Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

GERAKAN RESISTENSI DI SULAWESI

Oleh : Hanifa_A31121086
Universitas Tadulako
hanifanifa319@gmail.com

Abstrak

Asal mula masyarakat Sulawesi Selatan menurut / La Galigo kembali ke dunia mitologis.
Atas persetujuan dewan dewa-dewa, Dewa Patotu mengutus putranya, Batara Guro bumi di
mana ia berjumpa dengan We Niyilimo, seorang putri dari dewa dunia bawah yang muncul dari
laut. Mereka kawin dan keturunannya berkuasa di Luwu.Tradisi Bugis-Makassar menuturkan
mitos asal mula kerajaannya kembali kepada seorang dewi yang turun bumi, To Manurung, yang
bersedia ditakhtakan oleh rakyat. Dia didampingi oleh suatu dewan penasihat yang terdiri dari
pemimpin-pemimpin rakyat. Kecuali Kerajaan Luwu Goa, peta politik Jazirah Sulawesi Selatan
pada abad ke-16 menunjukkan pula Kerajaan Wajo, Soppeng, Tallo, dan Bone kesemuanya pada
umumnya terdiri atas rumpun-rumpun komunitas sebagai unit politik yang telah terintegrasikan
dalam periode sebelumnya. Dipandang dari sudut kerajaan masing-masing proses integrasi
internal seperti tersebut di atas mempunyai kelanjutan dengan proses integrasi eksternal, artinya
gerakan ekspansi. Oleh karena itu, sejarah politik abad ke- 16 lebih merupakan perebutan
hegemoni dan gerakan ekspansi kerajaan-kerajaan tersebut.

Gerakan ekspansi Luwu mengikuti pantai Timur Jazirah sampai ke Sungai Cenrana. Pada
akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 Datu Luwu, Rajadewa, menjalankan politik persekutuan
dengan Wajo. Untuk memperkuat kedudukan Wajo beberapa daerah diserahkan, antara lain
Larompong, Malluse, dan Selo. Di dalam tradisi persekutuan itu disebut sebagai hubungan antara
saudara tua dan saudara muda dan dengan demikian dinyatakan bahwa status Luwu lebih tinggi
dari Wajo.Sementara itu pengaruh Wajo semakin besar terutama karena perdagangannya maju
serta hubungannya dengan dunia luar semakin luas. Sidenreng sebagai tempat strategis menjadi
sasaran serangan Luwu, dua kali dapat dielakkan akan tetapi Sidenreng terpaksa menyerah dalam
serangan ketiga ketika Luwu menyerang dari laut dan Wajo membantu dari daratan.
PENDAHULUAN

Kerajaan Bone berkembang dari gabungan tujuh unit politik inti, ialah Ujung, Tibojong,
Ta, Tanete Riattang, Tanete Riawang, Ponceng, dan Macege. Setiap unit dipimpin oleh seorang
Matoa atau Daeng Kalula. Mereka menjadi dewan yang disebut Matoa Pitu kemudian juga
disebut Aruppitu. Pada saat daerah kerajaan menjadi lebih luas, daerah inti itu disebut
Kawerrang atau Watampone.36 Di bawah pemerintahan La Tenrisukki dan putranya, La Wulio
Botee terjadi lagi serangan Luwu berkali-kali terhadap Bone tetapi dapat dielakkan. Dalam
perebutan hegemoni Bone dibawahi oleh Goa, sedang Luwu bersekutu dengan Wajo.

Seperti halnya dengan Bone, Goa semula terdiri atas sembilan unit politik, bernama Salapang,
yaitu: Tombolo, Lakiung, Parang- parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalli.
Mitos tentang sejarah awal kerajaan Goa jika menyebut kedatangan Tomanurung pada saat
banyak kekacauan terjadi. Ketertiban dapat dipulihkannya bersama suaminya, Karaeng Bayo
memerintah Goa. Di bawah pemerintahan Tumapa risi Kallonna diperkuat kesatuan unit-unit
antara Goa dan Tallo.

Dalam menjalankan ekspansi, Goa dapat menaklukkan Siang, kemudian di bawah


pemerintahan Tunipalang (1546-1565) ditundukkan Bone. Selanjutnya, tercatat dalam kronik
Goa bahwa dia berturut-turut melakukan operasi militer dan menaklukkan daerah-daerah, ialah
kerajaan-kerajaan kecil yang berbatasan dengan Bone, kerajaan-kerajaan di pegunungan
belakang Maros dan yang ada sebelah selatan. Yang penting di antaranya ialah Suppa Wajo,
Sawitto.

Proses integrasi di Sulawesi Selatan yang berlangsung selama bagian kedua abad ke-16
melibatkan kerajaan-kerajaan di wilayah itu serta aliansi-aliansi di antaranya yang berubah-ubah.
Di dalam konstelasi politik yang secara kompleks itu peranan pokok dipegang oleh Goa dan
Bone yang saling berebut supremasi, maka proses tersebut semula menunjukkan suatu polarisasi.
Satu faktor fisik geografis sementara waktu menjadi penghambat ekspansi baik dari pihak Goa
maupun Bone, ialah daerah pegunungan yang menjadi pemisah antara keduanya. Waktu tiga
daerah perbatasan yang menjadi persengketaan antara kedua kerajaan tersebut, yaitu Bulo-bulo,
Lamati, dan Raja, menggabungkan diri kepada Bone.

