Anda di halaman 1dari 5

CERITA RAKYAT NUSANTARA

Kab. Kepl. Talaud


GOA TOTOMBATU :
KUBURAN SEBUAH JEJAK SEJARAH TALAUD

Dokomentasi Pribadi, Terbaru 2016 @Totombatu, Tarohan.

Goa Totombatu merupakan sebuah goa batu unik berisi kumpulan tengkorak manusia,
berada di bibir pantai di ujung selatan desa Tarohan, Pulau Karakelang, Kabupaten
Kepulauan Talaud. Gua ini berada di atas sebuah bukit batu kecil setinggi kurang
lebih 8 meter, yang menjorok ke arah laut sejauh lima puluh meter. Hal menarik dari
tempat ini adalah struktur batu yang membentuk gua ini sangat beragam, yaitu terdiri
dari bebatuan karang, batuan kapur dan batu-batu tua yang penuh retakan.
Di antara gugusan yang menjorok itu terdapat cekungan-cekungan membentuk gua
yang beberapa di antaranya membentuk lobang besar, sehingga bisa dilalui oleh lebih
dari satu tubuh manusia. Di bagian atas struktur bukit batu itu ditumbuhi berbagai
pepohonan dan perdu khas daerah pantai. Pada salah satu kumpulan perdu rimbun di
puncak bukit batu itulah terdapat gua yang menyimpan 33 tengkorak kepala dan
tulang-belulang manusia. Dari tempat ini kita bisa melihat pulau Salibabu, pulau Nusa
di tanjung Lobo dan cekungan pelabuhan Beo.

Konon, menurut tuturan penduduk setempat, dahulu kala terdapat sebuah dataran
tinggi bernama Tarapahan, yang artinya gunung sembilan. Di gunung inilah diyakini
oleh masyarakat desa Tarohan sebagai asal muasal suku bangsa Talaud. Namun belum
ada cerita pasti yang mencoba menjelaskan tentang keberadaan kumpulan masyarakat
di dataran Tarapahan ini. Ada yang menyatakan bahwa kumpulan masyarakat itu
merupakan masyarakat migran dari pulau Mangindano, atau Mindanao Filipina.
Sejumlah informasi yang pernah dirangkum dari beberapa tetua kampung Tarohan
mengatakan bahwa orang-orang pertama yang menghuni Totombatu merupakan
generasi kesekian dari penghuni Tarapahan yang turun ke Totombatu untuk memulai
kehidupan baru sebagai nelayan kira-kira 700 tahun yang lampau.
Mereka adalah tiga orang kakak-beradik Alambera, Puasa, dan Papaulla di tambah
dengan Tatuhe, seorang nelayan pendatang dari Mindanao yang bertubuh raksasa.
Bersama istri masing-masing yang berasal dari kampung-kampung di sekitar Tarohan,
mereka kemudian beranak-pinak dan membentuk perkampungan kecil di kawasan
Totombatu.
Saat salah satu anggota dari kumpulan masyarakat itu meninggal dunia, mereka yang
masih hidup kemudian mengambil kepalanya, diletakkan di atas sebuah piring
keramik atau guci dan kemudian diletakkan di dalam goa batu yang ada di atas bukit
batu yang berada di bibir pantai kawasan Totombatu. Cara peletakan piringpun
berbeda-beda, untuk tokoh masyarakat, piring berjumlah tiga buah dan diletakkan
masing-masing di bawah tengkorak kepala, di bawah tulang panggul, serta di bawah
tulang kaki. Sedang untuk masyarakat biasa piring hanya satu dan hanya menjadi
tempat meletakkan kepala saja.
Jumlah tengkorak kepala dan tulang belulang yang ada di dalam goa batu itu lebih
dari 100 buah. Ini berarti ada 100 lebih leluhur yang mati dan kepalanya diambil
untuk diletakkan di goa batu. Salah satu dari sejumlah besar tengkorak itu berdiameter
hampir 50 cm yang diyakini milik Tatuhe. Namun saat mengunjungi gua tersebut
hanya menjumpai sekitar 33 tengkorak saja dan tidak ditemukan tengkorak raksasa
milik Tatuhe sebagaimana yang diceritakan penduduk setempat. Satu hal yang
menunjukkan tentang keberadaan tengkorak raksasa Tatuhe adalah adanya ruas-ruas
tulang betis dan paha manusia yang memiliki ukuran sekitar 15 cm lebih panjang dari
ruas ukuran normal tulang betis dan paha manusia Indonesia.

