Anda di halaman 1dari 27

SEJARAH DAN KESULTANAN MELAYU

DI MAKASSAR DAN MALUKU

Di Susun Oleh:

1. Mida Paramita 2130202292

2. Amrina Rosyada 2130202294

Dosen Pengampuh: Fitria Safta Dewi, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
PEMBAHASAN .....................................................................................................1
A.Sejarah Kesultanan Melayu di Makassar .............................................................1
B.Masa Kejayaan dan Keruntuhan Kesultanan Makassar ...................................... 5
C.Raja Kesultanan Makassar .................................................................................. 7
D.Peninggalan kesultanan makassar ....................................................................... 8
E.Sejarah Kesultanan Melayu di Maluku ..............................................................10
F.Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo ..............................................................12
1.Kesultanan Ternate ..........................................................................................15
2. Kesultanan Tidore ..........................................................................................15
3.Kesultan Jailolo.. .............................................................................................20
KESIMPULAN ....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24

ii
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesultanan Melayu di Makassar


Penyebaran Islam ke berbagai daerah di Nusantara tidaklah berlangsung
secara bersamaan. Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, agak terlambat
dibanding daerah lainnya di Indonesia. Dalam sejarah Sulawesi Selatan
penelusuran mengenai awal mula kedatangan orang Melayu, dapat diketahui dari
kehadiran seorang petualang asal Portugis yang mendarat di Siang, sebuah
kerajaan tertua di pesisir Selat Makassar pada tahun 1524. De Paiva menyatakan
bahwa ia telah bertemu dengan orang Melayu di Siang, mendiami
perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur. Kemudian
menurut Pinto yang mengunjungi Siang tahun 1545 menyatakan bahwa orang
Melayu di Siang berjumlah 40.000 jiwa1.
Pada zaman pemerintahan Tumaparisi Kallonna (1500-1545) orang Melayu
sudah mendirikan permukiman di Manggalekanna sebelah utara Somba Opu ibu
kota Kerajaan Gowa. Pada masa Karaeng Tunipalangga, orang Melayu
mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Manggalekanna
diberi hak otonom2. Sejak kedatangan orang Melayu ke Kerajaan Gowa
perannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga mempengaruhi
kehidupan sosial dan politik kerajaan. Besarnya jumlah orang Melayu
menyebabkan raja Gowa XII Karaeng Tunijallo (1565-1590) membangun
sebuah masjid di Manggalekanna untuk orang Melayu, padahal rajanya belum
memeluk Islam3.

1. Asal Usul Kerajaan Gowa


Sebelum kerajaan Gowa berdiri, yang diperkirakan terjadi pada abad
XIV. daerah ini sudah dikenal dengan nama Makassar dan masyarakatnya
disebut dengan suku Makassar. Kuta "Makasar" yang dimaksud Prapanca
dalam tulisan tersebut, bukanlah sebuah nama suku, melainkan nama sebuah

1
Nyayu Soraya, Islam dan Peradaban Melayu, (Jakarta: Desanta Muliavisitama, 2021),
hlm. 415.
2
Edward L Peolinggomang, dkk, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I, (Makassar: Balitbangda,
2004), hlm. 77.
3
Leonard Y Andaya, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Abad ke 17, (Makassar:
Innawa, 2004), hlm. 34.

1
negeri, yakni negeri Makassar, sebagaimana halnya negeri Bantayan
(Banten), Luwuk (Luwu). Butun (Butun), Selaya (Selayar) dan lainnya.
Menjelang terbentuknya Kerajaan Gowa, komunitas Makasar terdiri atas
sembilan kerajaan kecil yang disebut kasuwiyang salapang (sembilan negeri
yang memerintah), yaitu: (1) Tombolo, (2) Lakiung, (3) Saumata, (4) Parang-
Parang, (5) Data', (6) Agang Je'ene, (7) Bisei, (8) Kalling, Dan (9) Sero".
Diantara kerajaan-kerajaan kecil diatas sering terjadi perselisihan yang
terkadang meningkat menjadi perang terbuka. Perang dapat diperkecil dengan
mengangkat dari kalangan mereka seorang pejabat yang disebut paccallaya.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa X, Bernama I Mariogau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tonipalangga ulaweng (memerintahkan 1512-1546), kedua
kerajaan kembar (Gowa dan tallo) tersebut kembali menjadi satu kerajaan
dengan kesepakatan yang disebut "Rua Karaeng Se're Ata" yang berarti (dua
raja, tetapi seorang hamba). Sejak kedua Kerajaan Gowa Dan Tallo
menyepakati perjanjian tersebut, maka siapa saja yang menjabat raja tallo
sekaligus menjabat sebagai mangkubumi kerajaan gowa. Para sejarawan
kemudian menanamkan kedua Kerajaan Gowa Dan Tallo dengan Kerajaan
Makassar.
Dalam perkembangan kedua kerajaan ini, ternyata Kerajaan Gowa jauh
lebih populer. Tonipalangga (memerintah 1546-1565) bersama dengan
mangkubuminya. Nappakata tana Daeng Padulung (Raja Tallo), menetapkan
program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga.
Untuk itu, beliau memperkuat benteng-benteng pertahan kerajaan dengan
menjadikan Benteng Somba Opu sebagai benteng utama. Politik ekspansi ini
ternyata berjalan dengan baik. Beliau dapat menguasai daerah-daerah
pedalam Bugis dan perairan Bone. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada
pengaruh Gowa dianggap saingan yang harus ditaklukkan.
Pada periode kekuasaan Tonipalangga, banyak pedagang dari kepulauan
nusantara yang menetap di Makassar. Mereka ini terdiri atas para pedagang
dari Pahang, Petani, Johor, Campa, Minangkabau dan Jawa. Setelah
tonipalangga meninggal dunia, ia digantikan oleh tonibatta (1565) sebagai
raja gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarni Daeng Maarompa,

