DISUSUN OLEH :
SIMON SIRUA SARAPANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penelitian dan penulisan lokal hingga kini terasa sangat
penting
artinya
sebagai
suatu
bagian
dari
usaha
secara sempurna.
kesejahteraan
yang memadai.
Dewasa
perhatian serta
ini
masyarakat
minat
Indonesia
banyak
terhadap sejarahnya
menaruh
sebagai cerita
pahlawan
nasional,
sejarah
kota
dan
sejarah
lokal
yang
banyak
kita
kenal
sekarang.
sama(Meriam
dilaksanakan
Budiarjo,1991;17).
dewasa
ini
Pembangunan
merupakan
kelanjutan
yang
dari
niscaya adalah
hari
yang
di
tuturkan
dalam
Kada(=
Epos
mencapai
kejayaannya,
melimpah
ruah
rakyat
sehingga
hidup
rukun
kemakmuran
damai.
dapat
Hasil
dinikmati
halilintar
menyambar
penghalang
di
masyarakat
Moronene
merasa
lega
karena
sudah
tersebut
mengungkapkan
dan
diatas
mendorong
membahas
tentang
peneliti
sejarah
untuk
Kerajaan
Konawe,
kerajaan
Mekongga
serta
peran
dan
Kerajaan
itu
penulis
Kerajaan
Moronene
ini,
pencapaiannya
nilai
dan
mendokumentasikannnya,
arti
yang
sangat
penting,
sehingga
perlu
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian antara lain :
1.
2.
3.
E. Metode Penelitian
Penggunaan metode dalam suatu penelitian ilmiah adalah suatu
keharusan. Didalam suatu penelitian pada hakikatnya menggunakan berbagai cara
atau metode. Penggunaan dari metode tersebut tergantung dari tujuan penelitian
sifat masalahnya yang akan digarap dan berbagai alternatif yang ada di gunakan.
Sejarah adalah bagian dari ilmu-ilmu sosial yang mengkaji peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, memiliki metode tersendiri yang disebut metode
sejarah yang meninjau suatu masalah berdasarkan perspektif sejarah. Metode
untuk
member
arti
atau
makna
kepada
suatu
sistemmatis sesuai dengan urutannya. Pada penulisan karya ini, penyajian kisah
sejarah dilakukan dengan cara deskriptif historis (penggambaran peristiwa
sejarah)
PEMBAHASAN
Daerah Moronene dahulu lebih luas dari yang ada sekarang,menurut
penuturan orang tua tua suku Moronene maupun dari suku Tolaki di Konawe dan
Mekonggao yang tinggal di sekitar perbatasan dengan daerah Moronene, bahwa
daerah kerajaan Moronene dahulu meliputi :
a. Distrik Watu Bangga, yaitu daerah yang terletak di sebelah utara sungai Tari
juga termasuk daerah moronene. Suku Bangga yang tinggal di daerah itu(Watu
Bangga) sekarang adalah suku Moronene dan Kepala Distriknya adalah
turunan Mokole asal dari Toburi(Distrik Poleang), Mokole Watu bangga yang
tiga
Kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Rumbia ibukotanya Kasipute, dahulu Taubonto.
2. Kecamatan Poleang ibukotanya Boepinang, dahulu Toburi, kemudian Rompurompu.
3. Kecamatan kabaena ibukotanya Teomokole dahulu Tangkeno (La Ode Saafi
Basari,2007;25)
Bekas Distrik Watu Bangga yang telah di masukkan ke daerah Kabupaten
Kolaka sebenarnya adalah warisan dari imperialis belanda yang telah berusaha
memecah belah kesatuan Kerajaan Poleang khususnya dari Kerajaan Moronen
pada umumnya. Batas batas daerah Moronene skarang sebagai warisan dari
Belanda adalah :
a. Bagian utara berbatasan dengan pegunungan Mendoke terus ke teluk Bone
sampai Rtoiari(sungai Toari).
b. Bagian Timur berbatasan dengan Selat Spelman, Tiworo(kecamatan
mawasangka)
c. Bagian Selatan berbatasan dengan laut Flores.
d. Bagian Barat berbatasan dengan Teluk Bone
Daerah Asal Serta Proses Kedatangan Mereka Di Sulawesi Tenggara
Seperti suku suku bangsa Indonesia lainya maka Moronene pun tidak
datang dari India belakang. Ciri ciri antropologi orang Moronene adalah tinggi
rata rata 1,60 meter, rambut lurus, kulit berwarna kulit langsat,mata sipit, maka
dapat dikatakan adalah masuk rumpun Bangsa Melayu tua yang datang dari India
belakang pada gelombang ketiga, menurut Prof. M,P Simanjuntak Ma dalam
bukunya (Inti Ilmu Bumi jilid IV, Monografi Sultra,1976;51).
