Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Arsitektur vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur
tradisional, yang mana arsitektur tradisional sangat lekat dengan tradisi yang
masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku
yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum. (Susanto :
2011)[1]
Latar belakang indonesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau
menyebabkan perbedaan budaya yang cukup banyak. Dan arsitektur atau seni
bangunan merupakan salah satu parameter kebudayaan yang ada di Indonesia
karena biasanya arsitektur terkait dengan sistem sosial, keluarga, sampai ritual
keagamaan. (Wikipedia Indonesia)[2]
Salah satu dari arsitektur tradisional di Indonesia yang memiliki nilai-nilai
kearifan lokal yaitu rumah-rumah adat yang tersebar di berbagai daerah nusantara.
Daerah Sulawesi-Selatan yang mana terdapat daerah yang sarat akan budaya dan
adat istiadatnya, yaitu Tana Luwu.
Luwu merupakan salah satu wilayah bagian dari provinsi Sulawesi-Selatan.
Tana Luwu umumnya juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Hal ini
dikarenakan Kerajaan Luwu merupakan salah satu kerajaan tertua yang berada di
Sulawesi-Selatan dan merupakan tanah lahirnya keturunan Sawerigading yang
hingga kini masih ada yaitu Datu Luwu ke-XXXX.
Di Sulawesi-Selatan itu sendiri terdapat beberapa suku yaitu suku Toraja,
Mandar, dan Bugis. Suku Bugis sebagai suku asli yang menempati wilayah
Sulawesi-Selatan tersebar diberbagai daerah, salah satunya yaitu perkampungan
suku Bugis yang ada di Tana Luwu.

[1]
Dosen Fakultas Teknik Universitas Jakarta dalanm penelitian “Arsitektur Vernakular Sumatera Barat”
(https://iaaipusat.wordpress.com diakses tanggal 23/02/2015)
[2]
(http://id.wikipedia.org/wiki/arsitektur_vernakular diakses tanggal 23 Februari 2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 1


Seperti halnya masyarakat daerah lainnya yang mempertahankan nilai-nilai
sejarah dan kebudayaan daerahnya masing-masing, masyarakat Bugis Luwu juga
mengenal beberapa jenis bangunan tradisional yang dijadikan sebagai tempat
tinggal sekaligus tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan adat maupun spiritual
keagamaan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan
masyarakat. Adapun salah satu bangunan tradisional yaitu bangunan rumah adat
Langkanae.
Akan tetapi, eksistensi rumah adat ini sudah tidak banyak lagi yang bisa
ditemukan keberadaannya. Di Tana Luwu yang kini terbagi menjadi berberapa
kabupaten/kota, dapat ditemukan keberadaan rumah adat Langkanae yaitu di
kawasan Kota Palopo, yang tepatnya kini menjadi pusat Kedatuan/Kerajaan
Luwu. Maraknya pembangunan dan seiring perkembangan teknologi,
menyebabkan terkikisnya sejarah dan khasanah tradisi rumah-rumah Bugis yang
ada di Tana Luwu.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana awal sejarah berkembangnya Bugis Luwu di Sulawesi-
Selatan?
2. Apa saja tahapan-tahapan dalam pembangunan rumah adat Langkanae?
3. Bagaimana konsep, struktur dan pola konstruksi arsitektur rumah adat
Langkanae?
4. Bagaimana pengaruh nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat
Luwu dalam kaitannya dengan rumah adat Langkanae?

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN


1. Mengetahui awal sejarah berkembangnya Bugis Luwu di Sulawesi-
Selatan
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembangunan rumah adat
Langkanae

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 2


3. Mengkaji konsep, struktur dan pola konstruksi arsitektur rumah adat
Langkanae
4. Memahami pengaruh nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada
masyarakat Luwu dalam kaitannya dengan rumah adat Langkanae

1.4 MANFAAT
1. Dapat dijadikan sebagai sumber informasi terkait arsitektur rumah adat
tradisonal dan referensi terkait kekayaan budaya nusantara Indonesia
khususnya yang ada di daerah Luwu, Sulawesi-Selatan.
2. Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran di dalam penulisan ilmiah.