2
Karacang Data, Tonibatta. Tonibatta sendiri yang memimpin sekpansi itu.
Namun, Raja Bone VII, la Tenrirawe Bongkange, sudah mengantisipasi
agresi Gowa itu dengan mempersiapkan dari sebelumnya. Dalam suatu
pertempuran. Tonibalta tewas dalam keadaan tertetak, sehingga baginda
digelar Tonibalta (orang yang terletak). Kematian tonibalta, membuat
laskarnya bercerai-berai meninggalkan jenazah baginda. Kajao Lalindo,
penasehat Raja Bone, menyarakan agar jenazah Tomihatta dikembalikan ke
Gowa4.
Saran Kajao Lalindo untuk mengembalikan jenazah Tonibatta, agaknya
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengakhiri permusuhan yang
berkepanjangan antara Gowa Dan Bone. Kerajaan gowa diwakili oleh
mangkubuminya. I Mappakaka'tana Daeng Padulu Tomenanga Ri
Makkowayang, I yang didampingi oleh I Manggorau Daeng, Puta Mahkota
Kerajaan Gowa. Sedang Kerajaan Bone dipimpin langsung rajanya. La
Tenrirawe, yang didampingi oleh Kajao Lalido, Nama yang disebut terakhir
ini memegang peranan yang amat menetukan dalam perundingan tersebut.
Perundingan itu, menghasilkan tiga kesepakatan mengenai perbatasan, yaitu:
a. Kerajaan Bone mentut kembalinya daerah-daerah yang ditaklukan oleh
orang Gowa pada peperangan-peperangan yang lalu, pada jaman Raja
Gowa ke-9, Tomapa'risi Kallonna. Ke sebelah barat sampai ke sungai
Walanae dan ke schalah utara Sampai Negero Ulaweng.
b. Sungai tangka (perbatasan antara bone dan sinjai) menjadi perbatasan
kedua kerajaan, gowa dan bone. Sebelch selatan sungai menjadi daerah
gowa dan sebelah utaranya menjadi daerah hone.
c. Negeri cenrana, menjadi daerah kerajaan Bone, karena negeri itu telah
dibebaskan oleh Raja Bane ke-5. La Tenrisukki dari Raja Luwu' yang
bernama Raja Dewa, yang menguasai negeri itu.
Perjanjian perbatasan itu biasa disebut ulukananya Ri Caleooa
(kesepakatan di caleppa). Perjanjian tersebut diharapkan bisa meredakan
ketegangan kedua belah pihak. karena itu, setelah selesai perundingan di

4
Abd. Razak Daeng, Sejarah Bone, (Ujung Pndang: Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan,
2000), hlm. 24.

3
atas. Raja Bone bersama penasehatnya, Kajao Laliddong, langsung ke
Gowa mengikuti proses upacara pelantikan Raja Gowa XII, Tonijallo, yang
dilaksanakan didalam Benteng Kale Gowa di bukit Tamalate. Langkah
pertama yang diambil setelah diangkat sebagai Raja Gowa adalah lebih
memperkokoh persahabatan dengan Bone yang menjurus kepada
pembentukan semacam alinasi. Tonjallo memandang aliansi tellunpoccoc
sebagai ancaman langsung terhadap supremasi gowa yang telah terbina
sejak lama. Hal ini lebih diperburuk lagi karena wajo dan soppeng, yang
masih berada dalam pengaruh gowa, ikut sebagai tulang punggung aliansi
itu. Gowa menganggap kedua kerajaan tersebut sebagai kerajaan bawahan
yang melakukan pembrontakan terhadap kekuasaannya. 5Dalam keadaan
demikian, perang tidak terhindar lagi, dendam kesumat yang berhasil
diredam dengan perjanjian perdamaian yang baru saja disepakati, berkobar
kembali.
“Dapat penulis simpulkan bahwasanya sejarah penelusuran
mengenai awal mula kedatangan orang Melayu di Sulawesi Selatan
tepatanya di Makassar, dapat diketahui dari kehadiran seorang petualang
asal Portugis yang mendarat di Siang (sekitar pangkajene) bernama De
Paiva yang bertemu dengan orang yang mendiami perkampungan Melayu
dengan susunan masyarakat yang teratur. Kemudian Pinto yang
mengunjungi Siang tahun 1545 menyatakan bahwa orang Melayu di Siang
berjumlah 40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan Tumaparisi Kallonna
yaitu pada tahun 1500-1545 orang Melayu sudah mendirikan permukiman
di Manggalekanna sebelah utara Somba Opu ibu kota Kerajaan Gowa. Sejak
kedatangan orang Melayu ke Kerajaan Gowa perannya tidak hanya sebagai
pedagang dan ulama, tetapi juga mempengaruhi kehidupan sosial dan
politik Kerajaan.
Awal mula kota dan bandar Makassar berada di muara Sungai Tallo
dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV.
Menjelang terbentuknya Kerajaan Gowa, komunitas Makasar terdiri atas

5
Abu Hamid, Islamisasi Kerajaan Gowa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.
26.

4
sembilan kerajaan kecil yang disebut kasuwiyang salapang. Diantara
kerajaan-kerajaan kecil tersebut sering terjadi perselisihan yang terkadang
meningkat menjadi perang terbuka. Perang dapat diperkecil dengan
mengangkat dari kalangan mereka seorang pejabat yang disebut paccallaya.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa X, Bernama I Mariogau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tonipalangga ulaweng kedua kerajaan kembar (Gowa dan
Tallo) tersebut kembali menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan yang
disebut "Rua Karaeng Se're Ata" yang berarti dua raja, tetapi seorang
hamba. Sejak kedua Kerajaan Gowa Dan Tallo menyepakati perjanjian
tersebut, maka siapa saja yang menjabat raja tallo sekaligus menjabat
sebagai mangkubumi kerajaan gowa. Para sejarawan kemudian menamakan
kedua Kerajaan Gowa Dan Tallo dengan Kerajaan Makassar”.

B. Masa Kejayaan dan Keruntuhan Kesultanan Makassar


Kesultanan Makassar mengalami puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin, Makassar sukses menguasai nyaris seluruh
wilayah Sulawesi Selatan dan meluas ke Nusa Tenggara (Sumbawa dan
beberapa ke Flores). Setelah Bersatu menjadi Kesultanan Makassar, mereka
berupaya mengislamkan berbagai Kerajaan di Sulawesi Selatan. Upaya yang
diterapkan ini memperoleh perlawanan dari Kerajaan Bone pada tahun 1528 dan
Bone membentuk persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti
kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng. Akhir persekutuan itu dinamakan dengan
Persekutuan Tellum Pocco (Tiga Kekuasaan). Namun satu persatu kerajaan
tersebut sukses ditaklukkan oleh Kesultanan Makassar. Selain menaklukkan
kerajaan tetangga, mereka meluas sampai ke timur Kepulauan Nusa Tenggara.
Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo).
Sempat menjalin kerjasama dengan kerajaan Islam lainnya, khususnya
Kesultanan Mataram di Jawa. Sampai sekarang Islam menjadi agama mayoritas
di wilayah Sulawesi Selatan. Penguasa terbesar dari Kesultanan Makassar yaitu
Daeng Mattawang yang dikenal dengan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Di
bawah kepemimpinan Hasanuddin ini Makassar berkembang menjadi satu
kekuatan besar di Kawasan timur Nusantara, Sultan Hasanuddin sukses
menambah luas pengaruh Kesultanan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba,

