Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH KERAJAAN MORONENE

DISUSUN OLEH :
SIMON SIRUA SARAPANG

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DANKEBUDAYAAN


BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA MAKASSAR
TAHUN 2015
1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Penelitian dan penulisan lokal hingga kini terasa sangat

penting manfaatnya tidak hanya sebagai lokal, melainkan pula


milik nasional. Episode kerajaan lokal ( kerajaan ) didalam
konteks nasional dijadikan bukti adanya kesatuan cita,rasa dan
kehendak yang diaktualisasikan dengan kehendak nyata. Hal ini
sangat

penting

artinya

sebagai

suatu

bagian

dari

usaha

pembinaan bangsa, karena pembinaan bangsa diperlukan suatu


landasan yang kokoh untuk memberikan landasan bagi generasi
yang akan datang. Semakin baik perlengkapan dalam menopang
jauh kebelakang ( masa lampau ), semakin baik pula potensi
yang diperoleh untuk dapat membuat perspektif kemasa depan.
Disinilah letak peranan sejarah dalam pembangunan. Untuk
memahami masa kini kita harus mengerti masa lalu, karena
masa kini sebenarnya adalah tidak lain dari kelanjutan atau
perpanjangan masa lampau.
Warisan sejarah bangsa Indonesia yang bertebaran
diseluruh Indonesia masih banyak yang belum terungkap karena
belum diteliti dan belum dikembangkan

secara sempurna.

Demikian halnya penelusuran sejarah Kerajaan Moronene di


Sulawesi Tenggara yang belum sepenuhnya terungkap dengan
jelas dan sistematis. Kerajaan Moronene adalah menarik untuk
dikaji, mengingat kerajaan ini memiliki potensi

kesejahteraan

yang memadai.
Dewasa
perhatian serta

ini

masyarakat

minat

Indonesia

banyak

terhadap sejarahnya

menaruh

sebagai cerita

perilaku bangsanya dimasa lampau, sebagai suatu legitimasi


tentang eksistensinya. Hal ini Nampak dengan munculnya
banyak penerbitan serta tulisan sejarah, antara lain biograf
tokoh lokal dan nasional, penentuan hari jadi Kabupaten,
pengukuhan

pahlawan

nasional,

sejarah

kota

dan

sejarah

kerajaan (Sartono kartodirjo,1992)


Sejarah sebagai ilmu moralitas akan menempati sisi
tersendiri dalam suatu bangsa seperti Indonesia. Sejarah juga
selalu dipahami sebagai alat legitimasi politik atau masa lampau
suatu bangsa. Apa lagi memasuki abad XVII sampai abad-abad
kekinian, hampir setiap bangsa mencari identitas diri suatu
bangsa atau daerahnya, hal itu dilakukan untuk mengetahui dan
memahami apa dan bagaimana bangsa itu bias mundur dan
hancur. Ternyata

hal seperti itu hanya mampu dipahami lewat

penelusuran terhadap jejak-jejak sejarah yang ditinggalkannya.


Disamping itu, sejarah juga dimanfaatkan sebagai ilmu untuk
dijadikan sebagai alat atau parameter pengambilan suatu
kebijakan. Hingga kini terasa sangat penting manfaatnya tidak
hanya sebagai miik lokal, melainkan pula milik nasional. Sejarah
bangsa atau sejarah nasional selalu dibangun atas sejarahsejarah lokal yang memiliki andil dan konteks nasional. Biasanya
sejarah lokal itu, pada masa lampau banyak diperankan oleh
kerajaan-kerajaan

lokal

yang

banyak

kita

kenal

sekarang.