10
Moronene
berarti
rawa
besar
11
bertambah banyak sehingga menggenangi Wonua Ea ini dan menjadi rawa besar
karena kemarahan dewa terhadap pelanggaran adat leluhur Moronene(Menurut
penuturan Alfian Pumpi,SH Raja Rumbia ke 7).
La Ea dan Wonua Ea terdiri dari daerah yang berbukit bukit di tumbuhi
ilalang diselang selingi oleh pohon pohonan. Bila kita selidiki betul maka akan
memberikan kesan pada kita bahwa daerah itu adalah bekas perladangan liar.
Beberapa puncak bukit tertentu di daerah itu akan dijumpai tumpukan kulit kerang
(korowe) dan kulit siput laut(burungo).jadi ada kemungkinan suku Moronene
pertama menempati daerah Wonua Ea sejak datang dari Hindia Belakang Pusat
Kerajaan Moronene
Menurut yang di tuturkan dalam Kada (Epos kepahlawanan Moronene)
pousat Kerjaan Moronene terdapat di tengah tengah daratan. Bila berjalan dari
pantai harus melalui dua buah pegunungan baru tiba di pusat kerajaan maka jelas
bahwa Kerajaan Moronene berpusat di tengah tengah daratan. Di zama Kada
inilah Kerajaan Moronene mencapai kejayaannya, rakyat hidup rukun dan damai.
Hasil melimpah ruah sehingga kemakmuran dapat dinikmati rakyatnya.. tapi
ketika datang masalah besar dalam lingkungan Kerajaan ini sendiri terjadilah
perpecahan yang kemudian terbentuk tiga kerajaan yaitu:
a. Kerajaan Rumbia ibu koanya Taubonto
b. Kerajaan Polea ibu kotanya Toburi
c. Kerjaan Kotua ibu kotanya Tangkeno.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pecahnya Kerajan
Moronene zaman dahulu, antara lain :
a. Tidak ada putera Raja yang cakap dan berwibawa untuk memerintah tiga
daerah tersebut karena waktu itu hanya bangsawan yang boleh menjadi
pimpinan/pemerintah.
b. Wabah penyakit yang melumpuhkan potensi rakyat termasuk rajanya sehingga
pemerintahan jadi lemah.
c. Karena peperangan dengan suku-suku lain baik di serang maupun menyerang.
d. Raja membagi daerah kerajaannya(Moronene) kepada ketiga putranya.
Kemungkinan yang keempat ini banyak dituturkan bangsa Moronene sampai
sekarang ini, baik yang ada di Kabaena, di Rumbia,maupun yang ada di
Poleang. Pecahnya Kerajaan Moronene diperkirakan mulai pada abad ke XIV,
12
sebenarnya lebih luas dari yang ada sekarang,dimana wilayah wilayah Moronene
tersebut meliputisebagian wilayah Tinanggea di Kabupaten Kendari dan wilayah
Watubangga di Kabupaten Kolaka, dengan batas mulai dari Puu Olo(pantai
sebelah timur) sampai ke pantai sebelah barat(Teluk Bone) yaitu daerah Watu
bangga yang terletak sebelah utara sungai Toari hingga sampai di sungai Oko
Oko(Desa Tangketada)(Zainuddin Tahyas,1999;48)
Luas wilayah Moronene 3.973,67 Km2 yang terdiri atas 6 wilayah
kecamatan, yaitu 5 kecamatan di wilayah Kabupaten Buton dan 1 Kecamatan di
wilayah Kabupaten Kolaka,berdasarkan Bombana dalam angka Tahun 1995 yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
sendiri yang dipimpin oleh seorang yang pada zaman kolonial dipimpin oleh
Mokole Sou yang adalah putra Raja Toburi yang terbunuh oleh gerombolan
Badik tahun 1950. Daerah persebaran orang Moronene di beberapa wilayah
kecamatan di Kabupaten Kolaka yang dahulu berasal dari poleang dan Rumbia.