Diceritakan bahwa tulang-tulang itu hilang dari gua karena dicuri orang, dan yang
paling besar terjadi di paruh tahun 1960-an ketika ada sekelompok orang yang
mengaku berasal dari Belanda yang kemudian mengangkut sejumlah benda termasuk
sebuah guci besar yang berisi tengkorak raksasa. Guci dan barang-barang peninggalan
itu kemudian di bawah menuju negeri Belanda dan hingga kini tidak ada informasi
lagi yang menjelaskan keberadaan sejumlah benda yang dicuri itu.
Oleh karena sempitnya kawasan hunian, penduduk Totombatu dalam kurun waktu 300
tahun berikutnya sejak kedatangan mereka dari dataran tinggi Tarapahan kemudian
menyebar ke kampung-kampung di pesisir Karakelang. Sedangkan sebagian besar
yang masih tertinggal kemudian berpindah ke arah utara, tepatnya di ujung selatan
kampung Tarohan saat ini, yang dikenal dengan bahasa sastranya sebagai
Maninggungkota.
Pada pertengahan abad ke-19, penduduk yang berada di Maninggungkota kemudian
berpindah lagi ke dataran yang lebih luas di sebelah utara hingga kini dan di sebut
kampung Tarohan. Disebut Tarohan karena berada diantara dua sungai. Namun ada
versi berbeda tentang nama Tarohan yang membuka cerita perlawanan rakyat Tarohan
kepada Belanda. Dikatakan bahwah Tarohan berasal dari bahasa Melayu Taruhan.
Yaitu kampung yang menjadi taruhan antara Mangenti, raja Tarohan dengan penguasa
Kolonial Belanda yang saat itu datang dari arah Melonguanne dan yang bermaksud
mengambil alih kampung Tarohan.
Taruhannya adalah, apabila raja Mangenti tidak dapat memindahkan rakyatnya dari
Maninggungkota dalam kurun waktu empat bulan maka Tarohan akan diambil oleh
Belanda. Akan tetapi raja Mangenti bersama rakyatnya membangun Tarohan, baik
rumah maupun benteng yang mengelilingi Tarohan hanya dalam waktu 40 hari 40
malam.Tarohan pun bisa bebas untuk sementara dari tangan Belanda.
Penerus raja Mangenti yaitu raja Endang Mentiri mengikuti jejak pendahulunya untuk
tidak berkompromi dengan Belanda. Ia tidak mau kerajaanya menjadi bagian dari
kolonial Belanda. Maka pemerintah kolonial kemudian mengambil langkah dengan
membawa beberapa pasukan dan serdadunya untuk langsung menangkap raja
Endang. Setelah satu masa persembunyiannya dari pihak Belanda, raja Endang
kemudian tertangkap di hutan dekat dataran Tarapahan setelah Belanda membujuk
ipar raja Endang, yaitu saudara lelaki istrinya untuk menunjukkan persembunyian raja

Endang. Akhirnya ia dibuang ke pulau Babi, yaitu salah satu pulau berdekatan dengan
pulau Nusakambangan.
Dengan satu cara yang tidak di ketahui oleh rakyatnya, raja Endang akhirnya dapat
meloloskan diri dari pulau Babi dan kembali ke Tarohan. Sesampainya di Tarohan ia
kemudian segera menyerahkan tampuk kekuasaannya ke tangan raja Harun Sarendeng
dan ia kemudian mengubah namanya menjadi Mangule. Peristiwa ini terjadi
bersamaan dengan penyerangan Belanda yang dipimpin Tukunan atas Arangkaa yang
dipimpin oleh raja Larenggam di tahun 1893.
Dengan bergulirnya waktu, Tarohan pun ikut berubah, benteng yang mengelilingi
kampung yang dulunya merupakan kota kerajaan kemudian runtuh oleh gempa bumi
di tahun 1936 dan disusul tahun 1971. Sementara beberapa senjata kuno hasil
peninggalan dari jaman Belanda kini mulai rusak oleh karat, dan disimpan di rumah
penduduk setempat. Pada akhirnya sejarah Tarohan, cerita Tarapahan dan Totombatu
hanya tersimpan dalam benak para tetua adat dan nyaris hilang bila tidak ada
dokumentasi dan kepedulian dari generasi muda Tarohan, pemerintah Talaud maupun
masyarakat pecinta budaya di Talaud. Semoga saja kekuatiran ini tidak terjadi, dan
cerita tentang Tarapahan, sejarah Tarohan maupun keberadaan Totombatu yang unik
dapat dipertahankan dari generasi ke generasi.

Doku
mentasi Pribadi, 2016 Sunset Di Totombatu, Tarohan

Dokumentasi Pribadi, Terbaru 2016 @ Totombatu, Tarohan, Kab. Talaud


By: Pusphita Sari Teppa

Anda mungkin juga menyukai