Kalau pernah dengar kata “Eran Dilangi’”, yang artinya “Tangga dari dan ke langit”,
dipercaya bahwa leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, cerita ini
tetap melegenda secara lisan di kalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek
moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari
nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai akses untuk berkomunikasi dengan Puang Matua
(Tuhan Yang Maha Kuasa).
Namun berbeda dengan versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya
menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara
penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang
notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua
masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup
banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah <, kemudian para
imigran ini membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Menurut sejarah Toraja Tiap-tiap arroan itu dipimpin oleh seorang pemimpin yang
dinamakan yang dinamakan Ambe’ Arroan ( Ambe’= Bapak, Arroan = Kelompok manusia).
arroan-arroan atau kelompok-kelompok manusia itu tidak datang sekaligus. mereka datang
berangsur-angsur dan masing-masing arroan itu menempati menempati tempat tertentu untuk
menyusun persekutuan keluarga masing-masing dibawah pimpinan ambe’ arroan.
Lama kelamaan keluarga atau anggota dari arroan-arroan ini bertambah banyak dan perlu
mempunyai tempat tinggal yang lebih luas. sehingga merekah terpecah-pecah/tersebar pergi
mencari tempat masing-masing dalam bentuk keluarga kecil yang dinamai
Pararrak (Pencaran/Penjelajah) dengan dipimpin oleh seorang kepala/pemimpin pararrak
yang di namai Pong Pararrak(Pong = Utama) yang artinya kepala pememimpin penjelajah.
Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran kelompok-kelombok keluarga
Arroan dan Pararrak ini maka seluruh pelosok pegunungan dan dataran tinggi sudah terdapat
penguasa-penguasa kecil dari penguasa Ambe' atau Pong yang perkembangannya sangat
nyata dimasyarakat Toraja disamping Gelar-gelar yang lainnya.
Lama kelamaan kelompok kelompok kecil ini (Pararrak) menjadi besar serta anggotanya
semakin banyak dan mereka berkuasa dimasing-masing tempat mereka berkuasa. dan mereka
mempunyai pemerintahan sendiri seperti arroan yang dinamakan pula Pong Arroan.
Beberapa kelompok Arroan dan Pararrak menyebar jauh ke utara hingga mencapai Rantepao
kemudian semakin menyebar ke bagian utara Rantepao.
Ada juga kelompok arroan yang menyebar lebih jauh lagi ke Galumpang, Makki(Mamuju),
Pantilang, Rongkong, Seko(Luwu), Suppirang(Pinrang), dan Mamasa.
Beberapa waktu kemudian,datanglah kelompok-kelompok baru dengan masing-masing
kelompok dipimpin oleh seseorang yang diberi gelar Puang. Puang dari kata puang Lembang,
disebutkan sebagai pemilik. Puang=pemilik, Lembang=kapal. Kemungkina besar juga masih
berasal dari daerah yang sama dengan kelompok Arroan, yakni dari Indochina.
Mereka datang dari arah selatan dengan perahu-perahunya dan pengikutnya melalui sungai.
setelah perahu mereka tidak lagi dapat melalui sungai karena air yang desar dan berbat-batu
maka sebagian manambatkan perahunya dan sebagian membongkar perahunya dan
membawa kerangkanya ke gunung tempat mereka akan tinggal bersama dengan pengikutnya
karena belum ada tempat bernaung sehingga mereka membuat rumah dari kerangka perahu
yang mereka bongkar itu. Dalam sejarah Toraja disebut tempat perkampungan yang pertama
dari Puang - Puang Lembang ialah Bamba Puang (Bamba = Pangkalan/Pusat, Puang = yang
memiliki ).
Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara
pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompok kecil di daerah Bambapuang.
Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang
ditempatinya, dan tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Pemilik Perahu) tetapi Puang
dari daerah yang dikuasainya misalnya :
Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka
timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut
daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan
terlebih dulu, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk
bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut Bongga
(Bongga = besar, hebat, dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat
di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang memiliki
kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa
Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.
Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini,
maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah
terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang
lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang
ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang
sudah ditempatinya.
