengan nama distrik atau sekarang dinamakan kecamatan.Untuk gelar jabatan lembang yang sudah menjadi distrik atau kecamatan sekarang diganti dengan nama jabatan parengnge.Bahwa gelar Parengnge itu berasal dari kata/gelar To Parengnge yaitu adalah satu gelar yang sama dan berlaku umum di Tana Toraja yang artinya pemikul tanggung jawab, maka pemerintah Belanda mempergunakan itu sesuai dengan tugas dari penguasa distrik sebagai pemerintah yang memikul tanggung jawab dan tidak lagi sepenuhnya berstatus penguasa adat seperti sebelum pemerintahan Belanda.

38

2. Daerah Bua masih tetap dipergunakan dengan nama daerah Bua sekalipun oleh pemerintahan Belanda menyebut dengan nama Onder Distrik (distrik bawahan), yang juga diperintah oleh seorang penguasa distrik bawahan dinamakan kepala distrik muda, dan daerah Bua ini sama statusnya dengan daerah dan pemerintahan Bua sebelum Belanda. 3. Untuk daerah Penanian digantikan dengan nama desa atau kampung, hanya saja dewan pemerintahan adat Penanian tetap ada dan

melaksanakaan tugas serta kewajibannya, karena To Parengnge-To Parengnge itu berstatus otonom dalam pembinaan masyarakat.

Jadi hanya nama jabatan dan penguasa adat Penanian yaitu To Parengnge dan To Bara tetap ada namun oleh pemerintah Belanda mengangkat pula seorang kepala desa atau kepala kampung sebagai aparat langsung dari pemerintah Belanda yang bersama-sama dengan dewan adat penanian melaksanakan pembinaan masyarakat dalam satu daerah Penanian atau kampung tersebut.

39

Adapun struktur Pemerintahan Adat Tana Toraja atau Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo sebelum masuknya Kolonial Belanda seperti yang disebutkan diatas dapat digambarkan sebagai berikut;

Kombongan Padang Dipuangi

Lembang Dipuangi

Lembang Dipuangi

Lembang Dipuangi

Bua Dipuangi

Puang Bua

Puang Bua

Puang Bua

Penanian - Penanian

Toparengge

To Bara

Anak Patalo

Tepo Padang

Saroan

saroan

Saroan

Saroan

40

B. Peranan Tongkonan Adat Dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam masyarakat adat Tana Toraja pada umumnya ada 2 (dua) pranata yang dapat menggambarkan perwujudan suatu kekerabatan orang Toraja, yaitu Banua Tongkonan (rumah adat) dan liang (kuburan keluarga). Banua Tongkonan adalah rumah adat keluarga Toraja sebagai simbol kekerabatan yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan orang Toraja.

Tongkonan berasal dari kata Tongkon adalah tempat duduk mendengarkan perintah dan penjelasan serta duduk menyelesaikan masalah.Tongkonan ini mulamula didirikan oleh pangala tondok (penguasa), sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan dan tempat membuat peraturan peraturannya (Papa tettu ,Wawancara, 28 Juli 2011). Akan tetapi perkembangan jaman yang semakin cepat yang mempengaruhi banyak sistem kehidupan rakyat sehingga Bulo diapa atau rakyat biasa juga mendirikan Banua Tongkonan yang dahulunya rumah mereka tidak disebut Tongkonan, tetapi hanya disebut Banua (rumah).

Terjadinya Tongkonan pada awalnya dibentuk ketika datangnya penguasapenguasa dari luar Tana Toraja yang menguasai daerah dan penduduk Tana Toraja,dan menentukan tempat tinggalnya sebagai tempat memberi perintah kepada masyarakat yang dikuasainya.Mereka datang dan duduk mendengar serta duduk menyelesiakan masalah mereka di rumah pengusa tersebut. Inilah awalnya Tongkonan itu sebagai singgasana dan tempat kekuasaan adat yang tetap terbina.

41

Tongkonan pada awalnya adalah tempat penguasa dan sumber perintah dari penguasa yang pertama mendirikan Tongkonan itu dan diwariskan kepada keturunanya secara turun-temurun .Oleh sebab itu kekuasaan tersebut merupakan hak dan tugas warisan kepada keturunan penguasa,maka tempat sumber kekuasaan itupun merupakan warisan bagi seluruh penguasa yang mula-mula mendirikan tongkonan tersebut dan sejak itu tongkonan sebagai sumber perintah dan kekuasaan adat yang menjadi tempat pertalian dari semua keluarga atau orang yang mendirikan Tongkonan itu pertama kalinya (Deppong,Wawancara, 26 Juli 2011). Dalam merumuskan setiap kebijaksanaan untuk kepentingan bersama, maka para pejabat dari tongkonan berkumpul memusyawarakannya, demikian pula halnya jika terjadi pertikaian antara anggota masyarakat, para pejabat berkumpul dan menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berkumpul bermusyawarah/rapat, memeriksa perkara, pelanggaran dan sebagainya

(Petrus,Wawancara,30 Juli 2011). Suatu pertemuan khusus dari para pejabat yang ditunjuk kepada pihak tertentu, yang disebut dikombongan, maksudnya mereka yang berselisih diadili dan diperiksa secara bersama. Jadi meskipun yang menyelenggarakan pertemuan pertemuan adalah pejabat-pejabat yang sama, maksud dan fungsi pertemuan tersebut berbeda sehingga diberi penamaan yang berbeda pula. Hal ini menggambarkan bahwa pada hakekatnya msyarakat tradisional Tana Toraja sudah membedakan fungsi dan peranan badan pemerintahan dan badan peradilan, dilain pihak ternyata pula bahwa kedua badan

42

terssebut berada dalam tongkonan dan ditangani secara bersama oleh tongkonantongkonan jabatan. Pertemuan untuk merumuskan suatu kebijaksanaan demi kepentingan bersama mutlak dihadiri oleh semua pejabat, misalnya dalam menghadapi peperangan, merencanakan pesta tahunan, pembuatan irigasi dan sebagainya. Jadi yang ada pada zaman dahulu adalah Tongkonan pusat pemerintahan adat dan pusat persatuan dari keturunan yang mewarisi kekuasaan adat,tetapi setelah keturunan dari tongkonan itu berkembang dan bertambah banyak sedangkan tugas dan kewajiban adat hanya satu,maka terjadilah tongkonan yang tidak mempunyai tugas dan kewajiban adat tetapi hanya semata-mata sebagai pusat persatuan dan pertalian dari satu rumpun keluarga yang berketurunan dari yang pertama mendirikan tongkonan tersebut yang juga mempunyai keturunanketurunan dari tongkonan yang berkuasa atau mempunyai fungsi adat,maka rumah turunnya itu dinamakan pula tongkonan dan sejak itu tongkonan bukan saja berfungsi sebagai sumber perintah dan kekuasaan adat saja tetapi juga berfungsi sebagai sumber perintah dan singgasana penguasa tetapi telah berfungsi pula sebagai pusat pembentukan kesatuan keluarga dari keturunan yang membangun Tongkonan atau rumah itu.(Tangdilintin, 1983:32-33) Dari hasil wawancara dengan beberapa pemuka adat dan tokoh masyarakat Banua Tongkonan (rumah adat) ini mempunyai beberapa fungsi yaitu : 1. Sebagai lambang kebesaran dan tempat sumber kekuasaan dan peraturan pemerintahan adat. 2. Sebagai istana atau tempat tinggal.

43

3. Sebagai tempat menyimpan dan membina warisan keluarga (mana) baik warisan berupa hak dan kekuasaan maupun warisan berupa harta pusaka. 4. Sebagai tempat duduk bermusyawarah dan meyelesaikan persoalan keluarga maupun masyarakat. 5. Sebagai tempat berkumpul masyarakat untuk mendengarkan perintah adat dari pemangku adat di Tongkonan tersebut. 6. Sebagai pusat tempat melaksakan setiap kegiatan adat atau upacara adat baik rambu solo maupun rambu tuka oleh keluarga atau keturunan dari tongkonan tersebut. 7. Sebagai tempat menuturkan silsilah keluarga dari Tongkonan tersebut. 8. Sebagai lambang persatuan dan pusat pembinaan keutuhan keluarga dari tongkonan tersebut. Keluarga atau keturunan dari Tongkonan-tongkonan tersebut di atas disebut rapu termasuk juga anak angkat, yang berarti bahwa orang-orang yang berhak atas tongkonan adalah keluarga atau keturunannya atau bisa disebut dengan ahli waris. Setiap rapu dari Tongkonan mempunyai kewajiban untuk tetap mengabdi kepada Tongkonannya, baik Tongkonan dari pihak ibu maupun Tongkonan dari pihak ayah. Jadi ayah maupun ibu biasanya mempunyai Tongkonan dari nenek moyangnya dan sebagai ahli waris atau rapu mereka mempunyai kewajiban untuk menjaga Tongkonan dari pihak ayah atau pihak ibu. Pengabdian orang Toraja terhadap Tongkonannya diwujudkan dalam

bentuk tetap turut Mangngiu artinya tetap memberikan bantuan dan sumbangan sesuai dengan kemampuannya untuk memelihara dan memperbaiki atau

44

membangun kembali Tongkonan. Kesadaran sikap pengabdian orang Toraja pada Tongkonan dalam bentuk adat Mangngiu ini,dianggap oleh masyarakat suatu keharusan.Barang siapa yang melalaikan adat Mangngiu ini terhadap Tongkonan berarti orang tersebut telah menyangkali dan melalaikan pula orang tua serta leluhurnya. Sehingga bisa saja hak warisnya dalam segala bentuk menjadi hilang karena dianggap telah murtad kepada orang tua dan leluhurnya serta perbuatan ini dianggap perbuatan tercela.Setiap orang Toraja harus mengenal semua Tongkonan baik Tongkonan yang mempunyai peranan dan fungsi adat, maupun Tongkonan yang hanya sebagai Tongkonan persatuan dan pertalian keluarga.