Episode kerajaan lokal (kerajaan) didalam konteks nasional


dijadikan bukti adanya kesatuan cita, rasa dan kehendak yang
diaktualisasikan dengan kehendak nyata. Hal ini sangat penting
artinya sebagai suatu bagian dari pembinaan bangsa, karena
pembinaan bangsa diperlukan suatu landasan yang kokoh untuk
memberi landasan bagi generasi mengerti serta percaya pada
diri sendiri akan terbentuk. Sehubungan pula kalangan pemikir

menyatakan bahwa tanpa mengetahui sejarahnya sesuatu


bangsa, tidak mungkin mengenal dan memiliki identitas dan
orang yang tidak mengenal sejarah adalah orang yang selama
hidupnya tetap menjadi kekanak-kanakan (Irmayanti,1996;5).
Pengetahuan akan masa lampau suatu bangsa atau suatu
daerah secara khusus merupakan landasan dalam menyusun
pembangunannnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Meriam
Bidiarjo ( Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia) yang
menyatakan Sejarah kita pelajari untuk ditarik pelajarannya,
agar menyusun masa depan tidak terbentur pada kesalahan
yang

sama(Meriam

dilaksanakan

Budiarjo,1991;17).

dewasa

ini

Pembangunan

merupakan

kelanjutan

yang
dari

pembangunan yang telah dilaksanakan masa lampau.


Kerajaan Moronene yang berada dalam Wilayah Sulawesi
Tenggara mempunyai peristiwa-peristiwa sejarah yang sangat
penting untuk diungkap demi untuk menyelamatkan kebudayaan
nasional demi kelangsungan pembangunan. Kerajaan Moronene
dengan segala kelebihan dan kekurangannya,

niscaya adalah

suatu kerajaan yang mempunyai sejarah. Ia memiliki sejarah


karena manusia diatas yang mendiami, telah melibatkan diri
dalam kehidupan wilayahnya, sehingga ia sampai pada wajahnya
sekarang ini, pergi dan datang silih berganti. Melampaui
abad,tahun dan beribu-ribu tahun, hari untuk menyusul

hari

esok dalam peredaran siang dan malam yang silih berganti.


Menurut

yang

di

tuturkan

dalam

Kada(=

Epos

kepahlawanan Moronene) pusat Kerajaan Moronene terdapat di


tengah-tengah daratan, bila berjalan dan harus melalui dua buah
pegunungan baru tiba di pusat kerajaan, maka jelas bahwa
Kerajaan Moronene berpusat di tengah-tengah daratan bukan di
pantai atau di pulau. Di Zaman Kada inilah Kerajaan Moronene

mencapai

kejayaannya,

melimpah

ruah

rakyat

sehingga

hidup

rukun

kemakmuran

damai.

dapat

Hasil

dinikmati

rakyatnya. Kemudian datang saat yang menyedihkan kerajaan


yang besar ini menjadi pecah dan terbentukah tiga kerajaan
yaitu :
1) Kerajaan Rumbia ibu kotanya taubonto
2) Kerajaan Polea ibu kotanya Toburi
3) Kerajaan
Kotua
ibu
kotanyaTangkeno(Rustam
E.Taburaka,2010;66). Kerajaan Moronene terjadi perpecahan
pada abad ke XIV disebabakn karena ada perselisihan dan
kesalahpahaman.
Ketika terjadi pertempuran diantara beberapa kerajaan dan
saat pasukan Moronene terdesak, tiba-tiba muncul seorang
ksatria dari konawe dengan maksud membantu pasukan
Moronene yang hampir menyerah dari penyerangan pasukan
perompak Tobelo pimpinan Bahohoa. Kstaria tersebut lincah
bagaikan

halilintar

menyambar

penghalang

di

depannya( demikian yang dituturkan oaleh orang tua di


Moronene) dan ternyata ksatria yang baru tiba tersebut
adalah Landolaki (Haluoleo).
Kerajaan Moronene memiliki sejarah penting yang tidak
kalah dengan kerajaan lain di Sulawesi Tenggara. Tercacat dalam
sejarah bahwa pada masa terjadinya perang Tobelo dengan pihak
Moronene merasa dengan hasil kemenangan yang gemilang dari
pihak Moronene yaitu sejumlah besar pasukan Bahohoa tewas
dan

banyak perahu mereka yang di bakar baik di pelabuhan

Labua maupun yang di Tasui. Oleh karena kesetiaan dan


kehebatan keunggulan yang luar biasa dari Haluoleo, dimana
seluruh

masyarakat

Moronene

merasa

lega

karena

sudah

tentram dari ketakutan dan gangguan musuh, maka raja-raja


bersama semua tokoh masyarakat mengadakan pertemuan

untuk mufakat bagaimana cara memikat hati Haluoleo supaya


bisa betah tinggal bersama kita di daerah ini. Jalan yang di
tempuh adalah dengan mengangkat Haluoleo sebagai Raja guna
menggantikan Raja Moronene yang sudah lanjut usia .
Hal