5
Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok. Sultan
Hasanuddin juga sukses mengembangkan Pelabuhan menjadi bandar transit di
Indonesia timur pada saat itu. Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari
Timur, karena keberaniannya dan semangat perjuangannya. Makassar menjadi
kerajaan agung dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Hasanuddin berniat menguasai jalur perdagangan Indonesia bagian Timur
sehiggga haus menghadapi VOC sebelum menguasai Maluku yang kaya akan
lada. Pada tahun 1667 dengan bantuan raja Bone, Belanda menekan Makassar
untuk menyetujui Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi 3 kesepakan, yakni
VOC mendapat hak monopoli perdagangan di Makassar. Belanda dapat
mendirikan benteng Rotterdam di Makassar, dan Makassar harus melepas
kerajaan daerah yang dikuasainya seperti Bone dan Soppeng. Sepeninggalan
Hasanuddin. Makassar dipimpin oleh putranya bernama Mapasomba. Sultan ini
menetang kehadiran belanda dan dengan gigih mengusur Belanda dari Makassar.
Sikapnya keras dan tidak mau bekerja sama menjadikan alasan Belanda
mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba dihancurkan
dan Mapasomba tidak diketahui nasibnya. masuknya Belanda, VOC (Vereening-
de Oost-Indische Compaigne) di Makassar merupakan masa baru untuk
Makassar. Pelabuhan Makassar yang terus buka sebagai pelabuhan untuk
seluruh perdagang asing dan pedagang lokal. Di samping itu, posisi sebagai
pelabuhan singgah membuat Makassar mendukung kebijakan pelayaran dan
perdagangan lepas di Kawasan timur Nusantara6. Kondisi perdagangan lepas ini
memicu konflik dengan orang Belanda yang berhasrat perbatasan pelayaran dan
monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertikaian dengan Belanda ini
menyebabkan keruntuhan Kesultanan Makassar.
“Dapat penulis simpulkan bahwa Kesultanan Makassar mengalami puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, yang mana Makassar
sukses menguasai nyaris seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan meluas ke Nusa
Tenggara yaity di bagian Sumbawa dan beberapa ke Flores. satu persatu
Kerajaan-kerajan lain sukses ditaklukkan oleh Kesultanan Makassar. Selain

6
Nurjanna, dan Romansyah Sahaabuddin, Keputusan Berwirausaha kalangan Wanita di
kota makassar, (Yogyakarta: PT Nas Media Indonesia, 2022), hlm. 70.

6
menaklukkan kerajaan tetangga, kesultanan makassar juga meluas sampai ke
timur Kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu juga sultan Hasanuddin juga sukses
mengembangkan Pelabuhan menjadi bandar transit di Indonesia timur hingga
sultan Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur, karena
keberaniannya dan semangat perjuangannya Makassar menjadi kerajaan agung
dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Adapun Keruntuhan kesultanan Makasar dikarenakan Belanda melakukan
politik adu domba antara Makassar dengan Kerajaan Bone. Mengakibatkan
Makassar terpaksa menyetujui perjanjian Bongaya yang mana perjanjian ini
berisi 3 kesepakatan yang didalam pasalnya banyak merugikan pihak Makassar.
Ditambah lagi dengan Pelabuhan Makassar yang terus buka sebagai pelabuhan
untuk seluruh perdagang asing dan pedagang lokal singgah membuat Makassar
mendukung kebijakan pelayaran dan perdagangan lepas di Kawasan timur
Nusantara hal inilah yang menyebabkan keruntuhan Kesultanan Makassar”.

C. Raja Kesultanan Makassar


Perkembangan Kesultanan Makassar tak terlepas dari peranan raja-raja
yang memerintah. Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kesultanan
Makassar, antara lain sebagai berikut:
1. Sultan Alauddin (1591-1629 M).
Sultan Alauddin sebelumnya bernama asli Karaeng Matowaya Tumamenaga
Ri Agamanna dan merupakan raja Makassar pertama yang memeluk agama
Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, Kesultanan Makassar mulai
terjun dalam dunia pelayaran dan perdagangan.
2. Sultan Muhammad Said (1639-1653 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said, perkembangan Makassar
maju pesar kerena Bandar transit, Bahkan sultan Muhammad Said juga
pernah mengirimkan pasukkan ke Aibku sebagai penolongrakyat Aibku
bertempur melawan Belanda.
3. Sultan Hasanuddin (1653-1669 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Makassar sampai pada pada
masa kejayaan. Makassar sukses menguasai nyaris seluruh wilayah Sulawesi
Selatan dan menambah luas wilayah kukuasaan ke Nusa Tenggara.

7
Hasanuddin mendapat julukkan Ayam Jantan dari Timur, karena
keberaniannya dan semangat perjuangannya.
4. Sultan Amir Hamzah (1669-1674 M)
5. Sultan Mohammad Ali (1674-1677 M)
6. Sultan Abdul Jalil (1677-1709 M)
7. Sultan Ismail (1709-1711 M)
8. Sultan Najamuddin (bermula 1711M)
9. Sultan Sirajuddin (sampai 1735 M)
10. Sultan Abdul Chair (1735-1742 M)
11. Sultan Abdul Kudus (1742-1753 M)
12. Sultan Maduddin (1747-1795 M)
13. Sultan Zainuddin (1767-1769 M)
14. Sultan Abdul Hadi (1769-1778 M)
15. Sultan Abdul Rauf (1778-1810 M)
16. Sultan Muhammad Zainal Abidin (1825-1826 M)
17. Sultan Abdul Kadir Aididin (1826-1893 M)
18. Sultan Muhammad Idris (1893-1895 M)
19. Sultan Muhammad Husain (18951906 M)
20. Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin (1906-1946 M)
21. Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin (1956-1978 M)
22. Sultan Alauddin II (2011-2020 M)
23. Andi Kumala Andi Idjo (2020-sekarang)

D. Peninggalan Kesultanan Makassar

a. Fort Rotterdam
Fort Rotterdam merupakan salah satu di antara empat belas benteng
pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo yang didirikan di pesisir Selat Makassar.
Kekhususan Benteng Fort Rotterdam adalah pada bentuknya yang
menyerupai penyu, gerbang utama yang kokoh memberikan kesan
kemegahan dengan keberadaan pintu bertekstur dan ornamen lengkung. Serta
tulisan nama benteng pada bagian atas gerbang. Benteng Fort Rotterdam
memiliki luas + 3 hektar dengan ketinggian dinding berbeda antara 5-7 meter
dan ketebalan dinding ± 2 meter. Nama lain dari Fort Rotterdam adalah ujung

