Anda di halaman 1dari 3

Nama: Avrina Dewi Nacita

NIM: D051211021
Kelas: TSA 1-A

RESUME MATERI TEORI SEJARAH ARSITEKTUR MAMASA

Secara administratif, Kabupaten Mamasa termsuk salah satu dari lima kabupaten di
Provinsi Sulawesi Barat. Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari kabupaten Polewali
Mamasa yang kini menjadi Kabupaten Polewali Mandar. Wilayah Mamasa diapit oleh
beberapa kabupaten, di antaranya berbatasan dengan Kabupaten Mamuju di sebelah
utara, berbatasan dengan Kabupaten Majene dan Mamuju di sebelah Barat, berbatasan
dengan Kabuoaten Polewali Mandar di sebelah selatan, dan berbatasan dengan
Kabupaten Tana Toraja dan Pinrang di sebelah timur.
Secara Arfiah, Mamasa berasal dari kata “Mamase” yang memiliki arti menyayangi,
diambil dari kata tersebut karena seringnya mendapat keberkahan dalam bertani dan
berburu.
Asal mula nenek moyang masyarakat Mamasa berasal dari “Ulu Sa’dan” lalu mereka
bertemu dengan Datu Lumuran yang disebut dengan “Torijene” dari daratan Indo Cina,
lalu kemudian melahirkan keturunan-keturunannya. Kepercayaan masyarakat Mamasa
sebelum datangnya agama dikenal dengan nama Aluk Tomatua (Aluk Mapparundo).
Falsafah hidup yang dipegang kuat oleh masyarakat Mamasa adalah “Mesa’ Kada
Dipoyuo Pantang Kada Dipomate” artinya Bersatu kita tengah bercerai kita runtuh.
Dalam memutuskan suatu perkara dalam masyarakat Mamasa, dikenal “adat tua” berarti
suatu prinsip dalam kehidupan bermasyarakat yang mengutamakan hidup untuk
kehidupan dalam arti luas, yaitu tanggung jawab kepada dewata secara vertikal,
tanggung jawab kepada sesame manusia termasuk lingkungan secara horizontal, dan
tanggung jawab kepada diri sendiri dan keluarga.
Dalam masyarakat Mamasa, terdapat tingkatan strata sosial, yang pertama Tana’
Buluwan (Bangsawan tertinggi) merupakan keturunan dari para ketua-ketua adat
setingkat raja yang ada di Mamasa. Kedua, Tana’ Gallang (bangsawan menengah)
merupakan pembantu Tana’ buluwan. Ketiga, Tana’ Bassi (bangsawan menengah)
kasta ini pada umumnya dari keturunan para pemberani. Keempat Tana’ Karurung
(rakyat) kasta ini merupakan keturunan masyarakat kebanyakan. Terakhir Tana’ Koa-
koa (hamba sahaya) merupakan kasta terendah yang termasuk dalam kasta ini adalah
para budak-budak. Budak ini terbagi ke dalam dua golongan sabua/kaunan yaitu budak
yang dipercaya oleh tuannnya, dan Sabua Tai Manuk mereka dijual ke sana ke mari oleh
para tuannya.
Selain strata sosial, di Mamasa juga terdapat aturan poko dalam kehidupan masyarakat
Mamasa, di antaranya yang pertama Pa’bannetauan (malolo tau) yaitu perkawinan dan
segala yang terkait dengan perkawinan, dikordini oleh Panggulu Tau. Kedua,
Pa’totiboyongan (banne malapu) yang mengurus pertanian, dikoordinir oleh So’bok
atau Indona Pariama.Ketiga, Pa’pemalasan (passurusan Kaparrisan) mengurus
masalah syukuran dan kaitannya yang dikoordinir oleh Taburake-Sando. Keempat
Pa’tomatean yakni yang mengurus kematian dan kaitannya, dikoordinir oleh Tomebalun.

Berdasarkan hasil suatu penelitian, terungkap bahwa arsitektur tradisional Mamasa,


terdiri atas rumha, lumbung padi, dan kuburan. Ketiga jenis bangunan ini mempunyai
karakteristik masing-masing. Rumah sebagai tempat hunian dan aktivitas manusia, dan
juga sebagai tempat untuk membicarakan dan melaksanakan adat-istiadat yang harus
dipatuhi. Lumbung sebagai tempat menyimpan padi, dan kuburan tradisional dari
berbagai tipe yang kesemuanya itu memperkaya corak arsitektur tradisional Mamasa.
(Mithen, 2016)

Khusus untuk arsitektur traisional rumah, terdiri atas beberapa jenis sesuai dengan strata
dan fungsi adat; di antaranya Banua Pa’tondokan, merupakan rumah yang
dimensianya paling besar dan setiap kampung memiliki satu banua Pa’tondokan; Banua
Layuk Rambusaratu, merupakan rumah terbesar kedua; Banua Layuk Buntu Kasisi,
merupakan rumah terbesar ketiga; Banua Layuk Rante, merupakan rumah terbesar
keempat dan tidak memiliki ukiran; Banua Posik yang memiliki adiri posik; Banua
ma’longa yang memiliki penulak longa banua.

