Anda di halaman 1dari 18

2013

M.ApriLdo e

XI IPS 3

[7 UNSUR KEBUDAYAAN
SULAWESI TENGGARA]
[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents
of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary
of the contents of the document.]
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.. ii
Daftar Isi.. iii
Isi tujuh unsur kebudayaan
BAB I : PENDAHULUAN.. 1
1.1 Latarbelakang. 1
1.2 Tujuan. 2
BAB II : RUMUSAN MASALAH. 3
BAB III : TRI ARGUMENTASI. 4
BAB IV : PEMBAHASAN.. 5
4.1 Pemahaman Tentang Tari Lulo. 5
4.2 Cara menari Lulo. 5
4.3 Perkembangan Tari Lulo. 6
BAB V : PENUTUP. 7
5.1 Kesimpulan. 7
5.2 Kritik dan Saran. 8
Kata pengantar

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat tuhan yang


maha esa yang mana telah memberikan rahmat dan
karuniannya sehingga saya bisa mengerjakan makalah sosiologi
tujuh unsur kebudayaan daerah maluku .
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Rita dan ibu
Asmaul husnah selaku guru sosiologi dan guru pembimbing
dalam pembuatan makalah ini. Serta teman-teman yang telah
memberikan kontribusinya dalam pembuatan makalah ini.
Saya meminta maaf apabila terdapat kekurangan dalam
makalah ini karena keterbatasan wawasan dan fasilitas yang
saya miliki , untuk itu kritik dan saran sangat kami butuhkan ,
terimakasih
A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang


memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata
adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya
kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan
bagi bangsa Indonesia.

Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan.


Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya
masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan
masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di karenakan setiap
masyarakat/suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan suku
liannya.
Sulawesi Tenggara

Kendari adalah ibu kota Sulawesi Tenggara Berdiri Tanggal 22 September 1964
berdasarkan Undang- Undang Nomor 13/1964 dengan Ibukota Kendari. Sulawesi Tenggara
pada zaman penjajahan hingga terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952
adalah suatu Afdeling, yaitu Afdeling Boeton Laiwoi dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau.
Afdeling Boeton Laiwui tersebut terdiri dari :

• Onder – Afdeling Boeton;

• Onder – Afdeling Muna;

• Onder – Afdeling Laiwui.

Onder – Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Afdeling Luwu (Sulawesi
Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara
menjadi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya Bau-Bau.
Kabupaten Sulawesi Tenggara tersebut meliputi wilayah-wilayah bekas Onder – Afdeling
Boeton Laiwui serta bekas Onder Afdeling Kolaka dan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi
Selatan Tenggara dengan Pusat Pemerintahannya di Makassar ( Ujung Pandang ). Selanjutnya
dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi
empat Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu :

• Kabupaten Daerah Tingkat II Buton ibukotanya Bau-Bau;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Muna ibukotanya Raha;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari ibukotanya Kendari;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka ibukotanya Kolaka.

Keempat Daerah Tingkat II tersebut merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan
dan Tenggara. Betapa sulitnya komunikasi perhubungan pada waktu itu antara Daerah Tingkat
II se Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat Pemerintahan Provinsi di Ujung Pandang,
sehingga menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun pelaksanaan tugas
pembangunan. Disamping itu gangguan DI/TII pada saat itu sangat menghambat pelaksanaan
tugas-tugas pembangunan utamanya dipedesaan.

Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup luas,
mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian
lainya. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu
terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar serta berbagai hasil hutan lainya. Atas
pertimbangan ini tokoh – tokoh masyarakat Sulawesi Tenggara, membentuk Panitia Penuntut
Daerah Otonom Tingkat I Sulawesi Tenggara.

Tugas Panitia tersebut adalah memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom


Sulawesi Tenggara pada Pemerintah Pusat di Jakarta. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,
cita-cita rakyat Sulawesi Tenggara tercapai dengan keluarnya Perpu No. 2 Tahun 1964 Sulawesi
Tenggara di tetapkan menjadi Daerah Otonom Tingkat I dengan ibukotanya Kendari.