tersebut

mengungkapkan

dan

diatas

mendorong

membahas

tentang

peneliti
sejarah

untuk
Kerajaan

Moronene. Tambahan pula bahwa penulis yang khusus menulis


sejarah Kerajaan Moronene belum terungkap secara lengkap.
Kerajaan Moronene hanya bisa dijumpai dalam tulisan-tulisan
yang membahas tentang sejarah Kerajan kerajaan Konawe. Dari
keterbatasan pengungkapan sejarah kerajaan Moronene tersebut
maka penulis ini sangat ingin untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang sejarah lokal di Sulawesi Tenggara.
B. Masalah dan Ruang Lingkup
Kita banyak mengetahui tentang peristiwa masa lampau
di Sulawesi Tenggara seperti peranan perjuangan Haluoleo di
kerajaan

Konawe,

kerajaan

Mekongga

serta

peran

dan

perjuangan Haluoleo,melawan kerajaan Muna,dan Kesultanan


Buton . Demikian pula tentang kerajaan kerajaan di Sulawesi
Tenggara kita hanya mengenal beberapa kerajaan besar seperti
Konawe, Muna, Mekongga, Buton, dan lain-lain. Sejarah Kerajaan
Moronene sebagai bagian dari wilayah kerajaan di Sulawesi
Tenggara hampir tidak dikenal karena tak terungkap secara
khusus dalam penulisan sejarah.
Dalam perkembangan selanjutnya Kerajaan Moronene
sering diserang musuh dari mula datangnya dan berkembangnya
di daerah ini yang banyak mengalami hambatan dan tantangan
tetapi atas tekad bulat dengan istilah Measa Laro, semua

serangan dapat dihadapi dan di hancurkan, namun banyak


mengalami kerugian.
Ruang lingkup pengungkapan penelitian terfokus dalam
lingkup Kerajaan Moronene dengan prioritas umum adalah fasefase perkembangan Kerajaan Moronene. Demikian pula budayabudaya yang berkembang di Kerajaan Moronenr juga akan
diungkapkan dalam penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas
maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah Bagaimana sejarah perkembangan

Kerajaan

Moronene dibawa kepemimpinan Haluoleo sampai runtuhnya


Kerajaan Moronene. Karena sejarah bersifat multimensional, ia
meliputi berbagai aspek yang kompleks dalam kehidupan.
Karena

itu

penulis

Kerajaan

Moronene

ini,

pencapaiannya

meliputi pertumbuhan, perkembangan, pemerintahan, budaya,


agama,/ kepercayaan dan hubungan dengan daerah luar
C. Tujuan Penelitian
Dalam sejarah bangsa Indonesia, banyak peristiwa baik itu positif maupun
negatif yang dapat dijadikan pegangan dalam tingkah laku pada masa sekarang
dan masa akan datang. Usaha pencatatan, pendokumentasi dan penulisan sejarah
kerajaan lokal adalah tanggung jawab semua pihak. Sejarah Kerajaan Moronene
memilki

nilai

dan

mendokumentasikannnya,

arti

yang

sangat

penting,

sehingga

perlu

dengan memelihara kelestarian yang sekaligus

membangun manusia seutuhnya.


Secara garis besar, segi-segi yang akan diungkapkan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Mengungkapkan munculnya dan perkembangan Kerajaan Moronene.
2) Membahas mengenai peranan Raja Raja Moronene.

3) Mengungkap tentang masuknya Belanda di KerajaanMoronene.


4) Mengungkapkan tentang tumbuhnya Kerajaan Moronene di Sulawesi
Tenggara

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian antara lain :
1.

Memberikan gambaran yang jelas dapat menambah perbendaharaan bacaan


sejarah lokal, khususnya mengangkut perkembangan sejarah Kerajaan
Moronene.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan sumber dasar untuk membuat


kebijakan dalam pembangunan daerah.

3.