SemuaTongkonan ini harus mendapat perhatian yang sama dari keluarga atau rapunna. Pranata yang kedua yang menjadi lambang dari kesatuan keluarga adalah liang (kuburan) dari suatu keluarga besar (rapu) yang biasa juga disebut Tongkonan tang merambu (rumah tak berasap = tidak mempunyai dapur) sama halnya dengan Banua Tongkonan, liang itu juga dimulai oleh leluhur dan yang berhak dikuburkan dalam suatu liang tertentu adalah semua keturunan leluhur yang membangun liang tersebut. Suami atau isteri dari keturunan yang membangun liang tersebut tidak dapat dikuburkan dalam liang itu, hanya anak laki-laki (keturunan) mereka yang dapat dikuburkan pada liang tersebut. Jika terjadi hal yang demikian yaitu suami atau isteri dari rapu Tongkonan tang merambu (liang) yang akan dikubur dalam liang itu maka harus melalui musyawarah keluarga besar dari Tongkonan tang merambu tersebut. Liang sebagaimana halnya dengan Tongkonan, juga dipelihara secara gotong-royong

45

dari seluruh keluarga (to marapu) dan upacara-upacara yang berhubungan dengan arwah leluhur diadakan dekat liang. Jadi dasar pengabdian orang Toraja pada Tongkonannya, baik Tongkonan merambu maupun Tongkonan tang merambu karena adanya prinsip cinta kasih dan tetap menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang tua dan leluhurnya. Bentuk pengabdian ini pulalah yang menjadi landasan sehingga hubungan kekeluargaan, kesatuan dan kegotongroyongan rapu Tongkonan secara khusus dan masyarakat Toraja secara umum tetap terpelihara. Ketiga hal tersebut dapat dilihat pada saat pelaksanaan upacara rambu solo maupun rambu tuka. Kepemimpinan tradisional masyarakat Toraja di zaman lampau merupakan suatu jaringan sistem yang meliputi tiga wilayah adat yaitu, Padang Diambei,Padang Dimadikai yang berada di daerah bagian Barat ,dan Padang Di Puangi yang berada didaerah bagian Timur(Petrus ,Wawancara, 30 Juli 2011). Daerah Rembon termasuk dalam wilayah adat Padang Dimadikai dengan sistem pemerintahan yang tersusun mulai dari tingkat yang tinggi yang disebut Madika sampai pada tingkat rendah yang disebut Ambesaroan. Berdasarkan aturan aturan adat yang berlaku di Daerah Rembon khususnya dan wilayah Tana Toraja umumnya.Maka seluruh pemimpin tradisional disebut to ada(pemangku adat) ,sedangkan gelar masing-masing pemimpin tersebut berbeda-beda menurut jenjang kepemimpinanya . Sistem jenjang kepemimpinan tradisional itu sendiri tersusun secara teratur ,sesuai dengan struktur organisasi adat yanmg berlaku diseluruh Tana Toraja yang dulu disebut Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Jaringan sistem

46

kepemimpinan tradisional di daerah Rembon secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Puang Madika ,adalah pemimpin tertinggi di seluruh wilayah adat Padang Dimadikai . Dalam menjalankan segenap tugas pemerintahan dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan dan tanggung jawabnya, Puang Madika di bantu oleh to ada yang berkedudukan sebagai pemimpin pada wilayah adat yang lebih rendah. 2. Puang Bua ,adalah pemimpin tertinggi dalam wilayah pemerintahan di bawah kekuasaan Puang Lembang. Puang Bua termasuk pejabat yang berdaulat dalam wilayah masing-masing yang bersifat otonom ,namun ditingkat lembang Dimadikai. Pejabat tersebut termasuk sebagai anggota dewan adat yang mengeluarkan aturan. Pada masa kekuasaan Belanda Puang Bua menjadi kepala Bua dengan beberapa daerah Bua yang digabungkan. Daerah Buaini setingkat dengan Distrik dimana sistem aturan yang berlaku terpisah dengan sistem aturan adat, misalnya dalam pemilihan kepala lembang yang sudah di atur oleh pemerintahan pusat. Sedangkan sebelum masuknya Belanda pemilihan kepala adat haruslah dipilih berdasarkan Tongkonan, jadi yang berhak dipilih hanya mereka yang termasuk kedalam keluarga yang memiliki Tongkonan atau bangsawan. 3. Puang Penanian.adalah pemimpin masyarakat pada wilayah adat di bawah kekuasaan Puang Bua. Unsur pimpinan penanian terdiri dari tiga pemangku adat yaitu To Parenge, To Bara, Anak Patalo. Dalam menjalankan kepemimpinanya maka para Puang Penanian tersebut dibantu oleh tenaga koordinator yang menduduki jabatan sebagai Ambesaroan. 4. Ambe saroan, adalah pemimpin tradisional yang berkedudukan di wilayah Tepopadang atau Tepo Tondok. Tugas mereka adalah mengkoordinasikan anggota masyarakat Toraja di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan urusan gotong royong. 5. Tominaa, yaitu pemimpin aluk todolo yang terdiri dari; Tominaa Burake,Tominaa Sando, Tominaa ( Imam pelaksana) 6. To Indo yang disebut pula Indo padang, yaitu pemimpin yang bertugas melaksanakan pembinaan urusan tanaman dan ternak. 7. To Mebalun, yaitu pemimpin yang bertugas mengatur penyelenggaraan pemakaman,termasuk mengafani jenazah. (Limbonglala,1995;179) Semua jabatan kepemimpinan dalam masyarakat Tana Toraja adalah jabatan yang diwarisi secara turun temurun dari satu rumpun keluarga yang bersumber dari Tongkonan, kecuali kepemimpinan Ambe saroan yang dapat

47

diganti. Namun pada zaman sekarang kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada Tongkonan namun di pilih langsung oleh pemerintah pusat. Misalnya dalam pemilihan kepala Lembang pada zaman dahulu harus sesuai dengan Tongkonan orang yang diangkat menjadi kepala Lembang, jika orang tersebut tidak memiliki keluarga atau bukan keturunan dari Tongkonan yang berkuasa maka tidak dapat diangkat menjadi kepala Lembang, Deppong ( Wawancara, 26 Juli 2011).Hal ini sangat berbeda dengan keadan yang sekarang dimana pemilihan kepemimpinan di tingkat kecamatan maupun lembang diatur oleh pemerintah pusat yang terpisah dari pemerintahan adat. Namun aturan yang ada dalam masyarakat masing memegang teguh atauran yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yaitu Aluk Todolo karena menurut mereka hukum adat itu sangat arif dan bijaksana (Petrus,Wawancara, 30 Juli 2011). Dalam sistem pengangkatan dan penggantian pimpinan tradisional ditetapkan oleh dewan adat berdasarkan aluk malolo tua, yaitu aturan dan agama yang menyangkut pemeliharaan kehidupan manusia. Dalam kegiatan upacara adat yang sering dilakukan masyarakat Tana Toraja seorang pemimpin sangat berperan aktif didalamnya. Upacara dalam masyarakat Tana Toraja memiliki pengertian sama dengan kepercayaan. Dalam hal ini kepercayaan jika tidak dilaksanakan maka yang bersangkutan takut akan adanya akibat yang akan menimpa mereka. Sedangkan upacara sering dilakukan karena hal tersebut merupakan suatu tradisi dalam masyarakat Tana

Toraja,apabila mereka tidak melakukan upacara tersebut maka mereka merasa tidak puas (Kondo,Wawancara,25 Juli 2011). Masyarakat Toraja mengatakan