Mereka di evakuasi oleh Pemerintah pada tahun 1952 dan tahun 1953 karena
gangguan keamanan. Sementara meraka yang berasal dari wilayah Rumbia, yaitu
dari kampung Rarowatu, Toubonto, Lakomea, Trodono, Pangkuri, Sawei, Lauru,
Rau-Rau di bawa ole gerembolan sejak tahun 1953 dan di tempatkan di Kolaka
utara untuk di jadikan tenaga kerja perkebunan (wawancara Mansyur Lababa, 21
Februari 2015).
13
pasukan Kerajaan Polea. Peperangan sengit terjadi dengan tembakan dan meriam
dari pasukan penjajah, pasukan kerajaan moronene tidak gentar. De Jongens
sebagai pimpinan Tentara Belanda bersama juru bahasanya akhirnya datang
menghadap kepada raja minta berdamai dan berunding. Erundingan itu diminta
oleh Belanda di luar kota yaitu di Labu-A. Karena Labu-A adalah termasuk daerah
Kerajaan Polea. Tetapi siasat politik Belanda tidak di pahami oleh S.Dowo yang
bersifat ksatria dan bijak sehingga dalam beberapa kali pertemuannya tidak
pernah merasa curiga kepada Kapten De Jongens dan akhirnya terbunuh dan Raja
14
ini mendapat gelar Sangia Nilemba yang artinya Raja yang di Usung(Riasa J.L
1985;25)
Setelah Sangia Dowo meninggal maka perlawanan terhadap tentara
Belanda dilanjutkan oleh Mbohogo. Mbohogo menggunakan siasat gerilya di
hutan-hutan sehingga tentara Belanda cukup kewalahan menghadapinya.Tetapi
dengan siasat picik dari tentara Belanda akhirnya Mbohogo tertangkap saat duduk
makan pada sebuah rumah kecil dimana ia di kepung . Akhirnya Mbohogo di
asingkan ke Nusakambangan.
Seiring dengan perkembangan zaman hingga tahun 1914 Kerajaan
Moronene, yang dahulunya daerah sendiri, oleh pemerintah kontroliur Belanda
ketika itu melalui Kesultanan buton merubah Kerajaan Moronene menjadi distrik
di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Selanjutnya berada dalam wilayah
Kesatuan Negara Republik Indonesia. Namun didalam kemerdekaan selama
kurang lebih 50 tahun wilayah Moronene kurang tersentuh dengan fasilitas
pemerintah. Sentuhan pembangunan berbagai bidang di wilayah ini amat minim
sehingga laju peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat lamban. Disamping
itu sulit untuk berurusan dengan ibukota kabupaten yang secara geografis sangat
tidak mendukung(wawancara Mansyur Lababa,21 Februari 2015).
Perjuangan yang di lakukan tokoh masyarakat untuk mengatur daerahnya
sendiri melepaskan diri dari kabupaten induknya kala itu (Swapraja Buton)
skarang Kabupaten Buton. Perjuangan itu di lakakuan oleh Mokole Muhammad
Ali Kepala Distrik Poleang, F.B. Powatu dari Distrik Rumbia serta sejumlah tokoh
masyarakat di Moronene dengan keberanian yang luar biasa menghadap Sultan
Buton bersama 52 orang kepala kampung( sekarang setingkat desa) untuk
menyatakan melepaskan wilayah Moronene dari pemerintahan Swapraja Buton.
Namun pernyataan itu di tolak oleh Sultan yang mendapat dukungan dari
pemerintah Kolonial Belanda, itu pada tahun 1948.
Pada Zaman pendudukan Jepang telah di upayakan agar wilayah
Moronene di jadikan daerah administratif setingkat bunken(Onder Afdeling), dan
oleh Jepang pada waktu itutelah menempatkan wakil Bunken Kanrikan dengan
seluruh wilayah Moronene dengan tempat kedudukan di Boepinang, sehingga
15
Jepang
kepada
militer
sekutu
yang
kemudian
wilayah
DAFTAR PUSAKA
Abd. Muthalib. 1980. Daerah Pemukiman di Masa Purba, Buku Petunjuk Taman
Prasejarah
Leang-Leang.
Ujung
Pandang
Kantor
Suaka
16
Tahyas.1999
Kabaena
Sejarah,Budaya
dan
Falsafah
Hidup
Masyarakatnya.Depok
17