Anda di halaman 1dari 7

A.

Sejarah Sulawesi Selatan

Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua
ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan
Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua
berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae,
diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang
telah punah.
Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19,
Sulawesi Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil
rempah. Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah
Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu. Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat
sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang
berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Pada tahun 1530,
Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi
pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa
memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun
1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam
dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.

Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan
Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-
rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama
Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan
Gowa.
Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan
perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah
berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan
Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi
kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah
Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda
yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya
Perang Napoleon, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu
Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang
kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil
menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-
an.
Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan
yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad
ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta
persahabatan dengan bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.
Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan
menjadi propinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah
otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan
Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU
Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan.
Periode Gubernur :
I. Gubernur Sulawesi
1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi
1950 – 1951 B. W. Lapian
1951 – 1953 R. Sudiro
1953 – A. Burhanuddin
1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang
1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani
II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :
1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani
1960 – 1966 A. A. Rivai.
III. Gubernur Sulawesi Selatan
1966 – 1978 Ahmad Lamo (Dua periode)
1978 – 1983 Andi Oddang
1983 – 1993 A. Amiruddin (Dua periode)
1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna (Dua periode)
2003 - 2008 H. M. Amin Syam
2008 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara
2008 - 2013 Syahrul Yasin Limpo
Menurut catatan sejarah Budaya Sulsel, ada tiga kerajaan besar yang pernah
berpengaruh luas yakni Kerajaan Luwu, Gowa, dan Bone, disamping sejumlah kerajaan kecil
yang beraliansi dengan kerajaan besar, namun tetap bertahan secara otonom. Berbeda dengan
pembentukan Propinsi lain di indonesia, Sulsel terbentuk menjadi satu kesatuan wilayah
administratif tingkat propinsi, atas kemauan dan ikrar raja-raja serta masyarakat setempat
sekaligus bergabung dalam negara kesatuan Republik Iindonesia, sehingga Sulsel menjadi
salah satu propinsi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 1950 dan Makassar
sebagai pusat pemerintahan.
Dengan undang-undang ini maka Wilayah Administratif Sulsel terbagi menjadi 21
daerah swantantra tingkat II dan 2 (dua) kotapraja yakni Makassar dan Parepare. Status
Propinsi Administratif Sulawesi berakhir pada tahun 1960 yang ditetapkan dengan UU
Nomor 47 Tahun 1960 dan secara otonom membagi Sulawesi menjadi Propinsi Sulawesi
Selatan Tenggara beribukota Makassar dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah beribukota
Manado, Empat tahun kemudian pemisahan wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara
ditetapkan dalam II Nomor 13 Tahun 1964 dan Sulawesi Selatan resmi menjadi daerah
otonom dan terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan di daerah yang menggabungkan wilayah administratif daerah-
daerah otonom dalam satu penyebutan yaitu Daerah Tingkat II atau Kotamdya dan Propinsi
Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Selanjutnya Propinsi daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
terbagi dalam 23 Kabupaten/Kotamadya serta 2 (dua) Kota Administratif yakni Palopo di
Kabupaten Luwu dan Watampone di kabupaten Bone. Sedangkan yang sangat berarti adalah
perubahan nama ibukota Propinsi sulawesi Selatan dari makassar ke Ujung Pandang yang
ditetapkan dalam PP Nomor 51 tahun 1971 Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 65
tahun 1971.