48

bahwa seorang pemimpin menjadi tempat bergantung dan berlindung dari masyarakat ,tetapi apabila terjadi suatu masalah atau konflik diantara keluarga atau kerabat konflik tersebut tidak dapat diselesaikan jika tidak ditangani oleh seorang pemimpin(Petrus,Wawancara ,30 Juli 2011). Dalam bidang keagamaan , pemimpin atau pemuka masyarakat memiliki peran yang penting karena tanpa kehadiran mereka dalam hal keagamaan maka masyarakatnya pun tidak akan mengikuti acara keagaman tersebut. Seorang pemimpin merupakan panutan dalam masyarakat. Dalam kitap suci masyarakat Tana Toraja baik itu kitap suci agama Kristen,islam maupun Alukta dikatakan bahwa siapapun yang beramal baik kepada sesama manusia termasuk musuh ,maka akan mendapatkan pahala dari Tuhan karena memberikan kepada orang lain berarti memberikan kebaikan pada diri sendiri.Petrus (Wawancara, 30 Juli 2011). Seluruh jabatan dalam pemerintahan adat Toraja tersebut di atas adalah jabatan jabatan turuntemurun dari satu rumpun keluarga yang bersumber dari masing masing Tongkonan. Jabatan jabatan tersebut sewaktu-waktu dapat diganti oleh keturunan yang berhak atas jabatan itu karena jabatan tersebut merupakan jabatan warian pada masing masing keluarga. Upah atau jaminan pada tiap-tiap pejabat penguasa adat Toraja tidak mendapat upah tetap secara materil, tetapi upahnya atau gajinya itu hanyalah merupakan jaminan jasa dalam artian bahwa ketika pemimpin adat akan menyelesaikan pekerjaanya seperti mengolah sawah, membangun rumah,

49

dikerjakan oleh masyarakat secara gotong royong tanpa memberi upah kepada masyarakat.

Di samping upah jasa yang sudah disebutkan di atas, pejabat-pejabat adat masih mempunyai kesempatan lain menerima upah atau balas jasa mereka dalam memimpin masyarakat yaitu pemberian daging pada waktu pelaksanaan upacara baik Rambu Solo maupun Rambu Tuka dimana dikurbankan babi dan kerbau, pada waktu itu penguasa-penguasa adat menentukan pembagian daging itu melalui petugas pembagi daging dengan ketentuan bahwa semua petugas adat dan penguasa adat mendapat bagian lebih besar dan tertentu dari pada bangsawanbangsawan lain, dan inilah upah atau balas jasa mereka secara langsung dalam memimpin dan membina masyarakat, daging ini selain sebagai upah juga berstatus sebagai penghargaan atas jasa- jasa para peminpin adat.

Sampai sekarang ini jabatan-jabatan adat dalam masyarakat Toraja masih tetap ada dan bekerja sama dengan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah RI yang kelihatannya sangat harmonis hubungannya karena setiap akan mengerjakan atau menyelesaikan satu masalah masyarakat dikerjakan dengan musyawarah .antara kedua badan dalam daerah kampung yaitu penguasapenguasa adat dan pemerintahan yang ditunjuk oleh pemerintah.

Kecuali dalam hal aturan dan pembinaan agama sudah banyak berubah karena adanya desakan dan pengaruh dari agama Islam dan agama Kristen yang mempunyai petugas-petugas agama masing-masing.

50

BAB IV

PEMERITAHAN TONGKONAN ADAT SETELAH MASUKNYA BELANDA

Sebelum penulis menguraikan gambaran Pemerintahan Tongkonan Adat setelah masuknya Tentara Kolonial Belanda, ada baiknya penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai latar belakang kedatangan tentara Belanda di Tana Toraja dan beberapa peristiwa yang terjadi di Tana Toraja sebelum kedatangan Tentara Kolonial Belanda. A. Latar Belakang Masuknya Belanda di Tana Toraja Masa Pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1906- 1942 di wilayah Sulawesi Selatan merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda yang seutuhnya dan menyeluruh. Penguasaan wilayah ini dicapai setelah dilancarkan pengiriman pasukan pendudukan (militaire expeditie) Sulawesi pada tahun 1905, untuk memaksa penguasa penguasa di wilayah itu khususnya dan di Sulawesi Selatan pada umumnya untuk tunduk, patuh dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Pemerintah Hindia Belanda , melalui penandatanganan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) yang disodorkan.(Poelinggomang,2004:2) Kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Tana Toraja tidak lepas dari kebijakan pemerintah Belanda yang berusaha mewujudkan imperium Hindia Belanda pada permulaan abad ke 20 yang sasaranya adalah daerah luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Bali, Tapanuli, Lombok , Kalimantan yang pada waktu itu berkedudukan sebagai daerah berdaulat sejalan dengan Belanda. Usaha

51

perluasan kekusaan Belanda sampai ke Sulawesi Selatan termasuk Tana Toraja yang dulunya dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo penduduk yang menguasai atau menduduki negeri Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang diperkirakan datang pada sekitar abad VIII,yakni orang-orang yang datang secara berkelompok di mana pada umumnya berasal dari arah selatan. Dengan mempergunakan perahu menyusuri aliran sungai-sungai besar. (Mappangara ,2004:496)

Belanda melakukan perluasan khususnya ke Tana Toraja karena daerah ini merupakan daerah yang potensial untuk penanaman modal dibidang pertanian khususnya perkebunan kopi. Tana Toraja adalah penghasil kopi sejak dahulu dimsana terbukti dengan adanya perang kopi antara tahun 1860-1898 pada waktu itu terjadi perang saudara dengan menggunakan senjata api (Bedil).Senjata ini di impor dari Singapura dan dibawa oleh Pedagang Bugis Makassar ke Tana Toraja. Di Tana Toraja senjata ini ditukar dengan kopi dan budak (Mappangara,2004:360) Keinginan Belanda untuk menguasai daerah Tana Toraja karena didorong oleh dua hal yaitu untuk menguasai wilayah Indonesia secara utuh ,dan yang kedua adalah karena Tana Toraja merupakan penghasil kopi yang cukup besar. Pada awal tahun ke-20 kopi merupakan salah satu komoditi utama Hindia Belanda. Adanya persaingan diantara kalangan bangsawan di Tana Toraja yaitu sejak selesainya perang kopi yang dalam sejarah Toraja terjadi dari tahun 18891890 merupakan kesempatan bagi bangsawan untuk mengumpulkan senjata api

52

yang didapatnya dari pedagang pedagang Bugis atau pemimpin Bugis. Tentara kolonial Belanda yang sudah lama berada di daerah Sulawesi Selatan mulai mengatur dan merencanaka;kn penyerangan kepada seluruh penguasa adat dan raja- raja yanga ada di Tana Toraja. Tana Toraja yang pada permulaan abad ke 20 belum mengenal bagaimana bentuk dan cara pemerintahan Belanda itu , ketika mereka mendegar bahwa kolonial Belanda sudah masuk ke Tana Toraja maka masyarakat dan pemimpin adat akan melakukan perlawanan jika kedaulatan mereka diganggu oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak kembalinya panglima besar kerajaan Bone Petta Ponggawae dari Tana Toraja sejak berakhirnya perang kopi pada tahun 1890, dimana seluruh pasukanya yang berada di Tana Toraja kembali hal ini merupakan bukti bahwa tentara Belanda sudah mulai menentang raja- raja Bugis yaitu raja Bone dan raja Gowa.( Tangdilintin,1978:217 ). Raja Bone pada waktu itu adalah Lapawawoi Karaeng Sigeri yang mendapat tekanan dari Belanda pada tanggal 1 Juli 1905. Sebelum Luwu ditaklukan Belanda belum bersedia menyerang Luwu, kerena jika Bone masih kuat , kerjaan itu dapat memberikan bantuan kepada kerajaan lain bila diserang Belanda . Setelah Bone ditaklukkan Belanda menyerang Gowa di bawah pemerintahan raja I Makkkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang Sultan Husain yang dilakukan pada Bulan Oktober 1905.(Abduh,1982:137) Keberhasilan Belanda menaklukkan Kerajaan Bone membuka peluang yang baik untuk menyerang Kerajaan Luwu termasuk Daerah Tana Toraja. Pada awal tahun 1905 Tana Toraja merupakan bagian dari Kerajaan Luwu sebagaimana yang dikemukakan penulis sebelumnya.