Sebagai salah satu sumbar pengetahuan yang dapat diwariskan kepada


generasi muda dalam memahami peristiwa masa lampau, sehingga nantinya
generasi muda dapat bertindak bijaksana dalam menghadapi setiap masalah
pada zaman.

E. Metode Penelitian
Penggunaan metode dalam suatu penelitian ilmiah adalah suatu
keharusan. Didalam suatu penelitian pada hakikatnya menggunakan berbagai cara
atau metode. Penggunaan dari metode tersebut tergantung dari tujuan penelitian
sifat masalahnya yang akan digarap dan berbagai alternatif yang ada di gunakan.
Sejarah adalah bagian dari ilmu-ilmu sosial yang mengkaji peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, memiliki metode tersendiri yang disebut metode
sejarah yang meninjau suatu masalah berdasarkan perspektif sejarah. Metode

inilah yang diungkapkan dalam penelitian/penulisan ini : adapun metode sejarah


yang di gunakan adalah :
a). Heuristik
Heuristik yaitu mengumpulkan dan menghimpun data berupa jejak, dokumen
atau buku-buku tulisan yang ada hubungannya dengan judul penelitian.
b). Kritik/penilaian data
Tahapan kerja kritik data merupakan kegiatan menganalisis datayang telah
diperoleh guna memperoleh data autentik. Hal ini dilakukan karena tidak
semuadata yang didapatkan dijamin keabsahannya.
c). Interpretasi/penafsiran
Setelah melalui kritik sumber, fakta-fakta yang telah diperoleh itu kemudian
diinterprestasikan

untuk

member

arti

atau

makna

kepada

suatu

peristiwa.Penafsiran dilakukan dengan jelas, member penjelasan terhadap


fakta-fakta sejarah seobyektif mungkin.
Penyajian atau histografi merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian
proses pengelolaan dan penyusunan sumber-sumber sejarah. Tahap ini adalah
penulisan hasil interperensi dalam bentuk kisah sejarah.
Prosedur kerja yang dikemukakan diatas,

dalam pelaksanaan harus

sistemmatis sesuai dengan urutannya. Pada penulisan karya ini, penyajian kisah
sejarah dilakukan dengan cara deskriptif historis (penggambaran peristiwa
sejarah)
PEMBAHASAN
Daerah Moronene dahulu lebih luas dari yang ada sekarang,menurut
penuturan orang tua tua suku Moronene maupun dari suku Tolaki di Konawe dan
Mekonggao yang tinggal di sekitar perbatasan dengan daerah Moronene, bahwa
daerah kerajaan Moronene dahulu meliputi :
a. Distrik Watu Bangga, yaitu daerah yang terletak di sebelah utara sungai Tari
juga termasuk daerah moronene. Suku Bangga yang tinggal di daerah itu(Watu
Bangga) sekarang adalah suku Moronene dan Kepala Distriknya adalah
turunan Mokole asal dari Toburi(Distrik Poleang), Mokole Watu bangga yang

terakhir bernama Sou meninggal pada tahun 1950 (dibunuh oleh


gerombolan Badik dari DI/TI).
b. Pomalaa dari kata asli Moronene yaitu pomala-a yang arti imbuhan Po-a ialah
tempat dan berarti tabas/tebas atau membuat. Jadi Pomalaa ini sebenarnya
adalah daerah Moronene yaitu tempatnya membuat perahu bapak dari EluUte NtoLuwu (anak Raja polea) pada akhir abad 15.
Daerah moronene yang tinggal sekarang ini adalah meliputi

