Anda di halaman 1dari 32

Sejarah awal Gowa dan Tallo

Sejarah kerajaan Gowa-Tallo sejak berdirinya hingga akhir abad ke-16

Kerajaan bersuku Makassar di Gowa muncul sekitar tahun 1320 sebagai salah satu dari
sekian banyak chiefdom[a] agraris di jazirah Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-16 hingga
seterusnya, Gowa dan sekutu pesisirnya, Tallo[b] menjadi kekuatan besar pertama yang
mendominasi sebagian besar daerah semenanjung tersebut.[4] Pencapaian politik ini
dimungkinkan dengan reformasi pemerintahan dan militer secara besar-besaran, termasuk
pembentukan birokrasi pertama di Sulawesi Selatan. Oleh sejarawan William P. Cummings,
Gowa pada abad ke-16 dicirikan sebagai sebuah imperium,[5] sementara masa-masa awal
kerajaan telah dianalisis sebagai contoh pembentukan negara.

Rekonstruksi istana raja Gowa

Bukti genealogis dan arkeologis menyiratkan bahwa dinasti Gowa bermula pada sekitar
tahun 1320. Pendirian Gowa merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran
masyarakat Sulawesi Selatan, yang memicu percepatan intensifikasi pertanian padi lahan
basah. Gowa pada masa awal merupakan negara agraris tanpa akses langsung ke tepi
laut. Tallo didirikan 100 tahun kemudian ketika seorang Raja Gowa membagikan wilayahnya
kepada anaknya yaitu Batara Gowa untuk Kerajaan Gowa dan Karaeng Loe ri Sekro untuk
Kerajaan Tallo. Lokasi pinggir laut memungkinkan negara baru ini untuk mengambil
keuntungan lebih besar dalam perdagangan maritim dibandingkan Gowa.

Awal abad ke-16 merupakan titik balik dalam sejarah kedua negara. Karaeng (penguasa
daerah) Gowa Tumaparisi Kallonna menguasai daerah pesisir dan memaksa Tallo untuk
menjadi sekutu muda Gowa. Penerusnya, Tunipalangga, menjalankan serangkaian
pembaharuan untuk memperkuat otoritas kerajaan dan mendominasi perdagangan di
Sulawesi Selatan. Perang-perang penaklukan Tunipalangga didukung dengan adopsi
senjata api dan inovasi dalam pembuatan senjata lokal. Pengaruh Gowa melingkupi
jangkauan wilayah yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah Sulawesi;
kekuasaan sang raja dapat dirasakan mulai dari Toli-Toli di utara hingga Selayar sebelah
selatan. Walaupun menjelang akhir abad ke-16 kampanye militer Gowa demi menetapkan
hegemoni mengalami kemunduran, kerajaan ini terus bertumbuh dalam hal kesejahteraan
ekonomi dan kompleksitas pemerintahan. Fase awal sejarah Gowa dan Tallo dianggap
berakhir pada tahun 1593, ketika seorang Karaeng Gowa yang bertindak sewenang-wenang
digulingkan dan mangkubumi Karaeng Matoaya menjadi penguasa de facto Gowa.[6]

Perubahan demografis dan kultural juga terjadi pada masa awal sejarah Gowa dan Tallo.
Hutan-hutan hijau dibabat untuk dijadikan persawahan. Populasi diperkirakan bertumbuh
sepuluh kali lipat antara abad ke-14 dan ke-16, bersamaan dengan masuknya jenis-jenis
tanaman, pakaian, dan perabot baru dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya cakupan
perubahan wilayah, pemerintahan, dan kependudukan ini membuat banyak ahli
menyimpulkan bahwa Gowa mengalami transformasi dari sebuah chiefdom kompleks
menjadi masyarakat bernegara pada abad ke-16, walaupun pendapat ini belum disepakati
secara bulat.

Latar belakang

a & Tallo

Letak Gowa dan Tallo di Sulawesi

Jazirah Sulawesi Selatan dihuni oleh empat kelompok etnis utama: suku Mandar di bagian
pesisir barat laut, suku Toraja di daerah pegunungan di utara, suku Bugis di dataran rendah
dan perbukitan sebelah selatan tanah Mandar dan Toraja, serta suku Makassar yang
mendiami bagian paling selatan semenanjung (termasuk wilayah Gowa dan Tallo).[7]
Keempat suku ini merupakan penutur bahasa-bahasa Austronesia dari subkelompok
Sulawesi Selatan.[7] Sejak sekitar awal abad ke-13, masyarakat di semenanjung Sulawesi
Selatan mulai mengelompok menjadi chiefdom-chiefdom berbasiskan pertanian ladang
berpindah[8] yang batas-batasnya ditentukan oleh ragam dialek atau bahasa.[9]

Meskipun kerajaan-kerajaan pesisir mendapat pengaruh terbatas dari imperium Jawa


Majapahit[10][11] dan dikenalkan dengan aksara Brahmik pada abad ke-15,[12] sejarawan Ian
Caldwell berpendapat bahwa perkembangan peradaban awal Sulawesi Selatan "secara
garis besar tidak terhubung dengan teknologi dan ide-ide asing."[c][13] Seperti chiefdom-
chiefdom Filipina[14] dan masyarakat Polinesia,[15] Gowa pra-Islam dan jiran-jirannya
merupakan peradaban yang berdasarkan "pada kelompok pemikiran sosial dan politik asli
'bangsa Austronesia'"[d] dan dapat dikontraskan dengan masyarakat Nusantara bagian
barat lainnya yang memperoleh pengaruh budaya India secara ekstensif.[16][17]

Sumber sejarah
Kajian sejarah mengenai masa prakolonial wilayah Makassar amat bergantung pada
naskah-naskah patturioloang ("perihal orang-orang terdahulu") atau kronik dari Gowa dan
Tallo,[18] yang diperkirakan mulai ditulis sejak akhir abad ke-16.[19] Kronik Gowa dan Kronik
Tallo memberikan gambaran umum mengenai pertumbuhan Gowa-Tallo mulai dari
pembentukan dinasti hingga menjadi persekutuan kerajaan paling berpengaruh di bagian
timur Nusantara pada awal abad ke-17.[18] Menurut beberapa ahli yang mendalami sejarah
Nusantara, narasi sejarah dalam kronik-kronik Makassar tergolong "waras" dan "faktual"
jika dibandingkan dengan narasi dalam naskah-naskah babad dari Jawa.[20][21] Walaupun
begitu, menurut Cummings, naskah-naskah ini tetaplah tidak sama dengan kajian
historiografi modern yang memandang penulisan sejarah sebagai usaha untuk memahami
masa lampau. Naskah-naskah patturioloang, sebagaimana namanya, lebih seperti
semacam silsilah yang berpusat pada para penguasa dan keturunannya. Setiap bab dalam
kronik-kronik Gowa dan Tallo pun disusun secara tematis mengikuti kehidupan seorang
penguasa tanpa menghiraukan urutan kronologis.[22]

Selain kronik, langgam tulisan sejarah Makassar lainnya adalah lontaraq bilang, yang sering
diterjemahkan menjadi "buku harian kerajaan" atau "tawarikh".[23][24] Berbeda dengan
patturioloang, catatan lontaraq bilang disusun secara kronologis, menggunakan
penanggalan Islam dan Kristen, dengan nama-nama bulan yang diserap dari bahasa
Portugis; kemungkinan tradisi menulis tawarikh ini sendiri merupakan pengaruh bangsa
Eropa.[23][25] Naskah-naskah dalam langgam ini mendaftar kejadian-kejadian penting
semisal kelahiran dan kematian para bangsawan, proyek-proyek pembangunan, kedatangan
delegasi asing, bencana alam, hingga kejadian tak biasa seperti gerhana dan melintasnya
komet.[26] Tradisi menulis lontaraq bilang kemungkinan baru dikukuhkan pada tahun 1630-
an; catatan kejadian sebelum masa tersebut memiliki frekuensi yang jarang dan topik yang
terbatas.[23][25]

Hanya sedikit catatan eksternal yang membahas Sulawesi Selatan sebelum abad ke-16,
salah satunya adalah naskah Jawa Nagarakretagama dari abad ke-14, yang menyebut
beberapa nama tempat di Sulawesi Selatan.[27] Laporan Tomé Pires dari awal abad ke-16
memberikan gambaran yang agak rancu mengenai sebuah "negeri dengan banyak pulau"
yang ia namai "Macaçar".[28] Laporan-laporan lain yang dituliskan antara abad ke-16 dan
abad ke-17 terbatas dalam hal cakupan geografi. Barulah setelah kebangkitan Makassar
pada awal abad ke-17, rekaman sejarah pihak luar mengenai wilayah tersebut menjadi lebih
lengkap dan terperinci.[27]

Awal mula Gowa dan Tallo

Seorang wanita memegang Salokoa, mahkota diraja Gowa. Salokoa, yang dibuat dari emas dan intan, merupakan pusaka kerajaan yang bisa ditelusuri asalnya hingga masa-masa permulaan Gowa, dan melambangkan wewenang kerajaan sepanjang sejarah
Gowa.[29]

Dinasti-dinasti utama di Sulawesi Selatan mengaitkan asal-usul mereka dengan para


tumanurung, sebuah ras makhluk langit berdarah putih yang muncul secara misterius untuk
menikahi penguasa-penguasa fana dan memerintah umat manusia,[30] tak terkecuali Gowa.
Kronik Gowa dari abad ke-17 secara spesifik menyebutkan bahwa orang tua Karaeng Gowa
pertama adalah seorang raja asing[31] yang dipanggil Karaeng Bayo dan wanita tumanurung
yang turun ke wilayah Kale Gowa atas permintaan dari pemimpin-pemimpin setempat.[32]
Pemerintahan Gowa terlahir ketika pemimpin-pemimpin setempat yang dikenal secara
kolektif sebagai Bate Salapang (secara harfiah bermakna "Sembilan Panji") bersumpah
setia kepada Karaeng Bayo dan sang tumanurung sebagai ganti pengakuan mereka atas
hak-hak adat Bate Salapang.[31]

Legenda tumanurung umumnya dipandang oleh para arkeolog (antara lain Francis David
Bulbeck) sebagai interpretasi mitologis dari sebuah kejadian sejarah, yaitu perkawinan
antara seorang penguasa Bajau dengan wanita bangsawan setempat yang keturunannya
kelak menjadi wangsa yang berkuasa di Gowa.[33][34] Pada saat itu, suku Bajau merupakan
komunitas utama yang membawa barang dagangan dari Laut Sulu hingga Sulawesi
Selatan.[e][36] Perkiraan berdasarkan catatan genealogis dinasti menyiratkan bahwa
masyarakat berpemerintahan di Gowa terbentuk pada sekitar tahun 1300.[37] Hipotesis ini
didukung oleh bukti-bukti arkeologis semasa yang mengisyaratkan kemunculan elit
penguasa di daerah Kale Gowa, di antaranya temuan sejumlah besar keramik asing
impor.[38][39]