53

Namun penguasa penguasa adat di Tana Toraja yang berada di daerah pedalaman belum merasakan dan menduga akan adanya kemungkian yang akan dilakukan oleh Belanda di daerah Sulawesi Selatan khusunya di Tana Toraja. Sejak berakhirnya perang kopi terjadi perang saudara di berbagai tempat di Tana Toraja dari tahun 1890 - 1905. Perang ini sebagai perang persaingan harta benda dan perang persaingan kekuatan karena perang yang terjadi bukan perang perebutan kekuasaan. Setelah tentara Bone meninggalkan Tana Toraja yang biasa dikenal dengan Songko Borrong (topi merah), maka perang kopi yang terjadi tidak ada pernyataan siapa yang menang atau kalah,tetapi pada kenyataanya pedagang Sidenreng dan Sawitto tetap menguasai seluruh daerah perdagangan kopi. Keadaan ini belangsung hingga datangnya tentara Belanda di Tana Toraja pada permulaan Tahun 1905. Setelah tentara Bone meninggalkan Tana Toraja yang biasa dikenal dengan Songko Borrong (topi merah), mereka meninggalkan senjata senjatanya

kepada sekutunya yaitu Siambe Pong Maramba , begitu pula dengan tentara Bugis setelah perang kopi selesai mereka meningalkan senjata senjatanya kepada sekutunya yaitu Siambe Pong Tiku, setelah perang kopi selesai maka ada dua penguasa adat yang sangat menonjol dan kuat dalam mayarakat Tana Toraja dengan persenjatan yang lengkap dan dalam jumlah yang banyak. Selain itu adapula penguasa- penguasa adat yang lain yaitu, Puang Tarongko, Puang

Padanan , Puang Sanggalla, Bombing dan Uwa Saruran Ne Matandung. Masing masing penguasa adat ini menyusun perang untuk melawan serangan dari tentara Belanda.

54

Pada tahun 1905 MaDika Bombing yang merupakan seorang bangsawan di perbatasan Tana Toraja bersama saudaranya Uwa Saruran menerima utusan dari dari raja Gowa I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang yang datang dari Sidenreng melalui Enrekang maka MaDika Bombing dan saudaranya segera mengadakan kunjungan kepada semua pemimpin dan bangsawan di Tana Toraja untuk menyampaikan kabar dan amanat tersebut agar mereka mengetahui tentang kedatangan Belanda dan melakukan persiapan untuk melawan kompeni Belanda. Sebelum Ma Dika Bombing datang mengunjungi Pong Maramba ia telah mengirim utusanya ke Bone untuk melihat keadaan yang telah diberitakan.Setelah mendengar berita tentang kedatangan tentara Belanda maka Siambe Pong Tiku bertekad untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda tersebut dan sama sekali tidak membiarkan siapa pun datang menjajah di daerah Tana Toraja. Setelah mendengar kabar dari Ma Dika Bombing para pemimpin adat mengadakan musyawarah besar di Buntu Pune Rantepao untuk membahas bagaimana cara menghadapi kedatangan tentara Belanda. Pertemuan ini dilakukan pada bulan November 1905, keputusan dalam pertemuan ini diambil secara bersama. Adapun isi dari keputusan tersebut adalah: 1. Kita harus mempersatukan kekuatan untuk melawan tentara Belanda tersebut,karena tanpa persatuan kita pasti dikalahkan dan dihancurkan oleh tentara Belanda seperti kerajaan Bone yang kuat hanya beberapa hari saja dapat dikuasai oleh tentara kompeni Belanda. 2. Supaya kita melepas semua pertentangan dan mengakhiri perang saudara dan semua pemimpin serta penguasa adat sebagai saudara kandung menghadapi musuh dari luar. 3. Supaya masing - masing penguasa adat atau pemimpin rakyat memperkuat angkatan perangnya dan memperkuat benteng benteng pertahanan disetiap tempat.

55

4. Agar supaya semua benteng dimasukkan persedian makanan agar kita tidak mengalami kesulitan makanan dalam mengadakan perlawanan karena tentara Belanda harus dilawan lama sampai mereka itu kehabisan makanan. 5. Maka ditetapkan pemimpin pemimpin sebagai komando dengan pasukan - pasukan penyerang,dan pemimpin pasukan penghancuran , dan pada saat itu disetujui dua pengasa adat terkuat di Tana Toraja yaitu Pong Tiku sebagai pemimpin penyerang dan Pong Maramba sebagai pemimpin penghancuran terhadap tentara Belanda yang dalam bahasa Toraja dinamakan Toraja pong Tiku Mangrakan, Anna pong Maramba Mepare Sola Sang Torayaan. Artinya Pong Tiku panen pertama dan Pong Maramba panen raya bersama seluruh rakyat tana toraja,maksudnya Pong Tiku menentang musuh dan Pong Maramba bersama pasukanya dan rakyat menyelesaikanya.(Passanda,1995;29 ) Setelah selesai melakukan pertemuan para pemimpin dan penguassa adat kembali ke daerahnya masing- masing dengan bekal keputusan dari pertemuan tersebut dan mempersiapkan segala sesuatu yang sudah disepakati bersama dalam pertemuan di Buntu Pune. Keputusan diatas membuktikan bahwa tetap tingginya semangat juang dan jiwa patriotisme rakyat Tana Toraja dalam meghadapi serangan dari Kolonial Belanda . kesepakatan ini memberikan dorongan yang sangat kuat kepada seluruh dewan adat dan penguasa adat bersama rakyat Tana Toraja dalam melakukan persiapan yang sebaik baiknya dan membangun pertahanan yang tangguh. Rakyat semakin sadar bahwa serbuan pasukan kompeni Belanda untuk menguasai Tana Toraja hanya akan mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi masyarakat Tana Toraja. Upaya Belanda untuk menanamkan kekuasaanya di Tana Toraja mendapat perlawanan dari masyarakat yang dipimpin oleh Pong Tiku sebagai tokoh mayarakat dan pemangku adat serta beberapa pejuang lainya.

56

1.

Perlawanan Pong Tiku Pada bulan Maret 1906 pasukan Belanda dengan kekuatan satu batalyon

berangkat dari Palopo melalui Batu Sitanduk menuju tana toraja dengan sasaran utama dalah rantepao.Setelah beberapa hari di Rantepao ,maka pimpinan Belanda yaitu kapten Galian memanggil semua pemimpin dan penguasa adat Tana Toraja untuk datang berkenalan dengan tentara Belanda dan menerima kedatangan Belanda,namun banyak penguasa adat yang tidak datang Seperti Siambe Pong Tiku, Ma Dika Bombing dan Uwa Saruran (Tandilintin,1978:223 ). Oleh karena itu tentara kolonial Belanda mengirimkan surat kepada Siambe Pong Tiku untuk datang ke Rantepao menemui tentara Belanda. Akan tetapi panggilan tersebut tidak Ditanggapi oleh Pong Tiku, pernyataan Pong Tiku dalam balasan surat dari tentara Belanda akan adanya perang terbuka antara tentara Belanda dengan Pong Tiku tidak bisa di tawar- tawar lagi karena isi dari surat tersebut memberikan gambaran kepada tentara Belanda,bahwa Pong Tiku tidak mau menerima kedatangan Belanda di Tana Toraja dan bersiap mengadakan perang dengan tentara kolonial Belanda Dengan adanya surat dari Pong Tiku tersebut, maka tentara Belanda mulai melakukan persiapan untuk mengahdapi pertahanan Pong tiku, namun hal itu tidak langsung dilakukan karena pemerintah Belanda menunggu waktu yang tepat. Tentara Belanda mengatur segala persiapan untuk melakukan serangan kepada Pong Tiku dengan mendapat bantuan dari mata mata yang sudah berpihak kepada mereka, demikian juga dengan Pong Tiku telah melakukan persiapan persiapan seperti mengumpulkan bahan makanan kedalam benteng- benteng

57

pertahanan. Karena Pong Tiku tetap pada pendirianya tidak mau tunduk pada tentara Belanda, maka pada bulan April tahun 1906 tentara Belanda mengirim 2 kompi besar sebagai ekspedisi I pada daerah kekuasaan Pong Tiku di Panggala dalam perjalanan tersebut mereka tidak mendapat perlawanan dari pasukan Pong Tiku maupun rakyatnya. Adanya situasi seperti ini maka pimpinan ekspedisi Belanda mengangap bahwa Pong Tiku dan rakyatnya mau berunding dengan mereka, akan tetapi tidak adanya perlawanan dari Pong Tiku dan rakyatnya sedang melakukan persiapan dan rencana penyerangan kepada tentara Belanda. Tentara Belanda yang ada di Panggala membuat perkemahan dengan tenang mengangap bahwa tidak akan ada pasukan dari Pong Tiku yang akan menyerang mereka. Namun ternyata apa yang dipikirkan Belanda itu salah. Ketika tengah malam sekitar jam 10.00 dengan tidak disangka sangka serangan besar- besaran secara tiba tiba dari pasukan Pong Tiku pada markas tentara Belanda dan terjadi pertempuran dimalam yang sudah sangat gelap. Serangan dari pasukan Pong Tiku membuat tentara Belanda harus meninggalkan Panggala pada tengah malam karena serangan yang tak henti hentinya dari pasukan Pong Tiku. Dalam perjalanan meninggalkan Panggala tentara Belanda mendapat bantuan dari rakyat Dendesehingga mereka bisa lolos dari serangan pasukan Pong Tiku. (Tangdilintin,1978:225) Setalah tentara Belanda meninggalkan Panggala mereka mulai

mempersiapkan bantuan yang kuat dan dengan persenjatan yang modern, setelah semua persiapan sudah siap Belanda mengirimkan kekuatanya pada bulan Juni ke Benteng Lali Tondong yaitu salah satu benteng Pong Tiku yang terletak