Dalam perang yang berikut daerah-daerah itu terpaksa dikembalikan kepada Goa. Pada
1563 Goa melakukan ofensif lagi dengan bantuan dari Luwu, Wajo, dan Sidenreng. Dalam
pertempuran Cellu, Tunipalangga mendapat luka-luka dan terpaksa mengundurkan diri. Dua
tahun kemudian ia melancarkan serangan lagi, tetapi segera menarik pasukannya.
Sepeninggalnya (1565), perang dilanjutkan oleh Tunibatta yang terbunuh dalam pertempuran di
Campa.Bone memaksa Goa untuk memperbarui Perjanjian Caleppa pada 1565 itu juga, yang
menetapkan perbatasan antara kedua negara itu serta beberapa daerah masuk wilayah Bone,
antara lain Cenrana.Meskipun Tuniijallo sejak memegang pemerintahan di Goa (1565) tidak
meneruskan perang melawan Bone, namun Bone semakin khawatir menghadapi pertumbuhan
Kerajaan Goa. Politik Tunijallo diarahkan kepada hubungan perdagangan dan politik dengan
Patani, Johor, Banjar, Balambangan, dan Maluku. Terutama hubungannya dengan Ternate sangat
mengancam kedudukan Bone.

PEMBAHASAN

1.Makassar: Perkembangan Perdagangan Politik Ekspansi

Kalau pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya yang baik sangat menarik
sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka, maka pada pihak lain kemunduran
pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada bagian kedua abad
ke-17. Pendudukan Malaka oleh Portugis (1511) mengakibatkan pula suatu eksodus pedagang
Melayu ke pelabuhan lain, antara lain ke Makassar. Makassar juga menjadi pusat pemasaran
hasil dari wilayah Indonesia Timur serta tempat mengambil bahan makanan.

Pada pertengahan abad ke-17 ekspor ke Malaka berupa rempah-rempah, bahan makanan, bahan
wangi-wangian, penyu, dan sebagainya. Beras menjadi bahan ekspor yang penting Pala dan
cengkeh didatangkan dari Banda oleh pedagang Jawa,Melayu, dan kemudian orang Banda
sendiri Akhirnya, para pedagang Ma

kassar juga ikut aktif dalam perdagangan rempah- rempah itu. Setelah Belanda mulai menduduki
pulau di daerah rempah-rempah itu, perdagangan yang menurut VOC disebut "selundupan" itu
sangat ramai di Makassar.

Dengan perkembangan pelabuhan itu mengalirlah barang- barang ke Makassar, seperti


sutra dan pecah-belah Cina dengan kapal Siam dan bahan pakaian dengan kapal Portugis. 30
Diberitakan pula bahwa di Makassar ada perdagangan budak belian.Meskipun barang dagangan
dikenakan bea cukai 10% sehingga harga menjadi lebih mahal lagi di pasaran Malaka, namun
Portugis secara teratur mengirim kapalnya ke tempat tersebut, lebih-lebih setelah Belanda mulai
merajalela di Maluku. Pada dasawarsa kedua abad ke-17 pedagang Prancis dan Denmark juga
muncul di Makassar.

2.Ekspansi Kerajaan Goa Sejak 1600

Antara kedudukan kerajaan kembar Goa dan Tallo selaku pusat kekuasaan politik dan
peranan Makassar sebagai pusat perdagangan ada saling ketergantungan; perdamaian dan
keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Goa dan Tallo memungkinkan
perkembangan perdagangan di Makassar, dan sebaliknya perdagangan internasional yang tertarik
ke sana membawa banyak kekayaan. Kedudukannya sebagai pelabuhan transito atau entrepot
sangat tergantung pada aliran rempah- rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon dan pada
produksi beras serta bahan makanan lain yang dibutuhkan untuk bekal pelayaran, maka dari itu
politik ekspansi Goa-Tallo dan perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat
ditentukan oleh kedua faktor tersebut.

Karena perdagangan rempah-rempah sangat vital bagi Makassar maka setiap usaha menguasai
daerah penghasil bahan-bahan itu mengancam kepentingannya, sehingga tidak dapat dielakkan
adanya konflik dengan Ternate pada satu pihak dan VOC pada pihak lain. Dipandang dari pihak
VOC kekuasaan Goa-Tallo mengancam kepentingan VOC yang sedang berusaha keras
memonopoli perdagangan rempah-rempah, maka suatu konfrontasi tidak dapat dielakkan. Oleh
karena hubungan Malaka dan Makassar merupakan garis hidup perdagangan Makassar, suatu
pukulan terhadap Malaka akan sangat melemahkan kedudukan pelabuhan itu.Faktor intern
Sulawesi yang telah terintegrasikan di bawah hegemoni Goa-Tallo ternyata akan turut
menentukan kesudahan konfrontasi Makassar dengan VOC, tidak lain karena di Kerajaan Bone
ada unsur-unsur yang tak kunjung padam melakukan oposisi terhadap dominasi Goa-Tallo itu.
Rivalitas kuno antara Goa dan Bone akhirnya mengakibatkan kemerosotan Makassar dan dengan
demikian jatuhnya Kerajaan Goa-Tallo.

Sejak 1600 perkembangan politik di Sulawesi Selatan dengan perang antarkerajaan


memperoleh dimensi berkonfrontasi yaitu ditambah dengan faktor agama Islam membuat konflik
meningkat. Setelah Karaeng Matoaya mengikuti jejak Sultan Alaudin memeluk agama Islam,
maka Goa selaku perintis berusaha mengintroduksi agama Islam di kerajaan-kerajaan lain,
kecuali Luwu yang telah masuk Islam terlebih dulu, bila perlu dengan memeranginya.
Perlawanan dari pihak Tellumpoco-Bone, Wajo dan Soppeng membangkitkan perang yang
dalam bahasa Bugis disebut

Sebagai pembawaan hubungan perdagangannya Goa memiliki hubungan diplomasi dengan


Banjarmasin, Banten, Aceh, dan Mataram. Hubungan dengan kerajaan terakhir diperkuat dengan
adanya perkawinan Raja Goa dengan seorang putri Sunan Mataram. Untuk menambah
kewibawaannya diadakan hubungan diplomasi pula dengan Raja Rum (Turki) dan Raja Mogul di
India. Selanjutnya sistem perdagangan yang terbuka memberi kesempatan kehadiran pedagang-
pedagang Portugis, Prancis, Denmark, dan Belanda.

