Anda di halaman 1dari 25

SEJARAH TRADISI KERAMIK INDONESIA

Oleh
Agus Mulyadi Utomo*
Program Studi Kriya Seni, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
gusmultom@gmail.com

Mengetahui hasil-hasil keramik masa lalu dirasakan perlu dan penting, terutama bagi generasi
muda untuk dapat mempelajari dan mengembangkannya serta dapat menghargai hasil budaya sendiri.
Sejarah keramik masa lalu sangat sedikit dibahas dan diteliti, karena apresiasi dan minat akan hal itu
sangat minim atau langka. Disamping itu literatur keramik kuno Indonesia yang ditulis juga sangat
terbatas. Untuk itulah, penulis beranggapan bahwa diperlukan suatu tinjauan keramik kuno yang ada di
Indonesia dengan metode eksploratif, yaitu menggali secara mendalam tentang keramik masa lalu dengan
mendaras data yang ada dan dianalisis secara kualitatif.

Knowing the past ceramic results is necessary and important, especially for the younger
generation to learn and develop and appreciate their own cultural results. The history of
ceramics of the past is very little discussed and researched, because the appreciation and
interest in it is very minimal or rare. Besides, the ancient Indonesian ceramic literature written
is also very limited. For this reason, the authors assume that an ancient ceramic review is
needed in Indonesia with explorative methods, which is to dig deeply about the past ceramics by
recording the existing data and analyzed qualitatively.

Keywords: Ceramic Review, Ancient Ceramics

PENDAHULUAN

Sesungguhnya kepandaian membuat benda tanah liat atau keramik di Indonesia sudah cukup
tua umurnya, yaitu sejak zaman Pra-sejarah. Kemampuan membuat kerajinan ini berlangsung terus
hingga memasuki zaman kerajaan Hindu dan Budha. Selanjutnya sampai zaman kerajaan Islam dan
zaman Penjajahan. Dalam tulisan ini diungkap kembali hasil-hasil penemuan keramik Pra-sejarah,
keramik masa kerajaan Hindu, Budha, Islam dan masa penjajahan Belanda dan Jepang serta hasil
penemuan keramik asing yang ditemukan di Indonesia. Dan sejarah keramik di masa kemerdekaan.

Koleksi 2 Kendi Tua, Kuno dan Langka


KERAMIK PRA-SEJARAH

Kepandaian membuat keramik di Indonesia sebenarnya sudah tua umurnya, sebagaimana halnya
sejarah keramik diberbagai belahan Dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru,
Philipina, Vietnam dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan
tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya pengaruh hubungan
kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik dapat dikatakan setua manusia mengenal
api dan dapat memanfaatkannya.
Penemuan teknik membuat keramik atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang mengeras
setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif pada zaman Pra-sejarah. Ralph Mayer
dalam bukunya A Dictionary of Art Term and Techniques, menyatakan bahwa kebanyakan seni primitif
dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang
praktis (Mayer, 1969). Awal mulanya keramik dibuat cenderung sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan
wadah tersebut berasal dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti labu, kelapa dan sebagainya,
yang isinya dikeluarkan. Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun
pisang daun talas dan lainnya. Cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah basah yang digenangi air
hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa
berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu
yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak
bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk
dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang tanah pelapis masih tersisa dan
ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang. Dari pengalaman-pengalaman
itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah dan untuk keperluan
religi lainnya.
Dengan diketemukan tanah yang mengeras ini, secara tidak sengaja mereka telah menemukan
keramik dengan unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara sengaja, yaitu
menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau
benda-benda keras lain yang bertekstur / bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda
dalam keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar.
G. Nelson, dalam bukunya yang berjudul Ceramics menulis bahwa suatu kenyataan yang ada pada
benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman
(Nelson, 1960). Dengan demikian , jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan
sekaligus sebagai benda estetis.
Di Indonesia, keramik jenis gerabah dikenal sejak zaman Pra-sejarah atau zaman Neolitikum,
yaitu pada tahun 3.000 sebelum Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan
bercocok tanam serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yang menetap,
hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, diantaranya adalah
tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yang dibuat dari gerabah (tanah liat).
Para pemuka masyarakat / pemimpin, kemudian sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya,
dimana orang yang dihormati dan dipercaya tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan
sampai meninggalpun tatap dapat mempengaruhi manusia yang masih hidup. Muncullah suatu bentuk
kepercayaan penghormatan kepada nenek-moyang, sebagai penghormatan maka dibuatlah
perlambangan-perlambangan dan pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah nenek moyang mereka.
Penyertaan benda kubur seperti patung kecil (figurin), manik-manik serta tempat makanan dan minuman
merupakan bentuk penghormatan leluhur sebagai bekal dalam perjalanan ke alam baka. Peruk kecil berisi
perhiasan dan periuk besar berisi tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat di zaman
Pra-sejarah.
PENEMUAN KERAMIK

Diantara Langsa di Aceh dan Medan, di pantai timur laut Sumatera, yaitu di Bukit Kulit Kerang,
telah diketemukan berupa pecahan-pecahan periuk belanga. Pecahan gerabah tersebut sangat kecil,
sehingga sulit diketahui bentuk atau wujud semula. Yang diketahui ada yang berhias dan ada yang polos.
Hiasan yang tampak pada penemuan itu adalah berupa goresan atau bekas teraan benda keras, disamping
itu ada motif bujur sangkar atau relief dan lain-lainnya. Kebudayaan kulit kerang di zaman Mesolitikum
dikenal sebagai kebudayaan “ Kjokkenmoddinger”. Rupanya bentuk kebudayaan kulit kerang ini
bertahan lama, sedangkan ditempat lain pada waktu yang sama telah dimulai masa Neolitikum.
Lain halnya dengan Van Es, Ia menemukan pecahan-pecahan gerabah di deretan bukit pasir tua
di antara pesisir selatan Yogyakarta dan Pacitan, menurutnya berasal dari masa Neolitik. Adapun
pecahan-pecahan gerabah itu, banyak berupa hiasan anyaman dan hiasan tali atau meander. Juga di pantai
selatan pulau Jawa juga ditemukan pecahan-pecahan gerabah dengan hiasan kain (tekstil). Dari hasil
penemuan tersebut, kiranya pada masa Neolitikum di Indonesia sudah ada suatu kemampuan untuk
mengungkapkan perasaan estetis yang diterapkan pada benda pakai keperluan sehari-hari. Benda gerabah
dihias semata-mata agar benda tersebut lebih menarik saja dan akrab dengan si pemakai, tidak ada
pretensi lain.
Gerabah yang diselidiki oleh L. Onvlee, ditemukan di kuburan di Melolo (Sumba), mempunyai
sifat yang lain lagi. Di dalam buyung (periuk-belanga) yang ditemukan terdapat banyak tulang-belulang
dan tengkorak manusia. Selain itu terdapat benda kubur semacam guci atau kendi berukuran kecil, dimana
leher dan kepala kendi berbentuk kepala manusia, terkadang dihiasi gambar wajah-wajah. Pada badan
kendi dihiasi dengan garis-garis yang silang-menyilang atau segi tiga, yang digores ketika tanah liat
masih basah sebelum dibakar. Guci semacam kendi tersebut ada kalanya berisi kulit kerang atau semcam
perlambangan untuk makanan dan minuman sebagai bekal arwah nenek moyang.
Tradisi penguburan jenazah dengan tempayan, ditemukan tersebar di berbagai tempat di
Indonesia, seperti di Anyer (Jawa Barat), Sa’bang (Sulawesi Selatan), Roti (Nusa Tenggara Timur) dan
Gilimanuk , Bali ( Kempers, 1960 & Utomo, 1995).

Berbagai Fragmen
Temuan di
Gilimanuk

Keramik untuk kebutuhan rumah tangga terutama tempat makanan dan minuman masa Pra-
sejarah, dibuat sangat sederhana dan kebanyakan dengan teknik tatap batu atau kayu, tanpa hiasan atau
polos. Kendi, periuk, piring yang semuanya dari gerabah ada yang polos dan ada yang dihias. Berbagai
fragmen gerabah ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan berbagai hiasan seperti tali, kulit kerang , hiasan
jaring-jaring dan lainnya.
Bersamaan dengan masa Megalitikum dan Perunggu, gerabah dibutuhkan sebagai sarana
pemujaan arwah nenek moyang, selain sebagai peralatan rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan
gerabah, manik-manik perunggu, sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan relegi dan perlambangan
pemujaan arwah yang berkembang. Benda-benda gerabah sudah banyak yang diberi hiasan, seperti
ditemukan di Gilimanuk, di pantai Cekik oleh R.P. Soejono, yang berhias tali dan jaring dengan teknik
cap. Pada masa tersebut, kemahiran teknik membuat barang-barang perunggu berkembang. Juga saat itu
seni hias menghias mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran
teknik ini kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian”

Periuk Berhiaskan
Jaring Yang
Diketemukan di
Gilimanuk-Bali

Benda purbakala yang ditemukan di daerah Nanga Belang di Kabupaten Kapuas Hulu dan di
Kabupaten Sintang (Kalimantan), semuanya diperkirakan dari masa Neolitikum. Selain terdapat kapak
batu, juga terdapat pecahan periuk – belanga. Peninggalan gerabah Pra-sejarah juga ditemukan di daerah
Serpong di Tanggerang, Banyuwangi, Kalapadua di Bogor, Gelumpang di Sulawesi dan di Minahasa
yang juga di Sulawesi, tidak berbeda dengan penemuan di daerah lain, menggunakan teknik sederhana
dengan hiasan yang juga mirip. Pecahan gerabah dengan hiasan anyaman juga terdapat di daerah
Gelumpang, Sulawesi. Aspek – aspek teknis zaman Pra – sejarah tidaklah menunjukkan suatu
perkembangan yang berarti. Yang perlu diketahui yaitu penggunaan alat pelarik sudah mulai dikenal
ketika akan memasuki masa Sejarah. Sebelumnya dikenal teknik tatap batu / kayu serta pembuatan
langsung dengan tangan yang disebut teknik “pinching” atau tekan jari serta teknik “coilling” atau pilin
atau teknik “tali”. Aspek lainnya adalah kemampuan untuk menghias dengan teknik cap dan torehan yang
tumbuh secara alamiah.