tiga

Kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Rumbia ibukotanya Kasipute, dahulu Taubonto.
2. Kecamatan Poleang ibukotanya Boepinang, dahulu Toburi, kemudian Rompurompu.
3. Kecamatan kabaena ibukotanya Teomokole dahulu Tangkeno (La Ode Saafi
Basari,2007;25)
Bekas Distrik Watu Bangga yang telah di masukkan ke daerah Kabupaten
Kolaka sebenarnya adalah warisan dari imperialis belanda yang telah berusaha
memecah belah kesatuan Kerajaan Poleang khususnya dari Kerajaan Moronen
pada umumnya. Batas batas daerah Moronene skarang sebagai warisan dari
Belanda adalah :
a. Bagian utara berbatasan dengan pegunungan Mendoke terus ke teluk Bone
sampai Rtoiari(sungai Toari).
b. Bagian Timur berbatasan dengan Selat Spelman, Tiworo(kecamatan
mawasangka)
c. Bagian Selatan berbatasan dengan laut Flores.
d. Bagian Barat berbatasan dengan Teluk Bone
Daerah Asal Serta Proses Kedatangan Mereka Di Sulawesi Tenggara
Seperti suku suku bangsa Indonesia lainya maka Moronene pun tidak
datang dari India belakang. Ciri ciri antropologi orang Moronene adalah tinggi
rata rata 1,60 meter, rambut lurus, kulit berwarna kulit langsat,mata sipit, maka
dapat dikatakan adalah masuk rumpun Bangsa Melayu tua yang datang dari India
belakang pada gelombang ketiga, menurut Prof. M,P Simanjuntak Ma dalam
bukunya (Inti Ilmu Bumi jilid IV, Monografi Sultra,1976;51).

10

Ada tiga kemungkinan proses kedatangan mereka di daerah ini :


a. Dari Indi Belakang melalui Sulawesi tengah bersama sama suku Mori,Bungku
dan lain lain, mreka terus ke Sulaewsi Tenggara melalui darat dan mendiami
sebahgian besar Sulawesi Tenggara. Pada waktu itu belum ada suku lain di
tempat itu baik Tolaki maupun Mekongga, ada beberapa nama desa daerah
Kabupaten Kendari dan Kolaka sekarang ini adalah bekas perkampungan
(Tobu) suku Moronene dahulu seperti :
1.RanoEa, dalam bahasa daerah

Moronene

berarti

rawa

besar

(Rano=rawa,Ea=besar) dalam bahasa Tolaki rawa-rawa besar Owose jadi


seharusnya Rano Owose untuk menamakan rawa besar. Dengan demikian
RanoEa dalah dari bahasa Moronene asli yang berarti rwa besar.
2.Demikian juga kata kata Pomalaa(tempat menebas) mengerjakan perahu,
watalara (Wata=batang, lara= keras; Watalara =batang pohon. Towua sejenis
pohon yang biasa di gunakan alat mengetam padi.
Menurut Prof.H.Rustam E. Tamburaka (1989;129) mengatakan asal usul
orang Moronene jika di lihat dari ciri ciri antropologisnya mata, rambut maupun
warna kulit suku Moronene hampir sama dengan suku Tolaki memiliki kesamaan
dengan ras Mongoloid, di duga berasal dari Asia Timur mungkin dari Jepang
untuk kemudian tersebar ke Selatan melalui kepulauan Riukyu, Taiwan, Pilipina,
Sangir Talaud, pantai Timur Sulawesi sampai ke Sulawesi Tenggara. Ada juga
menyatakan bahwa perpindahan pertama berasl dari Yunan (RRC) ke Selatan
melalui Filipina, Sulawesi Utara ke pesisir Timur dan Halmahera. Pada sat
memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara sungai Lasolo dan
konaweEha yang dinamakan Ondilaki dan terus ke Selatan melalui pegunungan
Mekongga sampai tiba di Rumbia(R.E Tamburaka 1989;48).
Wanua Ea adalah satu Tobu(kampung yang besar dan ramai penduduknya,
karena ramainya ia disebut Wanua Ea= sangat besar.Pada suatu saat ada seorang
putera Raja yang berbuat mesum dengan adiknya, senagai akibat dari perbuatan
yang melanggar adat leluhur Moronene ini, sang Puteri melahirkan seorang anak
dan dimandikan dalam Singku (serupa loyang) terbuat dari pelepah rumbia, air
pemandiannya itu di tuangkan kebawah rumah.Air tersebut dengan cepatnya