Dari ketiga bagian cerita diaatas memang ada beberapa yang sama tapi saya tidak bisa
menyimpulkan secara pribadi, jadi bagi pembaca silahkan memilih cerita yang paling masuk
akal menurut anda karena sampai saat ini belum ada sejarawan yang mampu menyimpulkan
tentang asal usul orang toraja.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang
Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung
arti"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan" (Ditulis oleh penulis Eropa
Y.Kruit), sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang
berdiam di sebelah barat".
Disamping kedua kata tersebut diatas ada pula yang berpendapat bahwa nama Toraja berasal
dari nama seorang raja yang berasal dari Tondok Lepongan Bulan nama Puang Lakipadada
yang datang ke Gowa pada akhir abad ke-13.
Dalam sejarah Toraja Puang Lakipadada ini adalah seorang cucu dari seorang Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ atau anak dari Puang Sanda Boro dari istana/tongkonan Batu
Borong bagian sebelah selatan Tondok Lepongan Bulanana/tongkonan Batu Borong bagian
sebelah selatan Tondok Lepongan Bulan yang pergi mengembara, yang dalam sejarah dan
mitos Lakipadada mengtakan bahwa Lakipadada itu pergi mencari hidup abadi dan tiba2
terdampar di kerajaan Gowa sebagai orang yang tidak dikenal dan tidak diketahui dari mana
asalnya, hanya saja pada diri Lakipadada ini ada tanda2 diri Lakipadada ini ada tanda2 yang
meyakinkan bahwa beliau adalah keturunan Raja atau kerajaan yang besar.
Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa turunan/anak Raja yang tidak dikenal itu
berasal dari sebelah timur, sesuai dengan mitos asal raja2 di sulawesi-selatan, maka dengan
demikian menyebut Puang Lakipadada itu dengan nama Toraya, asal To atau Tau (orang),
Raya dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Berhubung Puang Lakipada ini berasal Tondok Lepongan Bulan, maka nama Tondok
Lepongan Bulan pun dinamai Tana Tau Raya yang kemudian menjadi Tana Toraja.
Dalam sejarah Toraja sejak dari zaman purba sampai pada abad ke-XII, Tana Toraja telah
mengalami 3 kali perubahan bentuk kekuasaan dan pemerintahan dengan gelar masing2 bagi
penguasa2nya karena mengikuti gelombang datangnya penguasa2 dari tiap gelombang itu
masing2 :
Penguasa yang pertama dengan gelar Ambe’ atau siambe’ Pong (berasal dari ambe Arroan
dan Pong Pararrak), maka terjadilah gelar siambe Pong misalnya :
• Siambe Pong Simpin
• Siambe Pong Tiku
• Siambe Pong Maramba’ dll
Penguasa kedua dengan gelar Puang sebagai penguasa yang terbentuk dari Bamba Puang
daerah Selatan Tana Toraja asalnya dari Puang Lembang yang setiap gelar penguasanya
disambung dengan nama Tongkonanna atau tempatnya yang dikuasai misalnya :
• Puang ri Buntu
• Puang ri Tabang
• Puang ri Barang dll
Penguasa yang ketiga dengan gelar Ma’dika yaitu gelar penguasa yang diciptakan oleh
Tangdilino’ penguasa pertama dari Banua Puan marinding yaitu seorang Puang yang
memerdekakan dirinya dari aturan dan kungkungan Puang dan kata Ma’dika ini
mungkinsekali berasal dari kata Maradika (merdeka=bebas). Misalnya :
• Ma’dika Simbuang
• Ma’dika Ulusalu
• Ma’dika Mamasa dll
Lama-kelamaan penyebutan Toraya berubah menjadi "Tana" berarti negeri dan "To Raja"
Berarti Para Raja , sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana
Toraja (Negeri Para Raja) sampai saat ini, yang sekarang dibagi menjadi 2 (Dua) Kabupaten
(Tana Toraja & Toraja Utara).
Selanjutnya saya tidak membahas masalah “Bagi Dua” karena saya yakin yang baca ini
sudah lahir dan bahkan lebih banyak tau tentang alasan kenapa sekarang dibagi menjadi
dua kabupaten, maklum saya kurang paham politik dan strategi pemerintahan.
Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo nama sebutan Tana Toraja sebelum muncul
nama Tana Toraja. Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’Allo nama sebutan Tana
Toraja (Tondok “negeri”, Lepongan “kebulatan/kesatuan”, Bulan “bulan”, Tana “negeri”,
Matari’ “bentuk”, Allo “matahari”), yang artinya “Negeri yang bulat seperti Bulan dan
Matahari”, Negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berke-Tuhan-an yang
merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/matahari, wilayah
daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat
dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Nama Lepongan Bulan atau Matari’ Allo adalah bersumber dari terbentuknya negeri ini
dalam suatu kebulatan / kesatuan tata masyarakat yang terbentuk berdasarkan :
1. Persekutuan atau kebulatan berdasarkan suatu ajaran Agama / Keyakinan yang
sama yang dinamakan Aluk Todolo, mempergunakan suatu aturan yang bersumber /
berpancar dari suatu sumber yaitu dari Neger Marinding Banua Puan yang dikenal
dengan Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna
(Aturan/Ajaran 7777)
2. Oleh beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu Aturan Dasar Adat dan
Budaya yang terpancar / bersumber dari satu Aturan.
3. Dibentuk oleh satu suku bangsa Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan
bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat
seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu Tongkonan tempat menciptakan
dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
Tongkonan Batu A'riri, yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini yang
mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan
tongkonan. Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan, hampir
seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi sehingga bisa
mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta banyak sudah Tongkonan
yang menjadi objek wisata.
Benteng Batu, Benteng Batu adalah nama perkampungan asli orang Baruppu. Perkampungan
ini terletak di Kecamatan Rindingallo, dengan jarak kurang lebih 50 Km arah utara Rantepao,
didaerah ini seluruh wilayahnya dikelilingi oleh tebing. Sehingga otomatis keberadaannya
terisolir dari dunia luar, untuk dapat masuk ke daerah tersebut hanya bisa melewati satu jalan
yakni sebuah lorong batu yang memiliki daya tarik tersendiri. Tebing-tebing yang mengeliligi
daerah ini masing-masing diberi nama, antara lain: Tebing batu, Kavu Angin dan Benteng
Saji. Selain pemah dipakai untuk benteng pertahanan melawan Belanda, di tebing-tebing
tersebut, terdapat kuburan dalam bentuk liang pahat maupun gua alam yang ada jasadnya.
Pada setiap tahunnya, diadakan prosesi ritual penggantian pakaian jenazah yang disebut
dengan to'ma' nene.
Tongkonan Rantewai, Tongkonan Rantewai atau Tongkonan Ranteuai, ini dibangun oleh
sepasang suami istri bernama To welai Langi'na dan Tasik Rante Manurun. Didirikan sekitar
abad XVII, Tongkonan ini memiliki simbol kepemimpinan, yakni tergambar pada patung
kayu yang berbentuk "kepala naga" sebanyak delapan buah. Pada tahun 1917,
Seluruhpeninggalan mengenai bukti perjuangan dalam mempertahankan tanah air bisa kita
dapatkan di rumah adat Tongkonan Kollo-kollo ini.
Tongkonan Penanian, Suatu nama yang manis, oleh karena "Penanian" dalam bahasa
Toraja, berarti sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang, untuk dibaca dan dinyanyikan.
Tongkonan ini terletak sekitar 14 Km arah timur kota Rantepao. Tongkonan Penanian
mempunyai daya tarik keindahan tersendiri. Dengan menyajikan pemandangan serta tata
letak deretan lumbung padi atau Alangsura' yang berjajar rapi dan antik. Lumbung-lumbung
padi ini dibangun oleh Kepala Distrik Nanggala bernama Siambe Salurapa' yang juga
sebelumnya sebagai pemangku adat dalam daerah Nanggala dan sekitarnya.
Tongkonan Layuk Pattan, Tongkonan layuk pattan, terletak di desa ulusalu, sekitar 18 Km
dari kota Makale. Di bawah kepemimpinan Ma'dika, pemimpin tertinggi desa ini, para
generasi maupun leluhur desa senantiasa melaksanakan upacara adat rambu tuka' atau ma'bua'
ditongkonan tersebut. Selain itu, tongkonan Layuk Pattan juga berfungsi sebagai tempat
musyawarah aluk atau adat, yang lebih dikenal dengan istilah tondok panglisan aluk, tempat
pemerintahan juga sebagai tempat pengadilan adat. Tongkonan Layuk Pattan didirikan oleh
Kala' pada kira-kira abad XIV, beragam peninggalan sejarah yang dapat disaksikan disini.