1.5 METODE PENELITIAN


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah literatur dari
perpustakaan dan jurnal dari internet yang berkaitan dengan arsitektur tradisional
dan struktur serta pola rumah adat Langkanae suku Bugis Luwu. Selain itu
pengumpulan data terkait juga menggunakan metode orientasi di lapangan dengan
melakukan kunjungan ke salah satu situs budaya rumah adat Luwu yang berada di
Benteng Somba Opu, Jalan Daeng Tata, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar,
Provinsi Sulawesi-Selatan.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 3


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LUWU


Dalam sejarah, Luwu merupakan salah satu kerajaan tertua di wilayah
Sulawesi. Sejarah berkembangnya Kerajaan Luwu sudah berawal jauh sebelum
masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya, Kerajaan Luwu sudah
menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Sulawesi Selatan),
Kolaka (Sulawesi Tenggara), dan Poso (Sulawesi Tengah). Dalam sejarah
tersebut, nama Kerajaan atau Tana Luwu dihubungkan dengan nama I La Galigo
dan Sawerigading.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis
Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja/Datu Luwu pada masa
itu, yaitu Andi Djemma. Beliau menyatakan bahwa "Kerajaan Luwu adalah
bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia". Sehingga, pembagian wilayah
Luwu kini terbagi menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota yang telah ditetapkan,
antara lain yaitu:
a. Kabupaten Luwu
b. Kabupaten Luwu Utara
c. Kota Palopo (sebagai pusat Kerajaan/Kedatuan Luwu)
d. Kabupaten Luwu Timur

Gambar 2.1 | Peta Wilayah Kerajaan Luwu


(Sumber: http://www.google.com diakses tanggal 23/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 4


Berikut adalah peta lokasi Tana Luwu, dilihat dari peta Indonesia dan peta
Sulawesi:

Gambar 2.2 | Peta Indonesia


(Sumber: http://earth.google.com diakses tanggal 23/02/2015)

Gambar 2.3 | Peta Sulawesi dan Kawasan Tana Luwu


(Sumber: http://earth.google.com diakses tanggal 23/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 5


Dalam buku “Ringkasan Sejarah Luwu: Bumi Sawerigading, Tana Luwu
Mappatuwo” yang disusun oleh Sarita Pawiloy[3], diuraikan awal berkembangnya
Kota Palopo, yang kini sebagai pusat Kerajaan/Kedatuan Luwu. Palopo
berkembang di awal kerajaan Islam Luwu tumbuh. Pada saat itu Raja/Datu Luwu
La Patiware Sultan Muhammad wafat dan digantikan oleh anak keduanya yaitu
Patipasaung (1615-1637). Sedangkan anak pertamanya adalah Patiraja.
Terangkatnya Patipasaung menjadi raja menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu
di Pattimang, Malangke. Sehingga Patiraja pergi ke Kamanre dan membentuk
Kerajaan Luwu sendiri. Dengan demikian pada masa itu, ada dua pusat kerajaan
Luwu (Ware’), yaitu yang pertama Luwu wilayah Malangke yang dimulai dari
Baebunta hingga Poso. Sedangkan yang kedua Luwu wilayah Ponrang yang
berpusat di Kamanre meliputi Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotongeng.
Sedangkan Kemadikaan Bua yang meliputi Kolaka, Luwu bagian Tenggara dan
juga Palopo/Libukang bersifat netral.
Adanya dua Kerajaan/Kedatuan Luwu ini mengakibatkan terjadinya perang
saudara antar daerah Pattimang dan Kamanre pada tahun 1616. Perang ini terjadi
selama kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang antara Utara
dan Selatan hingga pada tahun 1619. Setelah perang saudara ini, para abdi
kerajaan/kedatuan memutuskan penyelesaian secara damai.
Sehingga, dari peristiwa inilah yang kemudian menyatukan kembali Luwu.
Patipasaung kemudian memindahkan Kerajaan Luwu (Ware’) ke Palopo yang
termasuk wilayah Bua. Ia kemudian pula mengukuhkan ‘ana’ tellue’ sebagai pilar
utama Luwu. Patipasaung menata struktur pemerintahan Luwu. Penataan inilah
yang meninggalkan beberapa bangunan-bangunan peninggalan yang kini masih
terdapat di kawasan pusat Kota Palopo. Antara lain, yaitu Masjid Jami’ yang
dibangun 1619 kemudian dinyatakan oleh masyarakat Luwu sebagai pusat Palopo,
bahkan posi’ tana, dan Ka’bah di Mekkah sebagai palisu’ tana. Arsitektur Kota
Palopo ditata dengan pendekatan agar suasana marowa (ramai) tercipta. Olehnya
itu, sekitar 40 depa dari masjid dibangun pasar.

[3]
As, M.Akil. 2008. Luwu: Dimensi Sejarah, Budaya, Dan Kepercayaan.Pustaka Refleksi : Sulawesi-Selatan

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 6


Selain itu, pada masa Lata’na Datu Luwu, Andi Kambo, dibangun istana
kediaman Datu Luwu. Akan tetapi, bangunan tersebut dirubuhkan oleh
pemerintah Belanda dan digantikan dengan arsitektur gaya Eropa pada tahun
1920. Dan kini menjadi Museum Batara Guru. Berdasarkan hal itulah, maka
disamping Istana Datu Luwu terdapat replikanya yakni rumah panggung kayu
bertiang 88 buah disebut sebagai Rumah Adat Langkanae dan terdapat monumen
perjuangan rakyat Luwu “Toddopuli Temmalara” yang berarti “Kebersamaan
yang menguatkan”. Arsitektur kota serupa kemudian dianjurkan di setiap wilayah
kampung-kampung di Luwu. Demikianlah, Kota Palopo kemudian menjadi pusat
kedatuan Luwu dan barometer perkembangan Luwu.

Gambar 2.4 | Rumah Adat Langkanae (Kiri), Museum Batara Guru (Tengah), dan
Monumen “Toddopuli Temmalara” (Kanan)

(Sumber: http://palopotourism.info/monumen-toddopuli diakses tanggal 23/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 7


2.2 TAHAP PROSES PEMBANGUNAN RUMAH ADAT LUWU
Rumah adat Luwu yang dikenal dengan Langkanae. Artinya rumah
panggung kayu yang terdiri dari 88 buah tiang. Secara umumnya, sama halnya
dengan rumah adat Bugis daerah lainnya, seperti bugis Makassar, Bone, Soppeng,
Bone, Sidrap, dan Wajo. Dimana persamaannya terletak pada konsep dan elemen-
elemen arsitekturalnya namun terdapat beberapa perbedaan dari segi sejarah dan
ornamen-ornamen bangunannya.
Adapun sebelum pembahasan mengenai konsep arsitekturnya, rumah adat
Langkanae juga memiliki tahapan-tahapan dalam proses pembangunannya. Antara
lain yaitu :
2.2.1 Tahap Persiapan
Dalam pendirian rumah panggung bagi masyarakat Bugis, pada umumnya
dimulai dengan musyawarah keluarga atau penghuni rumah. Dalam musyawarah
tersebut yang dibicarakan adalah tipe atau ukuran rumah, bahan dan biaya yang
dibutuhkan, serta pembagian tugas para pekerja atau tenaga yang dibutuhkan.
Adapun tenaga-tenaga yang diperlukan guna pembangunan rumah tentu saja
adalah tenaga ahli yang mengerti seluk-beluk adat istiadat, agar terhindar dari
malapetaka atau hal-hal yang pamali menurut kepercayaan orang Bugis. Secara
garis besar tenaga yang terlibat tersebut ada 3, yaitu :
Panrita Bola (dukun rumah), yang ahli tentang tipe-tipe bangunan, nilai-nilai
yang terkandung dalam bangunan tersebut, serta mengetahui jenis kayu yang
dibutuhkan dan waktu/tempat dalam pembangunan rumah.
Panre’ Bola (tukang), orang yang terampil dalam teknik konstruksi rumah,
dan tanpa menggunakan gambar, karena umumnya hanya menggunakan
instruksi-instruksi dari panrita bola.
Tenaga pembantu umum, biasanya berasal dari keluarga atau kerabat dan juga
tetangga, yang bekerja hanya pada waktu tertentu dan ketika ada pekerjaan
yang membutuhkan tenaga yang banyak. Seperti mappatama arateng sibawa
pattolo (memasang kerangka rumah) dan mappatettong bola (mendirikan
kerangka rumah).

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 8


Selanjutnya setelah bermusyawarah dan menetapkan tenaga-tenaga yang
dibutuhkan dalam proses pembangunan rumah, yaitu menentukan ukuran rumah.
Umumnya, penentuan ukuran rumah ada 2, yaitu: 1). Spasial vertikal, yang
diukur berdasarkan tinggi suami/istri penghuni rumah, disesuaikan pada tinggi
bagian bawah (kolong) dan bagian tengah (badan rumah). 2). Spasial horizontal,
yang biasanya menggunakan ukuran tradisional yaitu reppa’ atau depa dan jakka’
(jengkal). Dan setelah itu, dalam tahap persiapan juga ditentukan waktu atau hari
yang baik untuk memulai pekerjaan dan ditentukan pula tempat dan arah rumah
yang baik.

2.2.2 Tahap Pengumpulan Bahan


Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembangunan rumah, dimana bahan
yang utama yaitu pada bagian tiang. Adapun kayu yang umunya digunakan adalah
aju’ panasa, yaitu kayu nangka. Panasa dalam bahasa bugis ditafsirkan sebagai ri
pommanasai atau yang dicita-citakan. Hal itu mengandung harapan agar apa yang
dicita-citakan oleh si penghuni rumah tercapai. Namun, bila kayu yang digunakan
berasal dari perdagangan, bukan yang ditebang sendiri (aju’ panasa) melainkan
kayu nangka kalole atau kayu yang masih utuh (belum dibelah). Hal itu juga
ditafsirkan mengandung harapan agar si penghuni rumah senantiasa dalam
keadaan utuh atau sempurna dan tidak pernah kekurangan selama menempati
rumah itu. (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 41)[4]
Setelah bahan untuk tiang utama telah diperoleh, selanjutnya ialah kayu
untuk bagian lainnya pada rumah, misalnya antara lain: aju’ seppu untuk bagian
arateng atau atas dan pattolo riawa atau penyangga bawah pada kerangka rumah.
Selain itu juga digunakan aju’ cendana dan aju’ jati untuk bagian barakappu atau
balok kecil dasar dari lantai atau rakkeang (loteng).
2.2.3 Tahap Pendirian atau Pembangunan
Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahapan selanjutnya
yaitu pembuatan kerangka rumah, adapun prosesnya antara lain:

[4]
Izarwisma Mardanas, dkk.1985.Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi-Selatan.Ujung Pandang: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 9


Pembuatan Aliri (Tiang)
Yakni dimulai dari membuat aliri posi’bola (tiang pusat rumah). Posisi tiang
rumah ini terletak pada baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping
kiri. Posi’ Bola ini menyimbolkan wanita, yaitu sebagai pemegang kendali
dalam rumah tangga. Olehnya itu, kayu yang digunakan tidak boleh salah
pilih.
Pembuatan Tiang Pakka (Cabang)
Pakka (Cabang) merupakan tiang penyangga tangga depan yang
melambangkan laki-laki yang sebagai pencari nafkah, harus melalui tangga
dan pintu depan. Setelah tiang tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan
memasang sekitar 20 tiang lainnya untuk bangunan bola (rumah orang biasa).
Deretan tiang ke samping masing-masing 5 buah sedangkan ke belakang
sesuai dengan penghuni rumah.
Pembuatan Parewa Mallepang
Parewa Mallepang adalah bahan-bahan berbentuk pipih seperti arateng,
pattolo, aju lekke, pallangga barakkapu, dan termasuk balok-balok kecil.
Karena pembuatannya memerlukan tenaga yang banyak, pemilik rumah
biasanya membuat acara mappakkatang, yaitu mengundang sanak-saudara
melicinkan kayu dengan serut. Namun, sekarang lebih sering dikerjakan oleh
tukang dengan menggunakan mesin serut.
Mappattama Arateng dan Pattolo
Mappattama Arateng dan Pattolo merupakan kegiatan merangkai kerangka
rumah dengan memasukkan arateng dan pattolo pada tiang yang dilubangi,
dan semuanya harus dimulai dari posi’ bola. Pangkal kayu arateng harus
diletakkan pada posisi depan, sedangkan pattolo di samping kanan.
Mappatettong Bola (Pendirian Kerangka Rumah)
Ketika pendirian kerangka rumah, dibutuhkan banyak tenaga, maka si pemilik
rumah harus mengundang sanak-saudara serta para tetangganya untuk
membantu. Pendirian kerangka harus dimulai dari deretan tiang dimana ada
posi’ bola yang dipimpin oleh panrita bola, lalu disusul deretan tiang lainnya.
Setelah itu, mulai dipasang pattolo riawa dan pattolo riase untuk menahan

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 10


deretan tiang agar tidak rebah. Lalu, dipasang barakkapu, yang merupakan
balok kecil sebagai lantai yang merupakan lantai rakkeang. Sebagai penutup,
kerangka diselesaikan dengan pemasangan kerangka atap, lalu ditutup oleh
atap rumah.
Pemasangan Pelengkap Rumah
Setelah kerangka rumah selesai, dilanjutkan dengan pemasangan pelengkap
dan ornamen-ornamen yang membuat rumah layak dihuni, antara lain:
a) Addeneng, tangga sebagai jalan masuk ke rumah. Menurut tempatnya,
addeneng terbagi 3 yaitu:
1) Addeneng ri pangolo (tangga depan); sebagai jalan masuk utama
2) Addeneng ri monri (tangga belakang); sebagai jalan alternatif apabila ada
urusan di belakang rumah
3) Addeneng rakkeang (tangga loteng); sebagai jalan naik ke loteng untuk
menyimpan hasil panen.
Untuk addeneng saoraja (rumah bangsawan) biasanya meng-gunakan
luccureng sebagai tempat berpegang saat naik atau turun yang tidak boleh
menggunakan kayu cendana, karena kayu cendana dianggap raja kayu (tidak
boleh diinjak).
b) Tanebba, balok kecil yang disusun sejajar dengan pattolo yang berfungsi
sebagai dasar lantai.
c) Dapara, lantai rumah yang biasanya terbuat dari kayu (papan/katapang) dan
bambu yang biasa disebut salima (bambu yang dibelah kecil-kecil).
d) Renring, dinding yang biasa dibuat dari kayu atau papan
(katapang/gamacca), bambu (dedde), dan daun kelapa atau nipah (addada).
Menurut tempatnya, renring dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1) Renring pangolo (dinding depan)
2) Renring uluang (dinding hulu, terletak di bagian kepala saat tidur)
3) Renring monri (dinding belakang)
4) Renring tamping (dinding hilir, terletak di bagian kaki saat tidur)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 11


e) Tange, pintu yang digunakan sebagai akses ke dalam rumah yang terbagi atas
pintu depan dan pintu belakang.
f) Tellongeng, jendela untuk mengamati luar rumah dan ventilasi. Biasanya
ditempatkan di dinding, di antara 2 buah tiang.

Gambar 2.5 |
Keterangan Kerangka Kayu Rumah Adat Luwu

(Sumber:

http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2543/rumah-panggung-kayu

diakses tanggal 23/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 12


2.3 KONSEP ARSITEKTUR RUMAH ADAT LUWU
Konsep arsitektur rumah adat Luwu yang disebut dengan Langkanae ini,
serupa dengan konsep rumah bugis pada umumnya. Antara lain, yaitu: konsep
bangunannya, serta struktur dan sistem konstruksinya. Namun, terdapat beberapa
perbedaan pada ragam hias dan ornamennya.
Berdasarkan data hasil survei lapangan pada rumah adat Luwu yang ada di
Benteng Somba Opu, Makassar, terdapat beberapa perbedaan yang ditampilkan
apabila dibandingkan dengan rumah adat Luwu yang ada di wilayah pusat
Kedatuan/Kerajaan Luwu, tepatnya Kota Palopo. Rumah adat Luwu tersebut
berada di Jl.Yusuf Arief, Kecamatan Wara, Kota Palopo. Adapun perbedaannya
terdapat pada timpa’ laja serta jumlah tiangnya yang lebih sedikit pada rumah adat
Luwu yang berada di Benteng Somba Opu, Makassar.

Gambar 2.6 | Tampak Depan Rumah Adat Langkanae di Jl.Yusuf Arief, Palopo
(Sumber: : http://palopotourism.info/monumen-toddopuli diakses tanggal 23/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 13


Gambar 2.7 | Tampak Depan Rumah Adat Langkanae di Benteng Somba Opu, Makassar
(Sumber: Hasil Survei Lapangan di Benteng Somba Opu tanggal 22/02/2015)
2.3.1 Konsep Bangunan
Berdasarkan kosmologi bentuk Rumah adat Luwu tersusun dari tiga
tingkatan yang berbentuk “segi empat”, Pandangan kosmogoni orang bugis ini
dengan apa yang disebut konsep Sulapa’ Eppa’ Wola Suji (Segi Empat Belah
Ketupat). Konsep ini merupakan filsafat tertinggi orang bugis yang menjadi
seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya.Wujud Konsep ini juga dapat dilihat
dalam bentuk manusia. Dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut
pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini
tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau “banua atas”, alam tengah
“banua tengah” dan alam bawah “banua bawah”.[4]

Gambar 2.8 | Konsep Sulapa’ Eppa’ Wola Suji dalam Rumah Adat Langkanae
(Sumber: http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2543/rumah-panggung-kayu
diakses tanggal 23/02/2015)

