Anda di halaman 1dari 89

PENGANTAR

Peradaban manusia selalu mengalami perubahan dari waktu ke


waktu seiring dengan perkembangan zaman mulai dari zaman batu hingga
saat ini yang cenderung mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jenis
peradaban manusia ditandai dengan pola pikir dan perilaku sekelompok
manusia yang berbeda karakteristiknya sesuai dengan tempat tinggal dan
alam yang mempengaruhinya.
Sistem kehidupan berkelompok manusia dengan perilaku dan
karakteristiknya tersebut yang membedakan satu kelompok dengan yang
lainnya secara sederhana dapat disebut budaya. Prinsip nilai budaya pada
dasarnya tidak dapat berubah, yang berubah adalah penerapannya melalui
ritual dan perilaku masyarakat budaya tersebut.
Terbentuknya sistem pemerintahan saat ini tidak terlepas dari peran budaya
nenek moyang sehingga dapat membedakan satu negara dengan negara yang
lain, Kabupaten yang satu dengan yang lainnya, dan seterusnya dengan
karakteristiknya masing – masing.
Aesesa Selatan merupakan Kecamatan yang unik dimana
penduduknya masih dalam satu struktur budaya yang sangat kental dalam
lingkaran SUKU RENDU yang walaupun demikian masih ada suku lain yang
akan dijelaskan pada bab berikut. Luas wilayah kecamatan Aesesa Selatan
sama dengan luas tanah ulayat suku RENDU.
Dalam sistem kehidupannya, orang Rendu sangat menjunjung tinggi
nilai – nilai budaya yang diwariskan oleh leluhurnya. Masyarakat adat Rendu
sudah menerapkan dialog budaya yang sangat baik dan dipatuhi oleh semua
anggota suku yang tinggal di wilayah Rendu. Dalam proses penyelesaian
konflik dan persoalan baik internal maupun eksternal selalu diutamakan
kearifan lokal yang merupakan nilai budaya orang Rendu.
Sampai saat ini, sejarah nenek moyang suku Rendu sangat jelas.
Ritual adat/budaya masih dijalankan dengan baik. Situs budayanya masih
terpelihara dengan baik dan terus diwariskan kepada generasi ke generasi.
Struktur budayanya juga jelas dan dipatuhi oleh semua anggota suku.
Walaupun mempunyai karakteristik yang sangat unik, masyarakat suku
Rendu juga membuka dirinya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini tercermin dalam kerja sama yang baik antara Budaya,
Agama Dan Pemerintah yang sering diistilahkan Lika Telu Ma’e Papa Welu
(tiga batu tungku jangan saling pisah). Nilai budaya dijadikan filter
(penyaring) bagi perkembangan zaman yang masuk ke wilayah suku Rendu.
SEJARAH SINGKAT SUKU RENDU
Nenek moyang orang Rendu berasal dari Jo Wio (Sumba) dengan istilah
“Dhodho Pu’u Zili Jo Wa’u Zili Mai Wio”. Mereka menggunakan sampan
dan tiba di Nagelewa (marapokot). Setelah sampai di Flores, kelompok orang
rendu berpindah – pindah yang pada akhirnya menetap di Warikeo (Ratedao)
dan mereka membangun kampung dan Peo (Fa Wae). Dalam perjalanan
waktu terjadi bencana alam (boko wika) sehingga mereka berpindah ke arah
wolowea. Dalam perjalanan tersebut orang rendu diminta bantuan oleh orang
wolowea (Sepe Teda dan Jawa Mara) untuk berperang melawan orang lambo
yang dipimpin oleh 7 Panglima : Mosa Fo’a, Jogo Sela, Raja Tawa, Ture
Aji, Diwa Wea, Paso Mango, Laki Lengi. Sebagai hadiah/upah atas

1
kemenangan perang tersebut, maka orang Wolowea memberi tanah dengan
batas – batas :
Timur : lange Dora ne’e lambo, Barat : lange Gero ne’e Dhere Isa, Utara :
lange Nete Segho, Selatan : lange ne’e da Raja
Kampung pertama suku rendu adalah Redu Wawo dengan Peo yang dibangun
namanya “LALU KOLI”. Dalam perjalanan waktu orang rendu berpindah –
pindah kampung dan setiap kampung selalu dibangun Peo yang merupakan
alat pemersatu suku rendu. Kampung terakhir yang dibangun Peo sampai saat
ini adalah kampung Rendu Ola dengan nama Peo “BANGO BEBU”. Setelah
itu 7 Panglima Rendu melakukan ekspansi tanah melalui 6 tahap perjuangan
yang sampai saat ini dengan sebutan Ulu Watu Gase Eko Ae Ze’a dengan
batas – batas sebagai berikut :

1.1 Hubungan Masyarakat Adat Rendu dan Suku-suku di Rendu


1.1.1 Perbedaan Istilah Masyarakat Adat Rendu dan Masyarakat Adat
Suku Rendu
Pengertian masyarakat adat Rendu dan masyarakat adat suku Rendu
sering mengalami ketumpang-tindihan dalam masyarakat Rendu. Orang
Rendu, baik golongan tua maupun muda, golongan terpelajar maupun
masyarakat tidak bersekolah sering menyamaratakan pengertian masyarakat
adat Rendu dan pengertian masyarakat adat suku Rendu. Mereka mengira
penyebutan istilah masyarakat adat Rendu sama persis pengertiannya dengan
istilah masyarakat adat suku Rendu.
Untuk menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah
masyarakat adat Rendu dengan istilah masyarakat adat suku Rendu, berikut
ini penulis berikan penjelasan singkat sebagai pemahaman awal tentang
kedua istilah itu.
1) Pengertian Masyarakat Adat Rendu
Istilah masyarakat adat Rendu sesungguhnya adalah gabungan dari 4
kelompok komunitas masyarakat adat dari 4 suku atau bhisu yang berbeda
sebagai pendukung masyarakat adat Rendu, yaitu: (1) Masyarakat Adat Suku
atau Bhisu Rendu dengan 7 marga atau woe sebagai anggotanya, (2)
Masyarakat Adat Suku atau Bhisu Isa dengan 3 marga atau woe sebagai
anggotanya, (3) Masyarakat Adat Suku atau Bhisu Gaja dengan 4 marga atau
woe sebagai anggotanya, dan (4) Masyarakat Adat Suku atau Bhisu Mala
Wawo dengan 6 marga atau woe sebagai anggotanya.
Jadi, pengertian istilah masyarakat adat Rendu itu lebih luas
cakupan makna dan ruang lingkupnya karena terdiri atas gabungan dari 4
(empat) kelompok masyarakat adat atau 4 (empat) kelompok etnis atau 4
kelompok suku atau bhisu yang sekarang ini mendiami tanah ulayat Rendu
dan masing-masingnya mempunyai adat istiadatnya sendiri-sendiri.
2) Pengertian Masyarakat Adat Suku Rendu

2
Istilah masyarakat adat suku Rendu sesungguhnya adalah sebuah
kelompok komunitas masyarakat adat, yaitu kelompok komunitas adat dari
suku atau bhisu Rendu yang terdapat dalam kelompok komunitas masyarakat
adat Rendu. Jadi, pengertian istilah masyarakat adat suku rendu itu lebih
sempit cakupan makna
skupnya karena hanya mengacu pada 1 (satu) kelompok komunitas adat,
yaitu komunitas masyarakat adat suku Rendu dengan 7 marga atau woe
sebagai anggotanya.
1.1.2 Struktur Hubungan Fungsionaris
ur Hubungan Fungsionaris Masyarakat Adat Rendu dengan Suku-suku di
Rendu hubungan fungsionaris adat antara suku-suku di Rendu terbangun
dalam organisasi adat suku-suku di Rendu yang dikenal dengan ungkapan
adat Bhisu, Woe, Ili, Manga dan Tenga Adha, Laki kedu seperti yang dapat
disimak melalui bagan struktur hubungan fungsionaris masyarakat adat
Rendu dengan suku-suku di Rendu, berikut ini.

1.1.3 Penjelasan Hubungan Fungsionaris Masyarakat Adat Rendu


dengan Suku-suku di Rendu (Lihat Bagan 1 di atas)
1) Hubungan Komando: Hubungan komando yaitu hubungan
sosial budaya
yang bersifat wajib instruktif, artinya jika ada perintah atau instruksi dari
fungsionaris adat
tingkat atas wajib dituruti atau ditaati oleh fungsionaris adat tingkat bawah.
2) Hubungan Konsultatif atau Timbal Balik:
Hubungan konsultatif atau
timbal balik yaitu hubungan sosial budaya yang bersifat interaktif, artinya
jika ada hajatan atau ritual adat dalam komunitasnya, maka antara pihak yang
satu dengan pihak yang lainnya senantiasa berada dalam semangat berdiskusi

3
dan bermusyawarah untuk menemukan kesepakatan dan jalan keluar tentang
pelaksanaan suatu kegiatan atau suatu ritual adat secara
kekeluargaan.
3) Hubungan Bhisu, Woe, Ili, Manga, dan Tenga Adha, Laki Redu
dalam Masyarakat Adat Rendu
Hubungan sosial budaya dan kekerabatan dalam masyarakat adat suku Rendu
dikemas dalam ungkapan adat Rendu Bhisu-Woe, Ili-Manga dan Laki Redu,
Tenga Adha. BhisuWoe, Ili-Manga dan Tenga Adha, Laki Redu inilah yang
dijadikan sebagai roh pengikat dan perekat kebersamaan masyarakat adat
Rendu.
a. Pengertian Suku atau Bhisu
Istilah suku atau bhisu adalah kelompok komunitas masyarakat adat yang
mempunyai tradisi atau adat-istiadat serta latar belakang keasalan yang sama.
b. Istilah Woe atau Marga
Istilah woe atau marga adalah kelompok komunitas dalam sebuah suku yang
mempunyai latar belakang keturunan garis lurus yang sama.
Misalnya, pada awal kedatangan suku Rendu ada 7 (tujuh) orang laki-laki
yang kemudian mewarisi 7 (tujuh) woe atau marga dalam suku Rendu, yaitu:
(1) Mosa Fo’a dari woe atau marga Ebu Tuza. Keturunan Mosa Fo’a hingga
sekarang hidup dalam komunitas woe atau marga Ebu Tuza dan Ebu Ribu
dan tersebar di seluruh wilayah Rendu.
(2) Jogo Sela dari woe atau marga Ebu Wedho. Keturunan Jogo Sela hingga
sekarang
hidup dalam komunitas woe atau marga Ebu Wedho dan tersebar di
seluruh wilayah Rendu.
(3) Ture Aji dari woe atau marga Ebu Dapa. Keturunan Ture Aji hingga
sekarang hidup
dalam komunitas woe atau marga Ebu Dapa dan tersebar di seluruh
wilayah Rendu.
(4) Raja Tawa dari woe atau marga Naka Lado. Keturunan Raja Tawa hingga
sekarang
hidup dalam komunitas woe atau marga Naka Lado dan tersebar di
seluruh wilayah
Rendu.
(5) Diwa Wea dari woe atau marga Dhiri Ke'o. Keturunan Diwa Wea hingga
sekarang
hidup dalam komunitas woe atau marga Dhiri Ke'o dan tersebar di
seluruh wilayah
Rendu.
(6) Laki Lengi dari woe atau marga Nanga Lengi. Keturunan Diwa Wea
hingga sekarang

4
hidup dalam komunitas woe atau marga Dhiri Ke'o dan tersebar di
seluruh wilayah
Rendu.
(7) Pole Poma dari woe atau marga Pole Poma. Keturunan Diwa Wea hingga
sekarang
hidup dalam komunitas woe atau marga Para Meze dan Au Poma dan
tersebar di
seluruh wilayah Rendu.
c. Istilah Ili atau Persekutuan Rumah Adat
Istilah Ili atau Persekutuan Rumah Adat adalah kumpulan dari
keluarga-keluarga inti yang berasal dari satu garis keturunan garis lurus serta
hidup dalam satu persekutuan rumah adat (sa'o gua). Jadi, ili adalah anggota
persekutuan rumah adat yang terdiri atas keluarga-keluarga inti yang masih
memiliki satu keturunan dan memiliki satu sa'o gua atau sa'o meze (rumah
adat) sebagai pengikat atau perekat anggota persekutuan rumah adat itu. Jadi,
si merupakan persekutuan rumah adat dari satu keturunan yang mempunyai
peran untuk menjalankan ritual adat di rumah adatnya masing-masing dalam
suatu woe.

Banyaknya jumlah Ili dalam suatu Woe atau marga tidak pasti dan
tidak tetap. Jumlah Ili sangat tergantung dari pesatnya perkembangan anggota
Woe dari turunan anak laki-laki dengan rumah adat sebagai wadah perekat
dan pemersatunya.
d. Istilah Manga atau Keluarga Inti
Istilah Manga atau keluarga inti terdiri atas suami, istri dan anak-anak, yang
secara struktural mempunyai hubungan dengan bhisu woe dan ili manga
dalam sistem persukuan, seperti suku-suku di Rendu. Jadi, ili adalah
persekutuan rumah adat yang hidup dalam suatu komunitas dengan rumah
adat sebagai pengikat dan perekat hubungan karena mereka
berasal dari satu keturunan garis lurus.
e. Tenga Adha
Istilah tenga adha adalah petugas hubungan masyarakat (humas) untuk
menyampaikan amanat dari kepala suku kepada seluruh warga sukunya
tentang pelaksanaan ritual dalam sukunya masing-masing, seperti ritual gua,
baik gua ru maupun gua leza, para Peo, dan ritual-ritual lainnya.
f. Laki Redu
Istilah Laki Redu adalah hakim adat yang terdiri atas para tetua adat dari
semua woe atau marga dalam suatu suku. Misalnya, dalam suku Rendu; Laki
Redu itu terdiri atas tetua adat dari 7 woe atau marga yang dalam suku Rendu
itu.
Laki Redu diberi hak dan wewenang oleh mayarakat adat Rendu untuk
menyelesaikan konflik dalam masyarakat adat suku Rendu. Jadi, Laki Redu

5
diberi hak dan wewenang untuk mengeksekusi setiap masalah dan konflik
dalam masyarakat adat suku Rendu yang berhubungan dengan pelanggaran
adat, seperti:
(1) Pelanggaran adat pada saat dilaksanakan ritual gua ru dan ritual gua leza,
misalnya:
a) Ada anggota masyarakat adat yang berselisih paham lalu ribut-ribut
hingga mengganggu ketenangan masyarakat.
b) Memotong hewan lalu membakar di luar rumah pada waktu masa
ritual gua, maka kepada warga yang melanggar dikenakan sanksi adat
yang disebut sanksi hukum siga debo. Jadi, hukum siga debo sebagai
sangsi adat pada saat ritual adat gua leza dan gua ru itu dikenakan
kepada pelanggarnya sesuai dengan tingkat pelanggaran, yaitu sesuai
dengan besar kecilnya kesalahan.
(2) Pencurian benda (barang) warga masyarakat adat, seperti mencuri peo,
mencuri ornamen rumah adat seperti ana deo, mencuri barang berharga
milik masyarakat, seperti kerbau, sapi, kuda, dll.; maka Laki Redu
berhak menetapkan hukum bo li, sesuai dengan besar kecilnya
kesalahan.
(3) Pelecehan seksual, seperti perselingkuhan, perkawinan inses, dll., maka
dikenakan sanksi hukum pela pani atau hukum ae uza yang biasanya
diselesaikan melalui ritual upacara tau ae uza karena menurut tradisi adat
Rendu, bahwa biasanya kalau terjadi penyelewengan seksual, maka
hujan tidak akan turun di musim tanam. Kepada yang melanggar harus
memotong hewan berupa babi untuk pihak wanita dan kerbau atau sapi
untuk pihak laki-laki lalu dibuat ritual adat untuk membersihkan
kampung halaman dari dosa perzinahan.
(4) Pengusiran warga atau anggota masyarakat yang memiliki ilmu-ilmu gaib
(black
magic) yang dapat mematikan manusia melaui mantera dan jampi-jampi;
biasanya diselesaikan melalui ritual upacara Laga deto untuk
menerimanya kembali setelah bertobat dan kembali bergabung dengan
anggota masyarakat di kampung halamannya.

BAB II

EKSISTENSI SUKU-SUKU DI RENDU

2.1 Tanah Rendu dan Suku-Suku yang ada di Rendu


2.1.1 Tanah Rendu
Tanah Rendu terbentang dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke
Barat dengan batasbatasnya; berdasarkan naskah deklamasi yang diberikan

6
oleh para tetua adat Rendu dan dideklamasisikan oleh Petrus Pita (Penulis)
ketika duduk di kelas III SDK Jawatiwa dalam acara Hari Pendidikan
Nasional (HARDIKNAS) tanggal 2 Mei 1968 di SDK Rendu di Jawakisa
yang berbunyi: "Dalam rangkulan Utara Ae Ze'a, di peluk kasih Selatan Baba
Muga, di ribaan Timur sayang Lowo Dora, dan dicumbu manis Barat Pau
Botu”.
Berdasarkan naskah deklamasi tersebut di atas, maka dirumuskan
batas-batas tanah Rendu sebagai berikut ini:
* Sebelah Utara berbatasan dengan Ae Ze'a
* Sebelah Selatan berbatasan dengan Baba Muga
* Sebelah Timur berbatasan dengan Lowo Dora
* Sebelah Barat berbatasan dengan Pau Botu
Menurut cerita 1) Bapak Bernardus Bhia Wea di Renduola dari woe
Ebu Tuza, dan 2) Bapak Laurensius Dala dari woe Ebu Wedho di Tutu Bhada
kepada penulis (Petrus Pita) pada bulan Agustus 1984) bahwa ada empat
suku (bhisu) yang mendiami tanah ulayat Rendu, seperti yang dideskripsikan
berikut ini.
2.1.2 Suku atau Bhisu yang Pertama Mendiami Tanah Rendu
Suku atau bhisu yang pertama-tama datang dan mendiami tanah Rendu,
ialah:
1) Suku atau Bhisu Rendu. 2) Suku atau Bhisu Isa. 3) Suku atau Bhisu Gaja.
2.1.3 Suku atau Bhisu yang Datang Kemudian dan Mendiami Tanah
Rendu
Suku (bhisu) yang datang kemudian dan mendiami tanah Rendu adalah suku
atau bhisu Mala
Wawo.
Diceritakan lebih lanjut oleh Bapak Bernardus Bhia Wea dari woe
Ebu Tuza di Renduola dan Bapak Laurensius Dala dari woe Ebu Wedho di
Tutu Bhada, bahwa suku atau bhisu Rendu, Suku atau bhisu Isa, Suku atau
bhisu Gaja adalah pendukung masyarakat adat Rendu yang datang lebih
dahulu, lalu membangun perkampungan adat sejak di Renduwawo dan
Renduola. Menurut para informan itu, bukti bahwa hanya suku Rendu, suku
Isa, dan suku Gaja adalah pendatang pertama di Rendu ialah bahwa baik di
Renduwawo maupun di Renduola tidak terdapat pola perkampungan dari
suku atau bhisu Mala Malawawo. Jadi, menurut para informan pola
perkampungan di Renduwawo dan Renduola dapat menceritakan kepada kita
tentang kedatangan masyarakat adat Rendu di masa lalu.
Lebih lanjut diceritakan oleh para informan itu bahwa pendukung
masyarakat Rendu yang datang pertama itu pada mulanya membangun
perkampung adat di Renduwawo lalu pindah lagi ke kampung Renduola.
Selanjutnya, dari perkampungan adat di Renduola itu, pendukung
masyarakat Rendu memencar ke kampung-kampung lainnya di wilayah

7
Rendu hingga akhirnya pindah lagi ke perkampungan berikutnya seperti yang
mereka diami sekarang ini, yaitu di Jawatiwa, Roga-roga, Segho, Wololuba,
Boaele, Natakupe, Jawakisa, Nunu Nongo, Tutu Bhada, Mala Wona, Bo'a
Siko, Dadho Wawo, Bo’a Mara.
Sedangkan suku atau bhisu Malawawo yang datang kemudian dan
mendiami tanah Rendu ini membangun perkampungan di Wolo Wajo.
2.1.4 Deskripsi Suku-suku di Rendu
2.1.4.1 Suku atau bhisu Rendu
Istilah suku atau bhisu Rendu dalam masyarakat adat Rendu adalah
kelompok warga yang berasal dari etnis dan penganut adat-istiadat Rendu,
berasal dari daerah asal yang sama, yaitu tanah Wio atau Sumba dan
mendiami tanah Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo
Propinsi Nusa Tenggara Timur serta taat melaksanakan ritual-ritual adat
sesuai dengan tradisi dan adat-istiadat yang berlaku dalam suku atau bhisu
Rendu.
1) Kepala Suku Rendu
Kepala suku atau bhisu Rendu sejak pada awal awal mula kedatangannya
dari tanah asalnya yang dikenal dengan ungkapan adat “Dhodho pu'u zili mai
jo, wa’u pu’u zili mai Wio". diwariskan turun-temurun mengikuti turunan
lurus Mosa Foa dari marga atau woe Ebu Tuza dengan rumah adatnya "Lado
Riwu” hingga sekarang ini. Suku atau bhisu Rendu ini memiliki tradisi atau
adat-istiadat tersendiri yaitu tradisi atau adat-istiadat suku Rendu.
Secara struktural kepala suku Rendu mengayomi seluruh masyarakat
adat suku atau bhisu Rendu yang terdiri atas 7 (tujuh) marga atau woe
sebagai anggota sukunya.
Tugas dan wewenang kepala suku yang masih dijalankan hingga
sekarang, ialah ::
(1) Menetapkan waktu untuk melaksanakan ritual adat gua, baik gua ru
maupun gua laza atau
gua meze.
(2) Menetapkan waktu untuk melaksanakan ritual adat inisiasi diri manusia,
seperti: Tau Ae, Koa Ngi'i, Tau Nuwa dan ritual adat lainnya, seperti
rehabilitasi Peo dengan para peo sebagai puncak ritualnya; sanksi adat
karena melanggar ketentuan adat selama masa ritual gua, baik ritual gua
Meze atau Gua Leza maupun ritual Gua Ru yang pelaksanaannya
biasanya dijalankan melalui laki Redu untuk mengeksekusi :”Hukum
Siga Debo”.
(3) Memimpin acara musyawarah adat untuk suatu ritual adat tertentu, seperti
musyawarah untuk rehabilitasi Peo.
2) Marga atau Woe dalam Suku atau bhisu Rendu
Suku atau bhisu Rendu hingga sekarang didukung oleh 7 marga atau woe
sebagai anggota sukunya, yaitu:

8
(1) Marga atau woe Ebu Tuza
Marga atau woe Ebu Tuza turunan Mosa Fo'a dari rumah adat atau sa'o
gua Lado Riwu. Marga atau woe Ebu Tuza ini dalam perkembangan
awalnya pecah menjadi dua kelompok marga atau woe yang berdiri
sendiri hingga sekarang, yaitu:
a) Marga atau woe Ebu Tuza itu sendiri sebagai marga atau woe induk
dan tetap tinggal di rumah adat atau sa'o gua Lado Riwu. Marga atau
woe Ebu Tuza turunan Mosa Fo'a dari rumah adat atau sa'o gua
Lado Riwu.
b) Marga atau woe Ebu Ribu sebagai marga atau woe mekaran tinggal
di rumah adat atau sa'o gua tersendiri.
(2) Marga atau woe Ebu Wedho (3) Marga atau woe Ebu Dapa (4) Marga
atau woe Nakalado
(5) Marga atau woe Dhiri Keo
(6) Marga atau woe Nanga Lengi
Marga atau woe Nanga Lengi ini dalam perkembangan awalnya pecah
menjadi dua kelompok marga atau woe yang berdiri sendiri hingga
sekarang, yaitu: a) Marga atau woe Nanga Lengi b) Marga atau woe
Nakapole
(7) Marga atau woe Pole Poma
Marga atau woe Pole Poma ini dalam perkembangan awalnya pecah
menjadi dua kelompok marga atau woe yang berdiri sendiri hingga
sekarang, yaitu:
a) Marga atau woe Au Poma. b) Marga atau woe Para Meze
3) Pembagian Tugas Marga atau Woe dalam Suku Rendu
Pembagian tugas marga atau woe dalam suku Rendu
dilakukan untuk mengerjakan semua pekerjaan adat di masa lalu
serta tetap dan terus dilaksanakan hingga skarang ini, seperti
dijelaskan berikut ini.
(1) Marga atau Woe Ebu Tuza dan Ebu Ribu
a) Marga atau woe Ebu Tuza
Marga atau woe Ebu Tuza mendapat tugas:
(1) Menjadi Kepala Suku (2) Menetapkan waktu
pelaksanaan ritual gua atau gua Enga Gua, baik gua ru
maupun gua leza.
b) Marga atau woe Ebu Ribu
Marga atau woe Ebu Ribu mendapat tugas untuk Pati Api
(membagi api) dalam upacara
adat atau ritual gua di Kampung adat Renduola.
(2) Marga atau Woe Ebu Wedho
Marga atau woe Ebu Wedho mendapat tugas, untuk:
a) Ebu Wedho Wawo mendapat tugas untuk Tepu Tali Tode

9
b) Ebu Wedho Au mendapat tugas untuk Kati Boa Wisa
(3) Marga atau Woe Ebu Dapa
Marga atau woe Ebu Dapa mendapat tugas untuk Pogo Boa
Wisa
(4) Marga atau Woe Naka Lado
Marga atau woe Naka Lado mendapat tugas untuk:
a) Goro Lado
Goro Lado adalah tugas mengurus segala perlengkapan yang
berhubungan dengan peperangan seperti perang suku. Jadi
menjalankan tugas pertahanan dan keamanan suku terhadap
ancaman dari luar.
b) Tenga Adha
Tenga adha adalah tugas hubungan masyarakat (humas)
untuk menyampaikan amanat dari kepala suku Rendu
kepada seluruh masyarakat adat suku Rendu melalui
woewoe tentang pelaksanaan ritual, baik ritual gua ru
maupun ritual gua leza, para Peo, dan ritual-ritual lainnya
(Hasil wawancara dengan Bapak Bernadus Geru dan Bapak
Aloysius Kepa, Juni 2010).
(5) Marga atau Woe Dhiri Ke’o
Marga atau woe Dhiri Ke'o bertugas untuk Kedha Wesa Kai
Pere. Artinya menjalankan tugas membuka dan menutup pintu
masuk ketika ada upacara adat di
perkampungan adat di Renduola. Jadi, menjalankan tugas
penerima tamu.

(6) Marga atau Woe Nanga Lengi

Marga atau woe Nanga Lengi bertugas untuk Gedho Tora.