KERAMIK ZAMAN KERAJAAN HINDU DAN BUDHA

Sejarah pada umumnya menunjukkan, bahwa agama dan kepercayaan merupakan motivator
penting dalam pembuatan barang dan seni, misalnya seni primitif, seni Indonesia Hindu dan Budha, seni
Islam dan sebagainya.
Pada masa awal pengaruh agama Hindu, pembuatan batu untuk bangunan – bangunan besar
sangat menonjol. Peninggalan zaman itu, misalnya pada Lima Gundukan, bekas bangunannya
menggunakan bata berbagai ukuran, yang terbuat dari tanah liat dicampur dengan kulit padi (sekam). Para
ahli dari Museum Jakarta, memperkirakan bangunan tersebut adalah peninggalan dari zamannya kerajaan
Tarumanegara, tahun 500 Masehi. Bata dibuat secara besar – besaran untuk memenuhi kebutuhan
bangunan – bangunan besar sebagai pengganti batu, terutama pembuatan candi – candi di daerah Jawa
Timur sampai abad ke XV Masehi, terutama zaman kerajaan Majapahit.
Agama Hindu dan Budha, lebih cenderung pemakaian batu dan logam untuk memvisualisasikan
cita rasa keagamaannya. Seni dari zaman Indonesia Hindu yang berkembang kemudian tidaklah banyak
memberikan dorongan dalam pengembangan keramik, baik dari segi teknis maupun perwujudan bentuk
dan dekorasinya. Akan tetapi pada akhir periode seni Jawa Hindu, yaitu zaman kerajaan Majapahit
tampak sedikit adanya perkembangan.
Keadaan alam disekitar kerajaan Majapahit, diperkirakan tidak banyak menyediakan batu –
batuan, sehingga para seniman dan tukang di zaman itu beralih ke bahan tanah liat untuk memenuhi
berbagai barang kebutuhan bangunan, alat rumah tangga (tempat makan dan minum) dan sebagai benda
spiritual atau keagamaan.
Pada zaman Majapahit, barang – barang gerabah atau terracotta memperlihatkan kepekaan yang
tajam terhadap perlakuan bahan, karakter tanah liat sangat menonjol. Perhatian yang besar terhadap
terracotta yang dipijar antara 400 - 1000º C, menampakkan perwatakannya yang khas tanah liat.
Disamping itu, zaman tersebut sedikit mendorong pengembangan teknik pembuatan dan glasir sederhana
suhu rendah.
Menurut J.C. Van Leur, penduduk kepulauan Indonesia telah memiliki tingkat hidup yang
tinggi, terutama dalam bidang pertanian, pelayaran dan pengolahan / pengecoran logam, sebelum
datangnya pengaruh kebudayaan India dan China. Kebudayaan India secara intensif mempengaruhi Jawa
dan Sumatera sejak abad ke 2 Masehi. Dan ungkapan pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha tersebut
terlihat jelas pada candi Borobudur dan candi-candi di dataran tinggi Dieng. Para ahli cenderung
mengatakan, pengaruh dari kebudayaan Hindu dan Budha tidak banyak membawa perubahan fundamentil
pada tradisi masyarakat, akan tetapi hanya merupakan lapisan tipis penghalus kebudayaan semata-mata.
Kerajaan yang cukup kuat memperoleh pengaruh Hindu dan Budha adalah kerajaan Majapahit
abad 13 s/d 16 Masehi. Putri Campa salah satu dari keempat permaisuri Raden Wijaya, raja pertama
Majapahit (1293-1309 M), menunjukkan ada hubungan dengan China, disamping itu ada pemukiman
orang China di Majapahit. Masa kejayaan Majapahit yang diperintah Hayam Wuruk, dengan patih
Gajah Mada, dengan “Sumpah Palapa” berhasil menguasai kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara
(Asean sekarang), meliputi Siam, Campa, Birma, Kamboja dan Pahang. Hubungan dagang dan politik
masa ini sangat menonjol, selain China, Vietnam, India, Anam dan Bengali berhubungan baik dengan
Majapahit. Tome Pires, menyebut dua pelabuhan penting yaitu Tuban dan Gresik di Jawa Timur sebagai
sarana hubungan internasional. Hubungan politik dan perdagangan internasional berlanjut menjadi
hubungan kebudayaan, terutama dengan China, dimana sedikit banyak tampak pada karya-karya keramik
Majapahit, dimana masa ini sejajar dengan pemerintahan Dinasti Yuan hingga Dinasti Han di China.
Awal hubungan dengan China tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sejak permulaan tarikh
Masehi, yakni ditemukannya benda keramik zaman Han di Jawa barat, Lampung dan Kalimantan Barat
yang menunjukkan hubungan tersebut sudah ada. Walaupun demikian, di dalam sejarah kesenian dan
kebudayaan Indonesia, pengaruh China tidak begitu menonjol dibandingkan dengan pengaruh seni India.

Patung Wanita Putri


Campa dan Patung
Boneka Wanita Penari
Kraton Majapahit

Istilah “seni keraton” memang sering muncul dalam pembahasan seni Jawa Hindu, dimana
peranan agama demikian besar sehingga menjadi urusan kerajaan, demikian pula dengan dunia seni.
Sejak pusat kerajaan pindak ke Jawa Timur, pengaruh Hindu terhadap pemerintahan, agama dan seni
mulai melemah, imajinasi banyak melahirkan tema-tema atau unsur-unsur kerakyatan. Dan unsur
kebudayaan asli Jawa Timur tampak semakin kuat dengan tampilnya tokoh-tokoh punakawan dan para
pahlawan, baik dalam kesusastraan maupun senirupa. Bentuk, teknik dan konsepsi serta bahan candi
mulai berubah. Perwujudan dewa atau manusia yang sebelumnya naturalistik dan cenderung tiga
dimensional, berubah menjadi dua dimensional dengan profil seperti wayang atau relief. Ditinjau dari
tradisi Hindu dirasakan sebagai kemunduran. Sebaliknya bila ditinjau dari perkembangan seni Jawa
Hindu perubahan tersebut merupakan suatu pencapaian bentuk kreasi baru dengan nilai-nilai yang juga
baru.

Relief Terracota Majapahit


Yang Menyerupai Gambar
Wayang
Ditemukan di Ekskawasi
Trowulan, Jawa Timur

Keluarga kerajaan Majapahit merupakan kelas sosial tertinggi, disusul golongan agama dan para
pemimpin. Para seniman dan sastrawan, pemain musik dengan penarinya merupakan kelas sosial di
bawah naungan keraton.

Relief Terracotta Majapahit


(Ekskavasi Trowulan)

Tidak mengherankan kalau hasil seni dan keramik waktu itu mencerminkan pada nilai-nilai
keraton atau golongan lapisan atas. Namun demikian, pengaruh alam pikiran rakyat yang sudah mulai
demokratis cukup menonjol, sejak diangkatnya Maha Patih Gajah Mada dari kalangan rakyat jelata.
Disamping itu, rakyat yang masih banyak menganut faham animisme semakin memegang peranan dalam
perwujudan benda keramik yang terasa lebih dekat dengan alam.

Patung Kepala Terracotta


Majapahit Diperkirakan
Sebagai Gajah Mada
(Di Trowulan, Jatim)
Berdasarkan catatan lama seni Hindu yang masuk Indonesia, terutama meliputi seni sastra,
arsitektur, pahat, memperlihatkan landasan agama yang mantap. Sebaliknya hasil karya keramik jenis
gerabah Majapahit ini, lebih banyak memperlihatkan tema kehidupan sehari-hari, karena kegiatan seni
sudah meluas dikalangan rakyat biasa. Patung terracotta Majapahit ada yang berbentuk pemain musik,
penari, orang menunggang kuda dan menunggang gajah. Tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin
banyak diabadikan dalam bentuk patung kepala / potret dan patung kecil (figurin), diantaranya ada yang
diperkirakan sebagai gambaran Maha Patih Gajah Mada yang ditemukan di Trowulan. Boneka-boneka
gerabah yang diperkirakan sebagai bekal kubur seperti halnya di China atau Jepang, tentu hal tersebut
belum dapat dipastikan karena belum ada bukti-bukti. Walaupun tradisi pemberian bekal kubur di
Indonesia sudah dikenal sejak zaman Pra-sejarah. Hampir semua boneka gerabah ditemukan di bekas
pusat Kota Majapahit yang bernama Trowulan. Mengingat diluar daerah Majapahit tidak pernah
ditemukan benda semacam ini, maka dianggap tradisi seni boneka adalah ciri khas seni Majapahit.
Boneka-boneka Majapahit apabila diperhatikan secara umum, merupakan perwujudan dari kehidupan
sehari-hari dari golongan ningrat / kelas atas sampai golongan kelas bawah, dari pemimpin, penari,
pemain musik, sastrawan, rakyat jelata dan budak. Diantaranya juga ada tokoh punakawan, semar,
Sabdopalon yang dikenal dalam cerita Panji, membuktikan unsur kerakyatan sangat akrab dengan seni
Majapahit, dimana perwatakan muncul secara khusus dan bersifat individual serta pembuatan seni tidak
dalam kekuasaan keraton spenuhnya, sehingga mengikut sertakan kepercayaan asli, bergaya bebas dan
tidak terikat dengan aturan seperti seni Hindu Jawa Tengah yang bersifat patung klasik. Pembuatan
patung boneka Majapahit tampak terlihat lebih hidup dan tanpa stilasi yang berlebihan, terutama detailnya
yang cukup baik seperti profil wanita China yang lemah gemulai. Patung boneka lainnya menggambarkan
orang yang sedang duduk dan kalau sedang berdiri bajunya panjang sampai ke bawah, memperlihatkan
sifat kokoh dan stabil. Badan dan tangan seperti disederhanakan dalam batas yang wajar, tetapi secara
anatomis cukup baik dan tepat, tidak seperti seni primitif.
Salah satu bentuk keramik yang berciri khas Indonesia adalah bentuk kendi. Istilah kendi dari
bahasa Sanskrit yaitu “kundika” di India berarti tempat air. Dalam ikonografi India, kundika merupakan
salah satu atribut dari Dewa Brahma yang dalam agama Hindu merupakan perlambangan suci. Para
pendeta Budha seringkali menggunakan kata kundika, yaitu benda berbentuk badan lonjong, panjang dan
berleher sempit serta mulut yang kecil menyerupai pipa dan corotnya (cucuk) berbentuk seperti cangkir.
Pada candi Borobudur dan candi-candi di Dieng, terdapat relief abad ke 8 menggambarkan kendi seperti
yang dikenal sekarang, bentuknya berbeda dengan kundika yang banyak ditemukan disekitar candi Jawa
Tengah sampai abad ke 10 M. Kendi gerabah merah dan putih bercorot lurus banyak ditemukan berasal
dari abad 11 s/d abad 13 yaitu di Trowulan , Sumatera Selatan di daerah Pecinan dan Muara Jambi serta
di Sumatera Utara. Bentuk kendi bercorot lurus, pada abad ke 14 berubah menjadi bulat labu atau
menyerupai buah jambu berwarna merah, banyak ditemukan di Trowulan hingga abad ke 15. Kendi-kendi
merah bercorot bulat yang terdapat di pusat kerajaan Majapahit, Trowulan, dijuluki sebagai “kendi
Majapahit”, bentuk bulat diperkirakan berhubungan dengan kepercayaan Hindu Jawa Timur masa itu
yang mirip seperti buah dada sebagai lambang kesuburan. Benda temuan tersebut seringkali disebut
sebagai “kendi susu” sebagai ciri khas kendi Majapahit.
Guci-guci keramik yang ada di Indonesia kebanyakan berasal dari China selatan, Vietnam dan
Thailand. Dengan banyaknya guci yang berada di Indonesia membuktikan eratnya hubungan dagang
antara Indonesia dengan asal guci sejak dulu. Walaupun jelas guci-guci tersebut bukan berasal dari
kebudayaan Indonesia, tetapi pernah memegang peranan dalam kebudayaan masa lampau. Disamping
dipergunakan sebagai tempat makanan dan minuman, guci juga dipergunakan untuk menyimpan sesuatu
yang bersifat sakral seperti tempat air suci dan abu jenazah. Masyarakat Kalimantan sangat percaya
adanya dewa yang melindungi guci-guci, dimana air yang diletakkan dalam guci dapat menyembuhkan
berbagai penyakit. Bahkan guci-guci itu diberi nama dan diberi jenis kelamin, guci yang gemuk bagian
atasnya berjenis betina. Guci Naga Kawok disimpan pada keluarga yang mempunyai anak gadis, mereka
percaya dapat menolong mendekatkan pria jodohnya. Akhirnya guci ini ada yang dibuat tiruannya di
Indonesia terutama produksinya dilakukan oleh orang China yang trampil dan menetap di Indonesia,
walau teknologi dan mutu hasilnya kurang baik. Guci yang ditemukan di Indonesia banyak yang berasal
dari zaman Dinasti Yuan dan Ming, berwarna coklat, seladon, hijau, biru, abu-abu dan hitam.
Selain kendi dan guci, tempayan zaman Majapahit juga ditemukan di Trowulan yang berukuran
besar dengan tinggi 100 cm dan diameternya 60 cm. Tempayan gerabah asli Majapahit ini diperkirakan
sebagai tempat air atau untuk mewarnai kain-kain , berhiaskan lingkaran tumpal dan garis-garis melingkar
yang diisi dengan ukiran. Benda-benda Majapahit lainnya yang menarik adalah pipa-pipa cerutu
terracotta dengan ukuran 4 X 5 cm atau 4 X 6 cm, mempunyai kontur yang lembut dengan garis-garis
yang menarik. Di Trowulan juga ditemukan poci dengan buntuk bulat gepeng dengan hiasan motif garis-
garis melingkar dan tegak lurus dan diantara garis yang melingkar terdapat motif tumpal yang teratur.
Selain itu gerabah pedupaan dan celengan, juga telah ditemukan di reruntuhan Majapahit, pedupaan
seperti susunan bunga dan celengan berujud babi.
Ditemukannya stupa-stupa kecil dari tanah liat yang termasuk gerabah lunak di daerah Pejeng,
Blahbatuh dan Batuan, Gianyar, dalam jumlah ribuan dan ada di antaranya terdapat tulisan Pallawa dan
Sansekerta yang bermakna mantra-mantra Budha; Dan beberapa buah stempel tanah liat yang ditemukan
di Pejeng (koleksi Museum Bali), tertulis data tahun 882 A.D memuat mantram agama Budha dalam
bahasa Sankrit yang mirip dengan yang ditemukan di Candi Kalasan (778 A.D). Berdasarkan penemuan
tersebut, diperkirakan pengaruh agama Budha di Bali datangnya lebih dahulu dari agama Hindu.
Moerdowo, dalam bukunya “Seni Budaya Bali-Balinese Arts and Culture” mengemukakan tujuh
diantaranya memuat data mulai tahun 882 s/d 914 A.D menyebut-nyebut nama seorang Raja Kesari
Warmadewa yang bertahta di di kerajaan Singadwala. Sembilan tulisan tanah liat memberitakan adanya
seorang raja lainnya yaitu Sang Ratu Ugrasena yang bertahta semasa dengan Empu Sindok dari Jawa
Timur (914-942 A.D). Disebutkan pula adanya empat orang raja lagi dari keturunan dinasti Warmadewa
yang menguasai pulau Bali. Dari data-data tersebut diperkirakan hubungan Bali dengan Jawa Timur
terjalin erat dan mesra, yaitu dengan adanya dinasti Warmadewa yaitu Dharma Udayana Warmadewa
mempermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni, putri raja dari Jawa yaitu cucu dari Empu Sindok
yang berkuasa dari tahun 989 s/d 1001 Masehi. Dari perkawinan ini lahirlah Raja Airlangga yang
kemudian berkuasa di Jawa dan kawin dengan putri Jawa. Tidak hanya stempel dan stupika yang
ditemukan, tetapi juga ada patung Budha dan linggayoni yang semuanya diperkirakan abad ke-13 – 14
Masehi (Moerdowo, 1963).
Masuknya agama Hindu ke Bali diperkirakan pada saat Raja Yaya Pangus ditaklukkan oleh
Patih Gajah Mada dari Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam kekuasaan Majapahit , Bali diperintah
oleh Raja Dalem Samprangan yang bertahta di Klungkung (Moerdowo, 1963). Masuknya agama Hindu
di Bali sangat berpengaruh pada pembuatan benda-benda keramik, yaitu dengan adanya berbagai motif
dewa dalam bentuk Trimurti (Tritunggal) Dewi Sri dan lainnya.