Prinsip sistem terbuka yang dianut Makassar dalam menjalankan politik perdagangannya pada
umumnya dan diplomasinya terhadap VOC khususnya tampak jelas dalam pokok-pokok
persyaratan yang diajukannya kepada VOC untuk mengadakan perjanjian dengan VOC pada
1659. Ditegaskan, antara lain bahwa "Tuhan menciptakan bumi agar seluruh umat manusia dapat
menikmatinya",

Politik dengan prinsip sistem terbuka itu berdasarkan teori "laut bebas" (mare liberum).
Teori ini dianut raja-raja Goa dan sesuai benar dengan status politik Goa-Tallo serta pelabuhan
Makassar pada masa itu. Dengan kekuasaan politik yang ada pada Goa kebebasan berdagang di
wilayahnya lebih menguntungkan daripada merugikan. Lagi pula pedagang-pedagang asing
mendapat jaminan bagi usaha mereka sehingga perdagangan internasional dapat menghidupi
Makassar dengan segala keuntungan daripadanya. Rupanya perkembangan perdagangan
Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat mempunyai pola berdasarkan sistem terbuka itu.
Kalau semula hendak menguasai perdagangan itu, kemudian bangsa Portugis melepaskan
maksud itu dan mengikuti sistem yang berlaku. Politik VOC ternyata bersikeras untuk
menjalankan politik monopoli, sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang telah
dikonsepsikan oleh Christiaan Huygens mengenai hukum internasional dengan prinsip mare
liberum-nya. Konfrontasi antara VOC dan Makassar berlangsung lama dan baru diselesaikan
dengan Perjanjian Bonggaya (1667).

Pada 1644 timbullah perlawanan lagi di Bone terhadap pengaruh Goa, yang dipimpin
oleh La Madaremmeng. Segera Bone mengerahkan bala tentaranya dan minta bantuan Datu
Soppeng, Arung Matoa Wajo, dan Datu Luwu. Ekspedisi dipimpin oleh Genrana. Pemimpin-
pemimpin utama Bone dapat ditangkap dan dibawa ke Goa, antara lain La Tenriaji Toesenrina,
Arung Kung, dan Daeng Pabila. Tobala bersikap tak memihak sehingga tetap menduduki
jabatannya. Bone diberi status "budak" dari Goa. Oleh Goa, Luwu, dan Wajo diadakan Perjanjian
Topaceddo, dalam bahasa Bugis disebut Singkeru Patole. Para tawanan perang kemudian dibagi
antara ketiga kerajaan itu. Selanjutnya, selama kira-kira dua puluh tahun penguasa di Bone
ditunjuk oleh Karaeng Goa, bukannya seorang warga wangsa Bone, tetapi seorang Kali. Banyak
pula rakyat Bone dikerahkan untuk kerja bakti di Wajo tanpa mendapat imbalan."

Ekspansi Goa-Tallo berhasil meletakkan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian
mengintegrasikan wilayah itu menjadi kesatuan politik, namun hubungan konflik antara Goa dan
Bone membawa ketegangan politik terus-menerus sehingga Pax Sulawesiana di bawah
pemerintahan Karaeng Matoaya dan Sultan Alaudin tidak dapat direalisasikan secara penuh. Di
samping perkembangan ekonomi yang pesat, pemberontakan- pemberontakan sebagai ledakan
semangat menentang yang laten mengganggu kestabilan Kerajaan Goa-Tallo.

Pada masa kejayaan Makassar itu kehidupan utamanya dijalankan sesuai dengan ajaran agama,
ada penghayatan kesenian dan kebudayaan serta latihan dalam pelbagai kerajinan. Di samping
itu ada pula latihan dalam keterampilan menggunakan senjata dan berperang.Para raja, yaitu
Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingalong memberi teladan dalam pelbagai bidang
kehidupan. Karaeng Pattingaloang sangat fasih berbicara dalam beberapa bahasa, antara lain
Portugis, Spanyol, Latin, Inggris, Prancis, dan Arab, sangat gemar membaca, terutama buku-
buku mengenai matematika. Karaeng Pattingaloang memiliki perpustakaan dengan koleksi peta-
peta. Sangat besar minatnya pada pengetahuan.

3. Pertentangan antara Goa dan Bone

Waktu pertentangan mengenai monopoli perdagangan antara Goa dan VOC meruncing
maka Sultan Hasanudin mengambil dua langkah: (a) membuat ketat pengawasan terhadap Bone
dan (b) mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makassar. Rupanya persiapan
perang dilakukan mengingat gelagatnya konfrontasi tidak akan dapat dihindari lagi.Sejak Bone
untuk kesekian kalinya ditaklukkan oleh Goa pada 1644, Tobala diangkat sebagai kepala, sedang
banyak bangsawan dipindahkan ke Goa, antara lain La Tenriaji, Tosenrima, Arung Kung, Daeng
Pabila, dan seorang pemuda, Arung Palaka.