Artinya melaksanakan ritual menanam di kebun adat atau Uma
Tora sebelum masyarakat menanam di ladang pertanian
masyarakat. Dengan menanam di uma tora, masyarakat adat
suku Rendu sudah boleh menanam di ladang pertanianya
masing-masing,
(7) Marga atau Woe Pole Poma
Marga atau woe Pole Poma yang terdiri atas dua kelompok,
yaitu:
a) Marga atau woe Para Meze bertugas untuk Tepu Tali Tode
b) Marga atau woe Au Poma bertugas untuk pekerjaan- pekerjaan
lainnya.
4) Nama-nama Leluhur Suku Rendu dari Generasi Pertama Hingga kini
(Tahun 2017)

10
Nama-nama nenek moyang dari tujuh woe dalam suku Rendu
sejak awal kedatangan mereka dari tanah asal “Dhodho Pu'u Zili Mai Jo,
Wa'u Pu'u Zili Mai Wio" hingga kini (tahun 2017) yang dikenal dalam
suku sejarah suku Rendu, tampak seperti dalam tabel berikut ini.
a) Marga atau Woe Ebu Tuza
(1) Mosa Foa (2) Laru Diru (3) Mosa Dhase (4) Tuze (5) Mosa
Teda (6) Laru Ngole (7) Tibo Dhema (8) Nitu Nuwa Teda (9)
Kesa Ngole (10) Dhesa Igo (11) Mosa Dia (12) Laru Azi (13)
Bhia Wea
b) Marga atau Woe Ebu Wedho
(1) Jogo Sela (2) Dapa Lewa (3) Jogo Raja (4) Uku Watu (5)
Dapa Lewa (6) Ala Aka (7) Rae Rema (8) Nuwa Bhiku (9) Lepa
Dora (10) Sa Jogo (11) Wae Sa
c) Maga atau Woe Ebu Dapa
(1) Ture Aji (2) Koda Miki (3) Kota Jo (4) Lake Tawa (5) Gatu
Pora (6) Kota Ko (7) Bhadho Daru (8) Rea Noni (9) Selu Kota
(10) Resi Roja (11) Roma Moe (12) Meka Weu
d) Marga atau Woe Naka Lado
(1) Raja Tawa (2) Repa Dhima (3) Lodhu Tawa (4) Goa Tawa
(5) Djajo Teda (6) Ego Bai (7) Gu Tawa (8) Bhae Gale (9) Djo
Wolo (10) Lara Lesu (11) Nelo Nia (12) Meka Tolo (13) Goa
Rae (14) Sure Sui
e) Marga atau Woe Pole Poma
(1) Pole Poma (2) Paso Mango (3) Lado Gawo (4) Sua (5) Taka
Ema (6) Tenga Tawu (7) Roni Kowe (8) Gela Bara (9) Galina
Bara (10) Se (11) Seko (12) Wesa Lengi (13) Kota Benga (14)
Loa Dora
f) Marga atau Woe Woe Nanga Lengi
(1) Laki Lengi (2) Wegu Wea (3) Take Owa (4) Pita Wea (5)
Lita Lado (6) No Lengu (7) Usu Teze (9) Lado Nura (10) Nipa
Nura (11) Koda Lado (12) Meka Dia (13) Gene Sole (14)
Yakobus Dua
g) Marga atau Woe Dhiri Ke'o
(1) Diwa Wea (2) Siga Tawa (3) Diwa Tei (4) Biu Muku (5) Siga
Daru (6) Nuwa Mude (7) Siga Tei (8) Bhui Deku (9) Bhui Deku
(10) Soro Gharo (11) Weo Nenu (12) Bhui Daru (13) Diwa Tato
5) Rincian Nama-nama para Leluhur yang Pertama dalam Suku Rendu
Nama-nama para leluhur dalam suku Rendu per Marga atau woe
pada awal kedatangannya dari tanah asal, tampak seperti yang
dideskripsikan berikut ini. 1) Mosa Fo'a dari marga atau woe Ebu Tuza 2)
Marga atau woe Ebu Wedho ialah Jogo Sela 3) Ture Aji dari marga atau
woe Ebu Dapa ialah Ture Aji 4) Raja Tawa dari marga atau woe Naka

11
Lado 5) Pole Poma dari marga atau woe Pole Poma 6) Laki Lengi dari
marga atau woe Nanga Lengi 7) Diwa Wea dari marga atau woe Dhiri
Ke'o
2.1.4.2 Suku atau bhisu isa
Istilah suku atau bhisu Isa dalam masyarakat adat Rendu adalah
kelompok warga yang berasal dari etnis dan penganut adat-istiadat Isa,
berasal dari daerah asal yang sama, yaitu tanah Wio atau Sumba dan
mendiami tanah Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten
Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur serta taat melaksanakan ritual-
ritual adat sesuai dengan tradisi dan adat-istiadat yang berlaku dalam
suku atau bhisu Isa.
1) Marga atau Woe dalam Suku atau Bhisu Isa
Suku atau bhisu Isa hingga sekarang didukung oleh 3 marga atau woe
sebagai anggota suku atau bhisu, yaitu: (1).............. dari marga atau
woe Dhere (2) ............ dari marga atau woe Isa(3) ............. dari
marga atau woe Wudhu
2) Kepala Suku atau bhisu Isa
Kepala suku atau bhisu Isa sejak awal mula kedatangannya dari tanah
asalnya yang dikenal dengan ungkapan adat “Dhodho pu’u zili mai
jo, wa’u pu'u zili mai Wio”, diwariskan turuntemurun mengikuti
turunan lurus Bari Lali dari hingga sekarang ini. Suku atau bhisu
Rendu ini memiliki tradisi atau adat-istiadat tersendiri yaitu tradisi
atau adat-istiadat suku Isa.
2.1.4.3 Suku atau bhisu Gaja
Istilah suku atau bhisu Gaja dalam masyarakat adat Rendu
adalah kelompok warga yang berasal dari etnis dan penganut adat-
istiadat Gaja, berasal dari daerah asal yang sama, yaitu tanah Wio
atau Sumba dan mendiami tanah Rendu di Kecamatan Aesesa
Selatan, Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur serta
taat melaksanakan ritual-ritual adat sesuai dengan tradisi dan adat-
istiadat yang berlaku dalam suku atau bhisu Gaja.
1) Marga atau Woe dalam Suku atau bhisu Gaja
Suku atau bhisu Gaja hingga sekarang didukung oleh 4 marga
atau woe sebagai anggota suku atau bhisu, yaitu: (1) .............. dari marga
atau woe Dala Mare (2) ........... dari marga atau woe Ana Wata
(3) ............... dari marga atau woe Naka Ghubu
(4) .............. dari marga atau woe Tude
2) Kepala Suku atau bhisu Gaja
Kepala suku atau bhisu Gaja sejak awal mula kedatangannya dari tanah
asalnya yang dikenal dengan ungkapan adat “Dhodho pu'u zili mai jo,
wa'u pu'u zili mai Wio", diwariskan secara turun-temurun mengikuti
turunan lurus Bhara Gaja hingga sekarang ini. Suku atau bhisu Gaja ini

12
memiliki tradisi atau adat-istiadat tersendiri yaitu tradisi atau adat-istiadat
suku Gaja.
2.1.4.4 Suku atau bhisu Mala Wawo
1) Marga atau Woe dalam Suku atau bhisu Mala Wawo
Suku atau bhisu Mala Wawo hingga sekarang didukung oleh 6 marga
atau woe sebagai anggota suku atau bhisu, yaitu: (1) ............... dari
marga atau woe Loka (2) ............. dari marga atau woe Keo (3) ............
dari marga atau woe Rebu (4) .......... dari marga atau woe Mogo
.. dari marga atau woe Bhudu (6) .............. dari marga atau woe Nio

2) Kepala Suku atau bhisu Mala Wawo


Kepala suku atau bhisu Mala Wawo sejak awal mula kedatangannya dari
tanah asalnya yang dikenal dengan ungkapan adat “Dhodho pu'u zili mai
jo, wa'u pu’u zili mai Wio”, diwariskan turun-temurun mengikuti turunan
lurus dari hingga sekarang ini. Suku atau bhisu Mala Wawo ini memiliki
tradisi atau adat-istiadat tersendiri yaitu tradisi atau adat-istiadat suku
Mala Wawo.
2.1.4.5 Bahasa Adat
Bahasa adat yang digunakan oleh masyarakat adat Rendu adalah
bahasa Nagekeo dialek Rendu. Bahasa adat yang dideskripsikan di sini
adalah bahasa adat sebagai alat komunikasi timbal balik antara masyarakat
adat Rendu dalam kehidupan dan untuk kepentingan adat-istiadat seharihari
dalam berbagai ranah kehidupan adat-istiadat. Keberadaan bahasa adat sama
dengan keberadaan kelompok masyarakat adat itu sendiri, artinya dalam
berbagai kepentingan dan urusan adat, bahasa adatlah yang digunakan
sebagat sarana sarana komunikasi dan media ekspresinya.
Masyarakat adat Rendu memiliki bahasa adat lokal yang disebut
dengan Pata. Pata juga bermakna sebagai teks dalam bahasa lokal Rendu.
Pata sebagai teks formal kaya dengan unsur kearifan lokal yang menjadi
tuturan adat.

Dalam Nagekeo Dialek Rendu terdapat bermacam-macam Bahasa adat atau


pata, seperti:
1) Pata Dero
Pata dero berupa pantun-pantun bebas (populer) seperti dalam tandak
muda-mudi dan tandak-tandak profan lainnya dengan cara saling
berbalasan.
Pata dero biasanya digunakan dalam upacara tau nuwa atau sunat adat dan
acara-acara profan lainnya. Pata dero lazim juga disebut dengan teke se
atau tandak populer bagi kelompok muda-mudi maupun bagi kelompok
orang tua yang bersifat profan (tidak berhubungan dengan adat) (Pita,
1984:34).

13
2) Pata Kadha
Pata kadha adalah syair berlagu tanpa irama kaki. Pata kadha biasa
digunakan pada saat ada upacara adat maupun dalam urusan perkara
seperti perkara yang berhubungan dengan tanah yang berdimensi historis
maupun dalam perkara lainnya yang di dalamnya berisikan sumpah
serapah. Pata kadha biasanya diucapkan dalam posisi duduk atau berdiri
tanpa irama sentakan kaki.
3) Pata Bhea Bha
Pata bhea bha digunakan pada pembuatan rumah adat atau sa'o gua, pada
upacara sunat adat atau tau nuwa dan menyambut tamu baru yang pertama
kali masuk kampung adat.
4) Pata Vera
Pata vera merupakan tandak adat yang dilakukan setahun sekali pada saat
dilangsungkannya ritual gua leza yaitu malam ritual dhara. Pata vera
adalah syair berirama yang diikuti dengan gerakan kaki. Syair vera yang
dilantunkan dalam pata vera biasanya
berhubungan dengan asal usul suku, tanah, dan rumah adat, dll.
5) Pata Naro
Pata naro berupa syair berirama tanpa sentakan kaki. Pata naro dilantunkan
dalam posisi duduk dan biasanya digunakan dalam upacara rumah adat dan
dikenal dengan istilah naro sa'o.
2.1.4.6 Sistem Kepercayaan
1) Pendahuluan
Masuknya agama Katolik ke wilayah Kabupaten Nagekeo terjadi
pada abad ke 17, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nagekeo,
termasuk ke daerah Rendu telah lama berlangsung. Meskipun masyarakat
Rendu telah mengenal agama Katolik, namun dalam sikap, perilaku, dan
mental spiritualnya masih tampak pemikiran yang bersifat mistis
animisme.
Kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat Rendu relatif
berbeda dengan agama wahyu. Kepercayaan tradisional yang dianut
merupakan bagian dari budaya masyarakat Rendu yang memiliki
kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi yang disebut dengan dewa zeta,
ga'e zale (Tuhan penguasa langit dan bumi). Sedangkan kepercayaan
kepada leluhur dalam bahasa lokal dikenal dengan sebutan ine ame ebu
kajo (para leluhur), nitu bapu (roh-roh halus), dan polo tora (suanggi dan
ahli pengobatan tradisional). Kepercayaan dan praktik yang berkenaan
dengan penghormatan terhadap leluhur masih melekat erat dengan
masyarakat pendukungnya. Bentuk pemujaan terhadap leluhur yang telah
meninggal diwujudkan ritual "l'i tuka pati foko" atau "rewu rera". Melalui
ritual ”t'i tuka pati foko" atau "rewu rera" inilah masyarakat adat Rendu
membangun komunikasi mistis dengan leluhur yang telah meninggal.

14
2) Maca-macam Sistem Kepercayaan
Adapun sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Rendu adalah
sebagai berikut.
a. Dewa Zeta Ga'e Zale
Masyarakat Rendu mengenal Tuhan dalam bahasa adat dewa zeta
yang berati Tuhan penguasa langit dan ga'e zale yang berarti Tuhan
penguasa bumi. Tuhan sebagai Wujud Tertinggi yang menunjukkan
kebesaran dan kemahakuasaannNya selalu disapa dengan dewa zeta ga'e
zale. Wujud Tertinggi inilah yang menjadikan manusia, langit dan bumi,
gunung dan bukit, lautan dan daratan, serta semua mahluk hidup di atas
bumi ini berada dalam kuasa dan kasih Tuhan.
b. Ine Ame Ebu Kajo
Masyarakat Rendu juga menghormati atau memuja leluhur. Leluhur
disapa dengan nama ine ame abu kajo atau ga'e bapu. Ine ame abu kajo
atau ga'e bapu merupakan leluhur yang ada dalam rumah adat masing-
masing suku dan marga atau bhisu woe ili manga. Para leluhur atau orang
yang telah meninggal dunia dalam kepercayaan masyarakat adat Rendu
sebenarnya hanya berpindah tempat, yaitu berpindah ke nua nitu artinya
perkampungan roh halus atau makhluk halus; namun roh mereka masih
tetap hidup dan berada dekat orang-orang yang masih hidup dan selalu
menyertai setiap langkah hidup anak cucunya.
c. Nitu
Masyarakat adat Rendu juga percaya akan nitu atau roh halus.
Nitu atau roh halus dikelompokkan atas dua macam, yaitu:
a) Berdasarkan Sifat yang Dimiliki oleh Nitu
Berdasarkan sifat yang dimiliki oleh nitu, yaitu:
(1) Nitu Neka atau Nitu Pawe
Nitu neka atau nitu pawe adalah roh halus yang diyakini memiliki
sifat-sifat baik yang dapat menolong manusia di sekitarnya.
(2) Nitu Re'e

Nitu re'e adalah roh halus yang diyakini memiliki sifat-sifat


buruk atau jahat yang dapat membahayakan kehidupan manusia di
sekitarnya.
b) Berdasarkan Tempat Tinggal para Nitu
Berdasarkan tempat tinggal para nitu, nitu dibedakan atas:
(1) Nitu Wolo atau Nitu Rəwo
Nitu wolo atau nitu rawo yaitu roh-roh halus yang mendiami jagat
raya hutan atau gunung. Kepercayaan terhadap Nitu wolo atau nitu rəwo,
misalnya ada anak atau orang yang melewati hutan atau gunung yang
dianggap angker kemudian menderita sakit, biasanya masyarakat adat
Rendu memohon penyembuhan dengan cara nəta nitu yaitu dengan

15
memotong-motong ranting damar untuk menujum atau meramal guna
menentukan tempat di mana anak atau orang itu itu ditegur nitu dan
bagaimana cara mengobatinya.
Dari penuturan dengan mama Ursula Upa dari Segho (informan dan
pelaku nəta nitu), sebelum nəta nitu dilakukan terlebih dahulu
memberikan sesajian berupa dhəka bako yaitu bahan sesajian berupa
telur ayam (talo manu), sirih (mengi), pinang (reu), tembakau (bako) dan
kapur sirih (oka). Bahan sesajian ini diletakkan di atas batu ceper (nabe)
tempat menaruh sesajian, sambil mengucapkan pasi tai atau doa sebagai
berikut.
pasi tai atau doa
Nitu wolo (atau nitu rewo) tefa noka, nizo nago patu kəta
zaza ja
Terjemahan bebasnya
Roh halus (di darat atau di air) Semburlah supaya sehat
yang panas jadi dingin (hasil rekaman dengan bapak Yosef
Ngeta,, 2 Juni 2010)
Teks doa ini merupakan doa permohonan, agar nitu wolo yaitu
roh penunggu gunung atau daratan memberi kesembuhan. Hal ini
diungkapkan melalui kata təfa naka nizo nago, yang berarti semburlah
supaya sehat, potu kəta zaza ja yang berarti agar badan yang panas
menjadi dingin. Selesai memberikan sesajian baru dilakukan nəta nitu.
Caranya, batang damar lukai kulit luarnya dengan menggunakan pisau
kemudian dihitung, kalau hasil hitungan luka potongan sesuai dengan
mantra atau doa awal sebelum nəta nitu dilakukan itu berati dapat
tertolong. Ranting damar yang dipakai untuk nəta nitu selanjutnya
digaruk kulitnya lalu dibalur pada tubuh orang yang sakit dari arah
kepala sampai ke bawah kaki sebanyak empat kali. Tujuan dari nata nitu
secara tekstual adalah mengundang nitu wolo untuk hadir dalam nolu
ninu, sedangkan secara kontekstual tujuannya adalah untuk memohon
nitu wolo agar memberikan kesembuhan kepada yang sakit.
Selanjutnya nitu wolo yang memiliki sifat baik dianggap sebagai
penolong manusia, misalnya apabila hendak pergi berburu (dai nara) di
gunung atau padang, agar memperoleh hasil buruan maka harus
diberikan sesajian kepada nitu wolo, sebagai penunggu gunung dan
padang. Bahan sajian berupa dheka bhako terdiri dari telur ayam (telo
manu) sirih (mengi), pinang (reu), kapur (oka), dan tembakau (bako).
Sesajian diletakkan ditempat yang telah ditentukan biasanya di atas batu
ceper (watu nabe), dengan doa sebagai berikut.

Pasi tai atau doa

16
Nitu wolo Kami wutu mai mo dai Kami pai ti'i ngawu kau
da puse teka a'i je'i Mo kami tau susu buku nama ada.
Terjemahan bebasnya Penguaa gunung Kami empat hari
lagi mau berburu Kami minta peliharaanmu Untuk kami
makan dan minum (Hasil rekaman dengan informan: bapak
Yosef Ngeta, 2 Juni 2010).
Caranya empat hari sebelum pergi berburu kita pergi mengantarkan
sesajian di tempat yang keramat, biasanya di atas batu ceper (watu nabe)
dengan bahan sesajian sebagaimana disebutkan di atas. Pada saat
menaruh sesajian, biasanya dipanjatkan doa atau pasi tai sebagaimana
doa di atas. Doa sesuai teks di atas terdiri dari:
(i) Pembukaan
Pembukaan berupa sapaan atau pemberitahuan kepada nitu wolo yaitu
penunggu gunung atau padang, hal ini terungkap dalam kata nitu wolo,
wulu mai mo
dai pemberitahuan kepada nitu wolo empat hari yang akan datang kami
mau berburu,
(ii) Inti Permohonan
Inti permohonan, hal ini terungkap dalam kata kami pai ngawu kau da
puse teka a'i je'i artinya kami minta binatang peliharaanmu yang
pusatnya luka dan kakinya pincang.
(iii) Penutup
Penutup terungkap dalam kata mo tau susu buku nama ada artinya
supaya kami dapat menjalankan ritual adat, maksudnya agar adat
warisan leluhur tetap dilaksanakan.
Tujuan pemberian sesajian kepada mitu wolo secara tekstual sebagai
pemberitahuan kepada nitu wolo dan secara kontekstual adalah
mengundang nitu wolo dan sekaligus memohon agar nitu wolo
memberikan hasil buruan yang banyak. Setelah memberikan sesajian
barulah anak laki-laki akan pergi berburu dihutan atau di padang yang
dikenal dengan istilah dai nara Menurut bapak Yosef Ngeta, apabila
kita mau pergi berburu kalau tidak memberikan sesajian kepada nitu
wolo, maka akibatnya binatang buruan tidak dapat. Bahkan ada yang
pulang dengan tangan hampa. Jadi pemberian sesajian harus tetap
dilakukan.

(2) Nitu Ae

Nitu ae adalah roh halus penunggu air (sungai, danau atau mata
air. Nitu ue yang memiliki sifat baik dianggap sebagai penolong oleh
masyarakat suku Rendu, dan biasanya pada saat upacara Jebu (ritual
menangkap udang, ikan, belut, dll di sungai). Sebelum upacara dibuat

17
terlebih dahulu diberikan sesajian kepada nitu ae berupa sirih, pinang,
tembakau, kapur dan telur ayam. Sesajian diletakkan pada tempat sekitar
mata air atau sungai atau ditempat yang telah ditentukan dengan doa
sebagai berikut:
Doa atau pasi tai
Nitu ae, kami zua mai mo'o jebu Kami pai kasi oa soba de
kau ebu nitu ae
Kami pai ti'i kami ana ika, kuza, tebhu Mo kami ti'i tuka
pati foko ine ame ebu kajo
Terjemahan bebasnya
Nitu air, kami dua hari lagi mau jebu kami minta belas
kasihan kami minta beri kami ikan dan udang supaya kami
buat sesajian, untuk leluhur
(Hasil rekaman dengan informan Bapak Yosef Ngeta, 2
Juni 2010).
Teks doa atau pasi tai di atas terdiri dari:
(i) Pembukaan

Pembukaan berupa pemberitahuan kepada nitu ae bahwa dua


hari lagi mau melaksanakan upacara jebu, hal ini terungkap
dalam kata nitu ae, kami zua mai mo'o jebu,
(ii) Inti Permohonan
Inti permohonan, hal ini terungkap dalam kata kami pai kasi oa
soba de kau nitu ae, kami pai ti'i kami ana ika, kuza, tebhu
artinya kami mohon pada nitu ae beri
kami anak ikan, udang dan tebhu (sejenis ikan lele).
(iii) Penutup
Penutup untuk membuat sesajian bagi leluhur hal ini terungkap
dalam kata mo kami tau ti'i tuka pati foko de miu ine ame ebu
kajo.
Tujuan pemberian sesajian kepada nitu ae secara tekstual
sebagai pemberitahuan dan secara kontekstual sebagai
permohonan agar diberikan hasil tangkapan yang banyak.
Setelah memberikan sesajian barulah anak laki-laki akan pergi
ke sungai untuk mencari belut, ikan dan udang yang dikenal
dengan istilah jebu. Menurut bapak Yosef Ngeta, apabila kita
mau pergi jebu tidak memberikan sesajian kepada nitu ae akan
berakibat tidak dapat belut, ikan dan udang.
Sama halnya dengan upacara jebu yang dilakukan oleh
masyarakat Rendu, sebelum melakukan jebu, terlebih dahulu
melakukan pemberian sesajian kepada nitu ae. Ritual ini yang
terbangun dari simbol-simbol memperlihatkan secara nyata

18
dimensi sosial praktek keberagaman sekaligus praktek budaya
religi.
3. Polo Wa
Polo wa (suanggi) adalah kepercayaan akan kekuatan gaib
jahat yang dimiliki oleh manusia biasa karena dengan mantera dan
jampi-jampinya manusia itu dapat menjahati manusia lainnya.
Polo wa (suanggi) itu ada yang diwariskan dari orang tua
dan ada pula yang diperoleh sendiri dalam kehidupan manusia itu
melaui peristiwa polo wado. Melalui peristiwa polo wado
ini sorang manusia baik-baik bisa berubah menjadi manusia jahat
dalam masyarakat.
4. Tora Mali
Tora mali (ahli pengobatan tradisional) adalah manusia biasa yang
memiliki talenta dan karunia untuk mengobati orang sakit. Caranya
dilakukan dengan menggunakan racikan obata-obatan disertai mantera
atau doa-doa dan pemberian sesajian.
2.1.4.7 Tradisi dan Adat-Istiadat dalam Masyarakat Adat Rendu
1) Tradisi dan Adat-Istiadat Gua Bapu
Tradisi dan adat-istiadat gua bapu dalam masyarakat adat Rendu
terdiri atas:
a) Gua Ru dan b) Gua Leza atau Gua Meze.
(a) Perencanaan Gua Ru dan Gua Leza atau Gua Meze
Sebelum ritual gua ru dan gua ləza atau gua meze dilaksanakan,
terlebih dahulu kepala suku sebagai pemimpin masyarakat adat Rendu
mengadakan peyampaian kepada seluruh anggota masyarakat adat yang
disebut dengan istilah toda kobe ləza, artinya menyampaikan atau
mengumumkan waktu pelaksanaan gua ru dan gua ləza atau gua meze.
Tujuannya, agar masyarakat adat mempersiapkan diri dan bahan
atau material gua sesuai dengan tradisi yang biasa dijalani.

Kepala suku dengan otoritas adat yang dimilkinya menetapkan


waktu pelaksanaan gwa ru dan gua ləza atau gua meze. Penentuan waktu
ritual gua ləzc merujuk pada peredaran bulan, biasanya pada bulan sabit
(wula kəsu). Kepala suku sebagai pemangku adat melihat posisi bulan,
yaitu jika bulan sabit (wula kəsu) sudah tampak, pada malam ketiga
kepala suku sebagai pemangku adat mengumumkan atau enga gua ləza
atau gua meze, yaitu mengumumkan kepada masyarakat bahwa ritual gua
segera dilaksanakan.
Caranya, pada malam ketiga yang dikenal degan istilah wula
kəsu təlu secara simbolik kepala suku dari pusat adat yang disebut pu'u
peo raka laba mengumumkan kepada seluruh masyarakat adat di seluruh
kampung-kampung yang ada. Selanjuynya, tenga adha sebagai seksi

19
komunikasi adat menyampaikan penetapan waktu gua itu kepada seluruh
masyarakat adat yang berdiam di luar kampung lainnya atau pu'u koli raza
api. Jadi, kepala suku hanya menetapkan atau mengumumkan di kampung
adat secara simbolik, sedangkan penyebaran informasi tentang ritua gua
itu dilakukan oleh tenga adha sesuai dengan tugasnya sebagai humas atau
hubungan masyarakat adat, baik ritual adat gua ru maupun ritual adat gua
ləza gua meze.
(b) Pelaksanaan Gua Ru dan Gua Leza atau Gua Meze
a. Gua Ru
(1) Pengertian Ru
Gua ru adalah ritual adat untuk memohon rahmat curah hujan dan
perlindungan atas segala tanaman dan usaha pertanian masyarakat
sepanjang musim tanam hingga masa panenan tiba.
Oleh karena itu, pelaksanaan ritual gua ru ini biasanya terjadi pada
sekitar bulan November atau Desember hingga bulan Maret atau
April.
(2) Tujuan Gua Ru
Tujuan ritual adat gua ru, adalah:
1) Memohon rahmat curah hujan untuk segala tanaman dan usaha
pertanian masyarakat
sepanjang musim tanam atau musim hujan.
2) Memohon rahmat perlindungan atas segala tanaman dan usaha
pertanian masyarakat
sepanjang musim tanam atau musim hujan supaya tidak diserang
hama dan penyakit tanaman pertanian.
Hal ini berarti ritual gua ru diyakini secara fungsional dan
maknawi bermaksud untuk memohon rahmat curah hujan dan
perlindungan atas segala tanaman dan usaha pertanian
masyarakat sepanjang musim tanam atau musim hujan.
(3) Pelaksanaan Ritual Gua Ru
Secara esensial, ritual gua ru terdiri atas tiga tahapan, yaitu:
a) Pembukaan:
Pembukaan gua ru dilakukan dengan Enga Gua
b) Inti, terdiri atas:
1) Su W Wulu. 2) Gua Wete
3) Mata Manu Wawi,
c) Penutup atau Ire Gua
b. Gua Leza Gua Meze
(1) Pengertian Gua leza

Gua leza atau gua meze adalah ritual adat untuk menyatakan syukur
atas keberhasilan panenan. Oleh karena itu, pelaksanaan ritual gua

20
ləza ini biasanya terjadi pada sekitar pertengahan bulan Juni ampai
dengan pertengahan bulan Juli setiap tahun setelah masa panenan
berakhir.
(2) Tujuan Gua leza
Tujuan ritual adat gua leza atau gua meze, adalah:
1) Mengucap syukur kepada Tuhan (dewa zeta ga'e zale), roh leluhur
(ine ame abu kajo), dan kekuatan alam raya atas segala
perlindungan yang diberikan pada tahun atau musim tanam yang
berlalu,
(2) Menciptakan keharmonisan antara manusia dengan wujud
tertingggi (dewa zeta
ga'e zale), manusia dengan leluhurnya (ine ame ebu kajo),
manusia dengan lingkungan alam raya (keka bo'a, ola wolo), dan
manusia dengan sesamanya (ka'e azi, moko doa). Hal ini berarti
ritual gua ləza diyakini secara fungsional dan maknawi,
dimanfaatkan sebagai wahana rekonsiliasi dengan Tuhan (dewa
zeta ga'e zule), roh leluhur (ine ame ǝbu kajo), kekuatan alam
raya, dan juga merupakan wahana rekonsiliasi masyarakat adat
Rendu dengan sesamanya, sebagai ine ame, ka'e azi, moko doa
dalam bhisu- woe, ili-manganya (bandingkan Djandon, 2010:81-
85).
(3) Pelaksanaan Ritual Gua leza
Secara esensial, ritual gua ləza atau gua meze terdiri atas tiga
tahapan, yaitu:
a) Pembukaan
Pembukaan gua ləza atau gua meze dilakukan dengan Enga Gua
b) Inti, terdiri atas:
1) Koe Uwi, 2) Tapa Uwi, 3) Ja, 4) Kose Ngəta, 5) Mata Manu
Wawi, 6) Kui Kolo, 7) Etu, 8) Oro Muku Go'o, 9) Gae Pa'u Ae,
10) Dhara 11) Pogo Boa Wiza, 12) Zoka (Dhoa Boa Wiza), 13)
Jara-jara, 14) Ka'o Kubu, 15) Rasi Ra Manu, 16) Jebu, 17)
Kono Tuna, 18) Kose 19) Popo
c) Penutup atau Ire Gua

2) Tradisi dan Adat-Istiadat Kelahiran dan Kematian Manusia


a) Tradisi dan Adat-Istiadat Kelahiran Manusia
(1) Dhodho We'e
Dhodho we'e yaitu ritual adat memperkenalkan bayi dengan
lingkungan tempatinggalnya dalam radius jarak dekat.
(2) Dhodho Zeu
Dhodho zeu yaitu ritual adat memperkenalkan bayi dengan
lingkungan tempat tinggalnya dalam radius jarak jauh.