Pendirian Gowa pada sekitar tahun 1300 merupakan bagian dari perubahan dramatis di
Sulawesi Selatan yang mengantarkan pada zaman yang disebut "Periode Sejarah Awal"
oleh Bulbeck and Caldwell.[40] Di sepanjang semenanjung, perniagaan dengan wilayah lain
di Nusantara berkembang pesat. Hal ini berakibat pada naiknya permintaan beras dari
Sulawesi Selatan yang mendorong sentralisasi politis serta intensifikasi pertanian padi.[41]
Kepadatan penduduk melonjak tajam sejak praktik pertanian ladang berpindah digantikan
dengan budi daya padi lahan basah intensif yang bergantung pada alat bajak yang baru
dikenalkan dari Nusantara bagian barat. Pemukiman-pemukiman baru bermunculan dalam
jumlah besar di pedalaman semenanjung yang semakin gundul.[42] Meningkatnya budi daya
padi memungkinkan bahan pangan yang sebelumnya langka ini menjadi makanan pokok di
Sulawesi Selatan,[43] menggantikan hasil tani lama semisal sagu atau jali.[42] Perubahan-
perubahan ini disertai dengan tumbuhnya negara-negara baru yang berbasis pertanian padi
lahan basah di pedalaman, seperti negara Bugis di Bone dan Wajo.[42] Gowa periode awal
juga merupakan chiefdom pertanian pedalaman yang berpusat pada budi daya padi.[39]

Terusirnya Karaeng Loe ri Sero dari Sero dan pendirian Tallo, akhir abad ke-15. Sungai Jeneberang yang mengaliri selatan Makassar dirujuk dengan nama lama 'Sungai Garassi.'

Sumber-sumber Makassar meriwayatkan bahwa Tallo didirikan sebagai sempalan dari


dinasti Gowa pada akhir abad ke-15. Dalam pertikaian perebutan takhta antara dua putra
Karaeng Gowa keenam, Batara Gowa dan adiknya Karaeng Loe ri Sero,[f] sang kakak
berhasil merebut wilayah saudaranya.[44] Menurut Kronik Tallo, kejadian ini memaksa
Karaeng Loe mengungsi ke 'Jawa',[45] lebih tepatnya pantai utara Jawa,[46] tetapi mungkin
juga yang dimaksud adalah komunitas dagang Melayu di pesisir Sulawesi dan
Kalimantan.[g][45] Insiden ini mungkin saja merupakan bagian dari tahapan perubahan yang
lebih besar, yaitu meluasnya kekuasaan Karaeng Gowa hingga mengancam negara-negara
tetangganya yang berdaulat.[47] Sepulangnya dari pelarian, Karaeng Loe menemukan bahwa
beberapa bangsawan masih mendukungnya. Ia dan para pengikutnya berkonsolidasi di ibu
kota sementara di sebelah timur Gowa, sebelum kemudian berlayar hingga ke muara Sungai
Tallo, membabat hutan di sana, dan mendirikan negara baru bernama Tallo.[44] Garis besar
cerita pendirian ini didukung dengan temuan arkeologis yang menyiratkan adanya lonjakan
drastis kepingan keramik di lingkungan muara Tallo pada sekitar tahun 1500.[47]

Sejak semula, Tallo menjadi negara maritim dengan mengambil keuntungan dari
menggeliatnya perdagangan regional[48] yang diikuti oleh pertumbuhan penduduk di
kawasan pesisir.[39] Catatan-catatan Portugis mengisyaratkan adanya komunitas niaga
Melayu di bagian barat Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1490,[49] sementara sebuah
sumber Melayu menyatakan bahwa seorang sayyid (keturunan Nabi Muhammad) pernah
menyambangi Sulawesi Selatan pada tahun 1452.[h] Anak dan penerus Karaeng Loe,
Tunilabu ri Suriwa, tercatat pernah "berlayar ke Melaka, lalu ke timur menuju Banda. Tiga
tahun ia berkelana, barulah ia pulang".[i][45] Wanita-wanita yang diperistri Tunilabu, termasuk
di antaranya seorang wanita Jawa dari Surabaya, juga berasal dari berbagai komunitas
pedagang. Karaeng Tallo ketiga, Tunipasuru, tercatat pernah juga menyinggahi Melaka dan
meminjamkan uang di Johor.[45][48] Budaya dagang Tallo turut berkontribusi terhadap
kebangkitan Makassar di kemudian hari sebagai pusat perdagangan yang berjaya.[45]

Gowa dan Tallo dari 1511 hingga 1565

Masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna (sekitar 1511–1546)

Kajian historiografi lama umumnya berpendapat bahwa Kerajaan Siang mendominasi


bagian barat Sulawesi Selatan sebelum naiknya Gowa sebagai kekuatan besar.[48][52][53]
Tafsiran ini didasarkan pada laporan tahun 1544 dari saudagar Portugis Antonio de Paiva,
yang secara tidak langsung menyatakan bahwa Gowa pernah menjadi negara bawahan
Siang: "Aku berlabuh di bandar tersebut, sebuah kota besar bernama Gowa, yang
sebelumnya diperintah oleh seorang vasal dari Raja Siang, tetapi telah direbut darinya."[j][54]
Namun, pusat Gowa yang sebenarnya adalah ladang pertanian di pedalaman, bukan kota
pelabuhan. Bulbeck menafsirkan bahwa yang dimaksud Paiva dengan "Gowa" adalah
bandar pesisir Garassi yang kala itu diperebutkan oleh Siang dan Gowa.[55] Penelitian
arkeologis belakangan ini tidak menemukan banyak bukti perihal kedigdayaan Siang.[49]
Pendapat yang lebih mutakhir menyatakan bahwa bagian barat Sulawesi Selatan tidak
pernah disatukan sebelum kebangkitan Gowa.[55]
Contoh catatan sejarah Makassar, yang mulai dituliskan secara luas pada era Tumaparisi Kallonna (memerintah 1510/1511-1546)

Keadaan status quo ini dipecahkan oleh Tumaparisi Kallonna (memerintah sekitar 1511–
1546[k]), putra Batara Gowa. Ia merupakan karaeng pertama yang dideskripsikan secara
rinci oleh Kronik Gowa.[45] Sejak masa pemerintahan Batara Gowa, Gowa telah berambisi
untuk menaklukkan negara-bandar Garassi yang makmur, terletak di tempat yang sekarang
menjadi pusat kota Makassar,[46] tetapi cita-cita ini baru terwujud pada zaman Tumaparisi
Kallonna. Penaklukan Garassi oleh Gowa, yang diperkirakan terjadi seawal-awalnya tahun
1511,[l] memberikan akses perdagangan maritim yang lebih besar kepada negara yang
tadinya terkurung daratan ini.[62] Selain Garassi, Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi
Kallonna menaklukkan, menjadikan vasal, dan melakukan pengambilan upeti dari tiga belas
negeri Makassar lainnya.[63] Sebagian besar kampanye penaklukan yang dilakukannya
terbatas pada bagian barat daya semenanjung yang didominasi etnis Makassar.[m][64]
Meski Gowa beberapa kali mengalami hambatan dalam penaklukan antara tahun 1520 dan
1540, dengan lepasnya wilayah hulu Sungai Tallo[65] dan Garassi, kemunduran ini hanya
bersifat sementara. Sejak 1530-an Garassi telah ditaklukkan kembali dan, di kemudian hari,
dijadikan tempat bertakhta raja Gowa.[62] Benteng kerajaan Somba Opu kemungkinan
dibangun pada masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna.[66]

Di bawah kepemimpinannya, Gowa menyerang dan menaklukkan Tallo, menjadikan


tetangganya itu sebagai negara bawahan.[67]

Pencapaiannya yang paling diagungkan adalah perang melawan Tallo dan sekutu-
sekutunya, sebuah titik balik krusial dalam sejarah kedua kerajaan,[68] yang diperkirakan
terjadi pada akhir 1530-an atau awal 1540-an.[59][69] Menurut beberapa sumber,
permusuhan antara Tallo dan Gowa meletus menjadi perang tatkala seorang pangeran
Gowa menculik putri Tallo.[70] Tunipasuru dari Tallo bersekutu dengan para penguasa dari
dua negeri jiran, Polombangkeng dan Maros,[n] untuk menyerang sepupunya Tumaparisi
Kallonna.[68] Di bawah pimpinan Tumaparisi Kallonna dan kedua putranya,[o] Gowa berhasil
memenangkan pertempuran melawan Tallo dan sekutunya. Sebagai pemenang perang,
Tumaparisi Kallonna diundang ke Tallo untuk menghadiri persumpahan yang menyatakan
Tallo sebagai sekutu muda Gowa. Dengan ini, "penguasa Gowa pun diakui secara luas
sebagai tokoh dominan di tanah Makassar."[p][68] Persekutuan ini direkatkan dengan
pernikahan antara sejumlah besar bangsawan wanita Tallo dan raja-raja Gowa.[68][73]
Perjanjian serupa dibuat dengan Maros dan, dalam lingkup yang lebih kecil,
Polombangkeng, untuk memastikan bahwa Kerajaan Gowa tidak hanya memegang kendali
atas pengaruh dagang Tallo,[74] tapi juga sumber daya alam dan manusia Maros serta
Polombangkeng.[75]

Pemerintahan Tumaparisi Kallonna juga diasosiasikan dengan pembaharuan internal,


termasuk di antaranya pengembangan tradisi penulisan sejarah dan pengadaan jabatan
sabannaraq atau syahbandar untuk pertama kali.[76] Sabannaraq pertama, Daeng Pamatte,
memiliki lingkup tanggung jawab yang luas, termasuk pengaturan perdagangan di
pelabuhan Garassi/Makassar dan komando militer atas Bate Salapang.[76] Ekspansi
birokrasi yang mencakup penambahan jabatan-jabatan spesifik merupakan inovasi dari
karaeng berikutnya, Tunipalangga.[63] Selain menjadi pejabat penting pertama dalam sejarah
Gowa, Daeng Pamatte juga mengenalkan metode pencatatan sejarah kepada kerajaan.[77]
Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna terlibat dalam penulisan hukum-hukum
dan pernyataan perang pada masanya.[63] Demikian pula, Kronik Tallo menyatakan bahwa
Tunipasuru, yang hidup sezaman dengan Tumaparisi Kallonna, merupakan Karaeng Tallo
pertama yang pandai menulis.[78] Pada masa ini juga, tembok pelindung dari tanah liat
diperkirakan mulai dibangun di sekitar Kale Gowa,[79] Somba Opu, dan Garassi.[80]

Masa pemerintahan Tunipalangga (sekitar 1546–1565)