Realisasi pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dilakukan pada tanggal 27


April 1964, yaitu pada waktu dilakukannya serah terima wilayah kekuasaan dari Gubernur
Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara, Kolonel Inf.A.A Rifai kepada Pejabat
Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, J. Wajong.Pada saat itu Provinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Tenggara mulai berdiri sendiri terpisah dari Provinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan. Oleh karena itu tanggal 27 April 1964 adalah hari lahirnya Provinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Tenggara yang setiap tahun diperingati.

Sejarah,Kebudayaan, Dan Adat Istiadat Dari Indonesia


Sulawesi Tenggara

Kendari adalah ibu kota Sulawesi Tenggara Berdiri Tanggal 22 September 1964 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13/1964 dengan Ibukota Kendari. Sulawesi Tenggara pada zaman
penjajahan hingga terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952 adalah suatu
Afdeling, yaitu Afdeling Boeton Laiwoi dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau. Afdeling Boeton
Laiwui tersebut terdiri dari :

• Onder – Afdeling Boeton;

• Onder – Afdeling Muna;

• Onder – Afdeling Laiwui.

Onder – Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Afdeling Luwu (Sulawesi Selatan),
kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara menjadi satu
Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya Bau-Bau. Kabupaten Sulawesi
Tenggara tersebut meliputi wilayah-wilayah bekas Onder – Afdeling Boeton Laiwui serta bekas
Onder Afdeling Kolaka dan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan Pusat
Pemerintahannya di Makassar ( Ujung Pandang ). Selanjutnya dengan Undang-Undang No. 29 Tahun
1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu :

• Kabupaten Daerah Tingkat II Buton ibukotanya Bau-Bau;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Muna ibukotanya Raha;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari ibukotanya Kendari;

• Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka ibukotanya Kolaka.

Keempat Daerah Tingkat II tersebut merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan dan
Tenggara. Betapa sulitnya komunikasi perhubungan pada waktu itu antara Daerah Tingkat II se
Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat Pemerintahan Provinsi di Ujung Pandang, sehingga
menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun pelaksanaan tugas pembangunan.
Disamping itu gangguan DI/TII pada saat itu sangat menghambat pelaksanaan tugas-tugas
pembangunan utamanya dipedesaan.

Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup luas,
mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian lainya.
Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu terdapat
pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar serta berbagai hasil hutan lainya. Atas pertimbangan
ini tokoh – tokoh masyarakat Sulawesi Tenggara, membentuk Panitia Penuntut Daerah Otonom
Tingkat I Sulawesi Tenggara.

Tugas Panitia tersebut adalah memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom Sulawesi


Tenggara pada Pemerintah Pusat di Jakarta. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, cita-cita rakyat
Sulawesi Tenggara tercapai dengan keluarnya Perpu No. 2 Tahun 1964 Sulawesi Tenggara di
tetapkan menjadi Daerah Otonom Tingkat I dengan ibukotanya Kendari.

Realisasi pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dilakukan pada tanggal 27 April
1964, yaitu pada waktu dilakukannya serah terima wilayah kekuasaan dari Gubernur Kepala Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara, Kolonel Inf.A.A Rifai kepada Pejabat Gubernur Kepala Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara, J. Wajong.Pada saat itu Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara
mulai berdiri sendiri terpisah dari Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Oleh karena itu tanggal
27 April 1964 adalah hari lahirnya Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara yang setiap tahun
diperingati.

Sistem mata pencaharian


Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah
mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

 Berburu dan meramu


 Beternak
 Bercocok tanam di ladang
 Menangkap ikan

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial


Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan
untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,
menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.

Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari


yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh
masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti
keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi
sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai
makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

kabupaten dan Kota


No. Kabupaten/Kota Ibu kota

1 Kabupaten Bombana Rumbia

2 Kabupaten Buton Pasarwajo

3 Kabupaten Buton Utara Buranga

4 Kabupaten Kolaka Kolaka

5 Kabupaten Kolaka Timur Tirawuta

6 Kabupaten Kolaka Utara Lasusua

7 Kabupaten Konawe Unaaha

8 Kabupaten Konawe Selatan Andolo

9 Kabupaten Konawe Utara Wanggudu

10 Kabupaten Muna Raha

11 Kabupaten Wakatobi Wangi-Wangi

12 Kota Bau-Bau -

13 Kota Kendari -
BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Budaya atau kesenian Lulo merupakan kesenian daerah suku Tolaki yang menjadi
khasanah yang memperkaya budaya Sulawesi Tenggara. Sebagai kesenian daerah, Lulo juga
telah menjadi salah satu atribut budaya yang membedakan Sultra dengan daerah lain. Menurut
M. Oktrisman