21
(3) Roga Ulu
Roga ulu yaitu ritual adat cukur rambut terhapap bayi setelah
bayi itu berkenalan dengan dengan lingkungan tempat
tinggalnya, baik dalam radius jarak dekat maupun dalam radius
jarak jauh. Artinya setelah bayi itu sudah akrab dan kebal dengan
perubahan hawa dan cuaca lingkungan tempat tinggalnya.
b) Tradisi dan Adat Istiadat Kematian Manusia
(1) Pori Saru
Pori saru yaitu ritual memberi sesajian kepada anggota
keluarga yang telah meninggal setelah tiga hari dikuburkan. Sesajian
itu dinamakan dhowo manu, dahulu daging ayam yang diberikan
dalam sesajian itu dilepaskan dari dalam rumah ke bawah kolong
rumah; tetapi sekarang setelah tidak ada kolong rumah lagi sesajian
itu dilepaskan dari atas tempat tidur ke bawah kolong tempat tidur
dalam rumh tinggal.
Ritual pori saru ditandai dengan kegiatan keke ngeku atau
keramas rambut sebagai simbol membersihkan diri bagi anggota
keluarga yang masih hidup dari segala bentuk ketidakharmonisan
hubungan dengan anggota keluarga yang telah meninggal itu.
Sesajian berupa daging ayam itu diberikan dengan
keyakinan bahwa arwah orang yang baru meninggal karena diyakini
bahwa arwah anggota keluarga yang baru
meninggal itu masih berada di sekitar rumah dan
kampungya.
(2) Dhodho Wa'u
Dhodho wa’u yaitu ritual adat perpisahan dengan arwah anggota
keluarga yang telah meninggal itu. Ritual ini disebut juga dengan
istilah zabu kobe, artinya berakhirnya masa perkabungan oleh
keluarga dan sanak saudara. Ritual adat dhodho wa'u ini biasanya
dibuat pada hari keempat puluh atau berdasarkan kesepakatan
keluarga.
Melalui ritual ini ini arwah anggota keluarga yang
meninggal itu dilepaspergikan ke tempat tinggal di dunia maya yang
disebut nua nitu artinya perkampungan makhluk halus. Upacara ini
merupakan ritual terakhir atau upacara perpisahan dengan arwah.
Dengan upacara ini orang yang meninggal itu digolongkan sebagai
leluhur yang hanya diperingati lewat korban dan sesajian yang
diberikan secara berkala dan pada waktuwaktu tertentu, seperti pada
waktu pesta, pada waktu ada yang sakit, atau bila ada hajatan-
hajatan tertentu (Bandingkan Pita, 1984:30). Dalam kepercayaan
masyarakat adat Rendu, leluhur diyakini sangat dekat dengan wujud
tertinggi, oleh karena itu leluhur merupakan perantara antara

22
manusia dengan wujud tertinggi itu yaitu Tuhan Pencpta dan
Penyelenggara kehidupan ini.
3) Tradisi dan Adat-Istiadat Inisiasi Diri Manusia
Tradisi dan adat-istiadat inisiasi diri manusia dalam masyarakat adat
Rendu, trdiri atas:
1) Tau Ae
Tau ae yaitu inisisi diri anak-anak laki atau perempuan yang telah
menginjak usia remaja (ritual keremajaan). Ritual keremajaan ini sama
saja pelaksanaanya baik anak laki-laki maupun anak maupun. Jadi,
menjelang usia remaja anak-anak baik laki-laki maupun perempuan
dibuatkan ritual tau ae.
Dalam pelaksanaannya, ritual tau ae dibedakan atas dua macam, yaitu:
a) Tau Ae Anak Sulung
Anak sulung laki-laki dan anak sulung perempuan, dalam ritual tau ae
ditandai dengan hewan kurban berupa babi yang disediakan oleh
keluarga
pihak om atau saudara laki-laki ibu dari anak-anak itu. Lamanya
biasanya 3-5 malam.
b) Tau Ae Bukan Anak Sulung
Anak-anak yang bukan anak sulung, baik laki-laki maupun perempuan
ritual tau de ditandai dengan hewan kurban yang diganti dengan buah
labu masak sehingga disebut Uta Te'a. Jadi acaranya sederhana saja,
dengan memasak buah labu masak atau uta te 'a yang

disediakan oleh bapa dan ibunya sendiri. Lamanya biasanya 1 malam


saja.
2) Koa Ngi'i
Koa ngi'i yaitu inisisi diri anak-anak perempuan yang telah menginjak
usia akil-baliq atau usia dewasa (ritual kedewasaan). Ritual kedewasaan
koa ngi'i ini hanya untuk anak-anak perempuan saja.
Anak perempuan sulung maupun bukan anak sulung ritual koa ngi'i itu
sama saja. Bedanya, anak perempuan sulung Ritual koa ngi'i itu
ditandai dengan hewan kurban berupa babi yang disediakan oleh
keluarga pihak om atau saudara laki-laki ibu dari anak -anak itu,
sedangkan anak perempuan bukan sulung ditandai dengan hewan
kurban berupa babi yang disediakan oleh ayah dan ibu dari anak-anak
itu. Lamanya biasanya 1 malam.
Apa bila anak-anak perempuan dalam masyarakat adat Rendu yang
sudah dewasa secara fisik, namun belum melaksanakan ritual adat tau
ae dan koa ngi'i diketahui sudah hidup hidup berkeluarga; maka
dikenakan sanksi adat oleh laki Redu atau hakim adat

23
Rendu. Besar-kecil dan berat-ringannya denda adat diputuskan oleh laki
Redu.
3) Leo Dheka (Laki-laki akil-balig)
Leo dheka yaitu inisisi diri anak-anak laki-laki yang telah menginjak
usia akil-baliq atau usia dewasa (ritual kedewasaan). Ritual kedewasaan
leo dheka ini hanya untuk anakanak laki-laki saja.
Anak laki-laki yang sudah akil-balig (dewasa), baik anak sulung
maupun bukan anak sulung harus dilakukan ritual leo dheka. Ritual leo
dheka itu adalah ritual sunat adat. Hewan kurban berupa ayam yang
disediakan oleh ayah dan ibu anak itu. Lamanya biasanya 1 malam.
Apa bila anak-anak laki-laki dalam masyarakat adat Rendu yang
sudah dewasa secara fisik, namun belum melaksanakan ritual adat tau
ae dan leo dheka diketahui sudah hidup hidup berkeluarga; maka
dikenakan sanksi adat oleh laki Redu atau hakim adat Rendu. Besar-
kecil dan berat-ringannya denda adat diputuskan oleh laki Redu.
4) Τακ Νμνα
Tau nuwa yaitu inisiasi diri laki-laki dewasa yang sudah hidup
berkeluarga. Ritual tau nuwa ini dapat dikatakan semacam ritual
pengukuhan kedewasaan seorang laki-laki dewasa sekaligus ritual
rekomendasi agar anak-anaknya yang telah remaja dan dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan sudah boleh menjalani ritual keramajaan
tau ae dan ritual dewasaan koa ngi'i untuk anak perempuan dan ritual
kedewasaan leo dheka untuk anak laki-laki.
Ritual adat tau nuwa ini ditandai dengan hewan kurban berupa
kerbau. Ritual adat tau nuwa ini wajib dilakukan untuk laki-laki dewasa
yang telah berkeluarga agar anakanaknya yang sudah remaja dan akil-
balik dapat melaksanakan ritual adat tau ae serta koa ngi'i dan leo
dheka, jia tidak, maka anak-anaknya meskipun sudah remaja dan akil
baliq belum boleh dilakukan ritual adat tau ae serta koa ngi 'i dan leo
dheka.
Apabila anak-anak laki-laki dan perempuan dari seorang ayah yang
belum tau nuwa diketahui sudah hidup hidup berkeluarga; maka
dikenakan sanksi adat oleh laki Redu atau hakim adat Rendu karena
dianggap anak-anaknya itu belum dewasa secara adat. Besar-kecil dan
berat-ringannya denda adat diputuskan oleh laki Redu.
4) Tradisi dan Adat Istiadat Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
a) Foe Wolo

Foe wolo yaitu kegiatan sosial kolektif berupa kerja sama dalam bentuk
bergilir dari ladang ke ladang atau dari sawah ke sawah para petani.
Biasanya makan minum disiapkan oleh pemilik lahan.
b) Keka Liki

24
Keka liki merupakan salah satu konsep kearifan lokal dalam masyarakat
adat Rendu yang dipandang kaya dengan konsep kearifan lokal warisan
nenek moyang.
Konsep Keka liki yang dianut dan dipelihara oleh nenek moyang di
Rendu sejak berabad-abad yang lalu mengandung makna pola
perkampungan mini di daerah perladangan yang bertujuan untuk
mengelola multi fungsi ekonomi bidang pertanian dan peternakan, yang
meliputi:
c) Gopo Rigo
Istilah gopo berasal dari varian kata kopo, ‘kandang'. Sedangkan Rigo,
artinya kebun berukuran kecil (luasnya sangat terbatas) di sekitar 'rumah'
atau 'pondok”. Selanjutnya, istilah gopo rigo sebagai sebuah kata
majemuk digunakan dengan pengertian perihal berkebun atau usaha
perkebunan berskala kecil di sekitar rumah atau pondok di areal
perkampungan mini sebagai warung hidup dan apotik hidup yang
dipagari secara kuat.
d) Uma Rema
Kata uma rema yaitu tradisi petani hidup berkebun semusim berskala
besar. Kebun sebagai usaha pertanian semusim berskala besar dikerjakan
di kawasan pertanian yang dibatasi dengan rasa umu “pagar umum'
letaknya pada umumnya jauh dari kampung
penduduk
e) Bo Leu
Kata bo artinya lumbung. Di dalam bo 'lumbung' ini disimpan
semua hasil usaha pertanian dan perkebunan penduduk yang dapat
berahan lama kalau disimpan. Sedangkan kata leu, adalah tempat khusus
untuk menyimpan jagung yang telah diikat manjadi ikatanikatan per
satuan hitungan tertentu, misalnya lima liwut, delapan liwut, atau satu
ulu (40 batang) per ikat. Leu dibangun dari sebatang kayu atau bambu
jika ditata bulat meninggi yang disebut leu mogo atau dua batang kayu
atau bambu jika ditata berbentuk empat persegi yang disebut leu dae.
f) Kopo kana
Kata kopo artinya kandang untuk ternak, sedangkan kata kana artinya
tempat memberi makanan, seperti babi yang dikenal dengan nama kana
wawi dan tempat minuman ternak.
Jelaslah di sini bahwa konsep Keka liki mewadahi usaha-usaha multi
fungsi ekonomi bidang pertanian dan peternakan yang dapat memotivasi
masyarakat adat Rendu untuk mengelola tanah perladangan dan ternak
pelihara semaksimal mungkin guna meningkatkan ekonomi keluarga
dengan tanah sebagai aset utama dan terpenting yang dimiliki oleh
masyarakat adat.

25
BAB III

POLA PERKAMPUNGAN ADAT SUKU-SUKU RENDU


3.1 Pola Perkampungan Adat Suku Rendu
Pola perkampungan Adat Suku Rendu yang dideskripsikan di sini adalah pola
perkampungan adat suku Rendu yangterdapat di Renduola.
3.1.1 Pola Perkampungan Adat Wujud Sosial-Kolektif Suku Rendu

Pola Perkampungan adat sebagai wujud hubungan sosial-kolektif


suku Rendu dideskripsikan di sini adalah pola perkampungan adat suku
Rendu yang terdapat di kampung Renduola. Yang menarik dari pola
perkampungan suku Rendu ini adalah pembagian letak perumahan dalam
kampung berdasarkan fungsi dari masing-masing marga atatu woe dalam
melaksanakan upacara adat serta untuk tujuan pertahanan dan keamanan
suku.
Pola perkampungan adat suku Rendu di Renduola ini menunjukkan
kekhasan wujud hubungan sosial-kolektif dalam kehidupan masyarakatnya
dan hubungan masyarakatnya dengan tempat bersemayamnya wujud
Tertinggi yang disebut ", Dewa zeta Gae zale”. Dewa zeta yaitu Tuhan
penguasa langit dan bumi dan Gae zale yaitu leluhur yang diyakini oleh
anggota masyarakatnya sebagai sumber kekuatan dan perlindungan
masyarakatnya.
Pola perkampungan adat di Renduola itu dibangun berdasarkan
tugas dari masing-masing marga atau woe dalam melaksanakan kegiatan
ritual adat dan juga dalam hal pertahanan dan keamanan suku Rendu
terhadap serangan dari luar. Perkampungan adat itu dibangun dengan posisi
perumahan sebelah-menyebelah, memanjang dari pintu gerbang masuk
menuju gerbang keluar; dengan pelataran depan atau halaman depan rumah
adat setiap marga atau woe sebagai pelataran umum, yaitu ruang umum untuk
melaksanakan upacara adat, seperti tinju adat dan berbagai kegiatan sosial
kemsyarakatan lainnya.
Menurut cerita para informan, pola perkampungan itu dibangun
sejak masyarakat suku Rendu berpindah dari Renduwawo ke Renduola dan
bertahan hingga awal pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, sekitar
tahun 1.600 Masehi hingga sekarang.
Jarak antara rumah dengan rumah relatif dekat. Sampai dengan
tahun 1966 penulis duduk di kelas satu sekolah dasar, penulis masih
menyaksikan jarak rumah dengan rumah tidak lebih dari 3 (tiga) meter,

26
meskipun pelataran marga atau woe Dhiri Keo yang terletak di depan pintu
gerbang masuk sudah kosong karena pendukungnya telah berpindah ke
perkampungan lainnya, seperti ke perkampungan baru, seperti Roga-roga,
Nunungongo dsb. dengan membawa serta rumah adatnya.
Menurut cerita para informan pula, bahwa pemadatan
perkampungan yang terjadi dalam suku Rendu pada masa itu karena
kelompok keluarga-keluarga baru yang memekarkan rumah adatnya pada
masa itu, harus membangun rumah adatnya itu dalam deretan area marga atau
woe yang telah ditetapkan. Jadi, kelompok keluarga-keluarga seketurunan
yang disebut Ili (kelompok keluargakeluarga seketurunan dalam suatu marga
atau woe atau) yang ingin memekarkan rumah adatnya biasanya membangun
rumah adatnya di pelataran marganya atau woenya di perkampungan adat
yang telah ditetapkan, seperti yang tampak dalam denah atau pola
perkampungan adat berikut ini.

27
3.1.2 Deskripsi Pola Perkampungan Adat Suku Rendu di Renduola
Beserta Bangunan
Adatnya

28
Dalam perkampungan suku Rendu di Renduola ini dibangun tempat-
tempat pemujaan suku Rendu secara kolektif (milik bersama suku Rendu),
berupa Peo, Nabe, Sale, la, Mole dan Ana Piri.
Dewasa ini bamyak Sa'o Meze yang merupakan milik marga atau Woe dalam
suku Rendu sudah berpindah dari Renduola sejalan dengan perpindahan
marga atau woe dalam suku Rendu itu dari perkampungan asli kedua di
Renduola ke perkampungan lainya yang ada pada setiap desa di wilayah
Rendu.
3.1.2.1 Pelataran Marga atau Woe dalam Perkampungan Suku Rendu di
Renduola
Pelataran rumah adat setiap marga atau woe dalam suku Rendu di atas
menunjukkan satukesatuan sosial-kolektif dalam semangat komunitas suku
Rendu yang solid, bersatu dan gotong royong yang diwujudnyatakan dalam
satu-kesatuan paket perkampungan adat suku Rendu, seperti yang tampak
pada pola perkampung adat suku Rendu di atas.
1) Pelataran Marga atau Woe Dhiri Ke'o (no. 2)
Pelataran marga atau woe Dhiri Ke'o ditempatkan di pintu gerbang masuk
karena marga ini mempunyai tugas untuk kedha wesa kai pere, artinya
mempunyai tugas untuk membuka dan menutup pintu gerbang masuk
kampung adat Renduola, terutama pada saat adanya ritual adat, adanya tamu-
tamu dari suku dan daerah lain yang masuk ke kampung adat Renduo la
untuk mengikuti ritual adat.

2) Pelataran Marga atau Woe Nanga Lengi (no. 3)


Pelataran marga atau woe Nanga Lengi ini mempunyai tugas untuk
gedho tora yaitu menentukan waktu penanaman bagi suku Rendu bila musim
hujan tiba. Seorang bapak dalam woe ini dipercayakan untuk melakukan
upacara gedho tora yaitu menanam secara simbolis di uma tora (kebun adat),
lalu penduduk suku Rendu boleh menanam ladang-ladangnya. Marga atau
woe ini sebenarnya pada mulanya juga melakukan upacara enga gua yaitu
menentukan dan mengumumkan waktu upacara adat tau gua dalam satu
lingkaran tahun adat; tetapi kemudian tugas ini diambil alih oleh kepala suku
Rendu yaitu Mosa Fo'a dari woe Ebu Tuza, sehingga tugas gedho tora tetap
dijalankan oleh woe Naga Lengi, sedangkan tugas enga gua dijalankan oleh
woe Ebu Tuza hingga sekarang. Adapun sebab pengambilalihan tugas enga
gua dari woe Nanga Lengi oleh Mosa Fo'a yaitu karena dalam beberapa
periode tahun adat; petugas enga gua dari woe Nanga Lengi selalu saja
terlambat menetapkan waktu tau gua yaitu melaksanakan ritual gua meskipun
menurut tua-tua adat dan Mosa Fo'a sebagai kepala suku Rendu waktunya
sudah tiba. Alasan keterlambatan enga gua karena petugas ini mempunyai
kebun ladang yang terlalu jauh dari kampung; sehingga sulit berkomunikasi
dengan tetua adat lainnya sehingga akibatnya perhitungannya tidak sama

29
dengan perhitungan waktu tau guu oleh tua-tua adat lainnya dan Mosa Fo'a.
Karena faktor inilah maka Mosa Fo'a sebagai kepala suku mengambil alih
tugas enga gua yang sudah dipercayakan kepada woe Nanga Lengi.
3) Pelataran Marga atau Woe Pole Poma (no. 4)
Pelataran marga atau woe Pole Poma terbagi atas dua area, yaitu:
a) Area Marga atau Woe Para Meze
Area marga atau woe Para Meze dipisahkan pada belahan
lainnya dari rea marga atau woe Au Poma; karena marga atau woe
Para Meze ini mempunyai tugas untuk lapu tali tode
yaitu memegang tali adat yang dipakai dalam upacara adat Tode.
b) Area Marga atau Woe Au Poma
Marga atau woe Au Poma mendapat tugas menyiapkan pekerjaan-
pekerjaan lainnya dalam upacara adat Tode.
4) Pelataran Marga atau Woe Ebu Wedho Wawo (no. 6)
Pelataran marga atau woe Ebu Wedho Wawo terpisah dari pelataran
marga atau woe Ehu Wedho Au karena tugasnya dalam upacara adat
yang berbeda. Tugas woe Ebu Wedho Wawo ialah tepu tali tode yaitu
memegang tali untuk upacara adat. Jadi tugasnya sama dengan marga
atau woe Para Meze.
5) Pelataran Marga atau Woe Naka Lado (no. 7)
Pelataran marga atau woe Naka Lado ditempatkan dekat dengan Nata
Peo, marga atau woe Naka Lado ini mendapat tugas sebagai:
a) Tugas "goro lado", yaitu menyampaikan informasi (tugas humas)
kepada semua pemegang
”ulu manu” (pemilik rumah adat) untuk menghadiri atau mengikuti
upacara adat.
a) Tugas “Pei Tuba Teo Kume" yaitu mempersiapkan dan
mengamankan perlengkapan perang.
6) Pelataran Marga atau Woe Ebu Tuza Wawo (no. 13)
Kelompok marga atau woe Ebu Tuza Wawo adalah turunan Mosa Fo'a
dan Tuza Gugu yang mendapat tugas untuk mengatur upacara adat di
nata peo dan enga gua yaitu menentukan dan mengumumkan waktu
upacara dalam lingkaran tahun adat, mulai pembukaan sampai
penutupannya. Rumah adat dari kelompok pertama ini dibangun di Nata
Peo dan diberi nama marga atau woe Ebu Tuza Wawo, karena mereka
menempati tempat yang lebih tinggi dari pada kelompok marga atau woe
Ebu Tuza Au.
7) Pelataran Marga atau Woe Ebu Tuza Au (no. 18)
Kelompok marga atau woe Ebu Tuza Au adalah juga turunan Mosa Fo'a
dan Tuza Gugu yang mendapat tugas untuk “Pati Boa Wiza”, artinya:
(1) Membagi atau mendistribusikan bahan makanan kepada warga suku
Rendu pada waktu

30
peperangan, seperti perang suku.
(2) Menyediakan perlengkapan upacara adat, seperti pada waktu upacara
tinju adat; woe ini menyiapkan kepo atau sarung tinju yang dibuat dari
kura tua yaitu mayang enau yang sudah kering sebagai alat tinju adat dan
perlengkapan upacara adat yang lainnya.
8) Pelataran Marga atau Woe Ebu Wedho Au (no. 20)
Pelataran marga atau woe Ebu Wedho Au mendapat tugas adat, “kati boa
wiza" artinya membersihkan dan mengemas semua bahan makanan
(tugas bulog) lalu menyerahkan kepada marga atau woe Ebu Tuza Au
untuk dibagikan atau didistribusikan kepada marga atau woe lainnya
dalam menghadapi (situasi) peperangan seperti perang suku.
9) Pelataran Marga atau Woe Ebu Dapa (no. 21)
Pelataran marga atau woe Ebu Dapa ditempatkan di depan pintu gerbang
keluar. Marga atau woe Ebu Dapa menjalankan tugas “pogo boa wiza",
yang bermakna mengumpulkan bahan makanan dari semua marga atau
woe dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung untuk
kepentingan pemenuhan bahan makanan dalam pelaksanaan ritual adat,
seperti para peo atau menghadapi peperangan seperti perang suku.
3.1.2.2 Bangunan Adat dalam Perkampungan Adat Suku Rendu di
Renduola
Bangun-bangunan adat (sederhana) yang terdapat dalam perkampungan
adat suku Rendu sebagai tempat dilaksanakannya ritual adat dan simbol-
simbol adatnya lainnya di area perkampungan adat, tampak seperti
berikut ini.
1) Pintu Gerbang Masuk atau Wesa Meze (no. 1)
Bangunan pintu gerbang masuk atau wesa meze (no.1) berupa
susunan batu-batu sebelah menyebelah berbentuk kota fai yaitu
susunan batu berbentuk segi empat.
Pintu gerbang masuk dalam ungkapan bahasa adat Rendu disebut
Wesa Meze (no.1) adalah tempat masuknya setiap warga suku
Rendu dalam kehidupan sehar-hari atau tamu-tamu dari luar suku
untuk mengikuti atau menghadiri ritual adat suku rendu di kampung
adat renduola
2) Peo Suku Rendu
Peo dalam suku Rendu sebagai simbol persatuan dan kesatua suku
terdiri atas dua macam, yaitu:
(1) Peo Fai (no. 10)
a. Bentuk dan Banganun Peo Fai
Peo fai, lazim di sebut peo saja. Peo fai ini adalah lambar.g
persatuan dan kesatuan suku Rendu. Peo Fai terbuat dari teras
kayu bercabang dua yang ditanam di pelataran depan rumah adat
woe Ebu Tuza sebagai kepala suku Rendu.

31
Peo fai dibuat dari kayu rebu karena kayu ini diyakini oleh
masyarakat adat suku Rendu
endu mempunyai kekuatan magis yang mampu menangkal
kekuatan-kekuatan roh jahat. reo fai ini ditanam pada sebuah
fondasi terbuat dari susunan batu berbentuk lingkaran (kota);
ukurannya lebih tinggi daripada Peo Raki.

Peo Fai
(Dok: Maria Gorety Djandon 2010) Sumber: Pola
perkampungan adat suku Rendu
Peo fai sebagai lambang persatuan dan kesatuan suku,
diyakini juga sebagai lambang kesuburan dan lambang
berkembangbiaknya suku Rendu, ditafsir demikian
karena kata fai artinya isteri). Bentuk bangunan Peo fai tampak
seperti berikut ini.
b. Nama-nama Peo Suku Rendu
(1) Peo Fai Wae di Warikeo
Peo Fai Wae dibangun di Warikeo (Warikeo yaitu perkampungan
suku Rendu dalam masa eksodus yang terletak di barisan bukit di
atas kampung Ratedao) potong
di Wolowae.
(2) Peo Lalu Koli
Peo Lalu Koli dibangun di Renduwawo (bukit Renduwawo, yaitu
kampung adat suku Rendu yang pertama) potong di Wolo Koli,
potong kerbau 37ekor.
(3) Peo Mangu Mara
Peo Mangu Mara dibangun di Renduola potong di Wolo Leta,
potong kerbau 177 ekor.
(4) Peo Mago Mara
Peo Mago Mara dibangun di Renduola potong di Wolo Ute
(Segho), potong kerbau 177 ekor

32
(5) Peo Bango Bebu
Peo Bango Bebu dibangun di Renduola potong di Wolo Bebu,
potong kerbau
102 ekor
2) Peo Raki (no. 14)
Peo raki terbuat dari kayu bercabang dua yang ditanam di
depan pelataran rumah adat woe Ebu Tuza; ukurannya lebih pendek
daripada ukurannya lebih pendek daripada Peo Fai karena sifatnya
melengkapi keberadaan Peo Fai itu, ibarat pasangan suami-isteri.
Peo Raki berfungsi untuk mengikat tali kerbau ketika upacara
ritual “para peo" yaitu potong kerbau dalam upacara para Peo Fai.
Peo raki dalam kedudukannya sebagai pendamping peo fai seperti
sepasang suami-istri, juga merupakan lambang persatuan dan
kesatuan seluruh masyarakat suku Rendu. Peo Raki terbuat dari kayu
rebu yang bercabang, dilengkapi dengan ornamen berupa a'i dala
yang bahannya diambil dari siput laut. Untuk jelasnya lihat gambar

4.7 di bawah ini.

(Dok: Maria Gorety Djandon 2010) 4) Sale (no. 17)


4) Sale(no.17)
Sale berupa bangunan rumah kecil yang tiangnya terbuat dari kayu
dan atapnya terbuat dari alang-alang. Letaknya di area pelataran depan Woe
Ebu Tuza Au.
Sale berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan upacara dan tempat
menyimpan tulang belulang hewan yang dipotong waktu upacara para peo.
Bentuk bangunan Sale, tampak seperti berikut ini.

33
(Dok: Maria Gorety Djandon, 2010) Sumber: Pola perkampungan adat
suku Rendu
5) la (no. 8)
Ia berupa rumah kecil sebagai pos jaga tempat menerima laporan dari para
goro lado perihal kehadiran semua marga atau woe dalam suku ke mua
marga atau woe dalam suku Rendu pada waktu mengikuti ritual adat di
Nata
Peo. Bangunan kecil ini terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari
ijuk, serta dasarnya terbuat dari susunan batu dan di tengahnya ditanam tiang
kayu penyangga atap (lihat no. 8).

(Dok: Maria Gorety Djandon, 2010) Sumber: Pola perkampungan adat suku
Rendu
6) Sa'o Pe'i Tuba Teo Kume (no. 9)
Sa'o Pe'i Tuba Teo Kume (no. 9) adalah rumah adat dari Marga atau
Woe Naka Lado yang bertugas menangani perlengkapan perang dan
perlengkapan ritual adat para peo berupa tombak
(tuba) dan kekang (kume) kuda.
7) Towe (no. 21)
Towe berupa susunan batu berbentuk empat persegi yang dibangun
di area pelataran Woe Pole Poma (lihat no. 5). Pada zaman dahulu, towe
ini dipakai oleh Mosa Fo'a untuk memberi garam kerbaunya.
Kemudian setelah lokasi ini dibangun menjadi perkampungan adat suku
Rendu; towe ini dipakai oleh Mosa Fo’a untuk enga gua yaitu
mengumumkan kepada seluruh suku Rendu tentang waktu untuk
melaksanakan upacara tau gua atau melaksanakan ritual adat tahunan baik
ritual gua ru maupun ritual gua leza.

34
(Dok: Gorety Djandon, 2010) Sumber: Pola perkampungan adat
suku Rendu
8) Mole (no. 14)
Mole secara harafih artinya berkumpul karena ada sesuatu ritual adat.
Mole dibangun dari susunan batu, tempatnya sejajar dengan Peo Raki
(Mole 14, Peo Raki 15), yang bagian atasnya diletakkan batu ceper yang
besar yang disebut nabe. Di tempat inilah semua peserta upacara tinju
adat (etu) makan (ka pene) bersama-sama, sebelum melakukan upacara
acara tinju tinju adat (etu) baik tinju untuk anak-anak (etu co'o) maupun
tinju untuk orang dewasa (etu meze).
Mole berupa susunan batu persegi empat yang dibangun di area
pelataran rumah adat dari Woe Ebu Tuza Wawo (lihat no.15).

(Dok: Gorety Djandon, 2010)


Sumber: Pola perkampungan adat suku Rendu
10) Nata Etu (no. 19)
Nata Etu Yaitu pelataran tinju adat yang terletak di halam depan rumah adat
marga atau woe Ebu Tuza Au, tempat diselenggarakannya ritual tinju adat
(lihat no.19).
11) Ana Piri (no. 16)
Tempat ini digunakan untuk popo tibo yaitu melembekkan batang aur yang
masih muda dan kecil dengan cara memasukkan ke dalam bara api.
Tujuannya untuk mencari tahu untung dan malangnya (meramal, menujum)
suatu perbuatan yang akan dikerjakan atau dijalankan Bentuk ana piri persegi
empat, terbuat dari susunan batu dan di atasnya ditaruh dengan batubatu
ceper yang berfungsi sebagai tempat popo tibo atau tempat untuk meramal
atau menuium
12) Sa'o Lado Riwu (no. 12)

35
Sa'o Lado Riwu adalah rumah adat peninggalan dari Mosa Fo’a sebagai
kepala suku yang pertama, yang bahannya semua terbuat dari kayu dengan
tiang-tiangnya terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari alang-alang, seperti
yang tampak berikut ini.

Sa'o Lado Riwu (Rumah adat kepala suku Rendu) (Dok: Gorety Djandon,
2010)
Sumber: Pola perkampungan adat suku Rendu
9) Rate (no. 11)
Rate yaitu kubur batu dari Mosa Fo'a sebagai kepala suku Rendu
dan keturunannya serta kubur para para pahlawan suku Rendu yang gugur di
medan perang, seperti dalam perang suku. Letak kubur batu ini memanjang
dari Sao Lado Riwu, (rumah adat kepala suku Rendu) sampai ke Peo Fai,
dengan bentuknya memanjang dari rumah adat Lado Riwu ke Peo Fai (lihat
no.11), seperti yang tampak berikut ini.