58

disebelah Barat daerah Panggala. Pasukan Pong Tiku mengganggu tentara Belanda yang sedang membuat perkemahan dalam pertempuran ini tidak ada yang menjadi korban di kedua belah pihak. Atas gangguan itu, pasukan Belanda mulai mempersiapkan diri untuk berperang di bawah pimpinan Letnan Satu Einthoven Pada tanggal 18 Juli 1906, Benteng Kaddo dan Tondok mendapat serangan pihak Belanda. Pada peperangan ini , pasukan Belanda menggunakan tembakan meriam dan mengunakan tali tambang untuk memanjat benteng namun pasukan Pong Tiku mau menyerah. Jika ada pasukan Belanda yang ingin memanjat dinding benteng pasukan Pong Tiku menggelindingkan batu kepada mereka.( Abduh,1982:153) Perang yang terjadi di Benteng Koddo ini melelahkan kedua belah pihak. Belanda mulai merasa putus asah , sedangkan Pong tiku menjadi khawatir akan kebobolan pertahanan. Pada saat belanda istrahat dan mengundurkan diri dari medan perang, pong tiku memindahkaan pasukanya ke benteng Rinding Allo. Namun seberapa pun kuatnya pertahanan pasukan Pong Tiku, mereka bisa dikalahkan oleh pasukan Belanda. Berbagai cara telah dilakukan tentara Belanda untuk menangkap Pong Tiku seperti, memasang mata- mata untuk mengintai keberadan Pong Tiku, mengadakan pertemuan pertemuan dengan para pemimpin ada lainya, mengeluarkan pernyataan bahwa barang siapa yang berhasil menangkap Pong Tiku akan mendapat imbalan. Demikianlah dengan segala macam cara yang dilakukan kolonial Belanda untuk menangkap Pong Tiku, namun dengan bantuan mata mata bernama Tappa Pong Tiku berhasil

59

ditangkap dan ditawan di markas yang ada di Rantepao. Pada tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku ditembak oleh pasukan Belanda di pinggir sungai Sadan di Rantepao ketika sedang mandi.(Abduh,1982:154). Dengan meninggalnya

pongtiku berarti perlawanan terhadap Belanda semakin kendor,dengan demikian peluang Belanda menanamkan kekuasaanya di Tana Toraja semakin terbuka. 2. Perang Benteng Alla dan Ambeso Setelah jatuhnya seluruh daerah pantai yang pada akhir tahun 1906 tidak ada lagi yang bertahan diseluruh daerah pantai, demikian juga dengan pasukan Pong Tiku yang telah disapu bersih oleh tentara Belanda pada bulan Oktober 1906, maka benteng pertahanan yang masih tinggal yaitu Benteng Alla dan Benteng Ambeso yang terletak antara Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja sekarang. Pada akhir Bulan Januari 1907 Pong Tiku menggabungkan diri dengan pertahanaan di Benteng Ambeso dan Benteng Alla. Selain Pong tiku para pemimpin pemimpin rakyat dari berbagai daerah dang ke benteng ini karena kedua Benteng ini yang belum jatuh ketangan tentara Belanda. Semua pemimpin Benteng Ambeso dan Alla berusaha mempertahankan kedua benteng ini,para pemimpin benteng ini seperti,Massimau, Puang Matarru, Puangna Mattti, Puang Alla, Puang Sossok, Ambe Daini, Payung. Yang sudah sejak bulan Oktober 1906 sudah didatangi oleh tentara kolonial Belanda.( Tangdilintin, 1978:235). Setelah Pong Tiku berada di Benteng Ambeso, maka mulailah tentara Belanda datang dari berbagai daerah. Kedua Benteng pertahanan ini digempur oleh tentara Belanda. Namun karena begitu kuatnya pertahanan

60

kedua benteng ini sehingga tentara Belanda harus mendatangkan bantuan untuk menyerang kedua Benteng ini. Penyerangan kepada kedua Benteng ini dihadiri oleh pembesar pembesar dari tentara Belanda dari Makassar. Tentara Belanda pertama tama melakukan penyerangan terhadap benteng Ambeso di bagian utara, pada penyerangan ini banyak tentara Kolonial Belanda yang mati karena gulingan batu, namun karena tentara Belanda memiliki alat persenjatan yang moderen seperti meriam dan menghancurkan seluruh pinggiran benteng. Pada bulan Maret 1907 Benteng Ambeso jatuh ketangan Belanda dan seluruh anggota pasukan benteng Ambeso melarikan diri dan bergabung lagi dengan pasukan Benteng

Alla.(Tandilintin,1978:236). Benteng Alla merupakan benteng pertahanan diseluruh dataran selebes Selatan yang sedang dalam pengepungan tentara Belanda. Pada tanggal 26 Maret 1907 serangan yang paling hebat dikerahkan dengan tiada henti- hentinya. Tembakan meriam dari berbagai pihak dan berbagai jenis ukuran tetap menghujani benteng Alladisertai dengan serangan granat tangan sebagai selingan dari tembakan meriam, sedangkan benteng Alla hanya menggunakan senjata berupa gulingan batu besar namun senjata ini sangat ditakuti oleh tentara Belanda (Tandilintin,1978:236). Beberapa hari pertempuran yang sengit tak henti hentinya dari pasukan tentara Belanda. Hal ini menyebabkan pasukan benteng selalu kalah apalagi setelah batu gulingan mereka sudah habis ,maka tentara Belanda tidak ragu ragu lagi memanjat ke atas Benteng . Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat yaitu pasukan benteng menggunakan

61

sangkur dan pedang sedangkan tentara Belanda menggunakan granat tangan. Dengan persenjatan yang sangat sederhana pasukan benteng harus mengakui kekuatan dan kelebihan tentara Belanda. Pada akhir Bulan Maret 1907 pertahanan Benteng Alla berhasil ditaklukkan oleh tentara Belanda. Semua pasukan benteng yang masih hidup dengan pemimpin pemimpin benteng meninggalkan Benteng dengan tetap diburu oleh tentara Belanda, sehingga mereka harus berpisah untuk mencari tempat persembunyian serta tempat menyusun kekuatan kembali. Namun karena pemerintah Belanda yang terus mencari tahu tempat pertemuan pemimpin- pemimpin ini sehingga mereka tidak mendapatkan tempat lagi untuk bertemu setelah pertemuan singkat di daerah Mundan. Para pemimpin ini memutuskan untuk berpisah dan masing- masing pergi mencari jalanya sendiri - sendiri. 3. Perlawanan Pong Simping Kedatangan Belanda di Tana Toraja pada tahun 1914 selain bermaksud menguasai semua hasil bumi , juga ingin melumpuhkan perlawanan masyarakat di daerah Tana Toraja. Hasil bumi kaum tani secara paksa diambil oleh tentara kolonial Belanda , tokoh masyarakat yang dinggap menentang kebijakanya di singkirkan dan ada yang mati teraniaya. Belanda mengira Tana Toraja berhasil ditaklukkan dan tidak ada lagi pahlawan . Tapi ternyata keliru, tiba- tiba muncul nama Pong Simping dari kampung Pantilang yang melakukan perlawanan. Ketika Pong Simping melakukan perlawanan di kampung Pongkatapi (10 km dari selatan Palopo),

62

berhasil menewaskan komandan sersan stout, sedangkan beberapa pucuk senjata lainya di rampas kemudian dibagi bagikan kepada pejuang.(Syam,2010:74) Atas tindakanya itu pasukan gerilya pimpinan Pong Simping semakin kuat karena dilengkapi persenjataan dan banyak mendapat dukungan dari masyarakat utamanya kepala suku dan tokoh- tokoh masyarkat. Selain melakukan perang gerilya juga mengadakan sabotase sehingga sangat memusingkan pihak Belanda. Oleh sebab itu Belanda, selain meningkatkan bantuan personilnya juga melakukan propaganda pada masyarakat yang berisikan tulisan ,siapa yang berhasil menagkap Pong Simping hidup atau mati belanda akan memberinya kehormatan ,namun propaganda tersebut tidak mendapat tanggapan yang serius dari masyarakat malah lebih cenderung mendukung gerakan dari Pong Simping. Melihat keadaan itu tidak ada jalan lain bagi Belanda kacuali melakukan perang terhadap rakyat Toraja. Peperangan berkobar dimana- mana dan banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah pasukan dari Pantilang di taklukan sasaran selanjutnya yaitu menangkap Pong Simping. Namun seberapa kuatnya Pong Simping melakukan perlawanan akhirnya Belanda berhasil melumpuhkan perlawananya dan Pong Simping berhasil di tangkap. Berbagai perjuangan yang dilakukan mayarakat dan pemimpin adat dalam menentang kehadiran kolonial Belanda di Tana Toraja pada akhirnya gagal. Kegagalan ini disebabkan karena, pertama; tidak setianya sebagian pemimpin suku adat Tana Toraja pada ikrar musyawarah besar di Buntu Pune bulan September 1905. Kedua, politik devide et impera , politik pecah belah dan adu

63

domba yang dilakukan dengan cerdik oleh kolonialisme Belanda terhadap pemimpin suku adat di Tana Toraja. Ketiga, Tipu daya yang dilakukan kolonialisme Belanda secara licik dengan berunding dan berdamai dengan Pong Tiku dengan tujuan menangkap hidup Pong Tiku. Keempat, penggunaan senjata yang tidak seimbang kedudukanya, kolonial Belanda menggunakan senjata modern dan banyak jumlahya sedangkan rakyat menggunakan persenjataan yang tradisional yaitu senjata api yang tidak cukup.