Jangkauan penaklukan Tunipalangga di seluruh Sulawesi

Masa pemerintahan Karaeng Gowa berikutnya, Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–


1565[q]), ditandai dengan perluasan militer. Sang karaeng sendiri dianggap sebagai orang
yang pemberani dan amat mahir dalam berperang.[83] Kronik Gowa meriwayatkan bahwa
sang karaeng berperan dalam "mengecilkan ukuran perisai dan memendekkan batang
tombak,"[83] dengan maksud agar senjata-senjata tradisional ini lebih leluasa digunakan.[84]
Tunipalangga juga mengenalkan beragam teknologi militer asing yang lebih maju, seperti
bubuk mesiu, "meriam-meriam besar", perbentengan batu bata (serupa Benteng Somba Opu
di Makassar, yang menjadi tempat Tunipalangga bertakhta[85]), dan "peluru Palembang"
yang digunakan untuk senapan laras panjang.[83] Kemajuan teknologi inilah yang
memungkinkan Gowa untuk nantinya menaklukkan sejumlah besar negeri di Sulawesi, dari
Semenanjung Minahasa di utara hingga Pulau Selayar di lepas pantai selatan.[82] Bersama
takluknya negeri-negeri Bugis di Ajatappareng, Gowa berhasil menyingkirkan sisa
pesaingnya di tepi barat Sulawesi Selatan, dan memungkinkan perluasan lingkup pengaruh
Tunipalangga hingga ke Sulawesi Tengah dan Toli-Toli.[86]

Penguasa-penguasa daerah taklukan diwajibkan mengunjungi istana Tunipalangga di Gowa


setiap tahunnya untuk mengantarkan upeti sekaligus melakukan ritual untuk menunjukkan
ketundukan dan kesetiaan mereka.[87] Dinasti-dinasti negeri taklukan juga diikat dengan
pernikahan untuk melegitimasi kekuasaan Gowa.[88] Pada tahun 1565, satu-satunya negeri
yang masih bebas dari pengaruh Gowa di Sulawesi Selatan hanya kerajaan Bugis paling
digdaya, yaitu Bone.[82] Tunipalangga tidak hanya memaksa tunduk negeri-negeri tetangga,
tapi juga memperbudak dan merelokasi seluruh penduduknya untuk dipekerjakan dalam
pembangunan jaringan pengairan dan perbentengan.[89][90]

Proses penaklukan mungkin juga mencakup relokasi komunitas niaga Melayu yang aktif di
seluruh Sulawesi Selatan ke bandar Garassi/Makassar di bawah kuasa Gowa,[91] meskipun
pendapat ini disanggah oleh Stephen C. Druce.[92] Apapun penyebabnya, yang pasti
perniagaan Melayu di Makassar berkembang pesat pada pertengahan abad ke-16. Pada
tahun 1561, dalam rangka memelihara kegiatan perdagangan mereka di Makassar,
Tunipalangga menandatangani sebuah pakta bersama Datuk Maharaja Bonang,[r] yang
memimpin pedagang-pedagang Melayu, Cham, dan Minangkabau.[94] Bonang dan orang-
orangnya diberikan hak untuk menetap di Makassar dan terbebas dari hukum adat.[95][96]
Kejadian ini mengukuhkan kehadiran bangsa Melayu di Makassar sebagai komunitas
permanen, bukan lagi temporal atau musiman.[97] Penaklukan Tunipalangga atas bandar-
bandar pesaing dan pusat pembuatan kapal semenanjung seperti Bantaeng,[98] beserta
reformasi ekonomi seperti pembakuan satuan berat dan pengukuran (yang kemungkinan
diusulkan oleh komunitas Melayu), menjadikan Gowa-Tallo bandar persinggahan unggulan
bagi rempah-rempah dan hasil hutan di Nusantara bagian timur.[99]
Somba Opu, tempat tinggal Tunipalangga yang dibentengi dengan dinding bata

Bibit birokrasi Gowa dikembangkan secara besar-besaran oleh Tunipalangga. Ia


menghapuskan tugas-tugas nondagang sabannaraq[100] dan memberikannya kepada
jabatan baru yang disebut tumailalang,[s] semacam menteri dalam negeri[101] yang menjadi
perantara karaeng dan para bangsawan Bate Salapang.[102] Mantan sabannaraq Daeng
Pamatte dipromosikan untuk menjadi tumailalang pertama.[95] Inovasi birokrasi lainnya
adalah pengadaan jabatan kepala pengrajin atau Tumakkajanangngang[t] yang mengawasi
operasi serikat-serikat pengrajin di Makassar dan memastikan bahwa setiap serikat akan
memenuhi permintaan negara.[103][107] Selain memperbaharui birokrasi, Tunipalangga
melanjutkan kebijakan sentralisasi dengan memberlakukan kerja rodi untuk kepentingan
umum pada rakyat taklukannya.[95] Meski begitu, pekerja rodi lebih banyak direkrut oleh
bangsawan tuan tanah alih-alih oleh birokrasi yang masih terbatas.[108]

Gowa dan Tallo dari 1565 hingga 1593

Perang melawan Bone dan masa pemerintahan Tunijallo serta Tumamenang ri


Makkoayang (1565–1582)

Pada awal abad ke-16, kerajaan Bugis di Bone merupakan sekutu Gowa. Gowa bahkan turut
mengirim pasukan untuk membantu Bone dalam perang melawan tetangganya, Wajo.[109]
Namun, sejak Tunipalangga memulai kampanye penaklukannya, La Tenrirawe, sang
Arumpone atau penguasa Bone, turut berusaha untuk melebarkan kekuasaannya di bagian
timur Sulawesi Selatan. Tak menunggu lama, kedua negara bersaing untuk menancapkan
pengaruh pada jalur dagang yang menguntungkan di lepas pantai selatan jazirah. Pada
tahun 1562, perang meletus ketika La Tenrirawe membujuk tiga vasal Gowa yang baru
ditaklukkan untuk bersekutu dengan Bone.[110] Tunipalangga spontan bereaksi dengan
memaksa Bone untuk mengembalikan ketiga negeri tersebut ke dalam kuasanya.
Pertempuran dilanjutkan pada tahun 1563, ketika Bone diserang dari utara oleh pasukan
gabungan Gowa dan beberapa negeri tetangga Bone di bawah pimpinan Tunipalangga.[110]
Namun penyerangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa, dan Tunipalangga mengalami
luka-luka di sekujur tubuhnya. Sang karaeng menginvasi Bone sekali lagi pada 1565, tetapi
ia berbalik pulang setelah seminggu, sebelum mangkat akibat penyakit tak lama
kemudian.[111] Perang melawan Bone dilanjutkan oleh saudara dan penerusnya Tunibatta.
Akan tetapi, pasukan Tunibatta berhasil dicerai-beraikan hanya dalam beberapa hari.[112]
Sang karaeng sendiri tertangkap musuh dan dipenggal.[111]

Persoalan suksesi kepemimpinan selepas kematian Tunibatta diselesaikan oleh Karaeng


Tallo Tumamenang ri Makkoayang. Ia menjadikan dirinya tumabicara butta atau perdana
menteri:[113] posisi birokratis Gowa terakhir, dan paling penting, yang dikukuhkan. Seorang
tumabicara butta merupakan penasihat utama takhta Gowa dan bertugas mengawasi
pertahanan, diplomasi, dan pendidikan keluarga kerajaan.[114] Dengan wewenangnya yang
baru, Tumamenang ri Makkoayang mendudukkan Tunijallo, putra Tunibatta, sebagai
Karaeng Gowa. Untuk pertama kalinya, Karaeng Gowa berbagi kekuasaan dengan Karaeng
Tallo.[113] Kronik-kronik Makassar menyebut bahwa kedua karaeng "memimpin bersama-
sama," dan Tumamenang ri Makkoayang tercatat pernah mengatakan bahwa orang-orang
Gowa dan Tallo merupakan "satu rakyat, tetapi [dipimpin oleh] dua karaeng. Celakalah
mereka yang mengimpikan ketidakrukunan antara Gowa dan Tallo."[u][116][117] Teladan inilah
yang memungkinkan Karaeng Matoaya, putra Tumamenang ri Makkoayang, untuk nantinya
menjadi orang paling berpengaruh di Gowa dan Sulawesi Selatan.[113]

Pilihan Tumamenang ri Makkoayang untuk mendudukkan Tunijallo di singgasana Karaeng


Gowa bisa jadi karena hubungan dekat sang pangeran dengan istana Bone.[113] Tunijallo
pernah tinggal di sana selama dua tahun; ia bahkan pernah terjun berperang bagi pihak
Bone.[111][118] Tak lama setelah Tunijallo naik takhta, ia, Tumamenang ri Makkoayang, dan
La Tenrirawe merundingkan Perjanjian Caleppa, yang mengakhiri peperangan antara Gowa
dan Bone. Perjanjian ini mengharuskan Bone untuk memberikan hak bagi orang-orang Gowa
di wilayahnya, begitu pula sebaliknya. Batas wilayah Bone dipetakan ulang dengan
mencaplok sebagian wilayah Gowa dan Luwu (salah satu sekutu Gowa).[110][111] Beberapa
di antara wilayah vasal yang dikonsesikan telah menjadi bawahan Gowa sejak satu abad
sebelumnya.[119] Perjanjian ini, walaupun kurang menguntungkan bagi pihak Gowa, mampu
memelihara perdamaian di Sulawesi Selatan selama enam belas tahun.[120]

Masjid Katangka, salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, yang didirikan oleh Tunijallo untuk memperoleh dukungan dari masyarakat diaspora niaga Melayu Muslim. Bangunan ini masih berdiri hingga sekarang.[121]
Tunijallo dan Tumamenang ri Makkoayang meneruskan kebijakan yang mendorong
perniagaan asing di Makassar. Kedua karaeng mengukuhkan persekutan dengan, dan
mengirim utusan ke, negara dan kota di penjuru Nusantara, termasuk Johor, Melaka,
Pahang, Patani, Banjarmasin, Mataram, Blambangan, dan Maluku.[122][123] Perdagangan
tumbuh pesat seiring meleburnya Makassar ke dalam jalur perdagangan Muslim yang
disebut sebagai jaringan "Campa-Patani-Aceh-Minangkabau-Banjarmasin-Demak-Giri-
Ternate" oleh etnolog dan sejarawan Christian Pelras.[124] Tunijallo pun mendirikan Masjid
Katangka bagi komunitas niaga Melayu Makassar yang mulai berkembang.[121] Pengaruh
Islam di Gowa dan Tallo semakin menguat, walaupun pendakwah Muslim seperti Dato ri
Bandang masih belum mendapat kemajuan berarti.[125] Pengagungan kaum ningrat sebagai
keturunan dewa-dewi serta besarnya pengaruh kependetaan bissu menjadi hambatan
utama bagi penyebaran agama Islam.[126] Pada tahun 1580 Sultan Baabullah dari Ternate
menawarkan aliansi dengan syarat Tunijallo mau masuk Islam, tetapi penawaran ini ditolak,
kemungkinan untuk menghindari pengaruh keagamaan Ternate atas Sulawesi Selatan.[127]
Empat misionaris Fransiskan dikirim ke Gowa pada 1580-an, tetapi misi mereka juga tidak
bertahan lama.[128] Biarpun demikian, seiring berjalannya waktu, agama-agama asing terus
menumbuhkan pengaruhnya di kalangan bangsawan Gowa, yang berujung pada
pengislaman kerajaan pada dekade pertama abad ke-17.[129] Pembaharuan internal lain
yang dilakukan semasa pemerintahan Tunijallo termasuk pengembangan catatan istana,
pengenalan industri pembuatan keris, dan penguatan militer seperti pemasangan meriam
tambahan di benteng-benteng.[130][131]

Perang melawan Tellumpoccoe dan masa pemerintahan Tunipasulu (1582–1593)

Peta geopolitik Sulawesi Selatan sekitar tahun 1590, yang menggambarkan terbelahnya semenanjung antara Gowa-Tallo dan persekutuan Tellumpoccoe.