Rate (kuburan para pahlawan suku Rendu)


(Dok : Maria Gorety Djandon, 2010) Sumber: Pola perkampungan
adat suku Rendu
3.1.2.3 Tanaman Bambu dan Aur untuk Membangun Rumah Adat 1)
Guru Pire dan Guru Pire

36
1) Guru Pire (Bambu Berjenis Aur "pemali")
Guru pire (bambu berjenis aur “pemali”) adalah
tanaman bambu berjenis aur yang digunakan untuk
membangun rumah adat dan tempat-tempat peralatan
adat lainnya yang menggunakan aur sebagai sarana
utama. Jadi, untuk kepentingan lainnya pemali,
2) Bhəto Pire (Bambu Berjenis Betung “Pemali”)
23. Guru Pire
Bhəto pire (bambu berjenis betung "pemali") adalah
tanaman bambu betung yang yang digunakan untuk
membangun rumah adat dan tempat-tempat peralatan
adat lainnya yang menggunakn bambu betung sebagai
sarana
24. Bhəto Ptire
BAB IV
SEJARAH ASAL SUKU-SUKU DI RENDU
4.1 Sejarah Asal Suku Rendu, Isa dan Gaja 4.1 Pendahuluan
Dalam menuliskan sejarah suku Rendu, Isa dan Gaja ini, penulis
mengalami kesulitan data primer tertulis mengenai sejarah asal usul suku
Rendu, Isa dan Gaja. Kesulitan ini bukan karena sukar mendapatkannya,
tetapi karena tidak ada atau belum ada tulisan-tulisan mengenai suku Rendu,
Isa dan Gaja baik sejarah suku maupun masalah-masalah kehidupan sosial
dan budaya lainnya tentang masyarakat Rendu.
Mengingat kesulitan data primer tertulis itu, maka dalam menuliskan
sejarah suku Rendu, Isa dan Gaja ini penulis hanya menggunakan data primer
lisan yang diperoleh dari para tetua adat suku Rendu, Isa dan Gaja sebagai
informan yaitu 1) Bapak Bernadus Bhia Wea dari marga atau woe Ebu Tuza
di Renduola 1985, 2) Bapak Donatus Dema (alm) dari marga atau woe Naka
Lado di Wololuba1978, 3) Bapak Benediktus Baka Bani 1998 (alm.) dari
suku Toto di Ratedao. Dari data yang diperoleh ditemukan banyak variasi
dan versinya, namun yang penulis turunkan dalam tulisan ini hanya satu versi
saja yaitu gabungan dari versi-versi yang diperoleh dari para informan,
kemudian diberi tafsiran oleh penulis berdasarkan jalan cerita dari versi-versi
yang ada dari tetuatetua adat Rendu lainnya ketika penulis melakukan
klarifikasi data cerita.
Dari cerita para tetua adat dan cerita-cerita rakyat yang terdapat
dalam masyarakat Rendu, sangatlah sulit bagi kita untuk menentukan secara
tepat dan pasti tentang tanah asal suku Rendu, Isa dan Gaja. Tidak terdapat
satu versipun dari keterangan para tetua adat maupun cerita-cerita rakyat
yang mengungkapkan secara pasti mengenai tanah asal suku Rendu, Isa dan
Gaja ini kecuali tersirat dalam sebaris pata vera, yang berbunyi dhodho zili

37
mai jo, wa’u zili mai wio yang secara turuntemurun diterjemahkan jo artinya
perahu dan Wio artinya Sumba Karena itu, penulis menggunakan sebaris pata
vera sebagai sumber acuan, karena dalam pata vera terjemahan itu sudah
merupakan pengetahuan umum masyarakat Rendu. Dalam masyarakat Rendu
dhodho zili mai jo, wa’u zili mai wio terjemahan bebasnya berarti turun dari
perahu, datang dari Wio. Para tetua adat meyakini bahwa jo adalah perahu
yang digunakan oleh nenek moyang suku Rendu, Isa dan Gaja pada awal
pengembaraan mereka untuk mengarungi lautan bebas mencari tempat
kediaman baru, in Wio adalah tanah asal suku Rendu, Isa dan Gaja yang
diterjemahkan secara turun-temurun oleh kecil masyarakat adat Rendu
dengan makna Sumba. Jadi, perlu penulis utarakan di sini yang
menterjemahkan kata Wio dengan pengertian Sumba penulis jumpai juga
pada compok terpelajar, sedangkan para tetua adat cukup banyak yang tidak
mengenal Sumba. Sebagian dari para tetua adat hanya mengenal Wio sebagai
tanah asal suku Rendu, lsa dan Gaja
tetapi Wio yang berarti Sumba baik pulau Sumba maupun desa atau wilayah
asal suku Rendu, Isa dan Gaja yang terdapat di tanah Sumba, rata-rata
mereka tidak mengetahuinya.
Penafsiran tanah asal suku Rendu, Isa dan Gaja yang dikemukakan
oleh informan yaitu bapak Andreas Sura dan bapak Fransiskus Keka 1998,
kata Wio artinya Sumba. Perkiraan Wio artinya Sumba dalam tulisan ini,
selain penulis menerima dan menyetujui keterangan para informan, juga
berdasarkan tafsiran penulis sendiri dengan melihat sejarah perjalanan suku
Rendu setelah nenek moyang suku Rendu, Isa dan Gaja menemukan tanah
Flores, seperti yang diutarakan berikut ini.
4.2 Perjalanan Mosa Fo'a dari Wio (Sumba) ke Flores
4.2.1 Perjalanan Mosa Fo’a dari Wio ke Wolo Dili
Suku Rendu, Isa dan Gaja adalah kelompok manusia yang berasal
dari tanah Wio atau Sumba. Diceritakan bahwa untuk pertama kalinya
mereka meninggalkan tanah asalnya Wio dengan menggunakan Jo atau
perahu. Dengan perahu ini mereka meninggalkan tanah asalnya Wio dan
menyeberangi laut Sawu menuju pulau di sebelah utaranya yakni Pulau
Flores. Pada akhir pelayaran, mereka membuang sauh di pantai Nangalolo
(Nangaroro) kemudian berlabuh di sana.
Terdorong oleh hasrat ingin mencari tempat kediaman baru, mereka
meninggalkan segala perlengkapan perjalanan dan naik ke darat yaitu di
Nangalolo (Nangaroro). Setelah berdiam cukup lama di ma’u Nangalolo
(pantai Nangaroro), mereka berjalan kaki secara berkelompok menyusuri
sungai Nangalolo menuju ke daerah pegunungan di sebelah utara di bawah
pimpinan Redu dan Rada bersaudara (Redu mewarisi suku Redu (Rendu) dan
Rada mewarisi salah satu suku di Toto. Di daerah pegungungsian itu mereka
menemukan sebuah bukit yang cukup baik untuk dijadikan perkampungan

38
yaitu Wolo Dili. Di sinilah mereka menetap cukup lama, dan bertemu dengan
penduduk asli wilayah ini yaitu sekelompok masyarakat yang mewariskan
orang Toto sekarang ini. Dari pergaulan dan persahabatan antara kedua
kelompok masyarakat ini, akhirnya Rada yakni saudara dari Redu menetap di
Toto. Antara warga suku Rendu dan warga suku Toto sebagai penduduk asli
terjalin hubungan kawin-mawim. Secara adat mereka membuat kontrak/
perjanjian persahabatan untuk senantiasa hidup rukun dan damai. Terjadilah
kontrak persahabatan yang dinamakan Tura, yaitu suatu larangan untuk tidak
boleh bermusuhan, atau berperang secara fisik. Mereka dinyatakan
bersaudara, sehingga semua hubungan fisik yang mengakibatkan
pertentangan tidak boleh diadakan. Hasil dari kontrak persahabatan ini, kedua
mi tidak boleh saling memberi dan menerima secara langsung, saling
memukul, saling berpegangan tangan dan lain-lain perbuatan yang
mendatangkan permusuhan, bahkan hubungan perkawinan pun dinyatakan
tidak boleh terjadi lagi antara kedua suku ini. Sampai hari ini, hukum in
berlaku antara kedua suku ini, meskipun praktiknya semakin longgar oleh
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Versi
cerita dari Bapak Benediktus Baka Bani dari Rate Dao pada tahun 1989).
4.2.2 Perjalanan Mosa Fo'a dari Wolo Dili ke Bo'a Redu
Dari Wolo Dili nenek moyang suku Rendu, Isa dan Gaja
meneruskan lagi perjalanan ke Utara sampai pada akhirnya berhenti di Nage
Lewa, di sini mereka tidak membuat perkampungan baru, karena keadaannya
sama saja dengan di Nangalolo (Nangaroro) yaitu sama-sama daerah pesisir.
Oleh karena itu mereka memutuskan untuk meneruskan lagi perjalanan
kelompoknya menuyusuri batang sungai Aesesa dan kemudian menetap
disekitar pinggiran batang sungai Aesesa yang di beri nama Bo'a Redu
(kampung Redu). Di Bo'a Redu inilah mereka membangun perkampungan
yang kedua kalinya.
4.2.3 Perjalanan Mosa Fo’a dari Perjalanan Mosa Fo’a Dari Bo’a Redu
ke Redu Meze dan Segho Redu
Setelah cukup lama mereka menetap di Bo'a Redu, atas kesepakatan
seluruh anggota suku, mereka merencanakan lagi perjalanan kelompoknya.
Dari cerita para tetua adat, dari Bo'a Redu inilah, suku Rendu pecah menjadi
dua kelompok perjalanan selanjutnya, yaitu: 1) Kelompok Aesesa: Dari Bo’a
Redu ke Redu Meze.
Kelompok Aesesa atau kelompok pertama yaitu kelompok yang
mendiami perkampungan dari pintu masuk (ulu bo’a) sampai pertengahan
kampung. Sebelum berangkat mereka memasak nasi jowawut sehingga lebih
dahulu matang dan lebih dahulu makan serta lebih cepat berangkat dan terus
menyusuri sungai Aesesa menuju ke daerah pegunungan dan kemudian
menetap di Redu Meze. Dan di mana Redu Meze itu, sampai sekaranng ini
suku Rendu, Isa dan Gaja tidak mengetahuinya.

39
Hanya saja menurut tetua adat, mereka itu mungkin di Manggarai.
Dan jika benar menurut tetua adat pula bahwa sebelum menetap di Redu
Meze mereka lebih dahulu melanggar air laut, maka penulis tafsirkan
mungkin di pulau Komodo atau pulau lain di sekitarnya. Jadi, kelompok
Aesesa atau kelompok pertama Dari Bo’a Redu ke Redu Meze.
2) Kelompok Aemau: Dari Bo’a Redu ke Segho Redu (Loco Labo)

Kelompok Aemau atau kelompok kedua yaitu kelompok yang


mendiami perkampungan dari pertengahan kampung sampai di pintu keluar
(eko bo'a). Sebelum berangkat mereka nasi beras sehingga lebih lama matang
akibatnya lebih kemudian makan serta terlambat pula berangkat dan terus
menyusuri sungai Aemau higga mentok di Sara Jata atau Ki Ngeta Dhegha
Ngaba (sekarang dikenal denga nama Ngaba Tata) lalu balik kembali ke jalan
semula, kemudian mendaki tebing menuju ke Dekonara lalu membangun
kampung dan berdiam di Dekonara untuk beberapa lama.
Merasa belum cocok untuk dijadikan kampung halaman, rombongan
ini meninggalkan kampung Dekonara berjalan lagi lalu berhenti dan
membangun kampunng di Segho Redu (Loco (Labo). Di kampung Segho
Redu (Loco (Labo) inilah, rombonngan ini menetap cukup lama hingga
mereka membuka kebun untuk menanam jagung, padi, jowawut, dan
tanaman pertanian lainnya. Mereka saling bergaul dan berinteraksi dengan
penduduk asli pemilik tanah, yaitu orang Labo (Lambo sekarang). Jadi,
kelompok Aemau atau kelompok kedua dari Bo'a Redu ke Segho Redu (Loco
(Labo).
Sebagai suku pendatang, mereka bertuan kepada suku Lambo
sebagai tuan tanah. Suku Lambo memberikan tanah untuk dijadikan lahan
pertanian dengan sistem bagi hasil, yaitu hasil garapan kebun berupa padi,
jagung, dan jowawut dibagi sama antara penggarap dan tuan tanah. Merasa
tidak puas dengan perlakuan penduduk asli di dalam sistem pertanian itu,
kemudian mereka memutuskan untuk meninggalkan kampung Segho Redu.
4.2.4 Perjalanan Mosa Fo'a dari Segho Redu (Loco (Labo) ke Warike'o
Dari Segho Redu mereka melanjutkan lagi perjalanan kelompoknya
ke daerah perbukitan sebelah timur dan akhirnya mereka menetap dan
membangun perkampungan di Wari Ke'o. Di sinilah mereka mulai
mendirikan Peo dengan nama Fa Wae, Nabe dan tempat-tempat pemujaan
kepada leluhur menurut adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyang suku
Rendu. Sebagai tokoh yang menggantikan Redu, muncullah Mosa Fo’a dan
Tuza Gugu dari woe atau marga Ebu Tuza sebagai pemimpin kelompok suku
Rendu.
4.2.5 Perjalanan Mosa Fo'a dari Warike'o ke Redu Wawo (Rendu
Wawo)

40
Sementara menetap di Wari Ke'o, Mosa Foa dan Tuza Gugu
mendengar berita bahwa warga suku Lambo akan melakukan penyerangan
kepada warga suku Rendu di Wari Ke’o sebagai tindakan balas dendam
karena Mosa Foa dan Tuza Gugu membantu suku Wolowea dalam perang
pu'u tolo masa koli hingga suku Wolowea menang. Berdasarkan kesepakatan
warga suku Rendu, Mosa Foa dan Tuza Gugu mengumumkan rencana
keberangkatan mereka menuju ke Wolowea untuk meminta imbalan atas bala
bantuan mereka kepada warga suku Wolowea. Diputuskan tengah malam
semua werga meninggalkan Wari Ke'o, keuali Ebu Dhema seorang nenek tua
yang sudah lumpuh meminta izin pada Mosa Foa dan Tuza Gugu agar dirinya
ditinggalkan karena dia rela meninggal Wari Ke’o.
Sekitar pukul 03.00 dini hari mereka tiba di lebi Ndora (tanah
Ndora). Dari Ndora mereka melihat pasukan suku Lambo, membakar rumah-
rumah di Wari Ke'o sampai asap dan nyala api terlihat dari Ndora. Gong-
gendang terus berbunyi dan perjalanan dilanjutkan terus menuju Wolo Wea.
Pagi harinya mereka tiba di Poma Rusa. Utusan Mosa Foa dan Tuza Gugu
menyampaikan maksud kedatangan Mosa Foa dan Tuza Gugu kepada Sepe
Teda dan Jawa Mara di Wolo Wea. Hasilnya, Sepe Teda dan Jawa Mara
mengundamg Mosa Foa dan Tuza Gugu beserta rombongannya untuk makan
minum persaudaraan di Wolowea. Sesudah makan minum bersama, Mosa
Foa dan Tuza Gugu serta Sepe Teda dan Jawa Mara menyepakati supaya
perundingan tentang balas jasa dilakukan di Poma Rusa. Dalam perundingan
itu dilakukan berbagai macam penawaran dari harta benda sampai kepada
sejumlah hamba sebagai balas jasa atas bantuan Mosa Foa dan Tuza Gugu,
tetapi Mosa Fo'a dan Tuza Gugu tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk
menjawab pertanyaan dan tawaran Sepe Teda dan Jawa Mara. Mosa Fo’a
hanya menimbun tanah seperti bukit, kemudian dibongkar kembali, lalu
ditumpuk lagi seperti bukit sambil mengarahkan pandangannya ke bukit
Redu Wawo. Salah seorang dari warga suku Wolo Wea yang melihat
pekerjaan Mosa Fo'a menyampaikan kepada Sepe Teda dan Jawa Mara,
dengan mengatakan bahwa Mosa Fo'a mungkin mau minta tanah. Setelah
ditanyakan oleh Sepe Teda dan Jawa Mara, ternyata benar karena Mosa Foa
memang mau meminta tanah yang terletak di sebuah bukit sebelah utara dari
Poma Rusa, dengan mengatakan "nga'o pai tana lau wolo da nee loge tua da
nabu we'o cece" (saya minta tanah di bukit sana yang ada pucuk moke yang
sedang mekar daunnya). Lalu Sepe Teda dan Jawa Mara mengatakan bahwa
tempat itui adalah “Ku kutu, loka bheku” (tempat babi landak dan musang)
sehingga tidak cocok dijadikan tempat perkampungan. Tetapi atas kemauan
dan pilihan Mosa Foa sendiri, akhirnya Sepe Teda dan Jawa Mara
memberikan tempat di bukit itu untuk dijadikan perkampungan suku Rendu.
Di bawah pimpinan Mosa Foa dan Tuza Gugu, berangkatlah mereka dari
Poma Rusa menuju ke “Ku kutu, loka bheku", lalu membangun

41
perkampungan baru di bukit itu kemudian diberi nama Redu Wawo (Rendu
Wawo) oleh Mosa Foa dan Tuza Gugu. Di kampung Redu Wawo inilah, suku
Rendu mendirikan Peo pertama yang diberi nama Sato Bheto (potongan
bambu) yaitu Peo dari potongan bambu yang dibawa dari Wari Keo. Di
kampung Redu Wawo ini Mosa Foa dan Tuza Gugu menetap cukup lama.
4.2.6 Perjalanan Mosa Fo'a dari Reduwawo ke Reduola
Sementara kampung masih di Redu Wawo, Mosa Fo'a sering tinggal
di Wolo Witu Ze'e (bukit Witu Ze’e) untuk menggembalakan kerbaunya.
Karena kadang sekali pulang ke Reduwawo, maka anggota suku Rendu
mengatakan bahwa Mosa Foa mau Teka keka rona bou artinya membangun
perkampungan di Wolo Witu Ze'e . Seorang nenek tua bernama Ebu Wea
dari marga au woe Ebu Dapa yang mendengar pmbicaraan anggota suku
ingin menyampaikan hal bicaraan itu kepada Mosa Fo'a. Oleh karena itu
setiap pagi Mosa Fo'a datang asah parang di han rumahnya Ebu Wea sebelum
ke Wolo Witu Ze'e, nenek tua itu mulai berpantun: "Sika nanu, nga'o toda go
ma'e, toda edi go ma'e (pergilah kau ayam, saya beritahu beritahu atau
jangan). Mendengar ucapan yang sama sampai 3 pagi, lalu Mosa Fo’a
maksud pantun dari Ebu Wea itu. Mendengar pemberitahuan Ebu Wea
perihal pembicaraan anggota suku terhadap dirinya, lalu Mosa Fo'a pergi
memotong sebagian kecil dari Peo Sato Bheto kemudian dibawanya ke Wolo
Witu Ze'e lalu membangun perkampungan di sana. Merasa tidak dihargai dan
dihormati oleh warga sukkunya, Mosa Fo'a mengutuk anggota suku Rendu
yang berdiam di kampung Rendu Wawo. Karena termakan kutuk Mosa Fo'a,
seluruh anggota suku Rendu di Redu Wawo menderita berbagai jenis
penyakit dan banyak yang meninggal dunia. Untuk menarik kembali kutukan
dan sumpah serapah Mosa Fo’a atas kutukannya, maka anggota suku Rendu
datang ke Wolo Witu Ze'e meminta Mosa Fo'a datang ke Redu Wawo untuk
menyembuhkan para anggota sukunya. Setelah semua anggota suku Rendu
kembali sembuh, maka seluruh anggota suku Rendu, Isa dan Gaja
meninggalkan Redu Wawo mengikuti Mosa Fo'a di Wolo Witu Ze'e dan
mereka membangun perkampungan yang kemudian diberi nama Reduola. Di
kampung inilah suku Rendu, Isa dan Gaja membangun perkampungan.
Sekarang perkampungan adat suku atau bhisu Rendu masih ada di Renduola.
Di kampung Renduola inilah masih berdiri tegak Peo suku Rendu yang
terbuat dari teras kayu rebu (atu kaju rebu). Peo suku Rendu ini diberi nama
Jawa Mara, oleh karena kayunya di potong di Boa Mara. (Wawancara dengan
bapak Bernadus Bhia Wea 5 JAgustus 1984); sedangkan perkampungan adat
suku atau bhisu Isa dan suku atau bhisu Gaja sudah tidak ada lagi karena
telah pindah seluruhnya ke perkampunganperkampungan lainnya di wilayah
Rendu.
4.2.7 Perjalanan dari Reduola ke Wololuba

42
Diceritakan oleh para informan bahwa ketika menetap di Reduola
(Renduola) Jogo Sela mengikuti kerbaunya yang turun mencari rumput di
padang sesudah kampung Reduola (Renduola).
Setelah mencari kerbau di padang-padang sesudah Renduola
(Renduola) Jogo Sela menemukan kawanan kerbaunya berteduh dan
mermput di sebuah bukit yang sejuk yang kemudian dikenal dengan nama
Wolo Luba. Selanjutnya di bukit Wolo Luba inilah Jogo Sela membangun
perkampungan bersama-sama para pengikut dan anggota keluarganya.
4.2.8 Perjalanan dari Wololuba ke Boakupe
Sementara berkampung di Wololuba, Jogo Sela mengikuti kerbauya
yang turun mencari rumput di Kida. Di tempat Jogo Sela menggembalakan
kerbaunya itu, ia membangun lagi rumah, kemudian tempat tu dinamakanya
Bo'a Kupe. Di kampung Bo'a Kupe ini pula Jogo Sela membangun lagi
kandang kerbaunya.
Selanjutnya, Jogo Sela mendiami rumah barunya di Bo'a Kupe itu.
Orang-orang dari Wololuba menyusul Jogo Sela membangun run
menyusul Jogo Sela membangun rumah di Bo'a Kupe sehingga
terbentuklah sebuah kampung bru.
4.2.9 Perjalanan dari Boakupe ke Boamara
Sementara berkampung di Bo'a Kupe, Jogo Sela mengikuti kerbauya
yang turun minum air di Tiwu Lewa di sebelah bawah Lari sekarang ini. Di
tempat Jogo Sela menggembalakan kerbaunya itu, ia membangun lagi rumah,
kemudian tempat tu dinamakanya Bo'a Mara. Untuk menghubungkan
kampungnya di Boakupe dan rumah barunya di Bo’a Mara yang baru
dibangunnya, Jogo Sela mengerjakan tangga (tangi) di sebelah atas kampung
Bo’a Mara. Di kampung Bo’a Mara ini pula Jogo Sela membangun lagi
kandang kerbaunya.
Selanjutnya, Jogo Sela mendiami rumah barunya di Bo’a Mara itu.
Orang-orang Bo’a Kupe menyusul Jogo Sela membangun rumah di Bo’a
Mara sehingga terbentuklah sebuah kampung seperti yang ada himgga
sekarang ini.
4.2.10 Perjalanan dari Bo'a Mara ke Tutubhada
Setelah terjadi peristiwa pengusiran orang Rawe dari Agi, Jogo Sela
kembali ke kampungnya di Bo’a Mara, untuk makan minum perpisahan
dengan orang Goa yang mau kembali ke kampung halamannya. Jogo Sela
pergi menghantar orang Goa sampai di Wua Lari lalu menyeberangi sungai
Aesesa kemudian menyusurinya, lalu berhenti di pinggir sungai, tempat lalu
diberi nama Napu Goa sampai sekarang. Sementara berhenti di Napu Goa,
orang Goa bertanya kepada Jogo Sela, di atas itu bukit apa? Jogo Sela
menjawab, itu bukit tempat saya menggembalakan kerbau. Di situ ada seekor
kerbau betina yang bagian depannya sampai di tanah (de ke ne'e bhada mətu

43
nga'o da tutu seru zale awu). Tempat itu saya namai Tutubhada. Lalu orang
Goa mengatakan,
"Eja.................... kau rona sa'o zele da ke, kita ata bi, bugu ngawu bi,

Terjemahan kontekstualnya
“Eja ........... kau bangun rumah di sana itu,
manusia berkembang, hewan ternak juga berkembang.
Lalu Jogo Sela menjawab, baik eja, kalau saya mau bangun rumah
di situ, nanti saya undang kamu untuk membangunnya. Lalu orang Goa
mengatakan, kalau ame Jogo Sela mau undang 19 kami, kami mau datang
membangun rumah ame Jogo Sela di situ. Kemudian Jogo Sela berpesan,
tahun depan kamu datang membangun rumah saya di bukit itu. Dan, kalau
kamu datang, silahkasn kamu datang langsung ke pondok saya di kebun itu.
Lalu orang Goa berangkat dan Jogo Sela kembali ke pondoknya di kebun.
Malam harinya Jogo Sela memberitahukan kepada orang-orangnya di
kampung Bo'a Mara bahwa tahun depan orang Goa mau datang membangun
orang Goa mau datang membangun rumah di Tutubhada. Dikatakannya lebih
lanjut bahwa kita harus membangun befak (rumah darurat) di Tutubhada.
Tepat pada waktu yang dijanjikan itu, orang Goa datang langsung menuju
pondoknya, lalu Jogo Sela menghantar mereka ke Tutubhada dan tinggal di
befak yang sudah dibangun. Selanjutnya, orang Goa membangun rumah
untuk Jogo Sela dengan bahan yang terbuat dari batang lontar (lo koli) dan
atapnya juga dari belahan batang lontar (bhici koli). Sesudah membangun
rumah untuk Jogo Sela itu orang Goa kembali ke kampung halamannya,
tetapi Jogo Sela berpesan bulan depan kamu datang lagi karena kita mau buat
upacara para sa'o. Sebulan kemudian, tepat pada waktu yang dijanjikan orang
Goa datang dengan membawa perkakas rumah untuk Jogo Sela lalu mereka
mengikuti upacara pura sa'o. Rumah Jogo Sela yang dibangun oleh orang
Goa dikenal dengan sebutan:
Sa'o ngaza “Ji Fao", ghubu ngaza Mango Dadho, tangi ngaza Goa Rona, teda
ngaza Modhe Mema, padha ngaza Jawa Lata, ture ngaza Nenu Nia, wəwa
ngaza Piga Sina.
Terjemahan kontekstualnya
Rumah diberi nama Ji Fao bubungan diberi nama “Mango Dadho”, tangga
diberi nama “Goa Rona”, bale-bale besar diberi nama “Modhe Mema”, bale-
bale kecil diberi nama “Jawa Lata", tumpukan batu depan diberi nama “Nenu
Nia”, Halaman depan diberi nama “Piga Sina".
Sesudah upacara para sa'o orang Goa kembali ke kampung halamannya, dan
Jogo Sela mendiami rumah barunya di Tutubhada itu. Orang-orang Bo’a
Mara menyusul Jogo Sela membangun rumah di Tutubhada sehingga
terbentuklah sebuah kampung besar seperti yang ada hingga sekarang ini.
4.3 Sejarah Asal Suku Mala Wawo (belum ada data)

44
BAB V
PEPERANGAN DAN PEROLEHAN TANAH DALAM MASYARAKAT
RENDU
5.1 Peperangan yang Pernah Terjadi dalam Masyarakat Rendu
5.1.1 Perang Pu’u Tolo Masa Koli Sepe Teda dan Jawa mara dari
Wolowea Melawan Pesa Tei dan Langa Wea dari Lambo
Peperangan yang pernah terjadi dalam Masyarakat Rendu dan suku-
suku di Rendu sesungguhnya disebabkan oleh suatu persoalan atau adanya
pu'u tolo , baik persoalan atau pu'u tolo antara sukku Rendu dengan suku lain
sekitarnya maupun pu'u tolo atau persoalan antara suku-suku lainnya di luar
yang meminnta suku Rendu membantu mereka.
5.1.1 Perang Pu’u Tolo Masa Koli Sepe Teda dan Jawa mara dari
Wolowea Melawan Pesa Tei dan Langa Wea dari Lambo

Dalam perjalanan mencari anggota kelompohnya yang terpisah sejak di Boa


Redlu ke arah daerah Selatan, Mosa Fo'a dan Tuza Gugu tiba pada sebuah
kampung yang kemudian dikenal dengan nama kampung Wolowea. Dalam
suasana perkenalan setengah akrab, Sepe Teda dan Jawa Mara menanyakan
kepada Mosa Fo'a dan Tuza Gugu dalam bahasa daerah yang berbunyi:
“Eja, miu bani go mona” “Eja, kamu berani atau tidak,
Lalu Mosa Fo'a dan Tuza Gugu menjawab:
“Bani go ai, mona go ai, napa tei de leza toli ,
Terjemahan kontekstual:
mungkin berani, mungkin tidak, nanti lihatlah saja pada waktuya'.
Kemudian Sepe Teda dan Jawa mara melanjutkan lagi "
Kami mo'o ti'i ziwi pati dasi, Kami mo'o keu bani
Terjemahan kontekstual: Kami hendak memberi sedikit informasi, bahwa
kami hendak meminta bala bantuan Lalu Mosa Fo'a dan Tuza Gugu
menjawab:
'Kami mo solo, riki be'o-be'o bale pengo,
kami mo ngasi, riki ghepa mebu ngesa, taku riki jepu'
Terjemahan kontekstual:
Kami mau omong takut nanti salah, Kami mau bicara, nanti sejengkal
menjadi sedepa, takut nanti tidak dapat dipercaya.
Selanjutnya Sepe Teda dan Jawa Mara menceritakan perihal "pu’u
tolo“masa koli (barter moke dengan jagung) dengan suku Lambo.
Diceritakan lebih lanjut oleh Sepe Teda dan Jawa Mara bahwa pesuruh dari
Sepe Teda dan Jawa Mara (suku Wolowea) membawa jagung berbatang
desar mau ditukar (barter) dengan moke pada warga suku Lambo.