Patung Gerabah
Berwujud Cili atau Dewi
Kesuburan
Koleksi Museum
Denpasar-Bali
Motif Dewi Sri banyak sekali dijumpai di Bali dalam wujud “Cili” sebagai lambang kesuburan
atau “Dewi Padi”. Abad ke- 14 di Bali, diketahui telah dipengaruhi oleh tradisi Hindu Jawa Timur,
terlihat dari benda-benda terracotta yang bernilai keduniawian yang menggambarkan kehidupan sehari-
hari, yaitu perwujudan dari tokoh-tokoh sosial seperti penari, pemain musik yang menjadi obyek utama;
semuanya bergaya bebas mencerminkan suasana gembira, namun di Bali terjadi perubahan karena
kepercayaan sebelumnya turut mempengaruhi. Masa Majapahit , patung-patung/figur tampak realistik,
sedangkan di Bali tampaknya melalui stilasi yang kaku, seakan tokoh-tokoh pria maupun wanita
memancarkan kekuatan magis dengan wajah yang “dingin” dan “kaku”, dimungkinkan bentuk demikian
bernilai sakral untuk pelengkap upacara.

Patung Gerabah Tokoh


Raksasa
Atau Rahwana
Koleksi Museum
Denpasar-Bali

Di dalam kepercayaan Hindu Bali, benda-benda keramik diperlukan untuk berbagai keperluan
suatu upacara, baik berujud bentuk patung maupun sebagai benda pakai seperti tempat “tirta” (air suci).
Patung-patung ada yang menggambarkan tokoh Rahwana, Raksasa, dewa-dewi, tokoh yang meninggal,
sampai di dapurpun terdapat patung yang menggambarkan bentuk punakawan. Disamping benda hiasan,
kebanyakan dari bentuk patung tersebut melambangkan Dewa Brahma yang sangat di puja di lingkungan
dapur, karena ada anggapan bahwa dapur adalah tempat bersemayamnya Dewa Brahma. Patung lainnya
ada yang berbentuk raksasa dengan prisai ditangannya, merupakan lambang penjaga yang ditempatkan
ditempat-tempat suci atau rumah tinggal. Juga kendaraan Wisnu atau Wilmana sering dijumpai dalam
berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pasepan atau pedupaan sebagai lambang Dewa Wisnu. Ada pula
singa bersayap dan gajah-mina, merupakan perpaduan dua binatang yaitu singa dengan burung dan gajah
dengan ikan ( “banaspati”), sebagai lambang kekuatan alam. Bentuk ini dibuat dengan berbagai variasi
sesuai dengan imajinasi setiap kelompok masyarakat / daerah yang membuat. Patung Garuda Wisnu,
kemudian banyak menjadi inspirasi baik dalam material tanah liat/ keramik,maupun dari kayu dan batu.
Keturunan dari kerajaan Majapahit di Kalimantan Barat, yaitu kerajaan Landak, Sambas dan
Tanjung Pura, banyak ditemukan keramik berglasir yang menunjukkan hasil perdagangan dengan China,
terutama lewat ekspedisi Cheng Ho. Tempayan atau yang dikenal “martaban” atau “martavans” keramik
China ini dikapalkan melalui pelabuhan di Birma yang

Tokoh Pria dan


Wanita ( Bali )
Koleksi Museum
Denpasar
bernama Martabani menuju Asia Timur, Asia Tenggara dan Indonesia. Tempayan di daerah Kalimantan
banyak yang dikeramatkan, terutama oleh suku Dayak di pedalaman, sehingga ada nama Dewa
Tempayan yaitu “Lalang Rangkang Halamaung Ampit Puting Jambangan Nyabu”.