B. Penataan Kembali Wilayah Pemerintahan di Tana Toraja Secara umum seluruh wilayah administrasi Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan terbagi dalam lingkungan kerja yang disebut gewest (wilayah), yang terbagi atas gewestafdeling, Onderafdeeling, distrik yang dikepalai oleh seorang gubernur sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Afdeeling dikepalai oleh seorang asisten residen yang mempunyai tugas untuk memimpin dan mengawasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di wilayah afdeling. Onderafdeeling dikepalai oleh kontrolir (controleur), kadang- kadang kontrolir menjadi sekretaris afdeeling. Distrik dikepalai oleh seorang wedana, tiap distrik dibagi lagi dalam beberapa kecamatan yang dikepalai oleh camat. Sejak tahun 1938 terdapat 3 wilayah Gubernemen yaitu; Sumatera , kalimantan (Borneo), dan Timur Besar (Grote Oost) yang mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda, Maluku, dan Irian Barat, sebelum 1938 terdapat 17 gewesten. Tiap gubernemen dikepalai oleh seorang Gubernur, yang berada langsung di bawah Gubernemen.(Surianingrat,1981:53)

64

Sietem pembagian wilayah diatas berlaku secara umum diwilayah yang telah dikuasai oleh Kolonial Belanda termasuk daerah Tana Toraja yang merupakan daerah swaparaja atau daerah yang berpemerintahan sendiri, yang diperintah oleh pembesar peribumi (pemimpin adat). Daerah swaparaja ini berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Antara Pemerintah Hindia Belanda dan raja atau pembesar pribumi ada perjanjian, dimana perjanjian ini sebetulnya adalah aturan yang mengatur dan menerangkan bahwa kerajaan pribumi ada di bawah kekuasaan Negara Belanda.(Surianingrat,1981:64) Daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo segerah berubah pada masa pemerintahan Belanda . Setelah Belanda menaklukkan kerajaan- kerajaan Sulawesi Selatan seperti Bone, Gowa dan terakhir melakukan penghukuman kepada pemimpin perlawanan Tana Toraja yaitu Pong Tiku, maka pemerintah Belanda dengan leluasa akan menata administrasi pemerintahannya di Sulawesi Selatan dan khusunya di Tana Toraja. Sejak tahun 1905 Belanda mulai

menanamkan kekuasaan kolonialnya di Tana Toraja, Daerah Tana Toraja dimasukkan dalam Afdeeling Luwu. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1967,karena pada tahun ini Tana Toraja mulai menjadi kabupaten yang terpisah dari Luwu (Abduh,1982:149). Pada tahun 1926, di daerah Toraja dibentuk Onder Afdeeling Makale & Rantepao yang secara administratif berada di bawah satuan wilayah yang lebih luas yang disebut Swaparaja Luwu, dalam artian bahwa wilayah swaparaja ini mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan

pemrintahan sendiri yang diserahkan kepada raja (pribumi) yang dituangkan dalam suatu keteranagan atau pernyataan (Verklaring).

65

Sehubungan dengan penataan wilayah ini maka, Tana Toraja ( Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo) terbagi atas beberapa daerah Onder Afdeeling masing- masing sebagai berikut: 1. Onder Afdeeling Enrekang yaitu bagian selatan daerah Tondok Lepongan Bulan. 2. Onder Afdeeling Mamasa yaitu daerah yang berada di bagian Barat Tondok Lepongan Bulan. 3. Onder Afdeeling Makale yaitu daerah yang ada di bagian Utara Tondok Lepongan Bulan, termasuk daerah Basse Sangtempe dan daerah adat seko dan Rongkong. Kemudian Onder Afdeeling diatas digabungkan dalam beberapa Afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen sebagai berikut; 1. Onder Afdeeling Enrekang digabungkan dalam Afdeeling Pare Pare 2. Onder Afdeeling Mamasa digabungkan pada Afdeeling Mandar 3. Onder Afdeeling Makale- Rantepao digabungkan pada Afdeeling Luwu. (Tandilintin,2009:72-73) Penggabungan tersebut menandakan bahwa Tana Toraja yang kita kenal sekarang pada masa kolonial Belanda termasuk kedalam daerah Afdeeling Luwu. Dengan demikian Tana Toraja dijadikan Onder afdeeling yang dikepalai oleh seorang kontrolir atau controleur. Penggabungan Tana Toraja ke dalam Afdeeling Luwu merupakan usaha Belanda untuk menata pemerintahan dengan baik.( Arsip Tana Toraja) Berdasarkan penatan kembali wilayah yang dilakukan Belanda pada masa kekuasanya di Sulawesi Selatan, maka Tana Toraja dijadikan sebagai Onder Afdeeling Rantepao dan Makale . Pada saat Belanda melakukan penataan pemerintahan di Tana Toraja,menandakan bahwa Rantepao dan Makale masing masing berdiri sendiri sebagai satu Onder Afdeeling atau dengan kata lain dipisahkan, namun tetap berada dalam suatu Afdeeling yaitu Afdeeling Luwu.

66

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam menetapkan pemerintahanya yaitu, seluruh daerah daerah yang sudah ditaklukan di Sulawesi Selatan semakin ditata dengan baik. Hal ini dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda demi kelancaran dan kemudahan dalam mengatur administrasi pemerintahanya. Tana Toraja sebagai daerah terakhir yang ditaklukan mendapat penataan yang mapan. Pemerintah Belanda mulai mengatur dan menyusun pemerintahanya yang terdiri dari Distrik , Bua dan Kampung yang masing- masing dipimpin oleh penguasa setempat (Puang, Parengge, Madika). Salah satu daerah yang menjadi daerah penelitian sehubungan dengan pengaruh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda terhadap pemerintahan tongkonan adat yaitu daerah Banga yang berada di kecamatan Rembon. Pada daerah Barat yang terkenal dengan daerah adat Kamadikaan atau Padang di Madikai, Papa Tettu (Wawancara tanggal 28 Juli 2011 ). Pada saat Belanda belum masuk ke Tana Toraja kecamatan Rembon terdiri dari kelompok daerah daerah kekuasaan dimana daerah tersebut diperintah oleh salah seorang yang berwibawa dan bijaksana yang berasal dari Tongkonan layuk atau Tongkonan yang pertama dibangun. Pada zaman pemerintahan Belanda daerah kekuasaan Tongkonan layuk diambil oleh pemerintahan Belanda dengan membentuk sejumlah Distrik yang berdasarkan daerah kekuasaan setiap Tongkonan layuk,Petrus (Wawancara 30 Juli 2011). Dengan demikian Tongkonan layuk meskipun terbatas tetap merupakan pusat kegiatan dan membimbing seluruh masyarakat berdasarkan peraturan yang

67

telah ditetapkan oleh pemerintahan adat sendiri. Adapun Distrik - Distrik yang dibentuk oleh pemerintah Belanda dalam (Toding,2000:23) yaitu; 1. Distrik Banga 2. Distrik Tapparan 3. Distrik Talion 4. Distrik Patsa 5. Distrik Ulu Salu 6. Distrik Seseng 7. Distrik Malimbong 8. Distrik Balepe 9. Distrik Balla 10. Distrik Bittuang 11. Distrik Pali. Di daerah Banga yang berkuasa pada saat itu adalah keturunan Tamboralangi dari Ullin yaitu Buttu Batu,setelah Buttu Batu kawin dengan Bura mereka hidup sebagai suami istri dan menjadi penjaga Tongkonan Banga,Papa Tettu (Wawancara, 28 Juli 2011). Pada masa Belanda berkuasa di Tana Toraja istilah Parenge pertama kali digunakan di Rantepao, karena Belanda mula mula mendarat di Rantepao dan kemudian ke Banga. Kemudian istilah to Parenge dibawa ke Banga. Parenge di Banga secara turun temurun berasal dari tongkonan Banga yaitu keturunan Buttu Batu, jika ada keturunan yang memenuhi syarat untuk menjabat jabatan Parengge, pada saat pengangkatan Parengge baru maka akan diadakan juga pemilihan umum . Dalam pemilihan Parengge semua lapisan masyarakat dan lapisan hamba diperlakukan sama , hanya saja lapisan hamba tidak berhak dipilih. C. Struktur Pemerintahan Tana Toraja setelah masuknya Kolonial Belanda Masa pertengahan abad ke-20 dapat dikatakan awal dari pemerintahan dan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Sulawesi pada umumnya dan