Setiap pagi pesuruh Sepe Teda dan Jawa Mara datang minta moke
dengan bayaran (musa) berupa jagung yang berbatang besar, tetapi orang

45
Lambo selalu memberikan : “koli ae olo" artinya moke hasil irisan hari
kemarin yang sudah tidak enak diminum“ kepada para pesuruh Sepe Teda
dan Jawa Mara. Akibatnya, timbullah amarah Sepe Teda dan Jawa Mara.
Untuk membalas tindakan orang Lambo yang memperlakukan pesuruh Sepe
Teda dan Jawa Mara seperti diutarakan di atas, maka terjadilah peperangan
antara suku Wolowea melawan suku Lambo.
Dalam peperangan itu banyak warga suku Wolowea yang mati
terbunuh. Untuk menambah kekuatan, maka Sepe Teda dan Jawa Mara
meminta bantuan Mosa Fo'a dan Tuza Gugu. Dalam kesepakatan meminta
bantuan itu, maka dibuatlah perjanjian antara Mosa Fo'a dan Tuza Gugu
untuk membantu Sepe Teda dan Jawa Mara dalam peperangan melawan suku
Lambo yang dipimpin oleh Pesa Tei dan Langa Wea. Mendengar cerita
tentang "pu'u tolo" masa koli (barter jagung dengan moke), maka tawaran
Sepe Teda dan Jawa Mara diterima oleh Mosa Fo'a dan Tuza Gugu.
Dibuatlah perjanjian oleh Sepe Teda dan Jawa Mara sebagai berikut,
tujuh hari lagi kamu (Mosa Fo'a dan Tuza Gugu)datang membantu kami
berperang melawan orang Lambo. Lalu Mosa Fo'a dan Tuza Gugu menjawab
baiklah, tetapi empat hari lagi kamu (Sepe Teda dan Jawa Mara) memotong
kerbau merah lalu kepala bersama tanduknya ditancapkan di Poma Rusa
sebai tanda supaya pada hari itu kami (Mosa Fo'a dan Tuza Gugu bersama
pasukannya) tidak perlu datang lagi untuk bertemu kamu (Sepe Teda dan
Jawa Mara bersama pasukannya); akan tetapi kami tunggu di medan perang.
Mosa Fo’a dan Tuza Gugu berpesan kepada Sepe Teda dan Jawa Mara
bersama pasukannya agar mengikat kepala pasukannya agar mengikat kepala
dengan pucuk daun moke yang masih muda sebagai tanda sahabat supata
tidak terjadi salah bunuh di medan perang, sedangkan pasukan Mosa ugu
menghitamkan seluruh badan dengan perasan air turi (air diperas dari kulit
Fo'a dan Tuza Gugu menghitamkan seluruh badan pohon turi) lalu dicampur
dengan tepung arang api.
Pada hari peperangan yang telah dijanjikan, diatur siasat:
(1) Pagi-pagi pasukan Wolowea menyerang orang Lambo melalui gerbang
masuk lalu berlari kembali mengikuti jalan semula menuju kampunng
Wolowea.
(2) Pasukan Mosa Fo’a dan Tuza Gugu yang sudah dilumuri badannya
dengan arang periuk dan air turi (ae ruma) bersembunyi di pinggir kiri
kanan jalan di tempat yang sudah cukup jauh dari kampung Lambo
yang kemudian dikenal dengan nama sekarang Ghebe Labo (tempat
bersembunyi supaya tidak dilihat oleh orang Lambo.
(3) Pasukan Mosa Fo’a dan Tuza Gugu yang sudah dilumuri badannya
dengan arang api dan airturi mengejar pasukan Pesa Tei dan Langa Wea
(pasukan Lambo) dari belakang lalu membunuh setiap anngota pasukan
yang tidak bertanda dengan ikatan pucuk daun moke muda di kepala

46
karena itu adalah pasukan dari Pesa Tei dan Langa Wea (pasukan
Lambo) bukan anggota pasukan Sepe Teda dan Jawa Mara dari
Wolowea (karena semua anggota pasukan Sepe Teda dan Jawa Mara
sudah bertanda dengan ikatan pucuk daun moke muda di kepala.
Pasukan Pesa Tei dan Langa Wea (pasukan Lambo) banyak yang
terbunuh (yang tersisa atau luput adalah angota pasukan yang keluar
dari jalur jalan lalu sembunyi di hutan).
(4) Pasukan Mosa Fo'a dan Tuza Gugu terus mengikuti pasukan Sepe Teda
dan Jawa Mara
hingga di kampung Wolowea lalu diajak masuk duduk di halaman
rumah Sepe Teda dan Jawa Mara. pasukan Mosa Fo'a dan Tuza Gugu
mencoba untuk melepaskan parang dari tangan mereka namun tidak
bisa karena terlengket kuat dengan darah manusia yang sudah kering.
Lalu Mosa Fo’a dan Tuza Gugu memanggil Sepe Teda dan Jawa Mara
membawa mereka ayam supaya diambil darahnya guna mencairkan
kemmbali darah beku yang telah merekatkan telapak tangan angota
pasukan Mosa Fo'a dan Tuza Gugu dengan seki topo (tangkai parang).
Selanjutnnya, angota pasukan Mosa Fo'a dan Tuza Gugu mencuci
tangan dengan darah ayam lalu mandi dan makan minum persaudaraan.
Selesai makan minum persaudaraan, pasukan Mosa Fo'a dan Tuza
Gugu kembali ke kampung halaman mereka di Wari Ke’o.
5.1.2 Perang Pu’u Tolo Ka Wete dan Pesa Kuza ne'e da Dhawe
5.1.2.1 Orang Rendu Mau Dijadikan Ana Bui (Hamba) Orang Dhawe
Mendengar khabar bahwa Jogo Sela sudah membangun perkampunngan di
Bo'a Kupe dan menggembalakan kerbaunya di dataran Kida, itu artinya Jogo
Sela sudah makin turun ke tanah milik orang Dhawe, maka Dori dan Wegu
mosalaki dari Dhawe marah sekali. and hani Dori dan Wegu memerintahkan
pesuruh mereka untuk menyampaikan pesan warganya sekaligus mengajak
untuk makan udang dan jowawot di Mala Rata (dataran Rata). Adapun isi
pesanan itu ialah sebagai berikut, kepada Jogo Sela dan warganya sekaligus
mengajak untuk makan udang dan jowawot di malarata(dataran rata)Adapun
isi pesanan itu ialah sebagai berikut:
"Dori ne'e Wegu ngasi, wutu mai miu ata Redu dua pegu lau mala Kau mo
pesa kuza ka wete,negha miu siba tau ana bui
Terjemahan kontekstualnya:
"Dori dan Wegu suruh, empat hari lagi kamu orang Rendu turun ke dataran
Rata, kita mau udang dan jowawot, sesudah itu kamu dipenjarakan
(dijadikan hamba orang Dhawe)”.
Menjawab pesanan itu, lalu Jogo Sela mengatakan,
"Molo, kami we'e dua pegu lau” "Ya, kami siap turun ke sana". Malam
harinya, Jogo Sela memanggil warganya berkumpul di depan rumahnya lalu
nyampaikan pesanan dari Dori dan Wegu, mosa laki dari Dhawe, katanya,

47
"Dewe leza, Dori ne'e Wegu da Dhawe watu ana kapo imu mai pera kita.
Dori ne'e Wegu ngasi so wutu mai, kita da Redu dua pegu lau mala Rata, mo
pasa kuza ka wate; negha ke, kita da Redu mo tau ana bui da Dhawe".
Terjemahan kontekstualnya:
Tadi siang, Dori dan Wegu dari Dhawe, suruh anak buahnya datang
menyampaikan pesan, “Dori dan Wegu mengatakan, empat hari lagi, kita
orang Rendu turun ke dataran di kampung Rata mau makan udang dan
jowawot, lalu: kita orang Rendu mau dipenjarakan oleh orang Dhawe
(dijadikan hamba orang Dhawe).
Sesudah meyampaikan pesanan Dori dan Wegu mosa dari mosa laki dari
Dhawe, Jogo Sela bertanya kepada orang Rendu yang hadir,

"Apa kita dua go ma"e? Apakah kita turun ke sana atau janngan?).
Lalu orang Rendu yang hadir serentak menjawab,
"ngaza kau ngasi dua pegu lau, kami dua, ngaza kau ngasi ma'e dua, kami
mona go dua”. Terjemahan kontekstualnya:
Kalau engkau bilang turun, kami turun atau engkau bilang, jangan turun,
kami tidak mau turun. Lalu Jogo Sela menjawab, "kita mo dua pegu lau, kita
mau turun ke sana".
Dijelaskannya lebih lanjut lagi,
"Wutu mai poa, miu da woso dua ulu, Beu Nona ne'e Dhari Aso demu zua
dua repo. Bholo wutu mai poa ke, miu mai weke wa'a dia, mo nga'o pese
tenu wali.
Terjemahan kontekstualnya:
Empat hari lagi, Kamu semua yang lain turun lebih dahulu, Beu Nona dan
Dhari Aso, mereka dua turun kemudian. Tetapi, pagi-pagi empat hari lagi itu,
kamu semua datang terlebih duhulu ke sini, supaya saya titip lagi pesan.
Tiba pada hari keempat, Jogo Sela berpesan lagi pada mereka,
"miu da woso dua ulu. Beu Nona ne'e Dhari Aso demu zua dua repo. Lau,
ngaza demu ti'i ana kuza ne'e wate miu dheo ma'e ka. Ngaza demu kuke mo
ka, miu siba atau talu ne'e demu ngasi so, kami mo ka, bholo kami keze weke
laki Redu, mai pəka go weke, kami w'e ka sama-sama ne'e demu.
Terjemahan kontekstualnya:
Kamu semua yang lain turun lebih dahulu Beu Nona dan Dhari Aso Mereka
dua turun kemudian. di sana, kalau mereka kasih udang dan jowawot, Kamu
jangan dulu makan.
Kalau mereka ajak mau makan, kamu menjawab dengan mengatakan, kami
mau makan, tetapi kami masih tunggu mosa laki dari Rendu datang semua
dulu, Kami baru makan bersama dengan mereka.
Sesudah menyampaikan pesan,

48
"riwu toto woso, siba dua ulu pegu kau mala Rata. Jogo Sela ti'i jara eko zua,
tuba ura zua de Beu Nona ne'e Dhari Aso, negha demu zua siba dua repo.
Leba lau Dhawe, ata da Dhawe siba nasu ana kuza pedhe ne'e wete, boto
negha demu kao nama sidu negha siba tedha nama de nia da Redu. Tedha
negha demu siba kuke, ka sa'i kita Laki Redu. Laki Redu toto woso siba talu,
kami keze Laki Redu da leba ma la'e pəka. Negha demu kuke wali, ka sa'i
kita Laki Redu, bholo Laki Redu toto woso siba talu wali, kami keze Laki
Redu da leba ma la'e pəka. Negha mosa laki da Dhawe, kuke wali jǝka dəka
wutu, bholo demu poto siba da sama. Gəghi Beu Nona ne'e Dhari Aso leba,
saka ne'e jara papa ne'e tuba, Beu Nona ne'e Dhari Aso siba ngale, de Laki
Redu toto woso da leba ulu, ”ke go apa nama de nia miu ke?, demu talu, dia
go ana kuza ne'e wate. Beu Nona ne'e Dhari Aso siba wali, kita zeta Kida,
toko pare jara wudha talo, dia demu ti'i kita ka wai wǝte, solo negha Beu
Nona ne'e Dhari Aso, siba bədhi bhodhu pebe jawa zeta lobo tuba, ata Dhawe
da tei Beu Nona ne'e Dhari Aso, bhodhu pebe jawa zeta de lobo tuba, siba
paru pəka nama ga'e. Negha ke Beu Nona ne'e Dhari Aso siba kuke laki Redu
toto woso. "Walo sa'i kita, demu ke mosa laki ne mona, demu enga kita pesa
kuya za ka wete, bholo ke demu paru bi'a kata pota ite nama ga'e, Negha Laki
Redu foto woso siba walo pegu zeta Bo'a Kupe.
Terjemahan kontekstualnya:
Semua mereka terus turun lebih dahulu ke dataran di kampung Rata. Jogo
Sela memberi kuda dua ekor, dan tombak dua batang kepada Beu Nona
danDhari Aso, sesudah itu mereka dua turun kemudian, Tiba di Dhawe,
orang Dhawe masak udang dan jowawot, sesudah matang mereka cedok ke
wadah dari daun lontar, dan meletakkan semuanya itu di depan orang Rendu.
Sesudah itu, mereka mengajak, marilah kita makan Laki Rendu. mosa laki
Rendu semua menjawab, kami tunggu mosa laki Rendu belum datang
semuanya, sesudah itu mereka ajak lagi, ayo, mari kita mosa laki Rendu,
tetapi mosa laki Rendu serentak menjawab, kami tunggu mosa laki Rendu
belum datang semuanya, seudah itu mosa laki Dhawe ajak lagi sampai empat
kali, tetapi mereka selalu menjawabyang sama. Tiba-tiba datanglah Beu
Nona dan Dhari Aso, tunggang dengan kuda dan membawa dengan tombak,
Beu Nona dan Dhari Aso terus bertanya, pada semua mosa laki Rendu yang
datang lebih dahulu, itu apa yang ada di depan kamu itu?, mereka menjawab,
ini udang dan jowawot. Beu Nona dan Dhari Aso berkata lagi, kita di Kida
(nama dataran di Rendu) batang padi di sana kuda tidak bisa tembus, di sini
mereka kasih makan kita pakai jowawot, selesai berbicara, Beu Nona dan
Dhari Aso, terus lompat duduk teratai di atas ujung tombak, orang Dhawe
yang melihat Beu Nona dan Dhari Aso, duduk teratai di atas ujung tombak,
terus lari semuanya. Sesudah itu Beu Nona dan Dhari Aso terus mengajak
mosa laki Rendu semuanya, Pulanglah sudah kita, mereka itu mosa lakinya
sudah tidak ada, mereka panggil kita makan udang dan jowawot, tetapi

49
mereka lari tunggang satu per satu, sesudah itu semua mosa laki Rendu terus
kembali ke kampung di Bo'a Kupe.
5.1.2.2 Orang Dhawe Meminta Bantuan Orang Goa untuk Melawan
Orang Rendu
Orang Dhawe Meminta Bantuan Orang Goa untuk Membalas Rasa
Malu Atas Kepatriotan Beu Nona dan Dhari Aso
Merasa keamanam diri dan warganya terancam, sesampainya di
Bo'a Kupe Jogo Sela memanggil semua warganya untuk membangun pagar
kelilinng kampung lalu digantunng dengan duri-duri untuk mengantispasi
kalau-kalau orang Dhawe datang menyeranng mereka di kampung bo'a Kupe.
Selanjutnya mereka ikat dengan kerbau betina merah yang terkennal galak
nya lalu dipasung (kogo) di depan pintu gerbang masuk kampung, dipotong
batang buluh lalu dibuat bambu runcing (saba wulu), digali dengan ubi suza,
lalu disimpan bersama bambu runcing, ditangkap dengan tabuan merah lalu
dipelihara dalam ruas bambu.
Berselang cukup lama setelah peristiwa memalukan orang Dhawe
karena Beu Nona dan Dhari Aso duduk teratai (bhodhu pebe jawa) di ujung
tombak, lalu orang Dhawe ingin membalas kepatriotan Beu Nona dan Dhari
Aso dengan meminta bantuan orang Goa membakar kampung Jogo Sela di
Bo’a Kupe.
Pada suatu hari orang Goa dihantar oleh orang Dhawe ke Rendu
untuk membakar kampung Bo'a Kupe. Orang Goa dihantar oleh orang
Dhawe ke Rendu lalu membangun markas sementara di Wolo Padu Goa.
Sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Padu Goa. Pagi hari
berikutnya orang Goa pergi memeriksa kampung Bo’a Kupe untuk dibakar.
Orang Goa menemukan bahwa kampung Bo’a Kupe itu sulit dimasuki dari
berbagai arah karena letaknya di bibir jurang, sedangkan pada bagian yang
berjurang penuh dengan duri-duri kayu yang berbahaya. Satu solusi yang
ditemukan untuk dapat membakar kampung Bo’a Kupe ialah merencanakan
untuk memotong pohon randu (lo boa) di depan pintu gerbang masuk (ulu
bo'а) lalu berjalan di atas pohon randu itu untuk membakar kampung Bo'a
Kupe. Maka mulailah aksi memotong pohon randu itu.
Hari pertama:
Aksi memotong pohon itu dimulai dari pagi hingga sore hari. Pohon
randu itu belum bisa tunbang. Lalu mereka pulang ke markas di Wolo Padu
Goa.
Hari kedua:
Mereka mau datang mau potong lagi, ternyata pohon randu itu sudah utuh
kembali seperti yang pernah dipotong dengan paranng. Aksi memotong
pohon randu itu di mulai lagi dari pagi hingga sore hari. pohon randu itu
belum juga tumbang. Lalu mereka pulang ke markas di Wolo goa
Hari tiga:

50
Mereka datang potong lagi, ternyata pohon randu itu sudah utuh kembali lagi
seperti yang tidak pernah dipotong dengan parang, Aksi memotong pohon
randu itu dimulai lagi dari pagi hingga sore hari. Pohon randu itu belum juga
tumbang. Lalu mereka pulang ke markas di Wolo Padu Goa.
Hari keempat:
Mereka datang mau potong lagi, ternyata pohon randu itu sudah utuh kembali
lagi seperti yang tidak pernah dipotong dengan parang. Aksi memotong
pohon randu itu dimulai lagi dari pagi menjelang, siang mereka kehabisan
air minum, lalu mereka memanggil Jogo Sela, Beu nona Dhari Aso minta
air. Jogo Sela, Beu Nona dan Dhari Aso meniawab, "ae, ata da kai sao ma
na walo" artinya: air, orang yang pergi timba belum pulang.. Karena tidak
bisa tahan haus orang panggil lagi Jogo Sela, Beu Nona dan Dhari Aso, "Eja
pati kami ae" " artinya: eja, beri kami air. Mendengar panggilan orang Goa
itu, lalu Jogo Sela, Beu Nona dan Dhari Aso menjawab, "ae taso dia mai”
artinya: air datang dari sini.
Sesudah menjawab begitu, Jogo Sela, Beu Nona dan Dhari Aso
ambil ubi suza bakar, buka gerbang kampung, buka pasungan kerbau (kogo
bhada), lempar kerbau betina merah yang baru dilepaskan dari pasungannya
(kogonya) dengan ubi suza, tikam kerbau betina merah itu dengan bambu
runcing (saba wulu) lalu Jogo Sela mengucapkan mantera (pasi tai),

"bani mətu toro, kobho-kobho ana Goa da laka ne kowo".

Terjemahan kontekstualnya:

"Galaklah engkau, hai betina merah, semua mejik kekebalan orang Goa
tawarlah sudah”.
Kerbau betina merah itu dilepaskan lalu kerbau itu lari mengejar
orang Goa, ditanduknya hingga ada yang mati. Yang lain lari menyelamatkan
diri dengan memanjat pohon kayu. Melihat orang Goa memanjat pohon kayu
karena takut kerbau, Jogo Sela, Beu Nona dan Dhari Aso melepaskan lagi
tabuan merah dari dalam bambu. Kawanan tabuan merah itu terbang mencari
orang Goa di pohon-pohon kayu lalu menyengat mereka sehingga ada yang
jatuh pohon kayu lalu mati karena ditanduk kerbau betina merah yang super
galak. Kawanan orang Goa yang terus dikejar kerbau betina merah itu sampai
di (dhu lau ripo), lalu tempat itu sampai Tora Tu. Sisa kawanan yang selamat
terus berlari turun hingga di air seterusnya berlari menuju Dhawe.
Jogo Sela, beu Nona dan Dhari Aso mengikuti terus orang Goa
dari belakang hingga di pusu Manu. Pasukan Jogo Sela, Beu Nona dan
Dhari Aso berhenti di Pusu Manu, lalu mereka, "Gase laja ngata (tanam kayu
mentah atau kayu hidup), seperti dalam kutipan berikut ini.

51
pu’u de Lowo Ae Mau, nonu Lowo Keo, nai Lia Lewa, nuka cadha
Laba, Ghole Ae Ze'a, dua zili Watu Toro, nonu Lowo Aesesa, dhu Simo
Wea, nuka Tu Dhanga, Lia Boka, Dhozo Nunungongo, Dhozo Jawakisa,
Pede, Dhozo Tiwa Kune, pegu lau dhozo, nuka dheko Lowo Co'o, Sabi
Ghede, Nara Lewa, Tana Toro, Koga Waru, Watu Bhaga, Nəte Segho, soru
Lowo Wasa, dhu Ae Mau, dhu walo lau Pusu Manu”.
Terjemahan kontekstualnya:
dari Sungai Ae Mau, menyusuri Kali Mati Keo, naik Lia Lewa, Cadha Laba,
turun Ae Ze'a, turun Watu Toro, menyusuri Sungai Aesesa, sampai di Simo
Wea, naik Tu Dhanga, Lia Boka, Dhozo Nunungongo, Dhozo Jawakisa,
Pede, Dhozo Tiwa, Kune, terus ke pinggir jurang di Kune, naik melalui Lowo
Co'o (Kali Mati), Sabi Ghede, Nara Lewa, Tana Toro, Koga Waru, Watu
Bhaga, Nəte Segho, Turun Lowo Wasa, sampai di Ae Mau, bertemu kembali
di Pusu Manu”.
5.1.2.3 Perang Pu’u Tolo Jara "Gelu Wula, Mətu Gati go Jogo Sela” ne'e
da Rawe
Ketika berkampung di Bo’a Mara Jogo Sela memelihara dua ekor
kuda, kuda jantan bernama Gelu Wula dan kuda betina namanya Metu Gati.
Waktu itu Jogo Sela bertetangga dengan Dasi Gone dan Nuwa Ceme dari
Rawe yang membuka kebun di Agi yang bersebelahan dengan Lia Boka.
Kuda Jogo Sela yang bernama Gelu Wula dan Metu Gati pada siang hari
diikat dengan tali tetapi pada malam hari talinya dilepaskan sehingga
kudanya itu berkeliaran tanpa tali. Karena berkeliaran tanpa tali, maka
kudanya yang bernama Gelu Wula dan Metu Gati pada malam hari selalu
masuk kebunnya Dasi Gone dan Nuwa Ceme dari Rawe. Tidak tahan dengan
keadaan hasil kebunnya selalu dirusakkan oleh Gelu Wula dan Metu Gati
(kuda peliharaan Jogo Sela), maka Dasi Gone dan Nuwa Ceme
menyampaikan perihal kerusakan hasil kebun kepada Jogo Sela. Menanggapi
penyampaian Dasi Gone dan Nuwa Ceme, Jogo Sela setiap hari mengikat
kembali kudanya dengan tali, namun malam hari dilepaskan berkeliaran
kembali sehingga merusak lagi hasil dari kebun Dasi Gone dan Nuwa Ceme
di Agi. Bosan dengan perbuatan Jogo Sela yang melepaskan kudanya di
malam hari sehingga merusak hasil kebun mereka, maka Dasi Gone dan
Nuwa Ceme menikam kudanya jantan dan betina milik Jogo Sela itu lalu
dagingnya dimakan tanpa mempedulikan tuannya. Reaksi selanjutnya, Dasi
Gone dan Nuwa Ceme memanggil (mengumpulkan orang-orangnya hendak
mengusir Jogo Sela dari Bo’a Mara.
Mengetahui bahwa Dasi Gone dan Nuwa Ceme mau mengusirnya,
Jogo Sela mengumpulkan orang-orangnya di Bo’a Mara untuk membuat
nujum (tau tibo). Dari pagi sampai sore tibo mona go pawe (belum
menumjukkan tanda-tanda baik). Sementara hati cemas dan galau karena
hasil nujum belum menumjukkan tanda-tanda baik, mereka mendengar suara

52
seorang anak gadis yang menenangkan adik dalam gendongannya dengan
mengatakan,
"Oe-oe azi, ma'e rita-rita, kita mogo go jela ai. Oe-oe azi, ke da bu'a negha
tuga zua ne leo negha laki telu a negha tuga zua ne'e Gelu Wula, da cari
negha ne'e Matu Gati, da sa riwa dhadhi sa ai".
Terjemahan kontekstualnya:
"Oe-oe adik, Jangan menangis lagi, kita ini hidup atau mati". Oe-oe azi, Itu
sudah patah terbagi dua dengan kuda Gelu Wula, Terbelit tiga bagian, dan
terbelah dua dengan kuda Mətu Gati, yang setahun lahir sekali”.
Mendengar syair adat yang dilantunkan oleh anak gadis itu, lalu
orang yang berkur pul itu meminta anak gadis itu melantunkan sekali lagi
syairnya. Atas permintaan orang banyak itu anak gadis itu melantunkan
sekali lagi syairnya, ,
"Oe-oe azi, ma'e rita-rita, kita mogo go jela ai. Oe oe, azi, ke da bu'a negha
tuga zua ne'e Gelu Wula, leo negha laki talu da cari negha ne'e Matu Gati, ·
da sa riwa dhadhi sa ai”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Oe-oe adik, Jangan menangis lagi , kita ini hidup atau mati”.
Oe-oe azi, Itu sudah patah terbagi dua dengan kuda Gelu Wula, Terbelit tiga
bagian, dan terbelah dua dengan kuda Mətu Gati, yang setahun lahir
sekali”.
Lalu orang banyak itu melakukan pasi tai wali tibo a'i sesuai dengan
isi syaair anak gadis itu. Hasilnya menunjukkan tanda-tanda baik
(menguntungkan).
sore harinya mereka bubar. Pagi hari berikutnya Jogo Sela pergi
menggembalakan kerbaunya

di pinggir sungai Aesesa sampai di Tui Botu Wawo Eko Rae. Jogo Sela
istirahat berteduh di bawah pohon asam. Menjelang petang Jogo Sela melihat
dari arah utara datang orang asing tujuh orang

Setelah dekat, Jogo Sela menegur orang asing itu sambil bertanya,
kamu orang apa? Lalu orang asing menjawab,

"Miu ata apa”?


"Kami orang Goa”? Jogo Sela bertanya lagi,
"Miu o kai de apa"?
"Kamu mau pergi ke mana? Lalu dijawab oleh orang Goa,
”Kami mo kai zeta Rawe”!
"Kami mau pergi ke Rawe”! Lalu Jogo Sela bertanya lagi,

53
”Miu mo kai tau apa?”
"Kamu mau pergi buat apa? Lalu dijawab oleh orang Goa,,
"Ata Rawe keu kami, mo wika da Redu”. "Orang Rawe Mengundang kami
untuk mengusir orang Rendu”. Lalu Jogo Sela bermenung sambil berpikir
dan bertanya dalam hati,
"Ata Rawe mo wika da Redu?”.
”Orang Rawe mau mengusir orang Rendu?” Lalu Jogo Sela terus berbasa
basi untuk gebo lelo (untuk mengacaukan pikiran) orang Goa.
Tidak sadar bahwa hari sudah sore, lalu orang Goa berpamitan ingin
berangkat ke Rawe.
Jogo Sela melakukan aksi menahan orang Goa untuk bermalam di
pondoknya. Dikatakannya,
"Ngi ola ne raku, to'o məne lepa keka nga'o, aza poa nga'o we'e tu miu.
Terjemahan kontekstualnya:
"Sekarang hari sudah sore, mari kita tidur di pondok saya, besok pagi saya
baru antar kamu.
menghantarkan orang Goa masuk di pondoknya, Jogo Sela kandang, sesudah
itu pergi ke kampungnya di Bo'a
Lalu orang Goa menerima tawaran Jogo Sela untuk bermalam. Lalu Jogo
Sela berjalan ulu menghalau kerbau kemudian diikuti oleh orang Goa menuju
ke pondoknya. Setelah
coa masuk di pondoknya, Jogo Sela pergi memasukkan kerbaunya ke dalam
pergi ke kampungnya di Bo’a Mara memanggil orang-orangnya untuk datang
ke pondoknya supaya bersama menemani orang Goa. Lalu orang-orang
sekampung datang ke pondoknya membawa dengan beras. Jogo Sela
mengambil babi satu ekor lalu disembelih untuk makan malam bersama
dengan orang Goa. Selesai makan malam Jogo Sela bertanya kepada orang
Goa,
”Da Rawe keu miu mo wika da Redu, ke pu'u tolo go apa?
Terjemahan kontekstualnya: "Oang Rawe minta bantuan untuk mengusir
orang Redu, itu pokok masalahnya apa?
Lalu orang Goa menjawab,
”Pu’u tolo go, jara da tama uma. Pokok masalahnya, kuda masuk kebun”.
Lalu Jogo Sela bertanya lagi,
”Demu ti'i miu go apa?,

54
"Mereka kasih kamu apa? Orang Goa menjawab,
"Demu ti'i kami ro'o ga’e lima". "Mereka kasih kami hamba lima orang".
Lalu Jogu Sela mengatakan,
"Nga'o keu miu mo wika ata”.” Nga'o ti'i miu ro'o ga'e lima zua”. "Saya mau
undang kamu untuk mengusir orang juga". "Saya kasih kamu hamba tujuh
orang”.
Lalu orang Goa menjawab,
”Kau keu kami mo wika ata apa? "Kau undang kami mau usir orang apa?
Jogo Sela menjawab,
"Nga'o keu miu mo wika ata Rawe". "Saya undang kamu mau usir orang
Rawe.
Lalu Orang Goa menjawab,
"Ame Jogo Sela kami ngi da Rawe keu mo wika da Redul,
Bhila ba kau keu wali kami mo wika ata Rawe?, ke talo ame Jogo Sela. Kami
ngala wika ata bholo ngusa da ne'e go pu'u tolo. Ngaza pu’u tolo mona ke
talo.
Terjemahan kontekstualnya:
"BapakAme Jogo Sela, kami ini, orang Rawe undang mau usir orang Rendu!,
bagaiman kau undang lagi kami mau usir orang Rawe?, itu tidak bisa bapak
Jogo Sela. kami bisa usir orang tetapi harus ada pokok masalah, kalau tidak
ada pokok masalah itu tidak bisa.
Lalu Jogo Sela menjawab lagi,
"Nga'o keu miu, uzu ma ne'e go pu'u tolo. Saya undang kamu,. karena ada
pokok masalah
Lalu orang Goa bertanya,
”Pu'u tolo go apa? Pokok masalahnya apa?
Jogo Sela menjawab,
”Dasi Gone ne'e Nuwa Ceme da Rawe ke, Sega jara nga'o eko zua, Mosa ne'e
da metu, da mosa, ngaza Gelu Wula, da metu ngaza Metu Gati”.
Terjemahan kontekstualnya:
”Dasi Gone dan Nuwa Ceme dari Rawe itu, tikam kuda saya dua ekor, jantan
dan betina, yang jantan bernama Gelu Wula, yang betina bernama Metu
Gati”.
Lalu orang Goa menjawab lagi,