Selain Tau-tau berjumlah 130 buah, tempat upacara adat Rante, monumen batu menhir, juga
barang pusaka lainnya seperti mawa', keris dan tombak. Desa ini juga dilengkapi dengan
sebuah Benteng yang kokoh, belum pernah terkalahkan oleh musuh pada jaman dulu kala
yaitu Benteng Boronan.
Perumahan Adat Palawa', Dahuiu kala ada seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama
"Tomadao" berpetualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari
gunung Tibembeng bernama "Tallo' Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah dan
bermukim disebelah timur "desa Palawa" dan sekarang ini bernama Kulambu. Dari
perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane' yang kemudian menikahi
seorang wanita bernama Lai Rangri'. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan
sebuah kampung yang sekaligus berfungsi sebagai Benteng Pertahanan. Ada sebuah tradisi
disaat peperangan terjadi antar kampung/musuh, jika ada lawan yang menyerang dan bisa
dikalahkan atau dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang, tradisi ini
disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad XI, berdasarkan musyawarah adat disepakati,
mengganti nama Pa' lawak menjadi Palawa', sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan
bukan lagi daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dengan ayam dan disebut Palawa'
manuk. Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa'.
Sekarang ini terdapat 11 buah tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagai berikut
(dihitung mulai dari arah sebelah barat):
1. Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa';
2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne'Tatan
3. Tongkonan Ne'Niro dibangun olek Patangke dan Sampe Bungin
4. Tongkonan Ne'Dane dibangun oleh Ne'Matasik
5. Tongkonan Ne'Sapea dibangun oleh Ne'Sapeah
6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne'Pipe
7. Tongkonan Ne'Malle dibangun oleh Ne'Malle
8. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne'Malle
9. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
10. Tongkonan Ne'Babu dibangun oleh Ne'Babu'
11. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne'Ta'pare.
Tongkonan Palawa' juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan Liang Tua
(Kuburan Batu) di Tiro Allo dan Kamandi, selain tongkonan juga dibangun lumbung atau
alang sura' tempat menyimpan padi.
Tongkonan Unnoni, Unnoni artinya, "Berbunyi dan bergabung keseluruh penjuru". Nama
ini membawa nama harum bagi keturunan leluhur dari Tongkonan Unnoni, sebab beberapa
turunan dari tongkonan ini menjadi Kepala Distrik yang sekaligus dilantik sebagai puang
(golongan bangsawan tertinggi), di wilayah Sa'dan Balisu desa paling utara Tana Toraja.
Puang, sekaligus sebagai to Parengnge' yakni sebagai pemimpin adat dan pemimpin rakyat.
Turunan yang berasal dari tongkonan Unnoni antara lain ne' Tongongan, Puang ne'Menteng,
Puang Bulo', Puang Pong Sitemme', Puang Ponglabba, Puang Ne' Matandung dan terakhir
Puang Duma'Bulo' . Tongkonan Unnoni melahirkan atau erat hubunganya dengan Tongkonan
Belo' Sa'dan,Tongkonan Rea, Tongkonan Buntu Lobo' dan Tongkonan Pambalan. Generasi
Tongkonan Unnoni merupakan generas i
yang pandai menenun . Istri para pemimpin dari masing-masing Tongkonan inilah yang
memiliki ketrampilan menenun secara tradisional (tenun ukir). Cara menenun ini, oleh istri
pemimpin diajarkan pada rakyatnya, hingga sekarang dan dapat dilestarikan. Proses menenun
Tenun Paruki' inilah, yang dipertontonkan di Tongkonan Unnoni, mulai dari cara merendam
benang sampai bisa jadi selembar kain tenun yang terukir cantik dan indah, dalam ukiran
motif Toraja melalui sembilan tahapan.
To'Barana Sa'Dan dan Pertenunan Asli Toraja, Sa'dan artinya air atau batang air,
To'Barana artinya tempat beringin atau pohon beringin, To' Barana merupakan tempat
pengampunan masyarakat Sa'dan dahulu kala apabila masyarakat menghadapi sesuatu
kesulitan. Lokasi To'Barana pada mulanya dibentuk oleh nenek moyang keluarga To Barana
yang bernama Langi' para'pak. Pada lokasi ini dijadikan perkampungan tongkonan to'.