68

Tana Toraja pada khususnya. Daerah daerah yang telah dikuasai dijadikan wilayah pemerintahan dan kekuasaan langsung Pemerintah Hindia

Belanda.Wilayah yang berbentuk kerajaan dan kesatuan kecil dari satu kelompok yang berpemerintahan sendiri dihapuskan. Aturan yang lama diganti dengan aturan yang baru yang ditetapkan Pemerintah Belanda. Pada dasarnya dapat dikatakan pada masa itu terjadi perubahan politik dalam bidang penataan dan pelaksanaan pemerintahan, penetapan dan penerimaan kebijaksanaan. Pemerintah Hindia Belanda mengajukan suatu susunan pemerintahan baru di daerah itu dalam penataan dan pelaksanaan pemerintah. Pemerintahan sulawesi dan daerah bawahanya diatur secara bertingkat ke bawah bagian pemerintahan (afdeeling), cabanga pemerintahan (onderafdeeling), daerah adat

(adatgemeenschap) dan kampung (kampung).(Poelinggomang,2004:3) Tingkat bagian pemerintahan dan cabang berada di bawah pimpinan pejabat pemerintah Belanda, masing masing secara berurutan oleh pejabat asisten residen (assistent resident) dan kontrolir(controleur). Tingkat daerah adat dan kampung berada di bawah pejabat pemerintah bumuputera, masing-masing dijabat oleh regen dan kepala kampung. Kontrolir merupakan pejabat terendah dari jenjang kepangkatan Pemerintahan Belanda. Meskipun demikian kedudukanya sangat penting, karena merupakan barisan terdepan dan yang berhubungan langsung dengan pejabat pemerintah bumiputera dan berperan sebagai pelaksana dan pengawas Pemerintahan Hindia Belanda dalam mengatur pelaksana aturan, peraturan dan ketentuan pemerintah.

69

Tana Toraja yang dijadikan sebagai Onderafdeeling di bawah Afdeeling Luwu, merupakan wilayah Hindia Belanda struktur birokrasi pemerintahan kolonialnya dibagi dalam dua pembagian administratif yaitu; pertama sebagai Onderafdeeling MakaleRantepao yang dikepalai oleh seorang

controleur,sedangkan daerah kedua adalah di bawah Onderafdeeling yang terdiri dari distrik distrik dan kampung-kampung atau lembang yang masing- masing dikepalai oleh seorang bumiputera (bangsawan). Selama Pemerintahan Kolonial Belanda di Tana Toraja kepemimpinan masih dipegang oleh masyarakat yang statusnya lebih tinggi atau dari kalangan bangsawan yang berasal dari keturunan pemimimpin Tongkonan. Dalam sistem Pemerintahan Kolonial Belanda jabatan yang dianggap penting semua berada ditangan pegawai Belanda, sedangkan jabatan jabatan yang dianggap oleh Pemerintah Belanda langsung berhubungan dengan masyarakat diserahkan kepada golongan pribumi. D. Kehidupan Sosial Masyarakat Tana Toraja Setelah kepahlawanan Pong Tiku dan jatuhnya Benteng Ambesso, dan Alla yang diikuti oleh pembersihan terhadap sisa sisa para pejuang kompeni Belanda maka cengkraman kekuasaan kolonalisme Belanda atas wilayah Tana Toraja kian melengkapi kekuasaan kolonialisme untuk mengukuhkan kekuassaan

administrassi pemerintahanya. Pemerintah Belanda mengadakan registrasi kependudukan di setiap kampung, menyusun aparat pemerintahan sipil dengan mengangkat kepala kepala Distrik pertanian.(Pasanda,1995:181) di setiap wilayah dan pendataan tanah

70

Kemudian pemerintah sipil dan militer Belanda dengan mengerahkan rakyat secara paksa dalam bentuk kerja rodi untuk membangun jalan, kantor- kantor pemerintah, rumah rumah pejabat pemerintah sipil. Untuk memperlancar rencana tersebut pemerintah Kolonial Belanda tidak dapat sepenuhnya membebankan biaya kepada anggaran pemerintahnya semata mata, karena pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa biaya untuk menumpas perlawanan rakyat Tana Toraja khusunya di Sulawesi Selatan pada umumnya telah menelan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. (Pasanda, 1995:182) Keadaan tersebut dapat memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat Tana Toraja dalam berbagai bidang kehidupan yaitu; 1. Bidang ekonomi Secara ekonomi masyarakat tidak mempunyai waktu dalam menjalankan usahanya karena mendapat perintah dari atasanya yaitu Belanda. Kesempatan yang seharusnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhanya , terpaksa digunakan untuk kepentingan kolonial Belanda. Mereka mengangkat petugas petugas pajak dengan memberikan premi sebagai imbalanya. Besar kecilnya premi yang diterima ditentukan jumlah uang hasil penarikan pajak yang diperoleh dari rakyat. Adanya praktek sistem premi akan menimbulkan rangsangan yang sangat tinggi bagi penarik pajak. Mereka seolah olah berkompetisi untuk mendapatkan hasil dari penarikan pajak yang lebih besar pula. Akibatnya rakyat semakin diperas dan menderita karena dikejar- kejar penagih pajak. Kepada penduduk yang tidak dapat membayar pajak seperti yang telah ditentukan mendapat sangsi yaitu pajak atau kerja rodi yang lamanya berlangsung

71

beberapa hari. Wajib rodi ini tidak hanya berlaku sebagai hukuman bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak,tetapi juga baagi semua penduduk terutama kepala - kepala keluarga dan yang dianggap dewasa. Hal ini berlaku selama pemrintahan kolonial Belanda di Tana Toraja. Masyarakat Tana Toraja mengalami keterpurukan sehingga masyarakat banyak yang menderita akibat kebijakan yang diterapkan tentara kolonial

Belanda. Pemerintah Belanda dalam memperoleh pajak harus melalui perantara, dengan demikian sistem yang seperti pihak yang ditugaskan untuk menagih pajak ini seakan akan menyelewengkan wewenag yang diberikan dari pemerintah Belanda. Sebagai konsekuen dari penyelewengan ini adalah masyarakat yang mengalami penderitaan sedangkan pelaksananya atau pegawainya yang menerima keuntungan. Hal ini dilakukan oleh penguasa Belanda dengan bantuan pribumi dalam menagih pajak. Karena penindasan dan pemerasan yang tinggi dan di luar batas kemanusiaan, maka timbul ketidakpuasan bagi rakyat Tana Toraja dan berkembang dalam bentuk gagasangagasan pembangkangan dan pemberontakan dikalangan masyarakat yang menjadi kepala Distrik, Kampung, maupun pemuka masyarakat dan pemuda. 2. Dalam bidang pendidikan Setelah berfungsinya sekolah sekolah pada tahun 1908 dengan tenaga guru yang kebanyakan beragama Kristen, maka kebutuhan pelayanan rohani mereka dilayani oleh pendeta yang didatangkan dari bantaeng. Pada pendekatan

72

untuk penyebaran injil melakukan pendekatan yang pertama kepada pemuka pemuka elit setempat, ahli agama dengan maksud pemuka agama tersebut dapt mewariskanya kepada anak cucu mereka bahkan masyarakat lainya.Kedua meyebarkan pendidikan agar dapat menghindari benturan langsung dengan nilai tradisional baik agama (aluk) maupun adat. Pendidikan yang dilakukan oleh zending sangat erat hubunganya dengan usaha penyebaran agama Kristen di Tana Toraja sehingga pusat pendidikan zending sampai tahun 1914 sudah berjumlah 11 sekolah. Dibangunya sekolah sekolah oleh pemerintahan Belanda , berarti bahwa masyarakat Toraja mulai mengenal sistem pendidikan. Namun pendidikan ini belum merata di seluruh Tana Toraja . Masyarakat Tana Toraja tidak semua ikut dalam sistem pendidikan ini karena disesuaikan dengan keadaan ekonomi dan sosial masyarkat. 3. Bidang sosial budaya Dalam bidang sosial, sehubungan dengan diterapkanya politik etis yang membawa angin baru bagi kehidupan masyarakat Tana Toraja memahami bahwa Dengan dibukanya sarana sarana pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda maka sebagai masyarakat Tana Toraja merupakan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang luas. Dengan bekal pengetahuan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka secara lambat laun masyarakat menyadari sifat kolonialisme dari tentara kolonial Belanda yang sesungguhnya di Tana Toraja.