55
"Ngaza ne'e go pu’u tolo bhila ke kami ngala”. kalau ada pokok masalah itu
kami bisa.
Sesudah orang Goa mengatakan mau membantu, Jogo sela lanjut berbicara
"Eza poa kita to'o mo wika da Rawe”, "besok kita pergi usir orang Rawe”,
tetapi orang Goa menjawab lagi,
” Eza poa kami zeke weke, Napa zua mai, kita we'e to'o wika da Rawe”.
Terjemahan kontekstualnya:
"besok kami istirahat dulu, Nanti lusa, kita baru pergi usir orang Rawe".
Tapi orang goa menjawab lagi,
Eza poa kami zeke weke napa zua mai, kita we’e to’o wika da rawe
Terjemahan kontekstualnya;
Besok kami istrahat dulu, nanti lusa, kita baru pergi usir orang rawe”.
Tiba pada hari yang dijanjikan, Jogo Sela menjamu orang Goa makan
minum. Sesudah makan, orang Goa memanggil Jogo Sela lalu
memberitahukan agar menyuruh anak-anaknya memotong dua batang pohon
kesambi untuk dibawa kepada orang Goa.
Lalu orang Goa membakar batang pohon kesambi itu pada salah
satu ujungnya, kemudian batang kesambi yang sudah ada bara api itu
diikatkan pada kaki dua ekor burung merpati. Lalu burung merpati itu
dikeluarkan dari dalam kandang (sangkar) lalu diusir ke arah pondok-pondok
dan rumah-rumah orang Rawe. Di sana burung merpati hinggap di atas atap
pondok-pondok dan rumah-rumah orang Rawe. Maka terjadilah kebakaran
hebat. Kebakaran melanda pondok-pondok dan rumah-rumah orang Rawe
sampai Wolo Koli, Nua Kutu. Melihat pondok-pondok dan rumahrumah
terbakar habis orang Rawe lari meninggalkan Agi, kecuali empat orang anak
kecil yang tercecer terus ditangkap oleh Jogo Sela dan dibawa pulang ke
Bo’a Mara.
Melihat tidak ada lagi orang Rawe di Agi, lalu Jogo Sela siba "gase laja
ngəta" artinya: terus tanam kayu mentah:
pu'u de Lowo Lapu, Taba Ae Pətu, Ani Teo, Gege, Pede, susi dhozo pegu lau
Jawakisa, Nunungongo, soru Lia Boka, Tu Dhanga, Simo Wea, nonu lowo
Aesesa dhu lau Lowo Lapu".
Terjemahan kontekstualnya:
"Dari Lowo Lapu, Taba Ae Pətu, Ani Teo, Gege, Pede meyusuri bibir jurang
terus sampai di Jawakisa, Nunungongo, turun Lia Boka,Tu Dhanga, Simo
Wea,

56
meyusuri sungai Aesesa sampai di Lowo Lapu".
Selesai gase laja ngəta Jogo Sela dan pasukannya kembali ke kampung me di
Bo'a Mara, Jogo Sela memberitahukan kepda orang-orangnya bahwa ke Goa
akan kembali ke kampung halamannya, tetapi hamba tujuh orang yang and
kepada orang Goa masih kurang tiga orang, yaitu empat orang diambil dari
empat orai yang ditangkap dari Rawe, sedangkan tiga orang lainnya itu mau
diambil dari mana?, Tanya Jogo Sela. Lalu orang-orangnya menjawab,
”ke pedha wai kau”. "Terserah pada engkau”.
Lalu Jogo Sela menyebutkan nama tiga orang anggota masyarakatnya, yan
dan Mara, lalu dihantarkannya mereka tiga orang itu tinggal bersama dengan
empat orang lainnya yang dibawa dari Rawe untuk menggenapi kekurangan
hamba untuk orang Lalu dipesannya,
"Wai co'o, nga'o mai podi ulu miu ga'e lima zua, ne'e wunu koli bhara,
tada mo ti'i da Goa", bholo miu ga'e telu da ngi (Jawa, Tonga, dan
Mara) kepi ne'e lesu, libu zale one roba. Manu kako, miu lo'i wunu koli
bhara, gati podi wai lesu. Kobe tau ka negha, Jogo Sela dheo da ro'o ga'e
lima zua ke pegu zili keka, leba zili keka, imu podi demu ga'e lima zua
ke, ne'e wunu koli bhara, negha siba tu demu ga'e lima zua ke, pegu da
Goa, negha da Goa siba simo paka rimo sa demu”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Sebentar Saya datang ikat kepala kamu tujuh orang, dengan daun lontar
putih, tanda mau beri kepada orang Goa”, tetapi kamu tiga orang ini (Jawa,
Tonga, dan Mara) bawa dengan lensu, sembunyi dalam kain. Ayam
berkokok, kau buka buang daun lontar putih, ganti ikat pakai.
Malam sesudah makan, Jogo Sela menghantar tujuh orang itu ke pondok,
sampai di pondok, dia ikat (Jogo Sela) ikat kepala mereka tujuh orang itu,
dengan daun lontar putih sesudah itu terus menghantar mereka tujuh orang
itu, kepada orang Goa, sesudah itu orang Goa, terus menerima mereka
semuanya”.
Setelah orang Goa menerima tujuh orang hamba itu, Jogo Sela berpesan
kepada mereka,
"miu jaga kəli, məne gǝka, riki demu paru”. Nga'o kai zele bo'a mo təke
dhegha ne'e riwu. Kisa Kobe da Goa dheko moni da təke dhegha zele Bo'a
Mara. Walo demu mene nade ghewo, Manu kako da ga'e talu,lo'i wunu koli
bhara, negha demu siba podi pəka fara wai lesu, negha siba paru. Poa da Goa
bhəlo mona tei ga'e talu, da ma latu peli ga'e wutu. Demu dheko Jogo Sela,
zele Bo’a Mara mo dua pegu zili keka, negha demu toda, "Ame Jogo Sela,
"Ro'o lozi ga'e təlu, latu peli ga’e wutu. Negha Jogo Sela siba solo ne'e demu,

57
Nga'o ngasi miu, "miu jaga kəli mane gǝka, riki demu paru". Miu poto nade.
Ngi nga'o mo tau bhila ba? Ngi demu da paru ke, ne zeu negha. Negha da
Goa talu, da lozi ne tana imu ame Jogo Sela. Kami dheo da ga'e wutu ke.
Negha demu siba ka inu, bhego bheli kai walo".
Terjemahan kontekstualnya:
"Kamu jaga kuat, tidur berjaga-jaga, nanti mereka lari. Saya peri ke
kampung,
mau tandak adat dengan orang banyak. Tengah malam orang Goa ikut
menonton orang tandak adat, di Bo'a Mara, pulang mereka ketiduran. Ayam
berkokok yang tiga orang itu, buka buang daun lontar putih, mereka ikat
ganti dengan lensu, lalu melarikan diri.
Pagi hari orang Goa melihat tiga orang tidak ada lagi, yang tersisa hanya
empat orang. Mereka ikut Jogo Sela, di kampung Bo'a Mara supaya turun ke
pondok, sesudah itu mereka beritahu,”Bapak Jogo Sela, hamba tiga orang
melarikan diri, tersisa hanya empat orang.
Lalu Jogo Sela berkata pada mereka, “saya bilang kamu, kamu harus jaga
kuat, tidur berjaga-jaga, nanti mereka lari, kamu terlalu tidur nyenyak,
sekarang saya mau buat bagaimana? sekarang mereka yang lari itu, sudah
jauh.
Lalu orang Goa menjawab, yang sudah lari itu biarlah saja Bapak Jogo Sela,
kami bawa yang empat orang itu.
Lalu mereka makan minum, dan berpamitan untuk pulang”.
Selesai makan minum perpisahan, Jogo sela pergi menghantar mereka sampai
di Wua Lari
menyebarangiAesesa lalu menyusurinya, kemudian berhenti di pinggir
sungai, tempat ... Goa sampai sekarang. Sementara berhenti di Napu Goa,
orang Goa bertanya Sela di atas itu bukit apa? Itu bukit tempat saya
menggembalakan kerbau. Di situ ada berbau betina yang bagian depannya
sampai di tanah (de ke ne'e bhada mətu nga'o da tutu seru zale awu). Tempat
itu saya namai Tutubhada.
Lalu orang Goa mengatakan,
"Kau rona sa'o zele de ke, kita ata bi, bugu ngawumogha bi,
Terjemahan kontekstualnya:
"Kau bangun rumah di tempat itu, Manusia berkembang biak,
Hewan ternak juga berkembang biak. Lalu Jogo Sela menjawab,
“Ngaza nga'o rona sa'o zele de ke, Nda'o pai miu da rona sa'o nga'o,

58
Terjemahan kontekstualnya:
Kalau saya membangun rumah di tempat itu, saya minta kamu yang
mengerjakan rumah saya.
Lalu orang Goa mengatakan,
"Ngaza ame Jogo Sela mo pai kami, kami mai rona sa'o ame Jogo Sela, zele
de ta ke".
Terjemahan kontekstualnya: “Kalau Bapak Jogo Sela mau minta kami, kami
datang membangun rumah Bapak Jogo Sela, di tempat itu".
Lalu, Jogo Sela berpesan,
“Riwa taso, miu mai rona sa'o nga'o, ngaza miu mai, miu mai ghou zele keka
nga'o
Terjemahan kontekstualnya:
Tahun depan, kamu datang membangun rumah saya, kalau kamu datang,
kamu datang langsung ke pondok saya”.
Lalu orang Goa berangkat dan Jogo Sela kembali ke pondoknya di kebun.
Malam harinya Sela memberitahukan kepada orang-orangnya di kampung
Bo'a Mara bahwa tahun depan
Goa mau datang membangun rumahnya di Tutubhada. Dikatakannya lebih
lanjut bahwa kita mis membangun befak (pondok darurat) di Tutubhada.
Tepat pada waktu yang dijanjikan orang Goa datang langsung menuju
pondoknya, lalu Jogo Sela menghantar mereka ke Tutubhada dan tinggal di
befak yang sudah dibangun. Selanjutnya orang Goa membangun rumah untuk
Jogo Sela dengan bahan yang terbuat dari batang lontar (lo koli) dan atapnya
juga dari belahan batang lontar.
Sesudah membangun rumah Jogo Sela di Tutubhada, orang Goa kembali ke
kampung halamannya, tetapi Jogo Sela berpesan,
Wula taso miu mai wali uzu kita mo'o tau upacara para sa'o".
Terjemahan kontekstualnya:
Bulan depan kamu datang lagi, karena kita mau potong kerbau buat upacara
rumah.
Sebulan kemudian, tepat pada waktu yang dijanjikan orang Goa datang
dengan membawa perkakas rumah untuk Jogo Sela lalu mereka mengikuti
upacara para sa'o. Rumah Jogo Sela yang dibangun oleh orang Goa diberi
nama:

59
Sa'o ngaza Ji Fao, Ghubu ngaza Mango Dadho, Tangi Goa Rona, Teda
Modhe Mema, Padha Jawa Lata, Ture Nenu Nia, Wəwa Piga Sina.
Terjemahan kontekstualnya:
Rumah diberi nama Ji Fao, bubungan diberi nama Mango Dadho,, tangga
diberi nama Goa Rona, bale-bale diberi nama Modhe Mema, pat duduk
santai-santai diberi nama Jawa Lata,
batu di depan rumah diberi nama Nenu Nia, halaman depan diberi nama Piga
Sina.
Sesudah upacara para sa'o orang goa Kembali ke halamannya.
5.1.2.4 Pu'u Tolo " Gega Naga da Lari Sama Seve” di Masa Ladu
Wonga dari Rendu dan Dhoi Bara dari Dhawe
Pada suatu hari Ladu Wonga dari Rendu bersama istri anaknya turun
mencari biji damar di kampung Ola Muzi. Pada hari yang sama juga Dhoi
Bara dari Dhawe bersama istri anaknya naik mencari biji damar di kampung
Ola Muzi. Mereka saling bertemu di kampung Ola Muzi. Sore harinya, Dhoi
Bara bersama istri anaknya kembali ke kampung Dhawe, sedangkan Ladu
Wonga bersama istrinya menginap di Ola Muzi, kecuali anak-anaknya
kembali ke kampung di Tutubhada untuk iris moke dan kasih makan babi.
Pagi harinya baru kembali lagi ke Ola Muzi.
Hari berikutnya, Dhoi Bara dari Dhawe bersama istri anaknya
kembali lagi ke Ola Muzi mengumpulkan biji damar. Tengah hari, Dhoi Bara
melihat ular naga lalu dia memanggil Ladu Wonga katanya,
"Eja Ladu, eja Ladu”.
"Eja Ladu, eja Ladu”. Lalu Ladu Wonga menjawab,
"oe...eja”.
"oe...eja". Lalu Dhoi Bara memanggil lagi katanya,
"mai kita suzu u'u dia." "mari kita makan emuk (tepung jagung) di sini."
Ladu Wonga pasi wali, dengan mengatakan:
"mai kita suzu u'u dia."
”mari kita makan emuk (tepung jagung) di sini.” Ladu Wonga menjawab
lagi,
"nga'o suzu u'u dia".
"Saya makan emuk (tepung jagung) di sini.” Dhoi Bara menjawab lagi,
"ma'e eja, kita ma nabu papa oko, ngaza kau lo'o reta, nga 'o ne lo'o lau, ke
kita ne suzu ngata ko'o".

60
Terjemahan kontekstualnya:
"Jangan eja, mumpung kita bertemu dan berkumpul, kalau engkau jauh di
atas, saya jauh bawah, ing kita » skan emuk (tepung jagung) sendiri-sendiri."
Lalu ladu lionga datang ke tempatnya dhoi bara, mereka berdua makan emuk
minum moke koli bersana-sama
Selesai makan dhoi bara menyatakan,
”Eja, kita to'o bhalo
go apa zili mai.”
Terjemahan kontekstualnya:
”Eja, kita pergi lihat, apa di sana itu.”
Lalu keduanya berangkat bersama-sama. Ladu Wonga melihat ada seekor
ular naga yang ilnya sebesar nyiru.
Lalu Ladu Wonga mengatakan,
"eja kau mona pawe, kau laka tei da pire gore, kau enga wai ne'e nga'o mo
bhəlo". Terjemahan kontekstualnya:
”eja engkau tidak baik, pada halnya engkau melihat sesuatu yang pemali,
engkau panggil lagi dengan saya mau melihat”.
Lalu Dhoi Bara mengatakan,
"ngaza pire,
pire mogha kita zua”.
Terjemahan kontekstualnya:
”Kalau pemali, Pemali kita berdua bersama”.
Selanjutnya, Dhoi Bara meminta Ladu Wonga untuk melakukan pasi tai
(mantra) bahwa kalau ular naga menunjukkan apa pada mereka supaya
mereka tahu.
Lal,u ladu wonga pasi, gengan menyhatakan:
”Rau gega naga da lari kau sama sege, ngaza kau mo pera kami eja zua,
mo te'o wedo laza ro, mata po, lobo bhoko, kau boka sa'i lari kau.”
Bholo lari imu mona boka.
Terjemahan kontekstualnya:
"Kau ular naga yang jambulmu sebesar nyiru, kau mau tunjuk kami eja-eja
berdua, mau menderita sakit dan penyakit, umur pendek, mati tidak wajar,
kau jatuhkan jambulmu itu, tetapi jambulnya itu tidak jatuh”.

61
Ladu Wonga pasi wali, dengan mengatakan:
”Kau gega naga da lari kau sama sege, ngaza kau mo pera kami eja zua, mo
te'o wedo laza ro,
mata po, lobo bhoko, kau boka sa'i lari kau.” Bholo lari imu mona boka.
Terjemahan kontekstualnya:
"Kau ular naga yang jambulmu sebesar nyiru, kau mau tunjuk kami eja-eja
berdua, mau menderita sakit dan penyakit, umur pendek, mati tidak wajar,
kau jatuhkan jambulmu itu, tetapi jambulnya itu tidak jatuh”. Lalu Ladu
Wonga memberitahukan kepada Dhoi Bara,
Lalu Ladu Wonga memberitahukan kepada Dhoi Bara,
"eja...... pasi wali pesi kau
da ngara tei ulu".
Terjemahan kontekstualnya:
"Eja....... gantian lagi engkau yang pasi,
karena engkau yang lihat lebih dahulu”.
Lalu Dhoi Bara pasi, dengan mengatakan:
"kau gega naga da lari kau sama sege, ngaza kau mo pera kami eja zua ne'e
Ladu Wonga mo su pu’u toke tolo, mo nga’o paka da Dhawe, imu paka da
Redu; mo kami papa kama, kau pera sai mo kami be’o”. lari gega naga siba
boka.
Terjemahan kontekstualnya:
"Kau ular naga yang jambulmu sebesar nyiru, kau mau tunjuk kami eja-eja
berdua dengan Ladu Wonga, mau buat masalah, supaya saya panggil orang
Dhawe, dia panggil orang Rendu, supaya kami berperang, kau tunjukkan
supaya kami tahu, lalu jambulnya itu jatuh”.
Sesudah itu mereka berdua kembali makan sirih pinang dan hisap rokok.
Dhoi Bara memberitahukan kepada Ladu Wonga, ”kita zua laka da mo papa
kama (Kita berdua padahalnya mau berperang".. Dhoi Bara melanjutkan lagi
perkataannya dengan mengatakan,
”Saya Dhoi Dhawe,
“Saya panggil orang Dhawe”. Ladu Wonga menjawab,
”Saya Ladu Redu,
saya panggil orang Rendu”.

62
Lalu mereka berjanji untuk berperang, bahwa tujuh hari lagi bertemu di Ae
Ze'a, dengan mengatakan:
"Ngaza kami da Dhawe keli-keli, Tana kami pu’u kota Segho. Ngaza miu da
Redu keli-keli, Tana miu nge meze pegu lau”.
terjemahan kontekstualnya:
“Kalau kami orang Dhawe kuat dan menang, maka tanah kami dari kota
Segho. Kalau kamu orang Rendu kuat dan menang, maka tanah kamu makin
luas ke bawah;
Sesudah itu mereka kembali ke kampung mereka masing-masing. Ladu
Wonga memuat dengan biji damar kembali ke kampung Tutubhada. Tiba di
Tutubhada ia mengambil laba lewa (gendang panjang) lalu memukulnya
sepanjang pinggir jurang untuk memanggil orang-orang datang berkumpul di
kampung Tutubhada.
Mendengar gendang berbunyi panjang orang-orang Rendu datang berkumpul
di kampung Tutubhada lalu bertanya kepada Ladu Wonga kabar apa yang
ingin kau sampaikan kepada kami sehingga engkau memukul gendang
panjang memanggil kami datang berkumpul di sini. Kata orang-orang banyak
itu,
"sazu da tau gaba da kau li wai laba lewa, ke kami babo ma mona go be'o,
gato ma mona go japo”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Panggil mau buat apa, Sampai engkau membunyikan gendang panjang, Itu
kami belum paham, Itu kami belum mengerti”.
ladu Wonga menjawab,
"nga'o dhego laba lewa, uzu nga'o ne su pu'u, nga'o li laba lewa,
uzu nga'o ne toke tolo”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Saya membunyikan gendang panjang, Karena saya ada masalah, Saya
membunyikan gendang panjang, Karena saya ada perjanjian”.
lalu Ladu Wonga memberitahukan kepada orang banyak itu bahwa,
"nga'o ne'e fai ana nga'o, kami gae li'e padu lau Ola Muzi. Dhoi Bara pu'u lau
da Dhawe mai gae mogha li'e padu lau Ola Muzi, raku imu kai walo; nga'o
siba məne lau Ola Muzi, poa imu mai walo gae li'e padu. Kisa laza imu tei
gega naga da lari sama sege, imu enga nga'o mo mai suzu u’u, nga'o ngasi so
nga'o suzu dia, bholo imu dhəsi enga latu nga'o negha nga'o siba kai, kami
zua suzu u’u inu koli, negha imu ngasi ne nga'o kita to'o bhəlo apa zili mai.

63
Kami kai bhalo, negha kami tei gega naga da lari imu sama sege, nga'o solo
ne imu, kau laka tei mo da pire gore, kau enga wai ne'e nga'o. Imu ngasi so,
"ngaza mo pire, pire mogha kita zua; negha imu ngasi nga'o pasi, nga'o siba
pasi, nga'o pasi bholo lari gega naga ke mona boka, negha pesi imu pasi wali,
"kau gega naga da lari kau sama sege ngaza kau mo pera kami eja zua ne'e
Ladu Wonga mo su pu'u, toke tolo; mo nga'o paka da Dhawe imu paka da
Redu,
"nga'o dhego laba lewa, uzu nga'o ne su pu'u, nga'o li laba lewa,
uzu nga'o ne toke tolo”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Saya membunyikan gendang panjang, Karena saya ada masalah, Saya
membunyikan gendang panjang, Karena saya ada perjanjian”.
alu Ladu Wonga memberitahukan kepada orang banyak itu bahwa, "nga'o
ne'e fai ana nga'o, kami gae li'e padu lau Ola Muzi. Dhoi Bara pu'u lau da
Dhawe mai gae mogha li'e padu lau Ola Muzi, raku imu kai walo; nga'o siba
məne lau Ola Muzi, poa imu mai walo gae li'e padu. Kisa laza imu tei gega
naga da lari sama sege, imu enga nga'o mo mai suzu u’u, nga'o ngasi so nga'o
suzu dia, bholo imu dhəsi enga latu nga'o negha nga'o siba kai, kami zua suzu
u’u inu koli, negha imu ngasi ne nga'o kita to'o bhəlo apa zili mai. Kami kai
bhalo, negha kami tei gega naga da lari imu sama sege, nga'o solo ne imu,
kau laka tei mo da pire gore, kau enga wai ne'e nga'o. Imu ngasi so, "ngaza
mo pire, pire mogha kita zua; negha imu ngasi nga'o pasi, nga'o siba pasi,
nga'o pasi bholo lari gega naga ke mona boka, negha pesi imu pasi wali, "kau
gega naga da lari kau sama sege ngaza kau mo pera kami eja zua ne'e Ladu
Wonga mo su pu'u, toke tolo; mo nga'o paka da Dhawe imu paka da Redu,
mo kami papa kama, kau boka sa'i lari kau”, lari gega naga siba bhoka. Kami
walo dhaka bako, imu siba na'u kobe laza; lima zua mai poa kita tabu ae ze'a,
ngaza kali demu da Dhawe tana demu pu'u wolo zeta kota Segho; ngaza kəli
kita da Redu, tana kita nge lau”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Saya dan istri anak saya, kami cari biji damar di Ola Muzi. Dhoi Bara dari
Dhawe datang juga cari biji damar di Ola Muzi, sore dia kembali, Saya tidur
di Ola Muzi, pagi dia datang kembali mencari biji damar, tengah hari dia
melihat ular naga yang jambulnya sebesar nyiru, dia panggil saya mau makan
emuk, saya bilang saya makan di sini, tetapi dia terus memangg il saya,
akhirnya saya pergi, kami makan emuk minum dengan moke, lalu dia omong
dengan saya, kita pergi lihat apa di sana itu. Kami pergi lihat, di sana kami
lihat ular naga, yang jambulnya sebesar nyiru, saya katakan pada dia, kau
pada halnya lihat sesuatu yang pemali, kau panggil dengan saya, dia

64
mengatakan, "kalau pemali, pemali kita berdua. Lalu dia minta saya pasi,
Saya terus pasi, lalu saya pasi tapi jambulnya tidak mau turun (jatuh), dia
pasi lagi, "kau ular naga yang jambulmu sebesar nyiru, Kalau kau mau tunjuk
kami eja-eja berdua, dengan Ladu Wonga mau buat masalah dan perjanjian,
supaya saya panggil orang Dhawe, dia panggil orang Rendu, supaya kami
berperang,. kau jatuhkan jambulmu itu, jambulnya terus jatuh. Lalu kami
pulang mama sirih, Dia terus buat perjanjian, lima hari lagi, kita bertemu di
Ae Ze'a, kalau kuat mereka orang Dhawe, tanah mereka dari kota Segho,
kalau kita kuat orang Rendu, tanah kita makin luas bawah”.
Lalu orang banyak itu menjawab,
"kami rai kita mo zapa tau weke",
"kami mau kita mau coba dulu, Ladu Redu menjawab lagi kepada orang
banyak itu katanya,
"lima asa mai raku
kita mai oko paka dia". Terjemahan kontekstualnya:
"sore hari lima hari lagi ,
kita datang berkumpul lagi di sini.” Tepat pada waktu yang dijanjikan orang-
orang Rendu datang berkumpul di kampung Tutubhada, pagi hari mereka
turun ke Ae Ze'a lalu mereka berperang. Orang Dhawe tidak bisa menahan
kekuatan orang Rendu mereka lari lalu dikejar oleh orang Rendu sampai di
kampung mereka. Lalu Ladu Redu bersama pasukannya,
"siba gase laja ngəta pu'u Dena Mapa, soru Ae Mau, tangu rusa,
soru Aesesa”.
Terjemahan kontekstualnya:
"terus tanan kayu mentah, dari Dena Mapa, turun Ae Mau, təngu rusa,
turun Aesesa". Sesudah itu orang banyak kembali ke kampung Tutubhada
mereka makan minum merayakan pesta kemenangan lalu buhar Berselang
setahun kemudian Dhoi Dhawe dan ladu Redu berdamai, orang Dhawe
menanggung dua ekor kerbau dan orang Rendu menanggung dua ekor kerbau
juga mereka berdamai dataran Rata di pinggir sungai Aesesa
berbicara untuk berdamai, orang Dhawe me tempat itu disebut dengan nama:
"Sapu raba wawo wa, tana lange Dena Mapa, Təngu Rusa,
pazo aku, papa na mai biasa”.
Terjemahan kontekstualnya:

65
”Akhiri semua masalah di atas tempat ini, batas tanah Dena Mapa, Təngu
Rusa,
garam boleh diambil, pergi datang seperti biasa”.
Sesudah acara perdamaian antara orang Dhawe dengan orang Rendu di
dataran Rata, beberapa lama kemudian terjadi upacara Tau Nuwa
(pengukuhan pendewasaan diri seorang laki-laki) dari Ngada Woga ayah dari
Weo Lelu dan Raga Lelu dari Dhawe.
Lipa Dori istri dari Papu Tei dari Bo'a Siko, pergi menonton orang Dhawe
melaksanakan upacara tandak adat Tau Nuwa dari Ngada Woga ayah dari
Weo Lelu dan Raga Lelu dari Dhawe di kampung Bo’a Wesa. Dalam acara
tandak itu Lipa Dori membuat "ra'o rabhe, sebagai berikut:
”Dhae Dhengi, da solo deghi-deghi, Sue Tawa noto teti; Sapa Raja da ngasi
baga-baga, Bupu sada noto pama, Gone leba da ra'e ne'e da zea mema,
dhodho we'e kadha, kadha we'e bhea".
Terjemahan kontekstualnya:
”Dhae Dhengi, yang bicara bangga-bangga, Sue Tawa yang berjalan kalau
diangkat, Sapa Raja yang omong banyak-banyak, tua renta yang berjalan
kalau disangga, jika datang padi dan beras, turun ke halaman untuk kadha,
kadha lalu bhea”. Lalu Ngada Woda kadha dari dalam rumah, "Kita da
Dhawe, laka da mosa ne mona, laki ne gǝdhe. Kita poto mete wai da Rawe,
da dheo kita pare".
Terjemahan kontekstualnya:
”Kita orang Dhawe, kemosalakian kita sudah hilang. kita hanya
bergantung pada orang Rawe, yang membawa kita padi”.
2) Orang Dhawe Menyerang orang Rendu di Ae Koe
Orang-orang Dhawe merasa malu dengan ra'o rəbhenya Lipa Dori.
Lalu, pada waktu pacara adat Tau Nuwa, mereka berkumpul untuk sepakat
naik ke Rendu ingin membalas rasa malu mereka atas ra'o rabhenya Lipa
Dori. Pada hari yang disepakati, mereka naik menyusuri sungai Aesesa,
menyeberangi Wua Lari, berjalan terus hingga sampai ke Ae Koe. Mereka
menangkap kambing, babi, lalu menyembelih untuk makan minum mereka.
Dheno Sole pergi menyampaikan perihal penangkapan dan
penyembelihan ternak hewan orang Rendu kepada Lepa Dora di Tutubhada.
Katanya:
"Ka'e, da Dhawe zeta Ae Koe bholo wua, mogha rusa, wawi demu ghoro
bhobha wala kose nasu pasa ka go demu”.