8
pandang atau benteng panyua (penyu) sesuai dengan bentuknya apabila
dilihat dari udara bentuknya menyerupai penyu yang hendak bergerak ke
laut7.
Perubahan nama menjadi Fort Rotterdam membawa implikasi perubahan
arsitektur benteng Benteng dirombak sesuai dengan keinginan penguasa
Belanda semua sisi bagian benteng diisi dengan arsitektur gaya neo gotic
Eropa abad pertengahan dan ditengah benteng dibangun daerah bertingkat
yang diperuntukkan sebagai gereja. Benteng menjadi pusat pertahanan dan
perdagangan juga pemerintahan VOC. Sampai dengan datangnya Jepang di
Indonesia, benteng berfungsi dengan baik. Masuknya Jepang membawa
kerusakan di bagian benteng akibat perebutan kekuasaan kota Makassar di
Benteng Fort Rotterdam.
b. Majid Katangka
Masjid Al-Hilal atau lebih dikenal dengan nama Masjid tua Katangka
adalah salah satu masjid yang tertua di provinsi Sulawesi Selatan. Mengapa
dinamakan masjid katangka sebab masjid ini didirikan di kelurahan
Katangka, kecamatan Somba Opu, di Kabupaten Gowa. Selain itu, masjid ini
disebut Katangka, karena bahan baku atau material dasar dari masjid ini
diyakini oleh masyarakat setempat diambil dari pohon Katangka yang
ditebang di lokasi pembangunan masjid kemudian di ambil kayunya untuk
mendirika masjid. Masjid tua Katangka ini berdiri di atas lahan seluas sekitar
150 meter persegi. Masjid ini mempunyai ciri khas seperi memiliki satu
kubah, atapnya dua lapis yang serupa dengan bangunan joglo. Masjid ini juga
ini juga memiliki empat pilar utama berdiri di tengah bangunan dan berbetuk
bulat. Di dalam masjid ini terdapat enam buah jendela dan juga lima buah
pintu. Atapnya dua lapis yang memiliki filosofi dua kalimat syahadat, empat
tiang yang menandakan Khulafaur Rasyidin yakni sahabat nabi Abu Bakar,
Umar Bin Khattab, Ustman, Dan Ali Bin Abi Thalib Radiyallahu 'Anhum,

7
Jumardi Dan Suswandari, Situs Benteng Fort Rotterdam Sebagai Sumber Belajar Dan
Destinasi Pariwisata Kota Makassar: Tinjauan Fisik Arsitektur Dan Kesejahteraan, Vol 4, No.2,
Tahun 2018, Jurnal candrasangkala, hlm. 140

9
selai itu jendela yang berjumlah enam bermakna rukun iman ada enam dan
lima pintu bermakna lima rukun Islam8.
c. Makam Raja-Raja Makassar
Kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar dibangun abad ke- 17, dan
dipergunakan sebagai makam penguasa Tallo sampai abad ke-19. Adalah
Tunatengkalopi, Raja Gowa VI (1445-1460), yang membagi Gowa menjadi
dua kerajaan, Tallo dan Gowa. la membentuk persekutuan dan menjadi
kekuatan dominan di kawasan ini, sampai pasukan Belanda dibawah
Speelman mengakhiri dominasi Gowa, dengan dibantu La Tenri Tatta Arung
Palakka dari Bone. Pemandangan di dalam kompleks Makam Raja-Raja Tallo
Makassar terlihat hijau asri, di bawah naungan pohon-pohon tua berukuran
besar yang rindang daunnya mampu meneduhkan pengunjung dari ganasnya
matahari. Sebuah dangau kecil di bawah pohon merupakan tempat nyaman
untuk perhentian barang sejenak. Di bagian kanan depan terdapat beberapa
makam yang bentuknya belum terlalu istimewa berjejer di samping jalanan
kompleks yang disemen dengan rapi.

E. Sejarah Kesultanan Melayu di Maluku


Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan di
Nusantara. Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan
jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan
antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda. Kepulauan Maluku sangat penting
peranannya karena Maluku, adalah penghasil rempah-rempah terbesar pada
waktu itu sehingga bayak negara yang berdatangan ke Maluku. Sejak awal
diketahui bahwa didaerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni
Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau
Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di
Pulau Ternate dan Tidore.
Tanda-tanda awal kehadiran Islam ke daerah Maluku dapat diketahui dari
sumber-sumber berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti
Hikayat Hitu, Hikayat Bacan, dan hikayat-hikayat setempat lainnya. Maluku

8
Akin Duli, dkk, Monument Islam di Sulawesi Selatan, (Makassar: Balai cagar budaya
makassar, 2013), hlm. 39

10
terkenal dengan semerbak bunga cengkehnya. orang asing tertarik datang ke
sana untuk berdagang Bahkan orang-orang Eropa berdatangan ingin menguasai
wilayah tersebut. Selain itu. Maluku juga dikenal dengan julukan Negeri Seribu
Pulau dan Jazirah al-Mulk (wilayah raja-raja).
Akses ke Maluku sangat mudah dijangkau, karena Maluku merupakan
salah satu pusat lalu lintas pelayaran Internasional di Nusantara, selain Malaka
dan Jawa. Pada awalnya yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore,
Makian, dan Moti. Secara keseluruhan, keempat wilayah itu disebut dengan
"Moloku Kie Raha". artinya "persatuan empat Kolano (Kerajaan)." 9
Pada abad ke-13 M, di Maluku sudah muncul beberapa kolano (kerajaan)
yang memainkan penting dalam bidang perdagangan, yaitu: Ternate, Tidore,
Makian dan Moti. Pada perjalanan selanjutnya, sesudah terjadi perjanjian Moti
pada abad ke-14 M. Kolano Makian pidah ke Bacan, dan Kolano Moti pindah
ke Jailolo.10
Sejak itulah, empat kolano di Maluku berubah nama menjadi: Ternate,
Tidore, Bacan, dan Jailolo, dan dari keempat itu, Kolono Ternate dan Tidorelah
yang banyak mendapat perhatian dalam liputan sejarah Islam di Maluku.
Berbagai sumber menyebutkan, raja pertama dari empat kerajaan itu adalah
bersaudara, yaitu: Sahajati di kerajaan Tidore, Masyhur Malamo di kerajaan
Temate, Kaicil Buka di kerajaan Bacan, dan Darajati di kerajaan Jailolo.
Keempat raja itu merupakan putra dari Ja'far Shadiq, yang ditengarai putra Ali
Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib11,Hal inilah yang menjadi awal
sejarah kesultanan Islam di Maluku.
Jadi, Kepulauan Maluku memiliki peranan yang sangat penting karena
Maluku menghasilkan rempah-rempah terbesar pada masanya sehingga banyak
sekali yang berdatangan ke Maluku. Tanda awal kehadiran Islam ke daerah
Maluku diketahui dari sumber-sumber yang berupa naskah-naskah kuno dalam
bentuk hikayat seperti Hikayat Hitu, Hikayat Bacan, dan hikayat-hikayat

9
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2010), hlm.
115.
10
M.Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya Maluku, dalam Komaruddin Hidayat dkk,
Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 335.
11
Mundzirin, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pinus,
2006), hlm. 100-101.

