Anda di halaman 1dari 4

Gowa 

(juga dieja Goa) merupakan sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di


daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di ujung selatan dan pesisir barat semenanjung yang
mayoritasnya didiami oleh suku Makassar. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di
bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Berawal dari chiefdom atau banua yang didirikan pada awal abad ke-14, Gowa mencapai puncak
kejayaannya bersama Tallo pada abad ke-17, ketika kerajaan kembar ini memegang hegemoni
militer dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebagian besar
Sulawesi, beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, serta pesisir timur Kalimantan. Dalam
prosesnya menjadi kekaisaran maritim, Gowa dan Tallo mengembangkan berbagai inovasi dalam
bidang pemerintahan, ekonomi dan militer. Perubahan sosial budaya yang drastis juga terjadi seiring
mengeratnya hubungan antara Gowa dan dunia luar, terutama setelah Gowa mengadopsi Islam
sebagai agama resmi pada awal 1600.
Kekalahan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada akhir 1660-an mengakibatkan lepasnya
wilayah kekuasaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan
kepada VOC. Meski begitu, Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20,
ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan dan
menjadikannya daerah jajahan.

Sejarah awal[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Sejarah awal Gowa dan Tallo

Catatan sejarah Gowa yang ditulis dalam bahasa dan aksara Makassar

Naskah patturioloang Gowa menyebutkan bahwa wangsa Gowa berawal dari perkawinan antara


seorang tumanurung (semacam ras makhluk langit legendaris) dan seorang "Karaeng Bayo",[1]
[2]
 ditafsirkan oleh arkeolog Francis David Bulbeck sebagai perkawinan antara wanita bangsawan
setempat dan penguasa Bajau.[3][4] Bangsawan-bangsawan Bate Salapang di Gowa pun bersepakat
membentuk negeri baru dan mengangkat mereka sebagai penguasa.[5] Bukti genealogis dan
arkeologis mengisyaratkan bahwa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1300.[6]
[7]
 Para ahli mengaitkan kemunculan Gowa dan negeri-negeri Sulawesi Selatan lainnya
dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan pemerintahan besar-besaran pada abad ke-14, yang
dipicu oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.[8][9][10] Kepadatan penduduk turut
meningkat seiring dengan pergantian dari budaya meladang kepada budi daya padi lahan
basah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung pun dibuka untuk memberi tempat
bagi pemukiman-pemukiman agraris baru,[11] termasuk Gowa yang awalnya juga
merupakan chiefdom pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.[7]
Dalam perang takhta antara dua putra Karaeng Gowa keenam pada akhir abad ke-15, Batara
Gowa mengalahkan adiknya Karaeng Loe ri Sero. Karaeng Loe kemudian turun ke muara Sungai
Tallo dan mendirikan negeri baru bernama Tallo,[12][13] yang kemudian berkembang menjadi negara
maritim berbasis niaga.[14][15] Hingga abad ke-16, bagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-
negeri sama kuat yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satu pun yang
mampu menguasai keseluruhannya.[16] Putra Batara Gowa, Tumapaʼrisiʼ Kallonna (berkuasa sekitar
1511–1546), memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan bandar Garassi serta
menyerang setidaknya tiga belas negeri bersuku Makassar lainnya.[17][18][19] Pada akhir 1530-an atau
awal 1540-an, Gowa memenangkan perang melawan Tallo dan sekutu-sekutunya.[20][21] Gowa pun
menjadi negeri paling dominan di tanah Makassar dan diakui sebagai sekutu tua oleh Tallo.[22]
[23]
 Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk Daeng
Pamatteʼ sebagai sabannaraʼ (syahbandar) pertama.[24] Penyusunan catatan sejarah serta hukum
kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya.[25][17] Ia juga kemungkinan merupakan penguasa
Gowa yang pertama kali membangun benteng Somba Opu.[26][27]

Jangkauan penaklukan Tunipalangga di seluruh Sulawesi

Penguasa Gowa berikutnya, Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh


Gowa melalui serangkaian aksi militer. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi
persenjataan dan pertahanan.[28][29][27] Pada masa pemerintahannya, Gowa mengalahkan seluruh
pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah Sulawesi Tengah.[30]
[31]
 Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk berniaga di
negerinya.[32] Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan
memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di Makassar tanpa harus mengikuti hukum
adat setempat.[33][34][35] Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi
yang berkontribusi pada kemajuan pesat Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara
bagian timur kala itu.[36] Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Gowa lebih lanjut dengan
menciptakan jabatan tumailalang (menteri dalam negeri[37]) untuk mengambil alih tugas-tugas
nondagang sabannaraʼ,[38][39] serta mengangkat tumakkajanangngang atau kepala pengrajin yang
bertugas mengawasi pekerjaan serikat-serikat pengrajin di Makassar.[40][41]
Perluasan pengaruh Gowa di barat memicu respons agresif dari Bone di timur. Perang meletus
pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. Tunibatta, saudara dan
penerus Tunipalangga, mati dipenggal oleh musuh.[42][43][44] Selepas kematian Tunibatta, penguasa
Tallo Tumamenang ri Makkoayang naik sebagai tumabicara butta (perdana menteri) pertama Gowa
dan mengangkat Tunijalloʼ, putra Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.[45][46] Sejak saat itu, penguasa
Gowa dan Tallo berbagi posisi dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa-Tallo secara bersama-
sama.[47][48] Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa antara
Gowa dan Bone,[43][44] yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam
belas tahun berikutnya.[49] Selama itu pula, Tunijalloʼ dan Tumamenang ri Makkoayang melanjutkan
kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan
negeri-negeri lain di Nusantara.[50][51][52]

Masa kesultanan[sunting | sunting sumber]


Bagian ini memerlukan
pengembangan. Anda dapat
membantu
dengan mengembangkannya.

Gambar Sultan Hasanuddin dalam perangko yang diterbitkan tahun 2006.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan


kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain
pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-
kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara
ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan
perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya
Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba
Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta
kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1,
Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian
mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan
mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad
Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik
Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat
II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah
sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.

Budaya dan masyarakat[sunting | sunting sumber]

Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere.

Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang.
Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka
yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya
mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan
masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan
masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari
lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan
masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata[53].
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang
berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat
oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan
kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Anda mungkin juga menyukai