73

Pemerintahan tradisional setelah kekuasaan Belanda memang banyak mengalami perubahan perubahan tetapi tidak begitu berpengaruh terhadap

sistem pemerintahan yang ada, karena pada kenyataanya sampai sekarang pemerintahan tradisional itu masih tetap nampak dalam masyarakat dan masih berlaku dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja pada umumnya.Deppong ( wawancara, 26 Juli 2011) Terlebih masih sangat jelas terlihat dalam kegiatan upacara rambu tuka dan rambu solo. Dimana dalam kegiatan upacara tesebut yang bertindak sebagai pengatur jalanya pesta upacara adalah penguasa adat. Disini terlihat bahwa sistem pemerintahan tradisional itu masih tetap lestari sampai sekarang karena masih tetap berperan dan berfungsi dalam masyarakat Toraja. Namun meskipun demikian pada kenyataanya mengenai kekuasaan dan pemerintahan tradisional ini ,tidak mungkin tetap menutup diri dan mau tidak mau harus menerima penyeragaman dari pemerintahan pusat, karena mengingat bahwa Tana Toraja adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu akan tetap menerimanya dan menjalankan pemerintahan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.

74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sebelum Tana Toraja dikuasai oleh Belanda bentuk pelaksanaan pemerintahan memang sudah ada dan mempunyai sistem dan struktur pemerintahan tradisional yang berpusat pada tongkonan. Sistem ini membagi wilayah adat dalam tiga daerah adat yaitu,Padang Diambei, Padang Dimadikai, dan Padang Dipuangi. Sistem pemerintahan dan kekuasaan tradisional Tana Toraja dapat disebut sistem pemerintahan dan kekuasaan tongkonan atau sistem pemerintahan yang berlaku di masyarakat adalah sistem pemerintahan adat. Setiap wilayah adat

memiliki struktur pemerintahan sendiri yang bersumber dari masing masing Tongkonan. 2. Keinginan Belanda untuk menguasai Daerah Tana Toraja karena didorong oleh dua hal yaitu untuk menguasai wilayah Indonesia secara utuh ,dan yang kedua adalah karena Tana Toraja merupakan penghasil kopi yang cukup besar. Kehadiran Kolonial Belanda di Tana Toraja mendapat reaksi keras dari masyarakat dan pemimpin pemimpin adat di Tana Toraja seperti Pong Tiku. Namun usaha Pong Tiku akhirnya gagal dan pemerintahan Belanda dengan leluasa menyusun pemerintahanya. Selama Pemerintahan Kolonial Belanda di Tana Toraja kepemimpinan masih dipegang oleh masyarakat yang statusnya lebih tinggi atau dari kalangan bangsawan yang berasal dari keturunan pemimimpin Tongkonan.

75

pendudukan Belanda di Toraja sangat lancar karena tetap memberikan kekuasaan adat kepada tiap bangsawan penguasa daerah adat, namun harus tunduk kepada Kontroleur Belanda sebagai Kepala Daerah Onder Afdeeling. Sejak pendudukannya, Belanda membagi daerah Toraja dalam 3 daerah yang digabungkan dengan satu daerah lain dalam bentuk pemerintahan OnderAfdeeling. 3. Setelah perlawanan masyarakat Tana Toraja dirasakan kolonial Belanda sudah mengendor sebagai akibat dari ditangkapnya beberapa pemimpin perlawanan terhadap Kolonial Belanda maka, mereka mulai menata sistem pemerintahannya. Tana Toraja dijadikan sebagai Onder Afdeeling Makale Rantepao. Pemerintah Belanda mulai menyusun tata pemerintahan Tana Toraja yang dibagi menjadi, Distrik, Bua, Kampung yang masing masing dipimpin oleh penguasa setempat yaitu; Puang, Parengge, dan Madika. Pemerintahan tradisional setelah kekuasaan Kolonial Belanda memang banyak mengalami perubahan perubahan tetapi tidak begitu berpengaruh terhadap sistem pemerintahan tradisional , karena pada kenyataanya penguasa adat atau para pemimpin adat masih tetap berperan dalam kehidupan masyarakat. Peran mereka masih sangat jelas terlihat dalam kegiatan upacara adat yang dilakukan masyarakat Tana Toraja seperti upacara rambu tuka dan upacara rambu solo.

76

B. Saran Dengan berdasar pada hasil penelitian di atas, maka penulis memberikan himbauan berupa saran sebagai berikut: 1. Kepada segenap masyarakat dan pejabat pemerintahan di Tana Toraja pada masa sekarang dan masa yang akan datang hendaknya tetap mempertahankan keutuhan daerah Tana Toraja dan mengatur jalanya roda pemerintahan sesuai dengan cita cita para pendahulu msyarakat Toraja yang telah memperjuangan Tana Toraja dari Kolonialisme Belanda. 2. Untuk lebih mengembagkan daerah Tana Toraja kearah yang lebih baik , diharapkan kerja sama dari segenap lapisan masyarakat melalui pembangunan dalam era otonomi daerah sekarang ini sehingga tercipta daerah mandiri yang mampu mengurus rumah tangganya sendiri. 3. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis dalam penulisan ini, sehingga menghasilkan karya yang sederhana yang tak luput dari kekurangan. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak, utamanya pada sejarawan yang ingin mengkaji lebih mendalam tentang Pemerintahan Tongkonan Adat pada masa Kolonial Belanda sehingga dapat menghasilkan karya yang lebih bermutu dan obyektif.

77

Daftar pustaka Abduh, Muhammad,1982. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Sejarah Nasional. Abdurracman,Surjomiharjo,Taufik Abdullah.1985.Ilmu Historiografi arah dan Perspektif.Jakarta:Gramedia Sejarah Dan

Hasanuddin, Akin Duli, 2003.Toraja Dulu dan Kini. Makassar: Pustaka Refleksi. Idwar,Anwar.2005.Ensiklopedi Sejarah Luwu. Luwu:Komunitas Kampung Sawerigading. Kartodirdjo,Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sejarah.Jakarta:Gramedia pustaka utama. Sosial Dalam Metodologi

Kadir,harun.1984.Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan (1945- 1950).Makassar:BAPPEDA Sulawesi Selatan. Limbonglala,Emiaty. 1995. Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat TanaToraja.Dep.Pendidikan dan Kebudayaan Direkrorat Jenderal Kebudayaan.Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang. Madjid, M. Saleh, dkk. 2008. Pengantar Ilmu Sejarah. Makassar: Raihan Intermedia. Mappangara, Suriadi. 2004. Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selaatan sampai tahun 1905. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Mappasanda ,H.A.M.2007.Kerajaan Luwu Dalam Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F.van Morris. Makassar: toACCAe Publishing Mattulada,Dr.A.H.1998.Sejarah Mayarakat dan Kebudayaan Selatan.Makassar: Hasanuddin University press Sulawesi-

Matatta.Dg Sanusi.1962. Luwu Dalam Revolusi.Makassar.Perpustakaan Setwilda Tk Sulawesi-Selatan. Marampa,.A.T. 1982.Mengenal Toraja.Rantepao. Tana Toraja.yayasan perguruan kristen

Nonci.2000.Skripsi Peranan Tongkonan Adat Dalam Perlawanan Rakyat Benteng Alla Terhadap Kolonial Belanda Pada Tahun 1905-1907.Fakultas sastra UNHAS.

78

Pasanda,Allo Arrang.1995.Pongtiku Pahlawan Tana Toraja Anti Kolonial Belanda.Jakarta:Fajar Baru Sinar Pratama. Pangerang,Rimba Alam A.2009.Sejarah Singkat Kerajaan di Sulawesi Selatan.Makassar:Dinas Kebudayan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Poelinggomang, Edward L.2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906- 1942.Yogyakarta: Ombak. Salassa,Ayub.1990.Skripsi Sejarah Pemerintahan 1979).Makassar:Fakultas Sastra UNHAS. Tana Toraja(1900-

Sitonda, Mohammad Natsir, 2005, Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka Refleksi. Sugiyono,Prof Dr.2010.Metode R&D.Bandung:Alfabeta. Penelitian Kuantitatif,Kualitatif dan

Surianingrat,Drs bayu. 1981.Sejarah pemerintahan Di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang.Jakarta:Dewaruci Press. Syam,Ridwan.M,Dkk.2010.Profil Raja cet.2.Pustaka refleksi:Makasaar. dan Pejuang Sulawesi Selatan

Tampubolon, A. 1971. Sejarah Kabupaten Tana Toraja. Tana Toraja: Pemerintah Kabupaten Tana Toraja. Tangdilintin , L. T , 1975. Toraja dan Kebudayaannya, Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. __________,1976.Sejarah Perjuangan Pahlawan Pongtiku.Tana Toraja.Yayasan Lepongan Bulan. __________, 1978. Sejarah dan pola-pola hidup Toraja, Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. __________,2009. Toraja sebuah penggalian sejarah dan budaya.Makassar: Balai pelestarian sejarah dan nilai tradisional Makassar.

Anda mungkin juga menyukai