Pada dasarnya, rumah tradisional Mamasa memiliki sistem pemataan struktur dan
konstruksi yang dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan pembagian rumah secara
vertikal, yaitu bagian bawah, tengah, dan atas. Bagian bawah/kolong rumah (Illi’ Banua)
meliputi pondasi, susunan tiang penyangga, dan lantai. Bagian tengah/ badan rumah
(Kale banua) meliputi dinding rumah. Bagian atas/kepala rumah (Papa’ banua) meliputi
atap.

Sedangkan secara horizontal, dikenal empat ruang yaitu; Ta’do merupakan ruang
terdepan (utara) sebagai tempat menerima tamu; Ba’ba merupakan ruang setelah ta’do
yang difungsikan sebagai ruang tidur tamu; Tambing, yaitu ruang setelah ba’ba yang
berfungsi sebagai ruang tidur pemilik rumah dan terbagi dua lokasi di sisi barat dan sisi
timur; Ada juga Pollo’ sama dengan Tambing tetapi ini diperuntukkan sebagai ruang tidur
anak gadis dan tempat penyimpanan harta pusaka; Lombon, yaitu terletak paling
belakang (selatan) yang difungsikan sebagai dapur dan tempat menerima kerabat dekat
yang datang serta sebagai tempat musyawarah keluarga.
Ketinggian lantai Ta’do dan Ba’ba sama, sedangkan Tambing dan Lombon lebih tinggi ±
50 cm. Untuk banua yang haya terdiri dari 3 ruang (tanpa Ta‟do), yang ditinggikan adalah
Lombon. Sedangkan yang terdiri dari 2 (hanya Tambing dan Lombon) tidak terdapat
perbedaan ketinggian lantai.
Bentuk struktur & konstruksi rumah tradisional Mamasa memberi makna, di antarnya:
Pertama, bentuk atap yang memuncak mencerminkan makin ke atas semakin besar &
semakin agung. Struktur dan konstruksi atap ini merupakan pencerminan Kagungan
Yang Maha Kuasa. Kedua, Sifat kejujuran & kerja sama antar komponen bangunan yang
menggabungan tiga bagian bangunan yang terpisah mencerminkan kegotong-royongan
& kesatuan, “Mesa kada dipatuo patan kada dipomate, kada masa umpiak batu tuo”
artinya bersatu kita teguh bercerai kita runtuh…persatuan itu dapat merupakan kekuatan
yang dapat memecahkan Ketiga, Masuk & keluar ba‟ba (pintu) mengharuskan kita
membungkukkan badan adalah cerminan sebuah penghargaan, penghormatan, dan
melepaskan kesombongan diri. Keempat, Antara banua dalam satu perkampungan
tercermin pada bentuk banua yang dibedakan atas dasar pemilik banua merupakan
pencerminan keberagaman bentuk arsitektur. Kelima, Keagungan Yang Maha Kuasa
yaitu atap yang memuncak dan mencerminkan makin ke atas semakin besar & semakin
agung. Keenam, Kejujuran dan Kesatuan yaitu pencerminan dari struktur konstruksi yang
jujur & benar mewakili sifat kejujuran dan kerja sama antar komponen bangunan
menggabungan 3 bagian bangunan yang sebenarnya terpisah mencerminkan kegotong-
royongan dan kesatuan, “Mesa kada dipatuo patan kada dipomate, kada masa umpiak
batu tuo” artinya persatuan itu dapat merupakan kekuatan yang dapat memecahkan
persoalan apapun. Ketujuh, Penghargaan merupakan pencerminan dari masuk & keluar
ba‟ba (pintu) mengharuskan kita membungkukkan badan adalah sebuah penghargaan
dan penghormatan, melepaskan kesombongan diri. Kedelapan, Keberagaman
merupakan pencerminan dari antara banua dalam satu perkampungan tercermin pada
bentuk banua yang dibedakan atas dasar pemilik banua.
Bangunan Mamasa juga terdapat bahan-bahan khusus yang digunakan untuk
membangun Banua Mamasa yang diperoleh dari alam sekitar, di antaranya: Pondasi
dasar yang diletakkan bebas dari andesit hitam, kolom/tiang dari kayu uru, ring pengikat
kolom dari kayu uru, lantai dan rangka dinding dari kayu uru, struktur/konstruksi atap dari
kayu uru dan bambu, penutup atap dari kayu uru/alang-alang, bahan pengikat rotan, dan
bahan cat dari tanah dan daun-daunan. Sebagian besar bahan kontruksi banua Mamasa
adalah dari kayu uru atau kayu semacamnya yang baik dan kuat.

Di Mamasa juga terdapat pembagian arah tertentu yang menjadi patokan pendirian
banua, yaitu: Pertama, arah melawan arus sungai dengan kepercayaan bahwa
datangnya berkah searah dengan datanganya arus sungai. Kedua, menghadap matahari
dengan kepercayaan bahwa manusia hidup dari bawah selaknya terbitnya matahari.
Ketiga, ada keharusan bagi rumah adat untuk menghadap ke utara (ke arah buntu karua).

Anda mungkin juga menyukai