B. Rumah Adat

Rumah Adat Tongkonan


1. Struktur dan Arsitektur Rumah Adat Secara umum, rumah tongkonan
memiliki struktur panggung dengan tiang-tiang penyangga bulat yang berjajar
menyokong tegaknya bangunan. Tiang-tiang yang menopang lantai, dinding, dan
rangka atap tersebut tidak di tanam di dalam tanah, melainkan langsung
ditumpangkan pada batu berukuran besar yang dipahat hingga berbentuk persegi.
Dinding dan lantai rumah adat tongkonan dibuat dari papan-papan yang disusun
sedemikian rupa. Papan-papan tersebut direkatkan tanpa paku, melainkan hanya diikat
atau ditumpangkan menggunakan sistem kunci. Kendati tanpa dipaku, papan pada
dinding dan lantai tetap kokoh kuat hingga puluhan tahun. Bagian atap menjadi
bagian yang paling unik dari rumah adat Sulawesi Selatan ini. Atap rumah tongkonan
berbentuk seperti perahu terbaling lengkap dengan buritannya. Ada juga yang
menganggap bentuk atap ini seperti tanduk kerbau. Atap rumah tongkonan sendiri
dibuat dari bahan ijuk atau daun rumbia, meski pun kini penggunaan seng sebagai
bahan atap lebih sering ditemukan.
2. Fungsi Rumah Adat Selain dianggap sebagai identitas budaya, rumah
tongkonan pada masa silam juga menjadi rumah tinggal bagi masyarakat suku Toraja.
Rumah Tongkonan dianggap sebagai perlambang ibu, sementara lumbung padi yang
ada di depan rumah atau biasa disebut Alang Sura adalah perlambang ayah. Adapun
untuk menunjang fungsinya sebagai rumah tinggal, rumah adat Sulawesi Selatan ini
dibagi menjadi 3 bagian, yakni bagian atas (rattiangbanua), bagian tengah (kale
banua) dan bawah (sulluk banua). Bagian Atas atau disebut juga rattiang banua adalah
ruangan yang terdapat di loteng rumah. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan
benda pusaka yang dianggap memiliki nilai sakral. Benda-benda berharga yang
dianggap penting juga di simpan dalam ruangan ini. Bagian Tengah atau disebut juga
kale banua adalah bagian inti dari rumah adat Sulawesi Selatan. Bagian ini terbagi
menjadi beberapa ruangan berdasarkan fungsi-fungsi khususnya, yaitu bagian utara,
bagian tengah, dan bagian selatan. Bagian utara disebut dengan istilah ruang
Tengalok. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan meletakan sesaji
(persembahan). Selain itu, jika pemilik rumah sudah mempunyai anak, maka ruangan
ini juga digunakan sebagai tempat tidur anak. Bagian pusat disebut Sali. Ruangan ini
digunakan untuk beragam keperluan, seperti sebagai tempat pertemuan keluarga,
dapur, ruang makan, sekaligus tempat meletakan mayat yang dipelihara. Bagian
selatan bernama Ruang Sambung. Ruangan ini khusus digunakan sebagai kamar
kepala keluarga. Tidak sembarang orang dapat masuk ke ruangan ini tanpa seizin
pemilik rumah. Bagian Bawah atau disebut juga sulluk banua adalah bagian kolong
rumah. Bagian ini digunakan sebagai kandang hewan atau tempat menyimpan alat-
alat pertanian.
3. Ciri Khas dan Nilai Filosofis Selain dari bentuk atapnya yang seperti tanduk
kerbau, ada beberapa ciri khas lain dari rumah tongkonan yang membuatnya begitu
berbeda dengan rumah adat dari suku-suku lain di Indonesia. Ciri-ciri tersebut di
antaranya: Memiliki ukiran di bagian dinding dengan 4 warna dasar, yaitu merah,
putih, kuning dan hitam. Masing-masing warna memiliki nilai filosofis, merah
melambangkan kehidupan, putih melambangkan kesucian, kuning melambangkan
anugerah, dan hitam melambangkan kematian. Di bagian depan rumah terdapat
susunan tanduk kerbau yang digunakan sebagai hiasan sekaligus ciri tingkat strata
sosial si pemilik rumah. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang, maka
semakin tinggi kedudukan pemilik rumah. Tanduk kerbau sendiri dalam budaya toraja
adalah lambang kekayaan dan kemewahan. Di bagian yang terpisah dari rumah
tongkonan terdapat sebuah bagunan yang berfungsi sebagai lumbung padi atau
disebut alang sura. Lumbung padi juga berupa bangunan panggung. Tiang-tiang
penyangganya dibuat dari batang pohon palem yang licin sehingga tikus tidak bisa
masuk ke dalam bangunan. Lumbung padi dilengkapi pula dengan ukiran bergambar
ayam dan matahari yang melambangkan kemakmuran dan keadilan.

C. Baju Adat

1. Pakaian Wanita dalam Adat Sulawesi Selatan Baju Bodo dianggap sebagai pakaian
adat Sulawesi Selatan paling pertama dikenal oleh masyarakatnya. Dalam kitab
Patuntung, kitab suci ajaran Animisme dan Dinamisme nenek moyang suku makassar,
baju ini bahkan disebutkan dengan jelas, mulai dari bentuk, jenis hingga cara
pemakaiannya. Ilmu tekstil yang telah dikenal sejak zaman batu muda oleh nenek
moyang suku makassar membuat baju bodo begitu nyaman dikenakan. Baju ini
sengaja dibuat dari bahan kain muslin. Kain ini adalah kain hasil pintalan kapas yang
dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang cukup renggang,
menjadikan kain ini sejuk dikenakan sehingga cocok dipakai di iklim tropis Sulawesi
Selatan

Sebagian masyarakat Makassar menyebut baju bodo dengan nama bodo gesung. Alasannya
adalah karena pakaian ini memiliki gelembung di bagian punggungnya. Gelembung tersebut
muncul akibat baju bodo dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi. Secara sederhana,
berikut ini adalah penampakan dari baju bodo yang lebih sering digunakan oleh kaum wanita.
Dari kenampakan gambar pakaian adat Sulawesi Selatan di atas, kita dapat melihat bahwa
baju bodo merupakan baju tanpa lengan. Jahitan hanya digunakan untuk menyatukan sisi
kanan dan kiri kain, sementara pada bagian bahu dibiarkan polos tanpa jahitan. Bagian atas
baju bodo digunting atau dilubangi sebagai tempat masuknya leher. Lubang leher ini pun
dibuat tanpa jahitan. Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-kotak akan dikenakan
dengan cara digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri. Pemakainya juga akan
mengenakan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan logam, gelang, kalung,
bando emas, dan cincin.

Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi
tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut antara
lain: Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun. Warna jingga dan
merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun. Warna merah darah dipakai
oleh untuk 17 hingga 25 tahun. Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun. Warna hijau
dipakai oleh puteri bangsawan. Warna ungu dipakai oleh para janda.

2. Pakaian Pria dalam Adat Sulawesi Selatan Baju bodo hanya dikenakan oleh wanita
Makassar, sementara para prianya mengenakan pakaian adat yang bernama baju bella
dada. Baju ini dikenakan bersama paroci (celana), lipa garusuk (kain sarung), dan
passapu (tutup kepala seperti peci). Model baju bela dada adalah baju bentuk jas tutup
berlengan panjang dengan kerah dan kancing sebagai perekat. Baju ini juga
dilengkapi dengan saku di bagian kiri dan kanannya.

Berbeda dengan baju bodo yang dibuat dari kain muslin, pakaian adat Sulawesi Selatan
khusus untuk laki-laki ini justru dibuat dari bahan yang lebih tebal. Seperti dari kain lipa
sabbe atau lipa garusuk. Sementara untuk warnanya biasanya tidak ada ketentuan alias bisa
disesuaikan dengan selera para penggunanya. Gambar Pakaian Adat Sulawesi Selatan
Pengantin Passapu atau tutup kepala yang digunakan sebagai pelengkap baju bella dada
umumnya dibuat dari anyaman daun lontar dengan hiasan mbring atau benang emas yang
disusun. Passapu dapat pula tidak diberi hiasan. Passapu polos atau biasa disebut passapu
guru ini lazimnya digunakan oleh para dukun atau tetua kampung. Selain passapu, para laki-
laki juga tak ketinggalan untuk mengenakan aksesoris pelengkap pakaian yang digunakan.
Beberapa aksesoris di antaranya adalah gelang, keris, selempang atua rante sembang, sapu
tangan, dan sigarak atau hiasan penutup kepala. Gelang yang digunakan adalah gelang
dengan motif naga dan terbuat dari emas, sehingga gelang ini dinamai gelang ponto naga.
Keris yang dipakai adalah keris dengan kepala dan sarung terbuat dari bahan emas. Keris ini
disebut pasattimpo atau tatarapeng. Sapu tangan yang dikenakan adalah sapu tangan dengan
hiasan khusus. Sapu tangan ini dinamai passapu ambara.

D. Senjata Adat
1. Bidik Raja

Badik raja merupakan jenis badik yang berasal dari Kabupaten Bone, tepatnya dari
daerah Kajuara. Masyarakat sekitar percaya jika badik dengan nama lain gencong
raja atau bontoala ini dibuat oleh mahluk halus, tidak mengherankan jika nilai sakral
yang dipunyainya menjadi sangat tinggi.

Badik raja ini memiliki ukuran agak besar dengan panjang antara 20 cm sampai 25
cm. Bentuknya menyerupai badik lampo battang dengan bagan bilahnya yang
membungkuk serta perut bilah yang membesar. Badik ini terbuat dari logam
berkualitas tinggi dan selalu dilengkapi dengan pamor indah pada bagian hulunya,
seperti halnya pamor timpalaja ataupun pamor mallasoancale.

Sesuai dengan namanya, senjata tradisional Sulawesi Selatan bernama Badik Raja ini
dahulunya kerap dipakai oleh para raja-raja Bone.
2. Badik Lagecong

Badik Lagecong dahulunya kerap dipakai dalam berperang ataupun di dalam


keadaan terdesak. Yang unik dari senjata badik jenis ini yaitu adanya bisa racun yang
terdapat pada bilahnya. Sekali melukai, maka lawan tidak akan membutuhkan waktu
yang lama untuk menghembuskan nafas terakhirnya. Oleh sebab itu, senjata badik
ini mempunyai nilai kehormatan tersendiri.

Jenis senjata tradisional dari Provinsi Sulawesi Selatan ini hingga sekarang masih
banyak dicari oleh orang sebagai benda koleksi. Ukurannya memanglah hanya
sejengkalan tangan orang dewasa, namun mematikan. Itulah yang menambah nilai
keunikannya.
3. Badik Luwu
Sesuai dengan namanya, Badik Luwu ini berasal dari kebudayaan masyarakat di
kabupaten Luwu di masa lampau. Bentuknya yang membungkuk seperti halnya
bungkuk kerbau (mabbukku tedong). Bilahnya lurus dan juga meruncing pada bagian
ujung. Sebagian masyarakat Bugis mempercayai jika badik ini disepuh dengan bibir
kem*luan gadis perawan, maka orang yang memiliki ilmu kebal apapun akan
tersungkur mati jika ditusuk.
4. Badik Lompo Battang

Didalam bahasa Bugis, kata "lompo battang" artinya adalah perut besar. Tidak
mengherankan jika bentuk bilah dari Badik Lompo Battang ini nampak seperti perut
yang besar. Jenis senjata tradisional dari Provinsi Sulawesi Selatan ini juga tidak
kalah unik. Wajar jika banyak para kolektor yang memburunya.

E. Tari Adat
http://www.tradisikita.my.id/2016/10/10-tari-tradisional-sulawesi-selatan.html

Anda mungkin juga menyukai