Bone merasa terancam oleh pengaruh Gowa yang kian berkembang. Sementara, perlakuan
semena-mena Gowa terhadap negeri-negeri Bugis yang menjadi vasalnya, Soppeng and
Wajo, membuat mereka merasa kehilangan kedaulatan.[132] Maka, pada tahun 1582, Bone,
Wajo, dan Soppeng menandatangani Perjanjian Timurung yang menetapkan hubungan
ketiga negara sebagai persekutuan antarsaudara, dengan Bone sebagai saudara
tuanya.[127] Aliansi pimpinan Bone ini disebut Tellumpoccoe (secara harfiah bermakna "Tiga
Puncak" atau "Tiga Kekuatan"), yang bertujuan mengukuhkan kembali kedaulatan kerajaan-
kerajaan Bugis ini dan menghentikan perluasan wilayah Gowa.[127][132][133] Merasa
diprovokasi, Gowa mengirimkan serentetan serangan ke timur (beberapa di antaranya
dibantu oleh Luwu, sebuah negeri Bugis lainnya[132]), dimulai dengan penyerbuan Wajo pada
1583 yang berhasil dihalau oleh pasukan gabungan Tellumpoccoe.[127] Kampanye militer
terhadap Bone pada tahun 1585 dan 1588 juga sama gagalnya.[127] Pada saat yang sama,
dalam perlawanan mereka terhadap Gowa, Tellumpoccoe berusaha merintis koalisi seluruh
Bugis dengan mempertalikan dinasti mereka pada negeri-negeri Bugis di Ajatappareng
melalui pernikahan.[133] Tunijallo memutuskan untuk menyerang Wajo sekali lagi pada 1590,
tetapi ia mati diamuk seorang bawahannya ketika memimpin armada Gowa di lepas pantai
barat Sulawesi Selatan.[118][132] Pada tahun 1591, Perjanjian Caleppa diperbarui untuk
mengembalikan kedamaian di semenanjung.[127] Kejadian ini juga menandai kesuksesan
persekutuan Tellumpoccoe dalam menjinakkan ambisi Gowa.

Pada kurun waktu yang sama, perubahan-perubahan besar terjadi dalam panggung
perpolitikan tanah Makassar. Tumamenang ri Makkoayang mangkat pada 1577[134] dan
digantikan oleh putrinya Karaeng Baine, yang juga merupakan istri Tunijallo.[135] Kronik Tallo
menyebutkan bahwa Tunijallo dan Karaeng Baine memimpin Gowa dan Tallo secara
bersama-sama,[135] walaupun tampaknya Karaeng Baine lebih banyak menuruti kemauan
suaminya[136] dan tidak punya pencapaian bermakna yang tercatat selain inovasi dalam
pembuatan hasta karya.[137] Setelah Tunijallo dibunuh pada tahun 1590, Karaeng Matoaya,
putra Tumamenang ri Makkoayang dan saudara tiri Karaeng Baine[138] yang berusia 18
tahun, dilantik sebagai tumabicara butta yang baru. Karaeng Matoaya lalu menunjuk
Tunipasulu, putra Tunijallo yang masih berusia 15 tahun, sebagai Karaeng Gowa.[137]
Namun, Tunipasulu juga mengklaim takhta Tallo, walaupun dirinya sudah menjadi penguasa
Gowa.[v][139] Ia juga sempat mengambil alih secara paksa takhta negara vasal Maros
setelah kematian penguasanya.[140] Kejadian ini memperluas wilayah kekuasaan langsung
raja Gowa hingga mencapai skala terbesar dalam sejarah.[141] Merasa percaya diri dengan
posisinya, Tunipasulu berusaha memusatkan kekuatan kepada dirinya seorang.[139][142][143]
Ia memindahkan takhta kerajaan ke Somba Opu[143] serta menyita properti, mengasingkan,
bahkan mengeksekusi kalangan aristokrat demi melemahkan perlawanan mereka terhadap
kuasa prerogatifnya.[113][139] Banyak kalangan bangsawan dan komunitas Melayu yang
kabur dari Makassar karena takut akan pemerintahan Tunipasulu yang semena-mena.[139]

Tunipasulu ditumbangkan pada tahun 1593 dalam sebuah kudeta istana yang kemungkinan
diawali oleh Karaeng Matoaya, orang yang sama yang telah menobatkan Tunipasulu.[144]
Mantan Karaeng Gowa ini lalu diasingkan ke timur hingga kematiannya di Buton pada tahun
1617, meskipun selama sisa hidupnya ia mungkin terus menjalin hubungan dengan para
pendukungnya di Makassar.[145] Posisi Karaeng Matoaya sebagai Karaeng Tallo
dikukuhkan, dan ia menunjuk putra mahkota yang masih berusia tujuh tahun, I
Mangngarangi (di kemudian hari digelari Sultan Ala'uddin) sebagai Karaeng Gowa.[146]
Jabatan Karaeng Maros dikembalikan setelah kekosongan takhta selama beberapa
tahun.[140] Insiden pengusiran Tunipasulu memastikan otonomi bagi para bangsawan,
menggariskan batasan bagi wewenang Karaeng Gowa, serta mengembalikan
keseimbangan pengaruh antara Gowa, Tallo, dan negeri Makassar lainnya.[139] Sejak saat
itu, wilayah-wilayah Gowa dipimpin oleh gabungan dinasti-dinasti berkuasa. Dalam sistem
ini, wangsa kerajaan Gowa berperan sebagai primus inter pares ("yang pertama di antara
yang setara"), meskipun Tallo, tempat asal para tumabicara butta, sering kali merupakan
negeri paling dominan secara de facto.[147] Selama empat dasawarsa berikutnya, Karaeng
Matoaya memelopori perkembangan Islam di Sulawesi Selatan serta ekspansi pesat Gowa-
Tallo hingga ke Maluku dan Nusa Tenggara.[113] Dapat dikatakan bahwa pengusiran
Tunipasulu dan bermulanya pemerintahan Karaeng Matoaya menandai akhir dari ekspansi
permulaan Gowa dan awal dari sebuah era baru dalam sejarah Makassar.[88][148]

Kelanjutan
Menurut Bulbeck dan Caldwell, pergantian menuju abad ke-17 menandai rampungnya
"periode sejarah awal" serta bermulanya zaman "sejarah modern awal" bagi Gowa dan
Tallo.[40] Pada masa ini, Gowa dan Tallo mulai menerima agama Islam, diawali dengan
Karaeng Matoaya yang masuk Islam pada tahun 1605, kemudian I Mangngarangi (yang
sekarang menjadi Sultan Alauddin) serta rakyat Makassar selama dua tahun berikutnya.[149]
Ini diikuti dengan serangkaian kemenangan Gowa terhadap negara-negara tetangganya,
termasuk Soppeng, Wajo dan Bone.[150] Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-17,
ekspansi Gowa menjangkau sebagian besar Sulawesi, bagian timur Kalimantan, Lombok di
Nusa Tenggara, bahkan Aru dan Kei di Maluku.[150] Di saat yang sama, kerajaan ini juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari jaringan perdangangan internasional prakarsa negara-
negara Muslim yang merentang dari Timur Tengah dan India hingga ke Indonesia.[151][40]
Masa ini juga ditandai dengan kedatangan pedagang Tionghoa serta meningkatnya
kehadiran bangsa-bangsa Eropa di pelabuhan Gowa yang makmur.[40][152] Namun, pada
akhir 1660-an Gowa dikalahkan oleh persekutuan bangsa Bugis dan Perusahaan Hindia
Timur Belanda (VOC).[153] Kekalahan ini mengakhiri ketuanan Gowa di Sulawesi Selatan dan
menggantikannya dengan dominasi Belanda serta kerajaan Bugis Bone.[154]

Perubahan demografis dan kultural


Bukti-bukti arkeologis menyiratkan bahwa hingga tahun 1200-an, wilayah Sulawesi Selatan
terbagi menjadi chiefdom-chiefdom kecil yang masing-masingnya berpenduduk ratusan.[41]
Perkembangan pesat dalam teknologi pertanian padi pada awal abad ke-13 memungkinkan
kemunculan chiefdom kompleks di sebagian besar Sulawesi Selatan.[43] Pertanian padi
sawah beririgasi menggantikan pertanian padi lahan kering dan peladangan berpindah,
serta meningkatkan produksi dan menciptakan surplus untuk diekspor.[43] Kegiatan ekspor
beras mendorong sentralisasi politis seiring dengan berkumpulnya para elit yang juga
berkompetisi bagi barang mewah asing[155] serta menyokong intensifikasi dan ekspansi
agrikultural lebih lanjut, hingga meningkatkan produksi padi dalam skala yang lebih besar
lagi.[42][43]