11
setempat lainnya. Maluku terkenal dengan semerbak bunga cengkehnya. Orang-
orang asing sangat tertarik untuk berkunjung ke Maluku akses jalan ke Maluku
juga sangat mudah dijangkau.

F. Kesultanan Ternate, Tidore, dan Jilolo


1. Kesultanan Ternate
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah
satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu
kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo
pada tahun 1257. Kesultanan Temate memiliki peran penting di kawasan
timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19. Kesultanan Ternate
menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-
rempah dan kekuatan militemnya. Pada masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan
tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall
di Pasifik.
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk
Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate
terdapat 4 kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole
(kepala marga). Merekalah yang pertama-tama mengadakan hubungan
dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah-
rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya
pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas
perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari
para perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona
diadakan musyawarah untuk membentuk atu organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Jadi, Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian
orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di
bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate
berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau

12
kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur
Indonesia khususnya Maluku.
a. Sistem kesultanan ternate, raja-raja dan kebijakannya.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu
(perdana menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau
empat rumah adalah enat klan bangsawan yang menjadi tulang
punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu,
masing-masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli,
Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat-pejabat tinggi kesultanan
umumnya berasal dari klan-klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki
pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada
jabatan-jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18). Sabua
Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Pada masa-masa awal suku Temate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja
yang disebut kolano, Julai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi
secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan.
Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya
dengan gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Masyhur Mulamo adalah raja Ternate pertama yang memerintah pada
tahun 1257-1272 M.12
Sekalipun diberbagai literatur disebutkan bahwa ia adalah putra
Ja'far Shadiq, tidak ada keterangan jelas yang menyebutkan bahwa ia
beragama Islam, begitupun dengan beberapa raja-raja penerusnya di
antaranya Kaicil Yamin (1272-1284 M), Kaicil Sale (1284-1298 M),
Kamalu (1298-1304 M), Kaicil Ngara Lamu (1304-1317 M).
Patsyaranya Malamo (1317- 132 M), Sida Arif Malamo (1322-1331
M). 1331 M). Pasca Sida Arif Molamo, kepemimpinan Temate
dilanjutkan oleh Bayanullah (1350-1375) dan Marhum (1465-1489 M)
13
Marhum adalah Kolono Ternate yang pertama kali masuk Islam,

12
Mundzirin, dkk, Op.cit....hlm.99
13
Darmawijaya, Op.cit...hlm. 119

13
setelah mendapat seruah dakwah dari pedagang asal Minangkabau yang
juga murid Sunan Giri, yaitu Datu Maulana Husein yang datang ke
Temnater pada tahun 1465M.
Jika keterangan ini dijadikan patokan masuknya Islam di Ternate,
maka Islam di Ternate ini dibawa dan disebarkan oleh ulama Melayu-
Jawa. Tetapi, menurut M. Shaleh Putuhena, yang didasarkan pada
tradisi lisan masyarakat, pedagang Arablah yang pertama kali
memperkenalkan Islam di kawasan Maluku, mereka adalah Syeikh
Mansur, Syekih Yakub, Syeikh Amin dan Syeikh Umar14.
Setelah Kolano Marhum Wafat pada tahun 1486, putranya Zanal
Abidin menggantikannya (1486- 1500 M). Zainal Abidin, adalah murid
Sunan Ampel dan jebolan sekolah agama Islam Gresik asuhan Sunan
Ampel. Pada masa Zainal Abidin inilah, gelar kolano diganti menjadi
Sultan, dengan begitu, Zainal Abidin merupakan penguasa Ternate
pertama yang memakai gelar Sultan. Selain perubahan gelar, terdapat
perubahan lain masa ini, yaitu: pertama, menjadikan Islam sebagai
agama resmi kerajaan dan sejak itu menjadi kesultananPakaian dari
orang-orang dilembaga ini adalah jubah putih. Selain Bolato Akhirat,
juga ada BobatoDunia yang menggunakan jubah hitam, tugas mereka
adalah membantu sultan dalam masalah pemerintahan.15
Dalam sejarah Nusantara, penguasa dari Kesultanan Ternate pada
abad ke-16, seperti Sultan Khairun dan Sultan Babullah dapat
disejajarkan dengan para penguasa besar daerah lain di Nusantara
seperti Sultan Trenggono di Kesultanan Demak, Fatahillah di
Kesultanan Banten, Sultan Alauddin di Aceh, dan Sultan Abdul Jalil di
Johor. Kesultanan Ternate (1570-1610 M) juga menjadi salah satu
kerajaan Islam terbesar di Kepulauan Nusantara. Pada waktu itu guru-
guru agama banyak yang didatangkan dari Makkah dan telah menjalin

14
Komaruddin Hidayat dkk, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 2006), hlm. 345.
15
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950, (Makasar: Gora Pustaka Indah Nala Cipta Lentera, 2007), hlm. 64.

14
erat dengan kerajaan Islam lain terutama dengan Demak, Banten, dan
Melayu.16

2. Kesultanan Tidore
a. Letak geografis kesultanan tidore
Letak geografis kesultanan tidore adalah kerajaan Islam yang
berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada
masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke- 18). kerajaan ini
menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau
Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
b. Awal perkembangan awal institusi kerajaan
Tidore Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Temate. Menurut
silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah
Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Bari pada akhir abad
ke- 14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja
Tidore ke-11. Sultan Djamaluddin, yang bersedia masak Islam berkat
dakwah Syekh mansur dari Arab. Pada 1495, syariat Islam mulai
diterapkan dalam sistem pemerintahan kerajaan. Gelar raja berubah
menjadi sultan. Caliati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama
yang memakai gelar sultan dengan nama Sultan Jamaluddin (1495-1512).
la dilslamkan oleh seorang Arah, Syech Mansur, yang memberi nama
Jamaluddin tersebut.
Pada waktu itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan
Almansyur, pengganti Jamaluddin, naik tahta pada 1512, ia memindahkan
pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum, Tidore
Utara. Posisi ibu kota baru itu berdekatan dengan Ternate, diapit Tanjung
Mafugogo dan Pulau Maitara. Dengan keadaan laut indah dan tenang,
lokasi ibu kota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang
ramai Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali pemindahan ibu kota
Tidoere dengan berbagai alasan.
Pada 1600, Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) memindahkan ibu
kota ke Toloa di selatan Tidore Perpindahan itu disebabkan oleh

16
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG. 2009 hlm. 66.