Mobilisasi tenaga dilakukan dengan mendeportasi orang Bugis: 3200 orang dari Turatea, 700
orang dari Bone, 150 orang dari Wajo, 200 orang dari Luwu. Para pemuka Goa ditugaskan
memimpin suatu kelompok yang terdiri atas beberapa ratus orang. Kemudian masih ada 10.000
orang Bugis yang dikerahkan oleh Karaeng Karunrung yang menggantikan Karaeng Sumanna
sebagai penguasa di Bone. Orang-orang Bugis itu menolak untuk melakukan pekerjaan dan
melarikan diri ke Bone di bawah pimpinan pemuka-pemuka tersebut di atas. Di antara yang
tinggal, ada persekongkolan untuk memberontak di bawah pimpinan Arung Palaka dan Tobala.
Kemudian Tobala mengundang Datu Soppeng untuk merundingkan pembentukan aliansi antara
Bone dan Soppeng. Untuk pembentukan ini masih ada ikatan dengan Goa yang memberatkan,
ialah Perjanjian Lamongo. Hanya karena dorongan kuat dari bangsawan terkemuka, Arur Bila
dan Arung Palaka-lah serta ikatan menurut Perjanjian Timurang (1582) akhirnya aliansi antara
Bone dan Soppeng terbentuk (1660).

Di Soppeng masalah aliansi dengan Bone menimbulkan dua kelompok yang berbeda
sikap. Para pemimpin tersebut di atas bersikap pro berdasarkan ikatan lama yang terkenal dengan
Tellumpoco (1582), sedang banyak bangsawan Soppeng yang anti oleh karena ingin
menghormati Perjanjian Lamongo dengan Goa. Oleh karena letak Soppeng terapit oleh kedua
kerajaan yang bertentangan terus-menerus, maka dicari jalan diplomasi- diplomasi, pertama ke
dalam untuk tidak menimbulkan perpecahan, dan kedua membuat keseimbangan dalam
hubungannya dengan kedua kekuasaan itu. Kompromi tercapai antara kedua kelompok dengan
keputusan bahwa Soppeng akan mendukung baik Bone maupun Goa, suatu tindakan yang
didasarkan atas konsensus bahwa mereka hendak menghormati nenek moyang yang telah
membuat perjanjian tersebut.

Waktu Wajo didekati oleh Datu Soppeng agar menggabungkan diri pada Bone, ternyata
tidak ada minat menghidupkan kembali aliansi Tellumpoco, antara lain karena hubungan dengan
Goa terbukti lebih menguntungkan Wajo lagi pula La Tenrilai kawin dengan putri Sultan
Hasanudin. Sementara itu, Goa telah melakukan persiapan untuk menyerbu Bone. Di dalam dua
pertempuran, yang pertama di dataran Suling dan yang kedua di Matango, pasukan Bone
mengalami kekalahan besar. Dalam pertempuran ketiga pasukan Bugis sementara dapat menahan
tentara Goa. Setelah ada tambahan pasukan baru dari Wajo dan pasukan Melayu dari Makassar,
pasukan Bone di bawah Datu Soppeng mengundurkan diri untuk bertahan di kampung
halamannya. Sedang sebagian lain dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri, di antaranya
pasukan di bawah pimpinan Arung Palaka. Mereka mengundurkan diri ke Lisu dekat Tanete.44
Dengan kekuatan yang masih ada Arung Palaka berusaha mengadakan perlawanan di beberapa
front serta memimpin perlawanan di Lisu. Sementara itu di Bulu Cina pasukan Goa dapat
ditahan setelah terjadi pertempuran sengit selama tiga hari. Meskipun ada bala bantuan datang
dari Lisu, pasukan Arung Palaka mengalami kekalahan. Arung Palaka dengan pengikutnya
melarikan diri dan berkat bantuan pamannya, Babae, yang rela mengorbankan jiwanya, dia dapat
menyelamatkan diri.

4.Akhir Perang Hegemoni dan Awal Konfrontasi Lawan VOC

Setelah Bone untuk kesekian kalinya dapat ditundukkan lagi dan Sulawesi Selatan di
bawah hegemoni Goa dapat dipasifikasikan, perhatian Goa diarahkan kepada lawan utamanya,
ialah VOC. Ada beberapa faktor politik yang kurang menguntungkan Goa, yaitu: (a)
faksionalisme di kalangan bangsawan Goa-Tallo; (b) persaingan Ternate untuk menguasai
Sulawesi Utara, Butung, dan beberapa kepulauan lain; (c) kontingen pengungsi Bugis di
Batavia.Dalam menghadapi tekanan-tekanan politik dari luar, di dalam kalangan para bangsawan
sendiri timbul kelompok-kelompok yang bertentangan. Karaeng Sumanna diduduki oleh empat
anggota dari Bate Salapang, ialah Galai Mamangsa, Tombong, Gontamannang, dan Sanmata,
saling berpengaruh di istana. Dalam pertentangan yang timbul antara Karaeng Tallo dan Karaeng
Karunrung, kelompok tersebut di atas mendukung Karaeng Tallo. Salah satu sebab ialah bahwa
Karaeng Sumanna sangat membenci Karaeng Karunrung. Meskipun Sultan Hasanudin lebih
menyukai yang terakhir, tetapi toh memutuskan untuk membuangnya. Sementara faksionalisme
reda. Tetapi kemudian akan berkobar lagi waktu Karaeng Karunrung kembali ke Goa.Oleh
karena loyalitas kerajaan-kerajaan vasal pasang- surut sejajar dengan meningkat dan merosotnya
kekuasaan pusat sebagai pemegang suzereinitas, maka untuk memperkuat kedudukannya, Goa
mengirim ekspedisi secara besar-besaran guna memulihkan kewibawaannya di mata vasal-
vasalnya. Ekspedisi itu juga akan memantapkan kekuasaan di daerah-daerah yang menjadi
sengketa dengan Ternate.