66
Terjemahan kontekstualnya:
"Kakak e.......... orang Dhawe berkumpul banyal di Ae Koe, kambing, babi
mereka tarik, mereka sembelih dan makan minum suka-suka”.
Lalu Lepa Dora menyampaikan lagi kepada Dheno Sole, "Molo azi, kau kai
walo sa'i, kau paka riwu eza poa kita dua pegu zale”.
Terjemahan kontekstualnya:
"Baik adik, engkau kembali sekarang ini juga, engkau panggil oranng-orang
banyak, besok kita turun ke bawah (Ae Koe).” Lalu Dheno Sole kembali,
dengan menunggang kuda kemudian pergi memanggil orangorang dari
Rendu Ola, Segho, Wololuba, Keli Kisa, Boaele, Tonga, Tolaja, Bobadoa,
Watulaja, Boamara, Wolowajo, Boasiko, Nagepada, Tutubhada dan Bare.
Lalu pagi hari berikutnya orangorang dari Redu Ola, Segho, Wololuba,
Kelikisa, Tonga, Tolaja, Boaele, singgah dengan orangorang di Jawakisa
turun melalui tangga (tangi) terus ke Ae Koe. Sedangkan orang-orang Bare,
Bobadoa, singgah dengan orang-orang Nunungongo turun melalui Dhozo
Bhaku. Selanjutnya orang-orang Watulaja, Nagepada, dan Tutubhada turun
melalui Lebi Nunu singgah dengan orang-orang di Boasiko, Boamara,
Wolowajo, terus berjalan melalui Lia Boka hingga sampai di Ae Koe terus
berperang melawan orang Dhawe. Seli Talu berkelahi dengan Bao Fe'a. Lalu
Seli Talu membanting Bao Fe'a menindisnya lalu mencabut parang hendak
menyembelih Bao Fe'a
Tetapi Dheno Sole menahan tangan Seli Talu lalu Seli Talu
melepaskan Bao Fe’a lalu Bao Fe'a Lari menyelamatkan diri kemudian
diikuti dengan orang Dhawe lainnya lari tercerai-berai.
Selanjutnya Lepa Dora menyampaikan kepada orang-orang Rendu
bahwa besok pagi semua datang berkumpul lagi di Tutubhada.
3) Insiden Reo Jara di Robo Pu'u
Tiba pada hari yang ditentukan untuk berkumpul kembali di Tutubhada itu
orang Rendu mendapat knabar bahwa orang Dhawe meminta bantuan Mane
Tima Kepala Meze Mbay hendak pergi perkara dengan orang Rendu di
hadapan Raja Nagekeo di Boawae. Lalu, Lepa Dora membagi masa orang
Rendu menjadi dua kelompok, yaitu sebagian tunggu di Dhozo Nage co'o,
semua orang bersenjatakan batu kali. Sedanglan sebagian yang lain
berkumpul di kampung Tutubhada. Orang Dhawe yang hendak pergi perkara
di Boawae itu berlari kuda (reo jara) di Robo Pu’u Bheto. Lalu dari atas,
orang-orang Rendu yang berkumpul di Dhozo Nage co'o, memanggil mereka,

67
“Kalau kamu orang jago datang sudah ke sini, tetapi Mane Tima berbicara
kepada orang-orang Dhawe, kita jangan tunjuk jago, karena orang Rendu
berada di bagian atas, kita bagian bawah, nanti kita mati semua.
Lalu Mane Tima berbicara kepada orang-orang Dhawe:
“Mari kita berangkat saya lebih dahuulu, kamu mengikuti dari belakang dan
tidak usah berbicara apa-apa, cukup saya yang berbicara.
Lalu Mane Tima berjalan di depan, orang-orang Dhawe mengikutinya dari
belakang. Sampai di tempat orang-orang Rendu berkumpul, Mane Tima
berbicara kepada orang banyak itu,
"ama ..., ngaza miu mo tau mata,
tau mata ulu wai nga’o”.
Terjemahan kontekstualnya:
"ama ..., ngaza miu mo tau mata,
tau mata ulu wai nga’o”. Lalu orang-orang Rendu yang banyak berkumpul di
situ menjawab kepada Mane Tima,
"kami ku dia mai,
miu reo pade jara zili robo". Terjemahan kontekstualnya: "kami ku dia mai,
miu reo pade jara zili robo”. Lalu Mane Tima menjawab:
“Jangan percaya mereka itu omong kosong,
mereka mau tunjuk jago.
Lalu Mane Tima berjalan di depan, orang-orang Rendu lainnya
mengikutinya dari belakang sampai di depan rumah Ji Fao di Tutubhada.
Setibanya di Tutubhada Mane Tima turun dari kuda, lalu berdiri di depan
rumah Ji Fao kemudian memanggil Lepa Dora,"eja Lepa ..., eja Lepa ......."
Lalu Lepa Dora menjawab,"kau sai". Mane Tima menjawab,“Nga'o Mane
Tima”. Lalu Lepa Dora menjawab lagi,"Ngaza kau eja Mane Tima,kau mai
dhəka dia ne'e nga’o”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Lepa Dora turun dari rumah dan makan sirih pinang dengan Mane
Tima.
Sementara itu Ameka'e minta kepada orang Dhawe, yaitu kepada ame go
Giwu ne;e Bheja cucu dari Bebi dan Busa supaya:
"reo wali jara de wəwa sa'o go məka Zale Igo, tei ne'e da reo wali jara,
riwu siba ruru ne'e watu".

68
Terjemahan kontekstualnya:
Melihat orang-orang Rendu mengejar dengan batu, lalu Ame Ka'e tepu da
kume jara, lalu meminta supaya orang-orang Rendu yang mengejar dengan
batu untuk mundur. Kemudian Mane Tima berbicara kepada orang-orang
Dhawe, "Kamu lari ke mana
sekarang?
ke atas ada jurang, ke bawah juga jurang, ke sana penuh manusia dengan
bersenjatakan batu, apa kamu tidak takut kita mati
mu tidak takut kita mati sekarang?
Lalu Mane Tima makan sirih pinang dengan Lepa Dora katanya,
eja kita to'o perkara wi'e ma'e papa tau mata".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Lepa Dora menjawab,
"eja to'o miu ulu, kami we dheko”.
Selanjutnya Mane Tima berangkat lebih dulu bersama orang Dhawe ke
Bo’awae sedangkan Lepa Dora menyusul bersama orang Rendu juga ke
Bo’awae untuk perkara di
hadapan Raja Nagekeo. Hari berikutnya mereka perkara di Boawae.
4) Perkara di Hadapan Raja Nagekeo di Bo;awae
Raja Nagekeo pada waktu itu ialah Roga Ngole dan hakim adat (tua) ialah
Sake Be, juru bahasa Opas Taso Pesa.
Di hadapan Raja Nagekeo (Raja Roga Ngole) Lepa Dora menceriterakan
secara saksama wilayah tanah Rendu, sebagai berikut ini:
”Pu’u zeta kota Segho, dhu lau Pusu Manu, Lowo Keo, Lia Lewa, Ae ze'a,
Watu Toro, ke kuku ne bheka, bela ne bu'a, da enga mo pəsa kuza ka wate”
Terjemahan kontekstualnya:
Sedangkan:"Pu’u Pusu Manu, Lowo Keo, Lia Lewa, Ae ze'a, Watu Toro, lau
Dena Mapa, soru Aemau, Təngu Rusa, soru Aesesa,ke kuku ne bheka, bela
ne bu'a, go Dhoi Dhawe da papa kama ne'e Ladu Redu”
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu, Sapa Raja, Papu Rae, dan Ngada Woga dari Dhawe meminta kepda
Raja Roga Ngole agar batas tanah di Utara yang berbatasan dengan tanah
orang Dhawe dpindahkan (ke selatan), yaitu:
"Pusu Manu, Lowo Keo, Lia Lewa, Aeze'a, Watu Toro".

69
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Roga Ngole berkata lagi kepada Lepa Dora,
”Eja .......... kau dheco sa eno tana kau nuka dia, tana kau bai lange mema de
logo bo au ləwu ngata, ngata mo dhodho suka kau mona go ea".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Lepa Dora, menjawab lagi,
"Nga'o mona go e'e da dheco". Lalu, orang Dhawe menjawab lagi,
"Pazo kami ne mona go e'e wali da Redu mo aku".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu, Raja Roga Ngole menjawab,”eja Lepa Dora, eja ne mona ea da dheco
go tana, demu da Dhawe ne tange go pazo, miu da Redu ne ma'e aku”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Lepa Dora menjawab lagi, ”eja Tua Raja, demu tange pazo təna imu
nga'o meze wai tana nga'o, ngaza nga'o la’i pazo, nga'o lobo bhoko mata po.
Eza poa zua mai nga'o bəta wai si'e ma'u, demu da riwu ngaza demu da
Dhawe gone teka demu we'e bata".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Roga Ngole menjawab lagi,
"miu da Redu ne da Dhawe nge'e miu ne walo sa'i, eja Lepa Dora imu ne
supa jaji negha, imu mona go putu gəti, imu ne pire pazo poa wangi dhua miu
da Dhawe teka ke ta Redu toto woso we'e bata, negha da Redu ne'e da Dhawe
siba walo; da Redu pazo ne mona aku".
Terjemahan kontekstualnya:
5.1.2.6 Pu'u Tolo "Ra'o Rəbhe go Goa Uta” da Dhawe 1) Rendu dan
Dhawe Berkelahi dalam Lokasi Tandak (One Loka Teke)
Pada waktu itu ada upacara rido di Ola Dhawe, Sa Daso, Se'e Mawa, Balita
Owa, dan masyarakat Rendu dari Tutubhada, Watulaja, Nagepada pergi
menonton tandak adat uapcara rido itu di Ola Dhawe. Tengah malam Goa
Uta, da ame go Bhela da Dhawe ra'o rəbhe,
"Redu zeta, Bai lau, go li'e mata miu ma tei pau, sala go a'i miu mona go dhu
lau, Redu zeta, Bai lau".
Terjemahan kontekstualnya:
Da Redu bholo pǝde demu boka ra'o biasa, manu kako de ola mo'o dara, Raja
Keo da ka'e go Ghewa Keo da Redu imu ra'o rəbhe,

70
"hea oe..., bhea oe ..., fesa uze, fesa uze enga, pazo oka miu ne me'a leba-
leba, bhea oe..., bhea oe...”.
Terjemahan kontekstualnya:
Orang Dhawe merasa malu dengan ra'o rebhe Goa Uta itu lalu berkelahi
dengan orang Rendu di dalam tempat tandak adat hingga masing-masingnya
mundur lalu bubar dan orang Rendu kembali ke kampung halamannya.
Setelah terjadi insiden perkelahian dalam tandak adat (one loka take)
pada waktu upacara Rido di Ola Dhawe, terjadi lagi perkara di Boawae. Dari
Dhawe datang tokoh-tokoh: Sapa Raja, Ari Bapa, Papu Rae, Kisa Gego, Bao
Fea, dan Dhae Teze. Mosalaki dari Rendu yang datang ialah Sa Daso, Balita
Owa, Se'e Mawa, Rae Wea, sedangkan Tadi Daso bertugas menjaga kuda
mosalaki dari Rendu. Raja Nagekeo di Boawae pada waktu itu dijabat oleh
Yoseph Juwa Dobe Ngole. Pada hari perkara duduklah orang-orang Rendu
dan orang-orang Dhawe di depan kantor raja.
Lalu raja bertanya kepada orang Dhawe, "miu perkara ne'e da Redu da bhia
ba?”. Lalu Sapa Raja dari Dhawe menjawab, ”kami perkara ne'e da Redu,
uzu demu ngasi tana demu pu’u Kota Segho, dhu lau Dena Mapa, Tangu
Rusa. Kami mona go e'e uzu ke tana abu kajo kami da pu'u Kota Segho dhu
lau ae mesi".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole bertanya lagi kepada orang Rendu,
”Bhia ba miu da Redu”. Lalu Balita Owa menjawab, "Təbhe ...... ke pu'u
wunga tana go abu kajo demu da Dhawe, abu kajo kami dhodho pu'u zeta
Redu Ola, demu bo'a de Wololuba, negha dua pegu lau Kida, Bo'a Kupe,
Bo'a go Jogo Sela, Beu Nona, ne Dhari Aso". Ame abu demu da Dhawe Da
ngaza Dori ne'e Wegu watu ana-ana demu mai ngasi Jogo Sela
paka riwu da Redu dua lau Mala Kara mo pasa kuza ka wate, demu solo mo
ti'i butu jaji, mo kami da Redu tau ana bui demu da Dhawe. Ame abu kami da
redu dua, bholo mona jadi pasa kuza ka wate, ame abu kami Beu Nona ne'e
Dhari Aso bədhi de lobo tuba siba bhodhu pebe jawa de lobo tuba. Ame abu
demu da Dhawe tei Beu Nona ne'e Dhari Aso da bhodhu de lobo tuba siba
paru peka, negha ame abu kami siba walo pegu zeta Redu. Negha ke ame abu
demu da Dhawe nuka mo wika da Redu bholo demu taku negha demu siba
kai keu ne ata da Goa mo nuka zeta Kida mo wika da Redu bholo demu wika
talo; ame abu kami kui demu pegu lau laga Pusu Manu, Aesesa, negha demu
siba gase laja ngəta, "pu’u Pusu Manu, Lowo Keo, Lin Lewa, Watu Toro, Ae
Ze'a. Ame ebu demu ke kuku ne bheka, bela ne bu'a. Da wa'a baka lepa
Aesesa ke lange ne da Ana Mange-Mude wa'a zeta lange ne'e da rawe” ke
tabo go Dapa Lewa da Dori ne'e Mite ne'e laki Dhawe keu mo tau kadha

71
wasa bo'a da Ana Mange-Mude mo demu ngala tama tungi. Negha ata da
Ana Mange
pasa ne'e badi gana Dapa Lewa siba mata.
Ke tana kami pu'u Pusu Manu,
Lowo Keo, Lia Lewa, Ae Ze'a, Watu Toro, lau Təngu Rusa, soru Aesesa,
Dena Mapa, soru Ae Mau ke kuku ne bheka, bela ne bu'a go Dhoi Dhawe da
papa lawa ne'e Ladu Redu. Dhoi Bara ne'e Ladu Redu da gae li'e padu lau
Ola Muzi. Dhoi Bara tei gega naga da lari sama sege. Negha imu enga ne'e
ladu Wonga kai bhalo. Negha Dhoi Bara ngasi Ladu Wonga pasi, ngaza kau
gega naga da lari sama sege mo imu pera kita apa, ke kita tau apa, ke lari imu
siba boka. Negha ke Ladu Wonga siba pasi, "kau gega naga da lari kau sama
sege ngaza kau mo pera kami bugu ngawu kami bi, mo kəma uma ka gedho
wai riwu ngasu ke lari kau boka, bholo lari imu mona go boka". Negha ke
Ladu Wonga pasi wali, "kau gega naga da lari sama sege, ngaza kau pera
kami eja zua mo te'o wedo, laza ro, lobo bhoko, mata po", boka sa'i lari kau
bholo lari imu mona go boka". Negha ke Ladu Wonga ngasi Dhoi Bara pasi
wali ngara kau. Lalu Dhoi Bara pasi, kau gega naga da lari sama sege, ngaza
kau pera kami eja zua; mo nga'o paka da Dhawe imu paka da Redu mo kami
papa kama (papa lawa),
boka sa'i lari kau, lari gega naga siba boka". Negha Dhoi Bara siba solo ne'e
Ladu Wonga, "kita zua laka da mo papa kəma (papa lawa), nga'o Dhoi
Dhawe nga'o paka da Dhawe”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu ladu Wonga menjawab,
"nga'o ladu Redu nga'o paka da Redu”. Lalu Dhoi Dhawe menetapkan waktu
peperangan sebagai berikut,
"Lima zua mai poa tabu zeta Ae Ze'a, ngaza keli kami da Dhawe tana kami
pu'u zeta Kota Segho; ngaza keli miu da Redu tana miu nge pegu lau”.
Terjemahan kontekstualnya:
Tiba pada hari yang ditentukan yaitu berlokasi di Ae Ze'a terjadilah
peperangan antara orang Dhawe dan orang Rendu,
"da Dhawe nasi talo siba paru. Da Redu kui demu da Dhawe dhu lau bizi
bo'a. Da Redu siba gase laja ngəta, "pu'u Təngu Rusa, soru Aesesa, Dena
Mapa, soru Ae Mau ke kuku ne bheka bela ne bu'a".
Terjemahan kontekstualnya:
Sesudah mendengarkan penjelasan di atas Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole
berkata kepada

72
orang Dhawe,
"miu ngasi so tana watu abu kajo miu pu'u dia Kota Segho dhu lau ae
masi demu so ea, ke mema təbhe da pu'u wunga
bholo ke ja miu kuku ne bheka, bela ne bu'a ne'e demu da Redu demu
kui miu da Dhawe negha siba gase laja ngəta. Bholo nge'e pu’u de tada
laja ngəta pegu lau tana go ǝbu kajo miu da Dhawe pegu dia tana watu
abu kaju da Redu.”
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole berkata lagi kepada orang Dhawe:
”miu ame Sapa Raja, Papu Rae miu perkara negha ne'e ame Lepa Dora
mema raja ma de ama nga'o, bholo ame Lepa Dora mona go ea, miu siba
tange pazo ame Lepa Dora siba supa jaji, ngaza imu la'i pazo imu lobo
bhoko mata po, negha siba mona go putu gəti miu siba walo, bolo nge'e
miu perkara wali; miu mo dame wi'e bhia ba, apa miu da Dhawe fonga
dame”?
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Sapa Raja menjawab,
"kami rai mo dame bholo lange tana demu bai lau de bizi bo'a kami Kami pai
mo dheco nuka dia Pusu Manu, Lowo Keo, Lia Lewa, Ae Ze'a, Watu Toro”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole bertanya lagi kepada orang Rendu,
"bhia ba miu mo dheco lange tana miu nuka dia, bhia da demu punu”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Balita Owa menjawab,
"kami mona go ele”. Lalu Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole berkata lagi kepada
orang Rendu:
"miu mona go ea bholo nga'o pai miu dheco uzu lange tana miu dhu de bizi
bo'a demu, negha miu siba papa dame”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Balita Owa menjawab lagi kepada Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole,
"kami e'e da mo dheco, bholo ma'e papa kaco wali dhu rebho jaka nawa”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole berkata lagi kepada orang Dhawe:

73
"nge'e walo sa'i miu, lau miu kama befa lau Rata de wawo ae dheko kepala
kampong miu sa zea-sa zea, kepala meze miu noso sa zea opas nga'o ne'e
polisi sa zea rimo zabu kepala meze mai lapor nuka dia mo nga'o ti'i kobe
laza mo dua lau. Anggaran dame da Redu bhada eko lima, da Dhawe bhada
eko lima mogha".
Terjemahan kontekstualnya:
5.2 Sumpah Janji Antara Rendu dan Dhawe pada Tahun 1934
1) Penjemputan Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole di Pede Kune
Tepat pada waktu yang dijanjikan untuk berdamai orang Dhawe naik
menyinggahi orang Rendu di Tutubhada untuk bersama-sama pergi
menjemput raja di Kune. Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole datang bersama
tuan kontroler. Raja singgah di Tutubhada turun di rumah Ji Fao lalu duduk
di kuburan Lepa Dora. Pada waktu itu Uka Sunga kadha:
"bho...,
ame pena, mosa e..., kita papa zua, laki e kita mai bhali Redu ne Dhawe,
nga'o mo keze ine, ine nga'o de Mango Mite, nga'o mo napa ame, ame nga'o
de Laja Bhara, ine gone pea pəka, ine ngasi so mo poa kota kita ne mo poa,
ame da de Laja Bhara da tau mali modhe ne leba zabu, za'i negha papa padhi,
ame ngasi so mo laga rasa kita mo ne laga, Redu ne Dhawe kita ne ana ka'e
abu azi da ulu negha papa pulu eko negha papa pongo da pata ne mona, səzu
ne gadhe, pata kita ne pəka mena pata kita ne zabu zale, ruta ne ma'e sua,
watu ne ma'e wage betu ne ma'e kəwi ka'e. kate ne ma'e nasi azi, bo kita ne
papa oko, leu kita ne papa fara, da ulu teko,eko baro, bho ame wa'e gelu
gase”.
Terjemahan kontekstualnya:
Setelah mendengar kata kadha di atas, Raja Yoseph Juwa Dobe Ngole
berkata lagi:
"ea bhia ke, dəwe miu ma dhəsi keze pau ine ame miu, ine ame da tau pia zi'a
mali modhe miu,nga'o ne podhu ma dia ma nge’e”.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Tanga Wati kadha lagi sebagai berikut:
”bho..., Gamo Paso Wawo, mosa, e..., kita papa zua,
laki e...,kita mai bhali, kita mo keze ine, ine kita da de Mango Mite, kita mo
napa ame, ame kita za'i negha papa padhi, ine ngasi so poa kota, kita mo ne
poa, go meto da relo leko, kita dhero ma'e deko-dheko, jaka laza da zua mai
go falo da gado gumo kita dhara ma'e bai dhadha-dhadha, bho gamo paso
wawo".

74
Terjemahan kontekstualnya:
2) Hari Sumpah Janji Antara Rendu dan Dhawe pada Tahun 1934
Sesudah mendengar kadha dari Tanga Wati, rombongan raja serta para tetua
adat penjemput raja, berangkat menuju Rata. Malam harinya diadakan tandak
adat bersama orang Rendu dan orang Dhawe pagi hari potong kerbau. Selesai
masak, masing-masing kelompok peserta duduk sesuai dengan tempat yang
telah disediakan lalu dilanjutkan dengan acara makan minum bersama. Orang
Rendu duduk satu baris memanjang dan orang Dhawe duduk berbaris
memanjang di sebelah saling berhadapan. Raja, Tua Kontroler, Opas, dan
Polisi duduk pada tempat yang telah disediakan. Demikian juga Kepala Meze
Redu, Pake Aru, Kepala Meze Dhawe, Bebi Poto, dan Kepala Meze Mbay
Mane Tima duduk pada tempat yang telah
in. Begitu juga dengan kelompok guru-guru sekolah, Guru Sekolah Redu,
Paulus
Petrus Ba'i, Guru Sekolah Dhawe. Geradus Jago dan Benyamin Meo juga
duduk pada tempat yang telah disediakan. Para mosa laki Dhawe,
h disediakan. Para mosa laki Dhawe, yaitu: Sapa Raja dan Kisa Gego, begitu
Rendu, yaitu: Sa Daso ne'e Dosa Reso, mereka semua duduk pada tempat
secara khusus. Mereka duduk di tengah, makan dan minum bersama ka
pengambil hati kerbau, hati babi, hati ayam,
disediakan. Begitu juga dengan
juga para mosa laki Rendu, yaitu: Sa Daso nec yang telah disediakan secara
khusus. Mereka duduk papa fara, inu papa neta). Sesuadah makan mereka.
nasi dan moke untuk bersumpah janji Rendu denga
bersumpah janji Rendu dengan Dhawe. Lalu, Sapa Raja pegang dengan
topo, Kisa Gego pegang dengan ura nao, Dosa Reso pegang dengan topo,
dan Sa Daso pegang dengan sudu dan ura nao. Kemudian, Sa Daso dari
Rendu melakukan fedhi dengan mengatakan:
"kami Redu ne'e Dhawe. Kami ka ne papa fara, inu ne papa nata, ka ne
peba pa'a, inu ne sebha siku. Izu ne mona kiu, munu ne mona mengu, ne
mona wali kita kami, kau nga'o. Pata ne mona, sezu ne gedhe, pata kami
ne paka mana, sezu kami ne zabu zale. Kami ulu ne papa pulu, eko ne
papa pongo. Kami ne ana ka'e, abu azi. Ruta ne ma'e sua, watu ne ma'e
wage. Betu ne mona kawi ka'e. kate ke mona nasi azi. Keka re papa tuki,
uma ne papa lange. solo ne nea, ae ngasi ne ma'e. Koba bue ne papa
dawi, wole rolo ne papa so. Ne nea da tau solo-solo. Kami bo negha papa
oko,

75
leu negha papa fara, da ulu teko, eko baro, dhu rebho, jaka nəwa, pebe
abu na'a ana, dhu tana li'e, watu wonga. Kami ke pata ne mona.
Ngaza kami da Redu, izu ulu kiu, mumu ulu mengu, kami ulu kita kami,
kau nga'o. Ruta kami ulu sua, watu ulu kami ulu wage. Betu kami ulu
kəwi ka'e, kate kami ulu nasi azi. Kami ke topo poro foko, sudu zote ate,
nao tusu WUWU, tua lepu simo, manu tatu ate, pare wujo wuwu. Moso
mabu, zabu ngalu, mota toa male ale. Capu mabu raza baza, moso bhila
pama komo, mota sama kawu ro'a, mabu bhila capu, bəza sama raza.
Lapu ne basa, bunge ne tabu ləwu,
fako ne tabu lapu, kora ne bere sa'o. Ghubu tobhe tana, posa ke roge
lizu".
Terjemahan kontekstualnya:
Sesudah itu, Sapa Raja dari Dhawe fadhi dengan mengatakan:
"kami da Dhawe ne'e da Redu, kami ka ne papa fara, inu ne papa nata.
Ka ne peba pa'a, inu ne sebha siku. Izu ne mona kiu, mumu ne mona
mengu, ne mona wali kita kami, kau nga'o. Pata ne mona, sazu ne gadhe.
Pata kami ne pəka məna, sazu kami ne zəbu zale. Kami ulu ne papa
pulu, eko ne papa pongo. Kami ne ana ka'e, abu azi. Ruta ne ma'e sua,
watu ne ma'e wage. Betu ne mona kəwi ka'e, kate ne mona nasi azi.
Keka ne papa tuki, uma ne papa lange. Solo ne nea, de ngasi ne ma'e.
Koba bue ne papa dawi, wole rolo ne papa so, Ne nea da tau solo-solo.
Kami bo negha papa oko, leu negha papa fara, da ulu teko, eko baro,
dhu rabho'jaka nəwa, pabe abu na'a ana, dhu tana li'e, watu wonga,
Kami ke pata ne mona, səzu ne gǝdhe. Ngaza kami da dia mai Dhawe,
izu ulu kiu, mumu ulu mengu, kami ulu kita kami, kau nga'o. Ruta kami
ulu sua, watu ulu kami wage, betu kami ulu kewi ka'e, kate kami ulu
nasi azi, kami ke topo poro foko, sudu zote ate, nao tusu wuwu, tua lepu
simo, manu tətu ate, pare wujo wuwu, moso mabu, zabu ngalu, mota toa
male ale. Cəpu mabu raza baza, moso bhila poma komo, mota sama
kawu ro'a, məbu ke bhila capu, bəza ke sama raza, lapu ne basa, bunge
ne təbu ləwu, fako tabu lapu, kora bere sa'o. Ghubu tobhe tana, posa
roge lizu”.
Terjemahan kontekstualnya:
Sesudah itu, para tetua adat Dhawe dan Rendu, masing-msing mereka:
”Papa so lobo topo, ura nao, sudu,
de one pare rui, koli". Terjemahan kontekstualnya:
Lalu mereka bersumpah janji hidup rukun bersaudara abadi selamanya.

76
5.3 Cara-cara Memperoleh dan Membagi Tanah dalam Masyarakat
Adat Rendu 5.3.1 Cara-cara Memperoleh Tanah dalam Masyarakat
Adat Rendu
5.3.1.1 Cara-cara Eksternal a) Imbalan 1) Imbalan Membantu Perang
Pu’u Tolo Masa Koli
Imbalan berupa tanah karena membantu perang Pu’u Tolo Masa Koli Səpe
Teda dan Jawa Mara dari Wolowea Melawan Pesa Tei dan Langa Wea dari
Lambo, didaskripsikan seperti berikut ini.
Setelah orang Wolowea menang dalam perang suku melawan orang Lambo,
maka Sepe Teda dan Jawa Mara dari Wolowea mengundang Mosa Foa dan
Tuza Gugu dari Rendu mengenai imbalan atas bantuan yang telah diberikan
kepada Wolowea.
Sepe Teda dan Jawa Mara dari Wolowea menyepakati supaya perundingan
tentang balas jasa dilakukan di Poma Rusa. Dalam perundingan itu dilakukan
berbagai macam penawaran dari harta benda sampai kepada sejumlah hamba
sebagai balas jasa atas bantuan Mosa Foa dan Tuza Gugu, tetapi Mosa Fo'a
dan Tuza Gugu tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab
pertanyaan dan tawaran Sepe Teda dan Jawa Mara. Mosa Fo'a hanya
menimbun tanah seperti bukit, kemudian dibongkar kembali, lalu ditumpuk
lagi seperti bukit sambil mengarahkan pandangannya ke bukit Redu Wawo.
Salah seorang dari warga suku Wolo Wea yang melihat pekerjaan Mosa Fo’a
menyampaikan kepada Sepe Teda dan Jawa Mara, dengan mengatakan
bahwa Mosa Fo’a mungkin mau minta tanah. Setelah ditanyakan oleh Sepe
Teda dan Jawa Mara, ternyata benar karena Mosa Foa memang mau meminta
tanah yang terletak di sebuah bukit sebelah utara dari Poma Rusa, dengan
mengatakan "nga 'o pai tana lau wolo da nee loge tua da nabu we'o cece"
(saya minta tanah di bukit sana yang ada pucuk moke yang sedang mekar
daunnya). Lalu Sepe Teda dan Jawa Mara mengatakan bahwa tempat itui
adalah "Ku kutu, loka bheku" (tempat babi landak dan musang artinya tempat
berburu) sehingga tidak cocok dijadikan perkampungan. Tetapi atas kemauan
dan pilihan Mosa Foa sendiri, akhirnya Sepe Teda dan Jawa Mara
memberikan tempat di bukit itu untuk dijadikan perkampungan suku Rendu.
Di bawah pimpinan Mosa Foa dan Tuza Gugu, berangkatlah mereka dari
Poma Rusa menuju ke "Ku kutu, loka bheku”, lalu membangun
perkampungan baru di bukit itu kemudian diberi nama Redu Wawo (Rendu
Wawo) oleh Mosa Foa dan Tuza Gugu. Di kampung Redu Wawo inilah, suku
Rendu mendirikan Peo pertama yang diberi nama Sato Bheto (potongan
bambu) yaitu Peo dari potongan bambu yang dibawa dari Wari Keo. Di
kampung Redu Wawo ini Mosa Foa dan Tuza Gugu menetap cukup lama.