Kemudian, tongkonan ini mengalami renovasi/dibaharui oleh leluhur To'Barana' bernama
Puang Pong Labba. Kira- kira dua abad yang lalu dan kemudian mengalami renovasi lagi
oleh keluarga Puang Pong Padati pada tahun 1959.
Lokasi dan rumah tongkonan yang diwariskan secara turun temurun kepada generasinya ini
selain sebagai tongkonan juga sebagai pusat pertenunan asli Toraja. Para wanita di sini
memiliki ketrampilan menenun, karena sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya. Bahan
baku dari bahan tenunan asli di Sa'dan adalah benang kapas yang dipintal kemudian ditenun,
seiring dengan perkembangan jaman saat ini tenun sa'dan sudah mulai menciptakan
bemacam-macam motif tenun.
Perumahan Adat Balik Saluallo Sangngalla', Balik Saluallo, objek yang juga tidak
ketinggalan memiliki beberapa keunggulan atau keunikan tersendiri. Buburan sebagai tempat
persembahan masyarakat Toraja yang masih memeluk agama Aluk Todolo (Ancester believe)
dilokasi ini untuk memohon hujan pada saat musim kemarau dengan melakukan
persembahan pemotongan hewan.
Seiring berjalannya waktu, Tongkonan sudah dibangun dalam jumlah yang lebih banyak.
Silsilah dimulai dari Puang Tamboro Langi’Tomanurung Pertama yang menurut Hikayat
turun dari lagit di puncak Gunung Kandora (Kecamatan Mengkendek)pada pertengahan abad
4.
Puang Tamboro Langi’ inilah yang merupakan raja petama di Kalindobulanan Lepongan
Bulan dan sekaligus merupakan leluhur raja-raja di Kerajaan Lepongan Bulan(Tana Toraja)
pada khususnya dan Kerajaan Tallu Bocco yang pertama (Toraja, Luwu dan Gowa) pada
umumnya
2. A. Puang Papai Langi’ menggantikan ayahnya sebagai Puang Tomatasak II,kawin dengan
2 orang Putri,masing-masing bernama:
A.1. Puang Allo anginan,berasal dari air kolam di Gasing,melahirkan 4 orang anak
a. Puang Paetong di Otin Mengkendek
b. Puang Toding di Banua lando Makale
c. Puang Landek di Su’pi Sangalla’
d. Puang Panggeso di Tiromanda Makale
A.2. Tumba’ Sarambunna dari keturunan tomakaka di Banua Puan,melahirkan 8 anak :
a. Sarambunna di Tinoring Mengkendek
b.Tomemanuk di Bala Mengkendek
c. La’la di Batu Rondon Mengkendek
d. Samang di Tengan Mengkendek
e Yarra’ Matua di Palipu’Mengkendek
f. Tintiri Buntu di Sillanan Mengkendek
g. Bangke’ Barani di Botang Makale
h. Bombiri Lemo di Pa’buaran Makale
Mengembara mencari ilmu untuk hidup abadi sampai akhirnya menikah dengan Putri Gowa
yang melahirkan:
3. Puang Payak Allo sebagai Puang Tomatasak III kawin dengan Puang Tumba’ Paramak
dari Makale dan melahirkan seorang Putra bernama Puang Laso’ Paramak
Pada masa ini terjadilah Perang Saudara Pertama di Kalindo bulanan Lepongan Bulan,antara
Puang Paramak Datu’ Matampu dengan Puang Rambu Langi’ dari Pangi
4. PuangPatta La Bantan anak dari Puang Lakipadada kembali dari Gowa akhirnya dilantik
sebagai Puang Tomatasak IV di Kalindo bulanan Lepongan Bulan di Kaero,untuk
menenangkan saudara-saudaranya yang berperang di kampung
Puang Patta La Bantan inilah yang membangun Kaero sebagai Tongkonan Layuk di
Kalindobulanan Lepongan Bulan.
Menikah dengan Petimba Bulaan dari Nonongan dan melahirkan putera bernama Puang
Timban Boro (Puang Tomtasak V)
7. Puang Tangmarakia
Menggantikan ayahnya Puang Kapu’ Boro sebagai Puang tomatasak VII di Kalindo bulanan
Kaero,kawin dengan seorang putri bernama Puang Tumba’paseno Langi dari Buntu Kaero
yang melahirkan Putra bernama Puang Paseno langi’
9. Puang Tanggulungan
Menggantikan ayahnya Paseno langi’ sebagai Puang tomatasak IX di Kalindo bulanan
Kaero,kawin dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Riu’Datu dari Batualu yang
melahirkan Putra bernama Puang Sampa Raya
Dalam perang saudara kedua di Kalindobulanan tsb dimenangkan oleh Puang Bullu Matua
dan diangkat menjadi Puang Tomatasak XIV di Kalindobulanan Lepongan Bulan,Kawin
dengan Puang Bitti’Langi’ dari Tarongko Makale yang melahirkan tiga orang anak,Yaitu
Walaupun ketiga kerajaan ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-
masing yang disebut Puang Basse Kakanna Makale,Puang basse Tanganna Sangalla’ dan
Puang Basse Adinna Mengkendek,namun demikian secara simbolis masih ada Puang
Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang menurut sejarah selalu dijabat oleh Puang
Basse Tanganna Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang
Laso’Rinding (Puang Sangalla’),salah satu alasannya karena Tongkonan Layuk Kaero yang
merupakan Pusat (Keraton/Istana) Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan
berada di wilayah Sangalla’
Catatan:
Pada masa ini dibangun persekutuan antara tiga daerah Kapuangan yakni Puang Todierong
dari Makale,Puang Tolayuk dari Baroko dan Puang Tokalu’ dari Enrekang. Basse
Persekutuan ini dikenal dalam sejarah dengan ucapan:
“Basse sang bembe’manik sangluse’giring-giring”
Basse persekutuan persaudaraan antara ketiga daerah Kapuangan ini bertujuan memelihara
persatuan dan kesatuan dalam wujud kekeluargaan yang akan nampak terutama dalam
Upacara Rambu Solo’
Basse ini diucapkan dalam sasta Toraja tinggi sebagai berikut:
Realisasi dari Basse Persaudaraan ini tampak dalam sejarah ialah ketika Upacara Pemakaman
Puang Tarongko di Makale, maka raja-raja dari Pitu Masserenrempulu ( Enrekang, Maluw’,
Buntubatu, Kassa’,Alia’ ,Batulappa’ dan Maiwa) datang berbelasungkawa ke Makale,
Demikian pula waktu meninggalnya Puang Enrekang ( Pancai Tana Bunga Walie) semua
Puang-Puang dari Tallu Lembangna Makale,Sangalla’ dan Mengkendek turun
berbelasungkawa ke Enrekang.
3. Puang Polanga mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale III
kawin dengan seorang Putri Salle Bayu dari Tarongko Makale,melahirkan seorang putra
bernama Puang Pate’dangan.
7. Puang Parapa’ mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VII
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Lolo angin di Tarongko Makale,melahirkan
seorang putra bernama Puang Lolo angin.
8. Puang Lolo Angin mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VIII
kawin dengan seorang Putri Puang Balun Manik dari Awa’ Tarongko Makale,melahirkan 2
orang anak bernama
8.1 Puang Payung Allo
8.2 Puang Tumba’ Payung Allo kawin dengan seorang Puang dari Bebo’ Sangalla’
bernama Puang Makongkan melahirkan seoran puteri bernama Tumba’ Makongkan.
9. Puang Payung Allo mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale IX
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Limbu langi’ dari Kaero Sangalla’ tapi tidak
mempunyai keturunan.
10. Puang Tumba’ Makongkan mengganti Pamannya menjadi Puang Basse Kakanna Makale
X
kawin dengan seorang Putra bernama Puang Laso’ Ses alias Puang Mammulu dari Tangti
Mengkendek,melahirkan seorang putra bernama Puang Tarongko.
11. Puang Tarongko mengganti ibunya menjadi Puang Basse Kakanna Makale XI
kawin dengan 7 orang Putri ,masing-masing bernama:
11.1. Puang Lai’ Tangnga’Layuk dari Makale melahirkan
11.1.a Puang Indo’ Rante Allo
11.1.b Puang Laso’Tampo (Puang Pantan)
11.1.c Puang A.Rante Allo (Puang Tondon)
11.2. Puang Tumba’ Manuk Allo dari Manggau melahirkan seorang Putera bernama Puang
Manuk Allo dikirim oleh ayahnya ke Sidenreng (Bugis) dan mendapat gelar Andi Lolo.