Sawah beririgasi di Sulawesi Selatan

Gowa merupakan salah satu negeri yang paling diuntungkan dengan transisi ini. Pusat
kerajaan di lembah pedalaman sekitar Kale Gowa merupakan estuari setidaknya hingga
kira-kira 2300 SM. Kemunduran garis pantai seiring mendinginnya temperatur mengubah
wilayah tepi laut menjadi lahan basah yang hijau, diairi oleh Sungai Jeneberang dan siklus
hujan musiman.[156] Lahan seperti ini sangat ideal bagi pertumbuhan padi.[157] Intensifikasi
pesat pertanian padi sawah terjadi di wilayah Gowa dan sekitarnya, begitu pula di seluruh
Sulawesi Selatan. Sejumlah besar lahan-lahan tak berpenghuni ditempati dan dibuat
sawah,[158] termasuk juga lembah Sungai Tallo.[65] Nama "Tallo" sendiri diambil dari kata
taqloang yang dalam bahasa Makassar berarti "luas dan kosong," merujuk pada hutan tak
berpenghuni yang dibersihkan untuk dijadikan pemukiman.[159] Perolehan surplus beras juga
mendorong perdagangan asing dalam skala yang belum pernah tertandingi pada
masanya.[160] Sebuah survei arkeologi pada tahun 1980-an di daerah Makassar dan
sekitarnya menemukan setidaknya 10.000 keping keramik pra-1600 dari Tiongkok, Vietnam,
dan Thailand. Penggalian di satu kebun bahkan menemukan lebih dari 850 pecahan
keramik.[161] Pada masa itu, menurut Bulbeck dan Caldwell, keramik diimpor dalam skala
yang "tak terbayangkan".[160] Meski begitu, "keramik hanyalah sekelumit puncak gunung es
jika dibandingkan dengan keseluruhan impor barang-barang mewah eksotis di Sulawesi
pada masa pra-Islam."[w][162] Barang impor paling umum adalah bahan tekstil yang mudah
terurai; hanya sedikit sisa-sisanya yang bertahan.[162] Faktor-faktor di atas turut menyokong
pertumbuhan penduduk di wilayah Gowa dan sekitarnya sejak tahun 1300-an.[43]

Secara umum, populasi meningkat pesat, walaupun tidak secara merata di setiap daerah.
Sebagai contoh, populasi di wilayah perkampungan sekitar Kale Gowa tampaknya menurun
setelah sekitar tahun 1500 seiring dengan kebijakan sentralisasi Karaeng Gowa yang
menarik masyarakat desa ke pusat-pusat pemerintahan di Kale Gowa dan Makassar.[163]
Perubahan alur Sungai Jeneberang juga memengaruhi persebaran penduduk,[164] sementara
peperangan semasa Tumaparisi Kallonna mengurangi populasi di wilayah tertentu,
contohnya di hulu Sungai Tallo.[65] Bulbeck dalam beberapa kesempatan memperkirakan
bahwa penduduk Makassar dan sekitarnya bertumbuh antara tiga[165] hingga sepuluh kali
lipat dari abad ke-14 hingga abad ke-17.[x][167]

Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1992)[165] Abad ke-14 Abad ke-15 Abad ke-16 Abad ke-17

Pesisir 386/km2 667/km2 1229/km2 1369/km2

Darat 867/km2 821/km2 1094/km2 1232/km2

Pedalaman 181/km2 349/km2 727/km2 782/km2

Total 352/km2 508/km2 927/km2 1000/km2

Perkiraan kepadatan penduduk oleh Bulbeck (1994)[167] Abad ke-14 Abad ke-15 Abad ke-16 Abad ke-17

Pesisir 102/km2 219/km2 613/km2 1074/km2

Darat 273/km2 273/km2 783/km2 1225/km2

Pedalaman 47/km2 108/km2 284/km2 434/km2

Total 100/km2 164/km2 450/km2 720/km2

Keseluruhan populasi wilayah inti Gowa dan Tallo diperkirakan mencapai lebih dari
setengah juta jiwa,[168] meskipun Bulbeck berhati-hati dengan memberi perkiraan penduduk
300.000 jiwa dalam rentang 20 kilometer dari pusat Makassar pada pertengahan abad ke-
17: sekitar 100.000 di antaranya mendiami pusat kota Makassar, 90.000 di wilayah
pinggiran kota Tallo dan Kale Gowa, serta 110.000 di daerah perdesaan.[167]

Peningkatan perdagangan dengan pihak asing juga menyebabkan perubahan-perubahan


lainnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Perabot-perabot baru diperkenalkan oleh
Portugis, bersama dengan kata-kata yang digunakan untuk merujuk barang-barang ini,
semisal kata kadéra untuk "kursi" dari bahasa Portugis cadeira, mejang untuk "meja" dari
bahasa Portugis mesa, dan jandéla untuk "jendela" dari bahasa Portugis janela. Lantai
rumah para bangsawan yang dulunya menggunakan bilah bambu mulai banyak digantikan
dengan bahan kayu.[169][170] Permainan-permainan Barat seperti ombre dan dadu juga mulai
menarik perhatian. Hasil tani Dunia Baru, seperti jagung, ubi jalar, dan tembakau sukses
disebarluaskan. Seiring waktu, para wanita kelas atas juga meninggalkan budaya
bertelanjang dada.[170][171]

Manuskrip dalam aksara Makassar

Proses perubahan penting lainnya dalam sejarah awal Gowa dan Tallo adalah pengenalan
budaya baca-tulis melalui aksara Makassar, yang tampaknya sudah menyebar luas pada
tahun 1605.[172] Meski begitu, sejarah awal dari aksara ini masih diselimuti misteri.
Walaupun beberapa sejarawan (berdasarkan Kronik Gowa) menafsirkan bahwa baca-tulis
tidak dikenal sebelum masa pemerintahan Tumaparisi Kallonna,[48][173] tampaknya sistem
penulisan sudah ada di daerah tersebut sebelum abad ke-16.[174][175] Para ahli umumnya
bersepakat bahwa aksara ini bersumber dari sebuah aksara Brahmik, namun, aksara
Brahmik mana yang paling memengaruhi perkembangan aksara Makassar masih menjadi
pertanyaan. Para ahli mengusulkan, antara lain, aksara Kawi dari Jawa, aksara Batak dan
aksara Rejang dari Sumatra,[176][177] hingga aksara Gujarati dari India bagian barat.[178]

Para ahli juga memperdebatkan seberapa besar persebaran dan dampak dari kemampuan
menulis. Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa kemampuan baca-tulis menyebar
luas bahkan di kalangan masyarakat awam, termasuk juga kaum wanita.[179] Di sisi lain,
Stephen C. Druce mengatakan bahwa kemampuan literasi hanya terbatas pada kalangan
elit kelas atas.[180] William Cummings menyatakan bahwa kemampuan menulis, yang
dianggap memiliki wewenang dan kekuatan supernatural lebih besar dibandingkan
komunikasi lisan, membawa perubahan sosial mendalam bagi masyarakat Makassar.
Perubahan-perubahan ini, antara lain, adalah timbulnya perhatian baru terhadap silsilah
mendetail dan segala bentuk pencatatan yang mengisi celah masa lalu dan masa kini,
menguatnya penerapan hierarki sosial yang berpusat pada klaim keturunan dewata para
bangsawan, munculnya konsep adat budaya Makassar beserta batasannya, serta
memusatnya kekuasaan ke Gowa yang membuat negeri-negeri Makassar menjadikan
hubungan dengan Gowa sebagai sumber legitimasi utama.[181] Argumen Cummings ini
ditentang oleh beberapa sejarawan, seperti Caldwell yang bependapat bahwa wewenang
ucapan lisan lebih besar daripada tulisan. Selain itu, analisis terhadap narasi sejarah dari
wilayah beretnik Makassar lainnya menunjukkan penolakan terhadap pandangan bahwa
legitimasi kekuasaan berpusat di Gowa.[182]

Sejarah awal Gowa sebagai pembentukan negara


Walaupun negeri-negeri Sulawesi Selatan umumnya dianggap sebagai kerajaan, sebagian
besar dari mereka dikategorikan oleh para arkeolog sebagai chiefdom kompleks atau
proto-negara alih-alih masyarakat bernegara yang sejati.[183][184][185][186] Banyak ahli
arkeologi yang meyakini bahwa di antara negeri-negeri prakolonial Sulawesi Selatan, Gowa
merupakan negara sejati pertama,[187] bahkan mungkin satu-satunya.[183][188] Bulbeck
merupakan penyokong utama teori ini.[183]

Bulbeck berargumen bahwa Gowa merupakan contoh "negara sekunder", yaitu masyarakat
bernegara yang timbul karena mengadopsi teknologi dan institusi pemerintahan bangsa
lain. Sebagai contoh, ekspansi militer Gowa semasa Tunipalangga didukung oleh
pengenalan senjata api dan teknologi perbentengan termutakhir.[187] Kemampuan penguasa
Gowa dalam menyatukan keahlian asing dan masyarakat setempat inilah yang
memungkinkan Gowa pada abad ke-16 untuk memenuhi 18 dari 22 atribut yang disebut
Bulbeck sebagai "kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya sebuah negara permulaan
(sisa empat kriteria terpenuhi pada awal abad ke-17).[187] Kriteria-kriteria ini disarikan oleh
Bulbeck dari berbagai pendapat. Tabel berikut merinci ke-22 kriteria tersebut beserta masa
terpenuhinya:[187]

"Kriteria spesifik dan berguna" bagi terbentuknya negara permulaan Masa terpenuhinya kriteria tersebut menurut Bulbeck (1992)[187]

Lit erasi Awal abad ke-16

Kot a-kot a berpenduduk lebih dari 5.000 jiwa Kemungkinan abad ke-14; selambat -lambat nya abad ke-16

Arsit ekt ur monument al Pert engahan abad ke-16

Lingkungan urban Pert engahan abad ke-16

Sist em pengairan yang disokong negara Sekit ar 1600

Pekerja t erspesialisasi Pert engahan abad ke-16

Peperangan berskala besar Awal abad ke-16

Agama resmi 1605

Jabat an-jabat an pemerint ahan Awal abad ke-16

St rat a sosial berdasarkan garis ket urunan Selambat -lambat nya 1500

Bat as-bat as geopolit is Abad ke-16

Kedaulat an polit is Abad ke-15

Kepadat an penduduk yang t inggi Kemungkinan abad ke-14; selambat -lambat nya abad ke-16

Ibu kot a sejat i Sekit ar 1550

Ibu kot a yang st abil Sekit ar 1550

Berkembangnya pusat -pusat perkot aan selain daripada ibu kot a Sekit ar 1550

Infrast rukt ur yang ekst ensif Sekit ar 1550

Wilayah kekuasaan lebih dari 2460 km2 1540

Pemerint ahan pusat Abad ke-16

Pembagian wewenang dalam jaringan pemerint ahan yang pluralist ik Sekit ar 1600

Mat a uang sendiri Awal abad ke-17

St andardisasi sat uan berat dan pengukuran Pert engahan abad ke-16

Catatan: Baris hijau menandakan krit eria yang t ercapai sebelum 1600
Sejalan dengan Bulbeck, Caldwell menganggap bahwa Gowa merupakan "negara modern"
yang ditandai dengan "pengembangan tatanan kerajaan, kodifikasi hukum, pertumbuhan
birokrasi, penerapan sistem perpajakan dan wajib militer, serta kemunculan pekerja penuh-
waktu." [y][186]