77
Adapun tanah yang diberikan oleh Sepe Teda dan Jawa Mara dari Wolowea
kepada Mosa Foa dan Tuza Gugu dari Rendu, tampak seperti yang yang
dijelaskan berikut ini.
Selatan: Babamuga atau Dena Dadho, tandanya ditanam dengan batu
panjang (batu panjang itu baru di cabut oleh orang raja
pada waktu terjadi kasus tanah Nata Bhada dan puncaknya yaitu perkara di
Natabhada pada hari Selasa 28-11-1967). Tanah yang diberikan oleh
Sepe Teda dan Jawa Mara kepada Mosa Foa dan Tuza
Gugu itu ialah:
Sabi Kana, Tadu Bhada, Nete Wulu, Lowo Dora, LowoLebe, Ghebe
Labo, Lowo Se, turun Lowo Tata, nuka Wanga Wasa, Kota Nete, Nunu
Pere, Watu Nyulu, Sui Ba'i Degho Poma, kembali bertemu Babamuga
atau Dena Dadho.
Terjemahan kontekstualnya:
2) Imbalan “Təbo Dapa Lewa” ne'e da Ana Mənge a) Sebab Perang
”Pu’u Tolo Dapa Lewa”
Dapa Lewa pergi mencari nona atau gae da bu'e, di kampung Ana Menge.
Dia sudah akrab dengan orang Ana Menge karena itu dapat keluar masuk
kampung Ana Menge secara leluasa atau bebas. Nonanya itu bernama Dhema
Wea saudari dari Pone Wea. Pada waktu itu sedang terjadi perang suku
antara orang Dhawe dengan orang Ana Menge. Orang Dhawe tidak dapat
memasuki kampung Ana Menge. Suatu hari, Dapa Lewa, Ngara Bu’u, Ame
Rae, Lodu Gugu, dan Wilo Wona dari Rendu pergi menonton acara rido di
kampung Dhawe. Setelah tiba di kampung Dhawe, Mite, Dori, dan para
mosalaki Dhawe melihat Dapa Lewa datang juga menonton acara rido.
Mereka mengetahui bahwa Dapa Lewa biasa keluar masuk kampung Ana
Menge. Karena itu mereka memanggilnya untuk mama sirih atau makan
sirih. Lalu mosalaki Dhawe memberitahukan kepada temannya Dapa Lewa
yaitu Mite dan Dori bahwa mereka ingin meminta bantuan Dapa Lewa yang
biasa keluar masuk kampung Ana Menge untuk membantu membuka pintu
gerbang kampung Ana Menge sehingga mereka (orang Dhawe) dapat
membakar kampung Ana Menge. Lalu Mite dan Dori (temannya Dapa Lewa)
menyahut, kami mau membantu, tetapi kamu harus menanyakan langsung
kepada Dapa Lewa.
Selanjutnya orang Dhawe menanyakan langsung kepada Dapa Lewa,
"Eja, kami mo keu kau." Dapa Lewa menyahut,
"nga’o taku ngaza ata be'o, keco ata da Ana Mange tau mata nga'o."

78
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu orang Dhawe menyahut,
"Ngaza kau rai, ngaza kau kami zoko kəli mona tolo dazi.”
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu orang Dhawe menanyakan mosalaki yang jalan bersama dengan
Dapa Lewa, ”kamu mau atau tidak? Biar kamu tidak mau kami tetap
meminta bantuan.”
Teman seperjalanan Dapa Lewa berbicara kepada Dapa Lewa,
"Ele kau bhia, bholo demu keu pade kau, zapa go weke. Bholo madu
demu zoko kəli ngaza nga'o",
Terjemahan kontekstualnya:
Selanjutnya, Dapa Lewa mau dan setuju untuk membantu orang Dhawe. Lalu
mereka sepakat dengan membuat perjanjian. Empat hari lagi kau buka pintu
di kanıpung Ana Menge supaya kami dapat masuk untuk membakar
kampung Ana Menge, kata Mite. Dori, dan Laki Dhawe, mosa laki dari
Dhawe.
Setelah mendengar permintaan dari Mite, Dori, dan Laki Dhawe mosa laki
dari Dhawe itu, lalu Dapa Lewa, Ngara Bu’u, Ame Rae, Lodu Gugu, dan
Wilo Wona kembali ke kampung mereka di Tutubhada, tetapi Dapa Lewa
meminta kepada orang Dhawe supaya pada hari keempat itu mereka (orang
Dhawe) jangan jauh-jauh dari kampung Ana Menge.
Orang Dhawe menjawab,
”Kami mona go zeu, kami mo ro'a mosa, jata matu,
zele rate Litu”. Terjemahan kontekstualnya:
tas
Tepat pada hari yang keempat sesuai dengan perjanjian untuk n
pat sesuai dengan perjanjian untuk masuk kampung Ana Mer
ya Dapa Lewa pergi dahulu ke kampung Ana Menge, dini hari dia membuka
pintu gerbang kampung Ana Menge lalu orang Dhawe masuk membaka
rumah di kampung Ana Menge (membakar kampung Ana Menge), sehingga
orang And
rcerai-berai
tal-berai meninggalkan kampung halamannnya. Pagi harinya orang Dhawe
kembali berku

79
Tkumpul di rate Litu, sehingga dapat dilihat dengan jelas oleh orang Ana
Menge dari atas. Lalu orang Ana Menge kadha sebagai berikut,
"Dapa e..., e... ame lewa, kau laka da tau mutu mumu, ne'e da meza
lema de ulu go Dhawe Dori, mo kau kadha wasa mo demu putu nu dia
de ulu go Bo'a Doa; bholo e..., e... te'e kau dia ma lo'a zi'a kau tau kadha
wasa ke bo ne mona woso, bo sa toko bədi pi'a mema de nata nia, Dapa
e..., e ame lewa, kau laka da tau mutu mumu, ne'e məza lama, ne'e laki
de eko go Dhoa Kata; mo kau tau kai pere, mo demu tau jangi jila de
eko go Gaja Mange; bholo e...e... lani kau dia ma dhoro molo, kau tau
kai wai pere, ke pana ne mona kapa, pana sa ura, bhuja ke zote mema de
ate".
Terjemahan kontekstualnya:
Sesudah itu orang Ana Menge langsung menembak tepat sasaran pada Dana
dan seketika itu juga ia jatuh lalu mati. Melihat Dapa Lewa telah mati di
tempat; orang Dhawe berlari cerai-berai. Lalu orang Ana Menge memanggil
orang-orangnya untuk mencari ko
api guna membakar jenazah Dapa Lewa. Mengetahui bahwa jenazah Dapa
Lewa akan dibakar di hutan, lalu Ngara Bu’u, Ame Rae, Lodu Gugu, dan
Wilo Wona serta pasukan dari Rendu lainnya berperang melawan orang Ana
Menge untuk merebut jenazah Dapa Lewa, hingga orang Ana Menge kalah
dan lari tercerai-berai.
Selanjutnya Lodu Gugu dan Wilo Wona menyuruh anak-anaknya dari Rendu
untuk memikul jenazah Dapa Lewa bawa ke Bale. Lalu mereka pergi
memanggil orang Dhawe untuk membicarakan imbalannya dan hal kematian
Dapa Lewa karena ditembak oleh orang
Ana Menge. b) Nama-nama Tempat Tanah Imbalan “Təbo Dapa Lewa”
Orang Dhawe memberi kerbau dan harta benda lainnya tetapi orang Rendu
tidak mau, mereka mau diberikan tanah saja, lalu orang Dhawe memberikan
tanah, seperti yang disebutkan berikut ini.
"pu'u zili Aesesa, nuka Lowo Bulu, Bo'a Gaja, Lia Rae, Pile Bola, soru
lowo co'o zili Oki Bobe, lowo Lisu, Rodo Koko, Kota Wake, Bo'a Ko'u,
pale zeta Pau Botu, zeta Rugha Tei, soru Poma Jogo, dua zili lowo gəna
Aesesa.”
Terjemahan kontekstualnya:
3) Imbalan "Gae Wea Toto Podo go Toda Wea dan Rato Wea" dari
Ngege Dhawe a) Tawaran Awal dari Toda Wea dan Rato Wea" dari
Ngege Dhawe

80
Setelah Jogo Sela dan Raja Tawa menetap di Wololuba, Jogo Sela dan Raja
Tawa didatangi oleh Toda Wea dan Rato Wea mosalaki dari Ngegedhawe
yang ingin meminta bantuan mencari emas milik mereka satu periuk yang
telah dicuri orang.
Dalam pembicarran awal Toda Wea dan Rato Wea mengatakan:
”Eja ..........., kami mai keu miu eja mo gae go wea kami toto podo da pota ata
naka. Ngaza eja miu raka kami ti'i miu eja da zu foto kuru, da meko toto
kopo, da sogho toto bo ".
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab tawaran dari Toda Wea dan Rato
Wea dengan mengatakan,
"molo eja........ bholo kami zapa solo go weke mo miu eja newe lele, mesi
bhila go bhada jara, rusa lebu, da loza zale awu tana kita ngala tei.
Bholo ngi go wea podo da ata nea one tolo sa'o, kita mona go tei. Bhila
ba kita ngala be'o? Negha ke Toda Wea dan Rato Wea solo wali, Molo
eja............, bholo kami keu miu eja zapa gae go weke. Negha ke Jogo
Sela dan Raja Tawa talu wali. Molo eja ..........., uzu miu eja ne keu, kami
zapa gae go weke, ngaza kami raka kami we'e watu ana-ana kami dhu
dhepi lepa eja miu, ngaza mona raka kami we'e dhu dhepi latu lepa eja
miu, mo eja miu be"o mogha.
Terjemahan kontekstualnya:
"Kami datang hendak meminta bantuan eja untuk mencari emas kami satu
periuk yang telah hilang dicuri orang. Kalau (kamu) eja temukan kembali
emas kami satu periuk itu, kami akan bayar inbalan berupa hewan yang kalau
digembalan satu padang dan kalau dihalau satu kandang, dan bahan makanan
satu lumbung)".
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab tawaran dari Toda Wea dan Rato
Wea dengan mengatakan, "Baiklah, eja, tetapi kami hanya sampaikan sekedar
(kamu) eja hanya
dengar saja, seandainya itu adalah kuda kerbau, atau kambing domba yang
berjalan di tanah kita bisa lihat. Toda Wea dan Rato Wea menjawab lagi,
"Eja, miu zapa gae go weke. Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa
mengatakan,
"Molo eja, kami zapa gae go weke, ngaza raka go mona, kami we'e watu
ana-ana kami dhu dhəpi latu lepa eja miu. Ka inu negha, Toda Wea dan
Rato Wea siba walo pegu lepa bo'a demu Ngegedhawe.
Terjemahan kontekstualnya:

81
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa mengatakan:
“Baiklah eja, kami coba mencari dulu, kalau ditemukan ataupun tidak
ditemukan, kami akan mengirimkan utusan
untuk menyampaikan hasilnnya”. Malam sesudah makan, Jogo Sela turun ke
halaman rumah buang air kecil, lalu menengada ke langit dan mengamati
dengan teliti bintang-bintang di langit. Setelah diamatinya dengan saksama
bintang-bintang di langit, dipanggilnya Raja Tawa turun pula ke halaman
rumah lalu Jogo Sela menunjukkan kepada Raja Tawa cahaya emas di atas
langit berbintang. Dalam pengamatan Jogo Sela dan Raja Tawa ternyata
cahaya emas itu naik dari kampung Nua Kutu di Rawe ke atas lanngit
berbintang.
Paginya, Jogo Sela memanggil lagi Raja Tawa lalu keduanya berunding agar
malam hari sesudah makan malam keduanya melakukan perjalanan
mengikuti cahaya emas itu untuk mengetahui cahaya itu keluar dari rumah
yang mana. Ternyata cahaya emas itu keluar dari sebuah rumah di ujung
gerbang masuk. Karena masih tengah malam, keduanya kembali lalu tidur di
luar kampung.
Pagi-pagi Jogo Sela dan Raja Tawa masuk ke dalam kampung menuju ke
rumah yang paling ujung lalu duduk menunggu tuannya di depan rumah.
Setelah bangun pagi tuan rumah itu turun dari rumah lalu menegur mereka:
"Poa eja, miu pu'u de apa? Miu mo tau apa?
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab,
"kami pu’u zili mai Redu".
Kami gae wea mo kami beta", Terjemahan kontekstualnya:
Tuan rumah menjawab,
“Kami tidak ada emas. Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab:
"eja wole kami, wea miu sa podo ma zeta tolo sa'o.
Terjemahan kontekstualnya:
Tuan rumah menjawab lagi:
“mona eja, kami wea mona ne'e.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab lagi:
"eja wole kami, wea miu sa podo ma zeta tolo sa'o.
Terjemahan kontekstualnya:

82
Sesudah menjawab perkataan tuan rumah, Jogo Sela dan Raja Tawa turun ke
halaman rumah, lalu Jogo Sela pasi,
"Ngaza wea zeta tolo sa'o, mona go ne'e, wona da ngi, nga'o pogo sa
teka, imu mona boka, bholo ngaza, wea ma ne'e zeta tolo, bholo ngaza
miu wole kami, wona da ngi, nga'o pogo sa təka, imu siba boka.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Jogo Sela:
"pogo sa təka wi'e wona da ke siba boka dhəsi maja zale awu. Da mori
sa'o tei wona dhesi maja zale awu, demu siba paru peka taku Jogo Sela
ne'e Raja Tawa uzu demu wole ngasi so wea mona ne'e.
Terjemahan kontekstualnya:
Lalu Jogo Sela dan Raja Tawa:
“siba nai zeta tolo sa'o dhewi wea toto podo paja zale wawa sa'o negha
siba enga riwu one bo’a mai bhalo wea go Toda Wea ne'e Rato Wea da
demu naka lepa Ngegedhawe. Toda negha riwu sa bo”a demu zua siba
walo sa'a ne'e wea podo go Toda Wea ne'e Rato Wea.
Terjemahan kontekstualnya:
Sampai di Wololuba, Jogo Sela dan Raja Tawa menyuruh anak-anak mereka
pergi ke Ngegedhawe untuk menyampaikan pesan bahwa emas yang hilang
dicuri orang sudah ditemukan kembali. Lalu datanglah Toda Wea dan Rato
Wea ke Wololuba. Jogo Sela dan Raja Tawa memperlihatkan atau
menunjukkan emas yang ditemukan itu. Toda Wea dan Rato Wea mengakui
bahwa itu benar emas mereka. Lalu Toda Wea dan Rato Wea bertanya,
"wea ngi, miu eja raka de apa? Jogo Sela dan Raja Tawa menjawab,
"Kami raka mena Nua Kutu bo'a ata da Rawe”. Setelah menerima kembali
emas mereka, Toda Wea dan Rato menjawab: "eja.........
miu ma'e ngasi, kami ti'i talo da zu toto kuru, meko toto kopo, da sogho
toto bo. Kami ti'i miu eja wai tana, wa'a zeta ulu tata nara, wa'a lau eko
rigo wi, wa'a zele Bhogu Jara, wa'a zale Aemau; siba ngaza " Ulu Tata
Nara, Eko Rigo Wi”.
Terjemahan kontekstualnya:
b. Cara-cara Internal (Antara Sesama Bhisu Woe dalam Masyarakat
Adat Rendu 5.3.2.1 Jual-Beli 5.3.2.2 Tukar-Menukar 5.3.2.2 Teo Bae
5.3.2 Membagi Tanah dalam Masyarakat Adat Rendu 1) Cara-cara
Membagi Tanah Hasil peperangan dalam Masyarakat Adat Rendu

83
2) Cara Membagi Tanah dari Rumah Adat Induk Woe kepada Rumah
Adat Mekaran
BAB VI
PEMERINTAHAN DAN PENDIDIKAN DI RENDU
6,1 Pemerintahan di Rendu 6.1.1 Pemerintaham di Masa Kolonial
Belanda
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, wilayah Rendu dibentuk menjadi
1 hament 1 Hamente Rendu dengan ibu kotanya di Jawatiwa dengan kepala
Merenya:

1) Pake Aru 2) SinaPai 3) Seke Pai 4) Laurensius Dala dari Tutu Bhada. Ibu
kotanya berpindah ke TutuBhada
6.1.1.1 Pemerintaham di Masa Republik Indonesia 1) Pemerintahan
Desa di Masa Kabupaten Ngada
Pada masa Kabupaten Ngada Pemerintahan desa di Rendu, terdiri atas 3
(tiga) desa, yaitu: a) Desa Rendu Butowe b) Desa Tengatiba c) Desa
Langedhawe
6.1.1.2 Pemerintahan di Masa Kabupaten Nakekeo 1) Terbentuknya
Kecamatan Aesesa Selatan
a Konsep Pembentukan Kecamatan Aesesa Selatan
(1) Keputusan Politik dan Pemerintahan Kabupaten Ngada
Keputusan politik dan pemerintahan Kabupaten Ngada tentang pembentukan
Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu sebagai pemekaran dari Kecamatan
Aesesa termuat dalam pemberitaan Flores pos pada tanggal 25 dan 31 Januari
2001. Di dalam pemberitaan itu diwartakan bahwa Komisi A DPRD
Kabupaten Ngada mengeluarkan statemen bahwa pada tahun 2001 akan
dimekarkan 4 (empat) kecamatan baru di Kabupaten Ngada, yaitu (1)
Kecamatan Aimere Timur di Jerebuu, (2) Kecamatan Mauponggo Timur di
Keo Tengah, (3) Kecamatan Riung Barat di Maronggela, (3) Kecamatan
Riung Barat di Maronggela, (4) Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu.
Namun, pada bulan Mei 2001 ternyata hanya 3 (tiga) kecamatan yang
diresmikan oleh bupati Ngada, yaitu(1) Kecamatan Aimere Timur di Jerebuu,
(2) Kecamatan Mauponggo Timur di Keo Tengah, dan (3) Kecamatan Riung
Barat di Maronggela. Sedangkan Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu tidak
ada khabar berita tentang realisasi pembentukannya.

84
(2) Tanggapan Awal Atas Gagalnya Pembentukan Kecamatan Aesesa
Selatan di Rendu a) Mecari Informasi tentang Gagalnya Pembentukan
Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu
Kecewa dengan realilitas gagalnya pembentukan Kecamatan Aesesa Selatan
di Rendu itu, sebagai putra Rendu penulis (Drs. Petrus Pita) yang pada bulan
Mei 2001 itu sedang melakukan penelitian Dialektologi Bahasa Ngadha atau
Bahasa Bajawa untu
penulisan tesis S-2 di Universitas Udayana Denpasar Bali, mencoba mencari
berbagai informasi di kantor daerah Kabupaten Ngada bagian pemerintahan
umum di Bajawa , tentang gagalnya pembentukan Kecamatan Aesesa Selatan
di Rendu. Hasilnya, tidak ada wacana lagi di Kabupaten Ngada, tentang
pembentukan Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu, artinya Kecamatan
Aesesa Selatan di Rendu itu gagal terbentuk sesuai dengan konsep politik dan
pemerintahan Kabupaten Ngada. Penulis terus mengejar dan mencari
informasi tentang sebab-musebab mengapa Kecamatan Aesesa Selatan di
Rendu itu gagal terbentuk. Jawabannya sungguh mengejutkan karena sebab-
musebab gagalnya pembentukan Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu ialah
TIDAK ADA TANGGAPAN DARI MASYARAKAT CALON
KECAMATAN BARU ITU DI RENDU.
Mendengar jawaban yang mengandung harapan artinya Kecamatan Aesesa
Selatan di Rendu itu masih dapat diperjuangkan lagi, maka penulis mencoba
membangun komunikasi dengan beberapa orang Rendu yang bekerja di
Bajawa dan yang bertemu di Bajawa yaitu (1) Pak Donatus Ali, S.Sos. yang
pada waktu bekerja di kantor daerah Kabupaten Ngada, (2) Pak Antonius Ja
yang pada waktu itu mengajar di SMP Negeri Bajawa, (3) Pak Fransiskus
Pone yang pada waktu menjadi sopir bupati Ngada di Bajawa, (4) Bapak
Arnoldus Ngada yang datang di Bajawa untuk mengurus warga desa
Langedhawe yang masuk Lembaga Pemasyarakatan Bajawa.
Hasil komunikasi menunjukkan respons yang sangat positif untuk
memperjuangkan pemekaran Kecamatan Aesesa Selatan, yaitu: (1) Pak
Donatus Ali, S.Sos. membantu menyiapkan beberapa perangkat regulasi
tentang
pemekaran kecamatan baru. (2) Bapak Arnoldus Ngada bersedia menjadi
Ketua Forum Perjuangan Pemekaran Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu.
b) Perjuangan Forum Pemekaran Kecamatan Aesesa Selatan di Rendu
Setelah berkomunikasi secara intens dengan Pak Donatus Ali, S.Sos. di
Bajawa selama kegiatan penelitian dan Bapak Arnoldus Ngada, melalui
berbagai kesempatan di Ende, akhirnya disepakati untuk membentuk forum
perjuangan pemekaran Kecamatan Aesesa Selatan yang diberi nama Forum

85
Komunikasi Pembangunanan Masyarakat Adat Rendu (Forkom Pemandu),
dengan komposisi, seperti berikut ini.
FORUM KOMUNIKASI PEMBANGUNANAN MASYARAKAT ADAT
RENDU (FORKOM PEMANDU)
I. Penggagas: Drs. Petru Pita, M. Hum.
II. Pelindung/Penasihat: 1. Camat Aesesa 2. Para Kepala Desa Sewilayah
Rendu 3. Kepala Suku Rendu 4. Kepala Suku Isa 5. Kepala Suku Gaja 6.
Kepala Suku Malawawo
III. Pengurus Inti: 1. Ketua
: Arnoldus Ngada 2. Wakil : Hendrikus Mema, B.A 3. Sekretaris I : Simon
Sedha, S.Pt
4. Sekretaris II : Drs. Bonefasius Dheno 5. Bendahara I : Paulus Potu 6.
Bendahara II : Yohana Karmelita Wea, S.E
Theodorus Samu
IV. Pengurus Seksi 1. Seksi Kesekretariatan : 1. Paskalis Juani, S
2. Baltasar Va
2. Seksi Usaha Dana
: 1. Ny. Elisbeth L. Dhase 2. Sabinus Bai 3. Para Kepala Desa Sewilayah
Rendu
3. Seksi Humas
: 1. Viktor Ara 2. Fransiskus Keka 3. Kornelis Lolu
4. Seksi Dokumentasi
: 1. Stefanus Tage, S.H. 2. Antonius Nge, A.Md.
5. Seksi Liturgi: 1. Tadeus Pati 2. Gaspar Jo.
V. Seksi Komisariat 1. Komisariat Paudo dan Danga : 1. Servasius Ame, S.P.
2. Kristianus Jada, S.E.
2.Komisariat Okisato
: 1. Kunradus Sina 2. Baltasar Ja
3.Komisariat Boawae dan Bajawa
: 1. Pius Dhari 2. Yeremias Piga
4.Komisariat Ruteng
: 1. Siprianus Samu, B.A 2. Damianus Kaju
S.Komisariat Ende
: 1. Drs. Benediktus Reta 2. Lambertus Lita, B.A
6.Komisariat Maumere
: 1. Nardin Hema, S.H 2. Laurensius Lana, B.A
7. Komisariat Kupang:
1. Antonius Sina 2. Ignasius Dapa, A.Md
8.Komisariat Jawa/ Bali:
1. Arnoldus Soro, BB.A(Jawa) 2. Antonius Goa (Bali)
9.Komisariat Alor

86
1. Polikarpus Lebi 2. Blasius Mare
10.Komisariat Sumba : 1. Hironimus Jera,S.Pd
c) Peresmian Kecamatan Aesesa Selatan
Setelah melaui tahap demi tahapan perjuangan, akhirnya Kecamatan Aesesa
Selatan diresmikan pada hari Jumat, tanggal 22 Desember 2006 oleh Bupati
Ngada Drs. Piet Nuwa Wea dengan camatnya Donatus Ali, S.Sos dan
sekretarisnya ...... dengan ibu kotanya Jawakisa dan meliputi 5 wilayah desa,
yaitu 1) Desa Tengatiba, 2) Desa
Langedhawe, 3) Desa Renduteno, 4) Desa Renduwawo dan 5) Desa
Rendubutowe. 2) Pemerintahan Desa di Masa Kabupaten Nagekeo a)
Pada Masa Awal Kecamatan Aesesa Selatan
Pada masa awal Kecamatan Aesesa Selatan Pemerintahan desa di Rendu,
terdiri atas 5 (lima) desa, yaitu: 1) Desa Rendu Butowe dengan ibu kotanya
Jawatiwa. 2) Desa Renduwawo dengan ibu kotanya Segho. 3) Desa
Tengatiba dengan ibu kotanya Jawakisa. 4) Desa Langedhawe dengan ibu
kotanya Malawona. 5) Desa Renduteno dengan ibu kotanya Lari.

Pada masa 10 Tahun Kabupaten Nakekeo Pemerintahan desa di Rendu


bertambah
lagi dengan 2 (dua) baru, yaitu menjadi 7 desa, yaitu: 6) Desa Rendu Tutu
Bhada dengan ibu kotanya Tutubhada 7) Desa Wajomara dengan ibu kotanya
Wolowajo.

87
Pada masa 12 Tahun Kabupaten Nagekeo yaitu pada tahun 2017
Pemerintahan desa di Rendu bertambah lagi dengan 2 (dua) desa mekaran
baru menjadi 9 desa, yaitu: 8) Desa Tengatiba Timur dengan ibu kotanya
Bonat.
9) Desa Tengatiba Barat dengan ibu kotanya Wolowajo. b) Para Kepala Desa
di Rendu Sejak dahulu Sampai Sekarang
1) Desa Rendu Butowe
Desa yang beribu kota di Jawatiwa, dipimpin oleh para kepala desanya
berturutturut sebagai berikut: (1) Titus Sapa, (2) Petrus Bao Gaso, (3) Pius
Rae, (4) Petrus Wilo (guru) (5) Zakarias Sapa, (6) Siprianus Dega, (7)
Arnoldus Epe (8) Bernadinus Gaso, (9) Stefanus Tage, (10) Yeremias Misi
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Jawatiwa,, (2)
Kampung Roga-roga. (3) Kampung Malapoma. (4) Kampung Tadubhada. 2)
Desa Rendu Wawo
Desa ini beribu kota di di Segho, dengan para kepala desanya berturut-turut
sebagai berikut: (1) Marsianus Judha, (2) Yulius Wele (periode kedua).
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Segho, (2) Kampung
Wololuba.
(3) Kampung Woloboa, 3) Desa Tenga Tiba
Desa ini beribu kota di di Jawakisa, dengan para kepala desanya
berturut-turut sebagai berikut: (1) Yoseph Rae (2) (3). (4)............
(5)...........
(6) ............ (7) ........ (8) ..... (9) ............ (10)......
Secara geografis desa Tengatiba ini terletak di tengah-tengah wilayah Rendu.
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Jawakisa. (2)
Kampung Nunungongo.
(3) Kampung Nunubina. 4) Desa Persiapan Tengatiba Timur
Desa mekaran ini beribu kota di di Bonat dengan penjabat kepala desanya
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Bonat. (2) Kampung
Padugoa.
(3) Kampung Woloboa. 5) Desa Persiapan Tengatiba Barat
Desa mekaran ini beribu kota di di Dadhowawo dengan penjabat kepala
desanya
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Dadhowawo. (2)
Kampung
(3) Kampung 6) Desa Rendu Tutubhada
Desa ini beribu kota di di Tutubhada, dengan para kepala desanya
berturutturut sebagai berikut: (1) Frederikus Balita (2) ........... (3) ........
Desa ini terdiri atas kampung-kampung: (1) Kampung Tutubhada. (2)
Kampung Tasikapa.
(3) Kampung 7) Desa Langedhawe

88
Di antara kampung-kampung di seluruh wilayah Rendu di atas,
kampung Renduola adalah kampung asli kedua (setelah kampung asli
pertama di Renduwawo), baik perkampungan adat suku Rendu, maupun
perkampungan adat suku Isa dan perkampungan adat suku Gaja.
Di perkampungan-perkampungan yang baru itu tidak terdapat peo
suku Rendu sebagai persatuan dan kesatuan suku Rendu; yang ada hanya
Sa'o Meze milik marga atau Woe dalam suku Rendu yang turut berpindah
dari masing-masing marga atau Woe.
6.2 Sekolah-sekolah di Rendu
Dewasa ini di wilayah Rendu terdapat sekolah-sekolah sebagai sarana
pendidikan anak-anak Rendu, seperti berikut ini.
6.2.1 Sekolah Dasar
Sekolah dasar yang terdapat di wilayah Rendu dapat dijelaskan per wilayah
desa, seperti berikut ini.
6.2.1.1 Desa Rendu Butowe
Di Desa Rendu Butowe ini terdapat dua buah sekolah dasar yaitu:
1) Sekolah Dasar Katolik Jawatiwa, didirikan pada tahun 1948 dengan kepala
sekolahnya berturut turut:
(1) Karolus Resi, (2) Petrus Wilo, (3) Zakarias Roga, (4) Petrus Pili, (5)
Dominikus Dhae Wea, (6) Bibiana Nago,
(7) Klemen Gasa,
2) Sekolah Dasar Inpres Renduola didirikan di Renduola pada tahun ......,
dengan kepala sekolahnya berturut-turut:
(1) Donatus Bhugha, (2)) Ibu Philomena Wea,(3) ) Ibu Yosefina Mo'i,
4) Sekolah Dasar Negeri Malapoma didirikan di Renduola pada tahun 2011
(?) dengan kepala sekolahnya berturut-turut:
(1) Bapak Gaspar Lopi,

89

Anda mungkin juga menyukai