11

bertambah banyak sehingga menggenangi Wonua Ea ini dan menjadi rawa besar
karena kemarahan dewa terhadap pelanggaran adat leluhur Moronene(Menurut
penuturan Alfian Pumpi,SH Raja Rumbia ke 7).
La Ea dan Wonua Ea terdiri dari daerah yang berbukit bukit di tumbuhi
ilalang diselang selingi oleh pohon pohonan. Bila kita selidiki betul maka akan
memberikan kesan pada kita bahwa daerah itu adalah bekas perladangan liar.
Beberapa puncak bukit tertentu di daerah itu akan dijumpai tumpukan kulit kerang
(korowe) dan kulit siput laut(burungo).jadi ada kemungkinan suku Moronene
pertama menempati daerah Wonua Ea sejak datang dari Hindia Belakang Pusat
Kerajaan Moronene
Menurut yang di tuturkan dalam Kada (Epos kepahlawanan Moronene)
pousat Kerjaan Moronene terdapat di tengah tengah daratan. Bila berjalan dari
pantai harus melalui dua buah pegunungan baru tiba di pusat kerajaan maka jelas
bahwa Kerajaan Moronene berpusat di tengah tengah daratan. Di zama Kada
inilah Kerajaan Moronene mencapai kejayaannya, rakyat hidup rukun dan damai.
Hasil melimpah ruah sehingga kemakmuran dapat dinikmati rakyatnya.. tapi
ketika datang masalah besar dalam lingkungan Kerajaan ini sendiri terjadilah
perpecahan yang kemudian terbentuk tiga kerajaan yaitu:
a. Kerajaan Rumbia ibu koanya Taubonto
b. Kerajaan Polea ibu kotanya Toburi
c. Kerjaan Kotua ibu kotanya Tangkeno.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pecahnya Kerajan
Moronene zaman dahulu, antara lain :
a. Tidak ada putera Raja yang cakap dan berwibawa untuk memerintah tiga
daerah tersebut karena waktu itu hanya bangsawan yang boleh menjadi
pimpinan/pemerintah.
b. Wabah penyakit yang melumpuhkan potensi rakyat termasuk rajanya sehingga
pemerintahan jadi lemah.
c. Karena peperangan dengan suku-suku lain baik di serang maupun menyerang.
d. Raja membagi daerah kerajaannya(Moronene) kepada ketiga putranya.
Kemungkinan yang keempat ini banyak dituturkan bangsa Moronene sampai
sekarang ini, baik yang ada di Kabaena, di Rumbia,maupun yang ada di
Poleang. Pecahnya Kerajaan Moronene diperkirakan mulai pada abad ke XIV,
12

ketika kerajaan ini berdiri secara otonom.(Wawancara Mansyur Lababa,21


Februari 2015).
Untuk menggambarkan wilayah persebaran suku Moronene,khusunya di
Sulawesi Tenggara, maka perlu di kemukakan bahwa bersasarkan peta wilayah
kekuasaan atau kerajaan Moronene di sekitar abad ke-17 dan ke-18 maka luas
wilayah

Moronene yang biasa di sebut Alamu-i Bambana Wita-i Moronene

sebenarnya lebih luas dari yang ada sekarang,dimana wilayah wilayah Moronene
tersebut meliputisebagian wilayah Tinanggea di Kabupaten Kendari dan wilayah
Watubangga di Kabupaten Kolaka, dengan batas mulai dari Puu Olo(pantai
sebelah timur) sampai ke pantai sebelah barat(Teluk Bone) yaitu daerah Watu
bangga yang terletak sebelah utara sungai Toari hingga sampai di sungai Oko
Oko(Desa Tangketada)(Zainuddin Tahyas,1999;48)
Luas wilayah Moronene 3.973,67 Km2 yang terdiri atas 6 wilayah
kecamatan, yaitu 5 kecamatan di wilayah Kabupaten Buton dan 1 Kecamatan di
wilayah Kabupaten Kolaka,berdasarkan Bombana dalam angka Tahun 1995 yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kecamatan Kabaena ibukotanya Teomokole