Untuk menghadapi agresi Goa itu Sultan Mandarshah di Ternate membentuk aliansi
dengan Sultan Butung dan VOC yang bertujuan membantu perjuangan bangsa Bugis.
Sebaliknya, golongan dan sebagian dari rakyat yang lebih memihak Goa, antara lain seorang
saudara Sultan Ternate, Kashili Kalimata, yang dalam perebutan kekuasaan hendak
menggulingkan Sultan Mandarshah. Dari luar, Goa hanya memperoleh bantuan yang wajar dari
Banten. Diberitakan bahwa seorang bangsawan, Karaeng Konnon (sic.) menyelenggarakan
hubungan dengan Banten dan kemudian dengan Pasir Kalimantan.49 Dapat diduga bahwa Tidore
memihak Makassar, karena senantiasa dalam keadaan bermusuhan dengan Ternate. Dari VOC
dan Ternate diberitakan ada tuduhan-tuduhan bahwa Tidore bersekongkol dengan Makassar.
Sehubungan dengan ekspedisi ke Ambon dan Maluku (Juli 1666) Sultan Syarifudin dari Tidore
telah dihubungi oleh Sultan Hasanudin untuk bersekutu melawan Ternate dan VOC.
Persengketaan antara Goa dan Ternate sebenarnya disebabkan oleh pelanggaran perjanjian 19
Agustus 1660 yang menentukan bahwa Butung dan Manado termasuk daerah kekuasaan Ternate.

Faktor ketiga yang turut menentukan jalan serta kesudahan konfrontasi antara Makassar
dan VOC ialah bangsa Bugis yang ada dalam pengasingan, khususnya yang ada di Batavia.
Kontingen Bugis di bawah pimpinan Arung Palaka diberi pemukiman tersendiri di dekat Sungai
Angke, maka mereka disebut Toangke. Mereka mendapat latihan dalam berbagai keterampilan
berperang dengan disiplin keras agar selaku pasukan siap tempur. Politik VOC tidak segan
menggunakan pasukan Toangke itu untuk turut serta dalam ekspedisi ke Sumatra Barat di mana
ada perlawanan kuat terhadap VOC pada 1666 itu. Arung Palaka memperoleh kemenangan di
Ulakan sehingga mendapat julukan "Raja Ulakan", sedang Kapten Jonker, kepala pasukan
prajurit Ambon dijadikan Kepala Pariaman.51 Pada akhir tahun itu juga mereka tergabung dalam
ekspedisi VOC di Makassar.

5.Perang Makassar (1660-1669)

Seperti telah diutarakan di atas hubungan Makassar dengan VOC mau tak mau
berkembang menjadi rivalitas, karena tujuan VOC untuk memegang monopoli perdagangan
langsung bertentangan dengan prinsip sistem terbuka, suatu hal yang menjadi kepentingan
Makassar selama berkedudukan sebagai pusat perdagangan dengan hegemoni politik sebagai
dukungannya. Kalau pada satu pihak kekuatan VOC sangat ditentukan oleh alansinya dengan
Toangke, pada pihak lain Goa-Tallo tergantung juga pada aliansi-aliansinya dengan kerajaan-
kerajaan tetangga di Sulawesi Selatan, ditambah vasal-vasalnya di seberang laut. Akhirnya,
bangsa Melayu menjadi kekuatan yang dapat diandalkan oleh Makassar, antara lain karena
jalannya peperangan akan menentukan hidup-mati mereka.

Pada pertengahan 1667 ada usaha pendekatan antara Soppeng dan Bone. Dengan
melupakan pelanggaran perjanjian pada 1660 oleh Bone, para bangsawan bersumpah akan
menjunjung tinggi Perjanjian Attapang serta menerima pimpinan Arung Palaka. Aliansi baru ini
akan turut menentukan kesudahan perang. VOC mendapat banyak dukungan dari persekutuan
Soppeng-Bone dan Toangke itu. Dengan demikian kekuatan pasukan bisa mencapai jumlah 10-
18.000 orang lebih.53 Pihak VOC mengirimkan 21 kapal termasuk kapal admiral Tertholen dan
pasukan berjumlah 1870 orang, antara lain terdiri atas 818 orang pelaut, 578 orang prajurit
Belanda, dan 395 orang prajurit pribumi.Mengenai persenjataan apa yang ditemukan oleh
pasukan Bugis dan VOC sewaktu menyerbu Sombaopu sekadar memberi petunjuk tentang hal
itu: 33 pucuk meriam seberat 46.000 libra, 11 pucuk seberat 24.000 libra, 115 senapan, 83
senapan, 60 musket, 8.483 peluru.54

Adapun soal bahan makanan, persediaan beras rupanya tidak menjadi soal oleh karena
ada adat yang kuat untuk menghormat tanaman padi sehingga tidak terjadi pembinasaan tanaman
itu. Suatu persediaan beras 6.000 ton dapat dibakar VOC.Sehubungan dengan moral tinggi dalam
menjalankan siri itu maka rivalitas antara Bone dan Goa sangat menentukan loyalitas orang-
orang Bugis. Loyalitas pasukan dari unsur-unsur luar Goa- Tallo sangat dipengaruhi oleh aliansi
berdasarkan perjanjian- perjanjian lama. Rupanya dalam pelaksanaannya prinsip keseimbangan
dan persaudaraan sangat dipentingkan sehingga timbul persekutuan-persekutuan yang cukup
menunjukkan fleksibilitas. Hubungan antara tuan dan budak seperti yang didesakkan oleh Goa
kepada Bone dirasakan sangat merendahkan atau menghina sehingga mengundang terjadinya
monsterverbond antara VOC dan Toangke, yaitu suatu persekutuan antara unsur-unsur yang
"menakutkan" dan mengandung ketidakserasian.