Balagi Kepala Bidang Pesona Seni Budaya Badan Pariwisata dan Kebudayaan Sultra,
tarian lulo menggambarkan kebersamaan masyarakat Tolaki dalam keberagaman dengan
meninggalkan sekat yang membedakan kaya dan miskin serta status sosial lainnya. Jika
menelusuri awal munculnya kesenian lulo menurut Trisman, mungkin bisa dilihat dari
bagaimana memakna gerakan-gerakan lulo itu sendiri saat ini. Pada zaman dahulu, masyarakat
suku Tolaki yang notabene mengkonsumsi sagu dan beras dalam memenuhi kebutuhan
konsumsinya, sering menggunakan teknik menghentakkan kaki untuk menghaluskan rumbia
menjadi sagu yang bisa dimakan dan menggunakan teknik yang sama dalam melepaskan bulir
padi dari tangkainya. Kebiasaan ini kemudian dilakukan secara terus-menerus dan secara
bergotong royong agar prosesnya lebih cepat.

Dari kebiasaan inilah masyarakat menemukan gerakan-gerakan yang kemudian


dikembangkan menjadi sebuah seni tari yang kini kita kenal dengan sebutan Tarian Lulo. Pada
awalnya, tari ini diadakan dalam rangka pesta perkawinan, syukuran panen, dan acara-acara
khusus lainnya. Tujuannya adalah sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan tidak
jarang juga dimanfaatkan sebagai ajang untuk mencari jodoh. Namun pada perkembangannya,
tarian ini juga diadakan ketika ada pejabat atau tamu penting yang datang berkunjung ke
Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam tarian ini, dihadirkan penari-penari cantik yang
mendampingi sekaligus membimbing para pejabat atau tamu penting untuk ikut serta menari.

Tari lulo juga dapat dikatakan sebagai olahraga malam, karena setelah kita melakukan
tari lulo, badan kita menjadi segar.

1.2 Tujuan

Agar kita mengetahui kebudayaan Sulawesi Tenggara.

Agar kita mengetahui bahwa di Indonesia sangat beragam seni budayanya

Agar kita ketahui apa tari lulo itu ?

BAB II : RUMUSAN MASALAH.

Belakangan ini banyak terjadi perkelahian dan perselisihan ketika orang-orang atau
anak-anak muda sedang menari lulo. Sehingga akibatnya, Tari Lulo sudah jarang dilakukan pada
malam ketika acara perkawinan. Padahal, Tari Lulo sangat nikmat dilakukan pada malam har

BAB III : TRI ARGUMENTASI

Ada tiga pendapat orang-orang mengenai Tari Lulo, yaitu :

Menurut M. Oktrisman Balagi Kepala Bidang Pesona Seni Budaya Badan Pariwisata dan
Kebudayaan Sultra, tarian lulo menggambarkan kebersamaan masyarakat Tolaki dalam
keberagaman dengan meninggalkan sekat yang membedakan kaya dan miskin serta status
sosial lainnya.
Menurut Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan
pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan dengan adaptasi
konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba
(lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan
dikreasi gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu.

Menurut Trisman, yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian
tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa
masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan
persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotong royong dan
saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”.

BAB IV : PEMBAHASAN

1. Pemahaman Tentang Tari Lulo.

Dahulu kala, ketika Tari Lulo menjadi sarana untuk mencari jodoh, terdapat tata atur
yang sangat ketat. Ketika akan masuk ke dalam arena tarian misalnya, para penari harus masuk
dari depan dan tidak diperbolehkan masuk dari belakang. Selain itu, ketika akan mengajak calon
pasangan untuk menari, terutama pasangan pria yang mencari pasangan wanita, hendaknya
mencari wanita yang sedang berpasangan dengan wanita. Jadi, seorang pria tidak
diperbolehkan mengajak seorang wanita yang sudah berpasangan dengan pria lain.

Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kesalah pahaman ketika tarian
berlangsung. Ada juga aturan lain yang cukup menarik untuk diketahui, seperti ketika terjadi
penolakan dari calon pasangan. Apabila seorang pria yang mencari pasangan ditolak oleh si
wanita, maka pria tersebut dikenai denda adat, yaitu seekor kerbau ditambah dua lembar
sarung (toloa). Akan tetapi, denda ini tidak berlaku sebaliknya kepada pihak wanita. Seiring
perjalanan waktu, tata atur yang berlaku dalam tarian ini sudah mulai ditinggalkan. (Mardiati,
2012)

2. Cara menari Lulo

Tari Lulo memiliki gerakan yang sederhana dan teratur, sehingga memberikan
kemudahan bagi siapa saja untuk melakukannya. Tari Lulo dilakukan dengan saling
bergenggaman tangan, melangkahkan kaki dua kali ke kiri, dua kali ke kanan, ke depan dan
belakang sambil menghentakkan kaki mengikuti irama musik memberikan nilai seni tersendiri
bagi mereka yang melakukannya. Di samping itu ada yang perlu diperhatikan dalam tarian lulo
ini seperti posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah
menopang tangan wanita.

Ini dilakukan supaya gerakan tari bisa berjalan secara harmonis, dan bagian atas tubuh
wanita tidak tersentuh oleh pasangannya ketika menari. Selain itu merupakan wujud
simbolisasi dari kedudukan, peran, etika kaum pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya, tarian ini dilakukan dengan gerakan yang teratur dan berputar dalam satu
lingkaran. (Mardia, 2000)
3. Perkembangan Tari Lulo

Seiring perkembangan waktu, kesenian lulo sendiri ikut mengalami perkembangan.


Hadirnya hiburan lain dalam masyarakat modern seperti diskotik, pub, dan konser-konser
musik dengan penampilan artis-artis lokal maupun nasional tidak membuat kesenian Lulo
ditinggalkan masyarakat. Melainkan lulo semakin saja tumbuh subur dengan iklimnya sendiri
bahkan dengan gaya dan caranya yang khas. Saat ini Tarian Lulo sendiri telah mengalami proses
penyesuaian dalam berbagai bentuk. Lulo yang dulunya hanya dilakukan dengan mengikuti
irama alat musik tradisional seperti gong telah berubah dengan menggunakan alat musik
elektornik electone atau organ.

Di tengah perkembangan peradaban yang terus melaju membentang membentuk simpul


modernisasi zaman dengan segala hal yang dibuatnya memukau, lulo ternyata mampu bertahan
dan tidak kehilangan pesona. Tidak hanya itu Lulo pun terus tumbuh dengan geliatnya yang
kuat mengikuti lajur ngilu perkembangan massa.

Hal ini dijelaskan Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan
pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan dengan adaptasi
konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba
(lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan
dikreasi gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu.

Menurut Trisman, yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian
tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan mencerminkan bahwa
masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan
persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotong royong dan
saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”. (Mardiati, 2012)

BAB V
LANDASAN TEORI

5. Pengertian Seni dan Budaya


Sebelum penulis mengemukakan pengertian seni budaya Sulawesi Tenggara, terlebih
dahulu dikemukakan pengertian seni dan budaya secara umum.

1. Pengertian Seni
Seni adalah ide, gagasan, perasaan, suara hati dan gejolak jiwa yang diwujudkan atau
diekspresikan melalui unsur-unsur tertentu yang bersifat indah untuk memenuhi kebutuhan
manusia, walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk binatang. Seni indah menurut
ukuran yang menikmati. Adapun pengertian seni menurut para ahli sebagai berikut.
a. Menurut Alexander Baum Garton, seni adalah keindahan dan seni adalah tujuan yang
positif menjadikan penikmat merasa dalam kebahagiaan.
b. Menurut Emanuel Kant, seni adalah sebuah impian karena rumus-rumus tidak dapat
mengikhtiarkan kenyataan.
c. Menurut Leo Tolstoy, seni adalah menimbulkan kembali perasaan yang pernah
dialami.
d. Menurut Aristoteles, seni adalah bentuk pengungkapan dan penampilan yang tidak
pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu adalah meniru alam.
e. Menurut Ki Hajar Dewantara, seni merupakan hasil keindahan sehingga dapat
menggerakkan perasaan indah orang yang melihatnya. Oleh karena itu, perbuatan manusia
yang dapat mempengaruhi dapat menimbulkan perasaan indah disebut seni
(http://grou.ps/marufbicara/blogs/).

2. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan dan karya seni .
Dari pengertian seni dan budaya di atas, dapat dikemukakan pengertian seni budaya
Sulawesi Tenggara secara umum. Seni budaya Sulawesi Tenggara adalah seni yang lahir dari
kebiasaan masyarakat Sulawesi Tenggara yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Untuk lebih dapat memahami seni budaya Sulawesi Tenggara, maka harus diketahui terlebih
dahulu macam-macam seni budaya Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara memiliki sejumlah
kelompok bahasa daerah dengan dialek yang berbeda-beda. Seperti dialek Bahasa Tolaki, Muna,
Pongana, Buton, Cia-cia dan Suai.
Untuk mengatur hubungan kehidupan antarmasyarakat, telah berlaku hukum adat yang
senantiasa dipatuhi oleh warga masyarakat. Jenis hukum adat tersebut antara lain adalah
hukum tanah, hukum pergaulan masyarakat, hukum perkawinan dan hukum waris. Provinsi
Sulawesi Tenggara memiliki berbagai jenis kesenian yang potensial sehingga memperkaya
khazanah kebudayaan Indonesia. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah seni tari, seni ukir, seni
lukis, seni suara dan seni bunyi.

2. Seni Budaya Sulawesi Tenggara


Dalam rubrik Kendari Pos, seorang penyair terkenal Syaifuddin Gani menulis, “dunia
tercengang ketika utusan Sulawesi Tenggara yang diwakili Kabupaten Wakatobi memainkan
kabhanti dilengkapi instrumen gambus di Gedung Kesenian Jakarta, tahun silam. Penonton
terpesona ketika mendengar puisi kabhanti dilantunkan yang memiliki kekuatan estetik dan
puitik yang agung”. Dia juga menulis, “dunia mengakui bahwa Sulawesi Tenggara memiliki
khazanah besar (sastra khususnya dan seni budaya umumnya), yang bernilai lokal dan
universal”. Gani mencontohkan, betapa kesusastraan Buton, sastra lisan Tolaki, Muna dan
Moronene (sekadar menyebut beberapa nama) adalah aset besar seni budaya Sulawesi
Tenggara.
BAB VI
PEMBAHASAN

6. Pudarnya Seni Budaya Sulawesi Tenggara


1. Penyebab Pudarnya Seni Budaya Sulawesi Tenggara
Harus diakui, dalam sepuluh tahun terakhir ini pembangunan fisik Kota Kendari,
sebagai wajah Sulawesi Tenggara, menunjukkan kemajuan sangat pesat. Akan tetapi, kemajuan
tersebut tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang seni budaya. Sulawesi Tenggara belum
memiliki gedung kesenian yang dengan jadwal tetap menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
untuk menyalurkan kreativitas seni budaya. Kesenian dan acara-acara budaya masih
dilaksanakan sebatas “dalam rangka”.
Hal ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan kemajuan bidang olahraga. Betapa besar
dana yang dikucurkan pemerintah pada penyelenggaraan Porda terakhir yang berlangsung di
ibukota Kabupaten Muna. Pasti bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi Pekan Olahraga Nasional
dan lain-lain.

a. Kurangnya perhatian dari pemerintah Sulawesi Tenggara dan pemerintah pusat


terhadap seni budaya Sulawesi Tenggara. Pemerintah terlalu sibuk dalam mengurusi bidang
politik, sehingga lupa akan seni budaya yang mulai pudar di kalangan masyarakat.
b. Kurangnya kemauan dari generasi muda Sulawesi Tenggara untuk mempelajari seni
budaya Sulawesi Tenggara. Hal ini disebabkan oleh terpengaruhnya generasi muda terhadap
gaya hidup bangsa luar (globalisasi).
c. Adanya stereotif di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya dari kalangan
generasi muda, bahwa seni budaya Sulawesi Tenggara tidak mencerminkan suatu kemodernan.
Seni budaya Sulawesi Tenggara dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Padahal, seni budaya
Sulawesi Tenggara juga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan tidak
meninggalkan ciri khas dari seni budaya tersebut.
d. Kurangnya penghargaan dari masyarakat Sulawesi Tenggara terhadap
kebudayaannya sendiri. Banyak masyarakat yang merasa kurang percaya diri dengan seni
budaya daerah sendiri. Sehingga masyarakat lebih menghargai seni budaya daerah atau bangsa
lain daripada seni budaya daerah sendiri.
e. Kurang gencarnya pemerintah Sulawesi Tenggara dalam mensosialisasikan seni
budaya daerah. Sehingga karena ketidakpedulian tersebut, masyarakat juga menjadi tidak
peduli. Akibatnya, seni budaya Sulawesi Tenggara semakin pudar dari hari ke hari.
f. Kurangnya apresiasi pemerintah Sulawesi Tenggara terhadap karya anak daerah
sendiri.
g. Program pemerintah yang tidak jelas dan penempatan pejabat yang bukan ahli di
bidang seni budaya.
h. Tidak adanya regenerasi budaya. Dalam hal ini, tidak adanya pewarisan budaya yang
dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Sehingga pengetahuan tentang seni budaya daerah
akan semakin menurun dan bisa saja menghilang.

2. Dampak Pudarnya Seni Budaya Sulawesi Tenggara terhadap Generasi Penerus


Pudarnya seni budaya Sulawesi Tenggara membawa dampak bagi masyarakat
khususnya generasi penerus Sulawesi Tenggara. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
terhadap tiga puluh orang siswa siswi, tim penulis menemukan bahwa ternyata masih sangat
banyak siswa siswi SMA Negeri 4 Kendari yang kurang dan bahkan tidak mengetahui seni
budaya apa saja yang dimiliki oleh Sulawesi Tenggara.
Hal ini menunjukkan minimnya pengetahuan dan minat generasi muda terhadap seni
budaya Sulawesi Tenggara. Tentu hal ini merupakan hal yang sangat mengejutkan. Bagaimana
mungkin putra putri daerah tidak mengenal seni budaya daerah mereka sendiri. Jika hal ini
dibiarkan terus-menerus, maka bukan merupakan suatu hal yang mustahil apabila generasi
Sulawesi Tenggara lima sampai sepuluh tahun ke depan, sudah tidak mengenal seni budaya
Sulawesi Tenggara lagi.

B. Upaya Memajukan Seni Budaya Sulawesi Tenggara


Melihat kenyataan yang ada sekarang ini, maka upaya memajukan seni budaya Sulawesi
Tenggara merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Tapi bila kita bersungguh-sungguh
melakukannya, maka hal tersebut bukan suatu hal yang mustahil.
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memajukan seni budaya Sulawesi Tenggara.
Upaya tersebut dapat dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu diri sendiri dan keluarga.
upaya yang dapat dilakukan adalah mengikuti sanggar seni atau belajar bahasa daerah.
Pemerintah juga dapat berupaya memajukan seni budaya Sulawesi Tenggara, dengan
cara menggencarkan sosialisasi dan menjadwalkan kegiatan-kegiatan tetap agar masyarakat
dapat menyalurkan kreativitas seni budaya mereka. Sehingga kegiatan seni budaya tidak lagi
dilaksanakan hanya sebatas “dalam rangka”. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas yang
memadai sehingga seni budaya Sulawesi Tenggara dapat maju dan berkembang. Misalnya,
pemerintah Sulawesi Tenggara dapat membangun gedung kesenian yang ramai dengan
berbagai pertunjukan dan diskusi seni serta galeri lukisan yang menjadi pusat pertumbuhan
seni rupa.

Tidak hanya masyarakat dan pemerintah. Sekolah juga memiliki andil memajukan seni
budaya Sulawesi Tenggara. Di sekolah hendaknya diadakan pelajaran seni budaya yang khusus
mempelajari seni budaya Sulawesi Tenggara. Siswa siswi dapat diajarkan menenun, bermain
musik bambu, berbahasa daerah atau menari khas daerah. Misalnya Tari Mowindahako atau
Tari Linda.
Sebenarnya tidak sulit untuk memajukankan seni budaya Sulawesi Tenggara.

RUMAH BUDAYA SULAWESI TENGGARA

Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut
Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun
paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi
landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan,
menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi
Tenggara

Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah


tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan
istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara
menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut
Malige.
Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau
Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan
dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna,
Kendari dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan
kuda betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi
Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan lain-lain.

Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari
bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama
lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi
makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih
melebar.

Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai


pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai
delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke
atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini
terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya
berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong.

Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si
pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri
dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan
mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau
rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang
samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah
Sultan Buton.

Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:

1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua
berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton.
Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah
kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar
anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau
kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan
diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan
kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.

Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau susunan ruangan
sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan peragaan aspek kebudayaan
daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian kebesaran tradisional raja Kendari beserta
permaisurinya, juga pakaian kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri
besar atau Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan. Semuanya
dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional tersebut. Di ruanga inipun
dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman,
tenunan serta benda-benda pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan
seperti penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.

2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan
7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7
tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-
kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar
yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih
besar lagi sebagai Aula.

3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi

4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar bangunan


Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai
dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini
di[pergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan,
yaitu ukira naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang
tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan
tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang
kebesaran kerajaan Buton.

Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas
saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas
bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya
Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit
itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan
sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas
in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan diresmikan
pengggunaannya pada tahun 1975.

Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah orang-orang


adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan terdapat arena pertunjukan dengan
latar belakang relief, yang menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena
inilah pada hari Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti tari-tarian
antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari Malulo dan lain-lain. Jenis tarian
terakhir merupakan tarian pergaulan yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila
besarnya lingkaran telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya,
begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis karena semakin banyak
orang yang melibatkan diri ikut menari tarian Malulo ini.
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, sebagai berikut.
1. Penyebab pudarnya pesona seni budaya Sulawesi Tenggara dapat berasal dari
pemerintah dan masyarakat Sulawesi Tenggara sendiri. Pudarnya seni budaya Sulawesi
Tenggara dapat berdampak buruk bagi generasi penerus Sulawesi Tenggara.
2. Tidak hanya pemerintah yang dapat berupaya memajukan seni budaya Sulawesi
Tenggara. Masyarakat dan sekolah juga ikut andil memajukan seni budaya Sulawesi Tenggara.

B. Saran
Sulawesi Tenggara memiliki beragam seni budaya yang memperkaya khazanah
kebudayaan Indonesia. Sayangnya, pesona seni budaya Sulawesi Tenggara yang begitu
berpotensi, mulai pudar karena tidak adanya perhatian baik dari pemerintah dan masyarakat.
Maka diperlukan upaya untuk memajukan seni budaya Sulawesi Tenggara. Partisipasi positif
dari semua pihak sangat diharapkan. Sehingga upaya tersebut dapat terwujud dengan baik dan
memberikan manfaat yang besar bagi Sulawesi Tenggara.

Referensi
1. ^ Watuseke, F. S. 1974. On the name Celebes. Sixth International Conference on Asian
History, International Association of Historians of Asia, Yogyakarta, 26th-30th August.
Unpublished.
2. ^ Caldwell, I.A. 1988. 'South Sulawesi A.D. 1300–1600; Ten Bugis texts.' Ph.D thesis, The
Australian National University; Bougas, W. 1998. 'Bantayan; An early Makassarese
kingdom 1200 -1600 AD. Archipel 55: 83-123; Caldwell, I. and W.A. Bougas 2004. 'The
early history of Binamu and Bangkala, South Sulawesi.' Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 64: 456-510; Druce, S. 2005. 'The lands west of the lake; The history of
Ajattappareng, South Sulawesi, AD 1200 to 1600.' Ph.D thesis, The University of Hull.
3. ^ Crawfurd, J. 1856. A descriptive dictionary of the Indian islands and adjacent countries.
London: Bradbury & Evans.
4. ^ Bassett, D. K. (1958). English trade in Celebes, 1613-67. Journal of the Royal Asiatic
Society 31(1): 1-39.
5. ^ Kahin (1952), p. 145
6. ^ Westerling, R. 1952. Challenge to Terror
7. ^ Sejarah Propinsi Sulawesi Utara
8. ^ Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi sulawesi, 1953, hal. 176-177
9. ^ Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1950
10. ^ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960
11. ^ Undang Undang nomor 13 tahun 1964
12. ^ "Indonesia: Provinces, Cities & Municipalities". City Population. Diakses 2010-04-28.
13. ^ Potensi Wisata Sulawesi

Anda mungkin juga menyukai