Kecamatan Kabaena Timur ibukotanya Donggala
Kecamatan Rumbia ibukotanya Kasipute
Kecamatan Poleang ibukotanya Boepinang
Kecamatan Poleang Timur ibukotanya Bamba Ea
Kecamatan Watubangga ibukotanya Watubangga.
Daerah Watubangga adalah juga merupakan suatu kerajaan yang berdiri

sendiri yang dipimpin oleh seorang yang pada zaman kolonial dipimpin oleh
Mokole Sou yang adalah putra Raja Toburi yang terbunuh oleh gerombolan
Badik tahun 1950. Daerah persebaran orang Moronene di beberapa wilayah
kecamatan di Kabupaten Kolaka yang dahulu berasal dari poleang dan Rumbia.
Mereka di evakuasi oleh Pemerintah pada tahun 1952 dan tahun 1953 karena
gangguan keamanan. Sementara meraka yang berasal dari wilayah Rumbia, yaitu
dari kampung Rarowatu, Toubonto, Lakomea, Trodono, Pangkuri, Sawei, Lauru,
Rau-Rau di bawa ole gerembolan sejak tahun 1953 dan di tempatkan di Kolaka
utara untuk di jadikan tenaga kerja perkebunan (wawancara Mansyur Lababa, 21
Februari 2015).
13

Hubungan Dengan Suku-Suku Lain


Daerah Moronene sering di serang suku-suku dari luar seperti :
- Serangan Kerajaan Luwu kira kira pada akhir abad XV
- Serangan Tobelo dipimpin oleh La Bolontia,kerajaan Ternate kira-kira pada
permulaan abad XVI.
Laboantobelo yang terletak di ujung Lu eno dekat kampung baru adalah
bekas tempat berlabuhnya perahu-perahu pasukan Kerajaan Ternate. Pasukan
Tobelo ini mendapat perlawanan sengit dari pasukan Kerajaan Moronene di
bawah pimpinan Elutentoluwu, raja Polea yang baru berusia 12 tahun namun
sering mengikuti iparnya Haluoleo.
Menurut penuturan Mansyur Lababa, pada waktu pasukan Kerajaan
Moronene yang tiba di pinggir padang LuEno untuk menghalau pasukan Tobelo
mereka beristirahat di bawah pohon asam. Setelah Haluoleo selesai makan sirih
tempat sirihnya(kanduno) disangkutkan di batang pohon asam itu. Karena
kekuatan gaib yang di miliki Haluoleo pohon asam itu mulai setinggi satu
satengah meter melengkung kebawah sampai beberapa cm untuk menyentuh tanah
dan kemudian melengkung kembali keatas sepeti semula. Sampai sekarang pohon
asam itu masih ada yang di beri nama Saeto Kokolontu(asam berlutut) yang tidak
bisa besar karena kekuatan gaib dari Haluoleo.
Moronene melawan serangan Belanda Tahun 1910-1912
Di daerah Moronene dalam melawan tentara Belanda tahun 1910-1912
seorang bangsawan

S.Dowo selaku Raja merangkap pula sebagai pimpinan

pasukan Kerajaan Polea. Peperangan sengit terjadi dengan tembakan dan meriam
dari pasukan penjajah, pasukan kerajaan moronene tidak gentar. De Jongens
sebagai pimpinan Tentara Belanda bersama juru bahasanya akhirnya datang
menghadap kepada raja minta berdamai dan berunding. Erundingan itu diminta
oleh Belanda di luar kota yaitu di Labu-A. Karena Labu-A adalah termasuk daerah
Kerajaan Polea. Tetapi siasat politik Belanda tidak di pahami oleh S.Dowo yang
bersifat ksatria dan bijak sehingga dalam beberapa kali pertemuannya tidak
pernah merasa curiga kepada Kapten De Jongens dan akhirnya terbunuh dan Raja