Konflik bersenjata yang berkobar antara munculnya angkatan perang VOC di pelabuhan
Makassar dan jatuhnya Somboapu ditangannya merupakan konflik besar kedua yang dialami
VOC dalam menjalankan penetrasi di Nusantara. Berbeda dengan konfrontasi dengan Mataram
(1627-1629) kali ini peranannya lebih ofensif. Kalau netralitas Banten dapat turut
menyelamatkan Batavia dari agresi Sultan Agung, dari Perang Makassar ini diperoleh bantuan
yang memungkinkan kemenangan dengan aliansi dengan Arung Palaka beserta Toangke-nya.
Berkali-kali VOC akan dapat memanfaatkan adanya faksionalisme serta konflik atau perpecahan
di antara unsur-unsur pribumi, yaitu dengan membentuk aliansi dengan salah satu pihak. Konflik
intern yang terdapat laten dalam masyarakat pribumi memberi keleluasaan bagi kekuasaan
kolonial menjalankan politik divide et impera- nya. Dengan loyalitas terbatas dalam sistem
politik tradisional, lagi pula batas-batas kultur dan subkulturnya, komunikasi dan mobilisasi yang
lambat dan terbatas, kesemuanya merupakan faktor hambatan untuk pembentukan front bersama.

6. Jalannya Perang (Desember 1666-Juni 1669)

Angkatan perang VOC yang berangkat pada 24 November 1666 dari Batavia tiba di
pelabuhan Makassar pada 19 Desember. Berdasarkan instruksi Dewan VOC di Batavia segera
dikirim oleh Speelman utusan untuk menyampaikan surat kepada Karaeng Goa berisi tuntutan
agar diberikan penggantian dan dipenuhi tuntutan VOC secara memuaskan. Tuntutan itu disertai
ancaman bahwa sikap dendam akan dihadapi dengan kekerasan.57 Tuntutan itu ditolak oleh
Sultan Hasanudin, yang hanya bersedia memberi ganti rugi apa yang diderita oleh VOC. Karena
kegagalan itu, Speelman kemudian memerintahkan untuk melakukan pemboman terhadap
Makassar, sekadar untuk melakukan intimidasi.

Persiapan dilakukan untuk mengadakan ofensif terhadap Goa. Sementara itu kunjungan
Speelman ke Maluku berhasil mengajak Sultan Ternate ikut serta dalam perang. Agar mobilisasi
pasukan Bugis dapat diperlancar serta semangat rakyat dapat dikobarkan untuk mendukung
perjuangan melawan Goa, maka Arung Palaka berkunjung ke Bone, di mana bersama pemuka
Bone dan Soppeng diadakan sumpah setia berdasarkan Perjanjian Attapang.

Tujuan ofensif pasukan VOC-Bugis terarah kepada Galesong, suatu kunci strategis sebagai
pertahanan terakhir dari Makassar. Setelah mematahkan pertahanan pasukan sebesar 7.000 orang
di Bantaeng, tentara ekspedisi menuju ke Turatea. Sementara itu pasukan Arung Palaka bergerak
dari arah Pattiro. Kedua pasukan perlu dikonsentrasikan di Turatea. Yang terkumpul berjumlah
10.000 orang, 7.000 di antaranya orang Bugis. Pada pihak Makassar ditafsir ada 30.000 orang,
termasuk 10.000 yang dipimpin oleh Karaeng Lengkese, Karaeng Karunrung, dan Maradia
Balanipa, pertempuran akan sangat menentukan jalannya perang. Sultan Hasanudin sendiri ada
di tengah-tengah pasukan Makassar di Galesong.
Serangan pasukan VOC-Bugis disertai pertempuran sengit untuk merebut benteng di
Galesong akhirnya dapat memukul mundur pasukan Makassar dan pada akhir Agustus 1667
Galesong dikosongkan dan mereka mundur ke Makassar, Setelah Galesong jatuh suatu deretan
benteng-benteng pertahanan antara Basombong dan Tallo perlu dihancurkan. Di sana pasukan
VOC-Bugis menghadapi perlawanan yang gigih. Semangat pihak pertama agak menurun oleh
karena mendengar berita invasi pasukan Makassar ke Bone, lagi pula bala bantuan. dari Batavia
tidak banyak karena adanya perang antara negeri Belanda dan Inggris. Bala bantuan datang dari
pasukan Soppeng setelah beberapa bangsawan Soppeng bergabung dengan Arung Palaka.60
Pada saat itu sudah banyak raja-raja serta para bangsawan yang menyesuaikan diri dan
menyatakan loyalitasnya kepada Arung Palaka.

Sewaktu pasukan VOC-Bugis mengadakan pengepungan Makassar, timbullah perbedaan


pendapat antara Aru Palaka dan Speelman di satu pihak serta dewan di Batavia lain pihak. Pihak
yang pertama bertekad untuk meneruskan penyerangan, sedang pihak kedua ingin berdiplomasi
mencari perdamaian. Suatu pertempuran besar terjadi pada tanggal 26 Oktober 1667 di mana
pasukan Makassar mengalami kekalahan sehingga terbukalah jalan ke Somboapu dengan
istananya. Akibat kekalahan itu berturut-turut datang mencari perdamaian, Karaeng Layo,
Karaeng Bangkala, dan kemudian juga Kashili Kalimata. Suatu gencatan senjata selama tiga hari
terjadi dan pada akhirnya Karaeng Lengkese dan Karaeng Bontosungu dengan kekuasaan dan
Sultan Hasanudin datang untuk berunding. Perundingan dimulai pada 13 November 1667 di
Desa Bongaya dekat Basombong. Di dalam perundingan itu yang sangat menentukan ialah ide
pemulihan siri' yang menjiwai seluruh perjuangan lawan-lawan dari Makassar.