Catatan:
Besama ManukaAllo yang dikirim Puang Tarongko,Puang Limbu Langi’ (Puang Basse
Tanganna Sangalla XI/Puang Tomatasak XXV) juga mengirim puteranya Laso’Rinding
(Puang Sangalla), mereka pulang dengan menguasai Bahasa,budaya dan menulis
lontar,Taktik dan seni strategi perang Bugis
11.3. Puang Tumba’Toding Allo melahirkan putera bernama Puang Toding Allo(Puang Rante
Allo)
11.4. Puang Tumba’Sumbung melahirkan 2 orang masing-masing bernama
11.4.a. Puang Sumbung(Puang Massora)
11.4.b. Puang Lai’ Tambing
11.5. Puang Tumba’Sa’dan melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Sa’dan
11.6. Puang Tumba’Baratu melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Baratu
11.7. Puang Tumba’Pidun melahirkan putera bernama Puang Sumbung(Pidun)
Catatan:
Dan pada saat itu muncul invasi Bugis ke Tana Toraja. Terjadilah perang antara Uwa Situru’
alias Andi’ Guru melawan bangsawan Toraja. Orang -orang yang lemah menjadi korban
karena ditawan oleh Bugis. Peristiwa ini dalam sejarah disebut :
Tonna Kumande ulang bulu bangla’
Tenna mangintok karidi’ dipabaru.
12. Puang Rante Allo alias Puang Tondon menggantikan ayahnya sebagai Puang Basse
Kakanna Makale XII di Lembang Makale dengan gelar Kepala Distrik Makale (1923-1943)
Catatan:
Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur
Luwu Puang A.Rante Allo kawin dengan dua orang putri masing-masing bernama:
12.1. Puang Lai’Sirande dari Mengkendek,melahirkan 5 orang anak yaitu:
12.1.a. P.Lai’Rante Allo
12.1.b. P.Tandi Lesse Rante Allo
12.1.c. P.Lai’Bassang
12.1.d. P.Rante Allo (Rante)
12.1.e. P.Bunga Bau’
12.2. Lai’Jaga dari Penanda Rante Bua,melahirkan Danduru Cs
Puang Manuk Allo (Andi Lolo) kawin dengan 7 orang putri masing-masing bernama:
1. Tumba Datu dari Tiromanda,melahirkan 2 orang putera yaitu:
a. Puang Johanis Lambe Andilolo
b. Puang Benyamin Ruruk Andi Lolo
Catatan:
Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (
Stbld Nomor 105 ) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri
sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut TONGKONAN ADA’.Catatan tentang
Puang A.D Andilolo:
1. Sebagai Puang Makale 1943-1949
2. Sebagai Ketua Dewan Tongkonan Ada’KerajaanTana Toraja 1949 s.d 1950.
14. Puang Tandi Lesse Rante Allo mengganti sepupunya Puang AD Andilolo sebagai Puang
Basse Kakanna XIVdi Lembang Makale (1950-1960)
Catatan:
Tahun 1957 Toraja menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarklan UU Darurat Nomor
3 Tahun 1957 dan Berdasarkan UU No.29/1959
15. Puang Nataniel Taruk Allo Andilolo mengganti pamannya Puang Tandi Lesse Rante Allo
sebagai Puang Basse Kakanna XV (terakhir) di Lembang Makale atau kepala Distrik Makale
(1960-1962) pada saat itu Tanah Toraja telah terbentuk sebagai Kabupaten Daerah TK II
Tanah Toraja dan yang menjadi Bupati KDH Tanah Toraja adalah Bupati H.L.Lethe Pada
tahun 1961 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
Nomor 2067 A,Administrasi Pemerintahan berubah dengan penghapusan sistim Distrik dan
Pembentukan Pemerintahan Kecamatan.Tana Toraja Pada waktu itu terdiri dari 15 Distrik
dengan 410 Kampung berubah menjadi 9 Kecamatan dengan 135 Kampung,Kemudian
dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor
450/XII/1965 tanggal 20 desember 1965 diadakan pembentukan Desa Gaya Baru.
Puang Laso' Rinding atau yang dikenal juga sebagai Puang Sangalla merupakan raja terakhir
Sangalla yang juga sebagai raja terakhir Toraja dikarenakan menjadi orang terakhir yang
bergelar Puang Tomatasak.
By : Felianus Tangalayuk
Sumber: Tomina & Blogger-blogger terkait