15
meruncingnya persengketaan dengan Ternate. Posisi ibu kota ketika sangat
dekat dengan Tignate sehingga sangat rawan mendapat serangan Pendapat
lain menambahkan bahwa perpindahan ibu kota didorong oleh keinginan
untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih
animistik agar memeluk Islam. Perpindahan ibu kota yang terakhir adalah
ke Limau Timore pada masa Sultan Saifuddin (Jou Kola, 1657-1659).
Limau Timore kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805), wilayah kekuasaan
Tidore meliputi Halmahera Timur (Weda, Patani, Gebe, dan Bicoli).
Seram Utara dan Timur, Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan,
Seram, dan Halmahera Timur. Sultan Nuku berhasil menciptakan
persekutuan tiga dari empat kesultanan Maluku, yaitu Tidore. Bacan, dan
Jailolo.
c. Kesultanan tidore dari masa ke masa
Berdasarkan silsilah raja pertamanya, Sahajati merupakan saudara
Mayshur Malamo, raja pertama kerajaan Ternate. Mereka adalah putra dari
Ja'far: Shadiq. Sebagaimana Masyhur Malamo, tidak ada keterangan yang
menyebutkan bahwa Sahajati menganut agama Islam.
Berbagai sumber justru menyebutkan bahwa raja Ciriati atau
Ciriliyati-lah yang pertama kali masuk islam, sedangkan pendahulunya
secara turun-temurun menganut kepercayaan yang dikenal dengan
Symman yaitu memuja roh-roh leluhur nenek moyang mereka. Raja
Ciriliyati setelah masuk Islak diberi gelar Sultan Jamaluddin. Kelslaman
raja ini mempercepat proses Islamsasi di kalangan rakyat Tidore, dan juga
didukung oleh aktivas internal kerajaan yang lebih difokuskan untuk
membangun madrasah-madrasah dan masjid-masjid sebagai sarana
pendidikan dan ibadah rakyat.
Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya sebagai sultan Tidore
digantikan oleh putra sulungnya, yaitu sultan Mansyur (1512-1526). Pada
masa ini, Tidore kedatangan orang Spanyol, dan diterima oleh Sultan
Mansyur. Rombongan Spanyol ini memberi hadiah kepada sultan berupa
jubah, kursi Eropa, kain linen halus, sutra brokat, beberapa potong kain
India yang dibordir dengan emas dan perak, berbagai rantai kalung dan

16
manik-manik, tiga cermin besar, cangkir minum, sejumlah gunting, sisir,
pisau serta berbagai benda berharga lainnya. Sultan Mansyur pun
menyambut dengan senang hati, bahkan ia bilang kepada orang-orang
Spanyol untuk menganggap Tidore sebagai wilayahnya sendiri.
Dua hari setelah kedatangan, orang-orang Spanyol itu diundang oleh
sultan ke istana Mareku untuk menghadiri jamuan makan siang.
Kemudian, Sultan Mansyur memberikan izin kepada orang-orang Spanyol
untuk menggelar dagangan mereka di pasar, bahkan Sultan ikut membantu
mendirikan tempat- tempat berdagang dari bambu, sehigga terjadilah
perdagangan secara barter. Hubungan yang erat ini, membuat orang-orang
Portugis marah, yang akhirnya mereka yang berkedudukan di Ternate pada
tahun 1524 melakukan penyerangan terhadap kesultanan Tidore,
tujuannya untuk merebut Tidore dari pengaruh Spanyol.17
Tahun 1526 Sultan Mansyur wafat, dan beru pada tahun 1529 putra
bungsunya, Amiruddin Iskandar Zulkarnain dilantik menjadi Sultan
Tidore, pada usia yang masih muda, sehingga diangkatlah Kaicil Rade,
seorang bangsawan terpelajar, negosiator ulung. sekaligus seotang
prakjurit handal dan pemberani sebagai Mangkubumi. Pada masa ini
terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Ternate yang
berakhir dengan perjanjian damai berisi dua pasal pokok yaitu:1. Semua
rempah-rempah hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga yang
sama yang dibayarkan Portugis kepada Ternate. 2. Portugis akan menarik
armadanya dari Tidore.
Pasca meninggalnya Sultan Amiruddin Iskandar Zulkamain pada
tahun 1547 terjadi masa transisi dimana terdapat tiga orang Sultan, yaitu
Kie Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna. Barulah pada tahun 1657
Sultan Saifuddin dilantik dan berkuasa sampai dengan tahun 1689, sultan
Saifudidin merupakan salah salah satu Sultan Tidore yang berhasil
membawa kemajuan di Tidore, dan membawa Tidore disegani. 18 Setelah

17
Darmawijaya, Op.cit, hlm .135
18
Rusdiyanto, Kesultanan Ternate Dan Tidore. Jurnal Aglam- Journal of Islam and
Plurality Volume 3. Nomor 1, Juni 2018. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado, Indonesia
hlm. 51.

17
itu, pergolakan demi pergolakan mulai terjadi, terutama di daerah-daerah
seberang laut yang harus dihaapi oleh sultan-sultan pengganti Sultan
Saifuddin, antara lain Sultan Hamzah Fahruddin. Barulah satu abad
kemudian, kesultanan Tidore diperhitungkan kembali dalam sejarah
Nusantara. ketika Sultan Nuku (Jamaluddin) dari Tidore bangkit melawan
Belanda, perlawanan ini mengakibatkan Sultan ditangkap oleh Belanda
beserta keluarganya pada tahun 1780 M lalu dibuang ke Batavia dan
kemudian ke Sri Langka. Sultan Nuku ini wafat dalam pembuangan di
Langka. Sebagaimana yang terjadi pada kesultanan Temate, campur
tangan asing. khusunya Belanda terhadap urusan internal kekuasaan
mehuat rakyat Tidore tidak senang, sehingga pada tahun 1983, rakyat
Tidore menyerbu Istana Tidore.
d. Raja-raja / sultan tidore
1. Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq
2. Kolano Bosamawange
3. Kolano Syuhud alias Subu
4. Kolano Balibunga
5. Kolano Duko adoya
6. Kolano Kie Matiti
7. Kolano Seli
8. Kolano Matagena
9. (1334-1372) Kolano Nuruddin
10. (1372-1405) Kolano Hasan Syah
11. (1495-1512) Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
12. (1512-1526) Sultan Al Mansur
13. (1526-1535) Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
14. (1535-1569) Sultan Kiyai Mansur
15. (1569-1556) Sultan Iskandar Sani 1
16. (1586-1600) Sultan Gapi Baguna
17. (1600-1626) Sultan Mole Majimo alias Zainuddin