14

ini mendapat gelar Sangia Nilemba yang artinya Raja yang di Usung(Riasa J.L
1985;25)
Setelah Sangia Dowo meninggal maka perlawanan terhadap tentara
Belanda dilanjutkan oleh Mbohogo. Mbohogo menggunakan siasat gerilya di
hutan-hutan sehingga tentara Belanda cukup kewalahan menghadapinya.Tetapi
dengan siasat picik dari tentara Belanda akhirnya Mbohogo tertangkap saat duduk
makan pada sebuah rumah kecil dimana ia di kepung . Akhirnya Mbohogo di
asingkan ke Nusakambangan.
Seiring dengan perkembangan zaman hingga tahun 1914 Kerajaan
Moronene, yang dahulunya daerah sendiri, oleh pemerintah kontroliur Belanda
ketika itu melalui Kesultanan buton merubah Kerajaan Moronene menjadi distrik
di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Selanjutnya berada dalam wilayah
Kesatuan Negara Republik Indonesia. Namun didalam kemerdekaan selama
kurang lebih 50 tahun wilayah Moronene kurang tersentuh dengan fasilitas
pemerintah. Sentuhan pembangunan berbagai bidang di wilayah ini amat minim
sehingga laju peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat lamban. Disamping
itu sulit untuk berurusan dengan ibukota kabupaten yang secara geografis sangat
tidak mendukung(wawancara Mansyur Lababa,21 Februari 2015).
Perjuangan yang di lakukan tokoh masyarakat untuk mengatur daerahnya
sendiri melepaskan diri dari kabupaten induknya kala itu (Swapraja Buton)
skarang Kabupaten Buton. Perjuangan itu di lakakuan oleh Mokole Muhammad
Ali Kepala Distrik Poleang, F.B. Powatu dari Distrik Rumbia serta sejumlah tokoh
masyarakat di Moronene dengan keberanian yang luar biasa menghadap Sultan
Buton bersama 52 orang kepala kampung( sekarang setingkat desa) untuk
menyatakan melepaskan wilayah Moronene dari pemerintahan Swapraja Buton.
Namun pernyataan itu di tolak oleh Sultan yang mendapat dukungan dari
pemerintah Kolonial Belanda, itu pada tahun 1948.
Pada Zaman pendudukan Jepang telah di upayakan agar wilayah
Moronene di jadikan daerah administratif setingkat bunken(Onder Afdeling), dan
oleh Jepang pada waktu itutelah menempatkan wakil Bunken Kanrikan dengan
seluruh wilayah Moronene dengan tempat kedudukan di Boepinang, sehingga

15

waktu itu kepala-kepala distrik di Moronene(Poleang,Rumbia,Kabaena dan


Watubangga) tidak lagi berhubungan dengan Bau-Bau (Buton), tetapi langsung
pada Bunken Kanrikan di Boepinang yang usianya berakhir dengan takluknya
tentara

Jepang

kepada

militer

sekutu

yang

kemudian

wilayah

Moronene(Poleang,Rumbia dan Kabaena) kembali di bawah pe 7 ngawasan


Swapraja Buton (Wawancara Mansyur Lababa 21 Februari 2015).

DAFTAR PUSAKA
Abd. Muthalib. 1980. Daerah Pemukiman di Masa Purba, Buku Petunjuk Taman
Prasejarah

Leang-Leang.

Ujung

Pandang

Kantor

Suaka

Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sul-Sel.


Anthony Reid Sejarah Modern Awal Asia Tenggara Sebuah Pemetaan. LP3ES,
Januari, 2004.
Budiarjo, Meriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia
Irmayanti.1996.Sejarah Terbentuknya Dati II Sinjai (1959-1960)
Kadir, Harun dkk. 1978. Sejarah Daerah Sul-Sel. Jakarta : Depdikbut RI.
Kartodirjo Soetomo. 1992. Pendekatan Ilmu Sejarah dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta : Gramedia
La Ode Saafi Basari,2007. Sekilas Tentang Lueno Labuaatau Kabupaten Bombana
Rumbia.
Lewa, Aminullah. Bugis Makassar Melawan Kolonialisme ( 1667-1942 ). Jilid I. (
Sebuah Makalah Belum diterbitkan )
Matukidun. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam diWundulako Pada Zaman
Kerajaan Mekongga, Kendari : Skripsi FKIP Unhalu, 1977.
M.P Simanjuntak,1976.Ilmu Bumi Jilid IV, Monografi Sulawesi tenggara.
Riasa J.L. Sejarah Puuno To Moronene, Diktat,Kendari;1985.
Rustam E.Taburaka. 2010. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 45 tahun Sultra
membangun. Jakarta: Gramedia.

16

Suriadi Mappangara. 2003. Kerajaan Bone Dalam Sejarah Politik Sulawesi


Selatan Abad XIX. Makassar. Dinas Kebudayaan dan Perawisata
Provinsi Sulawesi Selelatan
Zainuddin

Tahyas.1999

Kabaena

Sejarah,Budaya

dan

Falsafah

Hidup

Masyarakatnya.Depok

17

Anda mungkin juga menyukai