Anda di halaman 1dari 2

PENGANTAR

Peradaban manusia selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan zaman
mulai dari zaman batu hingga saat ini yang cenderung mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jenis
peradaban manusia ditandai dengan pola pikir dan perilaku sekelompok manusia yang berbeda
karakteristiknya sesuai dengan tempat tinggal dan alam yang mempengaruhinya.

Sistem kehidupan berkelompok manusia dengan perilaku dan karakteristiknya tersebut yang membedakan satu
kelompok dengan yang lainnya secara sederhana dapat disebut budaya. Prinsip nilai budaya pada dasarnya
tidak dapat berubah, yang berubah adalah penerapannya melalui ritual dan perilaku masyarakat budaya
tersebut.

Terbentuknya sistem pemerintahan saat ini tidak terlepas dari peran budaya nenek moyang sehingga dapat
membedakan satu negara dengan negara yang lain, Kabupaten yang satu dengan yang lainnya, dan seterusnya
dengan karakteristiknya masing – masing.

Aesesa Selatan merupakan Kecamatan yang unik dimana penduduknya masih dalam satu struktur budaya yang
sangat kental dalam lingkaran SUKU RENDU yang walaupun demikian masih ada suku lain yang akan
dijelaskan pada bab berikut. Luas wilayah kecamatan Aesesa Selatan sama dengan luas tanah ulayat suku
RENDU.

Dalam sistem kehidupannya, orang Rendu sangat menjunjung tinggi nilai – nilai budaya yang diwariskan oleh
leluhurnya. Masyarakat adat Rendu sudah menerapkan dialog budaya yang sangat baik dan dipatuhi oleh
semua anggota suku yang tinggal di wilayah Rendu. Dalam proses penyelesaian konflik dan persoalan baik
internal maupun eksternal selalu diutamakan kearifan lokal yang merupakan nilai budaya orang Rendu.

Sampai saat ini, sejarah nenek moyang suku Rendu sangat jelas. Ritual adat/budaya masih dijalankan dengan
baik. Situs budayanya masih terpelihara dengan baik dan terus diwariskan kepada generasi ke generasi.
Struktur budayanya juga jelas dan dipatuhi oleh semua anggota suku. Walaupun mempunyai karakteristik
yang sangat unik, masyarakat suku Rendu juga membuka dirinya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini tercermin dalam kerja sama yang baik antara BUDAYA, AGAMA dan PEMERINTAH
yang sering diistilahkan LIKA TELU MA’E PAPA WELU (tiga batu tungku jangan saling pisah). Nilai budaya
dijadikan filter (penyaring) bagi perkembangan zaman yang masuk ke wilayah suku Rendu.

SEJARAH SINGKAT SUKU RENDU

Nenek moyang orang Rendu berasal dari Jo Wio (Sumba) dengan istilah “Dhodho Pu’u Zili Jo Wa’u Zili Mai
Wio”. Mereka menggunakan sampan dan tiba di Nagelewa (marapokot). Setelah sampai di Flores, kelompok
orang rendu berpindah – pindah yang pada akhirnya menetap di Warikeo (Ratedao) dan mereka membangun
kampung dan Peo (Fa Wae). Dalam perjalanan waktu terjadi bencana alam (boko wika) sehingga mereka
berpindah ke arah wolowea. Dalam perjalanan tersebut orang rendu diminta bantuan oleh orang wolowea
(Sepe Teda dan Jawa Mara) untuk berperang melawan orang lambo yang dipimpin oleh 7 Panglima : Mosa
Fo’a, Jogo Sela, Raja Tawa, Ture Aji, Diwa Wea, Paso Mango, Laki Lengi. Sebagai hadiah/upah atas
kemenangan perang tersebut, maka orang Wolowea memberi tanah dengan batas – batas :

Timur : lange Dora ne’e lambo, Barat : lange Gero ne’e Dhere Isa, Utara : lange Nete Segho, Selatan : lange
ne’e da Raja

Kampung pertama suku rendu adalah Redu Wawo dengan Peo yang dibangun namanya “LALU KOLI”. Dalam
perjalanan waktu orang rendu berpindah – pindah kampung dan setiap kampung selalu dibangun Peo yang
merupakan alat pemersatu suku rendu. Kampung terakhir yang dibangun Peo sampai saat ini adalah kampung
Rendu Ola dengan nama Peo “BANGO BEBU”. Setelah itu 7 Panglima Rendu melakukan ekspansi tanah
melalui 6 tahap perjuangan yang sampai saat ini dengan sebutan Ulu Watu Gase Eko Ae Ze’a dengan batas –
batas sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai