Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

(Kebudayaan Sulawesi Selatan)

DISUSUN OLEH :

NAMA : 1. ALFREZA FEDIANSYAH (142016006)

2. RELLY ISKANDAR (142016018)

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan”

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Palembang, Maret 2017

Penyusun
LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam corak
kebudayaan dengan latar belakang sejarah, asal usul yang berbeda-beda. Hal tersebut terlihat
jelas dari keunikan adat- istiadat yang menjadi identitas dan kebanggaan masing-masing
daerah. Meskipun saat ini pengaruh globalisasi dan westernisasi mengancam exisitas dari
adat istiadat tersebut, namun di beberapa daerah, masyarakat masih mempertahankan dan
berpegang teguh atas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

POLA PEMUKIMAN SUKU TORAJA

Struktur dan pola kampung yang terbentuk di Toraja sangat dipengaruhi oleh pola kehidupan
masyarakat suku Toraja. Hal ini didukung dengan aktivitas masyarakat yang masih cenderung
bergantung dengan alam.Secara umum, bentuk perkampungan tradisional suku Toraja
semuanya memiliki kesamaan, yaitu terdiri dari rumah Tongkonan dan deretan alang atau
lumbung.Kondisi fisik alam Kabupaten Toraja Utara merupakan kawasan perbukitan dan
memiliki suhu udara yang cukup dingin.Pada zaman dahulu, Nenek Moyang Tongkonan Kesu
mendirikan rumah di atas tebing (kini menjadi area pekuburan) untuk menghindari musuh,
kemudian seiring dengan perkembangan zaman Nenek Moyang Tongkonan Kesu lalu
mendirikan Tongkonan pertama yang berada di lokasi yang ada saat ini.

Susunan kampung Ke’te Kesu secara struktural memiliki sifat yang homogen, hal ini
dikarenakan hanya terdapat satu pola di kawasan perkampungan Ke’te Kesu.Bangunan utama
yang ada di kampung, yaitu rumah Tongkonan dan deretan alang memiliki pola yang sama
dengan bangunan rumah tunggal yang ada disepanjang jalan menuju ke perkampungan Ke’te
Kesu dan bangunan rumah tunggal yang ada di perkampungan Ke’te Kesu.Pola jaringan jalan
kampung Ke’te Kesu terdiri dari pola jalan grid dan pola jalan tidak teratur. Pola jalan grid atau
bersiku terlihat pada jalan raya (Jl. Ke’te Kesu) yang merupakan pola jalan yang terencana,
sehingga membentuk grid-grid, demikian juga pada pola jalan yang berada di depan Tongkonan
dan alang.Hal ini dikarenakan untuk jalan menuju ke perkampungan Ke’te Kesu masih
merupakan jalan milik pemerintah, sehingga ada perencanaan di dalamnya Sedangkan untuk
jalan di depan rumah Tongkonan dan alang merupakan jalan dengan pola grid karena memang
sejak awal berdirinya rumah Tongkonan dan alang menurut adat dan kepercayaan memang
harus berada di posisi Utara dan Selatan, maka dengan sendirinya membentuk pola grid.

Selain itu, jaringan jalan lainnya seperti jalan menuju ke area pekuburan dan rante
merupakan jalan dengan pola tidak teratur. Pola jalan tidak teratur ini biasanya terlihat pada
kawasan yang mulai berkembang, yang ditandai dengan lebar jalan yang tidak
sama.Perkembangan zaman dan bertambahnya keturunan dari Tongkonan Kesu mengakibatkan
semakin banyaknya bangunan rumah tunggal yang ada di kampung Ke’te Kesu ini, karena
pembangunan rumah-rumah tunggal terjadi dengan sendirinya secara tidak terencana, maka
dapat mengakibatkan pola jalan yang ada pun menjadi tidak teratur.

Pola Perkampungan Toraja, Area Dalam Kampung Ke’te Kesu


Secara visual terdapat tiga elemen pada kampung Ke’te Kesu, yaitu elemen garis yang tampak
pada deretan alang yang membentuk garis, elemen koridor yang terlihat pada Ulu Baba yang
terbentuk karena bangunan rumah Tongkonan dan alang yang dibangun berhadapan, dan
elemen sumbu yang terlihat pada jalan raya masuk ke kampung Ke’te Kesu, yaitu Jl.Ke’te Kesu.

Bangunan rumah Tongkonan yang awalnya hanya ada satu dan bertambah seiring
dengan perkembangan zaman dan pertambahan keturunan.Hal ini terlihat pada bangunan
rumah-rumah tunggal yang dibangun berdekatan dengan rumah Tongkonan, sehingga
menciptakan pola yang baru pada lingkungan di sekitarnya.Hal ini terlihat pada pembagian area
yang ada di kampung Ke’te Kesu, yaitu area upacara pemakaman (rante), area pekuburan
(liang), area permukiman, dan area perkebunan/persawahan.

Selain itu, elemen visual lainnya yang bisa ditemukan di kampung Ke’te Kesu adalah
bentuk bantuan dari pemerintah berupa penyediaan sarana prasarana yang diperuntukan bagi
wisatawan yang berkunjung ke kampung Ke’te Kesu, seperti lahan parkir, perkerasan jalan,
toilet umum, dan tempat sampah.

Berdasarkan atas kepercayaan Aluk Todolo yang memandang alam sebagai falsafah
dalam kepercayaannya (Sitonda 2007 : 30), memengaruhi faktor tata letak bagunan dengan
meyakini bahwa: bagian utara dinamakan Ulunna Langi, merupakan penjuru paling utama dan
tempat yang dianggap paling mulia.Bagian timur dinamakan Mataalo, dianggap sebagai bagian
kedua dari penjuru bumi karena merupakan tempat lahirnya terang atau kehidupan dan
kebahagiaan.Sementara bagian barat dinamakan Mattampu, adalah bagian ketiga dari penjuru
bumi dimana matahari terbenam dan datangnya kegelapan; serta bagian selatan dinamakan
Pollona Langi, bagian ini dianggap rendah dari penjuru bumi karena merupakan tempat
melepaskan segala yang kotor.

Sejarah awal terbentuknya kampung Ke’te Kesu, sistem sosial masyarakat, budaya dan
tradisi yang dilakukan berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo menjadi hal yang mempengaruhi
terbentuknya ruang-ruang fisik kampung Toraja Utara, sehingga hal ini juga yang
mempengaruhi terbentuknya struktur dan pola ruang kampung tradisional suku Toraja.

1. Agama dan Kepercayaan

Jauh sebelum masyarakat menganut Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenalsuatu
kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang
disebut Aluk Todolo.
Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian
kecil yang menganut agama Islam.Sebelum masuknya agama, baik kristen maupun Islam,
masyarakat Torajamenganut kepercayaan leluhur yang telah diwariskan turun temurun sampai
saat ini.Masyarakat Toraja percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia mempunyainyawa,
bahkan selanjutnya nyawa manusia hidup terus walaupun mereka sudahmeninggal.
Kepercayaan dalam keseharian seperti orang yang sudah meninggal,biasanya diberi makan,
minum bahkan ada saja yang diberikan pada jam makan. Inimenandakan bahwa mereka
percaya seolah-olah si mati ini masih hidup karena selaludiberi kebutuhan makan dan minum
walaupun sudah meninggal atau ma’pakande tomate

Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh
masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem
pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan.

Dalam hal keyakinan, penduduk Suku Toraja percaya kepada satu Dewa yang tunggal.
Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Meski
begitu, penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka
meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan,
menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga.

Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk
Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi
tak dapat tinggal lama.

2. MATA PENCHARIAN

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya
terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan
jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan
ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-
satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang
dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan
Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi
muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing.
3. SISTEM KEKERABATAN

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem kekrabatan


tersebut adalah sebagai berikut:

 Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa
Bugis keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di
Makassar Sipa’anakang/sianakang, sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan.
Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang
belum kawin.

 Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat
dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan
istilah Sompulolo, orang Makassar mengistilkannya dengan Sipamanakang. Mandar
Sangan dan Toraja menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas
dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat adalah
sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu jauh
adalah sepupu empat kali sampai lima kali.c. Keturunan. Kekerabatan yang terjadi
berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya
menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di
daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan
perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis,
kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija, Makassar menyebutnya
dengan istilah Sibali dan Toraja Sangrara Buku.

 Pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah adanya


hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun
keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua
pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis
mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppang-teppang, Makassar Sikalu-kaluki, Mandar
Sisambung sangana dan Toraja Sirampe-rampeang.
 Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung,
sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan
darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul
karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada
itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu
dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan.
Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar Sambori, suku
Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.

4. KEBUDAYAAN

4.1 UKIRAN KAYU

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan
konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa’ssura
(atau “tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman
yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti
kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh
ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau
atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah
melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia
dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkanhewan air, menunjukkan kebutuhan untuk
bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga
menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat
desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan
geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat
oranamen geometris.

4.2 UPACARA PEMAKAMAN

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi,
tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-


bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga
yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah
tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman
selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka
semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan
golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang
sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk
melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang
diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu
panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan
dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir,
atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam
tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah,
gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-
anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun
sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
4.3 MUSIK DAN TARIAN

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati
sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan
panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut
Ma’badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan
pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.
Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante,
tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan
sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim
panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan
Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja
sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang.

Misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian
Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.
Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah
upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di
sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa’suling. Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika
alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku
jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa’pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

4.4 RUMAH ADAT SULAWESI SELATAN

Rumah Adat Sulawesi Selatan / Provinsi Sulawesi Selatan dihuni oleh masyarakat
yang berasal dari suku yang beragam. Ada banyak suku yang menghuni provinsi yang
beribukota di Makassar ini, di antaranya suku Bugis, suku Mandar, suku Toraja, suku
Makassar, dan lain sebagainya. Kendati berasal dari suku yang heterogen, masyarakat
Sulawesi Selatan selalu hidup rukun dan damai. Adapun bila dikaitkan dengan ikon budaya,
Sulawesi Selatan sendiri kerap mengangkat budaya suku Toraja di kancah Nasional, termasuk
dalam hal rumah adatnya yang bernama Rumah Tongkonan.

Rumah Adat Sulawesi Selatan Rumah Tongkonan adalah rumah adat bagi masyarakat
suku Toraja dan telah ditetapkan sebagai rumah adat Sulawesi Selatan. Rumah adat ini sangat
terkenal bahkan sampai ke penjuru dunia karena keunikan arsitektur serta nilai nilai filosofis
yang terkandung di dalamnya.

Menurut cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh
Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun
tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi
diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.
Rumah adat Tongkonan dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian
ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan
melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.

5. KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA

Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada
umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian
600 hingga 2800m di atas permukaan laut.
Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C.
Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan,
dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya.
Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka,
upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.

Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari
ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal.
Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud
konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah.
Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada
kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :

a. Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme

b. Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos,


bagian dari lingkungan makrokosmos.
c. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi
ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky

d. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possi di Toraja, possi bola di
Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth

Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal


filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia,
kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi
ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi
dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat
toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri,“Egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada
konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang
sempit.

Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos
budaya “simuane tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling
terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah
adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang
menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung,
sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang
toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam
tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap
sebagai “mikrokosmos”.

5.1. Struktur dan Arsitektur Rumah Adat Secara umum

rumah tongkonan memiliki struktur panggung dengan tiang-tiang penyangga bulat yang
berjajar menyokong tegaknya bangunan. Tiang-tiang yang menopang lantai, dinding, dan
rangka atap tersebut tidak di tanam di dalam tanah, melainkan langsung ditumpangkan pada
batu berukuran besar yang dipahat hingga berbentuk persegi. Dinding dan lantai rumah adat
tongkonan dibuat dari papan-papan yang disusun sedemikian rupa. Papan-papan tersebut
direkatkan tanpa paku, melainkan hanya diikat atau ditumpangkan menggunakan sistem
kunci. Kendati tanpa dipaku, papan pada dinding dan lantai tetap kokoh kuat hingga puluhan
tahun. Bagian atap menjadi bagian yang paling unik dari rumah adat Sulawesi Selatan ini.
Atap rumah tongkonan berbentuk seperti perahu terbaling lengkap dengan buritannya. Ada
juga yang menganggap bentuk atap ini seperti tanduk kerbau. Atap rumah tongkonan sendiri
dibuat dari bahan ijuk atau daun rumbia, meski pun kini penggunaan seng sebagai bahan atap
lebih sering ditemukan.

Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian depan rumah harus
berorientasi Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke
Selatan atau arah tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”. Sedangkan kedua arah mata angin
lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea
“Dewata” memelihara dunia beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi
kehidupan bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat bersemayam “To Membali
Puang” atau tempat para leluhur “Todolo”. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan
akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana
yaitu “keseimbangan”dan secara arsitektural “keseimbangan” selalu diaplikasikan kedalam
bentuk “simetris” pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip
dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan dan berorientasi.’’Rumah
Adat Tradisional Tongkonan.

“Tongkonan”, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya,
karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan”
dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :

“Tongkonan Layuk”, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.

” Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat


melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.

“Tongkonan Batu A’riri”, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi
sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu,
serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.

“Tongkonan Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh
diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.

Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja,
dibedakan atas :
”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada
Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini
hanya terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari.

”Banua Dang Lanta’’”, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti
”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan
Sali sebagai dapur.

”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga
ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat
upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.

”Banua Patang Lanta’’”, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang
memegang fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.

Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2
tahap yaitu :

”Tahap Mangraruk”, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan
bahan bangunan yang diperlukan .

”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk
menyimpan bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana
semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.

Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan ”Ma’
Pabendan”. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua
bahan bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :

”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat
mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan
seolah olah tidak terkena sinar matahari dan hujan.

”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat
atau asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi.
”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu
parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang.

”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan
salah satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.

”Tahap Ma’ Sangkinan Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer
keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula
pada jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.

”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas
ke dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang
mati.

”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu
bubungan.

”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat
mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah.

”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan
persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’
sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak.

”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat
dan mengatr atap.

”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap
bangunan.

”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan
berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa.

”Tahap Ma’ Pabendan Tulak Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang
bagian depan dan bagian belakang Longa.
”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa
dan bila telah selesai maka Ma’ Benglo Longa dibongkar.

”Tahap Ma’ Papa”, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan
Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti.

Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi
fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap
menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi
dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya
hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.

Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur
arsitekturnya antara lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik
garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale
Banua Matumpu’ yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.

Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :

Interior rumah adat Toraja.

”Suluk Banua”, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang
dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung
hewan hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.

”Kale Banua”, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke
selatan.

”Pentiroan”, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi.
Jendela jedela itu adalah :

 ”Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah
menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
 ”Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan,
pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada
pagi hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
 ”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela
ini dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
 ”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap
ke selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila
didalamnya ada orang yang sakit.

”Longa” bagian menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini
berjumlah 3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm.

”Rattiang” atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap.
Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat.

 Lapisan dan Bentuk Rumah tongkonan memiliki 3 lapisan berbentuk segi empat yang
bermakna empat peristiwa hidup pada manusia yaitu, kelahiran, kehidupan, pemujaan
dan kematian. Segi empat ini juga merupakan simbol dari empat penjuru mata angin.
Setiap rumah tongkonan harus menghadap ke utara untuk melambangkan awal
kehidupan, sedangkan pada bagian belakang yaitu selatan melambangkan akhir dari
kehidupan.
 Struktur Bangunan Rumah Adat Tongkonan Struktur bangunan mengikuti struktur
makro-kosmos yang memiliki tiga lapisan banua(rumah) yakni bagian atas
(rattiangbanua), bagian tengah (kale banua) dan bawah (sulluk banua). Bagian atas
(rattiangbanua) digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang
mempunyai nilai sakral dan benda-benda yang dianggap berharga. Pada bagian atap
rumah terbuat dari susunan bambu-bambu pilihan yang telah dibentuk sedemikian
rupa kemudian disusun dan diikat oleh rotan dan ijuk. Atap bambu ini dapat bertahan
hingga ratusan tahun. Bagian tengah (kale banua) rumah tongkonan memiliki 3 bagian
dengan fungsi yang berbeda. Pertama, Tengalok di bagian utara difungsikan sebagai
ruang untuk anak-anak tidur dan ruang tamu. Namun terkadang, ruangan ini
digunakan untuk menaruh sesaji. Kedua, Sali dibagian tengah. Ruangan ini biasa
difungsikan sebagai tempat pertemuan keluarga, ruang makan, dapur dan tempat
disemayamkannya orang mati. Dan ruangan terakhir adalah ruang sambung yang
banyak digunakan oleh kepala keluarga . Bagian bawah (sulluk banua) digunakan
sebagai tempat hewan peliharaan dan tempat menaruh alat-alat pertanian. Fondasinya
terbuat dari batu pilihan yang dipahat berbentuk persegi.
 Ukiran Dinding Ukiran berwarna pada dinding rumah tongkonan terbuat dari tanah
liat. Ukiran-ukiran tersebut selalu menggunakan 4 warna dasar yaitu hitam, merah,
kuning dan putih. Bagi masyarakat toraja, 4 warna itu memiliki arti dan makna
tersendiri. Warna kuning melambangkan anugrah dan kekuasaan Tuhan (Puang
Matua), warna hitam melambangkan kematian/duka, warna putih melambangkan
tulang yang berarti kesucian dan warna merah melambangkan kehidupan manusia.
 Tanduk Kerbau Rumah adat Tongkonan umumnya dilengkapi dengan hiasan tanduk
kerbau. Hiasan ini tersusun menjulang pada tiang bagian depan. Hiasan tanduk kerbau
tersebut secara filosofi adalah perlambang kemewahan dan strata sosial. Semakin
banyak tanduk yang tersusun pada rumah ada tongkonan, maka semakin tinggi strata
sosial kelompok adat yang memilikinya.

5.2. Fungsi Rumah Adat

Selain dianggap sebagai identitas budaya, rumah tongkonan pada masa silam juga menjadi
rumah tinggal bagi masyarakat suku Toraja. Rumah Tongkonan dianggap sebagai
perlambang ibu, sementara lumbung padi yang ada di depan rumah atau biasa disebut Alang
Sura adalah perlambang ayah. Adapun untuk menunjang fungsinya sebagai rumah tinggal,
rumah adat Sulawesi Selatan ini dibagi menjadi 3 bagian, yakni bagian atas (rattiangbanua),
bagian tengah (kale banua) dan bawah (sulluk banua). Bagian Atas atau disebut juga rattiang
banua adalah ruangan yang terdapat di loteng rumah. Ruangan ini digunakan untuk
menyimpan benda pusaka yang dianggap memiliki nilai sakral. Benda-benda berharga yang
dianggap penting juga di simpan dalam ruangan ini. Bagian Tengah atau disebut juga kale
banua adalah bagian inti dari rumah adat Sulawesi Selatan. Bagian ini terbagi menjadi
beberapa ruangan berdasarkan fungsi-fungsi khususnya, yaitu bagian utara, bagian tengah,
dan bagian selatan. Bagian utara disebut dengan istilah ruang Tengalok. Ruangan ini
berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan meletakan sesaji (persembahan). Selain itu, jika
pemilik rumah sudah mempunyai anak, maka ruangan ini juga digunakan sebagai tempat
tidur anak. Bagian pusat disebut Sali. Ruangan ini digunakan untuk beragam keperluan,
seperti sebagai tempat pertemuan keluarga, dapur, ruang makan, sekaligus tempat meletakan
mayat yang dipelihara. Bagian selatan bernama Ruang Sambung. Ruangan ini khusus
digunakan sebagai kamar kepala keluarga. Tidak sembarang orang dapat masuk ke ruangan
ini tanpa seizin pemilik rumah. Bagian Bawah atau disebut juga sulluk banua adalah bagian
kolong rumah. Bagian ini digunakan sebagai kandang hewan atau tempat menyimpan alat-
alat pertanian.
5.3. Ciri Khas dan Nilai Filosofis

Selain dari bentuk atapnya yang seperti tanduk kerbau, ada beberapa ciri khas lain dari rumah
tongkonan yang membuatnya begitu berbeda dengan rumah adat dari suku-suku lain di
Indonesia. Ciri-ciri tersebut di antaranya: Memiliki ukiran di bagian dinding dengan 4 warna
dasar, yaitu merah, putih, kuning dan hitam. Masing-masing warna memiliki nilai filosofis,
merah melambangkan kehidupan, putih melambangkan kesucian, kuning melambangkan
anugerah, dan hitam melambangkan kematian. Di bagian depan rumah terdapat susunan
tanduk kerbau yang digunakan sebagai hiasan sekaligus ciri tingkat strata sosial si pemilik
rumah. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang, maka semakin tinggi kedudukan
pemilik rumah. Tanduk kerbau sendiri dalam budaya toraja adalah lambang kekayaan dan
kemewahan. Di bagian yang terpisah dari rumah tongkonan terdapat sebuah bagunan yang
berfungsi sebagai lumbung padi atau disebut alang sura. Lumbung padi juga berupa
bangunan panggung. Tiang-tiang penyangganya dibuat dari batang pohon palem yang licin
sehingga tikus tidak bisa masuk ke dalam bangunan. Lumbung padi dilengkapi pula dengan
ukiran bergambar ayam dan matahari yang melambangkan kemakmuran dan keadilan.

5.4. Keunikan Rumah Tongkonan

1. Tumbuhan hijau merajalela ada di atas atap yang memperindah tampilan rumah adat
tongkonan.

2. Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah
tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan
tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang.
3. Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin,
sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat
berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk
menyelesaikan perkara.

4. Ukiran khas Toraja bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan
sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut
digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interior rumah mereka.
5. Kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di
depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan
menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah
yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi
kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Tongkonan

http://blog.8share.com/id/menyeramkan-tradisi-manene-di-tana-toraja/

http://phinemo.com/fakta-tongkonan-rumah-adat-tana-toraja/

http://www.kompasiana.com/adiadiadi/keunikan-rumah-tongkonan-rumah-adat-di-
indonesia_573a7ddb44afbd10098d0694

http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/rumah-adat-tongkonan-tana-toraja.html

Anda mungkin juga menyukai