18
18. (1626-1631) Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah
memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kalato (Istana) Biji
Negara di Toloa.
19. (1631-1642) Sultan Gorontalo alias Saiduddin
20. (1642-1653) Sultan Saidi
21. (1653-1657) Sultan Mole maginyau alias Malikiddin
22. (1657-1674) Sultan Saifuddin alias Jou Kota: memindahkan
pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Salero di Limau
Timore (Soasiu).
23. (1674-1705) Sultan Hamzah Fahruddin
24. (1705-1708) Sultan Abdul Fadhlil Mansur
25. (1708-1728) Sultan Hasanuddin Kaicil Carcia
26. (1728-1757) Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan
27. (1757-1779) Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin
28. (1780-1783) Sultan Patra Alam
29. (1784-1797) Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar
30. (1797-1805) Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah
Muhammad El Mab'us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku
31. (1805-1810) Sultan Zainal Abidin.
32. (810-1821) Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
33. (1821-1856) Sultan Achmadul Mansur Sirajuddinsyah,
pembangunan Kadato (Istana) Kie
34. (1856-1892) Sultan Achmad Syaifuddin Alting
35. (1892-1894) Sultan Achmad Fatahuddin Alting
36. (1894-1906) Sultan Achmad Kawiyuddin Alting ahas Shah Juan,
setelah wafat, terjadi konflik internal (Kadato Kie dancurkan) hingga
vakumnya kekuasaan
37. (1947-1967) Sultan Zainal Abidin Syah, diikuti vakumnya kekuasa
38. (1999-2012) Sultan Djafar Syah, pembangunan kembali Kadato Kie
39. (12012-sekarang) Sulum Husain Syah.
e. Kemunduran kesultanan tidore
Kemunduran Kesultanan Tidore disebabkan karena diadu domba
dengan Kesultanan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (Spanyol

19
dan Portugis) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-
rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa
mereka telah diadu Domba oleh Portugal dan Spanyol, mereka kemudian
bersatu dan berhasil mengusir Portugal dan Spanyol ke luar Kepulauan
Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC
yang dibentuk Belanda untuk muasai perdagangan rempah-rempah di
Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang
teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

3. Kesultanan Jailolo
Kesultanan Jailolo adalah salah satu kesultanan yang pernah berkuasa
di Kepulauan Maluku Pendirian kesultanan ini berawal dari Persekutuan
Mon yang drunkan oleh Sulu Sida Arif Malamo Kesultanan jailolo adalah
satu-satunya kesultanan di Maluku Utara yang pusat pemerintahannya
berada di Pulau Halmahera19 Selain itu, wilayah Kesultanan Jattolo adalah
salah satu sumber penghasil cengkih di Kepala Maloku Kesultanan Jailolo
telah berdiri sejak abad ke-13 Masehi Pada abad ke-17 kesultanan ini
mengalami keruntuhan Wilayah-wilayahnya kemudian terbagi menjadi
bagian dari Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.
a. Aspek keagamaan
Kesultanan Jailolo mulai mengenal agama Islam setelah menjalin
kerja sama perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Jawa. Selain
itu, masyarakat Jailolo mulai beragama Islam setelah Sultan Zainal
Abidin kembali dari Kedatuan Giri dan mulai berdakwah di Kepulauan
Maluku. Agama Islam semakin berkembang di Kesultanan Jailolo
setelah Selat Malaka menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan
para pedagang Arab dengan wilayah Indonesia Timur secara langsung.
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perkembangan
kekuasaan Islam yang paling awal di Maluku Utara. Masyarakat Jailolo
mulai meninggalkan pemikiran primitif sejak Islam diterapkan dalam

19
Amir, Amrullah dan Utomo, Bambang Budi. Aspek-aspek perkembangan Peradaban
Islam di Kawasan Indonesia Timur Maluku & Lows 2016, Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat
Jenderal 277 Amir, Amrullah dan Utomo, Bambang Budi. Aspek-aspek Kebatayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-602-1289-44-0.

20
kehidupan sosial dan politik. Kesultanan Jailolo menjalankan syariat
Islam dalam kehidupan masyarakatnya. Al-Qur'an dan nasihat para
leluhur menjadi sumber lokum utama dalam menjalankan hubungan
sosial Kehidupan masyarakat sepenuhnya diatur oleh adat yang dikenal
sebagai Adat Se Atorang. Kesultanan Jailolo bekerja sama dengan
Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bacan dalam
menyebarkan Islam di Maluku Utara. Mereka menyebarluaskan tentang
syariat, tarekat, hakikat dan makrifat Islam kepada masyarakat Maluku
Peran masing-masing kesultanan diatur pada tahun 1322 dalam
Persekutuan motiurusan tarekat diserahkan kepada kesultanan tidore.
Sedangkan Kesultanan Jailolo menerima tanggung jawab dalam
urusan makrifat. Pada masa ini, perkembangan tarekat sangat pesat
dengan disertai pembangunan masjid-masjid. Tarekat-tarekat yang
berkembang yaitu Alawiyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah. Masing-
masing tarekat ini beribadah pada masjid yang terpisah, tetapi tetap
saling menghormati dan rukun20.
b. Pendirian kembali kesultanan
Kesultanan Jailolo mulai didirikan kembali secara adat setelah era
reformasi dimulai pada tahun 1998. Komunitas adat Moloku Kie Raha
mulai dibentuk kembali. Selama periode 2002-2017, telah terangkat
empat sultan yang berkuasa secara berturut- turut, yaitu Abdullah Sjah.
Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah
Sjah.
c. Aspek perdagangan
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perdagangan cengkih
di Pulau Halmahera pada abad ke-15 Wilayahnya merupakan penghasil
rempah- rempah sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang
asing. Para pedagang asing ini berasal dari Arab, Eropa, Gujarat, Cina,
21
Melayu, Jawa, dan Makassar. Wilayah pesisir barat Pulau Halmahera
menjadi pusat bandar-bandar perdagangan Kesultanan Jailolo.