Reliaef Dinding Museum Negeri


Kalimantan Barat
Menggambarkan Penggunaan
Tempayan Dalam Adat Dayak

KERAMIK ZAMAN KERAJAAN ISLAM

Pembuatan bata dan genting banyak dilakukan dan dikembangkan terutama pada zaman kerajaan
Islam dan selama penjajahan Belanda. Hal tersebut dapat dilihat dari sisa – sisa bangunan besar seperti
pusat – pusat kerajaan, benteng – benteng, masjid, makam, bahkan rumah – rumah pejabat penting seperti
Bupati dan orang – orang penting dan kaya lainnya, yang kesemuanya menggunakan genteng dan bata.
Pada abad ke -12 para pelajar dan pedagang Indonesia tidak banyak berlayar ke India Selatan,
tetapi kebanyakan kapal – kapal Indonesia berlayar ke Gujarat yaitu India Barat. Di Gujarat inilah banyak
bandar – bandar besar dan kebanyakan para pedagang di daerah ini sudah memeluk agama Islam berbeda
dengan India Selatan yang kebanyakan beragama Hindu. Dari Gujarat inilah para pedagang Indonesia
belajar agama Islam dan menyebarkannya di Indonesia. Karena kebanyakan para pedagang itu berasal
dari Andalus Utara, maka daerah tersebut menjadi daerah Islam yaitu Samudra – Pasei. Diantaranya juga
banyak pedagang dari Jawa menetap di Malaka yang menjadi pusat agama Islam di Asia Tenggara. Di
Malaka banyak terdapat orang Islam dari kepulauan Indonesia dan bandar – bandar di Jawa banyak yang
berhubungan dengan Malaka yaitu bandar Japara, Tuban dan Gresik. Oleh sebab itu, penduduk pantai
utara Jawa banyak yang memeluk agama Islam. Demak, Tuban dan Giri menjadi pusat agama Islam di
Jawa. Hitu di Ambon menjadi pusat agama Islam di Maluku dan Aceh menjadi pusat agama Islam di
Andalaas. Masjid dan madrasah di Demak, Kudus dan Giri sangatlah termasyur saat itu.
Pada abad ke -16 terdapatlah kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore di Maluku, Demak di
Jawa dan Aceh di Andalas. Demak berusaha keras mencari pengaruh ke Kalimantan dan Sulawesi,
Demak juga mengirim tentara ke Jawa Barat dan mendirikan negara Islam yang baru yaitu Banten. Dari
Banten Islam terus berkembang ke Andalas Selatan. Makasar dan Banjarmasin menjadi negara Islam
pula. Dengan begitu hampir semua bandar di Indonesia menjadi bandar Islam. Banyak kapal yang datang
maupun pergi, teritama dari Malaka, India, Tiongkok (China) dan Philipina. Kapal asing dari Eropah
mulai berdatangan karena tertarik kekayaan dan hasil bumi serta perdagangan Indonesia. Portugis
berlayar dari India dan menuju Indonesia, karena dianggapnya negara Islam di Indonesia sangat maju
perdagangannya dan hendak mengangkut sendiri barang – barang Indonesia menuju Eropah. Pada tahun
1498 kapal Portugis yang pertama di Kalikut yang dipimpin oleh Vasco da Gama, terjadilah sistem
monopoli, perebutan kekuasaan dan pedagang Islam banyak yang diusir dari bandar – bandar. Tiga belas
tahun lagi, Malaka direbut dan diduduki oleh Portugis yaitu pada tahun 1511 Masehi.
Dalam tahun 1292 M tatkala Tiongkok berada di bawah kekuasaan Mongol, Marco Polo (1254-
1323 M), musafir Venesia (Italia), pencipta nama ‘‘porselin” mengembara ke pantai utara Sumatera dan
didapati Perla atau Aceh sudah terdapat orang Islam. Tidak jauh dari Perla, di Basem (Pasai) rajanya
sudah memeluk agama Islam yakni Al Malikus Saleh yang wafat 1297 M. Dan tahun 1303 M seorang
pengembara dari Maghribi bernama Ibnu Batutah sampai ke Pasai , dikatakannya bahwa raja dan rakyat
Sumatera beragama Islam bermadzhab Imam Syafiie dan ilmu tasaufnya yang terkenal. Begitulah awal
masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera hingga kekuasaan Raja Iskandar Muda (1606 – 1636 M).
Menurut berita Tiongkok tahun 1416 M tanah Jawa sudah banyak yang memeluk agama Islam.
Dan berita Portugis 1498 M beberapa kabupaten di pesisir utara sudah masuk Islam baik Bupati maupun
rakyatnya. Maulana Malik Ibrahim mubaligh yang menyiarkan agama Islam wafat 8 April 1419 M di
Gresik. Banyak lagi makam ditemukan di Gresik diperkirakan sebagai pedagang yang sambil
mengembangkan agama Islam.
Raja Majapahit terakhir, mempunyai istri dari China atau putri Cempo (Campa) ketika hamil
dititipkan kepada Adipati Aryo Damar di Palembang dan melahirkan disana. Bayi yang dilahirkan
bernama Raden Patah dan ibunya dikawin oleh Aryo Damar dan menghasilkan putra bernama Husein.
Kedua anak tersebut dididik agama Islam. Raden Patah setelah dewasa menghadap ayahnya di
Majapahit dan diangkat menjadi Adipati Bintoro di Demak. Ketika Majapahit jatuh diserang Raja
Giriwardana dari Kediri tahun 1478, semua pusaka Majapahit dibawa ke Demak. Atas persetujuan dan
dukungan Walisongo, lalu Raden Patah, menjadi Raja Islam pertama di Jawa dengan gelar Sultan
Fatah tahun 1500 M. Penerusnya kemudian mendatangkan ulama dari Sumatera. Sultan Trenggono
mendatangkan Falatehan dan menyebarkan agama Islam sampai Jawa Barat dan memimpin armada
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Jawa Timur dan Pasuruan tunduk di bawah kekuasaan Demak.
Selanjutnya Hadiwijoyo yang wafat 1582 M., Raja Mataram Sutowijoyo (1586 – 1601 M), hingga
Sultan Ayokrowati 1601-1612 M, bersamaan pemerintahannya inilah Belanda atau VOC masuk
Indonesia (1602).
Pada masa-masa pemerintahan Islam ini, pengembangan keramik sebagai peralatan makan dan
minum kurang mendapat perhatian, hanya untuk kebutuhan pengganti batu dan kayu, seperti bata dan
genteng. Kebutuhan makan dan minum dari keramik muncul setelah terjadi sentuhan dengan kebudayaan
Barat, Eropa dan China yang dibawa oleh para pedagang bangsa Portugis, Belanda, China, India dan dari
Persia. Kebutuhan akan barang pakai dari keramik bermula dari para saudagar, pembesar yang berkuasa,
terutama bangsa asing yang datang. Peralatan dan barang-barang keramik kemudian didatangkan dari
China, Vietnam, Jepang dan Philipina. T. Volker dalam bukunya “Porcelain and the Dutch East India
Company” menulis bahwa kisah mengenai Raja Aceh abad 16, dalam pesta-pesta perjamuan serta
upacara-upacara adat menggunakan beberapa perangkat piring dan cangkir yang terbuat dari porselin-
porselin yang sangat indah ( Volker, 1954).
Pasar Ikan di kawasan Jakarta Kota tahun 1500-an dikenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa.
Pelabuhan ini tempat persinggahan para saudagar yang ramai. Seorang pelancong, Tom Pires, melihat
pelabuhan ini tahun 1513 sebagai pelabuhan yang terbesar dan penting. Yang kemudian dikuasai Belanda
abad ke 16. Dari sinilah keramik-keramik asing singgah dan lantas diperdagangkan. Cukup
mencengangkan temuan gerabah atau keramik di Pasar Ikan (1981) yang berjumlah 4.448 fragmen,
terdiri dari piring, mangkuk, pasu dan botol-botol indah. Banyak sekali keramik asing yang hadir di Pasar
Ikan, terdapat pula piring-piring Persia yang berhiaskan flora.
KERAMIK MASA PENJAJAHAN

Pada permulaan abad ke 17 bangsa Eropa baru menganal keramik jenis porselin, ketika itu
Belanda dengan pasukan dagangnya Verenigde Oost-Indiche Compagnie atau V.O.C. berhasil
memboyong sebagian kecil keramik-keramik negeri Timur ke beberapa negara di Eropa. Perkembangan
keramik modern Belanda lebih lanjut haruslah dilihat dengan latarbelakang kepentingan dagang dalam
abad ke 17 tersebut. Setelah mengusir partner dagangnya di Eropa bangsa Portugis dari Indonesia dan
perairan Asia Timur Jauh, Kompeni Belanda dengan V.O.C menerapkan sistem monopoli yang terkenal
di kepulauan Indonesia, perdagangannya dengan daratan China membuat lalu lintas dagang maritim yang
ramai melalui Indonesia. Porselin China menjadi komoditi dagang yang populer di Barat sejak zamannya
Marco Polo. Orang-orang Belanda membawa keramik jenis porselin yang kasar ke Indonesia dan yang
halus ke Eropa. Porselin zaman Ming akhir dan Wan-Li yang berwarna biru-putih, mengarungi lautan
sehingga harganya sangat mahal, dibandingkan dengan porselin Eropa sendiri. Sehingga akhirnya pabrik-
pabrik Mayolika (porselin) di Delft mencoba meniru porselin China dan China sendiri kadang-kadang
menirunya pula. Salah satu pabrik De Porceleyne Fles yang didirikan tahun 1653 M , selain memproduksi
tembikar putih berlapis glasir juga menghasilkan porselin biru-putih. Tembikar Delft mengalami
kemunduran pada abad ke 18, setelah ditemukan teknik porselin keras di Saxony.
Belanda menguasai Jakarta setelah merebut dari Banten dan pada tahun 1619 mendirikan Kota
Batavia oleh Jan Pieterszoon Coen. Pedagang China yang datang secara tidak langsung
memperkenalkan beberapa aspek budaya tersendiri, dengan membuat perkampungan disepanjang jalur
strategis dan diseputar pasar. Kehadiran mereka tidak menimbulkan keributan, sebagian besar pedagang
perantara antara Malaka dan Jawa. Rempah-rempah, beras, dari Jawa dan Malaka ditukar dengan
pedagang China yang membawa tekstil, keramik dan kapur barus. Dari catatan perjalanan diperoleh
informasi tentang keramik yang dibawa V.O.C. yang berkaitan dengan rute perjalanan ke Indonesia
dengan tujuan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia, yakni dari bangkai kapal “Vergulde Drach”
dilepas pantai Australia. Kapal tersebut ditemukan tanggal 28 April 1956, membawa kendi-kendi dari
China dan Belanda. Pada permulaan abad 17, tercatat sejarah raja Persia yaitu Syah Abbas I, ingin
merebut pasaran keramik Eropah yang saat itu didominasi Kompeni V.O.C dengan cara mendatangkan
300 perajin dari China besarta keluarganya. Maka beberapa keramik Persia yang ditemukan pada
ekskavasi Pasar Ikan Jakarta menunjukkan gaya Wan-Li (1573-1619) berwarna biru-putih. Bangsa
Belanda mengenal keramik China dalam jumlah besar pada tahun 1600 Masehi, melalui pembajakan
sebuah kapal Portugis “Carrack” yang memuat porselin China gaya Wan–Li dan populer disebut
“porselen Kraak”. Disain dan bentuk keramik Kraak banyak dijiplak induatriawan Belanda yang belum
mampu membuat porselin. Teknik pembuatan porselin Belanda dikuasai oleh kota Delft dengan ciri khas
biru putih dan mempunyai banyak penggemar di Indonesia. Gaya China atau “Chinoiserie” memuncak
kecemerlangannya pada abad ke -18. Sedangkan di Jepang pada abad ke -17 pembuatan porselin baru
pada tahap permulaann di Arita. Ketika terjadinya pertentangan antara dinasti Ming dengan Ching
(tahun 1644 - 1912 Masehi). Kompeni memesan porselinnya ke Jepang yaitu di Arita. Keramik yang
populer masa itu adalah “Kraak Biru Putih” gaya Wan – Li, kemudian keramik jenis inilah yang
diproduksi secara besar – besaran oleh Jepang. Jepang kemudian merebut pasaran keramik di Eropah,
yaitu dengan mengadakan inovasi dan pembaharuan selera khas Jepang yang disebut gaya “Imari”, yaitu
suatu corak warna-warni baru yang dibubuhi warna emas, yang kemudian populer. Sehingga secara
terpaksa perajin porselin China menirunya agar tidak kehilangan pasar. Dengan demikian benda-benda
keramik atau porselin merupakan bukti sejarah yang mengungkap sejarah jaringan politik dan
perdagangan di masa penjajahan Belanda. Pengalaman bangsa Indonesia ternyata pada masa penjajahan
Belanda adalah sebagai pengguna hasil produk bangsa lain dan bukan merupakan kebutuhan
memproduksi sendiri, juga sebagai negara perdagangan maritim. Apalagi usaha mengembangkan
porselin, masa itu terjadi penindasan dan keterbelakangan pendidikan serta kebebasan sangat dibatasi
terutama pembuatan keramik. Namun demikian produksi bata dan genteng tetap berlangsung, karena
Belanda membutuhkannya untuk membangun gedung dan kantor kompeni serta benteng-benteng V.O.C.,
juga rumah-rumah pembesar atau penguasa saat itu.
Masa pemerintahan penjajah Belanda, industri yang ada hanya bata dan genteng, baik skala besar
maupun kecil, menggunakan mesin mekanis atau dengan tangan. Juga industri kapur sudah banyak
didirikan untuk memenuhi kebutuhan Balanda. Industri rumahtangga seperti pembuatan gerabah berupa
gentong, kendi, kuali, anglo dan celengan diproduksi untuk kebutuhan rakyat sendiri terutama dipedesaan.
Keadaan ini berubah setelah pemerintah Hindia Belanda mendirikan instansi penelitian, yang didirikan
tahun 1922 dengan nama “Keramish Laboratorium” yang berfungsi mengembangkan industri bata dan
genteng, menyangkut masalah pengujian, konsultasi dan latihan operator serta penetapan lokasi bahan
mentah. Dan tahun 1926 Balai Penelitian ini dimantapkan lagi, setelah bahan mentah poselin yaitu tanah
kaolin terdapat di Bangka dan Belitung. Mengetahui potensi ini, Belanda menjajaki usaha serius
pengembangan tersebut dan sejak saat itu peralihan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknik keramik
mulai dilakukan. Walaupun sedikit melompat dan tidak ada kesinambungan dengan teknik keramik yang
ada saat itu. Rupanya Belanda dipengaruhi oleh keadaan pendudukan Jepang, dimana Jepang
mengeksploitasi sumber-sumber bahan galian logam maupun non-logam untuk dibawa kenegerinya. Atas
dasar keadaan tersebut yang dilihat secara umum dan terbuka, timbullah pengertian masyarakat berbagai
daerah di Indonesia bahawa kaolin merupakan bahan mentah keramik khususnya porselin. Jepang sendiri
telah mengadakan penyuluhan serta pemberian bimbingan secara kecil-kecilan kepada sentra-sentra
perajin rumah tangga, namun saat itu suasana masih menyedihkan dan masa penjajahan..
Nyatalah kemudian, bahwa pengetahuan tentang keramik bakaran tingkat madya dan tinggi
seperti keramik batu atau stoneware dan porselin adalah suatu ilmu yang baru sama sekali, tidak tumbuh
dari akar budaya sendiri atau keramik tradisional Indonesia, melainkan hasil cangkokan dan pendekatan
yang baru sama sekali dimulai saat berakhirnya penjajahan Belanda dan masuknya penjajahan Jepang
Pabrik bata dan genteng mulai dibangun sejak tahun 1930-an untuk melayani kebutuhan pabrik
gula. Tahun 1937-an Belanda memperhatikan usaha pengembangan gerabah, bata, genteng dan kerajinan
lainnya dan mendirikan Balai Penelitian Keramik di Pleret Jawa barat, dimana penduduknya banyak
membuat gerabah. Balai yang didirikan Belanda tersebut juga memproduksi asbak, celengan dan benda
lainnya yang sudah dilapisi glasir. Pembuatan keramik “Aardewerk” dan keramik batu yang berglasir
sudah dirintis, walau glasir sudah bisa dibuat di dalam negeri namun bahan bakunya masih diimpor dari
luar negeri. Bersamaan dengan unit usaha di Pleret, pabrik gelas swasta mulai didirikan di Jakarta dan
Surabaya dengan menggunakan alat dan mesin dari Jerman. Balai penelitian keramik, juga akhirnya
memeproduksi wadah-wadah kimia untuk kepentingan Jepang. Pengetahuan Porselin mulai sedikit
bertambah dengan adanya pendudukan Jepang, namun saat itu tidak memperoleh perhatian karena
suasana penjajahan tidak mendukung pengembangan keramik.