7.Kesudahan konfrontasi: Perjanjian Dan Pendudukan (1669)

Antara gencatan senjata 6 November dan penandatanganan perjanjian diadakan


pertemuan-pertemuan antara kedua belah pihak. Antara Speelman dan Sultan Hasanudin tercapai
persetujuan bahwa dari pihak Makassar Karaeng Karunrung bertindak sebagai wakilnya sedang
dari pihak VOC, Speelman sendiri. Perundingan dilakukan dalam bahasa Portugis

.Adapun tuntutan yang diajukan oleh Speelman terdiri dari 26 butir. Butir pertama menuntut agar
perjanjian-perjanjian sebelumnya dihormati serta dilaksanakan. Butir itu disusul dengan tuntutan
pengembalian baik anak kapal Belanda maupun alat senjata dari kapal Leeuwin dan Walvisch (2.
3.)Semua kerusakan dan kerugian karena perang harus diganti (9. 10. 19). Makassar harus
melepaskan suzereinitas atas kerajaan-kerajaan lain, seperti Bone, Turatea, (6. 8). Benteng.
benteng pertahanan harus dikosongkan (15. 18), daerah. daerah yang diduduki sejak perang
harus ditinggalkan (7. 23), penyerahan "pelaku perang", antara lain Sultan Bima, Karaeng
Bontomarannu (20. 21).
Ada sekitar sepuluh butir yang langsung menjadi kepentingan VOC, baik di bidang politik
militer maupun ekonomi: jaminan utang kepada Kumpeni (5), penyerahan teritoir yang direbut
dalam perang (7), pengawasan Bima dialihkan kepada VOC (11), pembatasan kegiatan pelayaran
orang Makassar (12), penutupan Makassar bagi perdagangan bangsa Eropa (13), peredaran matal
uang Belanda di Makassar (22), pembebasan bea cukai bagi VOC (17), menyerahkan budak
sejumlah 1.500 orang (24), hak- tunggal VOC menjual bahan kain dan pecah-belah Cina (14),
yurisdiksi daerah pertahanan Ujung Pandang di tangan VOC (16), Butir-butir tersebut di atas
mencerminkan tujuan utama VOC untuk memegang monopoli di Makassar serta memperkuat
kedudukan, politik, dan militernya baik di Makassar maupun di Indonesia Timur.

Dari beberapa pertempuran yang kemudian berkobar antara lain dari 4 Juli, 11 dan 12
Agustus, dan 12 Oktober, yang terakhir memberi kemenangan kepada pasukan VOC-Bugis.
Penggabungan pasukan Wajo dengan pasukan Goa dan invasi pasukan terakhir itu ke Bone,
adalah strategi untuk menarik kekuatan pasukan VOC-Bugis ke arah lain Di pihak Bugis dan
VOC disadari bahwa Somboapu dengan istana raja menjadi lambang kekuasaan Goa- Tallo,
maka strateginya diarahkan ke perebutan pusat pertahanan itu. Di luar dugaan pihak VOC,
Somboapu dipertahankan secara mati-matian. Dengan kekalahan dalam pertempuran pada 14
dan 15 April 1669 perlawanan di sebelah utara Somboapu sudah patah. Dari pasukan Melayu
yang gigih sudah banyak yang melarikan diri ke Mandar, Pasir, dan Bima. Pertahanan benteng
dipimpin oleh Karaeng Karunrung sendiri. Hambatan besar dalam penyerbuan ialah tembok yang
tebal 3 1/2 meter itu.

Penyerbuan dimulai pada 14 Juni 1669. Setelah tembok bobol di dua tempat karena kena
tembakan meriam, ada kesempatan bagi pelopor masuk benteng. Baru pada 22 Juni serbuan itu
dapat dilakukan di bawah pimpinan Arung Palaka sendiri. Karena banyak kebakaran terjadi,
Sultan Hasanudin terpaksa mengungsi, tinggal Karaeng Karunrung sendiri bertahan terus, akan
tetapi kekuatan 7-8.000 orang pasukan Bugis tidak dapat dibendung lagi. Serbuan terjadi dan
dalam kekacauan, pasukan mulai menyita segala benda-benda di dalam benteng itu.63

Sebelum Somboapu jatuh, Sultan Hasanudin turun dari takhta dan diganti oleh putra I
Mappasomba, Sultan Amir Hamzah. Bone dan Soppeng unggul dalam Perang Makassar (1666-
1669), maka untuk Sulawesi Selatan mulailah babakan baru dalam sejarahnya. Dengan
kekalahan Goa-Tallo terhapuslah suzereinitasnya atas kerajaan-kerajaan lain. Bone dan Soppeng
di dalam hierarki paling berkuasa. Meskipun demikian, dalam tahun-tahun berikutnya kedudukan
itu mendapat tentangan dari pelbagai pihak, terutama Wajo, Lamuru, Tosora, Mandar. Dengan
dikirimkan ekspedisi sampai 1671 berturut-turut kerajaan-kerajaan itu dapat ditaklukkan dan
derajat integrasi politik Sulawesi Selatan dipulihkan. Perbedaannya ialah bahwa sebelum Perang
Makassar, Goa yang memegang hegemoni, tetapi sesudahnya Bone.

KESIMPULAN
Perkembangan Perdagangan Politik Ekspansi Kalau pada satu pihak lokasi Makassar
dengan pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku
dan Malaka, maka pada pihak lain kemunduran pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong
perkembangannya yang pesat pada bagian kedua abad ke-17.Dengan perkembangan pelabuhan
itu mengalirlah barang- barang ke Makassar, seperti sutra dan pecah-belah Cina dengan kapal
Siam dan bahan pakaian dengan kapal Portugis.Ekspansi Kerajaan Goa Sejak 1600 Antara
kedudukan kerajaan kembar Goa dan Tallo selaku pusat kekuasaan politik dan peranan Makassar
sebagai pusat perdagangan ada saling ketergantungan; perdamaian dan keamanan yang ada di
Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Goa dan Tallo memungkinkan perkembangan perdagangan
di Makassar, dan sebaliknya perdagangan internasional yang tertarik ke sana membawa banyak
kekayaan.