Ketiga susunan dunia tersebut, antara lain :


a. Dunia atas (Botting Langi) yang disebut Rakkeang, yaitu loteng di atas badan
rumah merupakan simbol 'dunia atas', tempat bersemayam Sange-Serri (Dewi
Padi). Ruangan ini digunakan khusus untuk menyimpan padi.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 14


b. Dunia Tengah (Ale Bola/kale balla) disebut Watang-pola (badan rumah)
simbol 'dunia tengah'. Ruangan ini merupakan tempat tinggal. Terdiri atas tiga
ruang (ellek), yaitu:
Ruang Depan (Ellek Risaliweng): untuk menerima tamu, tempat tidur
tamu, dan tempat acara adat dan keluarga bersifat semi publik.
Ruang Tengah (Ellek Ritenga): untuk ruang tidur kepala keluarga, isteri
dan anak-anak yang belum dewasa bersifat privat. Ada pula tempat
bersalin, dan ruang makan keluarga bersifat semi privat.
Ruang Dalam (Dapureng): untuk ruang tidur anak gadis dan nenek-kakek
bersifat privat. Ada bilik tidur untuk puteri, ruang yang paling aman dan
terlindung dibanding ruang luar dan ruang tengah. Serta terdapat pula
dapur yang sifatnya semi publik dan lego-lego (ruang tambahan).
c. Dunia bawah disebut Awa-bola, yaitu kolong rumah tidak berdinding, sebagai
tempat menaruh alat pertanian, kuda atau kerbau, atau tempat menenun kain
sarung, bercanda, dan tempat anak-anak bermain.

Selain itu, rumah adat Luwu dengan rumah adat suku Bugis hampir sama
bentuknya, yaitu persegi empat mengartikan empat komponen bumi yaitu tanah,
air, api, dan udara yang ke empat komponen ini tidak boleh saling terputus.

Bentuk Jendela yang digunakan pada rumah Langkanae yaitu jendela ayun
yang dikombinasikan dengan panil dan jalusi/kisi-kisi. Bentuk jendela ini hampir
sama dengan pintu yang berbentuk persegi empat dikarenakan kondisi lingkungan
yang jika siang hari terasa panas dan malam hari terasa dingin. Maka dari itu
ketika malam hari jendela di tutup tetapi masih ada sirkulasi udara yang berupa
terali daun jendela, dan di saat siang jendela di buka untuk mendapatkan udara
yang segar.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 15


Gambar 2.9 | Tipologi Tiang dan Jendela pada Rumah Adat Langkanae

(Sumber: Andi Meegie Senna.pdf dan Tipologi Bentuk Jendela pada Rumah Tradisional Bugis di Taman
Miniatur Sulawesi Selatan, Benteng Somba Opu Makassar.pdf diakses tanggal 23/02/2015)

2.3.2 Ragam Hias dan Ornamen


Ornamen rumah adat Luwu yaitu bunga parengreng berwarna hitam
keabu-abuan yang artinya “bunga yang menarik”, bunga ini hidup menjalar
berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya, bentuknya menjalar kemana-
mana tidak ada putus-putusnya. Artinya rezeki yang tidak putus-putus seperti
menjalarnya bunga parengreng. Letak ornamen ini biasanya berada pada papan
jendela, induk tangga, atau tutup bangunan (anjong). Ornamen lainnya yaitu
berada pada samping kanan dan kiri rumah yang bergantung pada lisplank atap
berbentuk seperti timun, sedangkan pada bagian tangga yang berbentuk segi
banyak pada bagian pegangan luccureng atau sudut railing.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 16


Gambar 2.10 | Ornamen-ornamen pada Rumah Adat Langkanae

(Sumber: Hasil Survei Lapangan di Benteng Somba Opu tanggal 22/02/2015)

2.3.3 Struktur dan Sistem Konstruksi


Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis,
memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah
tradisional Luwu yaitu Langkanae juga terdiri atas:
a. Struktur bagian bawah. Dimana berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa
konstruksi sambungan yang disebut: Pattolo yang fungsinya menghubungkan
atau menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 17


melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain.
Adapun Arateng terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari
panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar,
bambu dan lain-lain Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah,
dan Sebagai dasar tempat meletakkan tanabbe sebagai dasar tumpuan lantai.
b. Struktur badan rumah, antara lain :
Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional
terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan Arung, lantai rumah biasanya
tidak rata karena adanya tamping yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan
lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa To sama
umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja atau Ata
umumnya dari bambu.
Dinding untuk bahan penutup digunakan papan atau katapang. Adapun,
konstruksi balok anak, merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada
balok pallangga arateng.
c. Struktur bagian atas, yang terdiri atas struktur dan konstruksi bagian atas
rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang
kokoh dan stabil untuk menahan gaya. Komponennya terdiri atas :
Balok makelar soddu atau suddu. Terletak ditengah antara balok
pengerat dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok
bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem
ikat/takik pen, dengan ketinggian disesuaikan dengan status
penghuninya. Untuk Arung= ½ lebar rumah+1 siku+1 jengkal telunjuk+3
jari pemilik, untuk golongan To sama= ½ lebar rumah+1 telapak tangan,
sedangkan untuk golongan Ata= ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala
+ kepalan tangan pemilik.
Kaki Kuda-kuda atau pasolle (aju-tee). Berfungsi sebagai tempat
kedudukan balok-balok gording dansebagai penahan bidang atap sistem
konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok
pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm atau 10/15 cm.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 18


Balok bangunan atau coppo (aju lekke), berfungsi sebagai tempat
bertumpunya balok suddu, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya,
balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian
diperkuat dengan paku pen, dan dengan dimensi balok ± 8/10 cm.
Balok pengerat atau Pattolo riase adalah balok yang menghubungkan
ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit
dari lebar rumah, dengan dimensi 8/10 cm atau 6/15 cm. Sistem
konstruksinya, apabila tiang dari bahan bambu maka tiang dan balok
pengerat ditakik ±1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat,
tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian di tusuk
pada setiap lubang dari tiang. Umumnya berbahan batang lontar, kelapa,
jati, dan lain-lain.
Balok blander disebut Bare’, adalah balok yang menghubungkan ujung
atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok,
pendukung kaso, tempat memasang timpa’ laja dan tempat meletakkan
balok rakkeang.

Adapun untuk sistem konstruksi bagian atas atau rakkeang, biasanya


menggunakan sambungan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. Barakapu,
sebagai tempat memakukan/mengikat papan lantai Rakkeang. Rakkeang sebagai
tempat penyimpan barang dan lain-lain dengan bahannya dapat berupa bambu
atau papan.

Pada Timpa’ laja, yang merupakan bagian konstruksi atas, berupa bidang
segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, bertumpu pada rangka utama
seperti balok nok dan pada kedua ujung bagian bawah balok rakkeang.

Untuk Lisplank atau Ciri-ciring, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi
depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada
balok gording dengan system sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi
hiasan atau ornamen. Atap pada rumah adat Langkanae terbuat dari bahan genteng
ataupun seng dengan bentuk pelana dan sudut kemiringan antara 30-40°.

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 19


Gambar 2.11 | Bagian-Bagian Rumah Adat Langkanae

(Sumber: Hasil Survei Lapangan di Benteng Somba Opu tanggal 22/02/2015)

2.4 NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL PADA RUMAH ADAT LUWU


Rumah adat Luwu bukan hanya sekedar rumah adat di Indonesia. Di balik
struktur dan penempatan komponen-komponennya, terdapat berbagai nilai-nilai
tersirat yang menunjukkan pola hidup, budaya, dan kepercayaan dari masyarakat
Luwu.
Adapun, tingkatan kasta atau derajat berdasarkan timpa’ laja pada rumah
adat Luwu (Langkanae), antara lain yaitu :
a. Timpa’ laja untuk rakyat biasa terdiri atas 1 susun
b. Timpa’ laja untuk bangsawan dan sejajarnya terdiri atas 2 susun.
c. Timpa’ laja untuk bekas raja adalah 3, dan 4 Sususn
d. Timpa’ laja untuk raja yang berkuasa terdiri dari 5 Susun

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 20


Gambar 2.12 | Timpak Laja pada Rumah Adat Langkanae

(Sumber: Hasil Survei Lapangan di Benteng Somba Opu tanggal 22/02/2015)

Di dalam nilai kearifan lokal dan budaya pada rumah adat Luwu tersebut
juga terdapat nilai estetika atau keindahan. Hal ini sesuai dengan bentuk unik yang
dimilikinya. Bentuk persegi panjang rumah ini ditopang oleh tiang-tiang yang
diatur rapi. Rumah ini ditutup oleh dinding, disediakan jendela, dan dinaungi atap
berbentuk prisma. Nilai estetika lainnya juga terdapat pada kesatuan dan
keserasian elemen pelengkapnya yang dapat dilihat pada keserasian besar tiang
dengan tebal pattolo dan arateng, keserasian tinggi kolong dengan tinggi
dindingnya, serta antara besar badan rumah dengan tinggi puncaknya. Serta
memilliki ragam hias bercorak flora-fauna nusantara dengan makna tersendiri,
khususnya ornamen bunga parengreng pada bagian rumah adat tersebut.
Rumah ini dianggap sempurna karena memiliki tiang posi’ bola dan tiang
pakka. Tiang posi’ bola melambangkan Ibu rumah tangga yang bertugas
menyimpan nafkah suami dan menjaga keharmonisan keluarga, sedangkan tiang
pakka melambangkan suami yang menafkahi keluarganya. Sehingga, jika suami

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 21


ingin memasukkan nafkah (bahan kebutuhan) ke dalam rumahnya, maka ia harus
melewati tangga depan yang disebut sebagai addeneng pangolo.

Gambar 2.13 | Wujud estetika pada tiap bagian Rumah Adat Langkanae

(Sumber: Hasil Survei Lapangan di Benteng Somba Opu tanggal 22/02/2015)

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 22


BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Langkanae merupakan rumah adat bertiang 88 buah, peninggalan asli suku
Bugis yang ada di Tana Luwu (Bumi Sawerigading). Situs rumah adat tersebut
merupakan salah satu aset dan objek wisata adat yang telah dijaga kelestariannya
oleh pemerintah Tana Luwu. Kawasan Luwu itu sendiri, menurut sejarah
perkembangannya telah terbagi atas 3 kabupaten dan 1 kota. Antara lain yaitu:
Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Palopo. Adapun, Palopo merupakan pusat
kawasan Kedatuan/Kerajaan Luwu. Sehingga dengan adanya kawasan arsitektur
rumah adat ini menarik para wisatawan untuk berkunjung dan meneliti kekhasan
budaya dan kearifan lokal yang ada di Tana Luwu.
Adapun selain konsep arsitektur rumah adat Luwu yang bertemakan sulapa’
eppa’ (berbentuk segi empat), juga terdapat nilai-nilai kearifan lokal serta estetika
yang tampak dan menjadi daya tarik dari rumah adat tersebut. Diantara nilai-nilai
tersebut tersisipkan dalam tiap proses pembangunanya, mulai dari persiapan
hingga pada pendiriannya, yang ditangani oleh panrita bola (arsiteknya).
Akan tetapi, seiring terjadinya perkembangan zaman yang bergerak dinamis
khususnya pada bidang arsitektur, maka arsitektur vernakular dari rumah adat
tersebut pun mengalami sedikit demi sedikit perubahan yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman. Dimana rumah adat Langkanae yang dulunya sebagai istana
kedatuan Luwu dan rumah kediaman Raja/Datu Luwu tersebut kini dikondisikan
dan diubah fungsinya hanya sebatas objek wisata budaya di Tana Luwu.
Walaupun rumah adat tersebut telah beralih fungsi, namun kekhasan dan
kecirian dari rumah adat Langkanae tetap diterapkan pada perumahan-perumahan
masyarakat Bugis Luwu. Sehingga, hal ini tetap mencerminkan simbol dari

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 23


masyarakat nusantara yang kaya akan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang
saling menjunjung “kebersamaan yang menguatkan” seperti disimbolkan pada
monumen “Toddopuli Temmalara”.
3.2 SARAN
Adapun saran dari penulisan makalah ini kepada pembaca agar dapat
mempertahankan keberadaan rumah adat tradisional Langkanae yang ada di Tana
Luwu, Sulawesi-Selatan. Hal ini ditujukan kepada pemerintah, pengelola serta
masyarakat setempat. Karena Langkanae itu sendiri merupakan identitas dari Tana
Luwu, yang perlu dipertahankan sifat keaslian bangunannya dan gaya
arsitekturnya, dipertahankan pola kawasan tetap seperti sekarang dengan sedikit
penataan yang lebih rapi lagi, serta dijaga dan dikembangkan lagi khasanah
budaya yang ada, dengan tetap dijaga adat istiadat serta keseniannya yang sudah
ada.
Selain itu penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan karena kami masih
dalam proses pembelajaran. Dan diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca dan memberi saran yang
sifatnya tersirat maupun tersurat.

Gowa, Februari 2015

PENYUSUN

Arsitektur Rumah Adat Luwu ‘Langkanae’ Sulawesi-Selatan 24

Anda mungkin juga menyukai