KERAMIK ZAMAN KEMERDEKAAN

Perkembangan keramik setelah memasuki masa kemerdekaan tumbuh dari dua “rahim”, yaitu dari
sektor industri baik besar dan kecil (industri rumah tangga), maupun dari kreator perorangan yang
kebanyakan dari kalangan seniman dan akademisi (pendidik senirupa). Perguruan tinggi senirupa banyak
melahirkan keramikus-keramikus muda yang mengangkat citra keramik tradisional menjadi keramik
modern yang eksklusif dan menarik.

A. Keramik Industri Padat Modal

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, sektor industri mulai
ditumbuhkan. Namun masa itu situasi masih belum aman dan masih berlangsung perjuangan fisik dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan. Keadaan ini, membuat banyak pegawai dari Balai Penelitian
Keramik di Plered mengungsi ke Jawa Tengah dan meneruskan usahanya di Kebumen.Ada pula yang
pergi mengungsi ke Yogyakarta dan oleh pemerintah ditampung dengan mendirikan Balai Penelitian
Keramik disana. Karena tidak sesuai dengan kondisi Yogyakarta, maka Balai Penelitian lalu dipusatkan di
Bandung. Laboratorium keramik di Bandung pada tahun 1950 dikembangkan dan ditingkatkan fungsinya
menjadi Balai Penelitian Keramik, yaitu mengembangkan refractory, gelas, ubin keramik, porselin,
isolator listrik, saniter dan keramik baru lainnya. Kegiatan lain dari Balai Penelitian Keramik Bandung ini
adalah mendidik kader-kader perajin dan pengusaha, kursus-kursus singkat maupun yang berjangka
waktu sampai dua tahun. Namun demikian karena, karena perekonomianj masih sulit dan lemah dari
tahun 1950 sampai tahun 1960 baru merupakan tahapan dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan
teknologi keramik dan belum banyak berdiri industri yang besar. Industri keramik halus di Indonesia baru
dimulai pada tahun 1950-an, yang menghasilkan barang-barang rumah tangga dan benda hias. Saat itu
bahan baku didatangkan dari luar negeri. Sejak tahun 1953 barang porselin mulai diproduksi dan tahun
1955 telah memanfaatkan bahan baku dari dalam negeri, yakni setelah diketemukan bahan kaolin dan
kwarsa di Bangka dan Belitung.
Pada tahun 1953 di Belitung, seorang yang bernama Oie Jong Tjioe, sarjana Hukum lulusan
Leiden Belanda, mendirikan perusahaan (pabrik) keramik putih yang pertama di Indonesia dengan nama
“Keramika Indonesia Asosiasi” atau “KIA” yang berada di Belitung, karena Oie melihat deposit kaolin
melimpah disana dan sekaligus memperistri wanita asal Belitung. Dua puluh tahun kemudian sebuah
perkumpulan pengusaha keramik yaitu Asosiasi Aneka Keramik Indonesia atau ASAKI yang terbentuk
tahun 1972, memberi gelar Oie (panggilan Oie Jong Tjioe) sebagai Bapak Industri Keramik Indoneia
atas keperintisannya. Pada tahun yang sama (1972) Oie Jong Tjioe memperoleh Satya Lencana
Pembangunan dari Menteri Perindustrian yang ketika itu dijabat oleh M. Yusuf.
Ketika Mohammad Hatta menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, dimana usia
R.I. masih sangat muda, beliau seringkali melakukan perjalanan keliling nusantara melihat potensi yang
dapat dikembangkan demi masa depan bangsa; Maka Bung Hatta pun melihat keramik mempunyai nilai
ekonomis dan perludihidupkan kembali. Pada akhirnya pabrik keramik peninggalan Belanda di Sukaraya
(Jawa Tengah) dan di Tulungagung (Jawa Timur) dibuka kembali sebagai Perusahaan Industri Daerah
atau Pinda dan yang berada di Belitung pengelolaannya diserahkan kepada swasta yakni KIA. Semua itu
atas saran Bung Hatta yang meminta agar industri tidak dipusatkan di Pulau Jawa dan ada KIA di
Sumatera. Sejak itulah dari tahun 1956 hingga tahun 1960 banyak didirikan perusahaan negara, baik
perusahaan induk maupn pengelolaan bahan mentah dan peralatan rumah tangga. Perusahaan negara
tersebut pada akhirnya banyak yang menjadi perusahaan daerah atau PINDA.
Namun demikian , pada tahun 1960 sampai 1965 merupakan tahun-tahun sulit dan masa
“kelesuan keramik Indonesia”. Saat itu faktor keamanan dan ekonomi Indonesia masih dalam keadaan
belum stabil. Keramik sebelum masa Orde Baru dirasakan seperti hidup dan mati, karena kesulitan akan
bahan baku, suku cadang, transportasi, pemasaran, pengelolaan , tenaga-tenaga trampil dan tenaga ahli.
Dari tahun 1965 hingga tahun 1970 perkembangan Industri keramik masih sangat suram; Produksi sulit
ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga barang-barang rumah tangga masuk dari
Republik Rakyat China (RRC) dengan sangat derasnya, dengan mutu yang tinggi dan harganya juga
rendah (murah). Barang-barang impor masa itu mewarnai pasaran dalam negeri.
Kebangkitan keramik Indonesia diawali dengan KIA bekerjasama dengan pabrik Sphinx dari
Belanda pada tahun 1968. Kemudian titik terang dunia industri keramik Indonesia kelihatan hasilnya
dengan adanya Undang-undang Penanaman Modal Asing tahun 1970. Tonggak kebangkitan industri
keramik Indonesia bisa dikatakan dimulai tahun 1970-an, ketika dikembangkan fasilitas penanaman
modal asing dan dalam negeri atau adanya PMA dan PMDN, terutama industri keramik halus yang baru
dikembangkan. Dimulainya PELITA Pertama investasi modal asing mengalir ke Indonesia yang sangat
mendukung terhadap perkembangan industri keramik. Selain itu, kebijakan pemerintah R.I. untuk
memproteksi terhadap barang-barang keramik impor sangat membantu pengembangan keramik di
Indonesia dan yang terpenting lagi stabilitas politik, keamanan dan ekonomi semakin baik. Hal tersebut
terbukti dari daya beli masyarakat Indonesia semakin baik dan meningkat akibat pembangunan disegala
bidang kehidupan. KIA yang bernaung dalam Ongko Group mendatangkan mesin-mesin baru dan
modern dari Belanda serta mengirimkan tenaga kerja untuk mempelajari pengetahuan dan alih teknologi
keramik. Pengiriman tenaga kerja ke Belanda ini dengan suatu harapan agar bisa menjadi kader-kader
perkeramikan di Indonesia. KIA yang bekerjasama dengan Departemen Perindustrian R.I. telah
melahirkan tenaga-tenaga ahli keramik sebanyak 64 orang yang kemudian disebar keberbagai pabrik atau
industri keramik yang ada di Tanah Air Indonesia.
Pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1962, masuk secara besar-besaran keramik Jepang ke
Indonesia dengan merek TOTO, sebagai bagian dari pampasan perang. Pemerintah Jepang mengirim
keramik TOTO untuk membangun Hotel Indonesia, Ambarukmo Palece Hotel, Samudra Beach Hotel
dan Bali Beach Hotel, Sarinah dan Gelora Senayan. Tak heran hingga kini TOTO masih menjadi “market
leader” di Indonesia dengan nama perusahaan Surya Toto Indonesia, sebagai perusahaan patungan
antara TOTO Ltd dan CV. Surya serta Kashima di Tangerang (Jabar) pada tahun 1978. Tersebutlah
nama Mardjoeki Atmadiredja, adalah Presiden Komisaris Multi Fortuna Group yang pada tahun
1968 memperoleh hak keagenan tunggal produk saniter merek TOTO Limited Jepang. PT. Surya Toto
Indonesia atau STI ini begitu pesat berkembang dan menjadi perusahaan industri saniter terbaik dan
terbesar di Indonesia. Pada tahun 1989 STI ini merupakan satu-satunya industri saniter yang sudah go
public. Prestasi yang mengesankan ini membawa nama Mardjoeki identik dengan TOTO dengan
julukan “Raja Saniter” (Kompas, 4-8-1995). Produk STI menguasai pasar di dalam negeri Indonesia
hampir 50%. Juga perusahaan ini memasuki pasaran internasional dengan mengekspor produknya ke
Taiwan, Malaysia, Amerika Serikat dan beberapa negara di Asia Pasifik lainnya. Mardjoeki dengan Multi
Fortuna Groupnya membawahi 11 perusahaan yang berhubungan dengan industri bahan-bahan bangunan
dan bisnis properti.
Dalam rangka pengembangan industri, Balai Penelitian Keramik di Bandung, mengadakan
penelitian dan pengembangan teknologi keramik serta pembinaan dalam pemakaian mesin-mesin atau
peralatan, proses produksi dan pemakaian bahan baku, terutama untuk keramik halus, keramik berat dan
mortar, gelas, email dan keramik yang bersifat khusus. Di samping itu lembaga ini menyusun dan
mengeluarkan suatu konsep standar mutu yang disebut Standar Industri Indonesia ( SII ) untuk produk-
produk hasil industri keramik. Juga memberi saran, informasi, konsultasi, bantuan teknik, pendidikan dan
latihan kepada masyarakat dan industri. Dampaknya membuahkan hasil, industri keramik Indonesia
semakin tumbuh dan berkembang, perusahaan-perusahaan baru mulai bermunculan, seperti pabrik
keramik di Purwokerto, Mayong, Tulungagung, pabrik semen di Gresik, Cibinong dan Tonasa, pabrik-
pabrik gelas dan kaca di berbagai kota.
Usaha pengembangan pabrik-pabrik keramik di Indonesia sangat memungkinkan, karena bahan
mentah yang cukup melimpah, terutama kaolin yeng terdapat di Pulau Bangka, Beliton, Jawa dan
Kalimantan Barat. Lalu feldspar terdapat di Lampung dan Lodoyo (Malang). Batu kapur dan tanah liat
banyak terdapat disetiap daerah. Magnesite, dolomite, chromite bisa diperoleh di Kalimantan Timur,
Sulawesi Tenggara dan Flores Timur. Namun demikian masih belum banyak perusahaan yang
memurnikan dan menyiapkan bahan mentah menjadi bahan baku siap pakai. Industri kaolin yang
diproduksi PT. Kaolindo, anak perusahaan PT.Timah di Pulau Beliton, hasil produksinya banyak yang
terserap kepasaran Jepang dan sebagian kecil diekspor ke Philipina, Korea Selatan dan Sabah serta
pasaran dalam negeri. Pulau Batam pada akhirnya menjadi final processing zone kaolin yang diproduksi
Bangka dan Beliton.
Industri keramik di Indonesia tampak berkembang seperti keramik putih terdapat di Purwokerto
Jateng), Tanjungpandan (P. Beliton), Bandung (Jabar), Malang dan Probolinggo serta Tulungagung
(Jatim). Dan industri gelas yang terdapat di Surabaya, Jakarta, Medan, dan Semarang. Pabrik bata tahan
api dan semen api serta chamotte terdapat di Bandung, Mayong, Surabaya dan Malang. Industri bahan
bangunan dari keramik terdapat di Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Malang, Tangerang, Bandung,
Kebumen, Medan, Ujung Pandang, Belitung dan Bogor.
Barang-barang pecah-belah seperti peralatan rumah tangga yang berupa piring, gelas-cangkir
atau benda tableware mencapai puncak pemasaran atau “Boom” pada tahun 1973 dan 1977. Barang-
barang saniter mencapai puncak penjualan atau “Booming” pada tahun 1980. Sedangkan puncak
pemasaran ubin keramik (tegel dinding dan lantai) pada tahun 1977 dan 1982. Dengan meningkat dan
pesatnya perkembangan industri keramik, maka pada tahun 1980 Balai Penelitian Keramik di Bandung
ditingkatkan pula menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen
Perindustrian R.I. yang disingkat BBK Bandung.
Dalam kurun waktu dua dasawarsa yang terakhir, sejalan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi, maka produk-produk keramik tidaklah begitu tertinggal dengan industri bidang yang berbeda.
Pembangunan dengan penekanan pada ekonomi ( PELITA Ketiga) dan pada industri (PELITA
Keempat) memberikan dampak yang sangat luas dan positif kepada peningkatan pendapatan, kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat. Ini memberikan pengaruh terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat,
yaitu pembangunan rumah dan gedung-gedung yang juga berkembang, desain-desain baru dengan mutu
barang lebih baik serta kebutuhan akan cita-rasa “seni” atau keindahan yang lebih tinggi dan meningkat.
Masyarakat sejak tahun 1976 -1977 sudah memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang keramik
dari perkotaan hingga ke pedesaan.