Meski begitu, pendapat yang mencirikan sejarah awal Gowa sebagai proses pembentukan
negara tidak secara universal diterima.[189] Sejarawan William Cummings menganggap
bahwa kriteria yang diberikan Caldwell belum seluruhnya terpenuhi, sebab Gowa tidak
pernah menjadi kerajaan mutlak, dan juga karena bangsawan tuan tanah lebih berperan
daripada birokrasi dalam merekrut pekerja untuk proyek-proyek infrastruktur.[189] Cummings
mengakui adanya kecenderungan penguatan birokrasi dan rasionalisasi pemerintahan,
tetapi ia menyimpulkan bahwa kebijakan ini memiliki cakupan dan dampak yang terbatas
(bahkan birokrasi Gowa masih didasarkan pada ikatan patron-klien) dan tidak mengubah
kehidupan masyarakat Makassar secara mendasar.[189] Masyarakat Makassar masa kini
pun tidak menganggap Gowa sebagai sesuatu yang secara fundamental berbeda dari
pendahulunya.[189] Pada akhirnya, Cummings berpendapat bahwa tidak ada gunanya
memperdebatkan apakah Gowa merupakan sebuah negara atau chiefdom, sebab
kompleksitas masyarakat tidak berevolusi secara linear.[189]

Catatan
a. Banoa/banua dalam bahasa Makassar, wanua dalam bahasa Bugis.[1] Kira-kira setara dengan
kepenghuluan di daerah Melayu Riau, negeri di daerah Maluku, atau nagari di daerah Minangkabau.
b. Juga ditulis sebagai Tallo', Tallok, atau Talloq, tergantung skema transliterasi yang digunakan.
Akhiran hamzah dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan dieja secara bervariasi dengan huruf 'q',
huruf 'k', tanda apostrof, atau tidak dituliskan.[2][3] Untuk konsistensi, artikel ini tidak menuliskan
akhiran hamzah kecuali dalam kutipan langsung.
c. Kutipan asli: "... largely unconnected to foreign technologies and ideas."
d. Kutipan asli: "... on indigenous, 'Austronesian' categories of social and political thought..."
e. Berbeda dari empat suku utama yang menghuni daratan Sulawesi Selatan, masyarakat Bajau
terdiri dari kelompok-kelompok pengembara bahari yang menyebar di Nusantara bagian timur,
terutama di sepanjang pesisir Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya.[35]
f. Catatan resmi Kronik Gowa dan Kronik Tallo yang mengklaim bahwa Batara Gowa merupakan
saudara tua (dan pewaris sah takhta Gowa) mungkin mencerminkan posisi senior Gowa selama
sebagian besar abad ke-16 dan ke-17. Secara berlawanan, sebuah laporan dari abad ke-18 yang
didasarkan pada sejarah lisan Tallo mengklaim bahwa Karaeng Loe ri Sero merupakan pewaris
sah Karaeng Gowa sebelum pendirian Tallo, dan bahwa Batara Gowa-lah yang memberontak.[44]
g. 'Jawa' secara etimologi identik dengan nama modern untuk pulau Jawa dan sering kali
diterjemahkan secara harfiah, namun sejatinya kata tersebut merupakan istilah umum Sulawesi
Selatan yang merujuk pada wilayah atau penduduk Nusantara bagian tengah dan barat, dan lebih
sering digunakan untuk etnis Melayu.[45]
h. Namun, sejarawan Christian Pelras merasa bahwa riwayat ini "mungkin tidak sepenuhnya bisa
dipercayai" sebab sang sayyid ini diklaim mengunjungi Wajo di bagian timur Sulawesi Selatan,
padahal pengaruh Wajo masih teramat kecil pada abad ke-15.[50]
i. Kutipan asli (dialihaksarakan): "... taqle ri Malaka tulusuq anraiq ri Banda tallu taungi lampana
nanapabattu..."[51]
j. Kutipan asli (terjemahan dari bahasa Portugis): "I arrived in the aforesaid port, a large city called
Gowa, which formerly had belonged to a vassal of the king of Siang but had been taken from him."
k. William Cummings secara konsisten menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna memerintah sejak
tahun 1510 atau 1511 hingga 1546,[56][57] begitu pula Thomas Gibson.[58] Bulbeck memberi
rentang waktu pemerintahan antara 1511–1547.[59] Sementara Anthony Reid berpendapat bahwa
pemerintahannya berlangsung antara tahun 1512 dan 1548[48]
l. Penafsiran ini didasarkan pada pernyataan Kronik Gowa bahwa "[Tumaparisi Kallonna] jugalah
yang [pertama kali] menyongsong kedatangan Portugis. Pada tahun takluknya Garassi [padanya],
takluk pula Malaka pada Portugis" (kutipan asli [dialihaksarakan]: "... iatonji uru nasorei Paranggi
julu taungi nibetana Garassiq nibetanatodong Malaka ri Paranggia..."[60]). Melaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511. Namun karena naskah-naskah Makassar memiliki pemenggalan
kalimat yang ambigu, kutipan ini juga bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Gowa
menaklukkan Garassi pada tahun yang sama dengan kedatangan Portugis ke Gowa, sementara
tidak ada catatan mengenai kehadiran Portugis di Gowa sebelum 1530-an.[61][62]
m. Kronik Gowa menyebut bahwa Tumaparisi Kallonna "menaklukkan" Sidenreng, sebuah kerajaan
Bugis. Namun, ini sepertinya merujuk pada Sidenre, sebuah negeri kecil bersuku Makassar.[64]
n. Polombangkeng bukan monarki serupa Gowa dan Tallo yang dipimpin oleh seorang raja tunggal,
melainkan konfederasi dari tujuh negeri kecil, masing-masingnya merupakan keturunan salah
seorang dari tujuh bersaudara.[71]
o. Mereka adalah Tunipalangga dan Tunibatta, dua raja Gowa berikutnya.[72] Dalam pertempuran ini,
pasukan pimpinan Tunipalangga bertugas menghalau armada Polombangkeng di pesisir
Baroboso, sementara pasukan Tunibatta menghadapi tentara Maros di Tamamangung.[72] Bulbeck
berpendapat bahwa kedua pangeran inilah yang sebenarnya paling berperan dalam kemenangan
melawan Tallo, alih-alih Tumaparisi Kallonna sendiri.[59]
p. Kutipan asli: "The ruler of Gowa was thus publicly acknowledged as the dominant figure in the
Makassarese heartlands."
q. Lihat catatan [k] perihal waktu berakhirnya pemerintahan Tumaparisi Kallonna. Kematian
Tunipalangga umumnya diyakini terjadi pada 1565,[58][81][82] tetapi Anthony Reid memberikan
tahun 1566 sebagai waktu mangkatnya.[48]
r. Juga disebut sebagai 'Anakoda Bonang' ('Nakhoda/Kapten Bonang') dalam kronik-kronik Makassar
dan kebanyakan sumber sekunder modern.[93]
s. Semasa pemerintahan Tunipalangga, tampaknya tumailalang hanya ada seorang. Di kemudian hari
pada abad yang sama, jabatan ini secara efektif telah dipecah tiga, dengan ditambahkannya dua
asisten 'junior' untuk membantu sang tumailalang 'senior' .[100]
t. Bulbeck (1992) dan Gibson (2005), antara lain, berpendapat bahwa kepala pengrajin merupakan
jabatan tunggal pada masa Tunipalangga; sementara Reid (2000) berpendapat bahwa setiap bagi
masing-masing serikat punya seorang kepala.[103][104][105] Cummings, dalam terjemahan Kronik
Gowa versinya, tidak memandang Tumakkajanangngang sebagai posisi jabatan tersendiri,
melainkan istilah umum untuk "sebuah nama atau gelar bagi mereka yang berperan mengawasi
kelompok-kelompok dengan tugas spesifik" (kutipan asli: "... a term or title describing those
charged with supervising others who had specific tasks")[106]
u. Kutipan asli (dialihaksarakan): "... seqreji ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya
sisalai Gowa Talloq."[115]
v. Klaim Tunipasulu didasarkan pada statusnya sebagai putra dari penguasa Gowa, Tunijallo, dan
penguasa Tallo, Karaeng Baine. Meskipun pemerintahannya di Gowa diakui, usahanya untuk
mengklaim takhta Tallo dianggap tidak sah dan hanya disebut sekilas di dalam Kronik Tallo.[138]
w. Kutipan asli: "... ceramics were merely the tip of the iceberg when the importation of exotic
sumptuary goods to pre-Islamic South Sulawesi is considered as a whole."
x. Bulbeck (1992) menyurvei pekuburan yang aktif pada abad ke-14 hingga abad ke-17, lalu
memperkirakan jumlah penduduk pada masa tersebut menggunakan rasio jumlah
pekuburan/penduduk dari tahun 1985.[165] Perhitungan ini dikoreksi oleh Bulbeck (1994) dengan
menambahkan variabel lain seperti kepadatan pekuburan.[166]
y. Kutipan asli: "... the development of kingship, the codification of law, the rise of a bureaucracy, the
imposition of a military draft and taxation, and the emergence of full-time craftsmen."

