Anda di halaman 1dari 7

PRASASTI TELAGA BATU

Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari
Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatra Selatan, pada tahun
1935. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di
sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang
berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun
sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan
Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional,
Jakarta.
Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk
sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148
cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian
bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air
pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan
berbahasa Melayu Kuno.

Penafsiran prasasti
Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar isinya
tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan
tidak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada
prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk
melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.
Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya),
bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan
(pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā
an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana),
tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin
(sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan
budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap memuat nama-nama pejabat
pemerintahan. Beberapa sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga
pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat yang disumpah itu tentunya
bertempat-tinggal di ibu kota kerajaan. Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak
mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya keterangan ancaman kutukan kepada
siapa yang durhaka kepada kedatuan, dan mengajukan usulan Minanga seperti yang disebut
pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Takussebagai
ibu kota Sriwijaya.

REPLIKA BATU TULIS

Batu bertulis adalah Obyek Daya Tarik Wisata, yang merupakan salah satu
peninggalan Kerajaan Hindu di Kalimantan. Batu bertulis berada dekat sungai
Tekaret anak sungai Mahap, Kampung Pait , Desa Sebabas Kecamatan
Nanga Mahap, jaraknya 75,85 km dari ibu kota kabupaten Sekadau. Batu
bertulis dipahatkan pada sebuah batu andesit dengan tinggi sisi kiri batu
tersebut 2 meter, sisi kanan 3,90 m panjang 5,10 m dan lebar 1,2 meter
dengan volume sekitar 38 meter kubik. Batu bertulis telah dilakukan
penelitian oleh tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1982. Hasil
penelitian memperkirakan batu tersebut ada sejak tahun 650 pada abad ke 7
Masehi pada masa akhir Hindu dan awal Budha. Batu bertulis dipahat
menggunakan huruf Pallawa dengan bahasa yang digunakan bahasa
Sansekerta. Pada tahun 1985, salah satu dosen dan juga peneliti IKIP Sanata
Dharma, yakni Sukarto, pernah melakukan penelitian batu tersebut. Menurut
hasil observasi pada saat itu, tulisan yang tertera di Batu Bertulis merupakan
ayat-ayat suci keagamaan.
Pada jaman kolonial Belanda dahulu, juga telah dilakukan observasi terhadap
prasasti tersebut. namun, penelitian itu berhenti ditengah jalan sehingga
tidak menghasilkan kesimpulan yang komprehensif tentang Batu
Bertulis. Kondisi Batu Bertulis masih terawat dan terjaga. Di beberapa bagian
batu sudah tampak gerusan akibat faktor alam. Meski demikian, tulisan dan
ukiran pada batu tersebut masih utuh. Untuk melindungi situs telah dibangun
cungkup dan pagar keliling.

WATU PINAWETENGAN

Penelitian riset yang serius terhadap sejarah Minahasa, pertama kali dilakukan oleh J.A.T.
Schwarz ilmuan yang melakukan penggalian besar berdasar hikayat yang di kumpulnya,
usahanya berhasil sehingga di temukannya bukti kebenaran legenda hikayat yang di
ceritakan dalam hikayat leluhur secara turun temurun oleh para walian.

Menurut Riedel Musyawarah di Tonderukan yang kini di sebut Pinawetengan terjadi sekitar
tahun 670.

Saat Musyawarah di Pinawetengan sekitar abad IV-V (menurut perkiraan Riedel tahun 670)
Di Utara Ratahan pemimpin-pemimpin dari suku-suku yang berbeda, yang sama sekali
berbicara bahasa yang berbeda, bertemu di batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan.

Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu
kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka
diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Watu Pinawetengan
 untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut
dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua
Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua
menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an .
Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou.
Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana
Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar)
dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano terdiri
dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya
dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri
dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Walak dan Pakasa’an

Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau
Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki
Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan
ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut
legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu
Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu
abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut
istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah
besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Penggalian Batu Prasasti di Tonderukan tahun Juni 1888 oleh pembiayaan Pastor J.A.T.
Schwarz.

Batu Prasasti Musyawarah Sesudah digali dan ditemukan tanggal 19 bulan Juni 1888
Saat di temukab batu sudah tertimbun ratusan tahun, di lupakan dan tidak digunakan lagi
sebagai tempat musyawarah.

Batu tersebut tidak di gunakan sebagai tempat ritual keagamaan, adat budaya oleh para
walian dan tonaas. Karena pelaksanaan ritual adat dilakukan di lokasi pemukiman atau di
tempat ibadah para walian yaitu di tengah pemukiman. Salah satunya di tengah walak
Langowan, yang akhirnya di ubah menjadi tempat ibadah umat Nasrani karena para walian
menyatakan diri menerima Tuhan yang di ajarkan para misionary.

J.A.T. Schwarz adalah ilmuan arkeology yang pertama kali melakukan penelitian arkeology
dan melakukan riset akan arti setiap huruf hieroglif yang tergores pada batu.

Riset gelombang kedua terhadap batu Pinawetengan, di lakukan oleh H.M. Taulu.

Riset gelombang ketiga di lakukan oleh Paulus Lumoindong dan David DS Lumoindong,
juga oleh MayJend. Benny J. Mamoto.

David DS Lumoindong saat kembali lanjutkan penelitian di Pinawetengan tahun 2017.

Girot (tulis)
Pandegirot adalah ahli menulis.

Aksara Malesung

Aksara Malesung604pxHuruf: image/jpeg

*Malesung Scrip* adalah aksara tradisional masyarakat Minahasa Kuno yang masa kini
tidak ada yang menggunakannya lagi. Bentuk aksara Malesung atau Aksara Watugirot
menurut budayawan Paulus Lumoindong (alm) berasal dari serumpun dengan aksara
Filipina. Huruf Malesung ini hanya dipakai untuk menulis keputusan penting pemerintahan,
keagamaan dan kemasyarakatan.

Naskah ditulis pada batu watu dengan menggunakan peralatan besi atau pahat batu/besi.
Lihat Buku Aksara Malesung oleh David DS Lumoindong. (Aksara Malesung) kini hanya
tersisa pada beberapa peninggalan Prasasti di antaranya prasasti Watu Pinawetengan,
Watu Rerumeran, Watu Tiwa, kayu dan juga batu lainnya.
Prasasti Pinawetengan ditemukan dari galian pada tahun 1888 di desa Pinawetengan
(Tompaso), Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia.

Penanggalan musyawarah tersebut masih diperkirakan antara abad 2 sampai 4 sedangkan


menurut J.G,F. Riedel abad 7 tahun 670 Masehi, berdasarkan perhitungan silsilah. Prasasti
ini menggunakan bahasa Minahasa Kuno meskipun huruf-huruf yang digunakan hiroglif
belum ada yang mengetahui secara jelas, hanya dari syair kuno dan penjelasan dari hikayat
turun temurun yang dipegang dipercaya sebagai isi dari  Prasasti mengisahkan Musyawarah
para leluhur untuk perdamaian, Pengaturan sistem pemerintahan dan Pembagian wilayah.

Huruf Prasasti ini berbeda dengan prasasti lainnya di nusantara (Indonesia) yang
menggunakan huruf Kawi yang masih terpelihara bukti-buktinya, sehingga mudah dipelajari.
Hurufnya sangat berbeda apabila dibandingkan dengan prasasti dari Jawa pada
semasanya. Huruf ini sudah tidak dikenal. Huruf-huruf pada Pinawetengan ditatah pada batu
langsung, seperti di Jawa ditulis tetapi bukan huruf Pallawa, Kawi dan sebagainya,
kemungkinan besar huruf ini lebih tua dari huruf Kawi, Pallawa dan lainnya, karena masih
berbentuk gambar (hieroglif) sama dengan huruf Mesir Kuno. Hieroglif adalah sistem tulisan
formal yang digunakan masyarakat Mesir Kuno yang terdiri dari kombinasi elemen logograf
dan alfabet. Melihat jenis huruf maka diperkirakan digunakan sebelum Masehi dan
kemungkinan hilang atau mulai jarang digunakan sekitar abad 9.

Prasasti Pinawetengan, di perkirakan sekitar Abad 2 Masehi – Abad 5 Masehi) Menurut para
ahli Prasasti Pinawetengan adalah peninggalan Megalit jadi sebelum kebudayaan Hindu
Budha masuk Indonesia.Hindu masuk sekitar tahun 400 M, bisa saja lebih tua dari Prasasti
Mulawarman dan Purnawarman ini, demikian menurut David DS Lumoindong dalam buku
“Aksara Malesung” (Aksara Kuno Minahasa). Ini peninggalan leluhur yang seharusnya
menjadi kebanggaan bagi indonesia dan menjadi tantangan bagi para pakar arkeologi
dunia, hanya saja anggaran pemerintah pusat belum secara khusus diarahkan untuk
menjadi pusat perhatian riset Indonesia. Ini Aksara dan Prasasti Republik tua di dunia,
deklarasi negara Demokrasi tertua di Asia mungkin juga di dunia bersama Yunani demikian
kata David DS Lumoindong dalam bukunya Indonesia Negara Republik yang memiliki
prasasti deklarasi republik tertua di dunia. Sehingga akhirnya dunia belajar demokrasi ke
Indonesia.
Pinawetengan adalah merupakan aset dunia yang seharusnya dilindungi PBB.
Isi prasasti ini mengenai pernyataan :
1. Perdamaian,
2. Deklarasi Penggunaan Sistem Demokrasi dalam Pemerintahan negara Republik Kuno,
3. Pembagian Wilayah, Kebebasan Hak Asasi, Otonomi dan Hak Merdeka Berdiri Sendiri.

CIARUTEUN

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh dari
sungai Ci Sadane, Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara.

Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten


Bogor; tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak
sekitar 19 kilometer sebelah Barat Laut dari pusat kota Bogor.
Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit
oleh tiga sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini
masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa
(= Ciampea, namun sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang). Tak jauh
dari prasasti ini, masih dalam kawasan Ciaruteun terdapat Prasasti Kebonkopi I.
Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantaraparwa 2, sarga 3, halaman 161
disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan) yang
dinamai "Pasir Muhara".

Penemuan
Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan
ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir
itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai
Cisadane. Segera pada tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin
Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di
Batavia. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter
ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada
tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.
Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini
agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan
pendopo, untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari
tangan jahil. Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum,
yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri
Baduga di Bandung.

Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu kali atau batu alam. Batu ini berbobot delapan ton dan
berukuran 200 cm kali 150 cm.

Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk


seloka bahasa Sanskertadengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan
pada bagian atas tulisan terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan
sulur-suluran (pilin) dan laba-laba.
Teks:
vikkrantasyavanipat eh 
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam 

Terjemahan:
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara)
ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang
gagah berani di dunia”.
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya
prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang
diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung
rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan
sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin
sebagai tanda kepemilikan atas tanah.

Anda mungkin juga menyukai