Penggunaan Keramik Pada Gedung dan Toilet Umum


di Gedung DPRD DKI Jakarta

Menurut data dari ASAKI pada tahun 1984 orang Indonesia mengkonsumsi keramik 1,3
kilogram pertahun. Sedangkan negara maju mencapai 10 sampai 20 kilogram pertahun. Pada tahun 1983
telah diproduksi 13,3 juta meter persegi ubin untuk lantai dan dinding. Dan pada tahun 1984 tercatat
650.000 unit saniter yang diproduksi oleh 13 pabrik keramik keperluan bangunan yang tergabung dalam
ASAKI dengan menyerap tenaga kerja 15.000 orang. Pabrik yang cukup besar diantaranya adalah Lucky
yang memproduksi keramik pecah-belah sebanyak 167 juta buah pada tahun 1972. Pabrik lainnya yang
cukup besar adalah Jatikusuma Indah di Sidoarjo, Serinco Djaya Marmer Industries atau Super Italia,
Industri Keramik Mutiara, Asia Victory Industri atau Asia Tile, Keramik Diamond Indah, Mulia
Ceramics, Danto Indonesia (DIT) dengan merek DK, Saki dan Paolo di Probolinggo, Ina Seito (kerjasama
Jepang), Indo American Ceramics (kerjasama KIA dengan American Standart) dan Industri Keramik
Angsa Daya atau IKAD.
Teknologi telah membawa kemajuan-kemajuan, banyak mesin-mesin industri yang dirancang di
dalam negeri dengan mutu yang baik, seperti ballmill, mesin press, extruder, brander, tungku dan lain
sebagainya. Kini hasil-hasil industri keramik produksi Indonesia telah banyak diekspor ke berbagai
negara dengan mutu standar, eperti Singapura, Hongkong, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Italia,
Belanda, RRC, Inggris, Malaysia, Negara Timur Tengah dan lainnya.
Yang menarik dari hasil industri keramik untuk bangunan ini adalah pembangunan proyek Teater
IMAX Keong Emas di Taman Mini Indonesia Indah, dimana tegel untuk melapisi dinding yang
berbentuk keong dengan struktur yang rumit. Ide Tien Suharto ini didukung Joop Ave untuk memberi
lukisan pada tegel keramik dengan teknologi granito berujud Legenda Keong Emas yang bekerjasama
dengan seniman dan pelukis Soekirno dan Adam Lay. Kemampuan orang Indonesia membuat keramik-
lukisan yang pertama dan besar itu, membuat ahli keramik dari Italia heran dan kagum, sehingga dapat
dianggap sebagai karya “masterpiece” Tekman dari Keramik Diamond. Setelah sukses dengan Keong
Emas yang besarnya 10 X 15 meter itu, keramik Diamond menangani karya yang lebih besar lagi dengan
luas 496 meter persegi yang telah menghiasi bagian depan dari gedung Graha Pemuda di Senayan Jakarta.
Keduanya merupakan karya agung bangsa Indonesia yang memperoleh pengakuan International, karena
pembuatannya harus menguasai seni dan teknologi secara baik dan merupakan suatu kerjasama yang
kompak dan serasi.
Perusahaan Korea Selatan yang terkenal, yaitu Han Kook Chinaware Ltd., telah melakukan
investasi di Indenesia dengan memproduksi keramik rumah tangga yang bahan-bahannya memanfaatkan
campuran tanah liat dengan tulang-belulang sapi. Melalui fasilitas PMA lalu menjadi PT Han Kook
Ceramik Indonesia ( HCI ), sebagai industri keramik yang pertama di Indonesia dan yang kedelapan di
Dunia yang memanfaatkan tulang sapi. Adapun ketujuh negara lainnya yang memanfaatkan tulang adalah
seperti Inggris, Jerman, Cina, Perancis, Swedia, Jepang dan Korea sendiri. Pabrik ini dibangun pada bulan
Agustus 1991 di Tangerang, Jawa Barat dan produksi pertamanya dimulai bulan Agustus 1992 dengan
perincian 65% hasil produksi untuk pasar luar negeri dan 35 % untuk dalam negeri. Pasar luar negeri yang
potensial adalah Norwegia, Afganistan, Korea, Taiwan, Australia, Singapura, Nigeria, USA, Swedia dan
Italia. Komposisi kepemilikan modal HCI ini adalah 80% Han Kook Chinaware dan 20% oleh PT.
Indomas Tata Perdana. Perusahaan HCI ini juga melakukan transfer teknologi, dengan mengirimkan
tenaga sebanyak 60 orang untuk belajar dan bekerja setiap angkatan ke Korea.