Rujukan

Catatan kaki

1. Druce 2009, hlm. 165.


2. Cummings 2002, hlm. xiii.
3. Cummings 2007a, hlm. 17.
4. Poelinggomang 1993, hlm. 62.
5. Cummings 2002, hlm. 26, 30, 112, 150.
6. Bulbeck 1992, hlm. 35.
7. Pelras 1997, hlm. 12.
8. Bulbeck & Caldwell 2000, hlm. 106.
9. Abidin 1983, hlm. 476–477.
10. Bulbeck & Caldwell 2000.
11. Bougas 1998.
12. Cummings 2002, hlm. 44.
13. Caldwell 1995, hlm. 402–403.
14. Druce 2009, hlm. 32.
15. Cummings 2002, hlm. 100.
16. Caldwell 1991, hlm. 113–115.
17. Pelras 1997, hlm. 94–95.
18. Cummings 2007a, hlm. vii.
19. Cummings 2007a, hlm. 18.
20. Cummings 2007a, hlm. 8.
21. Hall 1965, hlm. 358.
22. Cummings 2007a, hlm. 3, 10–12.
23. Bulbeck 1992, hlm. 24–25.
24. Cummings 2005a, hlm. 40.
25. Cummings 2005a, hlm. 41.
26. Cummings2005a, hlm. 43.
27. Bulbeck 1992, hlm. 26–27.
28. Bulbeck 1992, hlm. 398.
29. Ritcher 2000, hlm. 214.
30. Cummings 2002, hlm. 149–153.
31. Cummings 2002, hlm. 25.
32. Abidin 1983.
33. Bulbeck 1992, hlm. 32–34.
34. Bulbeck 2006, hlm. 287.
35. Pelras 1997, hlm. 13, 17.
36. Bulbeck & Clune 2003, hlm. 99.
37. Bulbeck 1992, hlm. 34, 473, 475, antara lain.
38. Bulbeck 1992, hlm. 231.
39. Bulbeck 1993.
40. Bulbeck & Caldwell 2000, hlm. 107.
41. Druce 2009, hlm. 34–36.
42. Pelras 1997, hlm. 98–103.
43. Bulbeck & Caldwell 2008.
44. Cummings 2007b, hlm. 100–105.
45. Cummings 2007a, hlm. 2–5, 83–85.
46. Gibson 2005, hlm. 147.
47. Bulbeck 1992, hlm. 430–432.
48. Reid 1983.
49. Druce 2009, hlm. 237–241.
50. Pelras 1997, hlm. 135–136.
51. Cummings 2007a, hlm. 97.
52. Andaya 1981, hlm. 19–20.
53. Villiers 1990, hlm. 146–147.
54. Baker 2005, hlm. 72.
55. Bulbeck 1992, hlm. 123–125.
56. Cummings 2007a, hlm. 3.
57. Cummings 2002, hlm. 215.
58. Gibson 2007, hlm. 44.
59. Bulbeck 1992, hlm. 117–118.
60. Cummings 2007a, hlm. 67–68.
61. Cummings 2007a, hlm. 33.
62. Bulbeck 1992, hlm. 121–127.
63. Cummings 2007a, hlm. 32–33.
64. Druce 2009, hlm. 241–242.
65. Bulbeck 1992, hlm. 348–349.
66. Cummings 2007a, hlm. 57.
67. Mattulada 2011, hlm. 7.
68. Cummings 2014, hlm. 215–218.
69. Cummings 2000, hlm. 29.
70. Cummings 1999.
71. Cummings 2002, hlm. 152.
72. Cummings 2007a, hlm. 32–33, 36.
73. Bulbeck 1992, hlm. 127–131.
74. Villiers 1990, hlm. 149.
75. Cummings 2002, hlm. 28.
76. Bulbeck 1992, hlm. 105–107.
77. Cummings 2002, hlm. 216.
78. Cummings 2002, hlm. 85.
79. Bulbeck 1992, hlm. 208.
80. Bulbeck 1992, hlm. 317.
81. Cummings 2007a, hlm. 4.
82. Bulbeck 1992, hlm. 120-121, serta Gambar 4-4.
83. Cummings 2007a, hlm. 33–36, 56–59.
84. Andaya 1981, hlm. 25–26.
85. Bulbeck 1992, hlm. 126.
86. Druce 2009, hlm. 232–235, 244.
87. Cummings 2014.
88. Bulbeck 2006.
89. Druce 2009, hlm. 242–243.
90. Gibson 2005, hlm. 152–156.
91. Andaya 1981, hlm. 26.
92. Druce 2009, hlm. 242.
93. Sulistyo 2014, hlm. 54.
94. Sutherland 2004, hlm. 79.
95. Cummings 2007a, hlm. 34.
96. Andaya 1981, hlm. 27.
97. Cummings 2014, hlm. 219–221.
98. Bougas 1998, hlm. 92.
99. Andaya 2011, hlm. 114–115.
100. Cummings 2002, hlm. 112.
101. Gibson 2007, hlm. 45.
102. Bulbeck 1992, hlm. 107.
103. Gibson 2005, hlm. 45.
104. Bulbeck 1992, hlm. 108–109.
105. Reid 2000, hlm. 449.
106. Cummings 2007a, hlm. 34, 207.
107. Bulbeck 2006, hlm. 292.
108. Reid 2000, hlm. 446–448.
109. Andaya 1981, hlm. 23.
110. Pelras 1997, hlm. 131–132.
111. Andaya 1981, hlm. 29.
112. Cummings 2007a, hlm. 36.
113. Reid 1981.
114. Bulbeck 1992, hlm. 102.
115. Cummings 2007a, hlm. 98.
116. Cummings 1999, hlm. 109–110.
117. Cummings 2007a, hlm. 86.
118. Cummings 2007a, hlm. 38.
119. Druce 2009, hlm. 30.
120. Druce 2014, hlm. 152.
121. Sila 2015, hlm. 28.
122. Cummings 2007a, hlm. 41.
123. Cummings 2002, hlm. 22.
124. Pelras 1994, hlm. 139.
125. Pelras 1994, hlm. 131.
126. Pelras 1994, hlm. 142–144.
127. Andaya 1981, hlm. 30.
128. Pelras 1994, hlm. 141.
129. Pelras 1994, hlm. 138.
130. Reid 2000, hlm. 438.
131. Cummings 2002, hlm. 26–27.
132. Pelras 1997, hlm. 133.
133. Druce 2009, hlm. 246.
134. Bulbeck 1992, hlm. 30.
135. Cummings 2007a, hlm. 87.
136. Cummings 2014, hlm. 217.
137. Bulbeck 1992, hlm. 103.
138. Cummings 2007a, hlm. 94.
139. Cummings 2005b.
140. Cummings 2000.
141. Bulbeck 2006, hlm. 306.
142. Cummings 1999, hlm. 110–111.
143. Gibson 2005, hlm. 154.
144. Cummings 2005b, hlm. 46.
145. Cummings 2005b, hlm. 42.
146. Cummings 2007a, hlm. 6, 43.
147. Bulbeck 2006, hlm. 288.
148. Bulbeck 1992.
149. Andaya 1981, hlm. 32.
150. Andaya 1981, hlm. 33.
151. Andaya 1981, hlm. 34.
152. Andaya 1981, hlm. 36.
153. Andaya 1981, hlm. 137.
154. Andaya 1981, hlm. 142.
155. Bulbeck 1992, hlm. 483.
156. Bulbeck 1992, hlm. 203.
157. Higham 1989, hlm. 70.
158. Pelras 1997, hlm. 99.
159. Cummings 1999, hlm. 103.
160. Bulbeck & Caldwell 2008, hlm. 16.
161. Bulbeck 1992, hlm. 368, 608, 662–663.
162. Bulbeck & Caldwell 2008, hlm. 17.
163. Bulbeck 1992, hlm. 256.
164. Bulbeck 1992, hlm. 259.
165. Bulbeck 1992, hlm. 461–463.
166. Bulbeck 1994, hlm. 2–4.
167. Bulbeck 1994.
168. Lieberman 2009, hlm. 851.
169. Pelras 2003, hlm. 266.
170. Pelras 1997, hlm. 122–124.
171. Reid 1988, hlm. 89.
172. Noorduyn 1961, hlm. 31.
173. Bulbeck 1992, hlm. 20–21.
174. Cummings 2002, hlm. 42.
175. Jukes 2014, hlm. 3.
176. Jukes 2014, hlm. 2.
177. Noorduyn 1993, hlm. 567.
178. Miller 2010.
179. Reid 1988, hlm. 218.
180. Druce 2009, hlm. 73–74.
181. Cummings 2002.
182. Caldwell 2004.
183. Druce 2009, hlm. 27.
184. Bulbeck & Caldwell 2000, hlm. 1.
185. Henley & Caldwell 2008, hlm. 271.
186. Caldwell 1995, hlm. 417.
187. Bulbeck 1992, hlm. 469–472.
188. Caldwell 1995, hlm. 418.
189. Cummings 2014, hlm. 222–224.

