Anda di halaman 1dari 13

PRASASTI-PRASASTI PENINGGALAN

HINDU-BUDDHA
1.PRASASTI CIDANGHIANG (LEBAK)

Prasasti Cidanghiang adalah salah satu prasasti yang berasal dari


kerajaan Tarumanagara dan terletak di wilayah Pandeglang, Banten.
Prasasti Cidanghiang terletak di tepi aliran (Sungai) Ci Danghiang di
Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Koordinat
prasasti ini adalah 0°55’40,54” BB dan 6°38,27’57” LS dari arah

Prasasti Cidanghiang dilaporkan pertama kali oleh Toebagus Roesjan


kepada Dinas Purbakala pada tahun 1947 (OV 1949:10), tetapi baru
diteliti pertama kali tahun 1954.[1] Prasasti Cidanghiang ditulis dalam
aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta
dengan metrum anustubh (bentuk aksaranya mirip dengan yang
digoreskan pada Prasasti Tugu dari periode yang sama) (de Casparis dan
Boechari, 1954). Prasasti ini ditulis menggunakan teknik pahat dengan
kedalaman goresan kurang dari 0,5 cm sehingga antara permukaan
batu dengan tulisan memiliki kehalusan permukaan yang hampir sama.
Prasasti Cidanghiang dipahat pada permukaan batu andesit dengan
ukuran 3,2 x 2,25 meter.

Aksara:Vikranto ‘yam vanipateh/ prabhuh satyapara (k) ra (mah)


narendraddhvajabhutena/ srimatah purnnavarmmannah.

Terjemahan"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian


yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang
menjadi panji sekalian raja-raja.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Cidanghiang

2. PRASASTI TUGU
Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan
Tarumanagara. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian
Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai
Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan
gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang
sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan
kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam
bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang
terdiri dari lima baris melingkar mengikuti bentuk permukaan
batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa
Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan
pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada analisis gaya dan
bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis
tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan
abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti
Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang
pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah
orang yang sama.
Teks:pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim
prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa
narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla
trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya
gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo
sahasrena prayati krtadaksina//

Terjemahan:“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali


oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat
yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali
(saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada
tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-
kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-
panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula
menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati
namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di
tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja
Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-
gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan
Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran
galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan
oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

Lokasi asal Prasasti Tugu ketika ditemukan adalah di Kampung


Batutumbuh, Desa Tugu, tepatnya pada koordinat 6°07’45,40”LS dan
0°06’34,05” BT dari Jakarta (lk. 06°07′45.4″LS 106°55′04.6″BT di sekitar
Simpang Lima Semper sekarang, tidak jauh dari tepian Kali Cakung),
yang sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu Selatan, kecamatan
Koja, Jakarta Utara. Kini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional
Indonesia di Jakarta.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Tugu

3. PRASASTI TELAGA BATU


Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak
jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang,
Sumatra Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan
prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang
keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun
sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra.
Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut
kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah
dibentuk sebagaimana layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi
118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan 7 (tujuh)
ekor kepala ular kobra (Ludai), dan di bagian bawah tengah terdapat
semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pemandian. Tulisan
pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa Melayu, dan
berbahasa Melayu Kuno.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Telaga_Batu

4. PRASASTI SOJOMERTO
Prasasti Sojomerto merupakan batu bertulis peninggalan Wangsa
Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban,
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan
berbahasa Melayu Kuno. Meskipun prasasti ini tidak
menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis
paleografi oleh Boechari (1966) diperkirakan berasal dari kurun
akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi[1]. Kronologi
menurut Boechari ini disanggah oleh Damais, yang menyatakan
bahwa usia penulisan prasasti lebih muda (l.k. abad ke-10).
Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 45 cm,
tebal 30 cm, dan tinggi 80 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang
sebagian barisnya rusak terkikis usia. Posisinya sampai tahun 2021
berada di halaman rumah warga dan dipagari
Alih aksara prasasti:

... – ryayon çrî sata ...

... _ â kotî
... namah ççîvaya
bhatâra parameçva
ra sarvva daiva ku samvah hiya
– mih inan –is-ânda dapû
nta selendra namah santanû
namânda bâpanda bhadravati
namanda ayanda sampûla
namanda vininda selendra namah
mamâgappâsar lempewângih

Terjemahan:
Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-
dewa
... dari yang mulia Dapunta Selendra
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya,
Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Sojomerto

5. PRASASTI NGANTANG
Prasasti Hantang, atau biasa disebut Prasasti Ngantang, adalah
sebuah prasasti batu yang ditemukan di wilayah Ngantang,
Malang, Jawa Timur. Prasasti ini memiliki candrasengkala tahun
1057 Saka (atau 1135 M). Prasasti ini ditulis menggunakan aksara
dan bahasa Kawi atau Jawa kuno. Di dalam prasasti Ngantang
terdapat keistimewaan, yaitu adanya tulisan dengan huruf
kuadrat yang besar melintang di tengah cap kerajaan bergambar
Narasingha berupa sebuah semboyan Panjalu Jayati, yang berarti
Kadiri Menang.
Isi prasasti memuat perincian anugerah hak-hak istimewa kepada
penduduk Desa Hantang. Pemberian prasasti ini karena penduduk
Desa Hantang dengan 12 dukuh yang masuk dalam wilayahnya
datang menghadap raja dengan perantara Mpu Naiyayikarsana,
dengan memohon agar prasasti yang ada pada mereka sebagai
anugerah raja yang didharmakan di Gajapada dan di Nagapuspa
yang ditulis di atas daun lontar (ripta) dapat dipindahkan ke atas
batu (linggapala), dan ditambahkan dengan anugerah Raja
Jayabaya sendiri.
Permohonan tersebut dikabulkan oleh Raja Jayabaya, mengingat
bahwa penduduk Hantang telah memperlihatkan kebaktian yang
bersungguh-sungguh kepada raja, yang dibuktikan dengan telah
diserahkannya cancu tan pamusuh dan cancu ragadaha, serta
pada waktu ada usaha memisahkan diri (perang perebutan tahta)
mereka tetap setia memihak kepada raja.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Ngantang

Anda mungkin juga menyukai