Lukisan Tangan Di Atas Keramik Pada Gedung Graha Pemuda Jakarta


Keramik Diamond Untuk Eksterior Teater Imax “Keong Emas” Jakarta

B. Organisasi dan Lembaga Profesional

Pada tahun 1972 hingga tahun 1986 terbentuk beberapa organisasi seperti asosiasi, himpunan,
kelompok atau group serta lembaga baru dibidang perkeramikan antara lain sebagai berikut:

a. ASAKI

Asosiasi Aneka Keramik Indonesia yang disingkat ASAKI, terbentuk pada tanggal 22
Nopember 1972 di Kota Bandung. Kelahirannya diprakarsai oleh Danubroto yang saat itu menjadi
pimpinan Balai Keramik Indonesia. Pada saat itu industri keramik belumlah berkembang seperti
sekarang ini dan anggotanya terdiri dari para pejabat pemerintah, Institut Riset yang ada dan pengusaha
industri keramik yang masih langka. Ketua ASAKI yang pertama adalah Danubroto sendiri dengan
Komisaris terdiri dari wakil-wakil pabrik keramik dan institusi pemerintah terkait dengan industri
keramik. ASAKI menjadi anggota Ceramic Industrial Club of Asean ( CICA ) pada bulan Desember
1980. Pada bulan September 1981 berhasil memilih ketrua baru di bawah pimpinan Ir.Thamrin Tedja
dari KIA. Kini anggota ASAKI sudah lebih di atas 100-an perusahaan keramik yang memproduksi bata
api, mosaik, genteng, keramik dinding dan lantai, saniter, peralatan rumah tangga, super bata, refraktory,
kaca-gelas, keramik teknis, keramik hias, prototype, eksprerimen produk (riset) dan desain keramik.

b. The Geoceramic Group

Di samping ASAKI, terdapat pula suatu kelompok perhimpunan ahli-ahli keramik yang disebut
“The Geoceramic Goup” yang diketuai oleh Ir. Herman Setyadi, alumni Institut Teknologi Bandung.
Perkumpulan ahli-ahli ini menyiapkan data-data keramik dan menyusun data sumber daya alam (SDA)
serta data sumber daya manusia (SDM) untuk meningkatkan dan mengembangkan dunia perkeramikan
Indonesia.

c. Himpunan Keramik Indonesia

Himpunan Keramik Indonesia atau ( HKI ) dibentuk pada tanggal 30 Oktober 1973. perintis
HKI adalah kolektor Museum Adam Malik yang bernama Sumarah Adhyatman, seorang ahli keramik
kuno. HKI bernaung di bawah Yayasan Derita Cita dimana ketua kehormatannya semula dipegang oleh
Adam Malik (alm; Mantan Wapres RI). Ketua harian himpinan ini diserahkan kepada Sumarah
Adhyatman. Tujuan dari himpunan ini adalah untuk menggalakkan minat dan perhatian masyarakat pada
keramik seni dan terutama pada keramik kuno di Indonesia dengan menyelenggarakan pameran-pameran
dan penerbitan buku-buku tentang keramik.

d. BPPT-UPT PSTKP BALI

Bermula dari keinginan dan usaha pemerintah untuk mewujudkan ide pelestarian seni budaya
Bali melalui keramik tahun 1980-an, maka didirikanlah suatu lembaga resmi yang diberi nama Pusat
Penelitian dan Pengembangan Seni Keramik dan Porselin Bali atau disingkat P3SKP-Bali. Lembaga
ini bertujuan untuk membina dan mengarahkan pemanfaatan potensi seni keramik Bali yang ada.
Disamping itu guna meningkatkan kegiatan dari masyarakat perajin dalam rangka memperkuat
kepribadian dan kebanggan nasional yang dapat pula menunjang kegiatan pariwisata dan ekspor
komoditi. P3SKP-Bali didirikan atas gagasan dari Menteri Ristek / Ketua BPP. Teknologi Prof. DR. B.J.
Habibie, Gubernur KDH Tk.I Provinsi Bali Prof. DR. Ida Bagus Mantra dan Rektor Universitas
Udayana Prof. Dr. Ida Bagus Oka. Peletakan batu pertama dari pembangunan sarana dan prasarana
lembaga ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1981 oleh Menristek yaitu Prof. DR. B.J. Habibie dan
operasional dimulai bulan September 1982, dengan fasilitas dari BPPT, Pemda Bali, Departemen
Perindustrian dan tenaga pelaksana dari Universitas Udayana. P3SKP-Bali dibangun di pulau kecil
bernama Tanah Kilap, termasuk kawasan Desa Suwung Kauh, Denpasar. Ketua pelaksana pertama adalah
Drs. I Made Yasana, staf pengajar Jurusan Kriya Keramik di PSSRD Universitas Udayana. Kini
lembaga ini dikelola murni dari BPPT dan ditingkatkan menjadi Unit Pelayanan Teknis atau UPT-
PSTKP Bali, yang melayani sampai wilayah Nusa Tenggara dan mahasiswa kerja praktek dari Program
Studi Keramik FSRD-ISI Denpasar . Kini embaga ini berubah menjadi Balai Teknologi Industri Kreatif
Keramik (BTIKK).

Penulis Bersama Staf BTIKK


e. Panitia Nasional Mineral dan Alumunium Silikat

Pada tahun 1986 telah terbentuk Panitia Nasional Mineral dan Alumunium Silikat, yang berpusat
di BPPT dan bekerjasama dengan Departemen atau Kementerian Ristek Dikti, Perindustrian dan
Kebudayaan serta Depdagri.

C. Pendidikan Keramik

Pendidikan keramik sebenarnya telah bisa dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah
Lanjutan Pertama (SMP) dan Sekolah Lanjutan Atas (SMA) yang dimasukkan dalam mata pelajaran
“membentuk” atau “keterampilan” atau “senirupa”, baik dalam kurikulum maupun dalam bentuk ekstra
kurikuler. Disamping itu, disamping itu juga terdapat sekolah lanjutan atas yang khusus dibidang ini yaitu
Sekolah Menengah Industri Keramik (SMIK) dan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) yang sekarang
masuk kelompok Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Penciptaan bentuk / wujud keramik ada
hubungannya dengan konsep “Seni” khususnya “senirupa”, karena menyangkut cara penyusunan unsur –
unsur sat – mata (elemen visual) dan latar belakang atau tujuan dari pembuatan keramik yang
menyangkut fungsi, bahan, ekspresi dan kreativitas. Berdasarkan hal tersebut keramik juga merupakan
pendidikan ketrampilan atau kriya, seni dan desain.

Aktivitas Praktek Keramik


SMKN 2 / SMIK
Batu Bulan Gianyar-Bali

Dari sudut ilmu pengetahuan (Iptek), keramik bisa digolongkan dalam lingkup Silika Enjinering (Teknik
Kimia) karena bahan materialnya merupakan titik pusat perhatian dan karakteristiknya. Bisa digolongkan
dalam lingkup Fisika Enjinering (Fisika Teknik) bila ditinjau dari cara pemanasan/pembakaran. Dengan
demikian pengetahuan ilmu keramik telah masuk dalam lingkup bidang Teknik dan MIPA tetapi tidak
secara khusus dan merupakan bagian kecil dari ilmu kimia dan fisika. Iptek material yang kini
meneropong berbagai segi keramik modern, dari bahan mentah, bahan baku, pemrosesan sampai dengan
analisis dan penerapannya untuk rekayasa teknologi mutakhir. Juga menyangkut teknik mikroskopi, sinar,
analisis permukaan atas pemrosesan dan simakan retakan – patahan, serta berbagai terapannya.
Pendidikan tinggi keramik di Indonesia cenderung berada dalam lingkup pendidikan senirupa, karena
ilmu bahan dan teknologi keramik di indonesia tertinggal jauh dengan Dunia Barat serta kurang
menonjol. Disamping itu ilmu senirupa yang cukup kaya dengan seni tradisional Indonesia sangat lumrah
memasukan keramik kedalam lingkup perguruan tinggi seni, senirupa, kriya dan desain. Disamping itu
dalam ilmu pendidikan, keramik dimasukan dalam lingkup sastra dan seni. Perguruan tinggi yang
mengelola program studi keramik diantaranya adalah ITB, ISI Yogyakarta, Universitas Yogyakarta
(UNY), ISI Surakarta, Universitas Ganesha, Universitas Udayana Denpasar, Universitas Trisakti Jakarta,
Institut Kesenian Jakarta, Universitas Sebelas Maret Surakarta, IKIP Bandung, IKIP Padang, IKIP
Semarang, IKIP Jakarta, IKIP surabaya, IKIP medan, IKIP Malang, IKIP Ujung Pandang, ISI Denpasar
(gabungan STSI Denpasar dengan PSSRD Universitas Udayana), STISI Bandung, dll.

1) Institut Teknologi Bandung (ITB)

Bermula dari tahun 1947 yang dirintis oleh Simon Admiral dan Ries Mulder (Seniman Belanda)
sebagai usulan untuk menebus tindakan Belanda dawaktu lalu dalam pemjajahan kolonial. Konsep
Admiral dianggap cocok untuk bangsa Indonesia maka Ia ditugaskan untuk mempersiapan pendidikan
tersebut. Tepatnya tanggal 1 Agustus 1947 diresmikanlah dengan nama “Universitaire Leergang Voor de
Opleiding van Tekenleraren” yang kemudian diganti dengan nama “Balai Pendidikan Universiter Guru
Gambar”, ditempatkan pada: Faculteit Voor de Technische Wetenschappen” atau Fakultas Ilmu
Pengetahuan dan Teknik Universitas Indonesia di Bandung, dibantu oleh tenaga pengajar Ries Mulder,
Jack Zeylemaker, Hopinan, Piet Pijpers, Hans Frans, Prof. Frielman dan Prof. Bernett Kempers,
serta Prof. Sjafei Sumardja. Pendidikan ini berkembang dan menyandang nama baru sebagai Seksi Seni
Rupa, Bagian Arsitektur dan Seni Rupa dari Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, yaitu pada tahun
1956 di ketuai oleh Prof. Sjafei Sumardja dan berkedudukan di Bandung. Keabsahan pendidikan guru
gambar ini berlanjut dan perkembangan berikutnya diintegrasikan kedalam Fakultas Keguruan (IKIP)
jurusan senirupa, di berbagai daerah. Menyesuaikan dengan institusi yang baru sebagai lembaga yang
mandiri, maka pada tanggal 2 Pebruari 1959 diresmikanlah Institut Teknologi Bandung. Perkembangan
selanjutnya tahun 1973 Dpartemen Seni Rupa menjadi Jurusan Senirupa ITB dibawah Fakultas Teknik
Sipil dan Percanaan. Seni Rupa ITB yang telah mengalami berbagai status dari Balai menjadi Seksi,
kemudian menjadi Bagian, Departemen dan Jurusan. Bidang keahlian seni keramik mulai dikembangkan
di Seni Rupa ITB pada tahun 1963 yang dibina oleh Prof. Drs. Edie Kartasubarna dan Drs. Angkama
S, waktu itu sebagai Jurusan Keramik. Dan tahun 1973 Jurusan diganti menjadi “studio”, mengkuti
reorganisasi di ITB mengikuti waktu studi 4½ tahun. Berdasarkan PP.No. 5 tahun 1980 dan SK.
Mendikbud No. 0211/4/1982 status Seni Rupa ITB ditingkatkan menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain -
ITB dengan Dekan Prof. Drs. A. D. Pirous. Keramik di ITB termasuk dalam kelompok jurusan seni
murni, PS. Seni Keramik, cenderung mengolah bentuk untuk tujuan ekspresi dan penelitian. Selain di
Seni Rupa ITB, ilmu keramik juga masuk dalam bagian teknik kimia dan teknik fisika serta planologi.
Alamat : Jl. Ganesha 10 Bandung

2) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta

Akademi Seni Rupa Indonesia dengan SK. Menteri PP. dan K Nomor 32/Kebudayaan tanggal 15
Desember 1949 dan peresmiannya pada tanggal 15 Januari 1950 langsung oleh Menteri P.P. dan K.S.,
Mangunsarkoro, yang disingkat “ASRI”. Pemrakarsa pendiriannya adalah S.Mangunsarkoro dan
R.J.Katamsi, Direktur Kursus Guru Gambar yang memiliki “Middlebare Akte” dari negeri Belanda
seperti halnya Syafei Sumardja dari Bandung dan Soemarno dari Jawa Timur. R.J.Katamsi dibantu oleh
Djayeng Asmara yang waktu itu sebagai ketua dari Persatuan Tenaga Pelukis Indonesia. Perkembangan
selanjutnya dengan SK. Menteri P dan K No: 100/1968, tanggal 4 Nopember 1968, stautusnya meningkat
menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia dan nama ASRI masih melekat atau disingkat
STSRI”ASRI”. Program Studi Keramik masuk pada Jurusan Desain Kriya. Kini STSRI”ASRI”
meningkat statusnya menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan PS. Keramik dibawah
Jurusan Kriya dari Fakultas Seni Rupa dan Desain.

3) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar

Institut Seni Indonesia Denpasar adalah gabungan dua intitusi pendidikan tinggi seni yang ada di
Bali yaitu PSSRD Universitas Udayana dan STSI Denpasar.
Pada tanggal 1 Agustus 1965 didirikan Fakultas Tenik Seni Rupa yang bernaung di bawah
Universitas Udayana. Tanggal 20 Oktober 1965 dengan SK Menteri PTIP R.I. No:240/Sek/PU/1965
Jurusan Senirupa bersama Jurusan Arsitektur disyahkan menjadi Fakultas Teknik. Lalu Seni Rupa dan
Desain dipisahkan menjadi PSSRD sebagai progran studi antar fakultas atau embrio Fakultas Senirupa
dan Desain yang pengelolaannya di bawah Rektor dengan SK. 482/SKPT.17/R/VIII/1983, tanggal 16 Mei
1983 dan SK. Dirjen Dikti No.55/Dikti/Kep/1984. Dan Program Studi Keramik di bawah Jurusan Kriya
Seni, PSSRD Universitas Udayana. Para pendiri dan pemrakarsa Seni Rupa Unud adalah Prof. DR. I B
Mantra, Prof. Dr. R Moerdowo, Abdul Azis, dll. Pada tahun 1980 lembaga ini dipimpin Prof. Drs. A.A.
Rai Kalam.
Pada tanggal 28 Januari 1967 didirikan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar dengan SK.
Gubernur Bali No: 2/PEM/5/I/A/1967 atas prakarsa Listibya Bali. Departemen P dan K dengan No:
066/1969, tanggal 17 Agustus 1969 dinyatakan sebagai salah satu Jurusan dari ASTI Yogyakarta.
Dengan Kepres R.I. No. 22 tahun 1992 ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (
STSI ) Denpasar dan memiliki empat jurusan yaitu Seni tari, Kerawitan, Pedalangan, Seni Rupa dan
Kriya yang dipimpin oleh Prof. Dr. I Made Bandem, dilanjutkan oleh Prof. DR. Dibya dan Prof. DR. I
Wayan Rai. S., MA. Lalu oleh Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum. Studi keramik pada
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar masuk pada bidang keahlian Kriya Seni.

Gedung Rektorat Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar - Bali

Studio Keramik & Karya Mahasiswa


Program Studi Kriya Seni, FSRD – ISI Denpasar
Melalui keputusan Presiden RI, No: 33/2003, tertanggal 26 Mei 2003, STSI Denpasar
berintegrasi dengan PSSRD Universitas Udayana Denpasar menjadi Institut Seni Indonesia (ISI)
Denpasar. Peresmian ISI Denpasar pada tanggal 28 Juli 2003 oleh Menteri Pendidikan Nasional RI,
Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar, M.Sc. Dan Pejabat Rektor ISI Denpasar adalah Prof, DR. I Wayan
Rai S., MA. Alamat Kampus: Jl. Nusa Indah Denpasar, Telp. 0361-227316 / Fax. 0361-236100.

4) Universitas Trisakti Jakarta

Jurusan Seni Rupa, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti yang berlokasi di
Jakarta ini didirikan pada tahun 1969. Pada saat diresmikan bernama Departemen Seni Rupa. Universitas
ini adalah swasta dibawah Yayasan Trisakti. Pemrakarsa Jurusan Seni Rupa adalah Drs. Ferry Sonnevile
sebagai ketua Yayasan, Ir.Pujono Hardjoprakoso dan Drs. Pamudji Suptandar serta Drs. Soekarno.
Ketua pertamanya adalah Drs. Soekarno. Studi keramik masuk dalam program Desain Produk
Industri, dimana salah satunya programnya adalah memanfaatkan bahan keramik untuk produk-produk
industri yang sedang berkembang . Alamat : Jl. Kyai Tapa, Grogol, Jakarta.

5) Institut Kesenian Jakarta

Pada tanggal 26 Juni 1978 Departemen Seni Rupa ini di bawak Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta (LPKJ). Pemrakarsa pendidikan ini datang dari seniman Jakarta dan secara resmi oleh Dewan
Kesenian Jakarta sehingga keluarlah SK. Gubernur D.K.I. Jakarta No: Cb 14/4/70, tertanggal 26 Juni
1970. Namun sejak tahun 1981 lembaga ini di bawah Yayasan IKJ dan secara resmi menjadi Jurusan
Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta, sebagai pendidikan tinggi swasta di bawah Kopertis III.
Pimpinan pertamanya adalah Drs. Popo Iskandar. IKJ merupakan program non-gelar yang
menghasilkan seniman-seniman profesional. Kemudian meningkat Jurusan Seni Rupa menjadi Fakultas
dengan program S1. Di Seni Rupa IKJ, terdapat “Studio Keramik” yang dipimpin oleh Dra. Hildawati
Siddharta, satu diantara 7 studio yang ada.
Alamat: Kompleks Taman Ismail Marzuki ( TIM ), Jl. Cikini Raya 73 Jakpus.
6) Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurusan Seni Rupa yang berada dilingkungan Fakultas Sastra Budaya Universitas Sebelas Maret
didirikan pada tanggal 11 Maret 1976. Pemrakarsanya adalah Sumari Wongsoprawiro, Marjuki Mahdi
SH, Ir. Rokhim Wirjomijoyo, DR. Sucipto, DR. Slamet dan DR. Suwarso. Sejak tanggal 1 April 1983
menjadi Jurusan Seni Murni, Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, program S1 ini menjalankan
yang menggarap studi keramik dalam Program Studi Kriya.

7) Sekolah Tinggi Senirupa & Desain Indonesia Bandung

Sekolah Tinggi Senirupa dan Desain Indonesia Bandung yang disebut STISI Bandung ini
mempunyai 4 bidang keahlian, salah satunya mengolah desain produk atau kriya, dan program keramik
berada di dalamnya. Dengan tenaga pengajar dari ITB-SR. Alamat: Jl. Soekarno Hatta 581 Bandung.

8) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan , berada di bawah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni ( FPBS )
tersebar di Indonesia . IKIP Bandung ( 1961 di Unpad dan resmi 1982) alamat: Setyabudi 299 Bandung;
IKIP Jakarta (16 Mei 1964) alamat: Jl. Rawamangun Jakarta; IKIP Padang ( 1 Juli 1963 di Univ.
Andalas dan resmi 1 September 1980); IKIP Semarang ( 1963) Alamat: Kelut Utara III Semarang. IKIP
Surabaya (1964) alamat Jl. Ketintang Surabaya; IKIP Medan (1967) alamat: Jl. Merbau No.38 A
Medan; IKIP Malang (1968) Alamat : Jl. Semarang, Malang; IKIP Ujung Pandang (1 Januari 1969)
Alamat: Gunungsari Ujung Pandang; Dan IKIP Singaraja-Bali. Keahlian keramik tidak dipelajari
secara khusus, tetapi ilmu keramik masuk dalam paket mata kuliah bersama-sama dengan keahlian
senirupa lainnya. Atau menjadi salah satu mata kuliah pilihan.

Pameran Keramik Seni Murni atau “Keramik Ekspresi” Dari Mahasiwa ITB Bandung Pada Tanggal 13-18
Maret 1989 Di Pusat Kebudayan Jepang, Summitmas Tower
Dan Pameran Keramik Kelompok Bandung di Pusat Kebudayan Prancis Tahun 1984

PUSTAKA

Ardana, AA Putu., 1993, Tumbuh Kembangnya Kerajinan Gerabah Binoh, Skripsi, PSSRD Univ.
Udayana, Denpasar
Bastomi, Suwaji ,1986, Seni Kria Apresiasi dan Perkembangannya, Penerbit IKIP Semarang Press,
Semarang
Bahriyah, Sulih Indra, 1997, Perkembangan Keramik Cendramata Dinoyo Malang, Skripsi PSSRD
Univ. Udayana, Denpasar
Bagiotomo, Untung, 1994, Perkembangan Desain dan Motif Keramik Tradisional Kasongan, Skripsi,
PSSRD Univ. Udayana, Denpasar
Dep. Perindustrian, 1986, Gema Industri Kecil, Dirjen Industri Kecil, Jakarta
Goris,R.,1953, Atlas Kebudayaan, Pemerintah RI, Jakarta
Hildawati, 1971, Keramik Pada Zaman Majapahit, Skripsi SR-ITB, Bandung
Herman, Lloyd E., Porselen Amerika: Berbagai Pengungkapan Baru dalam Suatu Kesenian Kuno,
Badan Penerangan Amerika Serikat
Jurnal Seni Rupa dan Desain, 1999-2003, Prabangkara, ISSN 1412-0380, Vol 1-6, No.1-8, PSSRD
Univ. Udayana, Denpasar
Jurnal Ilmiah, 2003, Dinamika Kebudayaan, ISSN 1411-1608, Akreditasi, Vol.V,No.2, Lembaga
Penelitian Univ. Udayana, Denpasar
Komite Seni Rupa DKJ, 1984, Seni Rupa, Berkala No. 4, Jakarta
Kempers, AJB., 1960, Bali Purbakala, PT. Ichtiar, Jakarta
Mayer, Ralph, 1969, A Dictionary of Art Term & Techniques, Adan & Charler Black Ltd, London
Murdowo, 1963, Seni Budaya Bali-Balinese Art and Culture, Jakarta
Mustafa, 1997, Keramik Tradisional Bima dan Pengembangannya, Skripsi, PSSRD Univ. Udayana,
Denpasar
Nelson, Glenn C.,1960, Ceramics, Holt Rinehart and Winston Inc, USA
Yuliman, sanento, dkk, 1983, Lingkup Seni Rupa : Kumpulan Karangan Tentang Cabang-cabang
Seni Rupa, ITB, Bandung
Soedarso, Sp., 1988, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Suku Dayar San,
Yogyakarta
Setiawan, I Ketut Japa, 1996, Perkembangan Keramik Figuratif di Desa Pejaten, Skripsi, PSSRD
Univ. Udayana, Denpasar
Sugriwa, I Gst Bagus, 1957, Dasar-dasar Kesenian Bali, Pemda Tk.I Bali, Denpasar
Suartini, Luh, 1988, Keramik Tradisional Gaya Kuturan Sebagai Penunjang Tata seni Taman,
Skripsi, PSSRD Univ. Udayana, Denpasar
Susilawati, Dwi, 1977, Perkembanan Desain dan Motif Keramik Lombok, Skripsi, PSSRD Univ.
Udayana, Denpasar
Utomo, Agus Mulyadi, 1995, Tinjauan Keramik Kuno Indonesia, PSSRD Univ. Udayana, Denpasar
Volker.T,1954, Porcelain and The Dutch East India Company, Leiden

Anda mungkin juga menyukai