Kedudukannya sebagai pelabuhan transito atau entrepot sangat tergantung pada aliran
rempah- rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan
lain yang dibutuhkan untuk bekal pelayaran, maka dari itu politik ekspansi Goa-Tallo dan
perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat ditentukan oleh kedua faktor
tersebut.Karena perdagangan rempah-rempah sangat vital bagi Makassar maka setiap usaha
menguasai daerah penghasil bahan-bahan itu mengancam kepentingannya, sehingga tidak dapat
dielakkan adanya konflik dengan Ternate pada satu pihak dan VOC pada pihak lain.Oleh karena
hubungan Malaka dan Makassar merupakan garis hidup perdagangan Makassar, suatu pukulan
terhadap Malaka akan sangat melemahkan kedudukan pelabuhan itu.Faktor intern Sulawesi yang
telah terintegrasikan di bawah hegemoni Goa-Tallo ternyata akan turut menentukan kesudahan
konfrontasi Makassar dengan VOC, tidak lain karena di Kerajaan Bone ada unsur-unsur yang tak
kunjung padam melakukan oposisi terhadap dominasi Goa-Tallo itu.

Perlawanan dari pihak Tellumpoco-Bone, Wajo dan Soppeng membangkitkan perang


yang dalam bahasa Bugis disebut Sebagai pembawaan hubungan perdagangannya Goa memiliki
hubungan diplomasi dengan Banjarmasin, Banten, Aceh, dan Mataram.Prinsip sistem terbuka
yang dianut Makassar dalam menjalankan politik perdagangannya pada umumnya dan
diplomasinya terhadap VOC khususnya tampak jelas dalam pokok-pokok persyaratan yang
diajukannya kepada VOC untuk mengadakan perjanjian dengan VOC pada 1659.Ekspansi Goa-
Tallo berhasil meletakkan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian mengintegrasikan
wilayah itu menjadi kesatuan politik, namun hubungan konflik antara Goa dan Bone membawa
ketegangan politik terus-menerus sehingga Pax Sulawesiana di bawah pemerintahan Karaeng
Matoaya dan Sultan Alaudin tidak dapat direalisasikan secara penuh.

Pertentangan antara Goa dan Bone Waktu pertentangan mengenai monopoli perdagangan
antara Goa dan VOC meruncing maka Sultan Hasanudin mengambil dua langkah: (a) membuat
ketat pengawasan terhadap Bone dan (b) mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat
pertahanan Makassar.Rupanya persiapan perang dilakukan mengingat gelagatnya konfrontasi
tidak akan dapat dihindari lagi.Sejak Bone untuk kesekian kalinya ditaklukkan oleh Goa pada
1644, Tobala diangkat sebagai kepala, sedang banyak bangsawan dipindahkan ke Goa, antara
lain La Tenriaji, Tosenrima, Arung Kung, Daeng Pabila, dan seorang pemuda, Arung Palaka.Di
antara yang tinggal, ada persekongkolan untuk memberontak di bawah pimpinan Arung Palaka
dan Tobala.Para pemimpin tersebut di atas bersikap pro berdasarkan ikatan lama yang terkenal
dengan Tellumpoco (1582), sedang banyak bangsawan Soppeng yang anti oleh karena ingin
menghormati Perjanjian Lamongo dengan Goa.

Oleh karena letak Soppeng terapit oleh kedua kerajaan yang bertentangan terus-menerus,
maka dicari jalan diplomasi- diplomasi, pertama ke dalam untuk tidak menimbulkan perpecahan,
dan kedua membuat keseimbangan dalam hubungannya dengan kedua kekuasaan itu.Di dalam
dua pertempuran, yang pertama di dataran Suling dan yang kedua di Matango, pasukan Bone
mengalami kekalahan besar.Setelah ada tambahan pasukan baru dari Wajo dan pasukan Melayu
dari Makassar, pasukan Bone di bawah Datu Soppeng mengundurkan diri untuk bertahan di
kampung halamannya.

Dengan demikian kekuatan pasukan bisa mencapai jumlah 10-18.000 orang lebih.53 Pihak VOC
mengirimkan 21 kapal termasuk kapal admiral Tertholen dan pasukan berjumlah 1870 orang,
antara lain terdiri atas 818 orang pelaut, 578 orang prajurit Belanda, dan 395 orang prajurit
pribumi.Mengenai persenjataan apa yang ditemukan oleh pasukan Bugis dan VOC sewaktu
menyerbu Sombaopu sekadar memberi petunjuk tentang hal itu: 33 pucuk meriam seberat 46.000
libra, 11 pucuk seberat 24.000 libra, 115 senapan, 83 senapan, 60 musket, 8.483 peluru.54
Adapun soal bahan makanan, persediaan beras rupanya tidak menjadi soal oleh karena ada adat
yang kuat untuk menghormat tanaman padi sehingga tidak terjadi pembinasaan tanaman
itu.Hubungan antara tuan dan budak seperti yang didesakkan oleh Goa kepada Bone dirasakan
sangat merendahkan atau menghina sehingga mengundang terjadinya monsterverbond antara
VOC dan Toangke, yaitu suatu persekutuan antara unsur-unsur yang "menakutkan" dan
mengandung ketidakserasian.Konflik bersenjata yang berkobar antara munculnya angkatan
perang VOC di pelabuhan Makassar dan jatuhnya Somboapu ditangannya merupakan konflik
besar kedua yang dialami VOC dalam menjalankan penetrasi di Nusantara.

Daftar Pustaka

Sartono Kartodirdjo, 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 : Dari


Emporium sampai Imperium. Hal. 66-102-123 Yogyakarta. Penerbit Ombak.

Anda mungkin juga menyukai