20
Amir Amrullah dkk, Op.cit, hlm.155.
21
Laila Abdul jalil Nisan Kuno di Jailolo Bukti Perkembangan Islam Abad Ke-18 di Maluku
Utara. 2017 Berkala Arkeologi 37 (2): 195- 207. doi:10.30883/jba v3712.214. ISSN 0216-1419
hlm.198 243

21
d. Keruntuhan Kesultanan Jailolo
Pada tahun 1359. Kesultanan Ternat menyerang Kesultanan Jailolo
atas perintah Gapi Malamo. Serangan kembali dilakukan oleh Komala
Pulu pada tahun 1380 dan Taruwese pada tahun 1524 dan 1527. Serangan-
serangan ini membuat wilayah kekuasaan dari Kesultanan Jailolo
berkurang. Pada tahun 1534, Kesultanan Jailolo merebut kembali
wilayahny dengan dipimpin oleh Sultan Katarabumi dengan bantuan dari
Portugis. Kesultanan Jailolo kemudian menyerang Kerajaan Moro untuk
memperluas wilayahnya. Penyerangan ini dibantu oleh Sultan Deyalo
yang diberhentikan sebagai sultan dari Kesultanan Ternate oleh Portugis.22
Pada tahun 1551, Kaltanan Ternate menyerang Kesultanan Jailolo
dengan bantuan dari Portugis. Serangan ini membuat sebagian wilayah
kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi milik Kesultanan Ternate. Wilayah
yang dikuasai kemudian diisi oleh Suku Ternate, sehingga masyarakat
Jailolo khususnya Suku Wayoli pindah ke wilayah Kesultanan Jailolo yang
lainnya.23
Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate kembali melakukan serangan
dan dibantu oleh Belanda. Kedua serangan ini akhirnya mengakhiri
kekuasaan dari Kesultanan Jailolo. Pada tahun yang sama, Kesultanan
Ternate menggabungkan bekas wilayah Kesultanan Jailolo menjadi bagian
dan wilayah kekuasaannya. Kaicil Alam menjadi sultan terakhir dari
Kesultanan Jailolo. la dinikahkan dengan saudari Sultan Sibori dan
jabatannya diubah menjadi sangaji atau perwakilan Kesultanan Ternate.
Kesultanan Jailolo sepenuhnya menjadi wilayah kekuasaan dari
Kesultanan Ternate setelah Kaicil Alam wafat.

22
Junaidi, Muhannad, Sejarah Konflik dan Perdamaian di Malulu Utara (Refleksi
Terhadap Sejarah Moloku Kie Rahaj 2017, 1 (2) 222- 247. hlm. 237
23
Syahruddin, mansyur, Sebaran Benteng Kolonial Eropa di pesisir Barat Pulau
Halmahera: Jejak Arkeologis dan Sejarah Perebutan Wayak di Kesultanan Jailolo, 2016.
Purbawidya. 5 (2): 133-150. Syahruddin, mansyur Sebaran Benteng Kolonial Eropa di
1024164/pw.v512.97, ISSN 2252-3758. hlm.142

22
KESIMPULAN

Sejarah penelusuran mengenai awal mula kedatangan orang Melayu di


Sulawesi Selatan tepatanya di Makassar, dapat diketahui dari kehadiran seorang
petualang asal Portugis yang mendarat di Siang (sekitar pangkajene) bernama De
Paiva yang bertemu dengan orang yang mendiami perkampungan Melayu dengan
susunan masyarakat yang teratur. Kemudian Pinto yang mengunjungi Siang tahun
1545 menyatakan bahwa orang Melayu di Siang berjumlah 40.000 jiwa. Pada
zaman pemerintahan Tumaparisi Kallonna yaitu pada tahun 1500-1545 orang
Melayu sudah mendirikan permukiman di Manggalekanna sebelah utara Somba
Opu ibu kota Kerajaan Gowa. Sejak kedatangan orang Melayu ke Kerajaan Gowa
perannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga mempengaruhi
kehidupan sosial dan politik Kerajaan.
Kepulauan Maluku memiliki peranan yang sangat penting karena Maluku
menghasilkan rempah-rempah terbesar pada masanya sehingga banyak sekali yang
berdatangan ke Maluku. Tanda awal kehadiran Islam ke daerah Maluku diketahui
dari sumber-sumber yang berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti
Hikayat Hitu, Hikayat Bacan, dan hikayat-hikayat setempat lainnya. Maluku
terkenal dengan semerbak bunga cengkehnya. Orang-orang asing sangat tertarik
untuk berkunjung ke Maluku akses jalan ke Maluku juga sangat mudah dijangkau.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amal, Adnan M. Kepulauan Rempah Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara


1250-1950. Makasar: Gora Pustaka Indah Nala Cipta Lentera, 2007.
Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Abad ke 17.
Makassar: Innawa, 2004.
Daeng, Razak Abd. Sejarah Bone. Ujung Pndang: Yayasan kebudayaan Sulawesi
Selatan, 2000.
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2010.
Duli, Akin. dkk, Monument Islam di Sulawesi Selatan. Makassar: Balai cagar
budaya makassar, 2013.
Hamid, Abu. Islamisasi Kerajaan Gowa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Hidayat, Komaruddin. Dkk. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, 2006.
Mundzirin, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pinus, 2006.
Nurjanna, dan Sahaabuddin, Romansyah. Keputusan Berwirausaha kalangan
Wanita di kota makassar. Yogyakarta: PT Nas Media Indonesia, 2022.
Peolinggomang, Edward L. dkk, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar:
Balitbangda, 2004.
Soraya, Nyayu. Islam dan Peradaban Melayu. Jakarta: Desanta Muliavisitama,
2021.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG. 2009.
Amir, Amrullah dan Utomo. Bambang Budi. Aspek-aspek perkembangan
Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur Maluku & Lows 2016,
Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal 277 Amir, Amrullah dan
Utomo, Bambang Budi. Aspek-aspek Kebatayaan, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. ISBN 978-602-1289-44-0.
Jalil, Abdul Laila. Nisan Kuno di Jailolo Bukti Perkembangan Islam Abad Ke-18
di Maluku Utara. 2017 Berkala Arkeologi 37 (2): 195- 207.
doi:10.30883/jba v3712.214. ISSN 0216-1419.
Junaidi, dan Muhannad, Sejarah Konflik dan Perdamaian di Malulu Utara.
Refleksi Terhadap Sejarah Moloku Kie Rahaj 2017, 1 (2) 222- 247.

24
Putuhena, saleh M. Interaksi Islam dan Budaya Maluku, dalam Komaruddin
Hidayat dkk. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan, 2006.
Rusdiyanto. Kesultanan Ternate Dan Tidore. Jurnal Aglam- Journal of Islam and
Plurality Volume 3. Nomor 1, Juni 2018. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Manado, Indonesia.
Suswandari dan Jumardi. Situs Benteng Fort Rotterdam Sebagai Sumber Belajar
dan Destinasi Pariwisata. Kota Makassar: Tinjauan Fisik Arsitektur dan
Kesejahteraan, Vol 4, No.2, Tahun 2018, Jurnal candrasangkala.
Syahruddin, mansyur, Sebaran Benteng Kolonial Eropa di pesisir Barat Pulau
Halmahera: Jejak Arkeologis dan Sejarah Perebutan Wayak di Kesultanan
Jailolo, 2016. Purbawidya. 5 (2): 133-150. Syahruddin, mansyur Sebaran
Benteng Kolonial Eropa di 1024164/pw.v512.97, ISSN 2252-3758.

25

Anda mungkin juga menyukai