Daftar pustaka

Abidin, Andi' Zainal (Maret 1983). "The Emergence of Early Kingdoms in South Sulawesi: A
Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century" (http
s://www.researchgate.net/publication/32159714) . Southeast Asian Studies. 20 (4): 1–39.
doi:10.14724/jh.v2i1.14 (https://doi.org/10.14724%2Fjh.v2i1.14) (tidak aktif 2019-01-25). Diakses
tanggal November 15, 2016.
Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in
the Seventeenth Century (https://books.google.co.kr/books?id=to5uAAAAMAAJ&dq=editions:E-DwS
VS6BfQC) . 500 S State St, Ann Arbor, MI 48109, USA: University of Michigan. ISBN 978-
9024724635.
Andaya, Leonard Y. (25 Mei 2011). "Chapter 6: Eastern Indonesia: A Study of the Intersection of
Global, Regional, and Local Networks in the 'Extended' Indian Ocean". Dalam Halikowski Smith,
Stephan C. A. Reinterpreting Indian Ocean Worlds: Essays in Honour of Kirti N. Chaudhuri. Cambridge
Scholars Publishing. hlm. 107–141. ISBN 978-1443830447.
Baker, Brett (2005). "South Sulawesi in 1544: a Portuguese letter" (https://www.oxis.org/downloads/
baker-2005.pdf) (PDF). Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 39 (1): 72. Diakses tanggal
14 April 2019.
Bougas, Wayne A. (1998). "Bantayan: An Early Makassarese Kingdom, 1200–1600 A.D." (http://ww
w.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1998_num_55_1_3444) Archipel. 55 (1): 83–123.
doi:10.3406/arch.1998.3444 (https://doi.org/10.3406%2Farch.1998.3444) . Diakses tanggal
6 Desember 2016.
Bulbeck, Francis David (Maret 1992). A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa
and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Tesis Ph.D.). Australian National University.
Bulbeck, Francis David (1993). "New Perspectives on early South Sulawesi History". Baruga:
Sulawesi Research Bulletin. 9: 10–18.
Bulbeck, Francis David (1994). Ecological Parameters of Settlement Patterns and Hierarchy in the
Pre-Colonial Macassar Kingdom (http://www.oxis.org/resources-3/unpublished/ecological-paramete
rs.pdf) (PDF). Asian Studies Association of Australia Biennial Conference. Perth.
Bulbeck, Francis David; Caldwell, Ian (2000). Land of iron: the Historical Archaeology of Luwu and the
Cenrana valley : Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi Project (OXIS) (https://bo
oks.google.com/books?id=bKcuAQAAIAAJ&dq) . University of Hull Centre for South-East Asian
Studies. ISBN 978-0903122115.
Bulbeck, Francis David; Clune, Genevieve (2003). "Macassar Historical Decorated Earthenwares:
Preliminary Chronology and Bajau Connections" (https://books.google.co.kr/books?id=GiX01OOoCV
cC) . Earthenware in Southeast Asia: Proceedings of the Singapore Symposium on Premodern
Southeast Asian Earthenwares. Singapore Symposium on Premodern Southeast Asian
Earthenwares. Singapore: NUS Press. hlm. 80–103.
Bulbeck, Francis David (Oktober 2006). "Chapter 13: The Politics of Marriage and the Marriage of
Polities in Gowa, South Sulawesi, During the 16th and 17th Centuries". Dalam Fox, James J. Origins,
Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. J. B. Chifley Building (#15) The
Australian National University Acton ACT 2601: ANU Press. hlm. 283–319. ISBN 978-1920942878.
Bulbeck, Francis David; Caldwell, Ian (1 Maret 2008). "Oryza Sativa and the origins of Kingdoms in
South Sulawesi, Indonesia: Evidence from Rice Husk Phytoliths" (https://openresearch-repository.an
u.edu.au/handle/1885/36452) . Indonesia and the Malay World. 36 (104): 1–20.
doi:10.1080/13639810802016117 (https://doi.org/10.1080%2F13639810802016117) . Diakses
tanggal 20 November 2016.
Caldwell, Ian (Maret 1991). "Review: The Myth of the Exemplary Centre: Shelly Errington's "Meaning
and Power in a Southeast Asian Realm" ". Journal of Southeast Asian Studies. 22 (1): 109–118.
doi:10.1017/S002246340000549X (https://doi.org/10.1017%2FS002246340000549X) .
JSTOR 20071266 (https://www.jstor.org/stable/20071266) .
Caldwell, Ian (1995). "Power, State and Society Among the Pre-Islamic Bugis". Bijdragen Tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038 (https://doi.org/10.116
3%2F22134379-90003038) . JSTOR 27864678 (https://www.jstor.org/stable/27864678) .
Caldwell, Ian (2004). "Review: William Cummings, Making Blood White ; Historical transformations in
early modern Makassar" (http://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_2004_num_68_1_3842) .
Archipel. 68 (1): 343–347. Diakses tanggal 23 Januari 2017.
Cummings, William P. (1999). " 'Only One People but Two Rulers': Hiding the Past in Seventeenth-
Century Makasarese Chronicles". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 155 (1): 97–120.
doi:10.1163/22134379-90003881 (https://doi.org/10.1163%2F22134379-90003881) .
JSTOR 27865493 (https://www.jstor.org/stable/27865493) .
Cummings, William P. (2000). "Reading the Histories of a Maros Chronicle". Bijdragen Tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde. 156 (1): 1–31. doi:10.1163/22134379-90003851 (https://doi.org/10.1163%2
F22134379-90003851) . JSTOR 27865583 (https://www.jstor.org/stable/27865583) .
Cummings, William P. (Maret 2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern
Makassar (https://books.google.com/?id=tANZd6c-8wUC) . 2840 Kolowalu St, Honolulu, HI 96822,
USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824825133.
Cummings, William P. (January 2005). "Historical texts as social maps: Lontaraq bilang in early
modern Makassar". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 161 (1): 40–62. JSTOR 27868200
(https://www.jstor.org/stable/27868200) .
Cummings, William P. (2005). " 'The One Who Was Cast Out': Tunipasuluq and Changing Notions of
Authority in the Gowa Chronicle" (http://search.informit.com.au/documentSummary;dn=2540227043
76206;res=IELIND) . Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 39 (1): 35–59. Diakses tanggal
December 21, 2016.
Cummings, William P. (1 Januari 2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and
Talloq (https://books.google.com/?id=0jDBXoKAq6UC&dq=empire%20of%20gowa) . KITLV Press.
ISBN 978-9067182874.
Cummings, William P. (Juni 2007). "Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of
Sultan Ala'uddin (1593–1639)". Journal of Southeast Asian Studies. 38 (2): 197–214.
doi:10.1017/S002246340700001X (https://doi.org/10.1017%2FS002246340700001X) .
JSTOR 20071830 (https://www.jstor.org/stable/20071830) .
Cummings, Wiliam P. (17 Oktober 2014). "Chapter 10: Re-evaluating state, society, and the dynamics
of expansion in precolonial Gowa". Dalam Wade, Geoff. Asian Expansions: The Historical Experiences
of Polity Expansion in Asia. Routledge. hlm. 214–232. ISBN 978-1135043537.
Druce, Stephen C. (1 Januari 2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng
Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE (https://books.google.com/?id=HfNjAAAAQBAJ) .
Brill. ISBN 978-9004253827.
Druce, Stephen C. (2014). "Dating the tributary and domain lists of the South Sulawesi kingdoms".
Dalam Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah. Cetusan minda sarjana: Sastera dan budaya.
Elizabeth II Street, Bandar Seri Begawan BS8611, Brunei: Brunei: Dewan Bahasa dan Pustaka.
hlm. 145–156. ISBN 978-9991709604.
Gibson, Thomas (Maret 2005). And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional
Authority among the Makassar (https://books.google.co.kr/books?id=04xuAAAAMAAJ) . 2840
Kolowalu St, Honolulu, HI 96822, USA: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824828653.
Gibson, Thomas (11 Juni 2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to
the 21st century (https://books.google.com/?id=CuZ8DAAAQBAJ) . 11 W 42nd St, New York, NY
10036, USA: Springer Publishing. ISBN 978-0230605084.
Hall, D. G. E. (1965). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4): 353–359.
doi:10.2307/2754037 (https://doi.org/10.2307%2F2754037) . JSTOR 2754037 (https://www.jstor.or
g/stable/2754037) .
Henley, David; Caldwell, Ian (2008). "Kings and Covenants: Stranger-kings and social contract in
Sulawesi". Indonesia and the Malay World. 36 (105): 269–291. doi:10.1080/13639810802268031 (ht
tps://doi.org/10.1080%2F13639810802268031) .
Higham, Charles (11 Maret 1989). The Archaeology of Mainland Southeast Asia: From 10,000 B.C. to
the Fall of Angkor (https://books.google.co.kr/books?id=-ifNH4uK0LAC) . Cambridge University
Press, University Printing House, Shaftesbury Road, Cambridge, CB2 8BS United Kingdom:
Cambridge University Press. ISBN 978-0521275255.
Jukes, Anthony (2014). Writing and Reading Makassarese (https://web.archive.org/web/201704282
00845/http://lingdy.aacore.jp/doc/endangered-scripts-issea/anthony_jukes_paper.pdf) (PDF).
International Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast Asia. Tokyo University of Foreign
Studies. Diarsipkan dari versi asli (http://lingdy.aacore.jp/doc/endangered-scripts-issea/anthony_juk
es_paper.pdf) (PDF) tanggal 2017-04-28. Diakses tanggal 2017-03-31.
Lieberman, Victor (30 Oktober 2009). Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, Volume 2,
Mainland Mirrors: Europe, Japan, China, South Asia, and the Islands (https://books.google.com/?id=_
6YgAwAAQBAJ) . University Printing House, Shaftesbury Road, Cambridge, CB2 8BS, United
Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-1139485173.
Mattulada (2011). Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Miller, Christopher (2010). A Gujarati Origin for Scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines (htt
p://journals.linguisticsociety.org/proceedings/index.php/BLS/article/view/3917/3611) . Annual
Meeting of the Berkeley Linguistics Society. University of California, Berkeley.
Noorduyn, Jacobus (1961). "Some aspects of Macassar–Buginese historiography". Dalam Hall, D.
G. E. Historians of South-East Asia. Oxford University Press. hlm. 29–36.
Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makassarese Script". Bijdragen Tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde. 149 (3): 533–570. JSTOR 27864487 (https://www.jstor.org/stable/2786448
7) .
Pelras, Christian (1994). "Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi" (htt
ps://ecommons.cornell.edu/handle/1813/540266) . Indonesia. 57 (1): 133–154.
Pelras, Christian (23 Januari 1997). The Bugis (https://books.google.com/books?id=hw-CQgAACAA
J&dq) . 111 River Street. Hoboken, NJ 07030-5774: Wiley. ISBN 978-0631172314.
Pelras, Christian (2003). "Bugis and Makassar Houses: Variation and Evolution" (https://books.googl
e.co.kr/books?id=0Y7fAAAAMAAJ) . Dalam Schefold, Reimar; Nas, Peter J. M; Domenig, Gaudenz.
Indonesian Houses: Tradition and transformation in vernacular architecture. KITLV Press. hlm. 251–
284. ISBN 978-9067182058.
Poelinggomang, Edward L. (1993). "The Dutch Trade Policy and its Impact on Makassar's Trade".
Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 27: 61–76.
Reid, Anthony (1981). "A Great Seventeenth-Century Indonesian Family: Matoaya and Pattingalloang
of Makassar". Masyarakat Indonesia. 8 (1): 1–28.
Reid, Anthony (1983). "The Rise of Makassar". Review of Indonesian and Malayan Affairs. 17 (1):
117–160.
Reid, Anthony (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450–1680. The lands below the
winds, Volume 1 (https://books.google.co.kr/books?id=Fr2FAAAAIAAJ) . 302 Temple Street, New
Haven, CT, USA: Yale University Press. ISBN 978-0300039214.
Reid, Anthony (2000). "Pluralism and progress in seventeenth-century Makassar". Bijdragen Tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (3): 433–449. doi:10.1163/22134379-90003834 (https://doi.org/1
0.1163%2F22134379-90003834) . JSTOR 27865647 (https://www.jstor.org/stable/27865647) .
Ritcher, Anne (2000). Jewelry of Southeast Asia (https://books.google.com/books?id=WEvrAAAAMA
AJ) . Harry N. Abrams. ISBN 978-0-8109-3528-0.
Sila, Muhammad Adlin (6 November 2015). Maudu': A Way of Union with God (https://books.google.c
om/books?id=Ky9RCwAAQBAJ) . J. B. Chifley Building (#15) The Australian National University
Acton ACT 2601: ANU Press. ISBN 978-1925022711.
Sulistyo, Bambang (2014). "Malay Emigrants and Their Islamic Mission in South Sulawesi in 16th to
17th Century" (http://www.mindamas-journals.com/index.php/tawarikh/article/view/583) .
TAWARIKH: International Journal for Historical Studies. 6 (1): 53–66. Diakses tanggal 16 Desember
2016.
Sutherland, Heather (2004). "The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660–1790". Dalam
Barnard, Timothy. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS Press. hlm. 76–
106. ISBN 978-9971692797.
Villiers, John (1990). "Makassar: The Rise and Fall of an East Indonesian Maritime Trading State,
1512–1669". Dalam Kathirithamby-Wells, Jeyamalar; Villiers, John. The Southeast Asian Port and
Polity: Rise and Demise. NUS Press. hlm. 143–159. ISBN 978-9971691417.

Pranala luar
Situs resmi kelompok OXIS (http://oxis.org/) , "konfederasi tak resmi bagi para
sejarawan, antropolog, arkeolog, ahli geografi, dan linguis yang meneliti asal-usul serta
perkembangan masyarakat-masyarakat asli pulau Sulawesi di Indonesia." Situs ini
memberikan akses bagi sejumlah besar artikel dan buku mengenai sejarah awal Gowa
dan Tallo.
Situs Web Laboratorium Sejarah Universitas Hasanuddin (https://laboratoriumsejarah.co
m) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20180823003411/https://www.laboratoriu
msejarah.com/) , "Situs Web Laboratorium Sejarah Universitas Hasanuddin." Situs ini
memiliki banyak artikel tentang tentang Sejarah awal Gowa dan Tallo.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_awal_Gowa_dan_Tallo&oldid=23233306"

Halaman ini terakhir diubah pada 8 April 2023, pukul 12.29. •


Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai