Anda di halaman 1dari 29

ARSITEKTUR KUNO NUSANTARA MEGALITIKUM

STRUCTURE DAN ZAMAN PERUNGGU DONG SO


AGNES PRAMESWARI PUTRI, ANDY GRACE CHATRINE, ANNISA RIZKI WULANDARI, FEBRIANY ELISABETH, HABIBUL
FIKRI, MOHAMAD RAFSANJANI, NURLINDA, ROMAINI SRI REZEKI, SYARIFAH LAILATUL HIKMAH

KEBUDAYAAN KUNO NUSANTARA


Kepulauan Indonesia, pada zaman kuno terletak pada jalur perdagangan
antara dua pusat perdagangan kuno, yaitu India dan Cina. Letaknya dalam
jalur perdagangan internasional ini memberikan pengaruh yang sangat
besar pada perkembangan sejarah kuno Indonesia. Kehadiran orang India
di kepulauan Indonesia memberikan pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan di berbagai bidang di wilayah Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa sekitar seribu tahun lamanya, dari abad ke-5
sampai ke-15, kebudayaan-kebudayaan India mempengaruhi Sumatra,
Jawa dan Bali, dan Kalimantan bersamaan dengan dataran-dataran rendah
yang luas di Semenanjung Indocina. Kebudayaan India ini awalnya pada
penyebaran agama Hindu dan Buddha dan Islam di Indonesia. Di Jawa
Tengah, Candi Borobudur dan Prambanan adalah monumen yang sama
nilainya dengan Angkor dan Pagan.

ZAMAN MEGALITIKUM
Megalitikum berasal dari kata mega
yang berarti besar, dan lithos yang
berarti batu. Zaman Megalitikum
biasa disebut dengan zaman batu
besar.
Pada zaman ini, manusia sudah
mengenal adanya kepercayaan yaitu
kepercayaan
terhadap
nenek
PERIODE ZAMAN MEGALITIKUM
moyang.

1. Megalith Tua
Menyebar ke Indonesia pada
zaman Neolitikum (2500 1500
SM) dibawa oleh pendukung
kebudayaan kapak persegi (Proto
Melayu). Contoh bangunan
Megalitikum adalah Menhir,
Punden Berundak-undak, Arca-arca
Statis.
2. Megalith Muda
Menyebar ke Indonesia pada
zaman perunggu (1000-100 SM)
dibawa oleh pendukung
kebudayaan Dongson (Deutro
Melayu). Contoh bangunan
megalithnya adalah Peti Kubur
Batu, Dolmen, Waruga,

PENINGGALAN ZAMAN MEGALITIKUM


Menhir
Istilah menhir berasal dari bahasa Inggris
Bahkan kemungkinan salah satu fungsi
lama (Breton language); Maen artinya batu ditegakkannya batu itu adalah untuk
dan hir berarti panjang; Batu besar yang
memperingati orang yang sudah wafat.
berdiri atau batu tegak. Menhir ditegakan
secara tunggal (monolith) atau disusun
Di Karang Dalam, Lahat (Sumatera
berkelompok; berjajar maupun melingkar
Selatan) diketemukan menhir yang
Menhir dikenal di beberapa wilayah seperti
Afrika, Asia dan juga Eropa. Daerah-daerah
tempat penemuan menhir di wilayah
Indonesia adalah di Bali, Kalimantan, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra
Selatan, Sulawesi tengah, dan daerah-daerah
lainya
Beberapa menhir biasanya didirikan
berdekatan dengan bangunan yang memiliki
keagamaan.

polos, setinggi 1,60 meter yang berdiri


tegak di atas undak-undak batu. Di
Tegurwangi, yang termasuk wilayah
Pagar Alam, banyak diketemukan
menhir
dengan
tingginya
yang
mencapai 1,50 meter. Di beberapa
tempat lainnya dari beberapa hasil
penelitian,
menhir
yang
terkecil
berukuran kurang lebih 0,40 meter
yang diketemukan di sekitar Mangkik
(Jawa Tengah).

PENINGGALAN ZAMAN MEGALITIKUM


Punden Berundak
Punden berundak adalah salah
satu struktur
tertua buatan
manusia, beberapa dari struktur
tersebut merupakan bagian dari
tradisi megalit (batu besar) yang
berkembang pada zaman neolitik

Istilah punden biasanya


digunakan untuk menamai
tempat khusus yang berada
di sekitar wilayah tempat
tinggal, yaitu diatas bukit
yang
dikaitkan
dengan
keberadaan roh-roh leluhur.

Punden berundak telah ada dan


dikenal di Indonesia sejak zaman Contoh
peninggalan
prasejarah. Struktur serupa juga di punden
berundak
yang
ketemukan di Polynesia yang cukup luas diketemukan di
disebut dengan Marae oleh orang- wilayah Jawa barat yaitu
orang yang berada di kepulauan situs
megalit
Gunung
Pasifik barat.
Padang
Punden

adalah

kosakata

yang

Situs Gunung Padang berada di


puncak sebuah bukit yang memiliki
ketinggian mencapai 885 meter,
situs ini terdiri dari lima undakan.
Situs punden berundak lainnya
yang ada di Pulau Jawa adalah situs
Arca Domas yang terdiri dari
sembilan undakan, terletak di
daerah Kanekes (Banten) tempat
orang Baduy bermukim
Situs
punden
berundak
yang
terdapat di pulau Bali diantaranya
terdapat di Kintamani, Panebel,
Sambiran, delulung dan Tenganan

Punden Berundak Pugung Raharjo,


Lampung Selatan

Punden Berundak pada Situs Gunung


Padang

Dolmen ( Awal Neolitik 10.000 SM )

Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu,


besar dan datar, yang disangga oleh tiga atau lebih batu
di bawahnya.
Dolmen digunakan sebagai tempat untuk meletakkan
persembahan,
saji-sajian,
pemujaan,
tempat
untuk
meletakkan atau menyimpan mayat untuk orang-orang
yang dihormati (pemimpin).

Situs Dolmen : terdapat di daerah Batu Cawang,


Kabupaten Empat Lawang. Di mana meja atau papan
batu pada bagian atasnya memiliki ukuran 33 meter
dengan tebalnya mencapai 7 cm.
Situs lainnya : di daerah Pematang, Pulau Panggung
(Lampung), Nanding (Bengkulu), Tanjung Ara (Aceh
Timur), Pajar Bulan dan Tanjung Sakti (lahat, Sumatera
Selatan), Gunung Megang (Muara Enim, Sumatera
Selatan), Pagerdewa (lampung Utara), dll

Dolmen di Gunung Medang, Desa


Dolmen di Gunung Medang, Desa
Enim, Sumatera Selatan (1931)
Enim, Sumatera Selatan (1931)

Kubur Batu

Kubur Batu di
Kawengan,
Bojonegoro

Kubur Batu
Pagalaram

Kubur batu dari segi bahan dan fungsinya tidak


lah berbeda dengan sarkofagus (peti batu). Yang
membedakannya adalah kubur batu merupakan
struktur kubur yang berada di bawah permukaan
tanah, sedangkan sarkofagus adalah peti batu
yang ditempatkan di atas permukaan tanah.
Fungsi dari kubur batu salah satunya adalah
sebagai tempat untuk menyimpan mayat.
Di
wilayah
Sumatra
Selatan,
tempat
ditemukannya peti kubur batu adalah di wilayah
Tegurwangi. Di Desa Kawengan, Bojonegoro,
(Jawa Timur) kubur batu setidaknya diketemukan
pada sembilan titik, 100 lebih kubur batu
dengan jarak satu dengan yang lain antara 150
meter sampai dengan 1 kilometer

Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti batu atau keranda mayat
yang dibuat dari batu. Sarkofagus terdiri dari dua
bagian; wadah dan penutup
Kata Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani sarx
yang berarti daging dan phagein artinya
pemakan yang berarti pemakan daging
Sarkofagus memiliki berbagai jenis bentuk dan
ukiran yang berbeda. Selain bentuk kotak panjang,
ada juga sarkofagus yang memiliki bentuk seperti
lesung, perahu, kura-kura, ada yang seperti bentuk
Sphinx dan ada juga yang mengambil bentuk
rumah. Bentuk-bentuk itu tidak sembarangan
tentu saja ada makna di balik rupa. Ukuran kubur
batu ini juga bervariasi, panjangnya rata-rata
berkisar antara 1.5 3 meter dengan lebar 60-125
sentimeter dan tingginya mencapai kurang lebih
96-180 sentimeter.

Bentuk-bentuk
Bentuk-bentuk
Sarkofagus
Sarkofagus

Waruga
Di Indonesia, Sarkofagus banyak
ditemukan di Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi,
kepulauan Maluku, Kalimantan
dan wilayah-wilayah lainnya. Di
Pulau Samosir (Sumatera Utara)
banyak ditemukan sarkofagus
yang oleh penduduk setempat
disebut sebagai parholian atau
podom, kurang lebih maknanya
adalah tempat bagi tulangbelulang
Sarkofagus
Sarkofagus
di Samosir
di Samosir

Waruga berasal dari dua kata, yaitu waru


yang berarti rumah dan ruga yang berarti
badan. Waruga adalah rumah tempat
peristirahatan raga yang akan kembali ke
surga.
Waruga adalah kubur batu yang tidak
memiliki tutup, waruga banyak ditemukan
di situs Gilimanuk, Bali.
Bentuk waruga menyerupai rumah khas
orang Minahasa, pada bagian atapnya
banyak dipahatkan berbagai macam hiasan
seperti pola bentuk binatang, tumbuhtumbuhan,
bentuk
manusia,
pola
geometris, dll

Arca Batu

Didalam peti kubur batu ini akan


ditemukan berbagai macam jenis
benda antara lain berupa tulangtulang manusia, gigi manusia,
periuk tanah liat, benda- benda
logam, pedang, tombak, manikmanik, gelang perunggu, piring, dll.

Arca/patung-patung dari batu yang


berbentuk binatang atau manusia.
Bentuk binatang yang digambarkan
adalah gajah, kerbau, harimau dan
moyet.
Sedangkan
bentuk
arca
manusia yang ditemukan bersifat
dinamis.
Maksudnya,
wujudnya
manusia dengan penampilan yang
dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu banyak di temukan di
beberapa tempat di wilayah Indonesia,
diantaranya
Pasemah,
Sumatra
Selatan, Sulawesi Tenggara.

Waruga Sawangan
1948

BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA


1. Pasemah

2. Nias

Pasemah
merupakan
wilayah
dari
Provinsi Sumatera Selatan yang berada
di kaki Gunung Dempo. Peninggalan
megalitik di wilayah ini tersebar
sebanyak
19
situs,
beradasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Budi
Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi
Palembang.
Peninggalan
Megalitik
Pasemah muncul dalam bentuk yang
begitu unik, patung-patung dipahat
dengan
begitu
dinamis
dan
monumental,
yang
mencerminkan
kebebasan yang seniman.

Etnik Nias masih menerapkan beberapa


elemen megalitik dalam kehidupannya.
Lompat batu dan kubur batu masih
memperlihatkan elemen-elemen megalitik.
Demikian pula ditemukan batu besar
sebagai
tempat
untuk
memecahkan
perselisihan
3.

Sumba

Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga


masih kental menerapkan elemen megalitik
dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu
masih
ditemukan
di
sejumlah
perkampungan. Meja batu juga dipakai
disejumlah pertemuan adat.

BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA

4. Situs Gunung Padang


Gunung Padang terletak di pedalaman
Kabupaten
Cianjur.
Bebatuan
megalitikum tersebar karena berada di
area seluas 3 hektar. Terletak di
ketinggian 885 mdpl. Situs Gunung
padang
berupa
komplek
punden
berundak, dengan komplek bangunan
seluas 900 meter persegi.
Para arkeolog menyebutkan Situs
Gunung Padang sudah ada sejak 2000
tahun S.M. Menurut legenda, Situs
Gunung Padang merupakan tempat
pertemuan berkala para ketua adat dari
masyarakat Sunda Kuno. Ditambah lagi,
bebatuan tersebut mengarah secara
simetris ke Gunung Gede, yang
dianggap sakral karena merupakan
kawasan Kerajaan Pajajaran.

Situs Gunung
Padang, Jawa
Barat

KEBUDAYAAN MEGALITIKUM YANG


MEMPENGARUHI BANGUNAN MASA KINI
Punden berundak adalah salah satu hasil budaya Indonesia pada
zaman megalitik (megalitikum) atau zaman batu besar. Punden
berundak merupakan bangunan yang tersusun bertingkat dan
berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Punden Berundak pada zaman megalitik selalu bertingkat tiga
yang
mempunyai
makna
tersendiri.
Tingkat
pertama
melambangkan kehidupan saat masih dikandungan ibu, tingkat
kedua melambangkan kehidupan didunia dan tingkat ketiga
melambangkan kehidupan setelah meninggal. Punden berundak
masih tetap digunakan dalam pembangunan tempat ibadah
berupa candi seperti Candi Borobudur. Punden berundak bukan
hanya bertahan dengan akulturasi bersama candi tapi juga
berakulturisasi dengan bangunan tempat ibadah umat islam yaitu
masjid. Bagian punden berundak pada Masjid sering tidak kita
sadari karena hanya dianggap sebagai tangga bertingkat. Namun,
jika diperhatikan tangga bertingkat yang mengelilingi masjid
tersebut berbentuk punden berundak. Dapat dikatakan masjid
dibangun diatas punden berundak atau punden berundak sebagai

ARSITEKTUR CANDI DI INDONESIA


Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan
tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya. Candi-candi dan
pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur
spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.

Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago),
Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus,
Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi
Sewu. Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi
itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab
Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin yaitu seniman yang membuat candi (arsitek
zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India
Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja,
melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota
dan desa.

Candi Borobudur
(kiri), Candi
Prambanan
(kanan)

Bagian-bagian Candi

SISTEM STRUKTUR ARSITEKTUR


CANDI
1. Kaki Candi
Merupakan bagian bawah candi.
Bagian
ini
melambangkan
dunia
bawah atau Bhurloka. Pada konsep
Buddha disebut Kamadhatu. Yaitu
menggambarkan dunia hewan, alam
makhluk halus seperti iblis, raksasa
dan asura, serta tempat manusia biasa
yang masih terikat nafsu rendah.
Bentuknya berupa bujur sangkar yang
dilengkapi dengan jenjang pada salah
satu sisinya. Bagian dasar candi ini
sekaligus
membentuk
denahnya,
dapat berbentuk persegi empat atau
bujur sangkar.

2. Tubuh Candi
Merupakan bagian tengah candi yang
berbentuk kubus yang dianggap sebagai
dunia antara atau Bhuwarloka. Pada
konsep Buddha disebut Rupadhatu. Yaitu
menggambarkan dunia tempat manusia
suci
yang
berupaya
mencapai
pencerahan dan kesempurnaan batiniah.
Pada bagian depan terdapat gawang
pintu menuju ruangan dalam candi.
Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi
ukiran kepala kala tepat di atas-tengah
pintu dan diapit pola makara di kiri dan
kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari
garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar)
yang ditengahnya berisi arca utama,
misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa,

3. Atap Candi
Merupakan bagian atas candi
yang menjadi simbol dunia atas
atau Swarloka. Pada konsep
Buddha disebut Arupadhatu.
Yaitu menggambarkan ranah
surgawi tempat para dewa dan
jiwa yang telah mencapai
kesempurnaan
bersemayam.
Pada umumnya, atap candi
terdiri dari tiga tingkatan yang
semakin atas semakin kecil
ukurannya

MATERIAL ARSITEKTUR
CANDI

1. Batu Andesit. Batu andesit yang cocok untuk candi


adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga
harus ditambang di tebing bukit.
2. Batu Putih (tuff) digunakan di Candi Pembakaran di
kompleks Ratu Boko.
3. Bata Merah digunakan pada Candi Majapahit dan
Sumatera.
4. Stuko (stucco). Bahan stuko ditemukan dipercandian
Batu Jaya.
5. Bajralepa. Bajralepa konon dibuat dari campuran
putih telur, getah tumbuhan, kapur halus, dan lain-lain.
Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan
candi Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak
yang mengelupas.
6. Kayu. beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi
Plaosan memiliki komponen kayu karena pada struktur
batu
ditemukan
bekas
lubang-lubang
untuk
meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta
lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji
jendela.

PROSES PEMBUATAN ARSITEKTUR


CANDI
Pertama, Yajamana (orang yang berniat
membangun candi) harus menghubungi Maha
Brahmana dengan para pekerjanya yang
disebut Silpin, lokasinya di dekat pertemuan
dua sungai (tempuran).
Setelah ditemukan, maka mulailah tahap
pemeriksaan tanah, pemeriksaan kandungan
gas tanah, menguji kesuburan tanah dan
menguji warna dan bau tanah.
Selanjutnya
proses
pembangunan
candi
dimulai dari lahan yang dipilih dibatasi dengan
benang putih berbentuk persegi dengan garis
diagonal yang juga ditandai dengan benang.
Maka didapatlah titik tengah yang disebut
Brahmasthana.
Artinya
tempat
bersemayamnya Dewa Brahma

Setelah itu dibuatlah kotak-kotak atau grid.


Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa
Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri
dari satu nama dewa.
Titik tengah tempat bersemayamnya Dewa
Brahma tadi digali 11 meter lalu didasarnya
diletakkan peripih (Garbhapatra). Peripih tersebut
berisi benda-benda perlambang panca maha
bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air,
api, dan angin. Simbol-simbol yang digunakan
bisa berupa biji, benang, kertas emas (biasanya
bertuliskan mantra atau nama dewa), cermin
perunggu, dan tulang hewan.
Untuk unsur api biasanya diwakilkan oleh abu.
Karena itulah ahli-ahli Belanda zaman dulu
mengidentikkan candi dengan makam.

Ada teknik penyusunan batu maupun


bata yang khas dari candi. Untuk candi
berbahan
bata
tekniknya
lebih
sederhana. Bata digosokkan satu sama
lain sampai tercipta bubuk yang dapat
berperan seperti semen lalu diperciki
dengan
air.
Tapi
candi
yang
menggunakan batu lebih rumit karena
batu-batu tersebut harus disambung
satu sama lain dengan menggunakan
teknik lock and key, dan teknik ini telah
digunakan selama berabad-abad pada
banyak bangunan candi di Indonesia.

Teknik Lock and Key pada Pembuatan


Candi

ZAMAN PERUNGGU DONG SON

Kebudayaan Dong Son adalah kebudayaan yang berkembang di


Lembah Song Hong Vietnam pada zaman Perunggu pada masa
peralihan
dari
periode
Mesolitikum,
Neolitikum
hingga
Megalitikum. Kebudayaan Dong Son berasal dari evolusi
kebudayaan Austronesia yang berkembang antara abad ke-5
hingga abad ke-2 SM. Nama Dong Son diambil dari salah satu
nama daerah di Tonkin, dimana ditemukan bermacam alat yang
dibuat dari perunggu dan diyakini sebagai asal kebudayaan
perunggu.
Kebudayaan Dong Son di Asia Tenggara berkembang sekitar tahun
1000 sampai 1 SM. Di Indonesia, kebudayaan ini dikenal sebagai
masa kebudayaan perunggu. Perkembangan kebudayaan Dong
Son ikut dipengaruhi oleh ekspansi penjajahan Cina yang
berkembang pesat. Hal ini dapat terlihat dari motif kerajinan Dong
Son yang menjadi contoh benda-benda perunggu Cina pada masa
kerajaan Pendekar yang berkembang sampai penjajahan Dinasti
Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM.
Kebudayaan Dong Son masuk ke Indonesia melalui Semenanjung
Malaya dalam dua masa, yaitu zaman Neolitikum dan zaman
Perunggu.

SEJARAH
KEBUDAYAAN
DONG SON

Kebudayaan ini membagi kebudayaan di Indonesia


menjadi Kebudayaan Melayu Tua (Proto Melayu) di
masyarakat Dayak serta kebudayaan Melayu Muda
(Deutero Melayu) di masyarakat Bali Aga dan
Lombok. Budaya Dong Son sangat berpengaruh
terhadap perkembangan budaya perunggu di
Indonesia, tampak dari sedikitnya 56 nekara yang
berhasil ditemukan di Indonesia yang menunjukkan
kesamaan motif dengan nekara di Vietnam.
Masyarakat Dong Son dikenal sebagai masyarakat
petani dan pelaut. Mereka tinggal menetap di pesisir
dan membangun rumah-rumah panggung besar
agar terlindung dari bahaya banjir. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, mereka menanam padi,
memelihara hewan ternak, dan menangkap ikan ke
seluruh Laut Cina dan sebagian Laut Selatan dengan
perahu bercadik. Mereka juga menguasai ilmu
perbintangan untuk mendukung pelayaran mereka.

SEJARAH
KEBUDAYAAN
DONG SO

1. Arca Perunggu
Berbentuk sosok manusia dalam posisi tertentu, seperti menari,
naik kuda, atau memanah. Pada bagian kepala, arca diberi
tempat untuk mengaitkan tali atau menggantung. Arca perunggu
banyak ditemukan di Sulawesi Selatan, Riau, dan Bogor.
2. Nekara Perunggu
Nekara terbuat dari perunggu berbentuk seperti dandang yang
telungkup, berpinggang pada bagian tengahnya, dan bagian
atasnya tertutup. Bagian dinding nekara dihiasi berbagai motif
hiasan. Nekara yang terkenal, di antaranya, adalah nekara Ngoclu. Nekara perunggu banyak ditemukan di Bali, Pulau Sengean,
Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti, Alor, dan Kepulauan Kei.
Nekara hanya digunakan pada saat upacara ritual.
3. Bejana Perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti periuk, namun berbentuk
gepeng. Bejana perunggu umumnya memiliki hiasan ukiran dan
ditemukan di daerah Kerinci (Sumatera Barat) dan Madura.
4. Kapak Corong
Kapak corong terbuat dari perunggu yang yang bagian atasnya
berbentuk corong tempat tangkai kayu berbentuk menyiku.
Kapak ini banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Papua.
Kapak corong digunakan sebagai perkakas dan alat upacara.

PENINGGALAN
KEBUDAYAAN
DONG SON

5. Perhiasan Perunggu
Perhiasan perunggu berbentuk gelang, kalung, antinganting, dan cincin tanpa diberi hiasan ukiran.
Perhiasan perunggu banyak ditemukan, antara lain, di
Anyer (Banten), Plawangan (Jawa Tengah), Gilimanuk
(Bali), dan Malelo (Sumba).
Perkembangan budaya logam di Indonesia dapat
diketahui dengan jelas adanya pengaruh budaya
Dongson yang menyebar ke seluruh Nusantara. Ada
beberapa daerah penting dalam perkembangan logam
di Nusantara.
1. Budaya Logam Awal di Jawa
Di Pulau Jawa terdapat peninggalan logam pada tahap
awal, berada di dalam peti kubur batu (sarkofagus) di
daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Diperkirakan
sebagai bekal kubur yang berupa peralatan dari besi

PENINGGAL
AN
KEBUDAYAA
N DONG SO

2. Budaya Logam Awal di Sumatra


Di Pasemah, Sumatra Barat, terdapat kubur batu yang dibekali
manik-manik kaca dan sejumlah benda logam berupa tombak besi
dan peniti emas.
3. Budaya Logam Awal di Sumba, Nusa Tenggara
Di Sumba, Nusa Tenggara, terdapat tradisi pengu-buran dengan
membawa bekal kubur yang berupa logam yang diletakkan di dekat
peti si mati. Namun, di sana juga sudah ditemukan peralatan rumah
tangga seperti bejana dan tembikar kecil yang terbuat dari logam.
4. Budaya Logam Awal di Bali
Tidak berbeda dengan daerah lain, di Bali kita temukan benda
logam sebagai bekal kubur. Jadi, dapat kita ketahui bahwa budaya
logam ternyata sudah berkembang di Nusantara. Banyak kita
temukan bekal kubur terbuat dari logam, ini berarti mereka
menghormati roh nenek moyangnya yang sudah mati dengan
barang yang berharga. Namun, kita juga menemukan alat
kehidupan yang terbuat dari logam di tengah masyarakat pada
masa lalu, misalnya, pisau, tombak, panah, dan patung.

PENINGGALLAN
KEBUDAYAAN
DONG SO

Periode kebudayaan kuno di Indonesia dimulai sejak zaman


megalitikum hingga zaman logam. Perkembangan arsitekturnya pun
sudah dimulai saat masyarakat Indonesia sudah mengenal aksara dan
sistem perundagian (perdagangan).
Pada zaman megalitikum banyak dihasilkan kebudayaan-kebudayaan
yang terbuat dari batu dengan skala yang besar. Peningggalan zaman
megalitikum diantaranya menhir, punden berundak, dolmen, kubur
batu, sarkofagus, waruga dan arca batu. Peninggalan-peninggalan
tersebut masih ada sampai saat ini dan dijadikan situs sejarah. Selain
itu, banyak bangunan kuno seperti candi ataupun bangunan
kontemporer yang masih menerapkan unsur-unsur megalitikum
tersebut.
Selain itu peninggalan pada zaman perunggu Dong Son juga
mempengaruhi kekayaan budaya Indonesia. Contoh peninggalannya
yaitu arca perungggu, nekara, bejana dan juga rumah tinggal.
Namun kini, peninggalan megalitik maupun zaman perunggu telah
mengalami kehancuran dan kepunahan karena faktor alam dan
manusia. Lalu, masalah utama hingga saat ini yaitu situs-situs
peninggalan sejarah di Indonesia belum ada kesepakatan pertanggalan
yang pasti. Tidak adanya kepastian ini sering sekali mengakibatkan
bias dan berpengaruh terhadap sejarah arsitektur di Nusantara.

KESIMPUL
AN

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai